• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran kiai dalam pembentukan karakter mandiri santri di Pondok Pesantren Hasyim Asy’ari Tegal tahun 2019

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Peran kiai dalam pembentukan karakter mandiri santri di Pondok Pesantren Hasyim Asy’ari Tegal tahun 2019"

Copied!
182
0
0

Teks penuh

(1)

i

PERAN KIAI DALAM PEMBENTUKAN

KARAKTER MANDIRI SANTRI

DI PONDOK PESANTREN HASYIM ASY’ARI

TEGAL TAHUN 2019

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

dalam Ilmu Pendidikan Agama Islam

oleh:

TRI ADI NURHADI NIM: 1503016101

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO

SEMARANG

2019

(2)

ii

PERNYATAAN KEASLIAN

Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Tri Adi Nurhadi NIM : 1503016101

Jurusan : Pendidikan Agama Islam Program Studi : Pendidikan Agama Islam menyatakan bahwa skripsi yang berjudul:

PERAN KIAI DALAM PEMBENTUKAN KARAKTER MANDIRI SANTRI DI PONDOK PESANTREN HASYIM

ASY’ARI TEGAL TAHUN 2019

secara keseluruhan adalah hasil penelitian/karya saya sendiri, kecuali bagian tertentu yang dirujuk sumbernya.

Semarang, 4 Desember 2019 Pembuatan Pernyataan,

Tri Adi Nurhadi

(3)

iii

KEMENTERIAN AGAMA R.I.

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN Jl. Prof. Dr. Hamka Km 2 (024) 7601295 Fax. 7615387 Semarang 50185

Telp. 024-7601295 Fax. 7615387

PENGESAHAN Naskah skripsi berikut ini:

Judul : Peran Kiai Dalam Pembentukan Karakter Mandiri Santri di Pondok Pesantren Hasyim Asy’ari Tegal Tahun 2019 Nama : Tri Adi Nurhadi

NIM : 1503016101

Jurusan : Pendidikan Agama Islam

telah diujikan dalam sidang munaqasyah oleh Dewan Penguji Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Walisongo dan dapat diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana dalam Ilmu Pendidikan Islam.

Semarang, 17 Desember 2019 DEWAN PENGUJI

Ketua, Sekretaris,

Dr. H. Fakrur Rozi, M.Ag. H. Ahmad Muthohar, M.Ag. NIP. 196912201995031001 NIP. 196911071996031001

Penguji I, Penguji II,

Dr. Musthofa, M.Ag. Dr. Fihris, M.Ag. NIP. 197104031996031002 NIP. 19771130200712024

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dr. Dwi Istiyani, M.Ag. Titik Rahmawati, M.Ag. NIP. 197506232005012001 NIP. 19710222005012001

(4)

iv NOTA DINAS

Semarang, 4 Desember 2019 Kepada

Yth. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Walisongo

Di Semarang

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Dengan ini diberitahukan bahwa saya telah melakukan bimbingan, arahan dan koreksi naskah skripsi ini dengan:

Judul : Peran Kiai Dalam Pembentukan Karakter Mandiri Santri di Pondok Pesantren Hasyim Asy’ari Tegal Tahun 2019

Nama : Tri Adi Nurhadi NIM : 1503016101

Jurusan : Pendidikan Agama Islam Program Studi : Pendidikan Agama Islam

Saya memandang bahwa naskah skripsi tersebut sudah dapat diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan keguruan UIN Walisongo untuk diajukan dalam Sidang Munaqasyah.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Pembimbing I,

Dr. Dwi Istiyani, M.Ag.

(5)

v NOTA DINAS

Semarang, 4 Desember 2019 Kepada

Yth. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Walisongo

Di Semarang

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Dengan ini diberitahukan bahwa saya telah melakukan bimbingan, arahan dan koreksi naskah skripsi ini dengan:

Judul : Peran Kiai Dalam Pembentukan Karakter Mandiri Santri di Pondok Pesantren Hasyim Asy’ari Tegal Tahun 2019

Nama : Tri Adi Nurhadi NIM : 1503016101

Jurusan : Pendidikan Agama Islam Program Studi : Pendidikan Agama Islam

Saya memandang bahwa naskah skripsi tersebut sudah dapat diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan keguruan UIN Walisongo untuk diajukan dalam Sidang Munaqasyah.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Pembimbing II,

Titik Rahmawati, M.Ag.

(6)

vi ABSTRAK

Judul : Peran Kiai Dalam Pembentukan Karakter Mandiri Santri di Pondok Pesantren Hasyim Asy’ari Tegal Tahun 2019

Penulis : Tri Adi Nurhadi NIM : 1503016101

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh kebutuhan bangsa akan generasi tangguh dan mandiri dalam menghadapi kompleksitas hidup di abad modern ini. Oleh karena itu, negara mengembangkan pendidikan karakter sebagai usaha mencapai tujuan pendidikan nasional. Salah satu pengembangan karakter yang menjadi tujuan pendidikan di Indonesia adalah karakter mandiri. Berkaitan dengan hal ini, tidak banyak lembaga pendidikan yang mampu melahirkan lulusan-lulusan yang memiliki karakter mandiri. Oleh karena itu, pondok pesantren menjadi lembaga yang layak dicontoh untuk membentuk karakter mandiri peserta didik.

Penelitian ini mengambil fokus permasalahan yaitu: (1) Bagaimana pembentukan karakter mandiri santri di pondok pesantren Hasyim Asy’ari Tegal? (2) Bagaimana peran kiai dalam pembentukan karakter mandiri santri di pondok pesantren Hasyim Asy’ari Tegal?

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian lapangan dengan pendekatan kualitatif deskriptif. Pengumpulan data menggunakan beberapa metode, yaitu: dokumentasi, observasi, dan wawancara. Kemudian analisis data dilakukan dengan memberikan makna terhadap data yang berhasil dikumpulkan. Sehingga dari makna tersebut dapat ditarik kesimpulan. Subyek penelitian adalah kiai, asatidz, pengurus dan santri.

Hasil penelitian menunjukan bahwa, (1) pembentukan karakter mandiri santri di pondok pesantren Hasyim Asy’ari Tegal melalui empat komponen pesantren yang saling mendukung, yaitu: kebijakan, kegiatan, sumber daya manusia, dan lingkungan. (2) peran kiai dalam pembentukan karakter mandiri santri di pondok pesantren Hasyim Asy’ari Tegal sebagai pemimpin, pengajar, dan pengasuh. Ketiga peran tersebut dijalankan secara maksimal oleh kiai.

(7)

vii

TRANSLITERASI ARAB-LATIN

Penulisan transliterasi huruf-huruf Arab Latin dalam skripsi ini berpedoman pada SKB MenteriAgama RI dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI. Nomor: 158/1987 dan 0543 b/U/1987. Penyimpangan penulisan kata sandang [al-] disengaja secara konsisten supaya sesuai teks Arabnya.

Huruf Arab Latin Huruf Arab Latin

ا

A

ط

ب

B

ظ

ت

T

ع

ث

غ

G

ج

J

ف

F

ح

ق

Q

خ

Kh

ك

K

د

D

ل

L

ذ

Ż

م

M

ر

R

ن

N

ز

Z

و

W

س

S

ه

H

ش

Sy

ء

ص

ي

Y

ض

Bacaan Mad: Huruf Diftong: ā = a panjang au =

ْ وَا

i = i panjang ai =

ْ

ْ يَا

ْ

ū = u panjang iy =

ْ يِا

(8)

viii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil ‘alamin. Segala puji bagi Allah SWT, Dzat Yang Maha Sempurna dengan segala kasih sayang-Nya, Dzat yang telah memberikan kesehatan, keselamatan, dan hidayah kepada kita semua, khususnya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan asyik. Shalawat serta salam senantiasa tercurahlimpahkan kepada suri tauladan kita Nabi Muhammad SAW, sang pemberi peringatan dan pembawa kabar gembira, semoga kita bagian dari umat yang memperoleh syafaatnya. Aamiin.

Skripsi yang berjudul Peran Kiai Dalam Pembentukan Karakter Mandiri Santri di Pondok Pesantren Hasyim Asy’ari Tahun 2019 ini merupakan sebuah hasil karya ilmiah yang menjadi syarat untuk mencapai gelar sarjana (S.1) dalam Ilmu Pendidikan Agama Islam di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Walisongo Semarang. Banyak ide dan dorongan semangat yang senantiasa datang dari berbagai pihak untuk mendukung penyelesaian tulisan atau penulisan ini. Oleh karena itu terima kasih yang sedalam-dalamnya penulis samapaikan kepada:

1. Prof. Dr. Imam Taufiq, M.Ag., selaku Rektor Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang.

2. Dr. Lift Anis Ma’sumah, M.Ag., selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Walisongo Semarang.

(9)

ix

3. Dr. Musthofa, M.Ag., selaku ketua jurusan dan Dr. Fihris, M.Ag., selaku seketaris jurusan Pendidikan Agama Islam FITK UIN Walisongo Semarang.

4. Dr. Dwi Istiyani, M.Ag. dan Titik Rahmawati, M.Ag selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga, pikiran, dan motivasinya selama penyusunan skripsi ini.

5. Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Walisongo Semarang yang telah menyampaikan pengetahuan dan wawasan kepada penulis selama menempuh pendidikan.

6. Dr. Abdul Kholiq, M.Ag., selaku wali dosen yang telah membimbing dan memotivasi penulis selama masa kuliah. 7. KH. Jaelani, selaku pengasuh Pondok Pesantren Hasyim Asy’ari

Tarub Tegal yang telah mengijinkan penulis dalam melakukan penelitian.

8. Ayahanda Daun, ibunda Tarwih, Ekawati Windi Astuti, Dwi Siska Lisliowati, Catur Eni Damayanti, Panca Reza Fauzi, dan Sad Silviani Amanah, yang selalu memberikan dukungan, motivasi, dan do’a kepada penulis.

9. Dewan Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insani Semarang atas nasihat-nasihat terbaiknya.

10. Kanda, Yunda, dan Adinda di HMI Korkom Walisongo Semarang yang telah mengenalkan jargon Yakin Usaha Sampai. 11. Teman-teman seperjuangan PAI C 2015 UIN Walisongo

Semarang yang telah memberikan semangat selama masa kuliah. 12. Keluarga besar Bidikmisi Comunity (BMC) Walisongo.

(10)

x

13. Keluarga kecil PPL SMAN 1 Semarang.

14. Keluarga kecil KKN Reguler 71 Posko 18 Kendaldoyong Demak 15. Keluarga besar Pondok Pesantren Bina Insani Semarang.

16. Keluarga besar Tarbiyah Librarian Club (TLC) Walisongo. 17. Keluarga besar Relawan Nusantara Semarang/ Rumah Zakat. 18. Keluarga besar Alumni PP. Hasyim Asy’ari di Semarang 19. Keluarga kecil LUBIS.

20. Keluarga besar BPL HMI Cabang Semarang. 21. Keluarga besar IMT Walisongo.

22. Keluarga besar KOPMA Walisongo. 23. Keluarga besar FLP Semarang. 24. Keluarga besar Aom Thai Tea.

25. Keluarga besar fotocopy Ngaliyan Raya.

Akhirnya, penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan demi kebaikan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat khususnya bagi penulis dan umumnya bagi para pembaca. Aamiin.

Semarang, 20 Desember 2019

Tri Adi Nurhadi NIM: 1503016101

(11)

xi DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ... i PERNYATAAN KEASLIAN ... ii PENGESAHAN ... iii NOTA DINAS ... iv ABSTRAK ... vi TRANSLITERASI ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... xi

BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8

BAB II: PERAN KIAI DALAM PEMBENTUKAN KARAKTER MANDIRI SANTRI A.Deskripsi Teori ... ... 10 1. Kiai ... 10 a. Pengertian kiai ... ... 10 b. Peran kiai ... ... 12 2. Karakter ... 19 a. Pengertian karakter .... ... 19 b. Karakter mandiri ... ... 21

c. Pembentukan karakter mandiri ... 25

3. Santri ... 29

a. Pengertian santri ... ... 29

b. Pendidikan santri ... 31

c. Karakter santri ... 34

B. Kajian Pustaka Relevan ... 35

C. Kerangka Berpikir ... 38

BAB III: METODE PENELITIAN A.Jenis dan Pendekatan Penelitian ... 41

B. Tempat dan Waktu Penelitian ... 42

(12)

xii

D.Fokus Penelitian ... 43

E. Teknik Pengumpulan Data ... 44

F. Uji Keabsahan Data ... 47

G.Teknik Analisis Data ... 50

BAB IV: DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA A.Deskripsi Data ... 53 1. Data umum ... 53 2. Data khusus ... 64 B. Analisis Data ... 81 C. Keterbatasan Penelitian ... 97 BAB V : PENUTUP A.Kesimpulan ... 99 B. Saran ... 100 C. Penutup ... 101 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP

(13)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Khazanah keilmuan Islam berhasil disebarluaskan oleh para kiai yang ada di Indonesia melalui pesantren. Kiai mengajarkan ilmu kepada santrinya dengan media kitab-kitab klasik atau sering disebut dengan kitab kuning. Pengajaran biasanya dilakukan di masjid setelah sholat fardu berjamaah. Keistimewaan lain dari sistem pesantren atau pondok pesantren ialah terdapat asrama untuk tempat tinggal santri selama masa belajar.1 Dengan begitu, maka dapat diketahui secara sekilas bahwa unsur-unsur dari pesantren ada 5, yaitu kiai/guru, santri, masjid, kitab, dan asrama.

Pendidikan yang diterapkan oleh pesantren bersifat integral dan universal, memuat seluruh bidang kecakapan santri; baik spiritual, intelektual, ketrampilan, maupun moral-emosional. Lingkungan pesantren secara keseluruhan dirancang demi kepentingan pendidikan. Sehingga segala yang dilihat, didengar, dirasakan, dialami, dan dikerjakan para santri, bahkan juga seluruh penghuni pesantren, dirancang untuk mencapai tujuan pendidikan. Dengan begitu, pesantren secara tidak langsung telah

1Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup

Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 2011), hlm. 79.

(14)

2

menciptakan sebuah masyarakat belajar yang sering dikenal dengan sebutan learning society.2

Salah satu unsur yang menjadi tujuan dari pendidikan nasional adalah terbentuknya karakter mandiri pada peserta didik. Sebagaimana termaktub dalam undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 3, menyebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.3 Hal itu berarti pendidikan tidak hanya dimaksudkan untuk peningkatan intelektual saja, namun mencakup sikap dan juga karakter.

Berkaitan dengan pentingnya karakter, sebuah penelitian di Harvard University, Amerika Serikat, sebagaimana dikutip Syamsul Kurniawan, menyimpulkan bahwa kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hardskill) saja, namun lebih kepada kemampuan mengelola diri dan orang lain (softskill). Penelitian ini mengungkapkan bahwa kesuksesan ditentukan sekitar 80

2 Aan Fardani, “Pembentukan Karakter Religius dan Mandiri Melalui Model Pendidikan Ala Pondok Pesantren”, Jurnal Al-Wijdan, (Vol. 1, No. 1, tahun 2016), hlm. 3.

3

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003, Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3.

(15)

3

persen oleh softskill dan sisanya 20 persen oleh hardskill. Bahkan orang-orang tersukses di dunia bisa berhasil karena lebih banyak didukung kemampuan softskill daripada hardskill. Hal ini mengisyaratkan bahwa mutu pendidikan karakter peserta didik sangat penting untuk ditingkatkan.4

Pada perjalanan lembaga pendidikan terdapat masalah yang berhubungan dengan kemandirian peserta didik. Pertama, munculnya krisis kemandirian peserta didik, khususnya di lembaga pendidikan formal. Kedua, pendidikan sekolah tidak menjamin pembentukan kemandirian peserta didik sesuai dengan semangat tujuan pendidikan nasional. Berkaitan dengan hal ini, jika dibandingkan dengan lembaga pendidikan formal, pondok pesantren dipandang mampu untuk membentuk peserta didik (santri) untuk hidup mandiri. Kehidupan yang mandiri secara empiris banyak ditemui di pondok pesantren, khususnya pesantren yang berbasis tradisional.5

Kemandirian santri begitu tampak dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari mandiri untuk makan, mencuci, belajar, mengatur waktu, mengatur uang, sampai dengan kemandirian dalam berpikir dan menentukan pilihan. Hal ini tentu tidak terlepas dari kondisi santri yang memang dilatih untuk tidak bergantung pada

4

Syamsul Kurniawan, Pendidikan Karakter, (Yogyakarta: Ar Ruzz Media, 2014), hlm. 32.

5 Uci Sanusi, “Pendidikan Kemandirian di Pondok Pesantren”,

(16)

4

siapapun. Kemandirian-kemandirian seperti ini jarang ditemui pada peserta didik di lembaga formal (sekolah).6 Sebab penekanan pendidikan dalam lembaga formal lebih kepada aspek intelektual dengan bersandar pada kurikulum semata, sehingga kemandirian peserta didik layaknya di pesantren kurang terimplementasikan dengan baik.

Secara konseptual, karakter mandiri pada peserta didik sangat diperlukan, selain sebagai orientasi pencapaian tujuan pendidikan juga penting dalam rangka mempersiapkan generasi yang tangguh dalam menghadapi kompleksitas hidup pada abad modern ini. Tantangan ke depan yang akan dihadapi generasi saat ini semakin beragam, sehingga tidak boleh disepelekan terutama bagi penyelenggara pendidikan. Kondisi ideal masa depan bangsa harus dirancang dari sekarang. Sebab jika tidak, maka bukan kemajuan yang akan didapatkan melainkan kemunduruan bagi bangsa ini. Dengan begitu, pendidikan karakter mandiri menjadi hal penting untuk diterapkan bagi setiap satuan pendidikan. Dalam hal ini, pesantren menjadi lembaga yang cukup ideal untuk membentuk peserta didik berkarakter mandiri.

