• Tidak ada hasil yang ditemukan

SURAT TERBUKA TENTANG PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA TERHADAP KOMUNITAS AHMADIYAH DI JAWA BARAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SURAT TERBUKA TENTANG PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA TERHADAP KOMUNITAS AHMADIYAH DI JAWA BARAT"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Bapak Menteri yang terhormat,

SURAT TERBUKA TENTANG PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA TERHADAP KOMUNITAS AHMADIYAH DI JAWA BARAT

Kami menulis surat ini kepada Bapak untuk mengungkapkan rasa kekhawatiran kami atas intimidasi, ancaman dan kekerasan terhadap beberapa komunitas Ahmadiyah yang dilakukan kelompok

keagamaan dan organisasi tertentu, serta oleh para pejabat pemerintah di provinsi Jawa Barat. Hal ini termasuk serangan terhadap properti para anggota Ahmadiyah, dan penutupan atau pengambilalihan tempat beribadah Ahmadiyah. Para anggota jemaah Ahmadiyah juga diancam dalam upaya untuk memaksa mereka melepaskan keyakinan mereka.

Kami khususnya merasa prihatin bahwa pihak berwenang pemerintah – termasuk polisi – gagal melindungi komunitas-komunitas ini, dan dalam sejumlah kasus malah secara aktif ikut ambil bagian mempersekusi mereka. Juga ada bukti-bukti bahwa peraturan provinsi yang disebut sebagai “Peraturan Gubernur Jawa Barat No. 12/2011 tentang Larangan Kegiatan Jemaah Ahmadiyah Indonesia di Jawa Barat” (Peraturan Gubernur Jawa Barat No. 12/2011) yang dikeluarkan tanggal 3 Maret 2011 dipakai oleh para penyerang untuk membenarkan tindakan yang tidak sah seperti itu.

Pasal 3 Peraturan ini, antara lain, melarang para pengikut Jemaah Ahmadiyah “melakukan aktifitas... [yang] berkaitan dengan kegiatan penyebaran penafsiran dan aktifitas yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama Islam”. Aktivitas-aktivitas yang disebut termasuk penyebaran ajaran Ahmadiyah, pemasangan papan nama Jemaah Ahmadiyah Indonesia di tempat umum serta di rumah peribadatan dan lembaga pendidikan mereka, serta penggunaan atribut Jemaah Ahmadiyah Indonesia dalam bentuk apa pun.

Berikut ini kami garis bawahi sejumlah kasus yang didokumentasikan oleh Amnesty International di provinsi Jawa Barat. Kami menghimbau pemerintah Indonesia untuk memastikan adanya investigasi independen, imparsial dan efektif dengan segera terhadap laporan-laporan ini, dan untuk mengambil langkah-langkah guna memastikan agar serangan semacam itu tidak terjadi lagi. Indonesia harus mematuhi kewajiban hukum internasionalnya untuk menghormati dan melindungi kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama bagi semua orang dan komunitas di dalam negara itu.

1. SERANGAN TERHADAP PROPERTI MILIK AHMADIYAH DAN INTIMIDASI TERHADAP KOMUNITAS ITU

Pukul 11 malam tanggal 29 Maret 2011, di desa Sukagalih, kecamatan Sukaratu, kabupaten Tasikmalaya, kira-kira 100 orang dilaporkan menyerang sebuah rumah milik anggota Ahmadiyah. Menurut saksi mata, sejumlah penyerang berasal dari pesantren As-Syafiiyah di Cikatubang yang letaknya 500 meter dari desa itu. Ada empat orang di dalam rumah itu: seorang pria, berusia 63 tahun; istrinya, 55 tahun; putri mereka, 21 tahun; dan seorang nenek berkursi roda yang berusia 86 tahun. Ref: TG ASA 21/2011.034

