• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

Keadaan geografis

Keadaan geografis Provinsi Papua terletak antara 2025’- 90 Lintang Selatan dan 1300- 1410 Bujur Timur. Di sebelah utara Provinsi Papua dibatasi Samudera Pasifik, sedangkan sebelah selatan berbatasan dengan Laut Arafuru. Sebelah barat berbatasan dengan Laut Seram, Laut Banda, Provinsi Maluku, dan sebelah timur berbatasan dengan Papua New Guinea (BPS 2011).

Ketinggian wilayah di Papua sangat bervariasi. Diukur dari permukaan laut ketinggian wilayah Papua berkisar antara 0-3000 meter di atas permukaan laut (mdpl). Kabupaten Puncak Jaya dengan ibukota Mulia merupakan daerah tertinggi dengan ketinggian 2.980 mdpl, sedangkan Kota Jayapura merupakan daerah dengan ketinggian terendah yaitu 4 mdpl. Berdasarkan keadaan topografi, wilayah pesisir Papua umumnya merupakan daerah pegunungan dengan ketinggian antara 10-2.980 mdpl (BPS 2011).

Seperti provinsi lainnya di Indonesia, Provinsi Papua memiliki iklim tropis yang di pengaruhi oleh musim hujan dan musim kemarau. Selama tahun 2010, hujan turun setiap bulannya dengan jumlah hari dan curah hujan masing-masing 202 hari dan 2.792 mm. suhu udara di Papua berkisar antara 14,80C-32,10C dan tekanan udara 834,9-1.009,3 mb. Sedangkan kelembaban udara rata-rata 77-86 persen dengan rata-rata penyinaran matahari 31,5-46,9 persen. Curah hujan yang relatif tinggi dan wilayah yang dimiliki sebenarnya sangat potensial untuk dikembangkannya sektor pertanian di Papua mengingat hampir 30 persen perekonomian tanpa tambang berasal dari sektor tersebut (BPS 2011).

Provinsi Papua mempunyai kelembaban relatif tinggi dimana pada tahun 2010 rata-rata kelembaban udara berkisar antara 77 persen (Kabupaten Jayawijaya- stasiun Wamena) dan 86 persen (Nabire) sedangkan tekanan udara antara 834,9-1.009,3 mb dan rata-rata penyinaran matahari 31,5-46,9 persen. Jumlah gempa bumi yang dirasakan di Papua selama tahun 2010 sebanyak 82 kali, lebih banyak dibandingkan dengan tahun sebelumnya yaitu 60 kali (BPS 2011).

Peta papua dapat dilihat pada Lampiran 1.

Demografi dan Sosial Ekonomi

Provinsi Papua merupakan provinsi dengan wilayah terluas di Indonesia, yaitu 319.036,05 km2 atau 16,70 persen dari luas Indonesia. Pada tahun 2010, Papua dibagi menjadi 28 kabupaten dan 1 kota dimana Marauke merupakan

(2)

kabupaten/kota terluas (56,84 persen) dan kota Jayapura merupakan kabupaten/kota terkecil di Provinsi Papua (0,10 persen dari luas Papua. Berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2010 jumlah penduduk Provinsi Papua sebanyak 2.833.381 jiwa. Penduduk laki-laki Provinsi Papua sebanyak 1.505.883 jiwa (53,15 persen) dan perempuan sebanyak 1.327.498 jiwa (46,85 persen). Dengan demikian, rasio jenis kelamin di Provinsi Papua diatas 100, yaitu 113,4. Rasio jenis kelamin (sex ratio) terdapat di Kabupaten Mimika sebesar 130 dan terendah di Kabupaten Dogiyai sebesar 102 (BPS 2011).

Laju pertumbuhan penduduk Provinsi Papua per tahun selama sepuluh tahun terakhir yakni dari tahun 2000-2010 adalah 5,39 persen. Laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Tolikara adalah tertinggi dibanding kabupaten/kota lainnya di Provinsi Papua yakni mencapai 12,59 persen, sedangkan laju pertumbuhan penduduk terendah di Kabupaten Pegunungan Bintang (2,48 persen). Jumlah penduduk yang begitu besar dan terus bertambah setiap tahun tidak diimbangi dengan pemerataan penyebaran penduduk. Pada tahun 2010, sebagian besar penduduk Papua massih berpusat di Kota Jayapura (BPS 2011).

Kepadatan penduduk di Provinsi Papua merupakan yang terendah di Indonesia. Dengan luas wilayah 756.881,89 km2, kepadatan penduduk di Papua hanya 4 jiwa per km2. Kepadatan tertinggi terjadi di Kota Jayapura, yakni 327 jiwa per km2, sedangkan kepadatan terendah terjadi di Kabupaten Marauke yakni kurang dari 1 jiwa per km2. Penduduk Papua berdasarkan kelompok umur ternyata didominasi oleh kelompok usia muda (0-14 tahun). Kecilnya proporsi penduduk usia tua (kelompok usia 55 tahun ke atas) menunjukkan bahwa tingkat kematian penduduk usia lanjut sangat tinggi. Ini berarti bahwa angka harapan hidup di Papua masih rendah (pada tahun 2009, angka harapan hidup di Papua 68,35 tahun). Selain itu, komposisi penduduk seperti diatas menyebabkan rasio ketergantungan (dependency ratio) di Papua cukup tinggi, yaitu 56.37 persen (BPS 2011).

Provinsi Papua memiliki keragaman yang tinggi dalam kondisi biofisik seperti iklim, topografi, dan vegetasi (Petocz dan Tucker 1987 diacu dalam Kepas 1990). Keragaman ini juga dijumpai dalam kondisi budaya, adat, kepercayaan, dan bahasa. Mengingat adanya keragaman biofisik dan sosial budaya, sehingga menimbulkan variasi agroekosistem, maka hal ini akan mempengaruhi penyebaran jenis dan produktifitas tanaman pangan di berbagai daerah yang pada akhirnya menimbulkan keragaman pola konsumsi pangan

(3)

antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya di Provinsi Papua (Kepas 1990).

Sumber pangan spesifik lokal Papua seperti ubi jalar, talas, gembili, sagu, dan jawawut telah dibudidayakan oleh masyarakat asli Papua secara turun temurun. Komoditas tersebut telah menjadi sumber bahan makanan utama bagi masyarakat Papua. Husain (2004) menyatakan, pangan lokal adalah pangan yang diproduksi setempat (suatu wilayah/ daerah tertentu) untuk tujuan ekonomi dan atau konsumsi. Dengan demikian, pangan lokal Papua adalah pangan yang diproduksi di Papua dengan tujuan ekonomi atau produksi.

Kondisi agroekosistem Papua sangat mendukung pengembangan komoditas pertanian, terutama komoditas pangan spesifik lokal. Namun, pengembangan komoditas tersebut tidak merata di dataran Papua, kecuali ubi jalar yang dapat dijumpai di berbagai wilayah, baik pada dataran rendah maupun dataran tinggi, terutama pada wilayah pegunungan tengah. Selain ubi jalar, sagu juga merupakan bahan makanan pokok bagi masyarakat Papua, terutama yang berdomisili di dataran rendah atau di pesisir pantai atau danau. Sagu tumbuh baik pada daerah rawa, meskipun dapat pula tumbuh di daerah kering. Papua merupakan salah satu wilayah yang memiliki hutan sagu terluas di Indonesia. Widjono et al.(2000) menemukan 61 aksesi sagu melalui survei yang dilakukan di daerah Jayapura, Manokwari, Sorong, dan Merauke. Jumlah aksesi tersebut masih memungkinkan bertambah karena survei baru dilakukan di sebagian wilayah potensial sagu di Papua.

Sumber pangan alternatif yang beragam di Papua, mulai dari umbi-umbian, serealia, buah-buahan, dan bahkan tanaman obat dapat menyediakan pangan yang cukup bagi masyarakat setempat sehingga terhindar dari kekurangan gizi (malnutrition) atau kelaparan. Namun, sosialisasi pemanfaatan sumber pangan alternatif tersebut belum dilakukan secara bijak dan berkelanjutan. Selain itu, masyarakat mulai bergantung pada sumber pangan beras karena selain enak juga mudah diperoleh. Hal tersebut merupakan salah satu dampak kebijakan pemerintah yang hanya terfokus pada terjaminnya ketersediaan beras. Kebijakan tersebut tanpa disadari telah mengubah menu karbohidrat masyarakat dari nonberas ke beras, terutama pada daerah yang secara tradisional mengonsumsi pangan bukan beras, seperti kawasan timur Indonesia (Budi 2003).

(4)

Situasi Konsumsi Pangan Provinsi Papua

Pembangunan di Provinsi Papua yang merupakan bagian dari pembangunan nasional dilakukan melalui kegiatan pembangunan di berbagai sektor bertujuan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Untuk mewujudkan keadaan tersebut tentunya dipengaruhi oleh banyak faktor. Salah satu faktor penting dan mendasar adalah faktor pangan yang memenuhi standar gizi yang dibutuhkan oleh masyarakat.

Provinsi Papua merupakan salah satu daerah yang memiliki keragaman sumber daya hayati yang cukup tinggi, termasuk tanaman sumber pangan lokal. Sumber pangan lokal Papua yang memiliki potensi untuk dimanfaatkan sebagai sumber karbohidrat adalah ubi jalar, talas, dan sagu. Pangan lokal tersebut banyak dimanfaatkan oleh masyarakat Papua. Masyarakat yang berdomisili di daerah pegunungan umumnya mengonsumsi ubi jalar dan talas sedangkan yang tinggal di pantai memanfaatkan sagu sebagai pangan pokok. Beberapa jenis ubi jalar, talas, dan sagu telah beradaptasi dengan baik dan dikonsumsi masyarakat Papua secara turun temurun.

