• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORI. yang menjadikan bahasa sebagai upaya yang sangat kreatif.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN TEORI. yang menjadikan bahasa sebagai upaya yang sangat kreatif."

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

10 2.1 Bahasa

Pada manusia bahasa ditandai oleh adanya daya cipta yang tidak pernah habis dan adanya sebuah aturan. Daya cipta yang tidak pernah habis ialah suatu kemampuan individu untuk menciptakan sejumlah kalimat bermakna yang tidak pernah berhenti dengan menggunakan seperangkat kata dan aturan yang terbatas, yang menjadikan bahasa sebagai upaya yang sangat kreatif.

Dalam kehidupan sehari-hari bahasa merupakan alat yang digunakan dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan sesama. Bahasa digunakan untuk menjalin suau hubungan antara manusia satu dengan lain sebagai alat komunikasi (Kridalaksana, 1993: 1) yang menyatakan bahwa bahasa merupakan sistem bunyi arbiter yang dipergunakan oleh masyarakat untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasi diri.

Manusia akan berkomunikasi dengan komunitas melaui bahasa. Bahasa dapat digunakan untuk individu maupun kelompok dalam melakukan sebuah pekerjaan. Dalam hal ini bahasa dipergunakan oleh setiap manusia untuk beraktifitas setiap hari. Bahasa sebagai alat komunikasi yang terbukti penting dalam kehidupan. Karena sifatnya yang penting, beberapa ahli mencoba untuk mendefinisikan pengertian dari bahasa.

Bahasa merupakan komunikasi yang paling penting dalam kehidupan masyarakat sehari-hari yang dipergunakan untuk bekerjasama, berkomunikasi, dan mengidentifikasi diri serta bahasa mempunyai sifat pengganti, individual, kooperatif dan sebagai alat komunikasi.

(2)

2.2 Kata

Kata adalah bentuk bebas yang paling kecil, yaitu kesatuan terkecil yang dapat diucapkan. Kata termasuk satuan bebas yang paling kecil atau dengan kata lain, setiap satuan bebas merupakan kata. Kata terdiri dari satu atau beberapa morfem.

Kata sebagai satuan dari perbendaharaan kata sebuah bahasa mengandung dua aspek, yaitu aspek bentuk atau ekspresi dan aspek isi makna Bentuk atau ekspresi adalah segi yang dapat diserap dengan panca indra, yaitu dengan mendengar atau dengan melihat. Hal senada juga dikatakan oleh Djajasudarma (2009: 36) kata adalah kesatuan unsur bahasa yang dapat berdiri sendiri dan bersifat terbuka.

Kata merupakan tataran penting dalam berbahasa baik secara tulis maupun lisan dan bentuk bebas yang terkecil dari bahasa yang mempunyai arti dan dapat muncul tersendiri dalam berbagai posisi dalam kalimat. Sebuah kata akan dapat mempengaruhi makna penyampaian sehingga pemilihan kata dalam berbahasa sangat penting baik bahasa kata tulis maupun lisan.

2.3 Hakikat Semantik

Semantik adalah bagian dari struktur bahasa yang berhubungan dengan makna ungkapan dan dengan struktur makna suatu wicara. Makna adalah maksud pembicaraan, pengaruh satuan bahasa dalam pemahaman persepsi, serta perilaku manusia atau kelompok (Kridalaksana, 1993: 199). Makna kata merupakan bidang kajian yang dibahas dalam ilmu semantik. Berbagai jenis makna kata dikaji dalam ilmu semantik.

Pendapat lain menyatakan, semantik semula berasal dari bahasa Yunani yang mengandung makna signify atau memaknai. Semantik mengandung

(3)

pengertian “studi tentang makna”. Seperti halnya bunyi dan tata bahasa, komponen makna dalam hal ini juga menduduki tingkatan tertentu. Komponen bunyi umumnya menduduki tingkat pertama, tata bahasa pada tingkat kedua, dan komponen makna menduduki tingkat terakhir (Aminuddin, 2003: 15).

Pendapat lain dikemukakan oleh Chaer (2009: 60) yang menyatakan bahwa dalam semantik yang dibicarakan adalah hubungan antara kata dengan konsep atau makna dari kata tersebut, serta benda atau hal-hal yang dirujuk oleh makna itu yang berada di luar bahasa. Makna dari sebuah kata, ungkapan atau wacana ditentukan oleh konteks yang ada.

Chaer (2009: 7) mengatakan beberapa jenis semantik yang dibedakan berdasarkan tataran atau bagian dari bahasa itu yang menjadi objek penyelidikannya. Kalau yang menjadi objek penyelidikannya adalah leksikon dari bahasa itu, maka jenis semantiknya disebut semantik leksikal. Dalam semantik leksikal ini diselidiki makna yang ada pada leksem-leksem dari bahasa tersebut. Oleh karena itu, makna yang ada pada leksem-leksem itu disebut makna leksikal. Tataran tata bahasa atau gramatika dibagi menjadi dua subtataran, yaitu morfologi dan sintaksis.

