• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

5 2.1. Tinjauan Pustaka

Sutoyo dan Rosyidi (2014) melakukan penelitian tentang pembakaran briket menggunakan limbah plastik melalui pengkajian ultimate dan efek porositas untuk menghasilkan sumber energi sekaligus meningkatkan kualitas penggunaan limbah plastik. Dalam penelitian tersebut briket plastik di uji dengan metode pyrolisis menghasilkan padatan dan non-condensable gas, data yang didapat dari pengujian kualitas pembakaran 8 sampel briket dari 13 sampel char yang diperoleh melalui pyrolisis bahan plastik polyethylene dengan variaasi temperatur operasi antara 450-500⁰C, variasi pencampuran dilakukan menggunakan bahan PE dengan jenis polystyrene, polypropylene, polyethylene dan terephthalate. Kualitas pembakaran diuji dalam furnance dengan temperatur dingin ± 230⁰C dan aliran udara konstan 0,7 m/s, serta diukur kadar emisinya. Di dapatkan hasil yang terbaik yaitu periode pembakaran paling lama yaitu 84,80 menit dengan kadar moisture tertinggi 10,369 % (proximate).

Ediy dan Widyastuti (2013) melakukan penelelitian tentang pembuatan briket blotong berpori menggunakan limbah pabrik gula. Dalam penelitian ini briket blotong berpori dibagi menjadi 3 tipe dengan media perekat yang berbeda, tipe 1 blotong berpori dengan perbandingan blotong molasse = 8:1, tipe 2 dengan peerbandingan blotong dan tepung tapioka (lem kanji) = 8:1 dan tipe 3 perbandingan blotong dan molasse + tepung tapioka (lem kanji) = 8:1:1. Pengujian dilakukan menggunakan metode pembakaran dan hasil analisa yang di dapat kadar air ketiga tipe briket blotong berpori tersebut adalah 28,9, 21,6 dan 23,6 % pada penelitian tersebut belum memenuhi standart SNI no.1/6235/2000 tentang mutu briket yaitu ≤ 8 %, pada analisa

(2)

kadar abu di dapat hasil dengan perekat terbaik pada pengujian tersebut dengan 4,6% dengan standart SNI no.1/6235/2000 tentang mutu briket yaitu ≤ 8 %.

Setiawan, dkk (2012) melakukan penelitian tentang pengaruh komposisi pembuatan biobriket dari campuran kulit kacang dan serbuk gergaji terhadap nilai pembakaran. Dalam penelitian bioriket dari campuran kulit kacang tanah dan serbuk gergaji tersebut dengan temperatur karbonisasi yang digunakan mulai dari 300ºC, 350ºC, 400ºC, 450ºC, sampai dengan 500ºC. Perekat yang digunakan pada penelitian berupa tepung sagu dengan kadar 20% dari berat briket bioarang. Pembakaran yang optimal didapat pada temperatur karbonisasi 500ºC yaitu senilai 5670,538 cal/gr. Pada penelitian ini hasil yang didapatkan Serbuk gergaji kayu dan kulit kacang tanah yang semula hanya merupakan limbah dari industri rumah tangga dan mebel, dengan adanya proses pembuatan briket bioarang dapat meningkatkan nilai pakai dari bahan tersebut sehingga dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi alternatif penganti batubara.

Surono (2010) melakukan penelitian tentang peningkatan kualitas pembakaran biomassa limbah tongkol jagung sebagai bahan bakar alternatif dengan proses karbonisasi dan pembriketan. Pada penelitian tersebut meggunakan metode Karbonisasi (pirolisis) yang diikuti dengan pembriketan merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk mengolah biomasa menjadi bahan bakar padat. Penelitian ini mempelajari pengaruh suhu selama proses karbonisasi dan tekanan pada saat pembriketan terhadap sifat pembakaran briket dari tongkol jagung. Pada penelitian ini, proses karbonisasi dilakukan pada suhu 220ºC, 300ºC dan 380ºC sementara proses pembriketan dilakukan pada tekanan 24,4 MPa, 48,8 MPa, 73,2 MPa, dan 97,6 MPa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses karbonisasi yang dilakukan dapat meningkatkan kandungan karbon dan nilai kalor briket dari tongkol jagung. Kondisi operasi karbonisasi terbaik diperoleh pada suhu 380 °C, sementara untuk pembriketan dilakukan pada 97,6 MPa yang dapat menaikkan kadar

(3)

karbon sampai 67% dan nilai kalor sampai 65%. Proses karbonisasi yang dilakukan dapat mengurangi emisi CO dan laju pembakaran.