Keberadaan pesantren mampu memberikan pengaruh yang cukup besar bagi dunia pendidikan di Indonesia. Hal ini dikarenakan pesantren tidak hanya fokus dalam tranformasi pengetahuan, namun yang lebih penting adalah pesantren mampu

(17)

5

memberikan transformasi nilai dan kultural. Pendidikan di pesantren telah memenuhi tiga aspek pendidikan secara seimbang, yaitu kognitif, psikomotorik, dan afektif. Kondisi ideal tersebut dijalani peserta didik (santri) sepanjang waktu selama masa pendidikan di pesantren. Berbeda dengan pendidikan formal (sekolah), peserta didik memperoleh pengawasan dari guru selama waktu belajar di sekolah saja.

Pesantren dengan berbagai harapan dan predikat yang dilekatkan kepadanya, sesungguhnya mengarah pada tiga fungsi utama yang diembannya, yaitu: (1) sebagai pusat pengkaderan pemikir-pemikir agama; (2) sebagai lembaga yang mencetak sumber daya manusia; (3) sebagai lembaga yang mempunyai kekuatan melakukan pemberdayaan pada masyarakat. Selain ketiga fungsi tersebut, pesantren juga dipercayai dan dipahami sebagai bagian yang terlibat dalam proses perubahan sosial di masyarakat.7

Dalam rangka mencapai tujuan pendidikan, pesantren secara praktis sudah memainkan peran penting dalam proses kegiatan pendidikan. Hal ini tidak terlepas dari peran kiai yang selama ini menjadi guru sekaligus tokoh figur di masyarakat. Karakter khas yang melekat pada kiai, ia biasanya memiliki

7

(18)

6

komitmen yang kuat untuk mendidik santri-santrinya.8 Kiai memiliki visi yang jauh, yaitu membentuk masyarakat yang madani, serta mengamalkan nilai-nilai keislaman.

Kiai merupakan salah satu komponen pesantren yang sangat penting. Peran kiai sangat menentukan arah perkembangan pesantren. Kajian tentang peran kiai tidak dapat dilepaskan dari aspek kompetensinya. Sebab, kompetensi yang dimiliki kiai akan mempengaruhi sistem pendidikan pesantren yang dipimpinnya. Kompetensi kiai tersebut akan menjadi manifestasi dari seperangkat kemampuannya dalam menjalankan peranannya sebagai pimpinan pesantren.9 Sehingga karakter santri yang terbentuk tidak bertolak jauh dari karakter yang dimiliki seorang kiai.

Kiai dan pesantrennya senantiasa membentuk kemandirian santri dalam berbagai aspek kehidupan. Bahkan sejumlah pesantren berkembang lebih maju lagi. Perkembangan tersebut menerapkan konsep kemandirian santri dengan memperkenalkan semacam kegiatan ketrampilan (vocational). Salah satu pesantren yang menekankan aspek kemandirian adalah Pondok Pesantren Hasyim Asy’ari Tegal. Hal ini dibuktikan dengan beberapa

8

M. Sulthon, dkk., Manajemen Pondok Pesantren, (Jakarta: Diva Pustaka, 2003), hlm. 11.

9Abd. Halim Soebahar, Modernisasi Pesantren: Studi Transformasi

Kepemimpinan Kiai dan Sistem Pendidikan Pesantren, (Yogyakarta: LKiS, 2013), hlm. 2.

(19)

7

kebijakan yang menuntut para santri untuk berlaku mandiri. Kebijakan-kebijakan tersebut diantaranya; pembatasan tanggal kunjungan orang tua, wajib belajar setelah kajian isya, dan wajib mengikuti lomba bulanan pondok. Selain itu, kemandirian juga terbentuk dari beberapa pelatihan di pesantren, seperti: pelatihan rebana, pelatihan videografi, dan pelatihan kewirausahaan. Hal penting lain yang juga melatih kemandirian santri ialah kegiatan harian, seperti: mencuci baju, merapikan kasur lipat, mengatur uang jajan, dan lain sebagainya.10

Kiai memiliki peran yang sangat penting di Pondok Pesantren Hasyim Asy’ari. Sebagai pengasuh, kiai berbaur dalam kegiatan harian santri mulai dari bangun tidur sampai tidur kembali. Sebagai pemimpin, kiai memiliki kewenangan untuk memimpin dan memutuskan segala kebijakan di lingkungan pesantren. Sebagai guru, kiai ikut serta dalam memberikan pembelajaran baik di madrasah maupun pengajian di masjid. Dengan demikian, kiai memiliki peran paling dominan dalam pembentukan karakter santri, termasuk di dalamnya adalah karakter mandiri.

Berdasarkan latar belakang di atas penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Peran Kiai Dalam

10 Observasi peneliti di Pondok Pesantren Hasyim Asy’ari Tegal pada 21 April 2019.

(20)

8

Pembentukan Karakter Mandiri Santri di Pondok Pesantren Hasyim Asy’ari Tegal Tahun 2019”.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pembentukan karakter mandiri santri di Pondok Pesantren Hasyim Asy’ari Tegal?

2. Bagaimana peran kiai dalam pembentukan karakter mandiri santri di Pondok Pesantren Hasyim Asy’ari Tegal?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan penelitian

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Mendeskripsikan bagaimana pembentukan karakter mandiri santri di Pondok Pesantren Hasyim Asy’ari Tegal.

b. Mendeskripsikan bagaimana peran kiai dalam pembentukan karakter mandiri santri di Pondok Pesantren Hasyim Asy’ari Tegal.

2. Manfaat penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Secara teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah keilmuan sebagai sumbangan data ilmiah di bidang pendidikan dan disiplin ilmu lainnya serta bagi

(21)

9

pembaca khususnya mahasiswa Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Walisongo Semarang.

b. Secara praktis 1) Bagi peneliti

Sebagai tambahan ilmu pengetahuan dalam melakukan pengembangan penelitian dalam dunia pendidikan.

2) Bagi kiai dan pengurus

Sebagai masukan untuk senantiasa memperhatikan hak dan tanggung jawab dalam memberikan arahan untuk santri.

3) Bagi santri

Sebagai motivasi untuk semakin mandiri dalam menjalani pendidikan di pondok pesantren.

(22)

1 BAB II

PERAN KIAI DALAM PEMBENTUKAN KARAKTER MANDIRI SANTRI

A. Deskripsi Teori

1. Kiai

a. Pengertian kiai

Kiai merupakan elemen paling esensial dari suatu pesantren. Menurut asal-usulnya perkataan kiai dipakai untuk 3 jenis gelar yang saling berbeda: 1) sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap memiliki nilai keramat, 2) gelar kehormatan untuk orang-orang tua pada umumnya, dan 3) gelar yang diberikan oleh masyarakat untuk seseorang yang ahli agama Islam serta memiliki atau menjadi pemimpin pesantren dan mengajarkan kitab-kitab klasik kepada para santrinya.1 Namun dalam hal ini, yang dimaksud kiai adalah merujuk pada pengertian yang terakhir, yaitu seseorang yang memiliki pengetahuan mendalam terhadap ajaran agama Islam.

Kiai di dalam pesantren merupakan guru dan panutan utama bagi santri. Hal ini karena kiailah yang bertugas memberikan bimbingan, pengajaran, pengarahan, dan pendidikan kepada para santri. Kiai pula yang

1Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup

Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 2011), hlm. 93.

(23)

2

dijadikan figur ideal bagi santri dalam mengembangkan diri. Secara pengertian umum di pesantren, kiai adalah pemimpin pesantren, bahkan terkadang sekaligus pendiri pesantren. Ia dikenal sebagai muslim terpelajar yang membaktikan hidupnya semata-mata karena Allah dengan mendalami dan menyebarluaskan ajaran-ajaran Islam.2

Masyarakat tradisional berpandangan bahwa seseorang mendapat predikat “kiai” karena mereka diterima sebagai kiai, biasanya ditandai dengan banyaknya orang-orang yang datang untuk meminta petuah kepadanya atau menitipkan anaknya untuk belajar kepadanya. Dalam hal ini tidak ada persyaratan secara formal untuk menjadi kiai. Namun, ada beberapa hal yang biasanya menjadi tolak ukur, di antaranya: pengetahuan, kesalehan, keturunan, dan jumlah santrinya.3

Kiai memiliki pengaruh sangat besar baik dalam kehidupan bermasyarakat maupun bernegara. Semakin besar pesantren dan semakin banyak santri akan semakin besar pula pengaruh dari seorang kiai. Sebut saja misal kiai yang memiliki pesantren besar dan menjadi tokoh nasional, seperti: Kiai Maimun Zubair (Rembang), Kiai Said Aqil Siradj (Cirebon), Kiai Salahuddin Wahid

2

Abd. Halim Soebahar, Modernisasi Pesantren: Studi Transformasi Kepemimpinan Kiai dan Sistem Pendidikan Pesantren, (Yogyakarta: LKiS, 2013), hlm. 38.