Semantik merupakan bagian dari struktur bahasa yang berhubungan dengan suatu makna ungkapan dan juga dengan struktur makna. Semantik dibagi menjadi empat, yaitu semantik leksikal, semantik gramatikal, semantik sintaksikal dan semantik maksud (Chaer, 2009: 7-12).

1) Semantik leksikal mempelajari makna yang ada pada leksem atau kata dari sebuah bahasa oleh karena itu, makna-makna yang terdapat pada leksem-leksem itu disebut makna leksikal.

(4)

2) Semantik gramatikal mempelajari makna-makna gramatikal dari tataran morfem, kata, frasa, klausa dan kalimat.

3) Semantik sintaktikal mempelajari segala sesuatu yang berhubungan dengan sintaksis.

4) Semantik maksud mempelajari hal-hal yang berkenaan dengan pemakaian bentuk-bentuk gaya bahasa seperti metafora, ironi, litotes, dan lain-lain. Dalam penelitian disfemia ini termasuk dalam kategori semantik gramatikal karena mempelajari dan mencari makna yang muncul sebagai akibat berfungsinya sebuah kata atau frase di dalam sebuah kalimat. Objek dalam kajian semantik adalah makna. Makna sebagai sebuah maksud pembicaraan, pengaruh satuan bahasa dalam pemahaman persepsi serta perilaku manusia atau kelompok masyarakat menurut (Kridalaksana, 1993: 193).

Selain untuk memahami makna atau arti dari unsur sebuah bahasa, kajian semantik juga menganalisis tentang maksud dari sebuah tindak ujar. Berbicara seseorang mengkomunikasikan sesuatu kepada pendengar, pembicara bermaksud agar pendengar mengenali maksud pembicara dalam mengkomunikasikan sesuatu itu, apabila ucapanya berhasil membuat pendengar memahami maksudnya, dikatakan pembicara berhasil menimbulkan efek yang dimaksudnya. Pendengar dikatakan mengerti apa yang dikatakan pembicara apabila dia mengetahui maksud pembicara dengan ucapannya itu.

Semantik ialah ilmu cabang linguistik yang mengkaji mengenai makna suatu bahasa yang digunakan oleh manusia dalam kehidupan berkomunikasi sesama manusia baik lisan maupun tulis untuk mempermudah makna komunikasi bahasa yang ingin disampaikan.

(5)

2.4 Pengertian Makna

Makna ialah hubungan antara bahasa dengan dunia luar yang telah disepakati bersama oleh para pemakai bahasa sehingga dapat saling dimengerti. Dari batasan pengertian itu dapat diketahui adanya tiga unsur pokok yang tercakup di dalamnya, yakni (1) makna adalah hasil hubungan antara bahasa dengan dunia luar, (2) penentuan hubungan terjadi karena kesepakatan para pemakai, serta (3) perwujudan makna itu dapat digunakan untuk menyampaikan informasi sehingga dapat saling dimengerti (Aminuddin, 2003: 53).

Kata makna dalam penggunaannya sering disejajarkan pengertiannya dengan arti, gagasan, pikiran, konsep, pesan, pernyataan maksud, informasi, dan isi (Suwandi, 2008: 43). Makna adalah konsep abstrak pengalaman manusia, tetapi bukanlah pengalaman orang per orang. Makna bersifat umum dan tidak tertentu (Wijana, 2008: 13). Sehingga dapat disimpulkan bahwa makna merupakan sesuatu yang ada atau terkandung dalam sebuah ujaran yang bersifat umum yang digunakan oleh para pemakai bahasa dalam berkomunikasi baik secara tulis maupun lisan.

2.5 Aspek-aspek Makna

Aspek makna jika dilihat dari segi terujarnya kata-kata dari pembicara kepada pendengar dibagi menjadi empat jenis, yaitu pengertian, nilai rasa, nada, dan maksud. 2.5.1 Pengertian

Pengertian disebut juga tema (Pateda, 2001: 91). Ketika orang berbicara, ia menggunakan kata-kata atau kalimat yang mendukung ide atau pesan yang ia maksud. Sebaliknya, kalau kita mendengar kawan bicara kita, maka kita akan mendengar kata-kata yang mengandung ide atau pesan seperti yang dimaksudkan

(6)

oleh kawan bicara kita. Pengertian dapat dicapai apabila antara pembicara dan kawan bicara, antara penulis dan pembaca terdapat kesamaan bahasa. misalnya kalau kita ingin memberitahukan tentang cuaca, katakanlah hari ini hujan , maka yang pertama-tama harus ada, yakni pendengar mempunyai pengertian tentang satuan-satuan hari ini, dan hujan. Apabila pembicara dan pendengar mempunyai kesamaan pengertian mengenai satuan-satuan ini , maka pendengar mengerti apa yang ingin disampaikan.

