• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perubahan Status Perguruan Tinggi Negeri Menjadi Badan Hukum Pendidikan Pemerintah (BHPP) Ditinjau Dari Hukum Pengelolaan Keuangan Negara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perubahan Status Perguruan Tinggi Negeri Menjadi Badan Hukum Pendidikan Pemerintah (BHPP) Ditinjau Dari Hukum Pengelolaan Keuangan Negara"

Copied!
156
0
0

Teks penuh

(1)

PERUBAHAN STATUS PERGURUAN TINGGI NEGERI

MENJADI BADAN HUKUM PENDIDIKAN PEMERINTAH

(BHPP) DITINJAU DARI HUKUM PENGELOLAAN

KEUANGAN NEGARA

TESIS

OLEH:

MERCY MONIKA R. SITOMPUL

087005010 / ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

PERUBAHAN STATUS PERGURUAN TINGGI NEGERI

MENJADI BADAN HUKUM PENDIDIKAN PEMERINTAH

(BHPP) DITINJAU DARI HUKUM PENGELOLAAN

KEUANGAN NEGARA

TESIS

OLEH:

MERCY MONIKA R. SITOMPUL

087005010 / ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

Judul Tesis : PERUBAHAN STATUS PERGURUAN TINGGI NEGERI MENJADI BADAN HUKUM PENDIDIKAN PEMERINTAH (BHPP) DITINJAU DARI HUKUM PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA

Nama : Mercy Monika R. Sitompul

N.I.M. : 087005010

Program Studi : Ilmu Hukum

MENYETUJUI KOMISI PEMBIMBING

Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum Ketua

(Dr. Mahmul Siregar, SH., M.Hum (Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH., M.Hum)

Anggota Anggota

Ketua Program Studi Ilmu Hukum Dekan

(Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., M.H.) (Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum.)

(4)

ABSTRAK

UU Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) merupakan amanah dari pasal 53 UU Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Dasar (UU Sisdiknas) yang menyebutkan penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.Ini berarti semua Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang ada saat ini harus mengubah bentuk dan menyesuaikan tata kelolanya sebagai Badan Hukum Pendidikan Pemerintah (BHPP) dalam waktu paling lama 3 (tahun) untuk PTN ex Badan Hukum Milik Negara (BHMN), 4 (empat) tahun untuk PTN ex Unit Pelaksanaaan Teknis (UPT) Pemerintah dan PTN berstatus Badan Layanan Umum (BLU). Perubahan status tersebut telah menimbulkan banyak reaksi, ada yang setuju dan ada yang menolak. Pihak yang setuju umumnya dari kalangan pemerintah dan pimpinan PTN dengan alasan bahwa status BHPP ini akan memberi otonomi dan kemandirian yang lebih luas kepada PTN agar mampu berkembang menuju world class univerity. Sedangkan yang tidak setuju sebagian besar adalah kalangan mahasiswa khawatir akan semakin mahalnya pendidikan tinggi di negeri ini karena dengan UU BHP ini PTN-BHPP mempunyai otonomi yang luas sehingga PTN-BHPP bebas menentukan besaran biaya kuliah atas ‘dalih’ membiayai biaya operasionalnya.

Penelitian terhadap peralihan status PTN menjadi BHPP ini dilakukan dengam menggunakan metode penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif. Bahan-bahan hukum yang dikumpulkan dengan teknik studi pustaka (library research) dianalisis dengan menggunakan metode analisis normatif kualitatif dengan mengacu pada kerangka teoritis yang relevan.

(5)

pengadaan barang dan jasa yang menggunakan dana APBN tunduk pada ketentuan Keppres 80 Tahun 2003 dan pengadaan barang dan jasa yang menggunakan dana PTN-BHPP tunduk pada ketentuan AD/ART PTN-PTN-BHPP. Wewenang audit oleh BPK hanya atas dana yang berasal dari APBN, sehingga hanya penyalahgunaan terhadap penggunaan dana APBN saja yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan merugikan negara. Sedangkan jika terjadi penyalahgunaan dana yang bukan berasal dari APBN maka itu bukanlah perbuatan merugikan negara, melainkan merugikan PTN BHPP, yang mekanisme pertanggungjawabannya diatur dalam AD/ART PTN BHPP tersebut.

Penelitian ini menyarankan agar pemerintah segera membuat peraturan pelaksana dari UU BHP terutama yang menyangkut tata cara pengelolaan keuangannya, baik yang berasal dari pemerintah maupun dari masyarakat serta investasi yang dilakukan oleh PTN BHPP, serta pengaturan mengenai penyertaan modal negara dalam PTN BHPP sehingga segenap organ PTN BHPP dan mahasiswa sebagai peserta didik dapat saling mendukung dalam pelaksanaan UU ini.

(6)

ABSTRACT

The Act No. 9 of 2009 concerning to Educational Legal Entity (UU BHP) is a mandat of Article 53 of Act No. 20 of 2003 concerning to Basic Education System (UU Sisdiknas) said that institution and/or formal educational unit established by government or society must be in an educational corporated body. It means that all of the State Owned Higher University (PTN) must change its form and adjust its management as a government educational Legal Entity (BHPP) in not more than 3 (three) years for PTN as former of State Onwed Legal Entity (BHMN), 4 (four) years for PTN as former of Government Technical Organization Unit (UPT) and PTN in Public Service Organization Board (BLU). The change of status cause any reaction either pro or contra. The pro side are government and the management of PTN in the reason that status of BHPP will provide the PTN with widest autonomy and self sufficiency to be a world class university. While the contra side are students who fear the higher educational fee because based on this Act of BHP, PTN-BHPP has a widest autonomy in which PTN-BHPP can determine the educational fee in the reason of the operational cost.

The research on change of status of PTN to be BHPP was conducted by descriptive normative law research method. The corporate bodies data were collected by library research and analyzed by qualitative normative analysis method refers to the relevant theoretical study.

(7)

means only the abuse of the government budget that categorized cause the loss to the government. While the abuse of the fund from another sources is not cause the loss to the government but to the PTN BHPP in which the accountability determined in the statutes of PTN BHPP.

This research ask the government to prepare the implementation regulation of Act of BHP specially about the financial management either from the government budget or from the public and the investment of PTN BHPP) and the regulation about the state capital participation in PTN BHPP in which all of organ of PTN BHPP and collecte student can support the implementation of this act.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala berkat dan kasihNya sehingga penulis dapat menyelesaikan studi di Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan menyelesaikan tugas akhir berupa tesis yang berjudul “Perubahan Status Perguruan Tinggi Negeri Menjadi Badan Hukum Pendidikan Pemerintah (BHPP) Ditinjau Dari Hukum Pengelolaan Keuangan Negara”.

Pada kesempatan ini penulis juga ingin menyampaikan ucapan penghargaan dan rasa terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan, bimbingan, saran dan motivasi kepada penulis dalam penyelesaian tesis ini. Ucapan terima kasih ini penulis tujukan kepada :

(9)

tercinta Boy Tulus Sitompul, M.B.A., yang pada tanggal 30 November 2009 telah menghadap Sang Khalik, abang yang penuh kasih, perhatian dan semangat yang luar biasa dalam hal pendidikan. Tesis ini tidak sempat abang baca, tapi adinda yakin abang melihat semua ini dari surga yang baka. Sejak kepergianmu, seperti hampa rasanya hidup ini, hanya iman dan taqwa yang membuat kami orangtua dan saudara-saudaramu dapat menghadapi semua ini. Bahagialah bersama Tuhan. Selamat jalan Abang tersayang. Amin. Kepada seluruh Kakak-kakakku, Dian Sitompul, S.H, Sp.N, Lucy Sitompul, S.H., Ida Sitompul, S.H., Ir. Silvya Sitompul, Dame Sitompul dan adik-adikku, Sahat Sitompul, S.H., MKN, Pahala Sitompul, S.P., M.Si., Irfan Sitompul, S.E. dan ipar-iparku, Drs. Antoni Purba, Leonardo Siahaan, S.E., S.H., MKN., Drs. Amperawan Marpaung, Marolop Simorangkir, S.E., Ak., MBA, Sri Ulina Tarigan serta semua keponakan yang telah mendoakan dan memberikan dukungan moril dan materil kepada penulis selama penulis. menjalani perkuliahan.

2. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp. A (K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan pada program studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(10)

4. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., M.H., selaku ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara atas segala perhatian dan ilmu pengetahuan yang diajarkan beliau selama penulis menjadi mahasiswa. Ilmu pengetahuan mana sangat berguna dalam penulisan tesis ini serta dalam pengembangan karir penulis di kantor.