2.2. Dasar Teori

2.2.1. Biomassa

Indonesia sebagai negara agraris, mempunyai sumber energi biomassa yang melimpah. Salah satu sumber energi biomassa di Indonesia yang potensial adalah limbah pertanian, seperti sekam padi, jerami, ampas tebu, batang dan tongkol jagung serta limbah-limbah pertanian/perkebunan lainnya.

Biomassa terdiri atas beberapa komponen yaitu kandungan air (moisture content), zat mudah menguap (volatile matter), karbon terikat (fixed carbon), dan abu (ash). Mekanisme pembakaran biomassa terdiri dari tiga tahap yaitu pengeringan (drying), devolatilisasi (devolatilization), dan pembakaran arang (char combustion). Proses pengeringan akan menghilangkan moisture, devolatilisasi yang merupakan tahapan pirolisis akan melepaskan volatile, dan pembakaran arang yang merupakan tahapan reaksi antara karbon dan oksigen, akan melepaskan kalor. Laju pembakaran arang tergantung pada laju reaksi antara karbon dan oksigen pada permukaan dan laju difusi oksigen pada lapis batas dan bagian dalam dari arang. Reaksi permukaan terutama membentuk CO. Diluar partikel, CO akan bereaksi lebih lanjut membentuk CO2. Pembakaran akan menyisakan material berupa abu (Surono, 2010).

Biomassa pada umumnya mempunyai densitas yang cukup rendah, sehingga akan mengalami kesulitan dalam penanganannya. Densifikasi biomassa menjadi briket bertujuan untuk meningkatkan densitas dan mengurangi persoalan penanganan seperti penyimpanan dan pengangkutan. Secara umum densifikasi biomassa mempunyai beberapa keuntungan antara lain dapat menaikkan nilai kalor per unit volume, mudah disimpan dan diangkut serta mempunyai ukuran dan kualitas yang seragam (Bhattacharya dkk, 1996).

(4)

Biomassa adalah salah satu energi terbarukan yang bersumber dari alam yang sifatnya dapat diperbaharui. Biomassa merujuk pada bahan biologis yang hidup atau baru mati yang dapat digunakan sebagai sumber bahan bakar. Biomassa dapat mencakup materi tumbuhan atau hewan yang digunakan untuk produksi serat, bahan kimia, atau panas. Biomassa biasanya diukur dengan berat kering meliputi limbah terbiodegradasi yang dapat dibakar sebagai bahan bakar. Biomassa tidak mencakup materi organik yang telah tertransformasi oleh proses geologis menjadi zat seperti minyak bumi atau batu bara.

2.2.2. Limbah Industri Gula

Tebu merupakan salah satu jenis tanaman yang hanya dapat ditanam didaerah yang beriklim tropis. Tebu-tebu yang ditanam di perkebunan saat ini kemudian diolah menjadi gula di pabrik-pabrik gula (PG). Dalam proses produksi di pabrik gula tersebut, gula yang termanfaatkan hanya sekitar 5% dari setiap tebu yang diproses. Sebanyak 35 – 40% nya menghasilkan ampas tebu (bagasse), dan sisanya berupa tetes tebu (molase), blotong dan air (Misran, 2005).