Menurut Apomfires (2002) yang dilakukan di salah satu kabupaten di Provinsi Papua yaitu Kabupaten Merauke, sagu (bie) merupakan makanan pokok yang dikonsumsi masyarakat, biasanya diselingi dengan makanan lain seperti pisang, talas, dan nasi yang merupakan makanan yang telah dikenal dan biasa dikonsumsi. Walaupun ada makanan selingan, tetapi sagu tetap diutamakan, karena beberapa orang menyatakan bahwa mengkonsumsi sagu membuat kenyang lebih lama dibandingkan mengonsumsi pisang, nasi, dan talas.

Menurut Hardinsyah et al (2001) menyatakan bahwa analisis konsumsi pangan dapat dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif. Analisis konsumsi pangan secara kuantitatif ditunjukkan oleh tingkat kecukupan gizi. Namun, analisis konsumsi pangan penduduk di suatu wilayah tidak hanya cukup ditunjukkan oleh peningkatan kuantitas konsumsi saja, tetapi perlu analisis lebih lanjut terhadap aspek kualitas konsumsi. Kualitas konsumsi dapat dinilai dari aspek komposisi atau keragaman dan mutu gizi pangan dikonsumsi. Analisis kualitas konsumsi pangan atau skor mutu konsumsi dapat dilakukan menggunakan pendekatan Pola Pangan Harapan (PPH). Semakin tinggi skor PPH maka semakin beragam dan berimbang pangan yang dikonsumsi. Oleh karena itu analisis situasi konsumsi pangan Provinsi Papua dilakukan dengan mengamati analisis kuantitatif dan analisis kualitatif.

(5)

Kuantitas Konsumsi Pangan

Analisis kuantitatif dilakukan terhadap konsumsi pangan. Kuantitas konsumsi pangan dapat diketahui dari tingkat konsumsi energi (TKE) dan tingkat konsumsi protein (TKP).

Konsumsi Energi

Pangan merupakan kebutuhan pokok yang paling mendasar bagi manusia, karenanya pemenuhan kebutuhan pangan merupakan bagian dari hak azasi individu. Untuk hidup sehat seseorang membutuhkan sejumlah zat gizi yang bersumber dari berbagai macam sumber pangan, baik pangan nabati maupun hewani. Zat gizi yang harus dipenuhi terutama adalah energi dan protein. Menurut Martianto (2004) kekurangan dua zat gizi tersebut dan berlangsung lama akan berpengaruh pada kualitas sumber daya manusianya, diantaranya menurunkan produktifitas kerja, kecerdasan, dan imunitas.

Salah satu indikator untuk menunjukkan tingkat kesejahteraan penduduk adalah tingkat kecukupan gizi. Sesuai dengan rekomendasi WNPG 2004 menetapkan konsumsi kalori per kapita per hari adalah 2000 kkal. Konsumsi energi menurut kelompok pangan dari tahun 2008 sampai 2010 dapat dilihat pada wilayah perkotaan, pedesaan, dan perkotaan+pedesaan.

Tabel 5 Tingkat kecukupan energi perkotaan tahun 2008, 2009, dan 2010

No Kelompok Pangan 2008 2009 2010

kkal/kap/hr %AKE kkal/kap/hr %AKE kkal/kap/hr %AKE

1 Padi-padian 1060 53.0 1000 50.0 1006 50.3 2 Umbi-umbian 92 4.6 80 4.0 89 4.5 3 Pangan hewani 222 11.1 205 10.3 245 12.3 4 Minyak/lemak 241 12.1 238 11.9 234 11.7 5 Buah/biji berminyak 29 1.5 28 1.4 23 1.2 6 Kacang-kacangan 52 2.6 60 3.0 61 3.1 7 Gula 106 5.3 97 4.9 105 5.2

8 Sayur dan buah 81 4.1 76 3.8 91 4.5

9 Lain-lain 26 1.3 22 1.1 24 1.2

Total 1910 95.5 1807 90.4 1879 94.0

*Angka Kecukupan Energi (AKE): 2000 kkal/kapita/hari

Tabel 5 menunjukkan bahwa konsumsi energi pada tahun 2008 menurut kelompok pangan padi-padian adalah 1060 kkal/kap/hr (53.0 %AKE), umbi-umbian adalah 92 kkal/kap/hr (4.6 %AKE), pangan hewani adalah 222 kkal/kap/hr (11.1 %AKE), minyak/lemak adalah 241 kkal/kap/hr (12.1 %AKE), buah/ biji berminyak adalah 29 kkal/kap/hr (1.5 %AKE), kacang-kacangan adalah 52 kkal/kap/hr (2.6 %AKE), gula adalah 106 kkal/kap/hr (5.3 %AKE), sayur dan buah adalah 81 kkal/kap/hr (4.1 %AKE), dan pangan lainnya adalah 26 kkal/kap/hr (1.3 %AKE). Pada tahun 2009 konsumsi energi mengalami penurunan menurut kelompok pangan padi-padian, umbi-umbian, pangan

(6)

hewani, minyak/ lemak, buah/ biji bermnyak, kacang-kacangan, gula, sayur dan buah, pangan lainnya. Kemudian konsumsi energi menurut kelompok pangan meningkat kembali pada tahun 2010.

Berdasarkan tabel diatas menunjukkan bahwa kelompok pangan padi-padian lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok pangan umbi-umbian di wilayah perkotaan. Hal ini dipengaruhi oleh preferensi pangan masyarakat terutama di wilayah perkotaan yang masih memilih padi-padian sebagai makanan pokok sumber energi dalam hal ini adalah beras. Dimana masyarakat perkotaan di Provinsi Papua lebih di dominasi oleh pendatang dari luar Papua yang terdiri dari berbagai suku seperti Jawa, Sulawesi, Sumatera, dan lainnya (BPS 2011).

Tabel 6 Tingkat kecukupan energi pedesaan tahun 2008, 2009, dan 2010

No Kelompok Pangan 2008 2009 2010

kkal/kap/hr %AKE kkal/kap/hr %AKE kkal/kap/hr %AKE

1 Padi-padian 596 29.8 612 30.6 586 29.3 2 Umbi-umbian 655 32.7 665 33.3 748 37.4 3 Pangan hewani 180 9.0 175 8.7 163 8.2 4 Minyak/lemak 184 9.2 208 10.4 217 10.9 5 Buah/biji berminyak 26 1.3 26 1.3 20 1.0 6 Kacang-kacangan 76 3.8 105 5.3 83 4.2 7 Gula 67 3.3 79 4.0 75 3.7

8 Sayur dan buah 106 5.3 109 5.5 118 5.9

9 Lain-lain 14 0.7 13 0.6 15 0.8

Total 1905 95.2 1993 99.6 2026 101.3

*Angka Kecukupan Energi (AKE): 2000 kkal/kapita/hari

Tabel 6 menunjukkan bahwa terjadi fluktuasi konsumsi energi pada tahun 2008 sampai 2010 menurut kelompok pangan di wilayah pedesaan. Kelompok pangan umbi-umbian, minyak/ lemak, sayur dan buah mengalami peningkatan dari tahun 2008 sampai 2010 sedangkan kelompok pangan padi-padian, pangan hewani, buah/ biji berminyak, gula, dan pangan lainnya mengalami penurunan konsumsi energi dari tahun 2008 sampai 2010. Kelompok pangan umbi-umbian masih mendominasi dibandingkan dengan kelompok pangan lainnya dari tahun 2008 sampai tahun 2010. Hal ini disebabkan masyarakat di pedesaan Papua yang dominan adalah penduduk asli Papua yang masih mengutamakan konsumsi umbi-umbian sebagai makanan pokok seperti sagu, ubi kayu, ubi jalar, dan keladi.

Tabel 7 menunjukkan bahwa terjadi fluktuasi konsumsi energi pada tahun 2008 sampai 2010 menurut kelompok pangan di wilayah perkotaan+pedesaan. Kelompok pangan umbi-umbian, minyak/ lemak, sayur dan buah, pangan lainnya mengalami peningkatan dari tahun 2008 sampai 2010 sedangkan kelompok pangan padi-padian, pangan hewani, buah/ biji berminyak, dan gula mengalami

(7)

penurunan konsumsi energi dari tahun 2008 sampai 2010. Hal ini diduga karena adanya keterbatasan untuk membeli bahan pangan, faktor sosial budaya, dan preferensi masyarakat terhadap pangan (Wahidah 2005).

Tabel 7 Tingkat kecukupan protein perkotaan + pedesaan tahun 2008, 2009, dan 2010

No Kelompok Pangan 2008 2009 2010

kkal/kap/hr %AKP kkal/kap/hr %AKP kkal/kap/hr %AKP

1 Padi-padian 702 35.1 701 35.0 682 34.1 2 Umbi-umbian 526 26.3 532 26.6 598 29.9 3 Pangan hewani 190 9.5 182 9.1 182 9.1 4 Minyak/lemak 197 9.9 214 10.7 221 11.1 5 Buah/biji berminyak 27 1.3 26 1.3 21 1.0 6 Kacang-kacangan 71 3.5 95 4.7 78 3.9 7 Gula 76 3.8 83 4.2 82 4.1

8 Sayur dan buah 101 5.0 102 5.1 112 5.6

9 Lain-lain 17 0.9 15 0.7 17 0.9

Total 1906 95.3 1950 97.5 1992 99.6

*Angka Kecukupan Energi (AKE): 2000 kkal/kapita/hari

Tabel 8 menunjukkan bahwa tingkat kecukupan energi di wilayah perkotaan Papua mengalami flutuatif dari tahun 2008 sampai 2010 adalah 1910 kkal/kap/hr, 1807 kkal/kap/hr, dan 1879 kkal/kap/hr. Pertumbuhan konsumsi energi di wilayah perkotaan mengalami penurunan 15.5 kkal/kap/hr (0.68%). Hal ini disebabkan karena terjadi penurunan konsumsi energi di Provinsi Papua maupun nasional pada tahun 2009 (DKP 2012).