5. Terima kasih yang sedalam-dalamnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Sunarmi, S.H., M.Hum selaku Sekretaris Program Studi Magister Ilmu Hukum juga sebagai Ketua Komisi Pembimbing, dan Dr. Mahmul Siregar, S.H., M. Hum dan Dr.T. Keizerina Devi A, S.H., C.N., M. Hum selaku Anggota Komisi Pembimbing yang dengan penuh perhatian telah memberikan bimbingan, arahan, petunjuk, ide, motivasi dan saran serta kritik yang konstruktif untuk memperoleh hasil yang terbaik dalam penulisan tesis ini.

6. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H., dan Syafruddin S. Hasibuan, S.H., M.H., DFM, selaku dosen penguji yang telah banyak memberi masukan dan arahan kepada penulis guna kesempurnaan tesis ini.

7. Para Guru Besar dan segenap Civitas Akademika Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu pengetahuan dan membantu di dalam perkuliahan hingga penulis dapat menyelesaikan studi tepat pada waktunya.

(11)

Tampubolon, yang telah melalui 3 semester perkuliahan yang sarat dengan kenangan indah. Semoga persahabatan ini abadi selamanya.

9. Seluruh staf sekretariat Program Studi magister Ilmu Hukum, Fika, Juli, Fitri, Bu Niar, Bu Ganti, Udin, Hendra, dan Herman yang selalu melayani dengan senyum dan ikhlas tanpa kenal lelah selama penulis kuliah.

10. Sulis, pengasuh anakku yang dengan ketelatenannya mengurus Rachel sehingga penulis dapat menyelesaikan kuliah dan penulisan tesis ini dengan pikiran tenang serta semua pihak yang namanya tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan dukungan moril untuk penyelesaian tesis ini.

Penulis menyadari bahwa tesis ini jauh dari sempurna, tapi kiranya dapat menjadi setitik air dalam samudera ilmu pengetahuan, menjadi sesuatu yang bermanfaat dalam menambah wawasan dan pengetahuan bagi pembacanya. Untuk itu segala saran dan kritik yang baik dan bersifat membangun diterima dengan senang hati demi perbaikan dan penyempurnaan tesis ini.

Medan, 03 Februari 2010

(12)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Mercy Monika R. Sitompul Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 24 Oktober 1971 Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Kristen Protestan

Pekerjaan : PNS pada KPPN Medan II Ditjen PBN Depkeu Pendidikan : -SD St. Antonius V Medan (Lulus Tahun 1984)

-SMP Tri Sakti Medan (Lulus tahun 1987) -SMA N. IV Medan (Lulus Tahun 1990) -Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (Lulus Tahun 1994)

-Program Spesialisasi Kenotariatan USU (Lulus Tahun 1998)

(13)

DAFTAR ISI

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional... 18

1. Kerangka Teori ... 18

BAB II : STATUS PTN DI INDONESIA SETELAH BERLAKUNYA UU BHP ... 33

A. Berbagai Status PTN di Indonesia Sebelum Berlakunya UU BHP... 33

1. PTN Berstatus UPT Dari Dirjen Dikti ... 33

2. PTN Berstatus BHMN ... 35

(14)

B. Status PTN Setelah Berlakunya UU BHP... 56

1. Tanggapan Berbagai Pihak Atas RUU BHP Khususnya Mengenai PTN ... 57

2. Mekanisme Perubahan PTN dan PTN BHMN Menjadi PTN-BHPP... 74

BAB III : PENGATURAN PENDANAAN PTN BHPP... 80

A. Pengaturan Umum ... 80

1. UUD 1945 ... 80

2. UU Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara... 82

3. UU Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara... 83

B. Pengaturan Khusus ... 84

1. UU Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional... 84

2. PP Nomor 48 Tahun 2008 Tentang Pendanaan Pemerintah ... 87

3. UU Nomor 9 Tahun 2009 Tentang Badan Hukum Pendidikan... 95

BAB IV : SISTEM PENGELOLAAN KEUANGAN PTN-BHPP DITINJAU DARI HUKUM PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA ... 104

A. Pengelolaan Keuangan PTN BHPP Terhadap Dana Yang Bersumber Dari Pemerintah ... 104

1. Laporan Keuangan ... 106

2. Rekonsiliasi Data ... 112

3. Pengadaan Barang Dan Jasa Pada PTN BHPP... 114

B. Pengelolaan Keuangan PTN BHPP Terhadap Dana Yang Tidak Bersumber Dari Pemerintah ... 117

(15)

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 125

A. Kesimpulan... 125

B. Saran ... 131

(16)

ABSTRAK

UU Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) merupakan amanah dari pasal 53 UU Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Dasar (UU Sisdiknas) yang menyebutkan penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.Ini berarti semua Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang ada saat ini harus mengubah bentuk dan menyesuaikan tata kelolanya sebagai Badan Hukum Pendidikan Pemerintah (BHPP) dalam waktu paling lama 3 (tahun) untuk PTN ex Badan Hukum Milik Negara (BHMN), 4 (empat) tahun untuk PTN ex Unit Pelaksanaaan Teknis (UPT) Pemerintah dan PTN berstatus Badan Layanan Umum (BLU). Perubahan status tersebut telah menimbulkan banyak reaksi, ada yang setuju dan ada yang menolak. Pihak yang setuju umumnya dari kalangan pemerintah dan pimpinan PTN dengan alasan bahwa status BHPP ini akan memberi otonomi dan kemandirian yang lebih luas kepada PTN agar mampu berkembang menuju world class univerity. Sedangkan yang tidak setuju sebagian besar adalah kalangan mahasiswa khawatir akan semakin mahalnya pendidikan tinggi di negeri ini karena dengan UU BHP ini PTN-BHPP mempunyai otonomi yang luas sehingga PTN-BHPP bebas menentukan besaran biaya kuliah atas ‘dalih’ membiayai biaya operasionalnya.

Penelitian terhadap peralihan status PTN menjadi BHPP ini dilakukan dengam menggunakan metode penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif. Bahan-bahan hukum yang dikumpulkan dengan teknik studi pustaka (library research) dianalisis dengan menggunakan metode analisis normatif kualitatif dengan mengacu pada kerangka teoritis yang relevan.

(17)

pengadaan barang dan jasa yang menggunakan dana APBN tunduk pada ketentuan Keppres 80 Tahun 2003 dan pengadaan barang dan jasa yang menggunakan dana PTN-BHPP tunduk pada ketentuan AD/ART PTN-PTN-BHPP. Wewenang audit oleh BPK hanya atas dana yang berasal dari APBN, sehingga hanya penyalahgunaan terhadap penggunaan dana APBN saja yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan merugikan negara. Sedangkan jika terjadi penyalahgunaan dana yang bukan berasal dari APBN maka itu bukanlah perbuatan merugikan negara, melainkan merugikan PTN BHPP, yang mekanisme pertanggungjawabannya diatur dalam AD/ART PTN BHPP tersebut.

Penelitian ini menyarankan agar pemerintah segera membuat peraturan pelaksana dari UU BHP terutama yang menyangkut tata cara pengelolaan keuangannya, baik yang berasal dari pemerintah maupun dari masyarakat serta investasi yang dilakukan oleh PTN BHPP, serta pengaturan mengenai penyertaan modal negara dalam PTN BHPP sehingga segenap organ PTN BHPP dan mahasiswa sebagai peserta didik dapat saling mendukung dalam pelaksanaan UU ini.

(18)

ABSTRACT

The Act No. 9 of 2009 concerning to Educational Legal Entity (UU BHP) is a mandat of Article 53 of Act No. 20 of 2003 concerning to Basic Education System (UU Sisdiknas) said that institution and/or formal educational unit established by government or society must be in an educational corporated body. It means that all of the State Owned Higher University (PTN) must change its form and adjust its management as a government educational Legal Entity (BHPP) in not more than 3 (three) years for PTN as former of State Onwed Legal Entity (BHMN), 4 (four) years for PTN as former of Government Technical Organization Unit (UPT) and PTN in Public Service Organization Board (BLU). The change of status cause any reaction either pro or contra. The pro side are government and the management of PTN in the reason that status of BHPP will provide the PTN with widest autonomy and self sufficiency to be a world class university. While the contra side are students who fear the higher educational fee because based on this Act of BHP, PTN-BHPP has a widest autonomy in which PTN-BHPP can determine the educational fee in the reason of the operational cost.

The research on change of status of PTN to be BHPP was conducted by descriptive normative law research method. The corporate bodies data were collected by library research and analyzed by qualitative normative analysis method refers to the relevant theoretical study.