Indeks: ASA 21/032/2011 Gamawan Fauzi

Menteri Dalam Negeri Kementerian Dalam Negeri Jl. Medan Merdeka

Utara No.7 Jakarta 10110 Indonesia 14 Oktober 2011

AMNESTY INTERNATIONAL INTERNATIONAL SECRETARIAT Peter Benenson House, 1 Easton Street

London WC1X 0DW, United Kingdom

T: +44 (0)20 7413 5500 F: +44 (0)20 7956 1157 E: amnestyis@amnesty.org W: www.amnesty.org

(2)

Para penyerang menghancurkan jendela rumah itu dengan pot tanaman, batu dan batu bata sambil meneriakkan kata-kata kotor dan slogan-slogan keagamaan.

Setelah beberapa menit, para penyerang memasuki rumah melalui pintu depan, merusak mebel dan barang-barang elektronik. Para penyerang kemudian pindah ke sebuah rumah bambu kecil di belakang rumah utama. Setelah keluarga yang menghuni rumah ini melarikan diri, rumah itu dibakar sampai habis terbakar dengan isi-isinya.

Beberapa hari setelah serangan terjadi, dua spanduk segera dipasang di depan rumah utama dan di ujung jalan menuju ke arah rumah tersebut. Spanduk di luar rumah berbunyi seperti ini:

“Kami mendukung isi Pergub Jabar No.12 Tahun 2011 agar Ahmadiyah tidak memasang papan nama pada tempat beribadatan, lembaga pendidikan dan lain sebagainya dengan identitas Jemaat Ahmadiyah Indonesia dan meminta segera dikeluarkan Kepres Pembubaran Ahmadiyah.”

Spanduk yang di pasang di jalan menuju rumah yang diserang berbunyi:

“Terima Kasih kepada Bapak Gubernor Jawa Barat yang telah mengeluarkan pergub 12/2011 tentang pelarangan kegiatan Ahmadiyah dan penyebaran ajaran Ahmadiyah.”

Kedua spanduk itu ditandatangani oleh koalisi kelompok termasuk Front Pembela Islam (FPI) dan Gerakan Reformasi Islam (GARIS).

Pagi hari tanggal 30 Maret 2011, sekurang-kurangnya enam pelajar pesantren As-Syafiiyah dilaporkan ditahan oleh polisi karena keterlibatan mereka dalam serangan itu dan dibawa ke Polres Tasikmalaya. Akan tetapi, mereka dibebaskan tanpa dikenakan tuntutan apa pun sore harinya setelah adanya demonstrasi yang dilakukan para pelajar pesantren itu di depan Polres Tasikmalaya. Bintara Pembina Desa (Babinsa) mengatakan kepada para korban dari Ahmadiyah bahwa polisi menerima ancaman akan ada lebih banyak lagi tindak kekerasan terhadap Ahmadiyah jika para tahanan itu tidak segera

dibebaskan.

2. PENUTUPAN ATAU PENGAMBILALIHAN TEMPAT-TEMPAT IBADAH AHMADIYAH

Dalam waktu sepuluh hari setelah Gubernur Jawa Barat mengeluarkan Pergub-nya, petugas Babinsa dan kepolisian kecamatan Bojongpicung mendekati para tetua komunitas Ahmadiyah di desa Cipeuyem, kecamatan Haruwangi dan meminta mereka untuk mengizinkan pengkhotbah yang bukan anggota Ahmadiyah untuk menggunakan tempat ibadah mereka pada saat sembahyang. Para tetua Ahmadiyah menolak permintaan tersebut.

Sekitar pukul 2 siang tanggal 13 Maret 2011, sekitar 50 orang dari desa Cipeuyem dilaporkan tiba di tempat ibadah Ahmadiyah dengan dipimpin ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) di desa itu. Mereka lalu mengumpulkan semua buku yang mereka bisa temukan di tempat ibadah tersebut dan

membakarnya di trotoar.