3

(24)

3

(Jombang), Kiai Ma‟ruf Amin (Serang), Kiai Hasan Abdullah Sahal (Ponorogo), dan masih banyak lainnya. Selain itu, ada pula kiai yang pengaruhnya masih pada tingkat wilayah. Mereka di antaranya: Kiai Subhan (Brebes), Kiai Achmad Abdul Hamid (Kendal), Kiai Taufiq (Pekalongan), Kiai Chambali Utsman (Tegal), Kiai

Jaelani (Tarub, Tegal). b. Peran kiai

Berkaitan dengan peran kiai, Kompri menyebutkan terdapat tiga peran pokok kiai, yaitu sebagai pemimpin, sebagai individu terbaik, dan sebagai teladan di pesantren.4 Pendapat tersebut juga selaras dengan pandangan Zamakhsyari Dhofier yang menyebutkan peran kiai sebagai guru dan pemimpin.5 Sedangkan, Sulthon Masyhud menambahkan peran kiai sebagai pengasuh.6 Dari beberapa pendapat tersebut, peneliti mengklasifikasikan peran kiai menjadi tiga, yaitu sebagai pemimpin, sebagai pengajar, dan sebagai pengasuh. Peneliti menilai peran-peran tersebut sesuai dengan peran kiai di Pondok Pesantren Hasyim Asy‟ari.

4 Kompri, Manajemen dan Kepemimpinan Pondok Pesantren, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2018), hlm. 205.

5

Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren..., hlm. 94. “...Mereka bukan petani, tetapi pemimpin dan pengajar, yang memiliki kedudukan tinggi di masyarakat...”

6

M. Sulthon, dkk., Manajemen Pondok Pesantren, (Jakarta: Diva Pustaka, 2003), hlm. 29.

(25)

4 1) Peran sebagai pemimpin

Mayoritas para kiai beranggapan bahwa suatu pesantren dapat diibaratkan sebagai suatu kerajaan kecil di mana kiai merupakan raja atau pemimpin dalam kehidupan dan lingkungan pesantren. Kiai dengan kelebihannya dalam penguasaan pengetahuan Islam, seringkali dianggap sebagai orang yang senantiasa dekat dengan Tuhan. Sehingga kiai memiliki kedudukan yang tinggi, bahkan dianggap pemimpin dalam permasalahan sosial dan agama.7

Pemimpin merupakan seseorang yang mampu mempengaruhi orang lain dalam mencapai tujuan yang sama. Setiap lembaga atau intitusi pasti memiliki seorang pemimpin.8 Sebagai pemimpin, kiai bertugas membangun solidaritas dan kerja sama antara dirinya dan segala aspek yang dipimpinnya (ustadz, pengurus, dan santri). Kepemimpinan kiai terlahir karena kualitas pribadi, yaitu akhlak (karakter) dan kedalaman ilmu agama. Sehingga, kiai akan menampilkan kepemimpinan dengan karismatika yang dominan.9

7

Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren..., hlm. 94.

8 A. Halim, dkk., Manajemen Pesantren, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2005), hlm. 77.

9

(26)

5

Kiai bertindak sebagai figur sentral di pesantren sekaligus di masyarakat. Segala ucapan, perbuatan, dan tingkah laku kiai dijadikan sebagai aturan hidup oleh santri maupun masyarakat.10 Kiai memberikan bimbingan dan tuntunan, menenangkan hati orang yang sedang gelisah, menyelesaikan berbagai masalah, bahkan tidak jarang masyarakat yang meminta doa kiai untuk kesembuhan penyakitnya. Dengan demikian, seorang kiai selain mengajarkan pengetahuan agama, juga sekaligus mengemban tanggung jawab moral dan spritual di lingkungan pesantren.11

Keberhasilan pesantren dalam mencapai tujuan yang ingin diraih tergantung pada kepemimpinan kiai. Hal ini dapat diamati dari kemampuan kiai menggerakkan semua potensi Sumber Daya Manusia (SDM), Sumber Daya Alam (SDA), sarana, dana, dan waktu secara efektif serta efisien. Semua itu dijalankan secara terpadu dalam proses manajemen peningkatan mutu pesantren. Karena itu, kepemimpinan kiai merupakan inti dari organisasi

10

Rofiq A., dkk. Pemberdayaan Pesantren, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2005), hlm. 7.

11

Umiarso dan Nur Zazin, Pesantren di Tengah Arus Mutu Pendidikan, (Semarang: Rasail Media Group, 2011), hlm. 25.

(27)

6

pesantren.12 Sebagai pemimpin, kiai dengan dibantu asatidz (guru) memiliki kewenangan dalam membuat dan menjalankan kebijakan yang mengarah kepada pembentukan karakter mandiri santri.

2) Peran sebagai pengajar

Di pesantren, kiai menjalankan aktivitas kesehariannya dengan mengajar ilmu-ilmu agama kepada para santrinya, baik di madrasah maupun di masjid. Meskipun demikian, interaksi antara kiai dan santri berjalan secara simultan. Sehingga proses transfer ilmu tidak hanya diperoleh melalui kegiatan formal. Namun, dapat pula diperoleh melalui pertemuan-pertemuan ringan antara kiai dan santri.13

Sebagai pewaris nabi (warasatul anbiya), kiai menjadi penyambung ilmu dari ulama-ulama terdahulu kepada santri didiknya. Sebagaimana ketika menimba ilmu di pesantren, kiai biasanya menggunakan kitab-kitab klasik sebagai sumber ilmu pengetahuan.14 Kiai melakukan transfer ilmu pengetahuan (khususnya ilmu keagamaan) dalam forum-forum pengajian yang biasanya dilakukan setelah sholat berjamaah. Proses pengajaran di

12

Umiarso dan Nur Zazin, Pesantren di Tengah..., hlm. 197.

13 Ali Usman, Kiai Mengaji Santri Acungkan Jari, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2012), hlm. 37.

14

(28)

7

pesantren berbeda dengan pengajaran di sekolah. Di pesantren, santri mengaji kepada kiai dengan cara memaknai/mengesahi (menerjemahkan) kitab-kitab berbahasa Arab.15 Dalam satu minggu biasanya terdapat pembagian jadwal pengajian kitab yang akan dipelajari, seperti: kitab tafsir, kitab hadits, kitab akhlak, kitab nahwu-shorof, kitab tauhid, kitab hikmah, dan kitab tarikh.

Kiai memiliki niat mulia dalam mendidik calon-calon ulama yang kelak menjadi penerusnya. Hal ini tentu hanya berlaku bagi santri-santri yang menimba ilmu di pesantren dalam jangka waktu yang lama. Adapun bagi santri yang tinggal di pesantren dalam rentang waktu yang pendek, peran kiai sebagai pengajar akan banyak dimanfaatkan untuk pendalaman jiwa keagamaan santri.16 Selain itu, santri juga diberikan berbagai ketrampilan untuk menunjang kehidupannya kelak ketika terjun di masyarakat.

Kiai memiliki metode khusus dalam proses pengajaran di pesantren, yaitu metode bandongan dan sorogan. Bandongan yaitu kiai membaca, menerjemahkan, dan menerangkan sebuah kitab kepada seluruh santri. Dalam metode bandongan, kiai

15Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren, (Jakarta: Dian Rakyat, TT), hlm. 25.

16

(29)

8

menjadi sentral perhatian dan bekerja lebih aktif dari santri. Sebaliknya, sorogan yaitu santri membaca, menerjemahkan, dan menerangkan sebuah kitab dengan didengarkan oleh kiai dan santri lainnya. Metode sorogan ini biasanya dikhususkan bagi sekelompok santri senior yang dipersiapkan untuk menjadi pengajar di pesantren.17 Dengan metode sorogan, santri secara mandiri diharuskan untuk mempersiapkan bacaan serta pemahamannya terhadap sebuah kitab.

3) Peran sebagai pengasuh

Di lingkungan pesantren, sosok kiai dimaknai sebagai pengganti dari orang tua. Kiai mampu merawat, menjaga, mengasuh, dan mendidik santri agar memiliki akhlak (karakter) yang baik. Dengan begitu, kiai selalu berada dalam tingkat kesadaran yang tinggi bahwa segala perilakunya akan menjadi model/tauladan bagi warga pesantren.18 Dalam peranannya sebagai pengasuh, kiai membagi tugas kepada pengurus asrama untuk mentoring para santri. Kegiatan mentoring tersebut sekaligus melatih santri untuk mandiri dan bertanggung jawab.

17Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren..., hlm. 54. 18

(30)

9

Peran sebagai pengasuh dijalankan oleh kiai sebagai wujud dakwah bi al-hal (dakwah dengan tindakan). Dakwah semacam ini merupakan salah satu metode dakwah yang efektif dalam upaya mengajar umat dan masyarakat untuk berbuat kebaikan serta meningkatkan keimanan dan ketakwaan. Keberadaan kiai dalam kehidupan pesantren akan menjadi panutan bagi santri dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang dihadapi. Dalam hal ini, kiai senantiasa memberikan teladan kepada santri sebagai modal untuk menjalani kehidupan bermasyarakat.19

Kiai merupakan moral force bagi para santri dan seluruh penghuni pesantren. Antara santri dan kiai terjalin hubungan batin yang tulus dan kokoh. Bahkan, hubungan tersebut berlanjut sampai ketika santri sudah pulang ke masyarakat. Kondisi semacam ini tidak banyak ditemui pada lembaga pendidikan lainnya.20 Sosok pengasuh (sebagai pengganti orang tua) begitu baik diperankan oleh kiai. Tidak heran seorang santri kelak kembali menitipkan anaknya di pesantren yang dulu menjadi tempatnya menimba ilmu.