(19)

means only the abuse of the government budget that categorized cause the loss to the government. While the abuse of the fund from another sources is not cause the loss to the government but to the PTN BHPP in which the accountability determined in the statutes of PTN BHPP.

This research ask the government to prepare the implementation regulation of Act of BHP specially about the financial management either from the government budget or from the public and the investment of PTN BHPP) and the regulation about the state capital participation in PTN BHPP in which all of organ of PTN BHPP and collecte student can support the implementation of this act.

(20)

1

A. Latar Belakang

Pendidikan merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pendidikan merupakan suatu proses menghasilkan manusia yang cerdas dan berkualitas. Melalui pendidikan manusia dapat mengembangkan dan memajukan potensi dirinya menjadi manusia yang mempunyai kemampuan untuk dapat menghadapi dan bertahan di era globalisasi yang menuntut semua bidang kehidupan untuk berkompetitif dan mempunyai keahlian. Untuk mewujudkan hal yang demikian itu perlu dilakukan berbagai pembenahan dan pembenahan yang paling mendasar adalah pembenahan sistem pendidikan nasional.

Kemajuan suatu negara sangat bergantung pada kemajuan pendidikan rakyatnya. Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang dan berpenduduk lebih kurang 220 juta jiwa1, di bidang pendidikan dan teknologi masih jauh ketinggalan dari negara-negara Asia lainnya. Karena itu issue mengenai pendidikan tidak akan pernah berhenti menjadi topik yang selalu hangat untuk dibicarakan, mengingat sampai saat ini rakyat Indonesia belum bebas dari buta aksara. Menurut data stastik yang dirilis Tempo tanggal 8 September 2008 ada 10,16 juta (6,22%) penduduk

1

(21)

Indonesia yang berusia 15 tahun ke atas buta aksara.2 Ini menunjukkan betapa sulit dan komplitnya permasalahan pendidikan di Indonesia. Hal ini juga sangat disadari oleh founding father (pendiri negara). Terbukti dalam alinea IV Pembukaan UUD 1945 secara eksplisit dicantumkan salah satu tujuan negara Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Lebih lanjut ditegaskan dalam Pasal 31 UUD 1945 sebagai berikut:3

1. Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan;

2. Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya;

3. Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kahidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang;

4. Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional;

5. Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.

2

http://www.tempointeraktif.com/hg/topic/masalah/1474/, diakses tanggal 21 Maret 2009.

3

(22)

Pasal ini secara tegas mengatur agar negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% atau 1/5 dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Hal ini menunjukkan ”pembenahan” di bidang pendidikan membutuhkan dana yang sangat besar dan untuk itu pemerintah harus sungguh-sungguh dan bertanggung jawab dalam memenuhi amanat Pasal 31 UUD 1945,4 karena jika tidak terpenuhi pemerintah dapat dikatakan melanggar konstitusi. Lebih lanjut juga ditegaskan dalam Pasal ini tugas mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional adalah tugas dan tanggung jawab negara atau pemerintah Indonesia. Tentu saja pemerintah tidak mungkin berjalan sendiri dalam mengemban amanat UUD 1945. Seluruh komponen masyarakat juga wajib turut serta dan bahu membahu mewujudkan amanat luhur ini.

Sebagai wujud dari tanggung jawab tersebut, pemerintah telah mendirikan berbagai tingkat sekolah mulai dari pendidikan dasar, menengah sampai pendidikan tinggi. Demikian halnya lembaga masyarakat/swasta juga banyak yang telah mendirikan sekolah/pendidikan sebagai wujud kontribusinya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Tentu saja pemerintah tetap bertindak sebagai leader (pemimpin) dan regulator (pembuat kebijakan) agar sistem pendidikan nasional kuat dan berwibawa untuk memberdayakan Warga Negara Indonesia menjadi manusia yang

4

(23)

berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan jaman yang selalu berubah.5

Untuk itu berbagai peraturan yang mengatur pendidikan telah diterbitkan, seperti: Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas), Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 86/PMK.02/2009 tentang Alokasi Anggaran Belanja Fungsi Pendidikan dalam APBN dan yang terbaru Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP). Sesuai dengan lingkup pembahasan, yang dibahas dalam tulisan ini adalah mengenai perguruan tinggi khususnya Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Di dalam UU BHP PTN disebut sebagai Badan Hukum Pendidikan Pemerintah (BHPP).

Lahirnya Undang-Undang BHP ini telah menimbulkan banyak reaksi dari berbagai pihak, baik yang setuju maupun yang tidak setuju tentunya dengan argumentasinya masing-masing. Pihak yang setuju umumnya berasal dari kalangan pemerintah, seperti Menteri Pendidikan Nasional Mendiknas), Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) serta pimpinan PTN sedangkan yang tidak setuju sebagian besar adalah kalangan mahasiswa dari berbagai PTN. Menurut Dirjen Dikti

5

(24)

Depdiknas, tujuan keberadaan UU BHP yang paling besar adalah memberi otonomi yang lebih luas kepada satuan pendidikan khususnya PTN. 6

Kalau selama ini PTN hanya sebagai perpanjangan tangan dari Departemen Pendidikan Nasional yaitu sebagai Unit Pelaksanaan Teknis (UPT) Pemerintah, maka sulit bagi PTN itu untuk maju.7 Menurut Dirjen Dikti hal ini disebabkan PTN terkungkung dengan model kerja birokrasi, di mana untuk membeli kebutuhan PTN yang paling sederhana sekalipun seperti kertas yang menentukan harus Bappenas (Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional) dan tidak bisa dalam bentuk blocgrant (hibah). Kalau mendadak kebutuhan berubah karena dinamika PTN, revisinya berlarut-larut sampai ke pusat.8 Mengingat Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) dialokasikan untuk 1 (satu) tahun, dalam pelaksanaannya banyak sekali kebutuhan riel PTN yang ternyata berbeda dari yang dituangkan dalam DIPA sehingga memerlukan revisi. Revisi ini sendiri berlarut-larut dan memakan waktu sedangkan kebutuhan PTN sangat mendesak untuk tetap menjaga kelancaran proses belajar mengajar. 9

6

BHP: Paradigma Baru atau Privatisasi Pendidikan?,

http://www.suarapembaruan.com/News Diakses terakhir tanggal 28 April 2009.

7

FH UGM, ”Rancangan UU Badan Hukum Pendidikan”, Monday, 20 November 2006,

http://www.hukum.ugm.ac.id., diakses terakhir tanggal 27 April 2009.

8

”Penyelenggara Pendidikan : BHP, Undang-undang yang ’Kebablasan’, Senin, 9 Februari 2009, http://www.kompas.org., diakses terakhir tanggal 27 April 2009.

9

(25)

Penghasilan PTN baik dari uang sekolah, uang pendaftaran, penghasilan dari poliklinik, laboratorium dan penghasilan sah lainnya juga selama ini menimbulkan permasalahan apakah termasuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang harus disetorkan ke kas negara? Hal ini menjadi masalah yang sangat krusial bagi pihak pengelola PTN karena walaupun penghasilan PTN yang disetorkan ke kas negara tetap dapat dipergunakan kembali oleh PTN yang berkenaan, namun prosesnya harus melalui mekanisme APBN yang tentu membutuhkan waktu. 10

Dengan adanya ketegasan dalam Pasal 38 UU BHP bahwa semua hasil kegiatan BHPP dan yang diperoleh dari penggunaan kekayaan negara yang telah dipisahkan sebagai kekayaan BHPP tidak termasuk PNBP, telah memberikan kelegaan bagi pimpinan PTN-BHPP yang selama ini selalu dihadapkan pada dilema antara kepentingan operasional PTN di satu sisi dan di sisi lain kewajiban setor menurut peraturan perundangan yang berkenaan dengan PNBP.11

Sejumlah argumentasi positif seperti konsep BHPP akan mewujudkan good university governance (sistem, bentuk, model universitas yang baik) di mana PTN

berbentuk BHPP akan lebih profesional dengan mengedepankan prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas. Dengan UU BHP ini PTN-BHPP akan semakin diarahkan untuk menjadi institusi yang mandiri, baik secara pengelolaan administrasi,

Direktorat Jenderal Anggaran Jakarta). Bisa dibayangkan apabila revisi itu dilakukan untuk membiayai kebutuhan PTN yang mendesak, padahal revisi yang diajukan ternyata merupakan kewenangan Kantor Pusat, tentu akan memakan waktu.

10

Amri Rasyidin, Aspek Pengelolaan Keuangan Pada Perguruan Tinggi Negeri yang berstatus Badan hukum Pendidikan (BHP), Blog, 13 April 2009, 09:01, hal. 3.