Pada hari yang sama, para petugas dari Polsek Bojongpicung dan Koramil Bojongpicung, serta petugas pemerintah setempat dan pemimpin agama yang sama yang sebelumnya telah memimpin pembakaran buku, dilaporkan memanggil para tetua Ahmadiyah ke sebuah rapat dan mendesak mereka untuk menutup tempat ibadah Ahmadiyah. Pada tanggal 17 Maret 2011 dalam rapat kedua dengan orang-orang yang sama, di bawah tekanan intimidasi, dua orang-orang anggota jemaah Ahmadiyah dipaksa menandatangani sebuah surat yang menyatakan mereka setuju bahwa tempat ibadah itu ditutup. Sesudah insiden itu, komunitas Ahmadiyah setempat merasa takut untuk menggunakan tempat ibadah itu.

Tidak jauh dari situ, di kampung Neglasari, desa Sukadana, kecamatan Campaka, kabupaten Cianjur, seorang pengkhotbah yang bukan dari kelompok Ahmadiyah mengambil alih tempat ibadah Ahmadiyah.

(3)

Setelah sebuah spanduk yang mendukung Peraturan Gubernur Jawa Barat dipasang di dekat daerah utama perumahan Ahmadiyah di Neglasari, para anggota jemaah Ahmadiyah dilaporkan dipanggil ke sebuah pertemuan pada tanggal 16 Maret 2011 untuk diberi tahu mengenai Peraturan Gubernur tersebut. Pertemuan itu dihadiri perwakilan lokal dari Kantor Jaksa Agung, polisi dari Kabupaten Cianjur, kantor lokal Kementerian Agama dan pengurus desa, serta beberapa pemimpin agama. Tiga hari kemudian, salah satu dari pemimpin agama itu kemudian mendatangi ketua cabang Ahmadiyah Neglasari meminta agar tempat ibadah Ahmadiyah bisa dipakai untuk pertemuan 1000 orang pengikutnya. Karena merasa waswas mendengar jumlah besar orang yang akan berkumpul itu - biasanya jemaah Ahmadiyah yang berkumpul hanya sekitar 20-50 orang – para tetua Ahmadiyah meminta polisi setempat untuk campur tangan.

Dalam pertemuan yang diadakan tanggal 21 Maret 2011 di Kantor Polisi Kecamatan Campaka, kepala kepolisian setempat dilaporkan meminta agar rencana beribadat dibatalkan. Akan tetapi, beberapa saat kemudian pada hari yang sama, ketua agama yang bukan anggota Ahmadiyah itu muncul dengan massa berjumlah 500 orang dan menggunakan tempat ibadah Ahmadiyah tanpa seizin para tetua Ahmadiyah. Ikut hadir sekitar 200 petugas Dalmas (Unit Pengendalian Massa) dari Polres Cianjur dan petugas Polsek Campaka, Sukanegara, Pagelarang dan Cibeber. Warga Ahmadiyah yang hadir

melaporkan bahwa petugas kepolisian tidak melakukan tindakan apa pun untuk mencegah hal ini, tapi hanya diam saja dan menonton.

Sejak saat itu, tempat ibadah mereka sering kali dipakai oleh pemimpin lain dari sekitar desa

Sukadana dan sejumlah ibadah berjamaah ini diatur dan diadakan untuk “mendidik” warga Ahmadiyah tentang Islam. Komunitas Ahmadiyah di sekitar tempat ibadah itu tidak bisa menggunakan tempat itu sejak beberapa bulan lalu dan pengaduan kepada kepolisian tidak ditindaklanjuti.

3. DIANCAM SEBAGAI UPAYA UNTUK MEMAKSA MEREKA MELEPASKAN KEYAKINAN MEREKA

Tanggal 1 April 2011, seorang kepala desa dilaporkan mendekati sebuah keluarga di desa Sukadana, kecamatan Campaka dan menyuruh keluarga itu membuat keputusan melepaskan keyakinan

Ahmadiyah mereka atau harus meninggalkan rumah mereka. Kepala desa juga menawarkan uang sebesar Rp 300.000 jika mereka menandatangani pernyataan bahwa mereka keluar dari Ahmadiyah. Keluarga itu memutuskan meninggalkan daerah tersebut tak lama sesudah itu dan kini berusaha mengumpulkan uang untuk membangun rumah lain di tempat yang lebih dekat dengan komunitas inti Ahmadiyah di desa Sukadana.

