• Tidak ada hasil yang ditemukan

Permasalahan dan prinsip-prinsip konservasi kawasan pusaka 1. Permasalahan konservasi/pelestarian

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Permasalahan dan prinsip-prinsip konservasi kawasan pusaka 1. Permasalahan konservasi/pelestarian"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Universitas Gadjah Mada 1 Minggu 2

Topik: Permasalahan dan prinsip-prinsip konservasi kawasan pusaka 1. Permasalahan konservasi/pelestarian

1.1.Konsep

Kesinambungan yang menerima perubahan dan/atau pembangunan merupakan konsep utama pelestarian, suatu pengertian yang berbeda dengan preservasi. Upaya pelestarian bukanlah isu keindahan (beautification) namun penyelesaian persoalan yang holistik, komprehensif dan berkelanjutan. Pelestarian menitik beratkan pada upaya menciptakan pemanfaatan yang kreatif, menghasilkan heritage products yang bar', pelaksanaan program-program partisipasi, analisis ekonomi, serta kegiatan ekonomi dan budaya di kawasan pelestarian.

1.2.Tujuan:

Pelestarian bukanlah romantisme masalalu atau upaya untuk mengawetkan kawasan bersejarah, namun bertujuan untuk:

1.2.1. Berdasar kekuatan aset lama, memberikan kualitas kehidupan masyarakat yang lebih baik, menghasilkan keuntungan dan peningkatan pendapatan, serta lingkungan yang ramah.

1.2.2. Menjadi alat dalam mengolah transformasi dan revitalisasi kawasan bersejarah tersebut, serta menciptakan pusaka budaya masa mendatang (future heritage).

1.2.3. Tetap memelihara indentitas dan sumber daya lingkungan dan mengembangkan beberapa aspeknya untuk memenuhi kebutuhan modern dan kualitas hidup yang lebih baik (the total system of heritage conservation). Konsekuensinya, perubahan yang dimaksud bukanlah terjadi secara drastis, namun perubahan secara alami dan terseleksi (Adishakti, 1997).

1.2.4. Pelestarian berarti pula "preserving purposefully: giving not merely continued existence but continued useful existence" (Burke, 1976). Jadi, fungsi seperti juga bentuk menjadi pertimbangan utama dan tujuannya bukan untuk mempertahankan pertumbuhan perkotaan, namun manajemen perubahan (Asworth, 1991).

1.3.Obyek

Dalam pelestarian obyek yang dikelola tidak lagi hanya bangunan individual atau kelompok bangunan namun area atau kota secara keseluruhan. Dengan kata lain lingkup pelestarian merupakan sebuah seting yang terdiri dari beragam pusaka budaya (kota, desa, arsitektur, seni rupa dan pertunjukan, dll) dan alam lokal (abiotik,

(2)

Universitas Gadjah Mada 2 flora, fauna), baik yang terlihat (tangible) ataupun tidak terlihat (intangible) seperti kemampuan mengukir, membangun konstruksi kayu secara tradisional, dll.

1.4.Bentuk Kegiatan

Kegiatan pelestarian yang dilakukan ini membutuhkan upaya lintas sektoral, multi dimensi dan disiplin, serta berkelanjutan dalam bentuk:

1.4.1. Preservasi dan dalam saat yang sama melakukan pembangunan atau pengembangan, restorasi, replikasi, rekonstruksi, revitalisasi, dan/atau penggunaan untuk fungsi baru suatu aset masa lalu.

1.4.2. Melakukan pencangkokan program-program yang menarik dan kreatif, berkelanjutan, dan merencanakan program partisipasi dengan memperhitungkan estimasi ekonomi.

1.5.Pihak-pihak yang terlibat

Multipihak, dari sektor budaya, industri dan perdagangan, pendidikan, pekerjaan umum, perumahan dan pembangunan hingga pariwisata, sektor swasta, serta masyarakat yang tinggal di kawasan tersebut, termasuk keterlibatan total masyarakat untuk mengelola sendiri (people centered management).