19Umiarso dan Nur Zazin, Pesantren di Tengah...,hlm. 47. 20

(31)

10 2. Karakter

a. Pengertian karakter

Istilah karakter berasal dari Bahasa Yunani “karasso” yang berarti cetak biru, format dasar, dan sidik (seperti dalam „sidik jari‟).21

Dalam Islam, karakter sering disebut dengan istilah “akhlak”, yaitu suatu perangai (watak, tabiat) yang menetap kuat dalam jiwa seseorang serta merupakan sumber timbulnya perbuatan-perbuatan tertentu dari dirinya secara mudah dan ringan, tanpa perlu dipikirkan atau direncanakan sebelumnya.22

Karakter diartikan sebagai cara berpikir dan berperilaku yang khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara. Menurut Scerenko sebagaimana dikutip Muchlas Samani dan Hariyanto, karakter merupakan atribut atau ciri-ciri yang membentuk dan membedakan ciri pribadi, ciri etis, dan kompleksitas dari seseorang, kelompok, atau bangsa.23

Berkaitan dengan pengertian karakter, Doni Koesoema mengutip pendapat dari dua tokoh, yaitu

21Doni Koesoema A, Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak

di Zaman Global, (Jakarta: Grasindo, 2010), hlm. 90. 22

Imam Abu Hamid Al-Ghazali, Mengobati Penyakit Hati Membentuk Akhlak Mulia, Terj. Muhammad Al-Baqir, (Jakarta: Mizania, 2014), hlm. 28.

23

Muchlas Samani dan Hariyanto, Konsep dan Model Pendidikan Karakter, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), hlm. 42.

(32)

11

Sjarkawi dan Mounier. Menurut Sjarkawi, istilah karakter dianggap sama dengan kepribadian. Sehingga karakter berarti ciri, gaya, atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan, misalnya keluarga pada masa kecil, dan juga bawaan seseorang sejak lahir.24 Sedangkan menurut Mounier, karakter dapat dipahami dalam dua hal. Pertama, karakter merupakan sekumpulan kondisi yang telah diberikan begitu saja tanpa bisa ditolak atau bawaan dari lahir (given). Kedua, karakter juga bisa dipahami sebagai tingkat kekuatan sesorang individu dalam menguasai kondisi dirinya. Karakter yang demikian disebut sebagai sebuah proses yang dikehendaki (willed).25

Dengan berbagai pengertian di atas, karakter tidak hanya diartikan sebagai sifat individu, namun juga sebagai sifat keluarga, kelompok, dan bangsa. Pengertian sebagai identitas atau jati diri suatu bangsa, karakter merupakan nilai dasar yang menjadi acuan tata nilai dalam berinteraksi sosial. Secara universal berbagai karakter dirumuskan sebagai nilai hidup yang harus dijunjung bersama, di antaranya: kedamaian, toleransi, menghargai, kerja sama, kebebasan, kebahagiaan, kejujuran,

24Doni Koesoema A, Pendidikan Karakter..., hlm. 80. 25

(33)

12

kesopanan, kerendahan hati, persatuan, kasih sayang, disiplin, mandiri, kesederhanaan, dan tanggung jawab. Tentu masih banyak nilai-nilai karakter lain yang disesuaikan dengan kondisifitas bangsa dan negara.26

Berdasarkan penjelasan yang telah dipaparkan di atas, peneliti cenderung menggunakan pendapat dari Sjarkawi. Sehingga, karakter adalah ciri, gaya, tabiat, atau sifat khas diri seseorang yang merupakan bawaan sejak lahir dan sekaligus bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan. Karakter tersebut akan melahirkan perbuatan-perbuatan tertentu dari dirinya secara mudah dan ringan, tanpa perlu dipikirkan atau direncanakan sebelumnya. b. Karakter mandiri

Secara etimologi, karakter mandiri merupakan gabungan dua kata, yaitu “karakter” berarti sifat khas seseorang yang membentuk perilaku sehari-hari, dan “mandiri” yang berarti dalam keadaan dapat berdiri sendiri. Mandiri bukan berarti tidak boleh bekerjasama secara kolaboratif melainkan tidak boleh melemparkan tugas dan tanggung jawab pada orang lain.27 Sehingga karakter mandiri merupakan sifat yang tertanam dalam diri seseorang untuk senantiasa berbuat dengan

26Muchlas Samani dan Hariyanto, Konsep dan Model..., hlm. 43. 27 Gurniawan Kamil, “Pembentukan Karakter Melalui Pendidikan Sosiologi”, Jurnal Tingkap, (Vol. 11, No. 1, tahun 2015), hlm. 63.

(34)

13

kemampuan diri sendiri dan bukan bergantung kepada orang lain.

Dalam keluarga, karakter mandiri harus ditanamkan oleh orang tua kepada anak untuk membangun kepribadian sejak dini. Anak yang memiliki karakter mandiri berarti senantiasa aktif, kreatif, independen, kompeten, dan spontan. Dari sifat-sifat tersebut bukan berarti mandiri sama dengan percaya diri. Karakter mandiri merujuk kepada kepribadian seseorang yang senantiasa siap menghadapi situasi apapun tanpa bergantung kepada orang lain.28

Dengan demikian, orang yang berkarakter mandiri berarti orang yang memiliki watak cukup diri, baik dalam berpikir maupun bertindak. Orang yang berkarakter mandiri mampu berpikir dan berfungsi secara independen, tidak bergantung pada orang lain, dan sanggup menghadapi masalah. Ia mampu menguasai kehidupannya sendiri dan dapat menangani apa saja yang menjadi kesulitannya.

Karakter mandiri erat hubungannya dengan kemandirian. Jika karakter mandiri diartikan sebagai sebuah sikap, sifat, atau watak yang mandiri, maka kemandirian adalah usaha atau kemampuan seseorang

28

Mustari, Nilai Karakter: Refleksi Untuk Pendidikan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hlm. 77-78.

(35)

14

dalam melakukan perbuatan secara mandiri.29 Sehingga diperoleh kesimpulan bahwa seseorang yang memiliki karakter mandiri akan mengaktualisasikan kemandirian, yaitu pola hidup yang tidak bergantung kepada orang lain. Sebaliknya, seseorang yang menjalankan aktivitasnya dengan penuh kemandirian maka di dalam pribadinya terdapat karakter mandiri.

Berkaitan dengan kemandirian, ada beberapa aspek kemandirian bagi peserta didik, diantaranya: (1) kebebasan, peserta didik bertindak atas kehendaknya sendiri bukan karena orang lain dan tidak tergantung pada orang lain. (2) inisiatif, peserta didik berpikir dan bertindak secara original, kreatif, dan penuh inspirasi. (3) percaya diri, peserta didik berani dan percaya terhadap kemampuan diri sendiri. (4) pengambilan keputusan, peserta didik mampu mengambil keputusan dengan pertimbangan akar masalah serta mengevaluasi masalah yang dihadapinya. (5) tanggung jawab, peserta didik berani mengambil resiko dan konsekuensi dari keputusan yang telah diambil baik bagi dirinya maupun orang lain. (6) kontrol diri, peserta didik mengendalikan tindakannya,

29 M. Asrorul Amin dan Turhan Yani, “Peran Pondok Pesantren Dalam Menumbukan Sikap Kemandirian Santri Melalui Kegiatan Wirausaha di Ponpes Mukmin Mandiri Sidoarjo”, Jurnal Moral dan Kewarganegaraan,

(36)

15

menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya, serta mempengaruhi lingkungannya atas usahanya sendiri.30

Adapun faktor yang mempengaruhi kemandirian itu antara lain: faktor internal dan eksternal. Faktor internal merupakan faktor yang bersumber dari diri seseorang seperti motivasi dan kebutuhan seseorang. Sebab, pada dasarnya manusia menginginkan otonomi (bisa mengatur diri sendiri), melepaskan diri dari kendala, meloloskan diri dari kungkungan dan ketergantungan pada orang lain. Sedangkan faktor eksternal meliputi dua hal. Pertama, faktor kebudayaan. Kebudayaan masyarakat yang kompleks dan maju akan membentuk kemandirian seseorang. Kedua, faktor pola asuh. Pola asuh yang bersifat demokratis, otoriter, dan bebas akan mempengaruhi pada perkembangan kemandirian seseorang.31

Semakin besar motivasi santri, semakin besar pula kemauan untuk mencapai tujuan, sehingga tingkah laku mandirinya lebih besar. Semakin besar tingkah laku mandirinya, maka semakin aktif seseorang mencari informasi, semakin percaya diri, sanggup memecahkan

30Rika Sadiyah, “Pentingnya Melatih Kemandirian Anak”,

Jurnal Kordinat, (Vol. 16, No. 1, tahun 2017), hlm. 38.

31 Rizal Muttaqin, “Kemandirian dan Pemberdayaan Ekonomi Berbasis Pesantren”, Jurnal Ekonomi Syariah Indonesia, (Vol. 1, No.2, tahun 2011), hlm. 69.

