• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI. terhadap penelitian-penelitian sebelumnya sebagai berikut:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI. terhadap penelitian-penelitian sebelumnya sebagai berikut:"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

5 BAB II

LANDASAN TEORI

A.Kajian Pustaka

Untuk mempermudah pembahasan skripsi ini, penyusun berusaha mencari reverensi yang relevan dengan topik yang diangkat dari karya ilmiah atau skripsi. Sejauh yang penulis ketahui memang banyak karya ilmiah atau skripsi yang membahas masalah gadai. Maka dari itu, penulis melakukan kajian terhadap penelitian-penelitian sebelumnya sebagai berikut:

Febri Syarif Hidayatullah, 2013, dalam skripsinya yang berjudul “Kajian Yuridis Gadai Tanah menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan-Peraturan Dasar Pokok Agraria (UUPA)”menyimpulkan bahwa penyelesaian hak gadai tanah pertanian, berpedoman kepada ketentuan pasal 7 UU No. 56/1960 yang membatasi masa gadai selama 7 tahun. Bilamana telah berlangsung 7 tahun maka hak gadai atas pertanian itu akan berakhir karena

hukum dan tanahnya kembali kepada pemilik tanah tanpa ada penebusan.1

Aris Nugroho, 2013, dalam tesisnya yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam terhadap Praktek Gadai Tanah Sawah di Desa Ulunlor Kecamatan Pracimantoro Kabupaten Wonogiri”.Penelitian ini menghasilkan beberapa

temuan, pertama gadai sawah secara tahunan2 di Desa Ulunlor adalah sah

1Febri Syarif Hidayatullah, Kajian Yuridis Gadai Tanah Pertanian menurut

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan-Peraturan Dasar Pokok Agraria (UUPA). Skripsi Fakultas Hukum Universitas Jember 2013.

2Gadai tanah sawah secara tahunan adalah sistem gadai selama waktuyang ditentukan, dan

dalam pelaksanaannya hasil panen dari tanah sawah yang digadaikan menjadi milik murtahin sampai proses gadai selesai sesauai kesepakatan.

(2)

karena tidak memungut bunga sedikitpun. Pelaksanaan gadai tanah sawah secara tahunan, akad dan mekanismenya hampir sama dengan gadai

menggunakan akad rahn. Kedua, gadai tanah di Desa Ulunlor secara lepas3

tidak sah karena mengandung riba, dan pemberi gadai (rāhin) harus

membayarkan riba dalam jumlah tertentu kepada penerima gadai (murtahin)

sesuai dengan kesepakatan awal yang telah disepakati bersama. Dalam Al-Quran Surat Al-Baqarah ayat 275-280 terdapat larangan adanya riba dalam

pelaksanaan gadai.4

Erna Yanti, 2016, dalam skripsinya yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Sistem Gadai Tanah di Kecamatan Tawangmangu.” Skripsi ini menggambarkan tentang akad gadai yang dilaksanakan oleh masyarakat Tawangmangu apakah telah sesuai dengan peraturan akad gadai yang telah diatur dalam hukum islam atau belum. Penelitian ini merupakan penelitian lapangan, dan data-datanya didapatkan menggunakan metode

observasi, interview, dan dokumentasi. Metode analisis datanya menggunakn

teknik analisis data secara kualitatif, dan dalam mengambil kesimpulannya menggunakn metode induktif. Dari hasil penelitian dalam skripsi ini memperoleh hasil yakni pelaksanaan akad gadai tanah sawah di kecamatan Tawangmangu dilihat dari sisi akadnya sudah sah sesuai dengan ketentuan hukum Islam. Mengenai pemanfaatan barang jaminan secara penuh oleh

3Gadai sawah secara lepas adalah sistem gadai tanah sawah antara rahin dan murtahin

dengan jaminan tanah sawah.

4Aris Nugroho, “Tinjauan Hukum Islam terhadap Praktek Gadai Tanah Sawah di Desa

Ulunlor Kecamatan Pracimantoro Kabupaten Wonogiri,” Undergraduate Thesis, Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam.: Program Studi Jinayah, Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang, 2013.