2.5.2 Nilai Rasa

Dalam kehidupan sehari-hari kita berhubungan dengan rasa dan perasaan. Contohnya, ketika kita dingin, jengkel, terharu, gembira, dan untuk menggambarkan hal-hal yang berhubungan dengan aspek perasaan tersebut, kita menggunakan kata-kata yang sesuai (Pateda, 2001: 94).

Nilai rasa adalah perasaan yang dirasakan setiap manusia, baik jengkel, terharu, gembira, dan lain sebagainya. Misalkan saja, seseorang berkata, “marilah kita bergembira atas meninggalnya bapak ini!”. Ungkapan tersebut tidak mungkin akan digunakan karena dirasa tidak wajar dan tidak sesuai dengan perasaan penuturnya. Dalam mengungkapkan perasaan, menggunakan kata-kata yang maknanya sesuai dengan perasaan yang hendak disampaikan. Contohnya saja kata bodoh diucapkan pada orang yang sopan dan tidak bersalah, pasti telinga orang yang mendengar kata itu akan merah; ia marah. Kata bodoh dianggap mempunyai makna yang bernilai rasa buruk.

2.5.3 Nada

Aspek makna nada adalah sikap pembicara kepada kawan bicara. Aspek makna yang berhubungan dengan nada banyak dinyatakan oleh hubungan antara

(7)

pembicara dengan pendengar, antara penulis dan pembaca. Yang dimaksud yakni, pembicara telah mengenal pendengar. Hubungan antara pembicara dan pendengar akan menentukan sikap yang tercermin dalam kata-kata yang digunakan (Menurut Shipley, dalam Pateda, 2001: 94).

Nada suara turut menentukan makna kata yang digunakan. Ambillah kata pulang. Kalau seseorang berkata, “Pulang!” kata ini menandakan bahwa pembicara jengkel atau dalam suasana tidak ramah. Kalau orang berkata, “Pulang?” itu menandakan bahwa pembicara menyindir. Itu sebabnya makna kata dapat dilihat dari nada yang menyertainya.

2.5.4 Maksud

Aspek makna maksud (intention) merupakan maksud, senang tidak senang, efek usaha keras yang dilaksanakan (Shipley dalam Pateda, 2001: 95). Biasanya kalau kita mengatakan sesuatu memang ada maksud yang kita inginkan. Apakah kata itu bersifat deklaratif, imperatif, naratif, pedagogis, persuasif, rekreatif atau politis, semuanya mengandung maksud tertentu. Kalau seseorang berkata “Hei akan hujan”, pembicara itu mengingatkan pendengar: (1) cepat-cepat pergi; (2) bawa payung; (3) tunda dulu keberangkatan, dan masih ada lagi kemungkinan maksud yang tersirat.

2.6 Pengertian Disfemia

Berdasarkan makna yang dikandung, pemakaian bahasa di dalam masyarakat dapat dikategorikan menjadi tiga; yaitu disfemisme (pengasaran), netral (biasa), dan eufemisme (penghalusan). Disfemisme berasal dari bahasa Yunani dys atau dus (bad, abnormal, difficult= bahasa Inggris) yang berarti “buruk‟, adalah kebalikan dari eufemisme, lebih lanjut berarti menggunakan kata-kata yang bermakna kasar atau

(8)

mengungkapkan sesuatu yang bukan sebenarnya. Sesuai dengan pendapat Chaer (2009: 144) menyatakan bahwa disfemia adalah usaha untuk mengganti kata yang bermakna halus atau biasa dengan kata yang bermakna kasar.

Disfemia merupakan suatu ungkapan dengan konotasi kasar, tidak sopan, atau menyakitkan hati mengenai sesuatu atau seseorang atau keduanya, dan merupakan pengganti untuk ungkapan netral (biasa) atau eufemisme karena alasan-alasan tertentu. Disfemia menjadikan sesuatu terdengar lebih buruk atau lebih jelek. Disfemia merupakan suatu pernyataan yang berfungsi menjadikan sesuatu terdengar lebih buruk atau lebih serius daripada kenyataannya dan kebalikan dari eufemisme.

Makna kasar merupakan maksud atau arti suatu kata yang memiliki nilai rasa kasar tidak menyenangkan dan dapat menyinggung atau menimbulkan reaksi tidak mengenakkan lawan tutur atau mitra tutur. Selaras dengan pengertian di atas Sudjiman (2009: 21) menyatakan pengertian disfemia adalah ungkapan kasar (pengasaran) sebagai pengganti ungkapan halus atau yang tidak menyinggung perasaan.