Sejak Pergub dikeluarkan, keluarga warga Ahmadiyah di desa Sukagalih, kecamatan Sukaratu juga melaporkan didatangi setiap beberapa minggu oleh petugas administrasi desa dan anggota FPI serta para pemimpin yang terkait. Para warga Ahmadiyah melaporkan dikirimi surat undangan yang meminta mereka menghadiri pertemuan. Di pertemuan-pertemuan itu mereka diharapkan melepaskan keyakinan mereka. Mereka yang bersedia hadir disuruh menandatangani sebuah daftar. Para petugas kabarnya memberi tahu warga Ahmadiyah bahwa “jika anda tidak mau tanda tangan, kami tidak bertanggung jawab jika terjadi apa-apa kepada anda”.

Amnesty International mendapatkan salinan dari salah satu surat undangan (tertanggal 9 Mei 2011) dari sebuah kelompok yang menamakan diri Ikatan Masyarakat Korban Aliran Sesat Ahmadiyah (IMKASA) yang dilaporkan dibentuk oleh Laskar Pembela Islam (LPI). Judul undangan ini dalam huruf besar menyatakan: “Janganlah Kalian Mati Kecuali Dalam Keadaan Muslim”, yang dipandang para anggota Ahmadiyah sebagai ancaman.

4. KEKHAWATIRAN AMNESTY INTERNATIONAL

Kewajiban negara untuk menghormati dan menjamin adanya penghormatan terhadap hak asasi manusia merupakan kunci untuk menjamin agar hak-hak ini bisa dinikmati oleh para individu dan komunitas dalam sebuah negara. Kewajiban ini disebutkan, antara lain, oleh Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR). Indonesia adalah negara anggota Kovenan ini. Hal ini juga

(4)

atau diselewengkan, baik oleh para petugas negara maupun oleh pihak lainnya. Jika terjadi gangguan atau penyelewengan terhadap hak-hak ini, negara berkewajiban melakukan investigasi dan menuntut mereka yang bertanggung jawab dalam sebuah proses pengadilan yang adil, serta memastikan terpenuhinya hak reparasi bagi para korban. Polisi, sebagai kepanjangan tangan pemerintah yang bertugas menegakkan hukum, memiliki peran penting guna memastikan hak asasi manusia tidak dilanggar atau dirusak, dan juga begitu halnya dalam melakukan investigasi atas pelanggaran atau penyelewengan itu,jika memang terjadi.

Menurut Pasal 2(1) ICCPR, hak asasi manusia harus dilindungi “tanpa pembedaan apa pun, seperti misalnya ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, opini politik ataupun lainnya, asal-usul kebangsaan atau sosial, kepemilikan, kelahiran dan status lainnya”.

Dalam Komentar Umum yang otoritatif tentang Pasal 2 (non-diskriminasi) ICCPR, Komite HAM, yaitu sebuah kelompok para pakar yang ditugaskan oleh Kovenan itu untuk mengawasi

pengimplementasiannya, telah menyatakan bahwa “[a]da keadaan yang mana kegagalan menjamin hak-hak dalam Kovenan sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 akan menjadi pelanggaran oleh pihak negara atas hak-hak tersebut, karena pihak negara memperbolehkan atau gagal mengambil langkah yang layak atau untuk menjalankan uji kelayakan (due diligence) guna mencegah, menghukum, menginvestigasi atau memperbaiki kerugian yang disebabkan oleh tindakan-tindakan seperti itu oleh orang-orang secara pribadi maupun oleh entitas-entitas”.1

Pasal 14 (1) (g) Undang-Undang No. 2/2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia juga menyatakan bahwa "polisi memiliki tugas untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya”. Polisi Indonesia telah gagal menyidik serangan-serangan ini dan membawa mereka mereka yang bertanggung jawab ke pengadilan. Amnesty International merasa prihatin bahwa kegagalan ini bertentangan dengan kewajiban Indonesia menurut ICCPR dan undang-undang Indonesia.