Tabel 8 Tingkat kecukupan energi di Provinsi Papua tahun 2008, 2009, dan 2010

Wilayah

Konsumsi Tingkat Kecukupan

Pertumbuhan 2008 2009 2010 2008 2009 2010

kkal/kap/hr %AKE* kkal/kap/hr %AKE % Perkotaan 1910 1807 1879 95.5 90.4 94.0 -15.5 -0.75 -0.68 Pedesaan 1905 1993 2026 95.2 99.6 101.3 60.5 3.05 3.16 Perkotaan+Pedesaan 1906 1950 1993 95.3 97.5 99.6 43.5 2.15 2.23

*Angka Kecukupan Energi (AKE): 2000 kkal/kapita/hari

Secara kuantitas tingkat kecukupan energi di perkotaan dari tahun 2008 sampai tahun 2010 tergolong baik masing-masing adalah 95.5 %AKE, 90.4 %AKE, dan 94.0 %AKE. Apabila dibedakan berdasarkan wilayah perkotaan Papua dan perkotaan Indonesia dari tahun 2008 sampai 2010, konsumsi energi di perkotaan Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan perkotaan Papua. Hal ini dapat dilihat bahwa tingkat kecukupan energi Indonesia di wilayah perkotaan Indonesia dari tahun 2008 sampai 2010 yaitu 1976 kkal/kap/hr (98.8 %AKE), 1891 kkal/kap/hr (94.6 %AKE), dan 1884 kkal/kap/hr (94.2 %AKE) (DKP 2012).

Konsumsi energi di pedesaan dari tahun 2008 sampai 2010 mengalami peningkatan dengan pertumbuhan 60.5 kkal/kap/hr (3.16%). Peningkatan konsumsi energi dari tahun 2008 sampai 2010 masing-masing adalah 1905 kkal/kap/hr, 1993 kkal/kap/hr, dan 2026 kkal/kap/hr. Konsumsi energi di wilayah

(8)

pedesaaan tahun 2010 melebihi rekomendasi WNPG 2004. Hal ini diduga karena aktivitas penduduk di pedesaan umumnya membutuhkan energi yang lebih besar sehingga seseorang akan lebih mengutamakan faktor kenyang daripada rasa ataupunprestise. Di wilayah pedesaan tingkat kecukupan energi dari tahun 2008 sampai 2010 tergolong baik masing-masing adalah 95.2 %AKE, 99.6 %AKE, dan 101.3 %AKE.

Apabila dibedakan berdasarkan wilayah pedesaan Papua dan pedesaan Indonesia dari tahun 2008 sampai 2010, konsumsi energi di pedesaan Indonesia cenderung menurun dibandingkan dengan pedesaan Papua. Hal ini ditunjukkan dengan tingkat kecukupan energi di wilayah pedesaan mengalami peningkatan dari tahun 2008 sampai 2010 adalah 1905 kkal/kap/hr, 1993 kkal/kap/hr, dan 2026 kkal/kap/hr. sedangkan tingkat kecukupan energi Indonesia di wilayah pedesaan mengalami penurunan dari tahun 2008 sampai 2010 yaitu 2095 kkal/kap/hr (104.8 %AKE), 1961 kkal/kap/hr (98.1 %AKE), dan 1966 kkal/kap/hr (98.3 %AKE) (DKP 2012).

Tingkat kecukupan energi di wilayah perkotaan+ pedesaan Papua mengalami peningkatan dari tahun 2008 sampai 2010 adalah 1906 kkal/kap/hr, 1950 kkal/kap/hr, dan 1993 kkal/kap/hr. Namun tidak demikian dengan tingkat kecukupan energi di wilayah perkotaan+ pedesaan Indonesia yang mengalami penurunan dari tahun 2008 sampai 2010 yaitu 2038 kkal/kap/hr (101.9 %AKE), 1927 kkal/kap/hr (96.4 %AKE), dan 1926 kkal/kap/hr (96.3 %AKE) (DKP 2012). Apabila dibedakan berdasarkan wilayah perkotaan+ pedesaan Papua dan Indonesia dari tahun 2008 sampai 2010, konsumsi energi di perkotaan+ pedesaan Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan perkotaan+ pedesaan Papua.

Menurut Regmi dan Dyck (2001) terdapatnya perbedaan kebutuhan energi antara pedesaan dan perkotan adalah perbedaan gaya hidup, ketersediaan pangan dan kemampuan untuk membeli pangan. Masyarakat perkotaan cenderung bergaya hidup sedentary sehingga memerlukan energi yang lebih sedikit sedangkan aktivitas penduduk di pedesaan umumya membutuhkan energi yang lebih besar. Pada umumnya beragam jenis pangan lebih banyak tersedia di perkotaan serta daya beli masyarakatnya lebih tinggi. Menurut Martianto, Ariani, dan Hardinsyah (2003), pada tingkat pendapatan yang terbatas, seseorang akan lebih mengutamakan faktor kenyang daripada rasa

(9)

ataupun prestise, sehingga alokasi pangan lebih pada pangan yang murah dan memberi rasa kenyang.

Konsumsi Protein

Protein adalah salah satu zat gizi yang penting untuk pertumbuhan. Sebagai zat pembangun atau pertumbuhan karena merupakan bahan pembentuk jaringan baru dalam tubuh terutama bagi bayi, anak-anak, ibu hamil, ibu menyusui dan orang baru sembuh dari sakit (Hardinsyah & Matianto 1992). Protein yang dimakan sehari-hari terdiri dari berbagai macam asam amino, setelah dicerna dan diserap oleh tubuh digunakan untuk sintesis protein sel, protein fungsional seperti hormon dan enzim, dan protein pengangkut seperti transferin.

Jumlah protein yang diberikan dikatakan adekuat apabila mengandung semua asam amino esensial dalam jumlah yang cukup, mudah dicerna dan diserap oleh tubuh. Protein yang memenuhi syarat tersebut adalah protein yang berkualitas tinggi seperti protein hewani (Pudjiadi 2001). Fungsi protein lainnya menurut Almatsier (2002) protein berfungsi mengatur keseimbangan air di dalam tubuh, memelihara netralitas tubuh, pembentukan antibodi, mengangkut zat-zat gizi dan sebagai sumber energi. Kecukupan protein menurut WNPG 2004 adalah 52 gram/kapita/hari. Konsumsi protein menurut kelompok pangan dari tahun 2008 sampai 2010 dapat dilihat pada wilayah perkotaan, pedesaan, dan perkotaan+pedesaan.

Tabel 9 Tingkat konsumsi protein perkotaan tahun 2008, 2009, dan 2010

No Kelompok Pangan g/kap/hr2008%AKP g/kap/hr2009 %AKP g/kap/hr2010 %AKP

1 Padi-padian 24.5 47.0 23.1 44.4 23.3 44.9 2 Umbi-umbian 0.6 1.1 0.6 1.1 0.6 1.1 3 Pangan hewani 20.2 38.8 19.4 37.4 22.7 43.7 4 Minyak/lemak 0.2 0.3 0.1 0.2 0.1 0.1 5 Buah/biji berminyak 0.4 0.8 0.4 0.7 0.4 0.7 6 Kacang-kacangan 5.0 9.6 5.9 11.3 5.6 10.8 7 Gula 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0

8 Sayur dan buah 3.6 6.9 3.3 6.3 3.6 7.0

9 Lain-lain 1.6 3.1 1.2 2.3 1.2 2.4

Total 56.0 107.6 53.9 103.7 57.6 110.7

*Angka Kecukupan Protein (AKP): 52 gram/kapita/hari

Tabel 9 menunjukkan bahwa konsumsi protein penduduk di wilayah perkotaan dari tahun 2008 sampai 2010 berada di atas standar nasional sebesar 52 gramkapita/hari yaitu pada tahun 2008 adalah 56.0 gram/kapita/hari (107.6%), 53.9 gram/kapita/hari (103.7%) pada tahun 2009, dan 57.6 gram/kapita/hari (110.7%) pada tahun 2010. Dari tabel tersebut terlihat bahwa konsumsi protein di wilayah perkotaan masih didominasi oleh padi-padian dan pangan hewani dari

(10)

tahun 2008 sampai tahun 2010. Walaupun konsumsi protein telah melebihi dari kecukupan, tetapi perlu ditinjau kembali komposisi sumber pangan.

Menurut Pudjiadi (2001), protein hewani lebih baik kualitasnya dibandingkan dengan protein nabati. Konsumsi pangan hewani akan memberikan asupan zat gizi esensial seperti protein dengan bioavailabilitas yang baik, vitamin, dan mineral mikro (B6, B12, zat besi, iodium, dan seng). Kekurangan zat gizi mikro akan berakibat resiko tinggi terhadap pertumbuhan (janin, bayi, dan anak-anak), penyakit infeksi dan penurunan produktivitas (Martianto dan Ariani 2005).