2. Prinsip-prinsip konservasi

Perkembangan global dalam upaya melestarian kota-kota bersejarah di dunia menunjukkan ada 8 prinsip utama pelestarian urban sebagaimana tercantum dalam Pedoman Pengelolaan Kota-kota Bersejarah Dunia (2003):

a. Perlu identifikasi kualitas tertentu yang menyebabkan suatu situs bersejarah perkotaan dianggap penting;

b. Perlu proses yang sistematik yang digunakan untuk inventarisasi, penelitian, dan penilaian suatu aset pelestarian;

c. Perlu menggunakan hasil evaluasi situs dalam suatu perencanaan pelestarian yang mengidentifikasi aras proteksi yang disyaratkan oleh suatu situs tertentu;

d. Perlu, dalam perencanaan pelestarian, tujuan pelestarian yang terpadu dengan tujuan-tujuan pembangunan sosial dan ekonomi yang telah ditetapkan;

e. Perlu melibatkan masyarakat dalam perencanaan pelestarian;

f. Perlu meyakinkan bahwa penilaian keuangan atas suatu pembangunan baru tidak merusak situs perkotaan bersejarah;

g. Perlu mendorong pemerintah pusat dan daerah menggunakan kewenangannya dalam menata dan menggunakan peraturan dan pendanaan yang tepat;

(3)

Universitas Gadjah Mada 3 Nilai dan keragaman pusaka saujana Indonesia yang merupakan kekayaan dan pusaka bangsa mendesak untuk dikendalikan pengelolaannya. Untuk itu perlu ditekankan adanya kesatuan langkah yang mempertimbangkan aspek-aspek yang satu dengan tidak bisa dipisahkan dalam meningkatkan proses pelestarian pusaka. Karena melakukan upaya pelestarian merupakan suatu usaha pembangungan yang berbasis budaya-ekologi-masyarakat secara menyeluruh, komprehensif dan berkelanjutan. Aspek-aspek tersebut adalah (Adishakti, 2003):

 Masyarakat sebagai pusat pengelolaan (people-centered management),  Penting kerjasama/kolaborasi antar disiplin ilmu maupun sektor,

 Tercipta mekanisme kelembagaan yang mampu mengakomodasi apresiasi dan aksi masyarakat

 Perlu dukungan dan penegakan aspek legal, dan

 Perlu diwujudkannya pasar pelestarian untuk menunjang kesinambungan pengelolaan a. Masyarakat sebagai pusat pengelolaan ("people- centered management")

Dalam keragaman pusaka di Indonesia, banyak materi yang cepat lapuk, seperti aset yang terbuat dari kayu dan bambu. Kondisi seperti ini membutuhkan tingkat proteksi yang sangat tinggi, termasuk keberadaan/produksi material itu sendiri. Dengan kata lain, eco system yang melingkupi keberadaan pusaka itu perlu proteksi pula. Permasalahan yang muncul adalah selain masih kesulitan memproteksi beragam high culture heritage, upaya proteksi di Indonesia belum menyentuh kepada ordinary heritage semacam bangunan bambu tersebut. Demikian juga pada intangible heritage, misalnya meneruskan kemampuan membangun bangunan tradisional.

Demikian juga proteksi untuk kawasan atau desa/kota bersejarah yang memiliki dinamika kehidupan yang progresif. Dengan mementingkan pembangunan fisik menjadi program yang umumnya hams dilakukan, justru yang sering terjadi adalah hilangnya akar-akar budaya dan ekologi serta jiwanya yang khas. Dan menjadi bagian kota yang berwajah sama. Namun, setiap kota bersejarah perlu menunjukkan identitas masing-masing. Identitas tersebut secara visual akan tercermin melalui wajah kota yang merefleksikan bentuk akhir dari sebuah pengelolaan kota dan kehidupan masyarakatnya. Kegiatan pelestarian diyakini merupakan salah satu alat untuk mengelola wajah kota yang tetap menunjukkan kesinambungan dengan sejarah namun mampu memberikan pelayanan kepada masyarakat dalam memenuhi kehidupannya yang selalu berkembang. Termasuk dengan upaya revitalisasi, yang tidak hanya sekedar mempercantik ruang namun justru mengembalikan vitalitas manusia dan lingkungannya.

(4)