Amnesty International juga merasa prihatin bahwa Peraturan Gubernur Jawa Barat No.12/2011 dan penutupan atau pengambilalihan tempat-tempat ibadah jemaah Ahmadiyah mengingkari hak-hak komunitas Ahmadiyah untuk mendapatkan kebebasan beragama atau berkeyakinan.

Hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan dijamin dalam Pasal 18 (1) ICCPR yang menyatakan bahwa:

“[s}etiap orang harus memiliki kebebasan berpikiran, berkeyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan... baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama dan kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, penaatan, pengamalan dan pengajaran.”

Komite HAM menyatakan bahwa:

“[k]ebebasan untuk memanifestasikan agama atau keyakinan dalam bentuk ibadah, ketaatan, praktik-praktik dan ajaran meliputi serentang luas tindakan-tindakan. Konsep ibadah meluas sampai... berbagai praktik integral dari tindakan semacam itu, termasuk... mempertunjukkan simbol-simbol... dan kebebasan untuk menyiapkan serta menyebarkan teks atau publikasi keagamaan.”2

1Komite HAM, Komentar Umum No.31 tentang Pasal 2 Kovenan. Kondisi Kewajiban Hukum Umum yang Diberlakukan kepada

Negara-Negara Pihak Kovenan, Dokumen PBB. CCPR/C/74/CRP.4/Rev.6, 21 April 2004, para. 8.

2 Komite HAM, Komentar Umum No.22. Hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama (Pasal 18): Dokumen PBB.

(5)

Selain itu, ancaman oleh petugas pemerintah daerah terhadap Ahmadiyah dalam usaha untuk

memaksa mereka melepaskan keyakinan mereka merupakan pelanggaran terhadap Pasal 18 (2) ICCPR yang mengatur bahwa “[t]idak seorang pun boleh dikenakan pemaksaan yang bisa menggganggu kebebasannya untuk memiliki atau menerima sebuah agama atau keyakinan yang dipilihnya”. Menurut Komite HAM, “[p]asal 18 (2) menghalangi pemaksaan yang dapat mengganggu hak untuk memiliki atau menerima sebuah agama atau keyakinan, termasuk penggunaan ancaman kekerasan fisik... untuk memaksa orang yang percaya atau mereka yang tidak percaya untuk menaati keyakinan agama dan jemaah mereka, untuk melepaskan agama atau keyakinan mereka atau untuk berpindah agama atau keyakinan”.3

Hak untuk bebas beragama juga diabadikan dalam Pasal 28E (1) Undang-Undang Dasar Indonesia yang mengatur bahwa “[s]etiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya”. Menurut para pengacara HAM Indonesia, Peraturan Gubernur Jawa Barat No. 12/2011 juga melanggar Pasal 10 (3) (f) Undang-Undang No. 32/2004 tentang Otonomi Daerah. Menurut UU Otonomi Daerah itu, kekuasaan membuat peraturan mengenai agama merupakan wewenang pemerintah pusat.