Tabel 10 menunjukkan bahwa terjadi fluktuasi konsumsi protein dari tahun 2008 sampai 2010 menurut kelompok pangan di wilayah pedesaan. Pada tahun 2008 konsumsi protein padi-padian adalah 13.9 g/kap/hr (26.7 %AKP), umbi-umbian adalah 4.9 g/kap/hr (9.5 %AKP), pangan hewani adalah 14.4 g/kap/hr (27.7 %AKP), minyak/lemak adalah 0.1 g/kap/hr (0.1 %AKP), buah/ biji berminyak adalah 0.3 g/kap/hr (0.6 %AKP), kacang-kacangan adalah 5.3 g/kap/hr (10.2 %AKP), gula adalah 0.0 g/kap/hr (0.0%AKP), sayur dan buah adalah 4.4 g/kap/hr (8.5 %AKP), dan pangan lainnya adalah 0.9 g/kap/hr (1.7 %AKP).

Tabel 10 Tingkat konsumsi protein pedesaan tahun 2008, 2009, dan 2010

No Kelompok Pangan g/kap/hr2008 %AKP g/kap/hr2009 %AKP g/kap/hr2010 %AKP

1 Padi-padian 13.9 26.7 14.2 27.4 13.7 26.3 2 Umbi-umbian 4.9 9.5 5.3 10.2 5.9 11.3 3 Pangan hewani 14.4 27.7 15.2 29.3 13.6 26.1 4 Minyak/lemak 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 5 Buah/biji berminyak 0.3 0.6 0.3 0.6 0.2 0.5 6 Kacang-kacangan 5.3 10.2 7.3 14.0 5.5 10.6 7 Gula 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0

8 Sayur dan buah 4.4 8.5 5.3 10.1 5.3 10.2

9 Lain-lain 0.9 1.7 0.9 1.6 0.9 1.8

Total 44.2 85.0 48.5 93.3 45.3 87.0

*Angka Kecukupan Protein (AKP): 52 gram/kapita/hari

Tahun 2009 konsumsi energi mengalami peningkatan menurut kelompok pangan yaitu pangan padi-padian, umbi-umbian, pangan hewani, minyak/ lemak, buah/ biji berminyak, kacang-kacangan, gula, sayur dan buah, pangan lainnya. Namun pada tahun 2010 konsumsi protein mengalami penurunan menurut kelompok pangan. Rendahnya konsumsi protein hewani di pedesaan diduga karena pangan hewani relatif lebih mahal daripada pangan nabati. Oleh karena pendapatan terbatas, masyarakat di wilayah pedesaan Papua lebih mengutamakan jenis pangan lain yang lebih murah harganya daripada untuk membeli pangan hewani. Disamping itu masyarakat telah merasa cukup atau

(11)

kebutuhan pangan hewani sudah terpenuhi. Hal ini dapat dipengaruhi oleh preferensi pangan dan pendapatan masyarakat terutama di wilayah pedesaan (Wahidah 2005).

Tabel 11 Tingkat konsumsi protein perkotaan+ pedesaan tahun 2008, 2009, dan 2010

No Kelompok Pangan 2008 2009 2010

g/kap/hr %AKP g/kap/hr %AKP g/kap/hr %AKP

1 Padi-padian 16.3 31.3 16.3 31.3 15.9 30.5 2 Umbi-umbian 3.9 7.6 4.2 8.1 4.7 9.0 3 Pangan hewani 15.7 30.3 16.2 31.1 15.6 30.0 4 Minyak/lemak 0.1 0.2 0.1 0.1 0.1 0.1 5 Buah/biji berminyak 0.3 0.7 0.3 0.6 0.3 0.5 6 Kacang-kacangan 5.2 10.1 6.9 13.4 5.5 10.7 7 Gula 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0

8 Sayur dan buah 4.2 8.1 4.8 9.2 4.9 9.5

9 Lain-lain 1.0 2.0 0.9 1.8 1.0 2.0

Total 46.9 90.2 49.7 95.7 48.0 92.3

*Angka Kecukupan Protein (AKP): 52 gram/kapita/hari

Tabel 11 menunjukkan bahwa terjadi fluktuasi konsumsi protein dari tahun 2008 sampai 2010 menurut kelompok pangan di wilayah perkotaan+pedesaan. Pada tahun 2008 konsumsi protein padi-padian adalah 16.3 g/kap/hr (31.3 %AKP), umbi-umbian adalah 3.9 g/kap/hr (7.6 %AKP), pangan hewani adalah 15.7 g/kap/hr (30.3 %AKP), minyak/lemak adalah 0.1 g/kap/hr (0.2 %AKP), buah/ biji berminyak adalah 0.3 g/kap/hr (0.7 %AKP), kacang-kacangan adalah 5.2 g/kap/hr (10.1 %AKP), gula adalah 0.0 g/kap/hr (0.0%AKP), sayur dan buah adalah 4.2 g/kap/hr (8.1 %AKP), dan pangan lainnya adalah 1.0 g/kap/hr (2.0 %AKP). Kemudian tahun 2009 konsumsi energi mengalami peningkatan menurut kelompok pangan pangan padi-padian, umbi-umbian, pangan hewani, minyak/ lemak, buah/ biji bermnyak, kacang-kacangan, gula, sayur dan buah, pangan lainnya. Namun pada tahun 2010 konsumsi protein mengalami penurunan menurut kelompok pangan.

Apabila dibedakan berdasarkan wilayah, pada umumnya konsumsi protein di perkotaan lebih tinggi daripada di pedesaan (Tabel 12). Selanjutnya jika dikaitkan dengan tingkat pendapatan, di perkotaan lebih tinggi daripada pedesaan. Pendapatan yang lebih tinggi akan semakin tinggi pula daya beli. Dengan demkian penduduk akan mampu membeli makanan dalam jumlah yang lebih banyak dan kualitas yang lebih baik, dan didukung oleh ketersediaan pangan di kota yang lebih beragam.

Tabel 12 menunjukkan bahwa konsumsi protein di perkotaan+pedesaan dari tahun 2008 sampai dengan 2010 cenderung fluktuatif namun konsumsi protein masih kurang dari 52 gram/kapita/hari. Pada tahun 2008 konsumsi

(12)

protein adalah 46.9 gram/kap/hari atau mencapai 90.2 %AKP. Kemudian meningkat pada tahun 2009 yaitu 49.7 gram/kap/hari atau mencapai 95.7 %AKP dan konsumsi protein menurun pada tahun 2010 yaitu 48.1 gram/kap/hari atau mencapai 92.7 %AKP dengan pertumbuhan 0.60 g/kap/hr (1.48%).

Tabel 12 Tingkat kecukupan protein di Provinsi Papua tahun 2008, 2009, dan 2010

Wilayah

Konsumsi Tingkat Kecukupan

Pertumbuhan 2008 2009 2010 2008 2009 2010

gram/kapita/hari %AKP* g/kap/hr %AKP % Perkotaan 56.0 53.9 57.6 107.6 103.7 110.7 0.80 1.55 1.56 Pedesaan 44.2 48.5 45.3 85.0 93.3 87.0 0.55 1.00 1.51 Perkotaan+Pedesaan 46.9 49.7 48.1 90.2 95.7 92.7 0.60 1.25 1.48

*Angka Kecukupan Protein (AKP): 52 gram/kapita/hari

Konsumsi protein di wilayah perkotaan dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2010 melebihi angka kecukupan protein yang direkomendasikan WNPG 2004. Pada tahun 2009 konsumsi protein di wilayah perkotaan adalah 56.0 gram/kapita/hari atau 107.6 %AKP. Pada tahun 2008 tingkat kecukupan protein menurun dari tahun 2009. Meskipun demikian tingkat kecukupan protein di wilayah perkotaan masih melebihi dari tingkat kecukupan protein yang ideal yaitu sebesar 59,2 gram/kapita/hari atau 103.7 persen dari angka kecukupan protein, dimana tingkat kecukupan protein idealnya yaitu 52 gram/kapita/hari. Konsumsi protein di wilayah perkotaan meningkat kembali pada tahun 2010 sebesar 57.6 gram/kapita/hari atau 110.7 persen dari angka kecukupan protein. Hal ini dibuktikan dengan pertumbuhan konsumsi protein di wilayah perkotaan setiap tahun adalah 0.80 g/kap/hr (1.56%).

Konsumsi protein di wilayah pedesaan belum mencukupi angka kecukupan protein sebesar 52 gram/kapita/hari dari tahun 2008 sampai tahun 2010. Pada tahun 2009 konsumsi protein di wilayah pedesaan adalah 44.2 gram/kapita/hari atau 85.0 persen dari angka kecukupan protein. Tingkat kecukupan protein pada tahun 2009 meningkat dari tahun 2008. Meskipun demikian masih belum mencukupi dari tingkat kecukupan protein yang ideal yaitu sebesar 48.5 gram/kapita/hari atau 93.3 persen dari angka kecukupan protein, dimana tingkat kecukupan protein idealnya yaitu 52 gram/kapita/hari. Konsumsi protein di wilayah pedesaan menurun kembali pada tahun 2010 sebesar 45.3 gram/kapita/hari atau 87.0 persen dari angka kecukupan protein. Hal ini dibuktikan dengan laju pertumbuhan konsumsi protein di wilayah pedesaan setiap tahun adalah 0.55 (1.51%).

