• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Melihat keberadaan manusia di dunia ini, maka kita akan dapat menemukan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Melihat keberadaan manusia di dunia ini, maka kita akan dapat menemukan"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Melihat keberadaan manusia di dunia ini, maka kita akan dapat menemukan berbagai keberadaannya yang kompleks. Mulai dari ia adalah makhluk hidup, tetapi tidak dikategorikan sebagai hewan atau tumbuhan, sampai ia adalah makhluk yang khas, yang dianugerahi Tuhan akal, pikiran, dan perasaan. Manusia terdiri dari unsur fisik dan juga roh. Manusia merupakan makhluk yang semestinya menjadi pemimpin di muka bumi ini, dan lain-lainnya.

Manusia di dalam kerangka menjalani kehidupannya melakukan usaha-usaha ekonomis yang sering disebut sebagai mata pencaharian. Dalam hal ini, manusia memberdayakan alam sekitarnya. Dalam konteks tersebut ia berdoa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa untuk memberikan rezeki, keberhasilan dalam hidup, memiliki keturunan yang berguna bagi sesamanya, dan aspek-aspek lain, yang diekspresikan di dalam sistem religi atau agama yang dianutnya. Manusia juga belajar dari sesama mereka dan juga dari alam, dan membentuk sistem pendidikan. Selanjutnya manusia adalah makhluk sosial yang membentuk ikatan-ikatan dan integrasi yang terwujud dalam berbagai organisasi kemasyarakatan. Selain itu dalam rangka berkomunikasi menggunakan ujaran-ujaran dengan sistem tertentu yang lazim disebut dengan bahasa. Manusia juga dalam usahanya mempermudah kerja menghasilkan teknologi. Makhluk manusia memiliki kebutuhan akan keindahan yang disebut dengan kesenian.

(2)

Keseluruhan unsur-unsur budaya tersebut biasanya mengandung tiga wujud, yaitu berupa: gagasan, kegiatan, dan benda-benda. Misalnya di dalam sistem organisasi di Indonesia, dikenal konsep gotong-royong, yang mendasari semua orang Indonesia selalu bekerjasama dalam bekerja terutama kerja komunal. Konsep ini kemudian diterapkan dalam berbagai aktivitas seperti membuat jalan raya bersama, bekerja di ladang bersama-sama secara bergiliran, dan lainnya. Konsep dan kegiatan dalam kerangka gotong royong ini akan menghasilkan benda-benda atau artefak seperti kentongan untuk berkumpul, balai desa tempat rapat dan musyawarah, peralatan-peralatan pertanian (cangkul, sabit, tajak), alat-alat nelayan (jaring, perahu, jala, pukat, sondong), dan masih banyak lagi yang lainnya. Dalam situasi yang demikianlah manusia menghasilkan kebudayaan.

Kata budaya atau kebudayaan1

1

Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) terdapat “perbedaan kecil” (nuansa) antara istilah budaya dan kebudayaan. Kata budaya (bu.da.ya) n. 1. pikiran, akal budi; 2. adat istiadat; 3. sesuatu mengenai kebudayaan yang telah berkembang (beradab, maju); 4. sesuatu yang menjadi kebiasaan yang telah sukar diubah. Di sisi lain, kebudayaan (ke.bu.da.ya.an), n. 1. hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia seperti kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat; 2. dalam ilmu dalam bahasa Indonesia, berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari kata buddhi (budi atau akal), yang lazim diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Dapat diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia (Koentjaraningrat, 1982:9). Di sisi lain, Supartono berpendapat bahwa kebudayaan berasal dari kata budi dan daya. Budi adalah akal yang merupakan unsur rohani dalam kebudayaan, sedangkan daya berarti perbuatan atau ikhtiar sebagai unsur

(3)

jasmani, sehingga kebudayaan diartikan sebagai hasil dari akal dan ikhtiar manusia (Supartono, 2001; Prasetya, 1998).

Kebudayaan dapat didefinisikan sebagai sebuah sistem yang terbentuk dari perilaku, baik itu perilaku badan maupun pikiran. Hal ini berkaitan erat dengan adanya respon masyarakat terhadap budaya yang dinamis dan dalam kurun waktu tertentu, sehingga akan menghasilkan sebuah tatanan ataupun sistem tersendiri dalam kumpulan masyarakat tersebut. Termasuk masyarakat yang ada di Indonesia.

Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa (etnik)2

Masyarakat Tionghoa ini didukung oleh kelompok-kelompok etnik seperti: Tenglang (Hokkian), Tengnang (Tiochiu), atau Thongnyin (Hakka), Khek, Kwong Fu, dan lain-lain. Orang-orang Hokkian adalah salah satu pendukung masyarakat Tionghoa di Indonesia. Orang-orang Tionghoa ini, secara antropologi dapat dipandang sebagai yang sangat kaya dengan beraneka ragam budaya yang menjadi bagian dari suku bangsa atau subsuku bangsa tersebut. Kemajemukan kebudayaan tersebut tentunya akan melahirkan orientasi yang majemuk pula, karena salah satu fungsi kebudayaan bagi masyarakat adalah sebagai sumber nilai yang menjadi objek orientasinya (Bangun, 1981:12). Termasuk masyarakat Tionghoa yang ada di Indonesia.

2

Etnik, kelompok etnik (ethnic group) atau dalam bahasa Indonesia suku bangsa atau suku menurut disiplin ilmu antropologi adalah (misalnya Narroll, 1964), sebagai populasi yang: (1) secara bilogis mampu berkembang biak dan bertahan; (2) mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan rasa kebersamaan dalam sebuah bentuk budaya; (3) membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri; dan (4) menentukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain dan dapat dibedakan dari kelompok populasi lain.Dalam konteks menganalisis kelompok etnik ini adalah pentingnya asumsi bahwa mempertahankan batas etnik tidaklah penting, karena hal ini akan terjadi dengan sendirinya, akibat adanya faktor-faktor isolasi seperti: perbedaan ras, budaya, sosial,dan bahasa. Asumsi ini juga membatasi pemahaman berbagai faktor yang membentuk keragaman budaya. Ini mengakibatkan seorang ahli antropologi berkesmpulan bahwa setiap kelompok etnik mengembangkan budaya dan bentuk sosialnya dalam kondisi terisolasi. Ini terbentuk karena faktor ekologi setempat yang menyebabkan berkembangnya kondisi adaptasi dan daya cipta dalam kelompok tersebut. Kondisi seperti ini telah menghasilkan suku bangsa dan bangsa yang berbeda-beda di dunia. Tiap bangsa memiliki

(4)

salah satu masyarakat yang didukung oleh beberapa kelompok etnik3

Berbicara masyarakat Tionghoa tidak lepas dari kebudayaan Tionghoa itu sendiri, yang selalu berhubungan dengan simbol keberuntungan yang sangat kaya dan terbentuk dari kebudayaan leluhur masyarakat Tionghoa sejak zaman prasejarah

di Indonesia yang berintegrasi dengan etnik-etnik dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam bahasa Mandarin, orang Tionghoa disebut Tangren (Hanzi: 唐 人, "orang Tang") atau lazim disebut Huaren (Hanzi Tradisional: 華人 ; Hanzi Sederhana :

华人) . Disebut Tangren dikarenakan sesuai dengan kenyataan bahwa orang Tionghoa di Indonesia mayoritas berasal dari Tiongkok selatan yang menyebut diri mereka sebagai orang Tang, sementara orang Tiongkok utara menyebut diri mereka sebagai orang Han (Hanzi: 漢 人, Hanyu Pinyin: Hanren, "orang Han"). Tionghoa atau Tionghwa, adalah istilah yang dibuat sendiri oleh orang keturunan Tionghoa di Indonesia, yang berasal dari kata zhonghua dalam Bahasa Mandarin. Zhonghua dalam dialek Hokkian dilafalkan sebagai Tionghoa.

3Orang-orang Tionghoa yang terdapat di Indonesia dapat dikategorikan sebagai sebuah masyarakat yang memiliki asal-usul yang sama, yakni dari daratan Tiongkok, yang kini membentuk negara bangsa yang disebut dengan awalnya Republik Takyat China kini menjadi Republik Rakyat Tiongkok. Mereka ini terdiri dari berbagai suku bangsa, yang memiliki kebudayaan dan bahasa yang berbeda-beda. Namun mereka dapat disebuit sebagai orang-orang Tionghoa. Masyarakat yang dimaksud di dalam skripsi ini adalah sesuai dengan definisi dari Koentjaraningrat, masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat-istiadat tertentu yang bersifiat kontinu, dan yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama

(1990:146-147). Definisi itu menyerupai suatu definisi yang diajukan oleh J.L. Gillin dan J.P. Gillin dalam buku mereka Cultural Sociology (1954:139), yang merumuskan bahwa masyarakat atau society

adalah: ... the largest grouping in which common customs, traditions, attitudes and feelings of unity are operative." Unsur grouping dalam definisi itu menyerupai unsur "kesatuan hidup" dalam definisi kita, unsur common customs, traditions, adalah unsur "adat-istiadat", dan unsur "kontinuitas" dalam definisi kita, serta unsur common attitudes and feelings of unity adalah sama dengan unsur "identitas bersama.” Suatu tambahan dalam definisi Gillin adalah unsur the largest, yang "terbesar," yang memang tidak kita muat dalam definisi ini. Walaupun demikian konsep itu dapat diterapkan pada konsep masyarakat sesuatu bangsa atau negara, seperti misalnya konsep masyarakat Indonesia, masyarakat Filipina, masyarakat Belanda, masyarakat Amerika, dalam contoh di atas.