Disfemia dipakai karena berbagai alasan, disfemia biasanya digunakan untuk menunjukkan kejengkelan atau dilakukan orang dalam situasi yang tidak ramah disfemia dipakai karena berbagai alasan. Disfemia biasanya digunakan untuk usaha mengasarkan sengaja dilakukan agar mencapai efek pembicaraan menjadi tegas (Chaer, 2009: 315).

Hal senada juga diungkapkan (Masri, 2001: 62) bahwa disfemia atau bentuk pengasaran biasanya dipakai untuk menghujat atau menegaskan makna, lebih lanjut dikatakan bahwa pemakaian disfemia selain memiliki nilai rasa kasar juga untuk menguatkan makna dalam konteks tertentu.

Bentuk gaya bahasa, eufemisme adalah semacam acuan berupa ungkapan-ungkapan yang tidak menyinggung perasaan orang, atau ungkapan-ungkapan-ungkapan-ungkapan

(9)

yang halus untuk menggantikan acuan-acuan yang mungkin dirasakan menghina, menyinggung perasaan atau mensugestikan sesuatu yang tidak menyenangkan.

Berdasarkan definisi yang diberikan para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa disfemia merupakan cara mengungkapkan pikiran dan fakta melalui kata-kata atau ungkapan-ungkapan yang bermakna keras, kasar, tidak ramah atau berkonotasi tidak sopan karena alasan-alasan tertentu (misalnya untuk melepaskan kekesalan hati, kemarahan, kekecewaan, frustasi, dan rasa benci atau tidak suka), juga untuk menggantikan kata atau ungkapan yang maknanya halus, biasa atau yang tidak menyinggung perasaan.

Dituliskan sebelumnya bahwa disfemia merupakan kebalikan dari eufemisme. Kata eufemisme atau eufemismus diturunkan dari kata Yunani euphemizein yang berarti menggunakan kata-kata dengan arti yang baik atau dengan tujuan yang baik. Sebagai gaya bahasa, eufemisme berupa ungkapan yang halus yang tidak menyinggung perasaan orang, atau ungkapan-ungkapan yang halus untuk menggantikan acuan-acuan yang mungkin dirasakan menghina, menyinggung perasaan atau mensugestikan sesuatu yang tidak menyenangkan (Keraf, 2002: 132).

Pemakaian disfemia dapat menyebabkan suatu kata, frase, atau klausa memiliki makna yang berbeda dari sesungguhnya. Pemakaian disfemia dapat diketahui dari konteks peristiwa atau kalimat yang melatarbelakanginya.

2.7 Penggunaan Disfemia

Disfemia digunakan biasanya untuk menunjukkan kejengkelan atau dilakukan orang pada situasi yang tidak ramah serta menarik perhatian orang lain. Misalnya, kata disinggahi adalah kata biasa yang bersifat lugas, lalu diganti dalam

(10)

disfemia dengan kata disanggong seperti dalam kalimat bukan hanya kantor yang disanggong aparat, ternyata sejumlah studio foto tempat saya mencuci dan mencetak telah juga dijaga petugas. Selain itu, disfemia menjadikan sesuatu terdengar lebih buruk atau lebih jelek (Chaer, 2009: 145).

Disfemisme juga digunakan untuk lebih memberikan tekanan, tetapi tanpa terasa kekerasannya (Chaer, 2009: 146). Misalnya kata menggondol yang biasa dipakai untuk binatang, seperti pada anjing menggondol tulang. Namun demikian, kata menggondol juga dipakai dalam kalimat korban merugi sekitar 600 ribu karena empat buah tabung gas miliknya telah raib digondol maling. Kata digondol tidak tepat dipakai dalam konteks kalimat di atas sebab kata tersebut merupakan penggunaan disfemiayang hanya dipakai untuk hewan.

Chaer (2009: 315) menambahkan lagi, ”Usaha untuk mengasarkan atau disfemisme sengaja dilakukan untuk mencapai efek pembicaraan menjadi tegas”. Misalnya kata merusak diganti dengan kata membobol, kata diambil maling diganti dengan kata digondol maling, kata diguncang isu diganti dengan kata digoyang isu.

Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa disfemia digunakan di tengah masyarakat karena alasan-alasan tertentu, seperti menarik perhatian para pembaca, untuk mencapai efek pembicaraan menjadi tegas atau untuk menguatkan makna. Selain itu, disfemia juga digunakan untuk mengungkapkan kemarahan, seperti melepaskan kekesalah hati, kekecewaan, frustasi, dan rasa benci atau tidak suka.

2.8 Bentuk Kata Disfemia

Bentuk kata disfemia merupakan bentuk-bentuk yang mengandung arti baik arti leksikal maupun gramatikal (Kridalaksana, 2001: 114). Leksikal merupakan kata

(11)

sifat (adjektif) dari kata leksikon. Leksikon berpadanan dengan perbendaharaan kata dan kosa kata; sedangkan leksem dapat dipersamakan dengan kata. Kesatuan dari leksikon disebut leksem, yaitu satuan bentuk bahasa yang bermakna.