Berdasarkan hasil yang ditunjukkan bahwa konsumsi protein di wilayah perkotaan Papua lebih tinggi dari pada konsumsi protein di wilayah pedesaan

(13)

Indonesia. Hal ini juga didukung dengan konsumsi protein di wilayah perkotaan Indonesia lebih tinggi dibandingkan perkotaan (DKP 2012). Hal ini dapat dipengaruhi oleh kemampuan daya beli penduduk dan didukung oleh ketersediaan pangan di kota yang lebih beragam dan lebih banyak dibandingkan di desa. Konsumsi masyarakat terhadap pangan dapat dilihat dari kecenderungan masyarakat mengkonsumsi jenis pangan tertentu. Menurut Hardinsyah, Madanijah, dan Baliwati (2002) Secara umum di tingkat wilayah faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi pangan adalah faktor ekonomi (pendapatan dan harga), faktor sosiobudaya dan religi.

Kualitas Konsumsi Pangan

Kualitas konsumsi pangan ditujukan pada keanekaragaman pangan, semakin beragam dan seimbang komposisi pangan yang dikonsumsi akan semakin baik kualitas gizinya. Untuk menilai keanekaragaman pangan digunakan pendekatan Pola Pangan Harapan (PPH). Kualitas konsumsi pangan penduduk melalui pendekatan PPH dapat dilihat dari nilai skor pangan (skor PPH). Pola Pangan Harapan adalah susunan beragam pangan yang didasarkan atas proporsi sumbangan energi, baik secara absolut maupun relatif terhadap total energi penyediaan atau konsumsi pangan yang mampu mencukupi kebutuhan pangan dan gizi penduduk, baik dalam jumlah kualitas maupun keragamannya.

FAO-RAPA mendefinisikan PPH sebagai komposisi kelompok pangan utama yang bila dikonsumsi dapat memenuhi kebutuhan energi dan zat gizi lainnya (Baliwati 2007). Melalui pendekatan PPH mutu atau kualitas konsumsi pangan penduduk dapat dilihat dari nilai skor pangan (skor PPH). Semakin tinggi skor PPH semakin bagus kualitas dari konsumsi pangan penduduk tersebut dan berarti konsumsi pangan semakin beragam dan seimbang. Menurut Anwar (1996), disebutkan kelebihan pemakaian pendekatan PPH salah satunya adalah derajat kesehatan penduduk lebih terjamin karena titik tolak pendekatan adalah kecukupan gizi.

Menurut Hardinsyah et al (2001) bahwa dengan terpenuhinya kebutuhan energi dari berbagai kelompok pangan sesuai PPH, maka secara implisit kebutuhan zat gizi akan terpenuhi kecuali untuk zat gizi yang sangat defisit dalam suatu kelompok pangan. komposisi/ susunan komposisi ideal yang dianjurkan untuk tingkat konsumsi adalah padi-padian 275 gram, umbi-umbian 100 gram, pangan hewani 150 gram, kacang-kacangan 35 gram, sayur dan buah 250 gram (Dewan Ketahanan Pangan 2006). Susunan pangan sesuai kaidah PPH

(14)

sebagaimana dikemukakan oleh Hardinsyah, tidak hanya memenuhi kecukupan gizi tetapi mempertimbangkan keseimbangan gizi yang didukung oleh daya cerna, daya terima masyarakat, kuantitas, dan kemampuan daya beli. Selanjutnya melalui PPH dapat dinilai keberhasilan dari upaya diversifikasi pangan.

Kualitas konsumsi pangan di Provinsi Papua dibedakan berdasarkan wilayah perkotaan, pedesaan, dan perkotaan+pedesaan pada tahun 2008, 2009, dan 2010. Tabel 13 menunjukkan bahwa skor PPH di wilayah perkotaan+ pedesaan mengalami peningkatan setiap tahunnya adalah 78.7 pada tahun 2008, tahun 2009 adalah 80.8, dan tahun 2010 adalah 81.0 dengan pertumbuhan setiap tahun adalah 1.46%. Skor Pola Pangan Harapan di wilayah perkotaan lebih tinggi dibandingkan di pedesaan dari tahun 2008 sampai 2010 masing-masing adalah 83.2, 80.8, dan 88.2 dengan pertumbuhan skor PPH setiap tahun adalah 3.14%.

Tabel 13 Skor pola pangan harapan Provinsi Papua tahun 2008, 2009, dan 2010

Wilayah Skor PPH Pertumbuhan

2008 2009 2010 %

Perkotaan 83.2 80.8 88.2 3.14

Pedesaan 76.5 80.2 78.6 1.42

Perkotaan+ Pedesaan 78.7 80.8 81.0 1.46

Skor Pola Pangan Harapan di wilayah pedesaan lebih rendah dibandingkan dengan di wilayah perkotaan pada tahun 2008, 2009, dan 2010 masing-masing adalah 76.5, 80.2, dan 78.6 dengan laju pertumbuhan skor PPH setiap tahun adalah 1.42%. Hal ini menunjukkan bahwa skor PPH di wilayah perkotaan, pedesaan, dan perkotaan+pedesaan belum ideal disebabkan oleh kurang beragamnya pangan yang dikonsumsi (kualitas konsumsi pangan) penduduk di Provinsi Papua.

Apabila dibandingkan dengan skor PPH Papua dengan Indonesia, dapat diketahui bahwa skor PPH Papua lebih tinggi dibandingkan dengan Indonesia Hal ini ditunjukkan dengan skor PPH Indonesia mengalami penurunan dari tahun 2008 sampai 2010 adalah 81.9, 75.7, dan 77.5 (DKP 2012). Menurut Baliwati (2007) semakin tinggi skor PPH semakin bagus kualitas dari konsumsi pangan penduduk tersebut dan berarti konsumsi pangan semakin beragam dan seimbang. Secara rinci skor PPH menurut jenis pangan terdapat pada Lampiran 2.

Dari hasil analisis dengan pendekatan PPH yang perlu digarisbawahi adalah kelompok pangan umbi-umbian telah mencapai skor maksimal baik di

(15)

wilayah perkotaan maupun di pedesaan Papua. Konsumsi ideal dari kelompok pangan ini adalah 6.0% dari angka kecukupan dan skornya 2.5. Atas dasar alasan tersebut maka dikatakan bahwa konsumsi pangan di Provinsi Papua belum mencapai jumlah yang ideal.

Menurut Martianto dan Ariani (2004), konsumsi yang masih di bawah konsumsi harapan memerlukan upaya-upaya serius untuk meningkatkan kuantitas maupun kualitas konsumsi pangan guna mencapai pola pangan ideal. Upaya ini diantaranya peningkatan pendapatan dan daya beli yang diikuti dengan perbaikan pengetahuan gizi. Peningkatan pengetahuan gizi memungkinkan pengelolaan sumberdaya secara lebih baik, sehingga masyarakat dapat memilih jenis pangan bermutu dengan harga terjangkau.

Tabel 14 Kontribusi energi menurut kelompok pangan pangan Provinsi Papua tahun 2008-2010

No Kelompok pangan %AKE

ideal %AKE Pertumbuhan 2008 2009 2010 % 1 Padi-padian 50.0 35.1 35.0 34.1 -1.43 2 Umbi-umbian 6.0 26.3 26.6 29.9 6.77 3 Pangan hewani 12.0 9.5 9.1 9.1 -2.11 4 Minyak/lemak 10.0 9.9 10.7 11.1 5.91 5 Buah/biji berminyak 3.0 1.3 1.3 1.0 -11.54 6 Kacang-kacangan 5.0 3.5 4.7 3.9 8.63 7 Gula 5.0 3.8 4.2 4.1 4.07

8 Sayur dan buah 6.0 5.0 5.1 5.6 5.90

9 Lain-lain 3.0 0.9 0.7 0.9 3.17

Total 100.0 95.3 97.4 99.7 2.28

Tabel 14 menunjukkan bahwa kontribusi energi meningkat dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2010 dengan pertumbuhan 2.28 persen setiap tahun. Kontribusi energi dari kelompok umbi-umbian masih mendominasi konsumsi penduduk dari tahun 2008 sampai 2010 masing-masing adalah 26.3 %AKE, 26.6%AKE, dan 29.9 %AKE. Oleh karena itu, pertumbuhan kontribusi energi kelompok pangan umbi-umbian harus diturunkan sebesar 6.77 persen setiap tahun agar mencapai kontribusi energi ideal.

Menurut Apomfires (2002) yang dilakukan di salah satu kabupaten di Provinsi Papua yaitu Kabupaten Merauke, sagu (bie) dan umbi-umbian merupakan makanan pokok yang dikonsumsi masyarakat, biasanya diselingi dengan makanan lain seperti pisang, dan nasi yang merupakan makanan yang telah dikenal dan biasa dikonsumsi. Walaupun ada makanan selingan, tetapi sagu dan umbi-umbian tetap diutamakan, karena beberapa orang menyatakan bahwa mengkonsumsi sagu dan umbi-umbian membuat kenyang lebih lama dibandingkan mengonsumsi pisang dan nasi.

(16)

Kontribusi energi kelompok pangan minyak/lemak, kacang-kacangan gula, sayur dan buah, dan pangan lain-lainnya mengalami peningkatan dari tahun 2008 sampai 2010 dengan pertumbuhan masing-masing adalah 5.91%, 8.63%, 4.07%, 5.90%, dan 3.17%. Namun kontribusi energi dari kelompok pangan minyak/lemak, kacang-kacangan gula, sayur dan buah, dan pangan lain-lainnya masih belum sesuai dengan kontribusi ideal masing-masing kelompok pangan tersebut. Kontribusi energi dari kelompok pangan padi-padian, pangan hewani, buah/biji berminyak mengalami penurunan dari tahun 2008 sampai 2010 dengan pertumbuhan masing-masing adalah 1.43%, 2.11%, dan 11.54%.

Menurut Hardinsyah et al(2001) bahwa dengan terpenuhinya kebutuhan energi dari berbagai kelompok pangan sesuai pola pangan harapan (PPH), maka secara implisit kebutuhan zat gizi akan terpenuhi kecuali untuk zat gizi yang sangat defisit dalam suatu kelompok pangan.