Universitas Gadjah Mada 4 Pada lingkup inilah yang belum banyak digarap di Indonesia, selama ini berbagai pihak sibuk berbicara tentang suatu obyek pusaka itu sendiri, apakah tentang sejarahnya, keindahannya, ciri arsitektur atau teknik-teknik pelestariannya. Perlu diciptakan "pasar" yang mampu memberikan apresiasi terhadap obyek pusaka tersebut, untuk kemudian secara mandiri mampu memelihara, mengembangkan dan memanfaatkannya. Secara lebih spesifik dapat dikatakan masyarakat perlu menghidupkan pusaka-pusaka tersebut untuk kemudian pusaka tersebut mampu menghidupi masyarakat lahir dan batin. Artinya manusia perlu ada rasa memiliki dengan cara menggunakan apa yang dimiliki/dihasilkan, membuatnya, mengembangkan secara inovatif agar memberikan hasil material maupun non material. Semua ini adalah sebuah proses pelestarian secara mandiri. Proteksi dan pengelolaan ini sudah saatnya pula menjadi bagian dari kehidupan masyarakatnya. Seperti tulisan Prof. Otto Sumarwoto (2001) dalam bukunya tentang pengelolaan lingkungan "Atur Diri Sendiri". Sudah bukan eranya lagi untuk „Atur" dan „Awasi". Sebagai contoh, masyarakat Minangkabau sejak tahun 2001 berangsur-angsur kembali ke sistem Nagari.

Tahun Pusaka Indonesia 2003 merupakan salah satu cam untuk mengatasai berbagai masalah tersebut. Melalui upaya ini diharapkan banyak komunitas untuk berfikir tentang apa aset budaya yang dimiliki, bagaimana mengundang kepedulian, bagaimana memanfaatkan bagi masyarakat sendiri hingga orang lain, dan bagaimana pula untuk melestarikannya.

h. Penting kerjasama/kolaborasi antar disiplin ilmu, sektor, dan daerah

Pada dasamya upaya pelestarian di Indonesia dikelola oleh beberapa sektor (Kementrian dan Badan Kebudayaan dan Pariwisata, Departemen Kehutanan, Departemen Pertanian, Departemen Dalam Negeri, Departemen Lingkungan Hidup, dll), dan menjadi inti persoalan dalam beberapa bidang keilmuan (Arkeologi, Antropologi, Arsitektur, Perencanaan. Kota, Sejarah, Kehutanan, Pertanian, Seni Rupa, dll). Obyek pelestarian sendiri beragam, dari abiotik (alam dan buatan), biotik (flora dan fauna), sosial-budayaekonomi; dari terlihat dan tidak terlihat. Permasalahan yang dihadapi dalam praktek pelestarian, di antaranya:

- ketika bersama-sama menangani suatu ruang bersejarah, tidak sedikit dasar pijakan, terminologi, dan pendekatan proses pelestarian yang saling bertentangan, atau tidak ada kesepakatan antar sektor atau disiplin illmu

- lebih parahnya justru dilakukan penanganan sendiri-sendiri oleh masing-masing sektor atau disiplin ilmu tanpa ada sinergi dan kerja kolaborasi, contoh konkrit pada saat ini adalah Proyek-proyek Revitalisasi di kota-kota bersejarah di berbagai tempat di Indonesia.

Denyut kegiatan dalam Jaringan Pelestarian Pusaka Indonesia yang memang beorientasi untuk lintas ilmu dan sektor, mengindikasikan pula perlunya pemahaman multi dimensi dan pihak dalam upaya pelestarian ini. Pelestarian memang perlu dijalankan secara professional

(5)

Universitas Gadjah Mada 5 dan tajam oleh masing-masing bidang ilmu maupun sektor. Namun pada saat bersamaan harus mampu pula memberikan tonggak-tonggak kesempatan berkolaborasi untuk memecahkan persoalan pelestarian yang menyeluruh, komprehensif, dan berkelanjutan, seperti kasus pelestarian lingkungan bersejarah. Untuk itu perlu platform pengelolaan pelestarian yang baku yang mengakomodasi berbagai ilmu dan sektor yang terkait. Dan didukung dengan mekanisme kelembagaan yang jelas dan aspek legal yang melingkupi persoalan lingkungan bersejarah.

Melihat permasalahan di atas, Panitia Tahun Pusaka Indonesia 2003 menetapkan salah satu programnya yaitu menyusun Piagam/Charta pelestarian khusus untuk Indonesia. Tujuan penyusunan Piagam yang melibatkan banyak pihak dengan berbagai latar belakang adalah agar mampu mengakomodasi kekayaan peninggalan alam dan budaya Indonesia, persoalan pelestarian pusaka secara holistik dan menjadi acuan praktek pelestarian di Indonesia seiring dengan perkembangan jaman, serta memberikan kontribusi bagi perkembangan pelestarian di Asia khususnya dan dunia pada umumnya. Ruang lingkup piagam adalah nasional dan kontribusi untuk global, serta dan komprehensif dari berbagai bidang keilmuan dan sektor (Draft Piagam Pelestarian Pusaka Indonesia terlampir)

c. Tercipta mekanisme kelembagaan yang mampu mengakomodasi apresiasi dan aksi masyarakat

Mekanisme kelembagaan dalam mengelola pelestarian budaya di Indonesia masih sangat lemah, sebagaimana tercermin pula dalam permasalahan pada butir-butir di atas. Indikasi lainnya adalah dapat dicermati pada struktur organisasi pemerintah kota atau kabupaten: - Adakah instansi pemerintah yang mengelola lingkungan bersejarah secara

komprehensif, termasuk dalam proses penerbitan Izin Mendirikan Bangunan?