(5)

kemudian menjadi salah satu tulang punggung transformasi kebudayaan Tionghoa selama ribuan tahun dalam sejarahnya. Simbol-simbol keberuntungan itu oleh orang Tionghoa kemudian divisualisasikan dan dimaterialisasikan. Bentuk visual dan materialnya dapat seperti dupa, kertas paisin, bahkan puak poi digunakan dalam upacara paisin oleh masyarakat Tionghoa sebagai salah satu simbol.

Setiap kebudayaan memiliki sistem religi atau sistem kepercayaan, termasuk dalam kebudayaan masyarakat Tionghoa di manapun mereka berada, termasuk di Indonesia, juga lebih khusus di Pematangsiantar. Mereka selalu melestarikan kebudayaan dari leluhur mereka terdahulu. Masyarakat Tionghoa ini mengembangkan dan membangun sistem kepercayaan atau keyakinannya. Sistem keyakinan mempengaruhi dalam kebiasaan bagaimana memandang hidup dan kehidupan. Termasuk di dalamnya adalah menghormati leluhur atau moyangnya.

Orang-orang Tionghoa, sejak awal nenek moyang mereka ada di daratan China, mereka tetap memegang teguh kepercayaan tradisional ini namun dengan polarisasi sosial dan budaya yang berbeda-beda, terutama ketika orang tersebut manganut agama-agama di luar Konghucu, Buddha, dan Tao. Dalam kepercayaan tradisional ini dikenal konsep tiga alam sebagai inti dari kepercayaan tradisional Tionghoa. Leluhur orang Tionghoa percaya bahwa, tiga alam ini mempunyai peranannya masing-masing dalam menjaga keseimbangan alam semesta. Ketiga alam tersebut tidak dapat dipisahkan dan berdiri sendiri tanpa kedua alam lainnya. Ketiga alam ini terdiri atas:(1) Alam Langit, (2) Alam Bumi, dan (3) Alam Baka.

Dalam kepercayaan tradisional, leluhur orang Tionghoa mempercayai bahwa kehidupan setelah meninggal, yaitu di Alam Baka, lebih kurang sama dengan kehidupan

(6)

manusia di dunia ini. Dalam perkembangannya, terutama bagi orang Tionghoa yang beragama Buddha, kepercayaan mengenai Alam Baka ini kemudian menyelaraskannya dengan konsep dan kepercayaan terhadap reinkarnasi dalam agama Buddha. Ini ditandai dengan kepercayaan roh yang hidup di Alam Baka dan akan terlahir kembali ke dunia sebagai manusia atau makhluk apapun, tetapi mereka lupa dengan kehidupan sebelumnya. Perbedaan yang mendasar adalah kepercayaan tradisional ini menganggap manusia hanya akan terlahir kembali sebagai manusia dan tidak sebagai makhluk lainnya. Tiga alam ini mempunyai hubungan antar satu sama lain dan dapat berinteraksi (Reny, 2012).

Di dalam agama Buddha, istilah reinkarnasi (diserap dari bahasa Latin untuk memaknai sebagai "lahir kembali" atau "kelahiran semula") atau t(um)itis (bahasa Jawa) yang merujuk kepada kepercayaan bahwa seseorang itu akan mati dan dilahirkan kembali dalam bentuk kehidupan lain. Yang dilahirkan itu bukanlah wujud fisik sebagaimana keberadaan kita saat ini. Yang lahir kembali itu adalah jiwa orang tersebut yang kemudian mengambil wujud tertentu sesuai dengan hasil perbuatannya terdahulu.

Terdapat dua aliran utama reinkarnasi ini. Pertama, mereka yang mempercayai bahwa manusia akan terus menerus lahir kembali. Kedua, mereka yang mempercayai bahwa manusia akan berhenti lahir semula pada suatu ketika apabila mereka melakukan kebaikan yang mencukupi, atau apabila mendapat kesadaran agung (nirvana) atau menyatu dengan Tuhan (moksha).

Kelahiran kembali adalah suatu proses penerusan kelahiran pada kehidupan sebelumnya. Dalam agama Hindu dan Buddha, kepercayaan kepada reinkarnasi mengajarkan manusia untuk sadar terhadap kebahagiaan yang sebenarnya dan

(7)

bertanggung jawab terhadap nasib yang sedang diterimanya. Selama manusia terikat pada siklus reinkarnasi, maka hidupnya tidak luput dari dukha. Selama jiwa terikat pada hasil perbuatan yang buruk, maka ia akan bereinkarnasi menjadi orang yang selalu duka. Dalam ajaran Hindu dan Buddha, proses reinkarnasi memberi manusia kesempatan untuk menikmati kebahagiaan yang tertinggi. Hal tersebut terjadi jika manusia tidak terpengaruh oleh kenikmatan maupun kesengsaraan duniawi sehingga tidak pernah merasakan duka, dan apabila mereka mengerti arti hidup yang sebenarnya (wawancara dengan informan Aliang di Pematangsiantar 21 Januari 2015).