Tabel 15 Skor PPH menurut kelompok pangan Provinsi Papua tahun 2008-2010

No Kelompok pangan Skor PPH Pertumbuhan

Ideal 2008 2009 2010 % 1 Padi-padian 25.0 17.5 17.5 17.0 -1.43 2 Umbi-umbian 2.5 2.5 2.5 2.5 0.00 3 Pangan hewani 24.0 19.0 18.2 18.2 -2.11 4 Minyak/lemak 5.0 4.9 5.0 5.0 1.02 5 Buah/biji berminyak 1.0 0.7 0.7 0.5 -14.29 6 Kacang-kacangan 10.0 7.1 9.5 7.8 7.95 7 Gula 2.5 1.9 2.1 2.0 2.88

8 Sayur dan buah 30.0 25.2 25.4 27.9 5.32

9 Lain-lain 0.0 0.0 0.0 0.0 0.00

Total 100 78.7 80.8 81.0 1.46

Tabel 15 menunjukkan bahwa skor PPH di Provinsi Papua meningkat dari tahun 2008 sampai dengan 2010 masing-masing adalah 78.7, 80.8, dan 81.0. Namun peningkatan skor PPH tersebut masih jauh dari standar pelayanan minimum (SPM) tahun 2015 yaitu 90 yang berarti masih kurang beragamnya pangan yang dikonsumsi penduduk di Provinsi Papua. Hal ini ditunjukkan dengan kelompok pangan padi-padian, pangan hewani, buah/biji berminyak, gula, sayur dan buah masih kurang dari standar pelayanan minimum (SPM) tahun 2015. Skor PPH kelompok pangan minyak/lemak, kacang-kacangan gula, sayur dan buah mengalami peningkatan dari tahun 2008 sampai 2010 dengan pertumbuhan masing-masing adalah 1.02%, 7.95%, 2.28%, dan 5.32%, namun skor PPH masih kurang dari standar pelayanan minimum (SPM) tahun 2015.

Untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas konsumsi pangan penduduk agar mencapai pola konsumsi pangan sesuai standar pelayanan minimum (SPM) tahun 2015 (PPH=90), maka diperlukan upaya-upaya yang lebih serius.

(17)

Upaya-upaya tersebut adalah tidak hanya pada sisi penyediaan, tetapi harus dapat langsung mempengaruhi perbaikan mutu gizi penduduk/ masyarakat, diantaranya peningkatan pendapatan dan daya beli yang diiringi dengan perbaikan pengetahuan gizi. Melalui peningkatan pengetahuan gizi memungkinkan pengelolaan sumberdaya akan lebih baik, sehingga dapat memilih jenis-jenis pangan bermutu gizi tinggi dengan harga terjangkau.

Proyeksi Konsumsi Berdasarkan Pola Pangan Harapan (PPH)

Apabila evaluasi terhadap skor mutu gizi pangan daerah sudah dilakukan, maka pada tahap selanjutnya dilakukan penyusunan target (proyeksi) skor PPH yang akan dicapai. Skor PPH dan komposisi PPH ini menggambarkan mutu gizi dan komposisi pangan yang akan dicapai. Berdasarkan Renstra Pusat Pengembangan Konsumsi Pangan, diharapkan secara nasional Indonesia mampu mencapai skor PPH 100 pada tahun 2020. Proyeksi pangan ideal yang dimaksud dalam analisis ini adalah tercapainya konsumsi yang baik secara kuantitas dan kualitas yang digambarkan dengan tercapainya target skor PPH pada tahun 2015 adalah 90 sesuai dengan Standar Pelayanan Minimum (SPM).

Tabel 16 menunjukkan bahwa skor PPH Provinsi Papua harus ditingkatkan minimal 1,9 poin setiap tahunnya hingga mencapai skor PPH 90 sesuai standar pelayanan minimum (SPM) pada tahun 2015. Penyusunan proyeksi skor PPH Provinsi Papua dari tahun 2010 sampai tahun 2015 dilakukan dengan menggunakan metode interpolasi linear. Interpolasi linear juga dilakukan terhadap komposisi pangan. Dengan demikian peningkatan skor PPH setiap tahun akan meningkatkan proporsi setiap kelompok pangan secara bertahap. Tabel 16 Proyeksi Pola Pangan Harapan (PPH) Provinsi Papua berdasarkan

konsumsi pangan tahun dasar 2010

No Kelompok pangan

Tahun

Dasar Proyeksi skor PPH Pertumbuhan

2010 2011 2012 2013 2014 2015 % 1 Padi-padian 17.0 17.8 18.6 19.4 20.2 21.0 4.32 2 Umbi-umbian 2.5 2.5 2.5 2.5 2.5 2.5 0.00 3 Pangan hewani 18.2 18.8 19.4 19.9 20.5 21.1 3.00 4 Minyak/lemak 5.0 5.0 5.0 5.0 5.0 5.0 0.00 5 Buah/biji berminyak 0.5 0.6 0.6 0.7 0.7 0.8 10.19 6 Kacang-kacangan 7.8 8.1 8.3 8.5 8.7 8.9 2.68 7 Gula 2.0 2.1 2.1 2.2 2.2 2.3 2.86

8 Sayur dan buah 27.9 28.1 28.3 28.5 28.7 28.9 0.71

9 Lain-lain 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.00

Total 81.0 82.9 84.8 86.7 88.6 90.5 2.24

Konsumsi pangan yang masih perlu ditingkatkan adalah kelompok pangan padi-padian (4.32%), pangan hewani (3.00%), buah/biji berminyak (10.19%), gula (2.86%), serta sayur dan buah (0.71%). Karena tidak satupun

(18)

jenis makanan yang mengandung secara lengkap zat gizi pada menu makanan untuk konsumsi pangan penduduk yang beragam dan sesuai kebutuhan. Sedangkan skor PPH telah mencapai maksimal atau ideal adalah kelompok pangan umbi-umbian dan minyak/lemak pada tahun 2010 (tahun dasar) telah memenuhi skor ideal.

Proyeksi kontribusi energi terhadap Angka Kecukupan Energi (%AKE) menurut kelompok pangan disajikan pada Tabel 17. Berdasarkan Tabel 17 menunjukkan bahwa pertumbuhan proyeksi kontribusi energi menurut kelompok pangan yang masih perlu ditingkatkan konsumsinya setiap tahun adalah kelompok pangan padi-padian, pangan hewani, buah/biji berminyak, kacang-kacangan, gula, sayur dan buah, dan kelompok pangan lainnya masing-masing adalah 4.26 persen, 3.10 persen, 14.91 persen, 2.91 persen, 1.88 persen, 0.71 persen, dan 16.18 persen agar mencapai kontribusi energi ideal. Hal lain yang perlu di perhatikan dan di waspadai adalah konsumsi pangan sumber minyak dan lemak yang sudah berlebih. Kelebihan pangan ini akan membawa dampak negatif pada kesehatan terutama penyakit degenerative seperti tekanan darah tinggi, jantung, dan lain sebagainya.

Tabel 17 Proyeksi kontribusi energi terhadap Angka Kecukupan Energi (%AKE) menurut kelompok pangan (%)

No Kelompok pangan

Tahun Dasar

Kontribusi Energi terhadap AKE

(%AKE) Pertumbuhan 2010 2011 2012 2013 2014 2015 % 1 Padi-padian 34.1 35.7 37.3 38.9 40.4 42.0 4.26 2 Umbi-umbian 29.9 27.5 25.1 22.7 20.3 17.9 -9.74 3 Pangan hewani 9.1 9.4 9.7 10.0 10.3 10.6 3.10 4 Minyak/lemak 11.1 11.0 10.9 10.7 10.6 10.5 -1.10 5 Buah/biji berminyak 1.0 1.2 1.4 1.6 1.8 2.0 14.91 6 Kacang-kacangan 3.9 4.0 4.1 4.2 4.4 4.5 2.91 7 Gula 4.1 4.2 4.3 4.4 4.5 4.5 1.88

8 Sayur dan buah 5.6 5.6 5.7 5.7 5.7 5.8 0.71

9 Lain-lain 0.9 1.1 1.3 1.5 1.7 1.9 16.18

Total 99.6 99.7 99.7 99.7 99.8 99.8 33.10

Proyeksi kontribusi energi kelompok umbi-umbian adalah 29.9% pada tahun 2010 (tahun dasar) melebihi proporsi ideal (Tabel 17), sehingga dilakukan proyeksi untuk mencapai kontribusi ideal umbi-umbian (6.0%) mulai dari tahun 2011 sampai dengan tahun 2015. Hal ini disebabkan karena sebagian besar penduduk/ masyarakat di Provinsi Papua terutama di wilayah pedesaan bermata pencaharian sebagai petani atau berkebun dengan tanaman umbi sebagai salah satu komoditas sebagai makanan pokok. Selain itu juga menunjukkan arah positif karena konsumsi energi tidak hanya bergantung pada kelompok padi-padian saja

(19)

sehingga dapat dikatakan konsumsi pangan penduduk telah mengarah pada konsumsi pangan yang beragam.