11

(26)

kegiatan akademik, finansial maupun pengontrolan kualitas agar dapat bertahan dan memberikan kualitas terbaiknya dengan memanfaatkan segala sumber daya yang ada. Bahkan argumentasi yang sangat positif disampaikan oleh Herry Achmadi dari Komisi IX DPR-RI bahwa dirinya memberikan jaminan untuk mahasiswa miskin yang potensi biaya kuliah murah, sedangkan untuk mahasiswa kaya tentu harus pengertian, ini juga untuk keadilan.12 Khusus bagi anak-anak miskin yang potensial, Dirjen Dikti memastikan dengan UU-BHP ini, bahwa anak-anak miskin yang potensial itu akan lebih terjamin karena 20% dari mahasiswa sebuah PT-BHP wajib diberikan beasiswa.13

Sedangkan argumentasi dari pihak yang tidak setuju umumnya didasari rasa khawatir akan semakin mahalnya pendidikan tinggi di negeri ini karena dengan UU BHP ini PTN-BHPP mempunyai otonomi yang luas sehingga PTN-BHPP bebas menentukan besaran biaya kuliah dan atas ”dalih” membiayai biaya operasionalnya

12

”SosialisasiUndang-Undang BHP”, http://www.dikti.go.id, diakses tanggal 9 Juni 2009.

13

(27)

PTN-BHPP dapat melakukan investasi dalam bentuk portofolio,14 juga memungkinkan PTN-BHPP dinyatakan pailit,15 hal ini juga membuka peluang bagi investor untuk ”mengendalikan” PTN-BHPP tersebut sesuai dengan ideologinya sehingga PTN-BHPP akan cenderung bersikap pragmatis terhadap investornya karena ketergantungannya dari segi modal.16

UU BHP juga tidak ada membuat larangan investor asing menanamkan modal pada PTN-BHPP, sehingga dimungkinkan bagi PTN-BHPP ”merangkul” investor asing untuk menanamkan modalnya di PTN-BHPP dengan kepemilikan modal maksimal 49%.17 Hal ini dianggap sebagai liberalisasi dan komersialisai pendidikan karena investor yang menanamkan modalnya pada PTN-BHPP merasa berkepentingan agar dana yang yang mereka investasikan pada PTN-BHPP akan menghasilkan keuntungan.18 Padahal dalam Pasal 4 (1) UU BHP ditegaskan bahwa pengelolaan dana secara mandiri oleh BHP didasarkan pada prinsip nirlaba, yaitu prinsip kegiatan yang tujuan utamanya tidak mencari laba, sehingga seluruh sisa hasil usaha dari kegiatan BHP harus ditanamkan kembali ke dalam BHP untuk meningkatkan kapasitas dan/atau mutu layanan pendidikan.

14

Kajian Strategis Kabinet keluarga Mahasiswa ITB, ”BHP : Skenario Liberalisasi Pendidikan Negeri Ini”, 2008/2009, hal. 3, dan bandingkan dengan Pasal 42 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan.

15

Pasal 57 huruf b, Pasal 58 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan.

16

Kajian Strategis Kabinet keluarga Mahasiswa ITB, ”BHP : Skenario Liberalisasi Pendidikan Negeri Ini”, 2008/2009, hal. 3, dan bandingkan dengan Pasal 42 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan.

17

Lampiran II Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 2007 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal

18

(28)

Prinsip nirlaba dalam hal ini bukan berarti BHP tidak boleh mencari untung, namun segala keuntungan BHP bukan merupakan dividen sebagaimana halnya dalam Perseroan Terbatas, melainkan harus ditanamkan kembali ke dalam BHP. Hal ini diatur dalam Pasal 38 ayat (3) UU BHP menyatakan, sisa hasil kegiatan atau bentuk lain kenaikan aktiva bersih badan hukum pendidikan wajib ditanamkan kembali ke dalam badan hukum pendidikan dan digunakan sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (6) paling lambat dalam waktu 4 (empat) tahun. Selanjutnya, Pasal 38 ayat (4) menyatakan, apabila ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dipenuhi, sisa hasil kegiatan atau bentuk lain kenaikan aktiva bersih badan hukum pendidikan menjadi objek pajak penghasilan. Pasal 37 ayat (6) menyatakan, kekayaan dan pendapatan badan hukum pendidikan digunakan secara langsung atau tidak langsung untuk: (a) kepentingan peserta didik dalam proses pembelajaran; (b) pelaksanaan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat dalam hal badan hukum pendidikan memiliki satuan pendidikan tinggi; (c) peningkatan pelayanan pendidikan; dan (d) penggunaan lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

(29)

terhadap penyelenggaraan sistem pendidikan yang dapat diterjemahkan sebagai liberalisasi atau komersialisasi pendidikan.19

Pada saat diundangkannya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan beberapa PTN sedang dalam masa transisi berstatus Badan Hukum Milik Negara (BHMN) harus atau sedang menyesuaikan diri dengan melakukan berbagai pembenahan pengelolaan keuangannya agar tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada. Bagi PTN yang sudah berstatus BHMN mungkin tidak terlalu sulit untuk ’menjelma’ menjadi BHPP dibandingkan PTN lainnya di Indonesia yang masih 100% merupakan UPT dari Ditjen Dikti. Sebagai UPT dari Ditjen Dikti PTN tidak boleh menentukan sendiri dalam pembukaan jenis kelasnya, apakah reguler, paralel dan mandiri sebagaimana halnya dengan PTN BHMN. Karena semua pengeluaran PTN tersebut dibiayai oleh APBN sehingga apapun kegiatan yang dilakukan oleh PTN yang berkaitan dengan anggaran harus atas seijin Menteri teknisnya dan Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara. Semua penerimaan PTN tersebut harus disetorkan ke kas negara sebagai PNBP. Dapat dibayangkan masa transisi 4 tahun yang disyaratkan dalam Pasal 65 UU BHP akan sangat berat bagi PTN.

Ketika masa 4 tahun terlewati maka pemerintah hanya akan menanggung dana dengan mekanisme BHPP (Pasal 40 angka 5 UU BHP). Bagi PTN-BHMN sudah

19

(30)

lebih terbiasa dengan nuansa Badan Hukum, hanya tinggal melakukan penyesuaian dan pembenahan di sana-sini agar sesuai dengan ketentuan UU BHP.

Pengelola PTN BHPP yang profesional dan berkualitas, mempunyai sumber dana yang kuat dalam menjalankan visi dan misinya karena Pemerintah bersama-sama dengan BHPP menanggung paling sedikit 1/2 dari biaya operasional BHPP20 sehingga BHPP dapat berperan sebagai kekuatan moral (moral force), sehingga intervensi penguasa seperti pada masa orde baru yang terlalu mengatur dan menekan PTN dapat dihindarkan.

Sumber dana PTN di masa sebelum menjadi BHPP hanyalah mengandalkan APBN (dahulu disebut sebagai Daftar Isian Kegiatan untuk Belanja Rutin dan Daftar Isian Proyek untuk Belanja Pembangunan, sekarang disebut Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran untuk Belanja Rutin dan Pembangunan), sebagaimana halnya dengan lembaga yang dibiayai oleh APBN, maka pegawainya adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan sistem penggajiannya pun menurut sistem penggajian Pegawai Negeri Sipil secara umum.

Staf pengajar (dosen) di PTN digaji berdasarkan sistem penggajian Pegawai Negeri Sipil yang sudah diketahui gajinya jauh dari memadai.21 Untuk para staf pengajar akan mencari penghasilan tambahan dengan mengajar di berbagai tempat sebanyak mungkin demi mengejar honor sehingga berkesan kurang memperhatikan kualitas. Hampir jarang dijumpai staf pengajar/dosen dapat dengan tenang mengajar

20

Postioning Paper Pernyataan Sikap KM ITB Terhadap RUU BHP, ”Gaya Baru Otokrasi Pendidikan Indonesia” http//www.km.itb.ac.id./web/diskusi/?cat=5, diakses tanggal, 26 April 2009.

21

(31)

di suatu PTN dan senantiasa melakukan penelitian ilmiah atau membuat karya tulis dalam bentuk buku-buku serta dalam bentuk karya ilmiah lainnya. Walaupun honor/gaji bukanlah segalanya bagi staf pengajar/dosen, namun biaya hidup yang semakin tinggi, keinginan untuk memperoleh kesejahteraan dan untuk menjadikan hidup yang nyaman semuanya memerlukan uang.