Makna leksikal (lexical meaning, semantic meaning, external meaning) adalah makna leksem ketika leksem tersebut berdiri sendiri, baik dalam bentuk dasar maupun bentuk derivasi dan maknanya kurang lebih tetap seperti yang terdapat dalam kamus. Makna leksikal mengacu pada makna lambang kebahasaan yang masih bersifat dasar, belum mengalami konotasi dan hubungan gramatikal. Ia bersifat leksem atau makna yang sesuai dengan referensinya. Misalnya kata tikus dalam kalimat banyak tanaman padi diserang tikus (tikus mengacu pada binatang).

Makna leksikal suatu leksem terdapat dalam leksem yang berdiri sendiri. Dikatakan demikian (berdiri sendiri) sebab makna sebuah leksem dapat berubah apabila leksem tersebut berada dalam kalimat. Dengan demikian, ada leksem-leksem yang tidak memiliki makna leksikal. Kata-kata seperti dan, dengan, jika, yang dapat digolongkan sebagai form words tidak mempunyai makna leksikal.

Makna gramatikal menunjuk pada hubungan antara unsur-unsur bahasa dalam satuan-satuan yang lebih besar; misalnya hubungan antara kata dengan kata lain dalam frasa atau klausa. Makna gramatikal biasa dipertentangkan dengan makna leksikal, jika makna leksikal mengacu pada makna kata atau leksem yang sesuai dengan referennya, maka makna gramatikal merupakan makna yang muncul sebagai hasil proses gramatika. Misal, kata presiden dibubuhi konfiks ke-an menjadi kepresidenan yang menyatakan makna „tempat„ (kepresidenan “tempat presiden‟, “kedutaan”, “tempat duta‟).

Sebenarnya konfiks ke-an dan juga semua afiks lainnya tidak mempunyai arti, sebuah afiks baru mempunyai kemungkinan makna gramatikal jika sudah

(12)

berproses dengan sebuah kata. Perwujudan makna gramatikal antara bahasa yang satu dengan bahasa yang lain tidak sama. Setiap bahasa mempunyai alat atau sarana gramatikal sendiri untuk menyatakan makna-makna atau nuansa-nuansa makna gramatikal itu. Di dalam perilaku bahasa, seseorang belumlah cukup jika hanya mengetahui atau memahami makna kata sebagai makna leksikal, tetapi juga dituntut untuk dapat memahami makna gramatikal. Untuk itulah kemampuan aspek gramatika sangat menentukan keberhasilan komunikasi. Bentuk pemakaian disfemia berupa kata menurut (Chaer, 2009: 145-146).

Kata dibagi menjadi empat yaitu kata dasar, kata berimbuhan, kata ulang dan kata majemuk (Keraf, 2002: 44). Kata dasar merupakan satuan bahasa yang belum mendapat imbuhan, kata berimbuhan merupakan kata yang sudah mendapat imbuhan perfiks, infiks dan konfiks. Kata ulang merupakan kata yang terjadi sebagai akibat reduplikasi. Kata majemuk merupakan gabungan morfem dasar yang seluruhnya berstatus sebagai kata yang mempunyai pola morfologis, gramatikal, dan semantik yang khusus menurut kaidah yang bersangkutan disfemia.

2.8.1 Kata Dasar

Kata dasar adalah kata yang merupakan dasar pembentukan kata turunan atau kata berimbuhan. Kata dasar biasanya terdiri atas morfem dasar, misalnya pada kata kebun, anak, bawa, merah, pada, dari, dan sebagainya. Bentuk kata ini dapat diturunkan menjadi kata jadian atau kata turunan yang berupa kata berimbuhan, kata ulang, dan kata majemuk.

Kata dasar berbeda dengan bentuk dasar. Bentuk dasar adalah bentuk yang dijadikan landasan untuk tahap pembentukan kata berikutnya (Keraf, 2002: 121). Misalnya kata mempelajari. Pada awalnya kata dasar pelajar yang sekaligus menjadi bentuk dasar, diberi sufiks –i sehingga menurunkan bentuk pelajari.

(13)

Selanjutnya, bentuk dasar pelajari (bukan kata dasar lagi) diimbuhkan prefiks mem- sehingga terbentuk kata mempelajari.

Kata dasar ialah satuan, baik tunggal maupun kompleks, yang menjadi dasar bentukan bagi satuan yang lebih besar (Ramlan, 2001:49). Kata berpakaian, misalnya terbentuk dari bentuk dasar pakaian dengan afiks ber-, selanjutnya kata pakaian terbentuk dari bentuk dasar pakai de gan afiks-an.

Kata dasar ini belum mendapatkan tambahan-tambahan kata sehingga kata yang ditampilkan atau dimunculkan akan lebih mudah dimengerti dalam pemahaman kata dasar itu sendiri.