- Terdapatkah institusi di dalamnya yang berperan sebagai komisi yang mampu memberikan telaah dan masukan tentang praktek-praktek pelestarian? Dan bila ada, mampukah lembaga-lembaga tersebut mengakomodasi bila kemampuan apresiasi dan aksi masyarakat meningkat dan menjadi kreatif serta inovatif?

- Seberapa banyak pula instansi pemerintah yang memiliki peraturan daerah untuk melindungi pusaka-pusaka kota maupun kabupaten?

- Sudahkah kota/kabupaten memiliki daftar pusaka yang dilindungi beserta data pusaka dan perubahannya dari waktu ke waktu?

- Sementara itu pula peran legislatif masih sangat kecil baik ditingkat pusat maupun daerah. Sedangkan dalam kelembagaan non pemerintah, Indonesia belum memiliki National Trust (Badan Nasional Pelestarian Pusaka).

(6)

Universitas Gadjah Mada 6 Pada dasamya sudah sangat mendesak tiap-tiap kota dan kabupaten mempertimbangkan persoalan pelestarian pusaka sebagai sebuah komponen yang menjadi satu bagian dalam pengelolaannya.

d. Dukungan dan penegakan aspek legal

Salah satu aspek legal yang terkait dengan persoalan pelestarian pusaka adalah Undang-undang No. 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya (yang sedang direvisi), didukung oleh beberapa peraturan yang terkait dengan lingkungan hidup dan tata ruang. Sementara di beberapa kota telah memiliki Surat Keputusan Gubemur/Walikota/Bupati tentang proteksi kawasan maupun bangunan bersejarah. Juga ada yang telah dilengkapi dengan Peraturan Daerah tentang Bangunan Bersejarah. Akan tetapi dalam praktek di lapangan aspek legal yang telah ada belum mampu untuk mengendalikan pemeliharaan dan pengelolaan pusaka-pusaka, terlebih yang berada di lingkungan dengan tekanan komersial yang sangat tinggi. Kenyataan di lapangan menunjukkan pula bahwa aspek legal yang ada di Indonesia belum mampu menjangkau berbagai persoalan pelestarian terutama yang berkaitan dengan lingkungan bersejarah yang mengandung beragam pusaka dengan kondisi masing-masing misalnya high culture-proletar, milik pribadi-publik, cepat lapuk-tahan lama, tangibleintagihle, atau anyaman alam dan budaya. Persoalan yang lain adalah tentang insentif bagi mereka yang memenuhi aturan yang digariskan dalam undang-undang. Persoalan pelestarian peninggalan lama sering terbentur dengan persoalan ekonomi, apalagi dari segi pemeliharaan yang sangat tinggi sementara pendanaan sangat terbatas. Dalam mekanisme pemerintah belum diterapkan tax incentives bagi yang melestarikan pusaka, baik bagi pemilik maupun pengembang. Demikian pula, tidak terdapat lax deduction system yang dapat menjadi sumber pembiayaan berbagai lembaga-lembaga non profit dan masyarakat lokal yang bergerak di bidang pelestarian. Mekanisme insentif dan disinsentif perlu segera dipersiapkan oleh pemerintah kota dan kabupaten.

e. Perim diwujudkannya pasar pelestarian untuk menunjang kesinambungan pengelolaan

Pasar pelestarian di Indonsia boleh dikatakan belum ada. Indikatomya adalah jumlah organisasi pelestarian di Indonesia serta pihak swasta, pengembang, industri, investor yang bergerak di bidang pelestarian masih terbatas sekali. Kembali kepedulian tentang pelestarian pusaka untuk semua pihak perlu dibangun. Dari yang paling sederhana seperti melakukan kunjungan dan mempelajari berbagai pusaka yang ada (seperti kegiatan jelajah pusaka), hingga melaksanakan teknis fisik pelestarian yang menyerap dana yang besar. Dalam pelaksanaan pelestarian teknik fisik, perlu ada perubahan mekanisme proyek pemerintah. Karena yang ada masih menggunakan sistem yang sama dengan suatu perencanaan dan pembangunan konstruksi pada umumnya sehingga sering kali meninggalkan kaidah-kaidah

(7)

Universitas Gadjah Mada 7 pelestarian. Sekaligus perlu ada pengetahuan yang khusus tentang pelestarian baik bagi perencana maupun pelaksana, sehingga dari berbagai pengalaman yang ada mampu menangani berbagai upaya pelestarian secara professional.