(37)

16

masalahnya tanpa bantuan orang lain, suka bekerja keras, senang kompetisi yang sehat, punya kebutuhan berprestasi, suka mendapat kebebasan, sekaligus juga suka membebaskan orang lain. Mandiri semacam ini adalah mandiri yang benar-benar memiliki pandangan hidup sebagai suatu keseluruhan, cenderung bersikap realistis dan objektif terhadap diri sendiri.32

c. Pembentukan karakter mandiri

Pengertian karakter sesungguhnya telah dijelaskan dalam berbagai konsep dan penggunaan, di antaranya dalam sudut pandang pendidikan, karakter seringkali mengarah pada kebaikan seseorang. Dengan kata lain, seseorang yang dianggap berkarakter adalah pribadi yang menunjukan kualitas kebaikan sebagaimana yang diharapkan masyarakat. Karena itu, pembentukan karakter senantiasa akan berkaitan dengan usaha menanamkan nilai dasar manusia kepada anak-anak yang di antaranya memuat kejujuran, kedisiplinan, kemandirian, keberanian, tanggung jawab, dan sebagainya.33

Setiap karakter dapat dirubah dengan jalur pendidikan. Tidak dapat dipungkiri adanya kemungkinan

32Rizal Muttaqin, “Kemandirian dan Pemberdayaan..., hlm. 69. 33 Mangun Budiyanto dan Imam Machali, “Pembentukan Karakter Mandiri Melalui Pendidikan Agriculture di Pondok Pesantren Islamic Studies Center Aswaja Lintang Songo Piyungan Bantul Yogyakarta”, Jurnal Pendidikan Karakter, (Vol. 6, No.2, tahun 2014), hlm. 110.

(38)

17

perubahan karakter manusia. Bahkan, perubahan itu juga mungkin terjadi pada binatang. Hal ini dibuktikan dengan adanya beberapa binatang liar yang menjadi jinak dan terlatih, seperti: anjing, kuda, dan elang.34 Nabi Muhammad Saw. Bersabda:

ْخَْلِا َحِلاَص َمِّمَتُِلِ ُتْثِعُب اَمَّنِإ

ِقَلا

“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak

yang baik.” (HR. Ahmad).35

Aristoteles yang dikutip Ibnu Miskawaih sebagaimana dalam Maksudin, mengungkapkan bahwa orang yang buruk bisa berubah menjadi baik melalui pendidikan. Orang yang tidak mandiri dapat dirubah menjadi mandiri melalui pendidikan. Namun, hal itu bersifat tidak pasti. Ia beranggapan bahwa nasihat yang berulang-ulang dan disiplin serta bimbingan yang baik akan melahirkan hasil yang beragam pada setiap orang. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan watak bawaan dari lahir. Sebagian dari mereka tanggap dan segera

34

Imam Abu Hamid Al-Ghazali, Mengobati Penyakit Hati..., hlm. 42.

35 Muhammad Abd As Salam Abd Asy Syaafii, Musnad Imam

Ahmad Ibn Hambal Juz 2, (Beirut Lebanon: Dar Al Kotob Al Ilmiyah), hlm. 504.

(39)

18

menerimanya. Namun, sebagian yang lain tidak langsung menerimanya.36

Karakter terbentuk oleh diri sendiri dengan pengaruh keluarga dan lingkungan. Pengaruh keluarga sangat dominan dalam pembentukan karakter pribadi sesorang, sebab keluarga merupakan pondasi awal dalam penanaman nilai-nilai karakter seseorang.37 Meskipun demikian, bukan berarti pengaruh lingkungan dikesampingkan, baik lingkungan pendidikan maupun lingkungan sosial keduanya sama-sama mampu merubah karakter awal yang telah dibangun oleh keluarga. Pemilihan lingkungan pergaulan yang keliru akan berakibat fatal terhadap perkembangan karakter seseorang. Anak yang terbiasa hidup dengan kemudahan dari lingkungan tidak akan sama pribadinya dengan anak yang hidup di lingkungan yang penuh keterbatasan. Seringkali lingkungan yang penuh keterbatasan akan membentuk pribadi-pribadi dengan karakter mandiri.

Pembentukan karakter dalam pendidikan harus melibatkan tiga aspek, yakni pengetahuan moral (moral knowing), perasaan tentang moral (moral feeling), dan perbuatan/tindakan moral (moral behavior). Pertama,

36

Maksudin, Pendidikan Karakter Non-Dikotomik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), hlm. 57.

37

Thomas Lickona, Mendidik untuk Membentuk Karakter, Terj. Juma Abdu Wamaungo, (Jakarta: Bumi Aksara, 2013), hlm. 48.

(40)

19

pengetahuan moral. Terdapat enam aspek yang menjadi orientasi dari pengetahuan moral, yaitu: (1) kesadaran moral; (2) pengetahuan terhadap nilai-nilai moral; (3) pengambilan perspektif; (4) penalaran moral; (5) pengambilan keputusan; dan (6) pengetahuan diri. Kedua, perasaan moral. Terdapat enam aspek yang menjadi orientasi dari moral feeling, yaitu: (1) hati nurani; (2) penghargaan diri; (3) empati; (4) mencintai kebajikan; (5) kontrol diri; dan (6) kerendahan hati. Ketiga, perbuatan/ tindakan moral. Ada tiga aspek yang menjadi indikator dari moral action, yaitu: (1) kompetensi; (2) keinginan; dan (3) kebiasaan.38

Proses pembentukan karakter mandiri memerlukan intensitas tertentu. Santri disatukan dalam sebuah lingkungan pendidikan berupa asrama, sehingga memunculkan suasana belajar yang komprehensif dan holistik. Steinberg dalam Kusumawardhani dan Hartati menyebutkan bahwa kemandirian terdiri dari tiga aspek, yaitu: kemandirian emosi, kemandirian bertindak, dan kemandirian nilai. Kemandirian emosi menekankan pada kemampuan remaja untuk melepaskan diri dari ketergantungan orang tua dalam pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasarnya. Kemandiran bertindak menekankan

38 Thomas Lickona, Pendidikan Karakter: Panduan Lengkap

Mendidik Siswa Menjadi Pintar dan Baik, terj. Lita S, (Bandung: Nusa Media, 2014), hlm. 70.

(41)

20

pada kemampuan remaja untuk melakukan aktivitas, sebagai manifestasi dari berfungsinya kebebasan, menyangkut peraturan-peraturan yang wajar mengenai perilaku dan pengambilan keputusan, sehingga ia mampu untuk membuat sebuah keputusan sendiri.39

Sedangkan kemandirian nilai berarti kebebasan untuk memaknai seperangkat prinsip tentang benar dan salah, yang wajib dan yang hak, yang penting dan yang tidak penting. Kemandirian sebagai nilai, tidak bisa diajarkan sebagaimana mengajarkan pengetahuan dan keterampilan pada umumnya, ia memerlukan proses yang panjang dan bertahap melalui berbagai pendekatan yang mengarah pada perwujudan sikap. Karena itu, pendidikan kemandirian lebih menekankan pada proses-proses pemahaman, penghayatan, penyadaran, dan pembiasaan.40 Kemandirian tersebut kemudiaan tertanam dalam diri seseorang menjadi sebuah sikap atau watak, yaitu karakter mandiri.

3. Santri

a. Pengertian santri

Santri berasal dari Bahasa Sansekerta “sastri” yang berarti orang yang memiliki ilmu kedamaian atau

39 Aan Fardani, “Pembentukan Karakter Religius dan Mandiri Melalui Model Pendidikan Ala Pondok Pesantren”, Jurnal Al-Wijdan, (Vol. 1, No. 1, tahun 2016), hlm. 4.

(42)

21

keagamaan. Adapula yang mengartikan santri berasal dari Bahasa Jawa “cantrik” berarti orang yang selalu mengikuti guru ke mana guru pergi.41 Di lingkungan pesantren, santri diartikan sebagai orang yang berpegang teguh pada Al-Qur‟an dan mengikuti sunah Nabi Muhammad SAW serta menjalankan ajaran agama Islam.

Secara umum, santri adalah sebutan bagi orang yang menimba ilmu pada kiai di pondok pesantren. Santri biasanya menetap di asrama pesantren sampai masa pendidikannya selesai. Namun, menurut tradisi pesantren santri terbagi menjadi dua yaitu santri mukim dan santri kalong. Santri mukim yaitu sebutan untuk santri yang menetap di pesantren. Santri mukim yang telah lama di pesantren umumnya akan diberikan tanggung jawab untuk mengurusi kepentingan pesantren sehari-hari. Mereka diberikan wewenang untuk mengajar santri-santri muda tentang kitab-kitab dasar dan menengah.

Sedangkan santri kalong yaitu sebutan untuk santri yang berasal dari lingkungan sekitar pesantren dan biasanya tidak menetap di asrama pesantran. Mereka pergi ke pesantren untuk mengikuti pelajaran, kemudian pulang lagi ke rumah setelah pelajaran selesai.42 Singkatnya bahwa sebutan santri mukim untuk santri yang bermukim

41Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik..., hlm. 21. 42

(43)

22

di pesantren, sedangkan santri kalong untuk santri yang bolak-balik ke rumah. Namun dalam hal ini, pengertian santri yang peneliti maksud adalah santri mukim, yaitu seseorang yang tinggal di pesantren dalam rangka menimba ilmu kepada kiai.