2.8.2 Kata Berimbuhan

Kata berimbuhan adalah kata yang sudah berubah bentuk. Perubahan bentuk ini disebabkan adanya imbuhan. Imbuhan ini ada yang terdapat diawal atau disebut prefiks atau awalan, di tengah disebut infiks atau sisipan, dan diakhir yang disebut sufiks atau akhiran kata (Ramlan, 2001:52).

Perubahan kata dapat juga dikarenakan adanya awalan dan akhiran. Contohnya, kata turunan dipastikan. Kata dasar dipastikan adalah pasti dan diberi imbuhan di- kan. Contoh awalan adalah me-, di-, ke-, se-, dan per. Jika kata dasarnya adalah sapu dapat menjadi kata turunan menyapu. Jika kata dasarnya sapu, maka dapat menjadi kata turunan disapu. Contoh sisipan adalah kata menyapu, contoh akhiran adalah an, contoh kata turuan berimbuhan ini adalah mainan, kata dasar mainan adalan main dan mendapat akhiran -an.

Proses pembubuhan afiks ialah pembubuhan afiks ada satuan, baik satuian itu berupa tunggal maupun bentun kompleks, untuk membentuk kata. (Ramlan, 2001:54).

(14)

2.8.3 Kata Ulang

Kata reduplikasi disebut juga bentuk ulang. Proses pengulangan ialah satuan gramtik, baik seluruhnya maupun sebagiannya, baik dengan variasi fonem maupun tidak (Ramlan, 2001:64)

Bentuk ulang sebagai sebuah bentuk gramatikal yang berwujud penggandaan sebagian atau seluruh bentuk dasar sebuah kata. Dalam Bahasa Indonesia terdapat bermacam-macam bentuk ulang. Pengulangan dapat dilakukan terhadap kata dasar, kata berimbuhan, maupun kata gabung (Ramlan, 2001:65).

Kata penggulangan ini mempunyai bentuk yang bermacam-macam dalam penggunaan berbahasa baik secara lisan maupun tulis. Hal ini sebagai wujud sebagian kata atau seluruh bentuk kata dasar yang ada dalam satu kata sebenarnya. 2.8.4 Kata Majemuk (Kompositum)

Kata majemuk atau kompositum adalah gabungan dari dua kata atau lebih yang membentuk satu kesatuan arti. Kata majemuk ialah kata yang terdiri dari dua kata sebagai unsurnya. Di samping itu, ada juga kata majemuk yang terdiri dari satu kata dan pokok kata sebagai unsurnya (Ramlan, 2001:77). Masing-masing kata yang membentuk kata majemuk sebenarnya mempunyai makna sendiri-sendiri. Tetapi setelah kata tersebut bersatu, maka akan terbentuk kata baru yang maknanya berbeda dengan kata sebelumnya. Misalnya pada kata orang tua, saputangan, dan matahari.

Dalam bahasa indonesia akan didapati gabungan dua kata yang menimbulkan suatu kata baru. Kemungkinan pertama satuan itu merupakan suatu klausa, ialah satuan gramatik yang terdiri dari predikat baik disertai subyek, obyek, pelengkap dan keterangan ataupun tidak. Kemudian yang kedua sebagai

(15)

farase ang termasuk tipe konstruksi ialah frase yang terdiri dari unsur yang tidak setara (Ramlan, 2001:77).

2.9 Nilai Rasa Disfemia

Nilai rasa dalam bahasa Indonesia secara garis besar dibagi menjadi dua (Tarigan, 2001: 60), yaitu konotasi baik dan konotasi tidak baik.

2.9.1 Konotasi baik merupakan nilai rasa yang memberikan atau menonjolkan perasaan-perasaan dalam bentuk kata yang sopan dan tidak menyinggung perasaan. Dalam konotasi baik terdapat konotasi tinggi dan konotasi ramah (Tarigan, 2001:60).

a) Konotasi tinggi yaitu suatu nilai rasa yang terasa atau terdengar indah dan anggun, misalnya kata-kata sastra dan kata-kata klasik. Kata-kata asing pada umumnya menimbulkan anggapan rasa segan: terutama bila orang kurang atau sama sekali tidak memahami maknanya lantas memperoleh nilai rasa tinggi, misalnya kata bahtera menggantikan kata perahu.

b) Konotasi ramah yaitu nilai rasa pada suatu kata atau ungkapan yang secara akrab, saling merasakan satu sama lain, ramah tanpa ada rasa canggung dalam pergaulan, misalnya kata akur menggantikan rujuk, kata besuk menggantikan kata menjenguk.