Pada saat ini belum banyak pihak swasta yang terjun dalam usaha pelestarian. Termasuk memanfatkan bangunan-bangunan lama untuk kegiatan baru serta mengemasnya. Sebenarnya banyak peluang yang dapat dilakukan dari segi industri pelestarian. Dalam mewujudkan pasar pelestarian ini memang diperlukan kerja kreatif dan inovatif agar mengundang banyak pihak untuk terlibat, meskipun tetap memperhatikan kaidah-kaidah pelestarian serta keseimbangan eko-budaya.

3. Pengelolaan konservasi di Indonesia

3.1. Pelestarian dalam peta keilmuan dan sektoral di Indonesia

Pada dasamya upaya pelestarian di Indonesia dikelola oleh beberapa sektor (Kebudayaan dan Pariwisata, Kehutanan, Pertanian, Dalam Negeri, Lingkungan Hidup, Kelautan, (1ll), dan menjadi inti persoalan dalam beberapa bidang keilmuan (Arkeologi, Antropologi, Arsitektur, Perencanaan Kota, Sejarah, Kehutanan, Pertanian, Seni Rupa, dll) . Obyek pelestarian sendiri beragam, dari abiotik (alam dan buatan), biotik (flora dan fauna), sosialbudaya-ekonomi. Permasalahan yang dihadapi, khususnya ketika bersama-sama menangani suatu ruang bersejarah, tidak sedikit dasar pijakan, terminologi, dan pendekatan proses pelestarian yang saling bertentangan, atau tidak ada kesepakatan.

Denyut dalam Jaringan Pelestarian Pusaka Indonsia, mengindikasikan pula perlunya pemahaman lintas sektor dan keilmuan dalam upaya pelestarian ini. Di samping pada kenyataannya dibutuhkan kolaborasi program multipihak. Pelestarian memang perlu dijalankan secara professional dan tajam oleh masing-masing bidang ilmu maupun sektor. Namun pada saat bersamaan harus mampu pula memberikan tonggak-tonggak kesempatan berkolaborasi untuk memecahkan persoalan pelestarian yang menyeluruh, seperti kasus pelestarian kawasan bersejarah. Untuk itu perlu platform pengelolaan pelestarian yang baku yang mengakomodasi berbagai ilmu dan sektor yang terkait. Dan didukung dengan mekanisme kelembagaan yang jelas dan aspek legal yang melingkupi

(8)

Universitas Gadjah Mada 8

persoalan kawasan, tidak hanya bangunan saja.

3.2. Dukungan aspek kelembagaan dan legal dalam pelestarian di Indonesia

Dua buah diagram di bawah ini merupakan gambaran ringkas yang membandingkan antara pengelolaan pelestarian pusaka di Indonesia dan Amerika Serikat. Gambaran ini diperoleh ketika menyusun keterkaitan berbagai instansi yang bergerak di bidang pelestarian, mencermati proses dan mekanisme pelestarian, dan mengurai berbagai dukungan yang didapatkan bagi berbagai institusi yang bergerak di bidang pelestarian dan dukungannya terhadap suatu kawasan bersejarah (Adishakti, 2002).

Kemudian melalui diagram yang dihasilkan ini ditelusuri apa yang sudah dimiliki dan dilakukan oleh Indonesia. Kesimpulan awal adalah:

a. Mekanisme kelembagaan belum mendukung upaya pelestarian di Indonesia, sbb.: peran legislatif masih sangat kecil baik ditingkat pusat maupun daerah lingkup pelestarian diakomodasi oleh lembaga yang didukung legislative terbatas tidak memiliki "National Trust"

(9)

Universitas Gadjah Mada 9 b. Aspek legal yang ada di Indonesia belum mampu menjangkau berbagai

persoalan pelestarian terutama yang berkaitan dengan kawasan bersejarah

c. Pasar pelestarian masih terbatas. Bila dicermati jumlah organisasi pelestarian di Indonesia serta pihak swasta, pengembang, industri, investor yang bergerak di bidang pelestarian masih terbatas sekali.

d. Sistem pendanaan yang sangat terbatas. Tidak terdapat tax incentives bagi yang melestarikan pusaka, baik bagi pemilik maupun pengembang. Demikian pula, tidak terdapat tax deduction system yang di Amerika Serikat menjadi sumber utama pembiayaan berbagai lembaga-lembaga non profit dan masyarakat lokal yang bergerak di bidang pelestarian.