Anggaran yang tersedia untuk sarana dan prasarana yang berasal dari APBN dirasa sudah sangat jauh dari persentase kelayakan. Pagu DIPA untuk USU tahun 2009 adalah sebesar Rp240.294.308.000 (dua ratus empat puluh milyar dua ratus sembilan puluh empat juta tiga ratus delapan ribu rupiah).22 Dana tersebut adalah untuk 1 tahun, terdiri dari belanja pegawai (gaji dan tunjangan PNS, honorarium),

belanja barang (pemeliharaan gedung, perawatan kendaraan bermotor, pemeliharaan

alat dan mesin, belanja operasional perkantoran, seperti ATK, langganan daya dan jasa, biaya surat menyurat dan belanja non operasional perkantoran, seperti perjalanan dinas), belanja modal (pembangunan gedung dan sarana lingkungan, pengadaan kendaraan bermotor). Bisa dibayangkan betapa rendahnya jumlah tersebut jika dibandingkan dengan kebutuhan riel PTN selama 1 tahun. Sebagai perbandingan, menurut Wakil Rektor Senior Bidang Akademik Institut Teknologi Bandung, Adang Surachman, kebutuhan operasional ITB untuk menyelenggarakan kuliah,

22

(32)

pemeliharaan kampus, membayar gaji dosen dan staf mencapai Rp 450 miliar hingga Rp 500 miliar per tahunnya.23

Menurut Rektor USU, Chairuddin P.Lubis bahwa untuk memajukkan sebuah perguruan tinggi, tidak hanya harus memiliki kemampuan secara mandiri dalam mengupayakan dana untuk menjalankannya. Tapi juga sangat bergantung pada kesiapan dan kemampuannya dalam beberapa hal, seperti pengadaan sumber daya manusia yang berkualitas, bertanggung jawab dan bermoral. Kesiapan peserta didik, sistem pengelolaan dan teknologi informasi, serta fasilitas dan sarana pendidikan yang tersedia. Hal-hal tersebut yang harus disediakan sebuah perguruan tinggi untuk dapat maju dan berkembang.24 Sejalan dengan pendapat tersebut, untuk menjadi PTN yang modern dan berwibawa harus mampu mengikuti perkembangan teknologi modern yang umumnya sudah menggunakan hight technology (teknologi tinggi).

Peralihan status PTN menjadi BHPP tentu menjadikan PTN akan mengalami perubahan terutama dalam hal pengelolaan keuangannya.25 Sebelum menjadi BHPP seluruh pendanaan dalam arti pengalokasian dan pengelolaan keuangannya 100% diatur negara, mulai dari gaji para pegawai baik yang PNS maupun honor, biaya operasional PTN seluruhnya mulai dari hal yang paling kecil (seperti alat tulis, alat-alat kebersihan dan lain-lain) sampai yang paling besar (seperti pengadaan alat-alat-alat-alat teknologi tinggi, pembangunan gedung) semua nilai nominalnya dibiayai oleh APBN,

23

Postioning Paper Pernyataan Sikap KM ITB Terhadap RUU BHP, ”Gaya Baru Otokrasi Pendidikan Indonesia”, http/www.km.itb.ac.id./web/diskusi/?cat=5, diakses tanggal, 26 April 2009.

24

uang-kuliah-usu-termurah-di indonesia, www.beritasore.com/2009/II/18,

25

(33)

tetapi tentunya dengan segala keterbatasan dana sehingga tidak semua kebutuhan PTN dapat dipenuhi. Demikian halnya dengan seluruh penerimaan PTN seperti uang kuliah, uang pendaftaran, penghasilan kegiatan usaha seperti pelayanan kesehatan, laboratorium, sewa lahan PTN dan penerimaaan lainnya wajib disetor ke kas negara sebagai PNBP.

Namun setelah menjadi BHPP walaupun masih mendapat bantuan dana dari pemerintah segala penerimaan PTN-BHPP tidak termasuk PNBP sehingga tidak lagi disetor ke kas negara dan penggunaannya diserahkan kepada PTN-BHPP berkenaan. Hal ini diatur secara tegas dalam Pasal 38 UU BHP yang menyebutkan bahwa semua pendapatan dan sisa hasil kegiatan BHPP yang diperoleh dari penggunaan kekayaan negara yang telah dipisahkan sebagai kekayaan BHPP, tidak termasuk PNBP demikian juga dengan semua bentuk pendapatan BHPP yang diperoleh dari penggunaan tanah negara yang telah diserahkan penggunaannya kepada BHPP tidak termasuk PNBP.

(34)

PTN-BHPP dalam mengelola keuangan institusinya tidak lagi hanya mengandalkan APBN dalam menyelenggarakan pendidikan, melainkan dapat berusaha mencari sumber-sumber pendanaan baru dengan cara membuka berbagai kelas seperti kelas reguler, kelas paralel, kelas mandiri, kelas eksekutif, kelas khusus, kelas ekstension, kelas internasional dan melakukan kerjasama dengan pihak lain, menanamkan investasi dalam bentuk portofolio, mendirikan perusahaan, yang kesemuanya dengan memperhatikan peraturan perundangan yang ada dengan tetap mengedepankan kualitas tanpa melupakan tugas luhur dan tri darma PTN yaitu pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat.

Sehubungan dengan uraian di atas dan untuk mengetahui serta mendalami proses tata cara pengelolaan keuangan PTN sebelum dan sesudah menjadi BHPP, maka hal itulah yang menarik perhatian penulis untuk melakukan penelitian dengan judul ”Perubahan Status Hukum Perguruan Tinggi Negeri Menjadi Badan Hukum Pendidikan Pemerintah Ditinjau dari Hukum Pengelolaan Keuangan Negara” di dalam penelitian ini.

B. Perumusan Masalah

Permasalahan di dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana status PTN di Indonesia setelah lahirnya UU BHP? 2. Bagaimana pengaturan pendanaan PTN-BHPP?

(35)

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk megetahui dan memperdalam pengetahuan serta pemahaman yang benar tentang masalah pengelolaan keuangan dari peralihan status badan hukum PTN menjadi PTN-BHPP serta untuk mendapatkan perumusan yang lebih rinci seperti:

1. Mengetahui dan memperdalam status PTN di Indonesia setelah lahirnya UU BHP;

2. Mengetahui dan memperdalam pengaturan pendanaan PTN-BHPP;

3. Mengetahui dan memperdalam sistem pengelolaan keuangan PTN-BHPP ditinjau dari hukum pengelolaan keuangan negara.

D. Manfaat Penelitian

Permasalahan yang diangkat di dalam penelitian ini akan dihubungkan dengan peraturan-perundang-undangan yang ada khususnya UU BHP, UU Sisdiknas, UU tentang Guru dan Dosen, UU Keuangan Negara, UU Perbendaharaan Negara, UU tentang Badan Pengawas Keuangan (selanjutnya disebut UU BPK), UU PNBP dan segala peraturan yang berhubungan dengan permasalahan yang dimaksud, sehingga diharapkan dapat membawa sejumlah manfaat yang berguna secara teoritis dan praktis. Sehubungan dengan itu, penelitian ini bermanfaat untuk:

(36)

dapat menjadi bahan perbandingan dan referensi bagi peneliti selanjutnya untuk pengembangan keilmuan khususnya Ilmu Hukum Ekonomi serta dapat memperkaya kepustakaan tentang peralihan status PTN menjadi BHPP;

2. Sudut pandang praktis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi pemikiran bagi kalangan praktisi, legislator dan aparat penegak hukum tentang pengelolaan keuangan akibat peralihan status PTN menjadi BHPP secara lebih efektif.

E. Keaslian Penelitian

Pemeriksaan yang dilakukan peneliti di Perpustakaan Universitas Sumatera Utara dan di Perpustakaan Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, tentang ”Perubahan Status Perguruan Tinggi Negeri Menjadi Badan Hukum Pendidikan Pemerintah Ditinjau dari Sudut Pengelolaan Keuangan Negara”, sepanjang pengetahuan penulis, belum ada ditemukan judul penelitian yang sama dengan judul tesis ini. Maka, penelitian ini dapat dikatakan masih baru dan asli serta jauh dari unsur plagiat yang bertentangan dengan asas-asas keilmuan yang jujur, rasional, objektif dan terbuka.

(37)

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional

1. Kerangka Teori

Menurut Neuman, teori adalah suatu sistem yang tersusun oleh berbagai abstraksi yang berinterkoneksi satu sama lainnya atau berbagai ide yang memadatkan dan mengorganisasi pengetahuan tentang dunia. Ia adalah cara yang ringkas untuk untuk berfikir tentang dunia itu bekerja.26 Sarantakos berpendapat bahwa teori adalah kumpulan prinsip-prinsip (principles) yang disusun secara sistematis. Prinsip tersebut berusaha berusaha menjelaskan hubungan antara fenomena-fenomena yang ada.27

Kerangka teori adalah alur pemikiran atau butir-butir pendapat mengenai pendapat, teori, tesisi, mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan penulis di bidang hukum. 28 Kerangka teori untuk menganalisis pengelolaan keuangan PTN yang berstatus BHPP adalah menggunakan teori keuangan negara dan teori badan hukum.

Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang didapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.29 Keuangan Negara, meliputi :

26

H.R. Otje Salman S dan Arton F Samso, Teori Hukum Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka kembali, (Bandung : P.T. Refika Aditama Cetakan Kedua, Desember 2005), hal. 22.

27

Mamduh M. Hanafi, Manajemen, (Yokyakarta : Unit Penertiban dan Percetakan Akademi Manajemen Perusahaan YKPN, 1997), hal. 30.

28

M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung : C.V. Mandar Maju, 1994), hal. 27.

29

(38)

a. hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang dan melakukan pinjaman;

b. kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga;

c. penerimaan negara; d. pengeluaran negara; e. penerimaan daerah; f. pengeluaran daerah;

g. kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah;

h. kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum;

i. kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah.30

Konsep keuangan negara menurut Pasal 2 UU Nomor 17 Tahun 2003 (selanjutnya disebut UU KN) menandakan negara memberikan proteksi yang berlebihan (overprotected) dan peraturan yang berlebihan (overregulated) dalam menata sektor keuangan publik. Keuangan negara adalah keuangan publik, sedangkan konsep hukum keuangan publik mengandung prinsip kehati-hatian yang luar biasa

30

(39)

dalam menentukan pengelolaan dan tanggung jawabnya terutama agar (1) negara tidak melalaikan kewajibannya, (2) warga masyarakat tidak dirugikan haknya, serta (3) badan hukum tidak diingkari kedudukannya.31

Sejak abad ke-19, kepunyaan badan hukum memiliki ketegasan batasan apakah termasuk kepunyaan publik (domain public) atau kepunyaan privat (domain prive). Keduanya tidak mungkin tunduk pada peraturan perundang-undangan yang sama, baik dalam tata kelola, maupun dalam tata tanggung jawabnya.32 Kalau merujuk kepada pengertian keuangan negara menurut UU KN, perluasan pengertian keuangan negara telah mengenyampingkan syarat sebagai badan hukum, jika keuangan perusahaan negara/daerah dinyatakan sebagai keuangan negara.33

Menurut Arifin P. Soeria Atmadja definisi keuangan negara dapat dipahami atas tiga penafsiran, yaitu :

1. pengertian keuangan negara diartikan secara sempit, yang hanya meliputi keuangan yang bersumber pada APBN.

2. keuangan negara dalam arti luas, yang meliputi keuangan negara yang berasal dari APBN, APBD, BUMN, BUMD dan pada hakikatnya seluruh harta kekayaan negara, sebagai suatu sistem keuangan negara.

3. Apabila tujuan menafsirkan keuangan negara tersebut dimaksudkan untuk mengetahui sistem pengurusan dan pertanggungjawabannya, maka pengertian keuangan negara itu adalah sempit, selanjutnya untuk mengetahui sistem pengawasan dan pemeriksaan pertanggungjawaban, maka pengertian keuangan negara adalah dalam arti luas, yakni termasuk di dalamnya keuangan yang berada dalam APBN, APBD, BUMN/D dan pada hakekatnya seluruh kekayaan negara merupakan objek pemeriksaan dan pengawasan.34

(40)

Dari beberapa penafsiran keuangan negara di atas, jika dikaitkan dengan definisi keuangan negara menurut UU KN penafsiran ketiga yang tampak paling esensial dan dinamis dalam menjawab berbagai perkembangan hukum yang ada dalam masyarakat.35

Dalam ilmu hukum, subyek hukum (legal subject) adalah setiap pembawa atau penyandang hak dan kewajiban dalam hubungan-hubungan hukum. Subyek hukum dapat merupakan orang atau natuurlijkpersoon (menselijkpersoon) dan bukan orang (rechtspersoon). Rechtspersoon biasa disebut badan hukum yang merupakan persona ficta atau orang yang diciptakan oleh hukum sebagai persona. Pandangan demikian dianut oleh Carl von Savigny, C.W.Opzoomer, A.N.Houwing dan juga Langemeyer. Yang menyebutkan bahwa badan hukum hanyalah fiksi hukum. Oleh karena itu pendapat ini disebut teori fictie atau teori fiksi.36

Beberapa sarjana lain mendekati persoalan badan hukum dari aspek harta kekayaan yang dipisahkan tersendiri. Pandangan ini disebut teori pemisahan kekayaan dengan beberapa variasi. Teori van het ambtelijk vermogen diajarkan oleh Holder dan Binder mengembangkan pandangan bahwa badan hukum adalah badan yang mempunyai harta yang berdiri sendiri yang dimiliki pengurus harta itu karena jabatannya sebagai pengurus harta yang bersangkutan. Teori zweck vermogen ataupun doel vermogens theorie diajarkan oleh A. Brinz dan F.J. van Heyden mengembangkan pendapat bahwa badan hukum merupakan badan yang mempunyai

35

Ibid.

36

Yudhipanto, “Catatan Tentang Badan Hukum”, Maret 2009,

(41)

hak atas harta kekayaan tertentu yang dibentuk untuk tujuan melayani kepentingan tertentu. Adanya tujuan tersebut menentukan bahwa harta kekayaan dimaksud sah untuk diorganisasikan menjadi badan hukum.37

Teori propriete collective yang diajarkan oleh Marcel Planiol, menyebutkan badan hukum pada hakikatnya merupakan hak dan kewajiban para anggota bersama-sama, kekayaan badan hukum adalah kepunyaan bersama semua anggotanya tidak dapat dibagi-bagi. Setiap anggota tidak hanya menjadi pemilik sebagai pribadi untuk masing-masing bagiannya dalam satu kesatuan yang tidak dapat dibagi itu, tetapi juga pemilik bersama untuk keseluruhan harta kekayaan, sehingga masing-masing pribadi anggota adalah pemilik harta kekayaan yang terorganisasikan dalam badan hukum itu.38

Teori organ yang diajarkan Otto van Gierke memandang badan hukum sebagai suatu yang nyata (realiteit) bukan fiksi, pandangan ini diikuti oleh L.C. Polano. Menurut teori organ badan hukum adalah suatu organisme yang riil, yang menjelma sungguh-sungguh dalam pergaulan hukum, yang dapat membentuk kemauan sendiri dengan perantaraan alat-alat yang ada padanya (pengurus, anggota-anggotanya) seperti manusia biasa, yang mempunyai panca indera dan sebagainya.39

37

Ibid, hal.2.

38

H.Ridwan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, (Bandung : P.T. Alumni, 2004), hal. 35.

39

(42)

Semua pandangan teoritis di atas berusaha memberi pembenaran ilmiah terhadap keberadaan badan hukum sebagai subyek hukum yang sah dalam lalu lintas pergaulan hukum.

Dalam ilmu hukum ada dua jenis badan hukum dipandang dari segi kewenangan yang dimilikinya, yaitu :

1. badan hukum publik (personne morale) yang mempunyai kewenangan mengeluarkan kebijakan public;

2. badan hukum privat (personne juridique) yang tidak mempunyai kewenangan mengeluarkan kebijakan publik.40

Dalam konteks negara sebagai badan hukum publik, kedudukan hukum dan kepunyaan negara dibedakan dalam “kepunyaan privat (domain prive) dan kepunyaan publik (domain public).41

Negara sebagai badan hukum privat dapat menjelmakan sebagai salah satu pemegang saham dalam perseroan terbatas badan usaha milik negara. Hans Kelsen menyatakan negara memiliki norma yang sama berlaku bagi orang perseorangan dalam lapangan hukum privat sehingga meskipun ada negara sebagai salah satu pihak dalam urusan privat, bukan berarti penyelesaian aturannya dikecualikan dari lapangan hukum privat.42

40

Arifin P. Soeria Atmaja, Op. cit, hal.105.

41

Ibid, hal.92

42

(43)

Dalam doktrin, badan hukum (rechtspersoon) mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan subjek hukum lainnya seperti manusia (natuurlijke persoon). Seperti halnya manusia memerlukan persyaratan tertentu untuk dapat dikatakan memiliki kemampuan hukum (rechtsbevoegdheid), badan hukum juga memerlukan syarat, yaitu :

1. mempunyai kekayaan terpisah; 2. mempunyai tujuan tertentu; 3. mempunyai kepentingan tertentu; 4. mempunyai organisasi teratur.43

Melihat syarat yang harus dimiliki suatu badan hukum, PTN sebagai BHPP telah memenuhi semua unsur ataupun persyaratan tersebut. Pasal 11 ayat (1) UU BHP menyebutkan pendirian badan hukum pendidikan harus memenuhi persyaratan bahwa badan hukum pendidikan yang akan didirikan tersebut mempunyai :

a. pendiri;

b. tujuan di bidang pendidikan formal; c. struktur organisasi; dan

d. kekayaan sendiri yang terpisah dari kekayaan pendiri.