Masa roh manusia di Alam Baka ketika dalam proses reinkarnasi juga dapat berkomunikasi dengan manusia khususnya kerabat yang hidup di dunia. Cara berkomunikasi itu adalah sembahyang (paisin) dan juga melalui artefak kultural yang disebut puak poi.

Secara umum, kepercayaan tradisional Tionghoa (termasuk Tao, Konghucu, dan Buddha), mementingkan ritual penghormatan kepada leluhur. Hal ini dikarenakan pengaruh ajaran Konfusianisme yang mengutamakan bakti kepada orang tua termasuk leluhur jauh. Leluhur orang Tionghoa sebelum mengenal agama dan filsafat, telah terlebih dahulu mengenal penghormatan pada leluhur. Penghormatan leluhur ini kemudian menjadi titik tolak dan dasar dari kepercayaan tradisional Tionghoa yang muncul lebih dahulu ada, dibandingkan daripada semua agama yang ada di Tiongkok.

Evolusi kepercayaan tradisional Tionghoa ini kemudian mempercayai bahwa manusia setelah meninggal akan menuju ke Alam Baka, namun bagi manusia yang dianggap mempunyai kontribusi dan jasa besar bagi masyarakat mendapat pengecualian untuk berdomisili di Alam Langit. Alam Langit dan Alam Baka, juga dipercaya

(8)

mempunyai pemerintahan, kehidupan interaksi masyarakat yang mirip dengan alam manusia. Atas dasar kepercayaan inilah, uang emas (kim cua) dan uang perak (gin cua) diciptakan. Uang emas adalah diperuntukkan bagi Dewa dan Dewi di Alam Langit. Uang perak diperuntukkan bagi roh manusia di Alam Baka. Uang perak juga diperuntukkan bagi roh manusia yang gentanyangan di alam manusia (hantu). Dalam konteks komunikasi kepada Dewa dan Dewi serta roh-roh nenek moyang di Alam Baka tersebut, masyarakat Tionghoa (terutama yang beragama Buddha, Tao, dan Konfusius) melakukan ritual yang disebut dengan paisin.

Budaya sistem kosmologi masyarakat Tionghoa yang beragama Konghucu, Buddha, dan Tao juga tidak dapat dilepaskan dari pengaruh ajaran kepercayaan terhadap Dao. Ajaran dari sistem kosmologi mengenai Dao adalah mempercayai bahwa semua bagian dari kosmos adalah milik satu organik yang menyeluruh (Dao). Dengan demikian, kerukunan (harmoni) dan keteraturan harus dipelihara setiap saat di dalam jiwa individu, di dalam setiap aspek kehidupan sosial dan di dalam seluruh kosmos agar semua ciptaan hidup dan berfungsi secara sempurna. Semua yang ada, termasuk manusia, berasal dari Dao dan masing-masing mempunyai tempat yang tepat di dalamnya. Inti dari Dao adalah mengajarkan bahwa ketidakharmonisan batin kita dengan Dao adalah bahan penting yang hilang dari agama dan kehidupan yang benar. Untuk menjalani kehidupan yang baik dan berdamai dengan alam semesta, seseorang perlu hidup harmonis dengan Dao.

Dao dianggap sebagai sumber utama dan sifat dasar semua ciptaan. Segala sesuatu adalah hasil dari Dao dan segala sesuatu menuju kepada Dao. Setiap mahluk hidup atau benda memiliki Dao di dalamnya dan merupakan bagian dari Dao. Hal ini

(9)

membuat setiap mahluk hidup, baik hewan atau tumbuhan, tanpa terelaknya berhubungan dengan Dao. Oleh karena itu, seseorang tidak dapat melawan aliran harmonis dari alam. Jika seseaorang melakukannya akan menciptakan chaos di dalam keseluruhan Dao dan menyebabkan ketidakseimbangan yang hebat. (Tong, 2010:23)

Begitu juga dengan puak poi di mana dipercayai bahwa artefak ritual ini mengandung Dao, yang menjadi media penyalur keseimbangan hubunguan harmonis antara manusia dengan Tuhan, Dewa dan Dewi, roh-roh leluhur, makhluk gaib, dan lainnya. Manusia hanya dapat berkomunikasi dengan unsur-unsur tersebut melalui puak poi. Itu sebabnnya di dalam setiap ritual masyarakat Tionghoa yang berhubungan dengan komunikasi kepada Tuhan, Dewa dan Dewi, roh-roh leluhur, makhluk gaib, selalu ditemukan puak poi sebagai media perantara. Keseluruhan ritual ini lazim disebut sebagai paisin.