(3)

penerima gadai tidaklah sah karena adanya unsur pengambilan kesempatan dalam kesempitan serta tidak memelihara nilai-nilai keadilan dan kemaslahatan.

Penelitian saya ini berbeda dari ketiga karya ilmiah pada penelitian sebelumnya. Pada penelitian ini pembahasan tentang pemanfaatan barang gadai (tanah gadai) berdasarkan tinjauan hukum Islam yang menjadi obyek. Oleh karena itu, penyusun memposisikan penulisan skripsi ini dengan judul

Tinjauan Hukum Islam terhadap Praktek Gadai Kebun Cengkeh di Desa

Pegayaman, Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng, Bali”. B.Tinjauan Teoritik

1. Gadai

a. Pengertian Gadai

Dalam bahasa Arab, Istilah gadai disebut dengan rāhn dan dapat

juga dinamai al-habsu. Secara etomologis (bahasa), arti rāhn adalah tetap

dan lama5. Sedangkan dalam pengertian istilahadalah menyandera

sejumlah harta yang diserahkan sebagai jaminan secara hak dan dapat diambil kembali sejumlah harta yang diserahkan sebagai jaminan secara hak dan dapat diambil kembali sejumlah harta dimaksud sesudah

ditebus.6

Barang yang dapat digadaikan yaitu semua barang bergerak seperti barang-barang perhiasan, elektronik, peralatan rumah tangga, mesin, tekstil, dan lain-lain. Sedangkan barang yang tidak dapat digadaikan

5Abdul Ghofur Anshori, Gadai Syariah di Indonesia (Yogyakarta: Gajhah Mada University

Press, 2011) hlm. 88.

6

(4)

adalah barang milik pemerintah, surat berharga, hewan dan tanaman, bahan makanan dan benda yang mudah busuk, benda-benda yang kotor, benda-benda yang untuk menguasai dan memindahkannya dari satu tempat ke tempat lain memerlukan izin, barang yang karena ukurannya yang besar maka tidak dapat disimpan di gadaian, barang yang tidak

tetap harganya7

Gadai (rāhn) adalah menahan barang jaminan yang bersifat materi

milik si peminjam (rāhin) sebagai jaminan atas pinjamanyang

diterimanya, dan barang yang diterima tersebut bernilai ekonomis,

sehingga pihak yang menahan (murtahin) memperoleh jaminan untuk

mengambil kembali seluruh atau sebagian utangnya dari barang dimaksud, bila pihak yang menggadaikan tidak membayar utang pada

waktu yang telah ditentukan8.

Pengertian yang ada dalam syariah sedikit berbeda dengan pengertian gadai yang ada dalam hukum positif, sebab pengertian gadai dalam hukum positif seperti tercantum dalam Burgerlijk Wetbook (Kitab Undng-Undang Hukum Perdata) adalah suatu hak yang diperoleh seseseorang yang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seseorang yang berhutang atau oleh orang lain atas namanya dan yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan dari pada orang-orang yang berpiutang lainnya, dengan pengecualian biaya untuk

7Ibid, hlm. 2.

8

(5)

melelang barang tersebut dan biaya-biaya mana harus didadulukan (Pasal

1150 KUH Perdata).9

Selain berbeda dengan KUH Perdata, pengertian gadai menurut syariat islam juga berbeda dengan pengertian gadai-gadai menurut ketentuan hukum adat yang mana dalam ketentuan hukum adat pengertian gadai yaitu menyerahkan tanahuntuk menerima pembayaran sejumlah uang secara tunai, dengan ketentuan si penjual (penggadai) tetap berhak atas pengembalian tanahnya dengan jalan menebusnya

kembali (Pasaribu, 1996: 140).10

b. Dasar Hukum Gadai

Menurut fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 92/DSN-MUI/IV/2014, boleh tidaknya transaksi gadai menurut Islam diatur

dalam, Al-Quran, sunnah dan ijtihad.11

1) Firman Allah SWT:

a) QS. Al-Baqarah [2]: 283:

ٌةَضوُبْقَّم ٌناَهِرَف ًابِتاَك ْاوُدَِتَ َْلََو ٍرَفَس ىَلَع ْمُتنُك نِإَو

“Dan apabila kalian dalam perjalanan sedang kan kalian tidak memperoleh seorang juru tulis maka hendaklah ada barang

tanggungan yang dipegang... “.12

b) QS. Al-Ma’idah [5]: 1:

دوُقُعْلاِبْاوُفْوَأْاوُنَمآَنيِذَّلااَهُّ يَأاَي

9

Abdul Ghofur Anshori, Gadai Syariah, hlm. 89.

10Ibid.

11http://mujahidinimeis.wordpress.com/2010/05/03/fatwa-dsn-rahn-gadai/ diakses pada 7

Mei 2016.

(6)

Hai orang-orang yang beriman! Tunaikanlah akad-akad itu....”.13 c) QS. Al-Isra [17]: 34:

ْسََنَاَكَدْهَعْلاَّنِإِدْهَعْلاِبْاوُفْوَأَو

لاوُؤ

ً

“...

Dan tunaikanlah janji-janji itu, sesungguhnya janji itu akan

dimintai pertanggung jawaban.”14

2) Hadis Nabi SAW:

a) Hadis Nabi riwayat al-Syafi'i, al-Daraquthni dan Ibnu Majah dari

Abu Hurairah, Nabi SAW bersabda:

ِبِحاَص ْنِم ُنْهَّرلا ُقَلْغَ ي َلا

ُهُمْرُغ ِهْيَلَعَو ُهُمْنُغ ُهَل ،ُهَنَهَر ْيِذَّلا ِه

.

"Tidak terlepas kepemilikan barang gadai dari pemilik yang menggadaikannya. Ia memperoleh manfaat dan menanggung

risikonya."15

b) Hadis Nabi riwayat Jama'ah, kecuali Muslim dan al-Nasa`i, Nabi

SAW bersabda:

َناَك اَذِإ ِهِتَقَفَ نِب ُبَرْشُي ِّرَّدلا َُبََلَو ،اًنْوُهْرَم َناَك اَذِإ ِهِتَقَفَ نِب ُبَكْرُ ي ُرْهَّظلا

ةَقَفَّ نلا ُبَرْشَيَو ُبَكْرَ ي ْيِذَّلا ىَلَعَو ،اًنْوُهْرَم

.

"Tunggangan (kendaraan) yang digadaikan boleh dinaiki dengan menanggung biayanya dan binatang ternak yang digadaikan dapat diperah susunya dengan menanggung biayanya. Orang yang menggunakan kendaraan dan memerah susu tersebut wajib

menanggung biaya perawatan dan pemeliharaan."16

13Ibid. 14 Ibid. 15 Ibid. 16Ibid.

(7)

3) Kaidah Fikih:

ِلْا ِتَلاَماَعُمْلا ِفِ ُلْصَلأا

اَهِْيِْرَْتَ ىَلَع ٌلْيِلَد َّلُدَي ْنَأ َّلاِإ ُةَحاَب

"Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali

ada dalil yang mengharamkannya."17

4) Pendapat Ulama tentang Rahn, antara lain:

a) Pendapat Ibnu Qudamah:

ُ

لْا َعَْجَْأَف ُعاَْجِْلا اَّمَأَو

ِةَلْمُُْا ِي ِنْهَّرلا ِ اَوَو َىلَع َنْوُمِلْس

"Mengenai dalil ijma' umat Islam sepakat (ijma') bahwa secara

garis besar akad rahn (gadai/penjaminan utang) diperbolehkan."18

b) Pendapat al-Khathib al-Syirbini:

ِنْهَّرلاِب ٍعاَفِتْنا ُّلُك ِنِهاَّرلِل

ِنْوُهْرَلْا ُصْقَ ن ِهْيَلَع ُبَّتَرَ تَ ي َلا

"Pemberi gadai boleh memanfaatkan barang gadai secara penuh dengan syarat tidak mengakibatkan berkurangnya (nilai) barang

gadai tersebut."