Skor kelompok pangan padi-padian diproyeksikan meningkat setiap tahun sebesar 0.8. Pada tahun 2010 skor padi-padian mencapai 17.0 dengan proporsi konsumsi energi 34.1%. untuk mencapai skor PPH 90 sesuai Standar Pelayanan Mimimum (SPM) pada tahun 2015 maka skor padi-padian adalah 21.0 dengan proporsi konsumsi energi adalah 42.0%. Peningkatan skor pangan hewani diproyeksikan 0.6 per tahun sehingga pada tahun 2010 diharapkan dapat mencapai skor 18.2 dengan proporsi konsumsi energi adalah 9.1%. Skor pangan hewani pada tahun 2015 adalah 21.1 dengan kontribusi energi 10.6% sehingga proporsi sesuai standar pelayanan minimum (SPM) yaitu 10.8% dapat terpenuhi pada tahun 2015. Sedangkan skor pangan minyak dan lemak setiap tahun adalah stabil yaitu 5.0 dengan proporsi sesuai SPM yaitu 9% pada tahun 2015.

Peningkatan skor pangan buah/biji berminyak diproyeksikan 0.1 per tahun sehingga pada tahun 2010 diharapkan dapat mencapai skor 0.5 dengan proporsi konsumsi energi adalah 1.0%. Skor pangan buah/biji berminyak pada tahun 2015 adalah 0.8 dengan kontribusi energi yaitu 2.0% sehingga proporsi sesuai SPM adalah 2.7% dapat terpenuhi pada tahun 2015. Kelompok kacang-kacangan diproyeksikan terjadi peningkatan skor sebesar 0.3. pada tahun 2010 skor kacangan mencapai 7.8 dengan proporsi 3.5%. Skor kacang-kacangan pada tahun 2015 adalah 8.9 dengan kontribusi energi 4.5% sehingga proporsi sesuai SPM dapat terpenuhi pada tahun 2015.

Target skor dan kontribusi gula pada tahun 2010 adalah 2.0 dan 4.1%. Kelompok sayur dan buah diharapkan meningkat 0.2 sehingga skor pada tahun 2010 adalah 27.9 dan kontribusi energi sebesar 5.6%. oleh karena itu target skor dan kontribusi pada tahun 2015 masing-masing adalah 28.9 dan 5.8%. Sesuai standar pelayanan minimum (SPM) sebesar 5.4% target proporsi sudah tercapai pada tahun 2015. Kelompok pangan lain-lainnya yang mencakup minuman dan bumbu- bumbuan sangat penting peranannya dalam pola konsumsi penduduk yaitu sebagai penambah cita rasa dan pembangkit selera. Pada tahun 2010 konsumsi pangan lainnya mempunyai skor 0 (karena bobot/ratingnya 0) dengan kontribusi 0.9%.

Pola konsumsi pangan penduduk di Provinsi Papua pada tahun 2010 juga belum memenuhi kaidah gizi baik dari segi kuantitas, kualitas keragaman

(20)

maupun keseimbangan karena masih terjadi ketimpangan terutama pada kelebihan kelompok pangan umbi-umbian, minyak dan lemak, serta sayur dan buah sedangkan kelompok pangan yang masih perlu ditingkatkan konsumsinya adalah kelompok pangan padi-padian, pangan hewani, buah/biji berminyak,dan gula. Kondisi ini mencerminkan pola konsumsi pangan di Provinsi Papua masih didominasi oleh kelompok pangan umbi-umbian.

Analisis proyeksi konsumsi pangan dari tahun 2011 sampai 2015 diharapkan meningkat setiap tahun (Tabel 18). Tabel 18 menunjukkan bahwa pada tahun 2010 rata- rata konsumsi energi setiap kelompok pangan di Provinsi Papua masih dibawah standar nasional yaitu 2000 kkal/kapita/hari yaitu 1993 kkal/kapita/hari. Namun diharapkan setiap tahunnya terjadi peningkatan hingga mencapai standar nasional sebesar 2000 kkal/kapita/hari pada tahun 2020 dan mencapai standar pelayanan minimum pada tahun 2015 di Provinsi Papua sebesar 1996 kkal/kapita/hari.

Tabel 18 Proyeksi konsumsi pangan menurut kelompok pangan (kkal/kapita/hari)

No Kelompok Pangan Tahun dasar Proyeksi konsumsi (kkal/kap/hr) Pertumbuhan

2010 2011 2012 2013 2014 2015 %

1 Padi-padian 682 714 745 777 809 841 4.29

2 Umbi-umbian 598 550 502 455 407 359 -9.69

3 Pangan Hewani 182 188 193 199 205 211 3.01

4 Minyak dan Lemak 221 219 217 215 213 211 -0.98 5 Buah/Biji Berminyak 21 25 29 33 37 40 14.12

6 Kacang-kacangan 78 81 83 85 87 89 2.61

7 Gula 82 84 85 87 89 91 2.13

8 Sayur dan Buah 112 112 113 114 115 116 0.76

9 Lain-lain 18 22 26 30 35 39 17.28

Total 1993 1993 1993 1994 1995 1996 0.34

Pertumbuhan proyeksi konsumsi pangan umbi-umbian dan minyak/lemak harus diturunkan masing-masing 9.69 persen dan 0.98 persen setiap tahun. Hal ini disebabkan konsumsi pangan kelompok pangan umbi-umbian dan minyak/lemak pada tahun 2010 (tahun dasar) sudah melebihi konsumsi ideal. Proyeksi konsumsi pangan yang harus ditingkatkan konsumsinya dari tahun 2011 sampai 2015 adalah kelompok pangan padi-padian (4.29%), pangan hewani (3.01%), buah/ biji berminyak (14.12%), kacang-kacangan (2.61%), gula (2.13%), sayur dan buah (0.76%), dan pangan lainnya (17.28%).

Tabel 19 berikut ini menggambarkan hasil analisis proyeksi konsumsi untuk setiap kelompok pangan dari tahun 2011 sampai 2015. Diharapkan pada tahun 2015, penduduk di Provinsi Papua mengonsumsi pangan kelompok padi-padian sekitar 231.2 gram/kapita/hari. Kelompok umbi-umbian sebesar 269.2 gram/kapita/hari; 123.0 gram/kapita/hari dari kelompok pangan hewani; 26.3

(21)

gram/kapita/hari dari kelompok minyak dan lemak; 6.7 gram/kapita/hari dari buah/biji berminyak; 31.2 gram/kapita/hari dari kelompok kacang-kacangan; 27.3 gram/kapita/hari dari kelompok gula; 221.9 gram/kapita/hari dari kelompok sayur dan buah serta 9.7 gram/kapita/hari berasal dari kelompok pangan lain-lain. Tabel 19 Proyeksi konsumsi pangan menurut kelompok pangan

(gram/kapita/hari)

No Kelompok Pangan

Tahun

dasar Proyeksi konsumsi (gram/kap/hr) Pertumbuhan

2010 2011 2012 2013 2014 2015 %

1 Padi-padian 187.4 196.2 205.0 213.7 222.5 231.2 4.29 2 Umbi-umbian 448.4 412.5 376.7 340.9 305.0 269.2 -9.69 3 Pangan Hewani 106.0 109.4 112.8 116.2 119.6 123.0 3.02 4 Minyak dan Lemak 27.7 27.4 27.1 26.9 26.6 26.3 -1.03 5 Buah/Biji Berminyak 3.5 4.1 4.8 5.4 6.1 6.7 13.90 6 Kacang-kacangan 27.4 28.2 29.0 29.7 30.5 31.2 2.63

7 Gula 24.5 25.1 25.6 26.2 26.7 27.3 2.19

8 Sayur dan Buah 213.7 215.4 217.0 218.6 220.2 221.9 0.76

9 Lain-lain 4.4 5.4 6.5 7.6 8.6 9.7 17.19

Pertumbuhan konsumsi kelompok pangan umbi-umbian dan minyak/ lemak harus diturunkan karena sudah melebihi konsumsi ideal dari kelompok pangan tersebut. Sedangkan kelompok pangan yang harus ditingkatkan konsumsinya adalah kelompok pangan padi-padian, pangan hewani, buah/biji berminyak, kacang-kacangan, gula, sayur dan buah, serta pangan lainnya masing-masing adalah 4.29 persen, 3.02 persen, 13.90 persen, 2.63 persen, 2.19 persen, 0.76 persen, dan 17.19 persen. Secara rinci proyeksi konsumsi pangan menurut jenis pangan dapat dilihat pada Lampiran 3.

Proyeksi Kebutuhan Konsumsi Pangan Wilayah Berdasarkan Pola Pangan Harapan (PPH)

Perencanaan pembangunan suatu wilayah seharusnya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dasar bagi penduduknya. Tingkat kebutuhan gizi bagi konsumsi penduduk dapat digunakan sebagai salah satu standar untuk mengukur kebutuhan dasar penduduk, khususnya dalam hal pangan. Segala sumber daya yang berhubungan dengan produksi dan penyediaan pangan harus dialokasikan sesuai kebutuhan untuk memenuhi kebutuhan minimal tersebut (Absari 2007).

Perencanaan kebutuhan pangan dengan PPH, selain untuk menyediakan pangan yang beranekaragam sesuai dengan kecukupan gizi setempat, juga memberi keleluasaan menentukan pilihan jenis pangan yang diinginkan karena PPH disajikan dalam kelompok pangan. Pemilihan jenis pangan yang diinginkan diantara kelompoknya disesuaikan dengan kondisi sosial budaya (aspek pola

(22)

konsumsi atau preferensi jenis pangan penduduk) dan potensi wilayah setempat (Hardinsyahet al2001).