Paisin adalah suatu bentuk kegiatan keagamaan yang menghendaki terjalinnya hubungan dengan Tuhan (Thien), Dewa, Dewi, roh-roh nenek moyang, atau kekuatan gaib yang dipuja, dengan melakukan kegiatan yang disengaja. Paisin dapat dilakukan secara bersama-sama atau perseorangan. Dalam beberapa tradisi agama yang dianut masyarakat Tionghoa, paisin dapat melibatkan nyanyian berupa himne, tarian, pembacaan naskah agama dengan dinyanyikan atau disenandungkan, pernyataan formal kredo, atau ucapan spontan dari orang yang berdoa (www.wikipedia.com Tradisi Masyarakat Tionghoa).

Agama Buddha juga selalu menggunakan ritual paisin. Kegiatan berpaisin ini ada yang mengaturnya dengan cara dapat dilakukan kapan saja dan oleh siapa saja. Namun demikian, dalam beberapa komunitas agama Buddha dan Konghucu,

(10)

mengaturnya dengan cara meritualkan kegiatan ini dengan berdasarkan waktu, tata cara, dan urutan. Ada juga yang menerapkan aturan ketat mengenai apa saja yang harus disediakan, misalnya benda persembahan (sesaji), serta kapan ritual itu harus dilakukan.

Puak poi adalah salah satu benda yang sering dijadikan tanda jawaban dari Tuhan, Dewa, Dewi, roh-roh nenek moyang, dan makhluk alam gaib di dalam upacara paisin orang-orang Tionghoa, terhadap pertanyaan-pertanyaan para pelaku upacara paisin. Puak poi juga menjadi sarana bertanya kepada Tuhan dan Dewa untuk mengobati orang yang sedang sakit, dengan obat apa ia disembuhkan. Dengan demikian, secara umum, puak poi ini juga adalah ekspresi budaya rakyat, yang dapat dijadikan sarana bertanya untuk berbagai hal kepada Tuhan/Dewa, roh leluhur, dan mahkluk gaib, yang tidak dapat dijawab oleh manusia pada umumnya. Di dalam semua yang berkaitan dengan puak poi.

Secara harfiah puak poi juga memiliki arti sebagai berikut : puak adalah meminta petunjuk dengan melemparkan; sedangkan poi memiliki arti jadi atau terjadilah. Menurut penjelasan Susanto Wijaya (informan penulis) puak poi dalam budaya China telah ada sejak ribuan tahun lalu yang digunakan sebagai petunjuk mengenai apapun kehidupan mereka. Puak poi merupakan salah satu benda dan sarana yang digunakan untuk menanyakan hal yang ingin ditanyakan pada para Dewa atau roh leluhur, yang telah diwariskan oleh nenek moyang dan perlu dilestarikan. Menurut pengamatan dan pengalaman penulis puak poi ini dijumpai pada sebahagian besar upacara paisin masyarakat Tionghoa.

Puak poi terbuat dari dua potong batang bambu, masing-masing berbentuk setengah lingkaran. Kedua puak poi ini, sisi satunya cembung dan sisi satunya cekung.

(11)

Pada masa sekarang boleh dibuat dari bahan kayu (apa saja jenisnya). Zaman dahulu puak poi berwarna seperti warna asli bambu, sedangkan pada saat sekarang ini puak poi sebahagian besar terbuat dari kayu yang keseluruhan permukaan luarnya dicat warna merah. Dalam kebudayaan Tionghoa, warna merah merupakan simbol keagungan atau kehokian.

Adapun cara menggunakan puak poi dalam konteks upacara paisin tersebut adalah sebagai berikut. Sebelum melemparkannya ke atas secara vertikal, terlebih dahulu puak poi tersebut diasapi terlebih dahulu pada hio pada dupa yang telah dibakar, sehingga ujungnya mengeluarkan asap. Kemudian puak poi tersebut diputar kedua telapak tangan orang yang melakukan ritual paisin, mengelilingi hio dari arah kiri ke kanan kemudian orang tersebut melemparkan puak poi ke lantai. Kegiatan ritual menggunakan puak poi seperti itu juga dilakukan oleh masyarakat Tionghoa di Pematangsiantar.