c) Pendapat mayoritas ulama:

ُمْلِل َسْيَل ْنَأ ىَلَع ُرْوُهْمُُْاَو

ِنْهَّرلا َنِم ِءٍيَشِب َعِفَتْنَ ي ْنَأ ِنَِتَْر

"Mayoritas ulama (selain Ahmad, pen) berpendapat bahwa penerima gadai tidak boleh memanfaatkan barang gadai sama sekali.

c. Rukun dan Syarat Gadai

1) Akad ījāb dan qabūl, hal ini dapat dilakukan baik dalam bentuk

tertulis maupun lisan. Asalkan saja di dalamnya terkandung maksud

adanya perjanjian gadai diantara para pihak.19

17

Ibid.

(8)

2) Āqid, yaitu yang menggadaikan (rāhin) dan yang menerima gadai

(murtahin). Adapun syarat bagi yang berakad adalah ahli taṣarruf,

yaitu mampu membelanjakan harta dan dalam hal ini memahami

persolan-persoalan yang berkaitan dengan gadai.20 Syarat-syarat

(pemberi gadai) dan murtahin (penerima gadai) adalah.21

a) Telah dewasa b) Berakal

c) Atas keinginan sendiri.22

3) Barang yang dijadikan jaminan (marhūn). Syarat pada benda yang

dijadikan jaminan ialah keadaan barang itu tidak rusak sebelum janji

hutang harus dibayar.23 Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk barang

yang akan digadaikan oleh rāhin (pemberi gadai) adalah:

a). Dapat diserahterimakan b). Bermanfaat

c). Milik rāhin (orang yang menggadaikan)

d). Jelas

e). Tidak bersatu dengan harta lain

f). Dikuasai oleh rāhin

g). Harta yang tetap atau dapat dipindahkan.24

19Abdul Ghofur Anshori, Gadai Syariah,hlm. 115. 20

Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 107.

21Abdul Ghopur Anshori, Gadai Syariah,hlm. 91.

22Ibid, hlm. 92.

23Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, hlm. 108. 24

(9)

Abu Bakr Jabir Al-Jazairi dalam buku Minhājul Muslim bahwa barang yang tidak bisa diperjualbelikan, tidak boleh digadaikan, kecuali tanaman dan buah-buahan di pohonnya yang belum masak. Karena penjualan tanaman dan buah-buahan di pohonnya yang belum masak tersebut haram, namun untuk dijadikan barang gadai hal ini diperbolehkan, karena

di dalamnya tidak memuat unsur garar bagi piutang murtahin.

Dinyatakan tidak mengandung unsur garar karena piutang murtahin

tetap ada kendati tanaman dan buah-buahan yang digadaikan kepadanya

mengalami kerusakan (Al-Jazairi, 2000: 532)25.

4). Ada utang26, utang boleh dalam bentuk uang atau barang. Utang harus

bersifat mengikat (lāzim), yang tidak mungkin terhapus kecuali setelah

dibayar atau dibebaskan (fatwa DSN-MUI/IV/2000 tentang kafālah

(ketentuan kedua, 4. C).Utang mempunyai pengertian bahwa:

a) Utang adalah kewajiban bagi pihak berutang untuk membayar kepada pihak yang memberi piutang.

b) Merupakan barang yang dapat dimanfaatkan.

c) Barang tersebut dapat dihitung jumlahnya.27

2. Riba

a. Pengertian

Riba berarti menetapkan bunga/melebihkan jumlah pinjaman saat pengembalian berdasarkan persentase tertentu dari jumlah pinjaman pokok, yang dibebankan kepada peminjam. Riba secara bahasa

25Ibid.

26Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, hlm. 107. 27

(10)

bermakna: ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain, secara linguistik riba juga berarti tumbuh dan membesar.