Dengan lahirnya UU BHP ini kiranya perluasan pengertian keuangan negara yang dianut dalam UU KN tidak lagi menjadi polemik dalam pengeloaan keuangan PTN-BHPP. Pasal 38 UU BHP menegaskan bahwa semua pendapatan dan sisa hasil kegiatan BHPP yang diperoleh dari penggunaan kekayaan negara yang telah

43

(44)

dipisahkan sebagai kekayaan BHPP, tidak termasuk PNBP demikian juga dengan semua bentuk pendapatan BHPP yang diperoleh dari penggunaan tanah negara yang telah diserahkan penggunaannya kepada BHPP tidak termasuk PNBP. Pasal ini demikian melegakan bagi pimpinan PTN karena permasalahan PNBP sering menjadi temuan BPK.

Selama ini dana PNBP yang berasal dari mahasiswa, harus disetorkan terlebih dahulu ke kas Negara, kemudian PTN mengajukan permintaan kembali sehingga membutuhkan waktu lama dan proses panjang. Karena kebutuhan operasional PTN yang mendesak, rektor mengambil resiko ‘masuk bui’ daripada melawan kebutuhan dosen dan mahasiswa.44 Sedangkan terhadap dana operasional PTN BHPP yang berasal dari APBN tetap mengikuti aturan yang berlaku terhadap pengelolaan keuangan negara yang bersumber dari APBN, yang akan diuraikan dalam bab pembahasan permasalahan.

2. Landasan Konsepsional

Landasan konsepsional atau konstruksi secara internal di dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Badan Hukum Pendidikan adalah badan hukum yang menyelenggarakan pendidikan formal.45

44

Amri Rasyidin, Loc. cit

45

(45)

Badan Hukum Pendidikan (BHP) terdiri dari BHPP (BHP yang didirikan oleh pemerintah), BHPPD (BHP yang didirikan oleh pemerintah daerah), BHPM (BHP yang didirikan oleh masyarakat), dan BHP Penyelenggara (yayasan, perkumpulan atau badan hukum lain yang sejenis yang telah menyelenggarakan pendidikan formal dan diakui sebagai badan hukum pendidikan)46

b. Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang didapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut;47

c. Pengelolaan Keuangan Negara adalah keseluruhan kegiatan pejabat pengelola keuangan negara sesuai dengan kedudukan dan kewenangannya yang mencakup keseluruhan kegiatan perencanaan, penguasaan, penggunaan, pengawasan dan pertanggungjawabannya;48

d. Badan Hukum Milik Negara adalah Perusahaan Negara atau Badan Usaha Milik Negara yang seluruh atau sebahagian modalnya dimiliki oleh Pemerintah Pusat yang tujuannya bersifat idiil dan nirlaba;49

46

Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan.

47

Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

48

Pasal 1 Ayat (6) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.

49

(46)

e. Badan Layanan Umum adalah instansi di lingkungan pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencarikan keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsif efisiensi dan produktifitas;50

f. Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran yang selanjutnya disebut DIPA atau dokumen lain yang dipersamakan dengan DIPA adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang dibuat oleh Menteri/Pimpinan Lembaga atau Satuan kerja (Satker) serta disahkan oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan atau Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan atas nama Menteri Keuangan dan berfungsi sebagai dasar untuk melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran negara dan pencairan dana atas atas beban APBN serta dokumen pendukung kegiatan akuntansi pemerintah;51

g. Badan Pemeriksa Keuangan adalah lembaga negara yang bertugas untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;52

50

Pasal 1 Ayat (23) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.

51

Pasal 1 Ayat (2) Peraturan Menteri Keungan Republik Indonesia Nomor: 96/PMK.06/2005 tentang Petunjuk Penyusunan, Penelaahan, Pengesahan, dan Revisi Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Tahun Anggaran 2006.

52

(47)

h. Penerimaan Negara Bukan Pajak adalah seluruh penerimaan pemerintah pusat yang tidak berasal dari penerimaan perpajakan;53

i. Perguruan Tinggi Negeri adalah perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh pemerintah, dalam hal ini Departemen yang bertanggung jawab atas pendidikan tinggi;54

j. Tanggung Jawab Keuangan Negara adalah kewajiban pemerintah dan lembaga negara lainnya untuk melaksanakan pengelolaan keuangan negara secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif dan transparan dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.55

k. Kekayaan Negara yang tidak dipisahkan adalah kekayaan negara yang ada pada Departemen/Lembaga atau Badan Hukum pemerintah yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau perolehan lainnya yang sah.56

l. Kekayaan Negara yang dipisahkan adalah kekayaan negara yang berasal dari APBN atau perolehan lainnya yang sah yang dijadikan penyertaan

(48)

modal negara pada BUMN, BUMD atau badan hukum lainnya yang dimiliki Negara atau Daerah.57

m. Penyertaan Modal Negara adalah pengalihan kepemilikan Barang Milik Negara yang semula merupakan kekayaan negara yang tidak dipisahkan menjadi kekayaan negara yang dipisahkan untuk diperhitungkan sebagai modal/saham negara pada BUMN, BUMD atau badan hukum lainnya yang dimiliki Negara atau Daerah.58

G. Metode Penelitian

Penelitian bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten.59 Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari sesuatu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan cara menganisisnya.60 Suatu metode merupakan cara kerja atau tata kerja untuk dapat memahami obyek yang menjadi sasaran dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan.61 Dengan demikian metode penelitian adalah upaya ilmiah untuk memahami dan memecahkan suatu masalah berdasarkan metode tertentu.

Soerjono Soekanto dan Sri Mumadji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tijnjauan Singkat, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2001), hal. 1.

60

Bambang Waluyo, Penelitian Hukum dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hal. 6.

61

(49)

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Sesuai dengan permasalahan dan tujuan penelitian, maka sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis, artinya bahwa penelitian ini menggambarkan, menelaah dan menjelaskan secara analitis perubahan status PTN menjadi BHPP dari sudut hukum pengelolaan keuangan negara berdasarkan asas-asas yang termuat di dalam hukum positip. Pendekatan penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, oleh karena itu dilakukan penelitian kepustakaan.

2. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsepsi teori atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dan penelitian terdahulu yang berhubungan dengan objek telaah penelitian ini yang dapat berupa peraturan Perundang-undangan, buku, tulisan ilmiah, karya-karya ilmiah, dan lain lain.

Data pokok dalam penelitian ini adalah data sekunder yang meliputi: a. Bahan hukum primer, yaitu berbagai peraturan perundangan yang

berkaitan dengan Pendidikan Tinggi, Badan Hukum Pendidikan dan Pengelolaan Keuangan Negara, dan peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait;

(50)

pertemuan ilmiah lainnya, data-data dari internet, bahkan dokumen pribadi atau pendapat dari kalangan pakar hukum yang relevan dengan objek telaahan penelitian ini;62

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, majalah dan jurnal ilmiah.63 Surat kabar dan majalah mingguan juga menjadi bahan penunjang dalam penelitian ini sepanjang memuat informasi yang relevan.

3. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan cara studi dokumen-dokumen yang relevan dengan penelitian ini di perpustakaan dan melakukan identifikasi data. Data yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan tersebut selanjutnya akan dipilah-pilah guna memperoleh Pasal-Pasal yang berisi kaedah-kaedah hukum yang kemudian dihubungkan dengan permasalahan yang sedang dihadapi dan disistematisasikan sehingga menghasilkan klasifikasi yang selaras dengan permasalahan penelitian ini. Selanjutnya data yang diperoleh tersebut akan dianalisis secara induktif kualitatif

62

Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982, hal. 24.

63

(51)

untuk sampai pada kesimpulan, sehingga pokok permasalahan yang ditelaah dalam penelitian ini akan dapat dijawab.64

4. Analisis Data

Analisis data dilakukan secara kualitatif yakni pemilihan Pasal-Pasal terpenting yang berisi kaidah-kaidah hukum yang relevan dengan sistem pengelolaan keuangan Badan Hukum Pendidikan akibat peralihan status hukumnya, kemudian membuat sistematika dari Pasal-Pasal tersebut sehingga akan menghasilkan klasifikasi tertentu sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini. Data yang dianalisis secara kualitatif akan dikemukakan dalam bentuk uraian secara sistematis pula dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data, selanjutnya semua data diseleksi dan diolah kemudian dianalisis secara deskriptif sehingga selain menggambarkan dan mengungkapkan dasar hukumnya, juga dapat memberikan solusi terhadap permasalahan yang dimaksud.