Pematangsiantar sebagai salah satu kota di Sumatera Utara yang dimukimi orang-orang Tionghoa. Mereka ini ada yang beragama Buddha, Konghucu, Kristen, Islam, dan lainnya. Umumnya yang beragama Buddha, Konghucu (yang bersatu dengan Tao) masih menjalankan ritual paisin secara rutin dan masih memegang kepercayaan terhadap para leluhur dan Dewa. Masyarakat Tionghoa di kota ini ada yang percaya fungsi dan makna dari puak poi tersebut. Mereka percaya bahwa puak poi tersebut merupakan sarana komunikasi kepada Tuhan, Dewa dan roh leluhur yang dapat memberikan petunjuk atas apa yang ingin ditanyakan seseorang pada saat paisin. Contohnya mengenai pertanyaan tentang: karir, rezeki, nasib, kesehatan, pengobatan, dan jodoh dalam rangka menjalani hidup di dunia ini.

(12)

Puak poi juga banyak digunakan dalam upacara paisin, yang salah satunya pada saat Ceng Beng. Pada saat Ceng Beng ini seluruh masyarakat Tionghoa akan ziarah ke makam dan banyak sesajian yang disediakan. Biasanya puak poi juga digunakan untuk menanyakan apakah para roh leluhur telah datang untuk makan, telah selesai makan, dan telah mengizinkan para keluarga yang berziarah untuk pulang kembali ke rumahnya masing-masing. Puak poi dalam konteks ini menjadi media perantara untuk menfasilitasi komunikasi antara manusia dengan arwah leluhur. Dipercayai bahwa roh leluhur akan menjawab melalui puak poi melalui tanda-tanda pada hasil lemparan di depan kuburan ataupun meja persembahan yang telah dipenuhi oleh berbagai jenis sesajian.

Keberadaan puak poi dalam upacara paisin, seperti diurai di atas sangat relevan dikaji dari sisi ilmu budaya dan linguistik sekaligus sebagai ilmu yang penulis pelajari dalam beberapa tahun belakangan ini. Untuk itu perlu dijabarkan sekilas mengenai dua ilmu ini, yaitu ilmu antropologi budaya dan linguistik.

Pada prinsipnya, antropologi ialah ilmu pengetahuan yang mempelajari manusia dan budaya yang dihasilkan oleh manusia tersebut. Antropologi budaya membantu kita memahami berbagai adat dan tingkah laku yang dianut oleh masyarakat yang berbeda. Di Inggris, bidang antropologi budaya awalnya disebut sebagai antropologi sosial. Bidang ini berkaitan dengan kajian budaya yang berhubungan dengan struktur sosial, agama, politik, dan berbagai faktor lainnya. Ruang lingkup bidang antropologi sangat luas. Berbagai perubahan yang terjadi di dalam masyarakat akan tercermin dalam adat, tingkah laku (prilaku), dan bahasa. Berbagai perubahan ini secara bersama-sama

(13)

mengungkapkan gambaran terhadap budaya masyarakat tertentu, yang disebut sebagai budaya.

Antropologi budaya adalah cabang antropologi yang mempelajari variasi budaya manusia. Antropologi budaya mempelajari fakta tentang pengaruh politik, ekonomi, dan faktor-faktor lain, dari budaya lokal yang terdapat di suatu daerah tertentu. Para ilmuwan yang bekerja di bidang ini, dikenal sebagai antropolog budaya. Fakta dan data budaya biasanya diperoleh melalui berbagai metode seperti survei, wawancara, observasi, perekaman data, pengamatan terlibat (partisipant observer), pendekatan emik dan etik, dan lainnya.

Dalam sejarah ilmu pengetahuan, penelitian di bidang antropologi budaya dimulai pada abad ke-19. Antropologi budaya mulai berkembang dengan bantuan upaya yang dilakukan oleh ilmuwan antropologi Edward Tylor, J.G Frazen, dan Edward Tylor. Mereka menggunakan bahan-bahan etnografis yang dikumpulkan oleh para pedagang, penjelajah, dan misionaris untuk tujuan referensi. Dengan demikian, antropologi budaya adalah cabang ilmu antropologi yang khusus mempelajari berbagai variasi budaya manusia.

Dalam kaitannya dengan penulis skripsi sarjana ini, ilmu antropologi budaya digunakan untuk mengkaji struktur dan makna puak poi pada upacara paisin, dalam konteks kebudayaan masyarakat Tionghoa yang beragama Buddha dan Konghucu (bersatu dengan Tao) di Kota Pematangsiantar. Ilmu ini juga digunakan untuk membantu mengkaji sejauh apa fungsi sosiobudaya artefak puak poi ini di dalam kebudayaan masyarakat Tionghoa baik itu yang etniknya: Hokkian, Kwong Fu, Hakka, Khek, dan lainnya.