Sedangkan menurut istilah, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil. Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam-meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalat dalam Islam.

b. Dasar Hukum Larangan Riba

1)

Firman Allah SWT

:

a)QS. al-Nisa` [4]: 29

:

                                          

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah

Maha Penyayang kepadamu.QS. al-Nisa` [4]: 29.28

b) Qs. Al-Baqarah [2]: 278:                                               

(11)

                                     

Orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian

itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat),

Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang

itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.29

3. Prinsip-Prinsip Akad dalam Islam

Dalam pergaulan hidup ini, setiap orang mempunyai kepentingan terhadap orang lain. Timbullah dalam pergaulan hidup ini hubungan hak dan kewajiban. Setiap orang mempunyai hak yang wajib diperhatikan orang lain dan dalam waktu yang sama juga memikul kewajiban yang harus ditunaikan terhadap orang lain. Hubungan hak dan kewajiban tersebut diatur dengan kaidah hukum guna menghindari terjadinya bentrokan antar berbagai kepentingan. Kaidah-kaidah hukumyang mengatur hubungan hak dan kewajiban dalam hidup bermasyarakat itu disebu hukum muamalat.

Dalam bermuamalat, Islam mempunyai prinsip-prinsip muamalat yaitu:

a. Pada dasarnya segala bentuk muamalat adalah mubah, kecuali yang

ditentukan oleh Al-Qur’an dan Sunnah Rasul .

(12)

b. Muamalat dilakukan atas dasar sukarela tanpa mengandung unsur paksaan.

c. Muamalat dilakukan atas dasar pertimbangan mendatangkan manfaat

dan menghindari mudharat dalam hidup bermasyarakat.

d. Muamalat dilaksanakan dengan memelihara nilai keadilan,

menghindari unsur-unsur pengambilan keputusan dalam kesempitan. Akad adalah salah satu syarat yang ditetapkan oleh syara’, karenanya timbullah beberapa hukum. Secara etimologi, akad antara lain berarti sambungan dan janji. Menurut terminologi, akad adalah suatu perikatan antara ijab qabul dengan cara yang dibenarkan oleh Syara’ yang menetapkan adanya ketetapan-ketetapan hukum pada obyeknya. Ijab adalah pernyataan pihak pertama mengenai isi perikatan yang diinginkan, sedangkan qabul adalah pernyataan pihak kedua untuk menerimanya.

Pada prinsipnya, setiap sesuatu dalam muamalah adalah dibolehkan selama tidak bertentangan dengan syariah, mengikuti kaidah fiqih yang pegang oleh mazhab Hambali dan para fuqaha lainnya yaitu bagaimana

yang terdapat dalam kitab Al-Fiqh Al-Islāmī wa Adillatuh sebagai berikut :

Syarat-syarat yang berlaku dalam sebuah akad adalah syarat-syarat yang ditentukan sendiri kaum Muslimin, selama tidak melanggar ajaran.

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut : Penanganan dokumen Clearance Out kapal di Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas

Tujuan Penelitian: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kecemasan menghadapi ujian Skills Lab Modul Shock dengan prestasi yang dicapai pada

Pada masa bercocok tanam telah menghasil budaya yang mengarah pada usaha bercocok tanam yang syarat dengan kepercayaan/religi. Bentuk alat-alatnya pun lebih halus dan sudah

Sedangkan dari segi akuntansi yang dimaksud dengan kas adalah segala sesuatu baik berbentuk uang maupun bukan yang terdapat tersedia dengan segera dan diterima

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa setelah dilakukan Uji Paired Samples T Test maka diketahui terdapat perbedaan sebelum dan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan telah diperoleh nilai acuan kekuatan tekan dan kekuatan impact bahan produk spoiler mobil yang akan menjadi

Dengan adanya prosedur pengelolaan keuangan pada pembayaran gaji guru dan karyawan yaitu bagian tata usaha harus membuat daftar gaji berdasarkan daftar absensi dan bendahara

Berdasarkan hasil penelitian tentang per- bedaan kekerasan mikro permukaan giomer dan kompomer setelah prosedur in office bleaching menggunakan bahan karbamid peroksida 45%, maka