Seorang santri pergi dan menetap di suatu pesantren dilandasi dengan berbagai alasan. Pertama, ia ingin mempelajari kitab-kitab lain yang mengkaji agama secara lebih mendalam di bawah bimbingan kiai yang memimpin pesantren. Kedua, ia ingin memperoleh pengalaman kehidupan di pesantren, baik dalam bidang pengajaran, keorganisasian, maupun hubungan dengan pesantren-pesantren lainnya. Ketiga, ia ingin memfokuskan studinya di pesantren tanpa disibukkan dengan kewajiban sehari-hari di rumah keluarganya. Di samping itu, dengan tinggal di pesantren ia akan belajar bertaggung jawab terhadap dirinya sendiri.43

b. Pendidikan santri

Santri merupakan pusat dari serangkaian pendidikan di pondok pesantren. Kebijakan dan kurikulum pesantren dirumuskan semaksimal mungkin untuk meningkatkan kompetensi santri yang meliputi aspek kognitif, psikomotorik, dan afektif. Pada aspek kognitif, santri dituntut untuk memahami beberapa bidang

43

(44)

23

ilmu pengetahuan, di antaranya: Akidah, Akhlak, Fikih, Tajwid, Nahwu, Shorof, dan lain-lain. Pada aspek psikomotorik, banyak ketrampilan yang harus dimiliki oleh santri, seperti: khitobah, adzan, dan lain-lain. Sedangkan pada aspek afektif, santri dilatih untuk senantiasa memiliki sifat mandiri, disiplin, dan bertanggung jawab.

Berkaitan dengan karakter mandiri, di beberapa pesantren telah melakukan usaha-usaha untuk santri dalam rangka pembentukan karakter tersebut. Pendidikan yang mengarah pada pembentukan karakter mandiri dilakukan antara lain dengan memberikan kesempatan kepada santri untuk berorganisasi, mengelola koperasi pesantren, mengelola perpustakaan, bertani, berwirausaha, berternak, dan semacamnya. Pembentukan karakter mandiri juga tampak dari pola hidup santri sehari-hari, mulai dari mencuci pakaian, makan, menata buku, merencanakan belajar, hingga mengatur keuangan pribadi.44

Dalam kesehariannya, para santri tinggal bersama dalam satu asrama dengan usia mereka yang bervariasi, anak-anak, remaja, dan dewasa. Kondisi tersebut cukup berpotensi untuk menghasilkan sebuah proses pendidikan

44

Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta: INIS, 1994), hlm. 63-64.

(45)

24

yang berkualitas.45 Santri dewasa sudah lebih dulu berproses dan belajar kepada kiai dalam berbagai bidang, termasuk dalam pembentukan karakter mandiri. Kemudian proses belajar tersebut ditularkan kepada santri muda dengan metode pemberian tauladan.

Usaha pembentukan karakter atau akhlak terhadap santri di pondok pesantren dilakukan melalui proses pendidikan secara terus-menerus, saling mengisi antara kegiatan tatap muka teoritik dengan praktik keseharian santri dalam lingkungan kondusif-aplikatif. Kegiatan keseharian santri tersebut dilakukan berulang-ulang setiap harinya sehingga menjadi sebuah kebiasaan. Hal tersebut diungkapkan dalam berbagai literatur bahwa kebiasan yang dilakukan secara berulang-ulang yang didahului dengan kesadaran dan pemahaman akan menjadi sebuah karakter seseorang.46

Selain dari pada itu, hal utama yang menjadi sumber belajar santri adalah figur seorang kiai. Kiai menjadi sosok panutan bagi santri dalam menerapkan akhlaqul karimah (perilaku yang baik) dalam kehidupan sehari-hari, seperti: disiplin, tanggung jawab, dan mandiri. Santri setelah belajar dari kitab-kitab tentang akhlak, kemudian mendapatkan implementasinya langsung dari

45Abd. Halim Soebahar, Modernisasi Pesantren..., hlm. 39. 46Aan Fardani, “Pembentukan Karakter... , hlm. 8.

(46)

25

kiai. Proses inilah yang khas dari pesantren serta jarang ditemui di lembaga pendidikan lainnya.

c. Karakter santri

Karakter santri bisa juga diartikan sebagai ciri khas yang dimiliki oleh santri. Secara umum, ada beberapa karakter yang dimiliki oleh santri. Karakter tersebut diantaranya: disiplin, mandiri, sederhana, jujur, sopan, santun, kerja keras, dan tanggung jawab. Namun, dari beberapa karakter yang telah disebutkan, karakter mandiri menjadi hal yang paling kentara bagi santri jika dibandingkan dengan siswa di lembaga pendidikan formal.

Karakter mandiri menjadi karakter yang paling dominan dari santri. Di pesantren, santri dituntut untuk mampu memanajemen dirinya sendiri. Santri terbiasa mengatur keuangannya, waktunya, dan aktivitasnya. Bahkan, sejak masuk sudah disuguhi dengan berbagai kebiasaan yang harus dilakukan secara mandiri. Dalam hal ini, pelajaran yang paling dibutuhkan adalah kedewasaan, yaitu bagaimana santri terlatih untuk tidak mudah mengeluh dengan problematika sehari-hari.47 Aspek ini selanjutnya mendorong santri berlaku jujur,

47

Uci Sanusi, “Pendidikan Kemandirian di Pondok Pesantren”,

(47)

26

cerdas, trampil, kreatif, dan disiplin menghadapi segala sesuatunya sendiri.

Pembentukan karakter santri di pondok pesantren melalui beberapa metode yang dapat diterapkan: pengajaran, keteladanan, pembiasaan, nasihat, kedisplinan, pujian dan sanksi.48 Beberapa metode tersebutlah yang banyak dipakai oleh kiai atau asatidz di kalangan pesantren. Penerapan metode dengan tepat akan melahirkan lingkungan pesantren yang cukup ideal dalam pendidikan. Sehingga karakter dan kompetensi santri dapat terbentuk secara maksimal.

B. Kajian Pustaka Relevan

Dalam penelitian yang berjudul “Peran Kiai Dalam Pembentukan Karakter Mandiri Santri di Pondok Pesantren Hasyim Asy‟ari Tegal Tahun 2019” ini, peneliti fokus pada bagaimana pondok pesantren membentuk santri berkarakter mandiri, khususnya bagaimana peran kiai dalam pembentukan karakter tersebut. Kemudian bagaimana strategi kiai dalam membentuk karakter mandiri pada santrinya, serta faktor apa saja hal-hal yang menjadi pendukung atau penghambat dari proses tersebut.

Sebagai data pendukung dan dalam rangka mengetahui secara luas tentang masalah tersebut, maka peneliti mengacu pada

48

(48)

27

pustaka yang relevan dengan penelitian ini. Tinjauan pustaka yang peneliti gunakan diantaranya:

1. Skripsi Arif Taufiqurrohman tahun 2017, NIM 123111056, mahasiswa PAI di UIN Walisongo Semarang dengan judul “Peran Pondok Pesantren Dalam Mengembangkan Karakter Disiplin (studi kasus di Pondok Pesantren Darunnajah Kepil Wonosobo)”. Penelitian ini membahas tentang peran pondok pesantren dalam mendidik karakter santri. Fokus penelitian saudara Arif lebih menekankan pada pembentukan karakter disiplin. Di dalamnya juga dijelaskan pula hambatan-hambatan yang dialami oleh pengasuh dalam mengembangkan karakter disiplin pada santri-santrinya.

2. Skripsi M. Shony Hidayatullah tahun 2019, NIM 1403036084, mahasiswa MPI di UIN Walisongo Semarang dengan judul “Peran Kepemimpinan Kiai Dalam Membentuk Karakter Santri di Pondok Pesantren Futuhiyyah Mranggen Demak”. Penelitian ini membahas tentang peran kepemimpinan kiai dalam membentuk karakter santri. Fokus penelitian saudara Shony lebih menekankan pada model kepemimpinan kiai terhadap pembentukan karakter santri, tanpa spesifikasi karakter. Di dalamnya juga dijelaskan pula hambatan-hambatan yang dialami oleh kiai dalam membentuk karakter pada santri-santrinya.

3. Jurnal Mangun Budiyanto dan Imam Machali tahun 2014, Jurnal Pendidikan Vol. 4 No. 2 Fakultas Ilmu Tarbiyah dan

(49)

28

Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dengan judul “Pembentukan Karakter Mandiri Melalui Pendidikan Agriculture Di Pondok Pesantren Islamic Studies Center Aswaja Lintang Songo Piyungan Bantul Yogyakarta”. Penelitian ini juga membahas tentang pembentukan karakter disiplin pada santri. Namun topik yang menjadi fokus bahasan dalam jurnal ini adalah pembentukan karakter melalui pendidikan pertanian. Tidak dibahas secara mendalam bagaimana sistem pesantren membentuk karakter mandiri. Hasil dalam penelitian ini menerangkan pentingnya pembelajaran secara komunitas dalam membentuk karakter mandiri.