(14)

Selanjutnya yang dimaksud bahasa dan ilmu bahasa adalah sebagai berikut. Ilmu bahasa dinamakan linguistik. Kata linguistik berasal dari kata Latin lingua. Lingutsik modern berasal dari sarjana Swiss Ferdinand de Saussure. De Saussure membedakan langue dan langage. Ia membedakan juga parole dari kedua istilah tersebut. Bagi de Saussure, langue adalah salah satu bahasa (misalnya bahasa Prancis, bahasa Inggris, atau bahasa Indonesia) sebagai suatu sistem. Sebaliknya, langage berarti bahasa sebagai sifat khas makhluk manusia, seperti dalam ucapan, "Manusia memiliki bahasa, binatang tidak memiliki bahasa." Parole (tuturan) adalah bahasa sebagaimana dipakai secara konkret. Ilmu linguistik sering disebut linguistik umum, artinya linguistik tidak hanya menyelidiki salah satu bahasa saja, tetapi linguistik itu menyangkut bahasa pada umumnya. Dengan memakai istilah de Saussure, dapat dirumuskan bahwa linguistik tidak hanya meneliti salah satu langue saja, tetapi juga langage, yaitu bahasa pada umumnya. Objek kajian linguistik adalah bahasa. Yang dimaksud bahasa di sini adalah bahasa dalam arti sebenarnya, yaitu bahasa yang digunakan oleh manusia sebagai alat komunikasi, bukan bahasa dalam arti kias.

Sebagai objek kajian linguistik, parole merupakan objek konkret karena parole itu berwujud ujaran nyata yang diucapkan oleh para bahasawan dari suatu masyarakat bahasa. Langue merupakan objek yang abstrak karena langue itu berwujud sistem suatu bahasa tertentu secara keseluruhan, sedangkan langage merupakan objek yang paling abstrak karena dia berwujud sistem bahasa secara universal. Yang dikaji linguistik secara langsung adalah parole itu, karena parole itulah yang berwujud konkret, nyata, yang dapat diamati atau diobservasi. Kajian terhadap parole dilakukan untuk

(15)

mendapatkan kaidah-kaidah suatu langue dan dari kajian terhadap langue ini akan diperoleh kaidah-kaidah langage, kaidah bahasa secara universal.

Secara populer, orang sering menyatakan bahwa linguistik adalah ilmu tentang bahasa atau ilmu yang menjadikan bahasa sebagai objek kajiannya, atau lebih tepat lagi telaah ilmiah mengenai bahasa manusia. Ilmu linguistik sering jugs disebut linguistik umum (general linguistics). Artinya, ilmu linguistik itu tidak hanya mengkaji sebuah bahasa saja, seperti bahasa Mandailing atau bahasa Arab, melainkan mengkaji seluk beluk bahasa pada umumnya, bahasa yang menjadi alat interaksi sosial milik manusia, yang dalam peristilahan Prancis disebut langage. Untuk jelasnya perhatikan contoh berikut. Kata bahasa Indonesia perpanjang dapat dianalisis menjadi dua buah morfem, yaitu morfem per- dan panjang. Morfem per- disebut sebagai morfem kausatif karena memberi makna 'sebabkan jadi', perpanjang berarti 'sebabkan sesuatu menjadi panjang'. Sekarang perhatikan bahasa Inggris (to) be friend yang berarti 'menjadikan sahabat'. Di sini jelas ada morfem be- dan friend, dan morfem be- juga memberi makna kausatif. Perhatikan pula kata bahasa Belanda vergroot 'perbesar'. Jelas di situ ada morfem kausatif ver- dan morfem dasar groot yang berarti 'besar'. Dengan membandingkan ketiga contoh itu, kita mengenali adanya morfem pembawa makna kausatif baik dalam bahasa Indonesia, bahasa Inggris, maupun bahasa Belanda, ataupun dalam bahasa lain. begitulah bahasa-bahasa di dunia ini meskipun banyak sekali perbedaannya, tetapi ada pula persamaannya. Ada ciri-ciri yang universal. Hal seperti itulah yang diteliti linguistik. Maka karena itulah linguistik sering dikatakan bersifat umum, dan karena itu pula nama ilmu ini, linguistik, biasa juga disebut linguistik umum.

(16)

=definisi+ilmu+bahasa).

Dengan latarbelakang seperti yang telah dideskripsikan di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti fungsi dan makna puak poi pada upacara paisin dalam kebudayaan masyarakat Tionghoa di Pematangsiantar, dengan pendekatan ilmu budaya dan bahasa atau linguistik. Adapun judul skripsi sarjana ini adalah: “Fungsi dan Makna Puak Poi pada Upacara Paisin dalam Kebudayaan Masyarakat Tionghoa di Pematangsiantar.” Latar belakang penelitian ini dapat digambarkan melalui Bagan 1.1 sebagai berikut.