Peraturan provinsi atau di tingkat pemerintahan daerah karenanya itu tidak sah sejauh peraturan itu tidak konsisten dengan undangan yang lebih tinggi kedudukannya, seperti perundang-undang atau peraturan nasional, menurut hierarki perperundang-undang-perundang-undangan yang tercantum dalam Pasal 7(1) Undang-Undang No. 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

5. REKOMENDASI

Untuk memperbaiki situasi ini, Amnesty International menyerukan agar kementerian Bapak dengan segera memimpin untuk memastikan dilakukannya hal-hal sebagai berikut:

 Memerintahkan kepolisian pusat untuk melakukan investigasi yang teliti, independen dan imparsial mengenai intimidasi, ancaman serta kekerasan terhadap komunitas Ahmadiyah di Jawa Barat;  Memastikan bahwa penemuan investigasi ini diumumkan dan diserahkan, bilamana relevan,

kepada Jaksa Penuntut supaya semua yang diduga terlibat dalam pelanggaran yang berkaitan dengan HAM dihadapkan ke proses pengadilan yang memenuhi standar internasional tentang keadilan serta tanpa penerapan hukuman mati, dan bahwa para korban juga mendapatkan hak reparasi;

 Mencabut Peraturan Gubernur Jawa Barat No. 12/2011 dan semua peraturan daerah serta nasional lainnya yang membatasi kegiatan komunitas Ahmadiyah di Indonesia atau jika tidak hal ini akan melanggar hak mereka untuk bebas berpikir, berkeyakinan dan beragama;

 Pemerintah pusat harus memastikan bahwa semua peraturan yang dikeluarkan di tingkat provinsi dan kabupaten sejalan dengan perlindungan HAM sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 dan kewajiban Indonesia menurut hukum internasional, khususnya ICCPR; dan

 Mencela semua pernyataan umum yang menghasut timbulnya diskriminasi serta kekerasan terhadap Ahmadiyah dan mengambil langkah-langkah guna memastikan bahwa semua minoritas agama di Indonesia, termasuk Ahmadiyah, dilindungi dan diizinkan untuk menjalankan

kepercayaan mereka dengan terbebas dari rasa takut, intimidasi dan persekusi.

3 Komite HAM, Komentar Umum No.22. Hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama (Pasal 18): Dokumen PBB.

(6)

Harap jangan ragu-ragu menghubungi kami jika Bapak memiliki pertanyaan apa pun. Kami dengan senang hati akan mendiskusikan hal ini dengan Bapak.

Hormat saya,

Donna Guest

Wakil Direktur untuk Asia-Pasifik Tembusan: Jendral Timur Pradopo

Kepala Kepolisian Republik Indonesia Patrialis Akbar

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Suryadharma Ali

Menteri Agama Ahmad Heryawan

Gubernur Provinsi Jawa Barat Ifdhal Kasim

Referensi

Dokumen terkait

Bahwa hasil penelitian menunjukkan ada pengaruh yang positif lagi signifikan antara persepsi siswa tentang profesionalisme guru mata pelajaran Pendidikan Agama

Penegakan Hukum Yang Responsif Dan Berkeadilan Sebagai Instrumen Perubahan Sosial Untuk Membentuk Karakter Bangsa, Seminar Nasional “Pendidikan Ilmu-Ilmu Sosial

Hasil validasi dan uji keterbacaan ini menunjukkan bahwa LKPD yang disusun layak digunakan sebagai bahan ajar materi keanekaragaman hayati kelas X tingkat SMA.. Kata Kunci

1) Kegunaan teoritis penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan peneliti dan menambah khasanah ilmu pengetahuan dan mengembangkan wawasan dalam bidang akuntansi

Kegiatan yang dilakukan pada kedua kelompok tani ternak ini terdiri dari penyuluhan penyusunan formulasi ransum pakan ternak babi dan kandang yang sesuai dengan

Masyarakat masih belum jelas mengenai Harga Tebus Beras (HTR) yang sebenarnya, masyarakat hanya mengetahui besaran uang yang harus dibayar untuk mendapatkan beras

Keterlibatan komunitas epistemik dalam mewujudkan diplomasi pertahanan Indonesia saat ini menjadi hal penting karena sesuai dengan yang tertulis dalam Piagam ASEAN,

Peran pemerintah dalam pelaksanaan Good Urban Governance di Kecamatan Tama- lanrea yang dikenal sebagai kawasan pen- didikan tinggi terpadu sebagaimana tertuang di dalam