4. Jurnal Mohammad Asrorul Amin dan H. M. Turhan Yani tahun 2017, Kajian Moral dan Kewarganegaraan Vol. 5 No. 3 FISH UNESA Surabaya, dengan judul “Peran Pondok Pesantren Dalam Menumbuhkan Sikap Kemandirian Santri Melalui Kegiatan Wirausaha Di Ponpes Mukmin Mandiri Sidoarjo”. Hampir sama dengan tinjaun pustaka yang kedua, namun bedanya dalam penelitian ini menggunakan pengaruh kegiatan kewirausahaan. Karakter yang dikaji adalah kemandirian dalam mengelola wirausaha, mengatasi kendala, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan proses wirausaha.

Beberapa penelitian di atas mempunyai kesamaan dengan penelitian yang sedang peneliti lakukakan, yaitu tentang pembentukan karakter. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian

(50)

29

sebelumnya adalah pada fokus penelitiannya, peneliti lebih khusus membahas peran kiai dalam pembentukan karakter mandiri santri, bukan dengan pendidikan pertanian maupun kewirausahaan. Titik berat penelitian ini yaitu pada kiai dan karakter mandiri.

C. Kerangka Berpikir

Proses pembentukan karakter mandiri dapat dilakukan oleh seseorang secara pribadi maupun lembaga dengan caranya masing-masing. Dalam hal ini, pondok pesantren tentu memiliki metode tersendiri yang berbeda dengan lembaga pendidikan lainnya. Pondok pesantren memiliki komponen yang cukup ideal untuk membentuk karakter mandiri pada santri. Lingkungan pesantren secara keseluruhan dirancang demi kepentingan pendidikan santri.

Seorang kiai sebagai sentral figur di dalam pondok pesantren memiliki peran penting dalam mengatur sistem pembelajaran, begitu juga dalam membentuk karakter mandiri santri. Kebijakan-kebijakan kiai di pesantren berpengaruh besar dalam mewujudkan kemandirian tersebut. Hal ini dapat dilihat dari proses pembinaan kiai kepada santri, seperti pengajian sorogan, belajar wajib, pelatihan kesenian, pelatihan kewirausahaan, dan lain sebagainya. Selain itu, iklim kehidupan di pesantren juga sangat mempengaruhi sikap mandiri santri. Santri yang dalam kondisi lepas dari pengaruh orang tua,

(51)

30

mengharuskan dirinya untuk mampu hidup dengan mandiri. Kemandirian tersebut seperti: cuci baju sendiri, mengelola uang sendiri, mempersiapkan kegiatan sekolah sendiri, dan tugas-tugas lain yang harus dikerjakan sendiri.

Kiai sebagaimana kedudukannya di pesantren paling tidak memiliki tiga peran utama: peran sebagai guru, peran sebagai pengasuh, dan peran sebagai pemimpin. Sebagai guru, kiai berperan memberikan pengajaran dan pengetahuan tentang nilai-nilai karakter pesantren. Sebagai pengasuh, kiai berperan memberikan pengawasan dan tauladan dalam praktik kehidupan santri. Kemudian sebagai pimpinan, kiai berperan memberikan kebijakan dan sanksi untuk menekan santri agar berperilaku sesuai dengan karakter yang diharapkan.

Karakter mandiri dapat dibentuk secara baik apabila dibarengi dengan strategi yang baik pula. Oleh karena itu, strategi kiai juga memiliki peran penting dalam membentuk karakter mandiri santri. Sejauh mana kiai merancang strategi tersebut, sehingga dapat diimplementasikan dengan benar oleh santri. Selain itu, pada praktiknya tentu akan ditemukan faktor-faktor pendukung dan penghambat pada proses pembentukan karakter mandiri santri di Pondok Pesantren Hasyim Asy‟ari Tegal.

Dengan demikian, dapat diketahui bagaimana proses pembentukan karakter mandiri santri di pondok pesantren, bagaimana peran kiai, serta apa saja hambatan yang dialami kiai dalam pengembangan karakter mandiri tersebut. Peran yang

(52)

31

maksimal akan mendapatkan hasil yang maksimal pula. Sebaliknya, jika peran kiai tidak dijalankan dengan maksimal, maka pembentukan karakter mandiri santri juga tidak maksimal.

(53)

1 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Pendekatan Penelitian

1. Jenis penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif studi kasus, yaitu penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah dengan hasil yang mementingkan makna dari pada generalisasi. Penelitian ini menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.1

Penelitian studi kasus memusatkan penelaahan terhadap suatu kasus yang dilakukan secara intensif, mendalam, mendetail, dan komprehensif. Penelitian ini bertujuan memberikan gambaran secara mendetail proses pembentukan karakter dari seorang kiai kepada santrinya. Selain itu peneliti bermaksud memahami situasi sosial secara mendalam, menemukan pola, dan konsep.

2. Pendekatan penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif, yaitu penelitian yang dilakukan untuk memahami tentang apa yang dialami oleh subyek atau pelaku penelitian. Dengan pendekatan ini, akan mudah bagi

1 S. Margono, Metodologi Penelitian Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), hlm. 150.

(54)

2

peneliti untuk menelaah sejauh mana peran seorang kiai dalam pengembangan karakter mandiri bagi santri-santrinya.

B. Tempat dan Waktu Penelitian

1. Tempat penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Pondok Pesantren Hasyim Asyari Tegal. Pesantren ini beralamat di Jl. Karangjati No.25 Kec. Tarub Kab. Tegal. Lokasi ini berada di atas tanah wakaf yang dikelola Yayasan Hasyim Asy’ari di bawah naungan Badan Penyelenggara Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama (BPPMNU) Hasyim Asy’ari Tarub.

Pengambilan lokasi ini didasarkan pada fenomena yang terjadi di pesantren tersebut. Lembaga pendidikan Islam yang berbasis Yayasan ini memiliki keistimewaan di beberapa hal dibanding pesantren lain. Para santri yang menimba ilmu di pesantren ini diajarkan berbagai ketrampilan sesuai dengan bakat minatnya. Selain itu, sistem peraturan yang diterapkan kiai sebagai pimpinan utama juga sangat menekankan santrinya untuk hidup secara mandiri. 2. Waktu penelitian

Pengambilan data penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 1-15 November 2019. Namun pengambilan data tidak dilakukan sepanjang hari dalam rentang waktu tersebut, hanya pada beberapa waktu dan kesempatan saja. Hal ini dilakukan untuk menyesuaikan kebutuhan penelitian.

(55)

3

C. Jenis dan Sumber Data

1. Jenis data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif dan kuantitatif. Data kualitatif berupa data kata verbal bukan data angka, dalam penilitian ini meliputi: visi misi pesantren, kebijakan kiai, dan informasi lain yang berbentuk verbal. Sebaliknya, data kuantitatif berupa data angka yang dapat diukur dan dihitung secara langsung, seperti: jumlah santri, jumlah sarana dan prasarana, serta informasi lain yang berbentuk angka.

2. Sumber data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini berupa sumber data primer dan sekunder. Sumber data primer merupakan sumber utama atau asli bukan melalui perantara, dalam penelitian ini seperti: kiai, pengurus dan para santri. Sedangkan sumber data sekunder merupakan sumber data yang diperoleh secara tidak langsung melalui media perantara, dalam penelitian ini seperti: arsip pesantren, foto-foto, serta literatur lainnya.

D. Fokus Penelitian

Penelitian ini lebih menekankan pada perilaku dan kebijakan kiai dalam membentuk karakter mandiri pada santri di Pondok Pesantren Hasyim Asy’ari Tegal. Dalam hal ini, sejauh mana peran kiai dalam membentuk karakter mandiri

Referensi

Dokumen terkait

Karakteristik organoleptik pada mocatilla chips mengalami perubahan pada warna, rasa, aroma dan tekstur setelah penambahan tepung mocaf dibandingkan dengan kontol, dan

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui penerapan biaya kualitas dalam meningkatkan efisiensi biaya produksi pada Perusahaan Catering ABC Padang..

Trade/ dinding anak tangga dipasang diantara dinding badan tangga sesuai dengan yang telah digambar pada dinding badan tangga dan dipaku dari dinding tangga

Berdasarkan hasil dari tahap implementasi serta revisi dari uji yang telah dilakukan pada 10 orang mahasiswa Universitas Negeri Jakarta, Program Studi Pendidikan

Berdasarkan hasil deskripsi data siklus II, hasil lompat jauh gaya jongkok melalui alat bantu gawang aman siswa kelas V SD Negeri Semboja 01 adalah seluruh siswa yang

Setelah data dimiliki, tugas selanjutnya adalah untuk memperkirakan parameter dari fungsi konsumsi. Perkiraan numerik dari parameter memberikan konten empiris untuk

Pucuk yang terinfeksi patogen BPV akan busuk kecokelatan mulai dari bagian atas, kemudian menjalar ke bagian bawah yaitu pada bagian daun dan batang muda dan sukulen,

1) Pengurus/panitia mengajukan proposal penyelenggaraan kegiatan kepada Wakil Rektor III yang ditandatangani oleh Ketua Panitia setelah diperiksa dan disetujui oleh