2.9.2 Konotasi tidak baik merupakan nilai rasa yang memberikan atau menonjolkan perasaan-perasaan yang menggelilingi atau emosi-emosi yang dirtimbulkan oleh setiap kata dengan bertujuan menyinggung peasaan oranglain. Dalam konotasi tidak baik terdapat konotasi berbahaya,

(16)

konotasi tidak pantas, konotasi tidak enak, konotasi buruk dan konotasi kasar (Tarigan, 2001:60).

a) Konotasi berbahaya yaitu suatu nilai rasa pada sebuah kata atau pernyataan yang mengandung mara bahaya atau tabu bila diucapkan pada saat-saat tertentu , misalnya kata ular diganti dengan kata tali b) Konotasi tidak pantas yaitu nilai rasa yang mengandung perasaan jorok,

jijik, si pembaca akan mendapat malu dan dicela oleh masyarakat, misalnya kata mencret yang bentuk halusnya diare, tahi yang bahasa halusnya tinja.

c) Konotasi tidak enak yaitu nilai rasa yang terkandung dalam sebuah kata atau ungkapan yang terasa atau terdengar tidak mengenakkan yang biasanya dipakai dalam hubungan komunikasi yang tidak atau kurang baik, misalnya kata gelandangan yang bentuk halusnya tunawisma, kata keluyuran yang bentuk halusnya begadang.

d) Konotasi buruk, konotasi ini hampir sama dengan konotasi tidak enak, yaitu ungkapan yang terasa tidak enak, mengandung nilai rasa brutal, misalnya istilah kekacauan, bentrokan yang bentuk halusnya peristiwa yang tidak diinginkan.

e) Konotasi kasar yaitu nilai rasa pada sebuah kata atau ungkapan yang secara kasar sehingga dapat menyinggung perasaan lawan tutur. Katakata yang dipakai oleh rakyat jelata adakalanya terasa kasar, biasanya kata-kata yang berniali rasa kasar berasal dari suatu dialek, misalnya “lu”, “kamu”, “mampus”, ”mati”. Konotasi kasar yaitu nilai rasa yang terkandung pada sebuah kata atau ungkapan yang digunakan untuk melebih-lebihkan suatu

(17)

tindakan, misalnya jurang kemati an yang bentuk halusnya kematian, lembah kemelaratan yang bentuk halusnya kemiskinan

Pembagian ragam atau macam nilai rasa yang diungkapkan Tarigan di atas belum bersifat definitif, antara ragam yang satu dengan ragam yang lain mungkin atau bisa saja tumpang tindih, berimpit. Suatu bentuk gramatik mungkin saja bernilai rasa lebih dari satu.

Masri (2001: 71) menggungkapkan istilah makna emotif untuk menganalisis mengenai nilai rasa. Makna emotif merupakan makna yang timbul akibat adanya reaksi pembaca atau rangsangan pembicara mengenai penilaian terhadap apa yang muncul dalam urutan kata engkau kerbau. Kata kerbau ini menimbulkan perasaan tidak enak dari pendengar atau dengan kata lain, kata kerbau mengandung makna emosi. Kata kerbau dihubungkan dengan perilaku yang malas, lamban, dan dianggap sebagai penghinaan. Orang yang mendengarnya merasa tersinggung, perasaannya tidak enak, tidak heran orang yang mendengar kata itu akan mengambil sikap melawan.

Nilai rasa dapat bersifat positif (baik, sopan, hormat dan sakral) dan dapat pula bersifat negatif (kasar, jelek, tidak sopan dan porno) (Djajasudarma, 2009: 9-11). Pemakaian disfemia dalam konteks ini adalah upaya penggunaan kata atau frase yang bernilai kasar atau negatif.

Nilai rasa pemakaian disfemisme dalam suatu surat kabar menunjukkan kecenderungan konotasi berbahaya, konotasi tidak enak, konotasi buruk, konotasi tidak pantas, dan konotasi kasar. Muatan nilai rasa terdapat dalam pemakaian disfemia di bawah ini.

1) Konotasi tidak enak Contoh:

(18)

Pada kalimat di atas, kata mandul dipakai untuk menggantikan kata dapat tumpul dalam bermain bola. Dilihat dari makna emotif, kata mandul memiliki nilai rasa yang berbeda karena kata mandul mempunyai nilai rasa lebih kasar atau lebih buruk daripada kata tumpul.

2) Konotasi buruk Contoh:

Menanti ledakkan macan putih di lapangan.

Kata ledakkan pada kalimat di atas dipakai untuk menggantikan kata serangan. Selain bernilai rasa kasar, bentuk penggantian tersebut juga menggambarkan hal yang mengerikan dan tidak lazim dilakukan pada manusia. 3) Konotasi berbahaya

Contoh:

Wenger harus memastikan pasukannya tidak kalah, jika tidak kutukan akan menyerang lagi.

Kata kutukan pada kalimat di atas dipakai untuk menggantikan kata kesusahan. Kedua kata itu sama, tetapi memiliki nilai rasa yang berbeda. Kata kutukan bernilai rasa lebih kasar, karena kutukkan mengacu pada sumpah.