Kebutuhan konsumsi pangan suatu wilayah selain dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan penduduk. Pertumbuhan penduduk yang cepat merupakan isu sentral yang dihadapi dunia, terlebih di negara berkembang termasuk Indonesia. Konsekuensi dari hal tersebut adalah peningkatan ketersediaan pangan untuk mengimbangi pertambahan penduduk. Menurut Madanijah (2004) pola konsumsi pangan adalah susunan jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu. Proyeksi konsumsi pangan aktual penduduk di Provinsi Papua dari tahun 2011 sampai tahun 2015 dengan harapan pola konsumsi penduduk semakin baik, beragam dan sesuai kebutuhan gizi yang harus dikonsumsi masyarakat di Provinsi Papua (Tabel 20).

Tabel 20 Proyeksi kebutuhan konsumsi pangan menurut kelompok pangan (kg/kapita/tahun)

No Kelompok pangan

Tahun

dasar Kg/kapita/tahun Pertumbuhan

2010 2011 2012 2013 2014 2015 % 1 Padi-padian 75.3 78.8 82.3 85.8 89.3 92.8 4.27 2 Umbi-umbian 180.0 165.6 151.2 136.9 122.5 108.1 -9.69 3 Pangan hewani 42.7 44.1 45.4 46.8 48.1 49.5 3.00 4 Minyak/lemak 11.1 11.0 10.9 10.8 10.7 10.6 -0.92 5 Buah/biji berminyak 1.4 1.6 1.9 2.2 2.4 2.7 14.08 6 Kacang-kacangan 11.0 11.3 11.6 11.9 12.2 12.5 2.59 7 Gula 9.8 10.1 10.3 10.5 10.7 10.9 2.15

8 Sayur dan buah 85.8 86.5 87.1 87.8 88.4 89.1 0.76

9 Lain-lain 1.7 2.2 2.6 3.0 3.5 3.9 18.21

Tabel 20 menunjukkan bahwa pertumbuhan kelompok pangan umbi-umbian dan minyak/lemak dari tahun 2011 sampai tahun 2015 harus diturunkan sedangkan pertumbuhan untuk kelompok pangan yang lain ditingkatkan pemenuhan kebutuhan pangan secara bertahap dari tahun 2011 sampai tahun 2015 yaitu kelompok pangan padi-padian, pangan hewani, buah/biji berlemak, kacang-kacangan, gula, sayur dan buah. Untuk memperoleh beragam kelompok pangan maka jumlah kelompok pangan yang berlebihan diturunkan hingga mencapai standar pelayanan minimum (SPM) di tahun 2015 sehingga tercapai keseimbangan antara masing-masing kelompok pangan.

Pertumbuhan kebutuhan konsumsi pangan yang harus dinaikkan setiap tahunnya adalah kelompok padi-padian 4.27%, kelompok pangan hewani 3.00%, kelompok buah/biji berlemak 14.08%, kelompok kacang-kacangan 2.59% dan pangan gula 2.15%, sayur dan buah 0.76% per tahun. Sedangkan kelompok pangan yang harus diturunkan setiap tahun adalah kelompok umbi-umbian

(23)

9.69% dan kelompok minyak/lemak 0.92%. Proyeksi konsumsi pangan menurut jenis pangan dapat dilihat pada Lampiran 4.

Pola konsumsi pangan penduduk suatu wilayah dapat menunjukkan jenis pangan yang disukai dan dapat diterima oleh penduduk wilayah tersebut sehingga diperlukan proyeksi kebutuhan akan pangan yang dikonsumsi oleh penduduk yang dipengaruhi oleh jumlah penduduk di wilayah tersebut. Berdasarkan proyeksi jumlah penduduk di Provinsi Papua diketahui bahwa jumlah penduduk pada tahun 2010 adalah 2.833.381 jiwa dengan laju pertumbuhan 5,39 persen per tahun. Kemudian diharapkan proyeksi penduduk meningkat dari tahun 2011 sampai tahun 2015 agar kebutuhan konsumsi pangan penduduk terpenuhi.

Selanjutnya dilakukan proyeksi kebutuhan konsumsi pangan penduduk Provinsi Papua tahun 2011-2015 (Ribu ton/ tahun) disajikan pada Tabel 21. Tabel 21 menunjukkan bahwa kebutuhan konsumsi pangan umbi-umbian lebih tinggi dibandingkan dengan kebutuhan konsumsi padi-padian di Provinsi Papua pada tahun 2010 (tahun dasar). Hal ini didukung dengan data produksi kelompok pangan pada tahun 2009 di Provinsi Papua yaitu kelompok pangan padi-padian adalah 105.30 ribu ton/tahun sedangkan umbi-umbian adalah 379.82 ribu ton/tahun (BPS 2010).

Tabel 21 Proyeksi kebutuhan konsumsi pangan penduduk Provinsi Papua tahun 2011-2015 (Ribu ton/ tahun)

No Kelompok pangan

Tahun

dasar Ribu ton/ tahun Petumbuhan

2010 2011 2012 2013 2014 2015 % 1 Padi-padian 213.29 235.23 258.97 284.59 312.22 341.99 9.90 2 Umbi-umbian 510.06 494.59 475.96 453.90 428.07 398.14 -4.82 3 Pangan hewani 121.02 131.57 142.91 155.09 168.17 182.20 8.53 4 Minyak/lemak 31.47 32.85 34.28 35.78 37.33 38.95 4.36 5 Buah/biji berminyak 3.85 4.85 5.95 7.15 8.46 9.90 20.83 6 Kacang-kacangan 31.21 33.80 36.58 39.56 42.75 46.18 8.15 7 Gula 27.88 30.04 32.35 34.83 37.48 40.31 7.65 8 Sayur dan buah 243.16 258.22 274.19 291.13 309.10 328.17 6.18 9 Lain-lain 4.93 6.47 8.17 10.03 12.07 14.29 23.80 Proyeksi kebutuhan konsumsi pangan penduduk di Provinsi Papua dari tahun 2011 sampai dengan tahun 2015 diharapkan sesuai dengan standar pelayanan minimum (SPM) tahun 2015. Agar mencapai standar pelayanan minimum (SPM) tahun 2015 maka dibutuhkan kelompok pangan padi-padian adalah 314.99 ribu ton/tahun, umbi-umbian adalah 398.14 ribu ton/tahun, pangan hewani adalah 182.20 ribu ton/tahun, mnyak/lemak adalah 38.95 ribu ton/tahun,

(24)

buah/ biji berminyak adalah 9.90 ribu ton/tahun, kacang-kacangan adalah 46.18 ribu ton/tahun, gula adalah 40.31 ribu ton/tahun, sayur dan buah adalah 328.17 ribu ton/tahun, dan pangan lainnya adalah 14.29 ribu ton/tahun.

Proyeksi kebutuhan konsumsi pangan penduduk Provinsi Papua berdasarkan laju pertumbuhan kelompok pangan umbi-umbian harus diturunkan kebutuhan konsumsi pangannya setiap tahun sekitar 4.82% sedangkan kelompok pangan seperti padi-padian, pangan hewani, minyak dan lemak, buah/biji berlemak, kacang-kacangan, gula serta sayur dan buah harus ditingkatkan dalam pemenuhan kebutuhan pangan agar sesuai dengan standar pelayanan minimum (SPM) pada tahun 2015. Menurut Budi (2003) komoditas pangan umbi-umbian terutama ubi jalar dapat dijumpai di berbagai wilayah, baik pada dataran rendah maupun dataran tinggi, terutama pada wilayah pegunungan tengah.

Analisis proyeksi kebutuhan konsumsi pangan penduduk di Provinsi Papua tahun 2011-2015 menunjukkan bahwa kelompok pangan yang harus ditingkatkan yaitu kelompok pangan padi-padian, pangan hewani, minyak dan lemak, buah/biji berlemak, kacang-kacangan, gula serta sayur dan buah dengan pemenuhan kebutuhan konsumsinya adalah 9.9%, 8.5%, 4.4%, 0.8%, 8.1%, 7.6%, dan 6.2% per tahun. Kualitas pangan dan keragaman pangan yang dikonsumsi penduduk dapat memenuhi kebutuhan konsumsi penduduk Provinsi Papua tahun 2011 sampai tahun 2015. Secara rinci proyeksi kebutuhan konsumsi pangan menurut jenis pangan dapat dilihat pada Lampiran 4.

Referensi

Dokumen terkait

Komisi yang diberikan oleh perusahaan kepada anggota baik besaran maupun bentuknya harus berdasarkan pada prestasi kerja nyata yang terkait langsung dengan volume atau

Metode berbasis lexicon umumnya menggunakan kamus yang berisi kata-kata opini untuk menentukan suatu sentimen atau polaritas (positif atau negatif) dari suatu data teks,

Pengaruh kombinasi penggunaan pupuk batuan fosfat terhadap tinggi tanaman menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingan penggunaan SP-36 dan pengaruh tunggal penggunaan

! Pemeliharaan k"rekti$ # merupakan pemeliharaan yang terencana dikarenakan $akt"r waktu dimana peralatan memerlukan per!aikan atau pemeliharaan yang tidak terencana

Karena kondisi eksisting spektrum frekuensi 2520 s/d 2670 MHz digunakan oleh Indostar, maka bila servis satelit sulit untuk di realokasi pada band lain maka hanya sebagian nomor

wungkuk Kota Cirebon. Komplek Keraton Kanoman membujur dari utara ke selatan. Di sebelah utara keraton terdapat alun-alun dan pasar. Dilihat dari runtutan para sultan yang

Jurusan Hukum Pidana Islam dan Ketatanegaraan UIN Alauddin Makassar, dengan judul Tinjauan Hukum Islam Terhadap Penerapan Diversi (Studi Kasus Di Polrestabes

Proses penangananoleh penyidik yang menyerahkan berkas perkara atau hasil laporan tersebut ternyata tidak benar (palsu) ke kejaksaan maka jaksa dapat melakukan