3.3. Nafas Kawasan bersejarah di Indonesia yang masih timbul tenggelam:

Kembali bila kita telusuri dari Sabang sampai Merauke, dapatkah kita tunjuk mana kawasan bersejarah yang telah "mampu mengatur diri sendiri" dan menunjukkan kualitas pusaka yang lestari dan bermanfaat bagi banyak pihak baik secara ? Adakah

(10)

Universitas Gadjah Mada 10 pula kawasan bersejarah yang dapat kita tunjuk yang telah memiliki karya-karya arsitek abad ini yang diprediksi mampu menjadi "pusaka masa mendatang"?

Kenyataan menunjukkan belum ada, dan banyak potensi yang belum digarap secara tepat dan bertanggung jawab, sehingga tidak mampu pula menggugah apresiasi.Walau banyak tantangan, sebenamya tidak sedikit peluang yang dapat dilakukan.

3.4. Solusi melalui kolaborasi

Berikut ini ditawarkan Konsep Program Pelestarian (PP) "Kawasan Pusaka" untuk menjadi salah satu solusi persoalan pelestarian kawasan bersejarah di Indonesia yang yang bertumpu pada kemandirian masyarakat lokal, menggugah apresiasi, dan kolaborasi dengan banyak pihak. Di sisi lain diharapkan mampu membuka lapangan pekerjaan baru bagi para arsitek atau perencana urban untuk pro-aktif membentuk organisasi "Kawasan Pusaka" secara profesional dan menawarkan kepada masyarakat lokal di berbagai kawasan bersejarah di seluruh Indonesia.

Saat ini, PP "Kawasan Pusaka" diterapkan oleh Pusat Pelestarian Pusaka Arsitektur, Jurusan Arsitektur FT UGM bekerjasama Jogja Heritage Society sebagai uji coba upaya pelestarian di Kawasan nJeron Beteng, Kraton, Yogyakarta (kegiatan sejak tahun 1999 hingga sekarang). Program ini merupakan garapan lanjut setelah pembelajaran melaksanakan partisipasi masyarakat dalam pelestarian di Kawasan Kotagede, Yogyakarta (1998 — 2000), Kawasan Nanggala, Toraja, Sulawesi Selatan (2000— 2001), eksplorasi pelestarian di kawasan urban dan rural di Sumatera Barat (2000 — 2003), studi banding di Area Kansai, Jepang (1999) dan Main Street Program di Amerika Serikat (2002).

Gambaran ringkas Konsep Program Pelestarian „Kawasan Pusaka", sebagai berikut:

A. Rasionalisasi

1. Pada saat ini kota-kota di Indonesia mengalami proses transformasi dan perkembangan yang sangat pesat. Tidak saja karena proses globalisasi dan pasar bebas yang memberikan tekanan langsung pada kota-kota di Indonesia, desentralisasi dan otonomi daerah berimplikasi pada keharusan pemerintah kota untuk meningkatkan ekonomi dan pendapatan warga kota. Tekanan tersebut berwujud pada meningkatnya kebutuhan warga kota untuk kegiatan-kegiatan baru terutama yang bersifat komersial. Khusus menyangkut kota-kota yang mempunyai nilai sejarah dan budaya proses pertumbuhan kota perlu diwaspadai oleh karena apabila dilakukan tanpa perencanaan dan pengelolaan yang matang akan memberikan tekanan pada kawasan-kawasan yang memiliki nilai historis dan bersejarah. Dikhawatirkan kawasan-kawasan tersebut akan hilang keunikannya dan secara keseluruhan akan mengurangi identitas lokal dari kota

(11)

Universitas Gadjah Mada 11 yang bersangkutan. Diperlukan kebijakan dan upaya-upaya yang strategis untuk mengembangkan kawasan-kawasan tersebut agar di satu sisi nilai historisnya bertahan dan sisi lain nilai ekonomisnya berkembang.