64

(52)

33

A. Berbagai Status PTN di Indonesia Sebelum Berlakunya UU BHP

1. PTN Bersatus Unit Pelaksanaan Teknis (UPT) dari Ditjen Dikti

Sebagian besar PTN di Indonesia masih berstatus UPT dari Pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti). Pengertian UPT menurut Keputusan Menteri Pendayaan Aparatur Negara Nomor 62/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Organisasi UPT di Lingkungan Departemen dan Lembaga Pemerintah Non Departemen (selanjutnya disebut Kepmenpan) adalah satuan organisasi yang yang bersifat mandiri yang melaksanakan tugas teknis operasional dan/atau tugas teknis penunjang dari organisasi induknya.

Menurut Kepmenpan ini, UPT mempunyi tugas melaksanakan kegiatan teknis operasional dan/atau kegiatan teknis penunjang dari organisasi induknya yang pada prinsipnya tidak bersifat pembinaan serta tidak berkaitan langsung dengan perumusan dan penetapan kebijakan publik.

(53)

Pemerintah. Bahkan pada Pasal 39 PP 60 Tahun 1999 tersebut diatur bahwa Rektor universitas/institut yang diselenggarakan oleh Pemerintah diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Menteri, Menteri lain atau pimpinan lembaga Pemerintah lain setelah mendapat pertimbangan senat universitas/institut yang bersangkutan.

Kedudukan PTN yang murni sebagai UPT dari Ditjen Dikti sangat jauh dari semangat otonomi yang diamanatkan dalam UU Sisdiknas. Sulit bagi PTN yang berstatus UPT dari Ditjen Dikti untuk berkembang menjadi world class university yang dapat masuk dalam jajaran universitas terkemuka dunia. Karena untuk dapat mencapai hal itu diperlukan kemandirian, otonomi dan dana yang besar. Jika PTN dalam melakukan apa saja harus atas ’ijin’ dari organisasi induknya dalam hal ini Ditjen Dikti, tentu sulit bagi PTN untuk mengembangkan diri untuk mewujudkan tujuan tersebut. Sebagai UPT dari Ditjen Dikti, PTN terkungkung dengan model kerja birokrasi, di mana dalam memenuhi kebutuhannya mulai dari yang paling sederhana seperti kertas yang menentukan harus Bappenas, sehingga kalau mendadak kebutuhan berubah karena dinamika PTN, revisinya berlarut-larut sampai ke pusat65

Sebagaimana seluruh kebutuhan PTN dibiayai dan penggunaannya secara ketat ditentukan oleh pemerintah, demikian juga segala penerimaan PTN adalah termasuk ke dalam PNBP. Dirjen Dikti, Fasli Jalal mempertegas bahwa aturan uang pendaftaran untuk seleksi masuk calon mahasiswa PTN (kecuali yang berstatus

65

(54)

BHMN) wajib masuk ke kas negara, karena bagian dari PNBP. Untuk menggunakannya, perlu meminta ke kas negara, melalui dokumen DIPA.66

Demikian halnya dengan dosen yang ada di PTN adalah PNS dan mendapat gaji sebagaimana halnya dengan PNS lainnya di Indonesia, yang sudah menjadi hal umum diketahui, jauh dari memadai. Karena itu banyak dijumpai dosen yang mengajar di berbagai tempat, jadi konsultan di berbagai lembaga, dan kegiatan ekstra lainnya untuk menambah penghasilan. Keadaan ini juga menjadi salah satu kendala bagi tujuan mewujudkan world class university. Padahal di era globalisasi di mana persaingan semakin tajam perlu meningkatkan daya saing nasional, dan untuk itu dibutuhkan PTN sebagai kekuatan moral dalam proses pembangunan masyarakat madani yang lebih demokratis, dan mampu bersaing secara global.

Saat ini sebagian besar PTN yang ada di Indonesia masih berstatus UPT pemerintah. Dengan lahirnya UU BHP, PTN yang berstatus UPT diberi waktu paling lambat 4 (empat) tahun harus sudah berbentuk BHPP.

2. PTN Berstatus BHMN

Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri Sebagai Badan Hukum menjadi tonggak baru dalam sejarah otonomi kampus. Sebagai langkah awal, pada tahun 2000 pemerintah menetapkan status BHMN pada 4 PTN yang dipandang siap, yaitu Universitas Indonesia dengan PP

66

(55)

Nomor 152 Tahun 2000, Universitas Gajah Mada dengan PP Nomor 153 Tahun 2000, Institut Pertanian Bogor dengan PP Nomor 154 Tahun 2000, Institut Teknologi Bandung dengan PP Nomor 155 Tahun 2000. Beberapa tahun kemudian menyusul Universitas Sumatera Utara berubah statusnya menjadi BHMN dengan PP Nomor 56 Tahun 2003, lalu Universitas Pembangunan Indonesia dengan PP Nomor 6 Tahun 2004 berubah statusnya menjadi BHMN dan terakhir dengan PP Nomor 30 Tahun 2006 Universitas Airlangga menjadi BHMN.

Kesiapan untuk melaksanakan pengelolaan perguruan tinggi secara otonom tersebut ditunjukkan melalui evaluasi diri yang menyeluruh baik dalam aspek program akademik, sumberdaya manusia (SDM), sarana-prasarana, maupun keuangan. Namun, pemberian otonomi tidak berarti pemerintah melepaskan diri dari tanggung jawab di bidang pendidikan.

(56)

bertahap dan dilakukan dengan penuh bijaksana.67 Sejak awal pembentukannya, pimpinan PTN BHMN menyadari bahwa perubahan dari pola manajemen sentralistis menjadi universitas BHMN bisa menimbulkan persoalan besar terutama dalam hal keterbatasan sumber dana, sumber daya manusia potensial yang belum ditangani dengan baik, dan soal legalitas keberadaan status BHMN sendiri.

Berbicara tentang kemandirian tentulah tidak bisa lepas dari masalah keuangan PTN. Sudah merupakan hal yang umum diketahui bahwa selama ini PTN di Indonesia selalu diperhadapkan dengan masalah keuangan, baik dari sudut jumlahnya yang selalu dikeluhkan oleh para rektor sebagai ’jauh dari memadai’, maupun dari sudut sumber dan pengelolaan keuangannya. PP Nomor 61 Tahun 1999 ini dianggap oleh beberapa PTN dapat menjadi ’secercah harapan’ di tengah berbagai persoalan birokrasi keuangan yang dianggap bertele-tele dan memakan waktu yang lama dalam setiap proses pencairannya, sehingga banyak kebutuhan PTN yang mendesak tidak dapat segera ditanggulangi.

Dalam pelaksanaannya ternyata banyak sekali kendala yang dihadapi oleh PTN dalam perjalanannya menjadi BHMN terutama dari pihak yang tidak setuju atas perubahan status PTN menjadi BHMN. BHMN dianggap sebagian besar masyarakat sebagai langkah komersialisasi dan privatisasi PTN. Anggapan komersialisasi ini disebabkan beberapa PTN yang berstatus BHMN menyiasati otonominya dengan membuka jalur khusus bagi mahasiswa yang secara

67

Referensi

Dokumen terkait

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala hikmat, rakhmat dan kemurahanNya yang dilimpahkan kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan Skripsi yang

Singapore International Arbitration Centre (SIAC) Dengan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Dalam Penyelesaian Kasus Astro All Asia Networks Plc Beserta Afiliasinya

Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 18 Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi dan

Dan yang membahas tentang pendidikan dari ajaran Samin Surosentiko sudah dilakukan oleh skripsi Afit Burhanudin, yaitu tentang Nilai Pendidikan Ajaran Samin

Mojokerto Ujian Tulis Ulang.. SERTIFIKASI GURU DALAM JABATAN KUOTA REGULER TAHUN 2015 RAYON 205 LPTK UIN SUNAN

[r]

Kelas yang dipilih sebagai kelas eksperimen adalah kelas X IIS 3 berjumlah 40 siswa dan kelas X IIS 1 sebagai kelas kontrol berjumlah 40 siswa.Perlakuan pada

Untuk mengetahui bagaimana positioning sabun mandi Lifebuoy terhadap merek sabun mandi Dettol, Medicare dan Nuvo yang ditinjau dari produknya. Untuk mengetahui bagaimana