4) Konotasi tidak pantas Contoh:

Terjadinya disclaimer kali ini tidak pelas dari banyaknya borok para pemain.

Kata borok paka kalimat di atas dipakai sebagai disfemisme untuk menggantikan kata masalah. Penyakit borok selain mengacu pada kata yang kasar juga mempunyai nilai rasa yang mengacu kepada sesuatu yang menjijikkan.

(19)

5) Konotasi kasar Contoh:

“Untuk apa Manoco menjadi bermain dengan mereka tidak becus dalam permainan,” kata pelatih”.

Kata becus pada kalimat di atas dipilih untuk menggantikan kata cakap. Selain bernilai rasa lebih kasar, kata becus juga digunakan untuk menguatkan makna negatif. Selain itu kata becus lazim didahului bentuk negasi tidak.

2.10 Tabloid

Perkembangan Tabloid di Indonesia merupakan generasi ketiga munculnya jenis media cetak setelah surat kabar dan majalah. Keberadaan surat kabar di Indonesia ditandai dengan perjalanan lima periode dimulai pada tahun 1828 (Zaman Belanda), lalu kemudian majalah dimulai pada periode kemerdekaan, tahun 1945. Tabloid dikatakan generasi ketiga karena Tabloid beredar pada tahun 1982, yang artinya periode pemerintahan orde baru.

Sejak tahun 1940-an, banyak surat kabar di Indonesia terbit dalam ukuran tabloid. Tabloid yang pertama populer di Indonesia adalah Mutiara yang diterbitkan oleh kelompok Sinar Harapan pada tahun 1964. Tetapi tabloid yang pertama populer di Indonesia dan bertiras hampir 500.000 eksemplar adalah Monitor. Keberhasilan tabloid ini, telah memicu surat kabar lain yang merubah ukuran dan formatnya menjadi tabloid.

Tabloid didefinisikan sebagai surat kabar yang berukuran kecil yang biasanya banyak menyajikan, memuat berita secara singkat, padat, dan menarik dengan gambar-gambar atau foto-foto, tulisan (paparan, kritikan) dalam bentuk singkat, padat, dan jelas.3 Surat kabar dapat dibedakan atas periode terbit, ukuran dan sifat penerbitannya.

(20)

Dari segi periode terbit surat kabar dapat dibedakan atas dua macam, yakni surat kabar harian dan surat kabar mingguan. Surat kabar harian adalah surat kabar yang terbit setiap hari baik dalam bentuk edisi pagi maupun edisi sore, sedangkan surat kabar mingguan ialah surat kabar yang terbit paling sedikit satu kali dalam seminggu.

Keberadaan tabloid di tengah masyarakat memiliki kelebihan tersendiri, bila dibandingkan dengan media elektronik. Media cetak adalah suatu media yang ampuh dalam komunikasi (Sumoko, 2008:14). Keistimewaan yang dimiliki oleh media ini dan tidak terdapat pada media lain ialah, bahwa media ini bisa dinikmati atau dibaca berulang ulang sehingga bisa benar-benar mempengaruhi sasarannya, bahasa yang digunakan lebih rapi dan teratur dibanding bahasa lisan. Sedangkan tabloid juga memiliki kelemahan dan kekurangan serta keterbatasan pada mereka yang bisa membaca dan yang dapat memahami bahasa pers. Selain dari pada itu, bilamana surat kabar atau majalah serta tabloid itu dapat dibaca akan menghabiskan uang yang relatif banyak dibanding dengan media yang lain.

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan pengambilan data untuk sistem keseluruhan dilakukan dengan pengukuran sampel yang telah diketahui kadar besinya secara perhitungan, kemudian diukur dengan

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pemberian dosis vaksin AI inaktif pada itik jantan umur 5 hari tidak berpengaruh terhadap jumlah sel

Pieksämäen Vesi, Savonlinnan Vesi ja JJR (Juva-Joroinen-Rantasalmi). Pohjavesialueella on Punkaharjun kunnan varavedenottamo. Kulennoisharju on luokiteltu vesipuitedirektiivin

pada anak Kelompok B di TK Satu Atap Jogoboyo, Purwodadi, Purworejo. Jenis penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas kolaboratif. Subjek dalam penelitian ini adalah

Berbagai isu yang telah dipaparkan di atas diangkat menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu bagaimanakah pengaruh informasi terkait kompensasi yang

0enis berita yang terpusat pada peristi/a normalnya berbentuk berita lugas 1hard  news/stright news5. :alam jurnalisme laporan berita lugas mencoba untuk

Posisi mereka didasarkan pada asumsi dasar bahwa Islam lebih dari sekedar doktrin agama yang membimbing kehidupan ruhani manusia semata, tapi juga membangun suatu

Hasil analisis data dalam penelitian ini membuktikan bahwa perusahaan go public di Indonesia telah melaksanakan tanggung jawab sosialnya seperti yang telah tertuang dalam panduan