2. Bila di banyak negara menunjukkan bahwa kawasan-kawasan bersejarah yang belum terkelola merupakan suatu kawasan yang vitalitas kegiatannya sangat lemah, di Indonesia kondisinya sangat beragam. Di satu pihak, ada yang membutuhkan upaya revitalisasi agar kegiatan kawasan menjadi tumbuh kembali dan infrastruktur serta sarananya mampu mengakomodasinya dengan baik. Di pihak lain, ada pula yang perlu devitalisasi, karena kawasan-kawasan bersejarah tersebut justru kelebihan daya tampung yang mengakibatkan semakin menurunnya kualitas lingkungan kawasan itu sendiri, serta tumbuhnya berbagai persoalan sosial, budaya dan ekonomi.

3. Banyak upaya pelestarian khususnya di kawasan-kawasan bersejarah kota telah dilakukan oleh beberapa sektor dari pemerintah pusat maupun daerah. Investasi yang dilakukan cukup besar. Namun, banyak pihak menilai, pertama, hasil upaya tersebut masih terkotak-kotak dalam wewenang dan kewenangan sektoral yang justru memicu permasalahan baru di kawasan-kawasan tersebut. Kedua, kesinambungan kegiatan sangat lemah, karena pada umumnya bila proyek pelestarian berakhir, berakhir pula denyut kegiatan pelestarian pada kawasan tersebut. Sementara itu, masyarakat lokal yang berpotensi untuk menjaga dan mengelola keberlanjutan upaya pelestarian belum banyak dilibatkan secara sistematik. Diperlukan suatu program yang merangkul banyak pihak dan menyangkut banyak dimensi serta dalam dilakukan secara berkelanjutan. 4. Konsep Program Pelestarian (PP) "Kawasan Pusaka" ini ditawarkan sebagai salah satu

solusi persoalan pelestarian lingkungan dan bangunan bersejarah di Indonesia yang bertumpu pada kemandirian masyarakat lokal, menggugah apresiasi, dan kolaborasi dengan banyak pihak. Di sisi lain membuka lapangan pekerjaan baru bagi para arsitek, perencana atau profesi lainnya yang terkait untuk pro-aktif membentuk organisasi "Kawasan Pusaka" secara profesional dan menawarkan kepada masyarakat lokal di berbagai kawasan bersejarah di seluruh Indonesia.

B. Tujuan

1. Membangun kepedulian banyak pihak dalam pelestarian pusaka

2. Menjadi acuan perencanaan dan pengelolaan pelestarian secara berkesinambungan dan menyeluruh

3. Mendorong kemandirian bagi masyarakat untuk mampu mengelola kawasan bersejarahnya

4. Menjembatani kolaborasi lintas sektor, bidang ilmu dan keahlian yang sangat diperlukan dalam pelaksanaan pelestarian

(12)

Universitas Gadjah Mada 12 5. Meningkatkan kualitas lingkungan kawasan bersejarah dan pendapatan masyarakat

C. Sasaran

1. Terwujud organisasi "Kawasan Pusaka" lokal di berbagai kawasan-kawasan bersejarah yang menumbuhkan kemandirian dalam merencanakan dan mengelola pelestarian kawasannya secara berkelanjutan

2. Terakomodasi potensi masyarakat, di antaranya budaya gotong royong masyarakat, dalam mengolah dan menjaga kawasannya sendiri

3. Terwujud jaringan antar organisasi "Kawasan Pusaka" yang mampu menjadi media komunikasi antar kawasan bersejarah di Indonesia

4. Menciptakan lapangan pekerjaan baru bagi para arsitek, perencana, ahli arkeologi, ahli ekonomi, ahli manajemen seni, dan berbagai bidang ilmu yang terkait yang diperlukan dalam organisasi "Kawasan Pusaka".

D. Sepuluh Prinsip Program Pelestarian (PP) "Kawasan Pusaka"

1. Menyeluruh: PP "Kawasan Pusaka" merupakan suatu program yang mensyaratkan dialog tiada henti, dan menyangkut banyak dimensi, sehingga tidak mungkin diselesaikan melalui suatu proyek tunggal.

2. Kemandirian: Pengelola PP "Kawasan Pusaka" lokal hams memiliki inisiatif yang kuat dan kemandirian dalam melaksanakan dan mengelola pelestarian, serta mencari dana. Berbagai pihak yang terlibat seperti pemerintah daerah, departemen-departemen, perguruan tinggi, ataupun Lembaga Swadaya Masyarakat merupakan pendukung, penasehat ataupun penyandang dana dalam waktu terbatas. Kesinambungan kegiatan tergantung sepenuhnya pada pengelola PPKB lokal, dengan kata lain pengelolaan berpusat pada masyarakat lokal (people centered management).