(17)

Bagan 1.1

Latar Belakang Penelitian Fungsi dan Makna Puak Poi dalam Upacara Paisin dalam Kebudayaan Masyarakat Tionghoa di Pematangsiantar.

Pematangsiantar, Indonesia

Kristen, Islam, dll

Etnik: Hokkian, Hakka, Khek, Kwong Fu, dll

Masyarakat Tionghoa dan Kebudayaan di Negeri Tiongkok / di Perantauan (Hua Ren)

Alam Baka (Roh Leluhur, Makhluk Gaib) Alam Langit (Tuhan [Thien] Dewa, Dewi) Alam Bumi

Model Penelitian Kualitatif

Manusia Komunikasi Semiotik Teori Fungsionalisme Linguistik Antropologi Fungsi

Makna Paisin ( Sembahyang) Artefak Puak Poi

Sistem Religi : Buddha, Konghucu, DAO

(18)

1.2 Batasan Masalah

Setiap penulisan karya ilmiah pastilah bertitik tolak dari adanya masalah yang dihadapi dan perlu untuk dipecahkan. Agar penulisan skripsi ini terhindar dari batasan yang terlalu luas dan kesimpangsiuran dalam menafsirkan, maka penulis akan membatasi permasalahan pada fungsi dan makna puak poi pada upacara paisin masyarakat Tionghoa di Pematangsiantar.

1.3 Rumusan Masalah

Dari latar belakang yang telah dikemukakan dan diuraikan oleh penulis diatas, maka, penulis membuat rumusan masalah penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana fungsi puak poi pada upacara paisin masyarakat Tionghoa di Kota Pematangsiantar?

2. Bagaimana makna puak poi pada upacara paisin masyarakat Tionghoa di kota Pematangsiantar?

1.4 Tujuan Penelitian

Melalui penelitian ini, penulis memiliki tujuan yang ingin dicapai. Tujuan penelitian adalah sebagai berikut:

1. Menganalisis fungsi puak poi pada upacara paisin dalam kehidupan masyarakat Tionghoa di Pematangsiantar.

2. Menganalisis makna puak poi pada upacara paisin dalam kehidupan masyarakat Tionghoa di Pematangsiantar.

(19)

1.5 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian yang dapat diambil dari hasil penelitian adalah penulis bagi ke dalam dua jenis manfaat, yaitu manfaat teoretis dan manfaat praktis. Kedua manfaat ini dijabarkan sebagai berikut.

1.5.1 Manfaat Teoritis

Secara teoritis, penelitian ini berguna untuk mengembangkan pengetahuan dan pemahaman tentang makna puak poi pada masyarakat Tionghoa secara umum dan pada masyarakat Tionghoa di Pematangsiantar secara khusus. Selain itu juga untuk mengetahui fungsi dari puak poi dalam kehidupan sehari-hari.Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi referensi ataupun dapat dijadikan sebagai bahan perbandingan penelitian-penelitian yang akan datang.

1.5.2 Manfaat Praktis

Melalui penelitian ini diharapkan masyarakat Tionghoa secara umum, maupun masyarakat Tionghoa di Pematangsiantar khususnya dapat memahami fungsi dan makna dari puak poi tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

Referensi

Dokumen terkait

215 mengemukakan bahwa “Pengetahuan tentang menulis dapat dimiliki siswa melalui interaksi sosial, yakni pembelajaran yang berorientasi pada pendekatan dalam pembelajaran bahasa

Pri zastavljenih ciljih oziroma strategiji vodja teţko dosega rezultate, če le-te in organizacijo, zaposlene in okolje ne pozna dovolj dobro − večina anketirancev je to

Berdasarkan hasil observasi analitik dapat disimpulkan bahwa karakterisasi morfologi tanaman cabai yang terserang hama kutu kebul (bemisia tabaci) menunjukkan gejala

Nout Mjr and Kiers Jl. A Review Tempe Fermentation, Innovation, And Functionality: Update Into The Third Millenium. Peran tempe kedelai hitam dalam meningkatkan

Kebersihan minyak hidrolik sangat tergantung pada penanganan minyak hidrolik itu tersendiri, Penanganan minyak hidrolik yang benar adalah penanganan seperti di

Sebagaimana pada table A.1 Data Sasaran Pendidikan di atas, jumlah penduduk berdasarkan kelompok usia sasaran PNF di Provinsi BALI sebanyak 2.377.997 orang yang

Persentase perkembangan embrio yang paling baik terjadi pada perlakuan J2 pada telur ayam Kedu Hitam dan J3 telur ayam Kedu Putih, karena sel-sel

Dalam pasal 12 AATHP Tanggapan Darurat Bersama Melalui Ketentuan Pemberian Bantuan yang dilakukan ketika terdapat permohonan bantuan yaitu bila suatu Pihak