3. Proses bola sa ju dan berkelanjutan: PP "Kawasan Pusaka" dimulai dari program kecil dan kegiatan sederhana menuju program dan kegiatan yang lebih besar dan kompleks serta lebih membutuhkan sumber daya yang mumpuni. Kegiatan ini membutuhkan waktu yang panjang.

4. Mengakar: PP "Kawasan Pusaka" mengupayakan terbentuknya akar kepedulian pelestarian dan menumbuhkan kecintaan dan kebanggaan terhadap pusaka-pusaka kawasan yang kuat dihati masyarakat lokal. Program dimulai dari penyelesaian isu sosial-budaya-ekonomi menuju ke permasalahan lingkungan fisik.

(13)

Universitas Gadjah Mada 13

"Kawasan Pusaka" mempersiapkan program-program yang langsung dapat

dilaksanakan, mengundang partisipasi warga masyarakat, dan melakukan promosi untuk mengundang kolaborasi banyak pihak

6. Inovatif mengolah aset: PP "Kawasan Pusaka" mengangkat aset yang dimiliki kawasan melalui olahan disain dan rasa yang inovatif, kreatif dan bertanggung jawab, sehingga keunikan jiwa kawasan yang dimiliki terjaga dan bahkan semakin kuat. 7. Bertumpu pada ekonomi lingkungan: PP "Kawasan Pusaka" bertujuan untuk

meningkatkan kualitas kehidupan dan ekonomi masyarakat dan kawasan secara berkelanjutan hingga generasi-generasi mendatang.

8. Mengelola perubahan: PP "Kawasan Pusaka" menjadi media untuk mengelola perubahan yang dituntut oleh dinamika kehidupan dan jaman, tanpa merusak tatanan pusaka yang dimiliki.

9. Mementingkan kualitas: PP "Kawasan Pusaka" mementingkan kualitas hasil dalam menyelesaikan program-program yang dilaksanakan, mulai dari pengelolaan organisasi, disain grafis maupun produk yang dihasilkan hingga kualitas fisik kawasan maupun kehidupan sosial-budayanya.

10. Kemitraan publik dan privat: PP "Kawasan Pusaka" mengundang kemitraan publik & privat dalam mengolah pelestarian kawasan bersejarah, dan mengelola keseimbangan kemitraan tersebut, sehingga tidak terjadi kerusakan tatanan lingkungan alam, budaya maupun kehidupan keseharian masyarakat.

(14)

Universitas Gadjah Mada 14 E. Enam Pendekatan Program Pelestarian "Kawasan Pusaka"

Program Pelestarian "Kawasan Pusaka" memiliki 6 pendekatan persoalan yang dilaksanakan secara paralel maupun bergantian dalam rentang waktu yang relatif panjang untuk menyelesaikan keseluruhan persoalan secara berkesinambungan dan tuntas. Ke enam program pendekatan tersebut adalah:

 Organ isasi & Pengelolaan  Dokumentasi & Presentasi  Promosi

 Perencanaan Kegiatan  Disain

Referensi

Dokumen terkait

Dalam keadaan normal, jumlah zat besi dalam bentuk reserve ini adalah kurang lebih seperempat dari total zat besi yang ada dalam tubuh.. Zat besi

Penilaian seperti itu didasarkan pada be-berapa alasan; pertama, pendidikan lebih banyak tertuju pada lapisan atas, priyayi; kedua, sistem pendidikan yang

Dengan dibentuknya pansus ini maka akan diperoleh informasi dan data yang benar dan transparan dari pejabat yang berwewenang dan berkompeten yang dapat dijadikan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti dalam Pengukuran Usability Game Edukasi Identifikasi Hukum Bacaan Nun Sukun

Profil farmakokinetika absorpsi dari suatu sediaan dapat dipantau dengan melakukan pengukuran kadar obat di dalam darah setelah pemberian suatu sediaan, kemudian

Beberapa saran yang dapat disampaikan berdasarkan hasil penelitian ini adalah sebagai berikut. 1) Penggunaan media realita pada pembelajaran matematika dapat

Bila dalam upaya untuk meminimalisir pelanggaran lalu lintas yang dilakukan oleh anak sekolah di kota Banda Aceh dengan cara preventif masih saja banyak

suara yang dipenuntukkan untuk pengunjung khususnya anak-anak, ' sehrnggadiharapkan dapat membantu Pengunjung YMTB untuk memperoleh infonmasi yang terdapat di YMTB