Pemanfaatan tebu selama ini kurang diperhatikan dengan maksimal yaitu hanya memfokuskan hasil premier nya saja. Sementara hasil samping lainnya kurang begitu termanfaatkan, kecuali tetes tebu (molase) yang telah dimanfaatkan untuk pembuatan etanol dan juga bahan pembuatan monosodium glutamate (MSG) yang kita kenal sebagai salah satu bahan untuk membuat bumbu masakan (Misran, 2005). Sedangkan untuk ampas tebu (bagasse) itu sendiri masih menjadi sebuah limbah industri gula yang belum termanfaatkan dengan baik. Padahal ampas tebu (bagasse) mempunyai presentase yang cukup besar sehingga ketersediaannya sangat melimpah.

2.2.3. Pembriketan

Briket bioarang adalah gumpalan-gumpalan atau batangan-batangan arang yang terbuat dari bioarang (bahan lunak). Bioarang sebenarnya termasuk bahan lunak

(5)

yang dengan proses tertentu diolah menjadi bahan arang keras dengan bentuk tertentu. Kualitas bioarang ini tidak kalah dengan batubara atau bahan bakar jenis arang lainnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi sifat briket arang adalah berat jenis bahan bakar atau berat jenis serbuk arang, kehalusan serbuk, suhu karbonisasi, dan tekanan pengempaan. Selain itu, pencampuran formula dengan briket juga mempengaruhi sifat briket (Setiawan, 2012).

Untuk itu, briket merupakan energi alternatif yang sangat baik untuk dikembangkan. Menurut (Nursyiwan dan Nuryetti, 2005) Syarat briket yang baik sebagai bahan bakar harus memenuhi kriteria sebagai berikut :

a. Mudah dinyalakan

b. Tidak mengeluarkan asap

c. Emisi gas hasil pembakaran tidak mengandung racun

d. Kedap air dan hasil pembakaran tidak berjamur bila disimpan pada waktu lama e. Menunjukkan upaya laju pembakaran (waktu, laju pembakaran, dan suhu

pembakaran).

Proses pembriketan juga akan berpengaruh pada ukuran pori-pori briket yang mana akan berpengaruh pula pada densitas briket. Menurut Sudiro dan Suroto (2014) ukuran partikel briket sangat mempengaruhi nilai densitas briket, karena semakin besar ukuran partikel briket menyebabkan ukuran pori-pori semakin besar pula. Ukuran pori-pori briket yang semakin besar menyebabkan briket akan lebih banyak menyimpan air namun karena proses pengeringan pori-pori yang terisi air akan terisi oleh udara akibat proses pengeringan tersebut, sehingga berat briket akan semakin ringan. Jika berat briket semakin ringan dengan volume tetap maka densitasnya semakin kecil, karena densitas dipengaruhi oleh berat briket per-volume briket pada saat proses pembriketan.

(6)

2.2.4. Bahan pengikat (binder)

Pada proses pembriketan dengan kategori tekanan rendah, maka dibutuhkan bahan pengikat (binder) untuk membantu pembentukan ikatan antar partikel biomassa. Selain itu, penambahan bahan pengikat (binder) ini juga untuk meningkatkan kekuatan briket. Dalam berbagai penelitian yang telah dilakukan, banyak sekali bahan pengikat (binder) yang dapat digunakan, seperti tepung kanji, tar, tetes tebu (molase), resin, sulphite, dan lain sebagainya. Menurut Syafiq (2009) beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan bahan pengikat (binder) untuk briket adalah sebagai berikut :

1. Kesesuaian antara bahan pengikat (binder) dengan bahan yang akan diikat 2. Kemampuan bahan pengikat (binder) untuk mengikat sifat-sifat briket 3. Kemudahan dalam memperoleh bahannya.

2.2.5. Pembakaran

Pembakaran merupakan suatu reaksi kimia antara bahan bakar dengan suatu oksidan yang disertai produksi panas (terkadang disertai cahaya) dalam bentuk api. Bahan bakar kebanyakan mengandung unsur karbon (C), belerang (S) dan hidrogen (H). oksigen (O2) juga merupakan salah satu hal yang terpenting dari sebuah pembakaran, karena pasokan oksigen yang cukup menjadi faktor terpenting dari sempurnanya pembakaran. Ada dua tipe pembakaran, yaitu pembakaran sempurna dan pembakaran tidak sempurna. Pada pembakaran sempurna reaktan akan terbakar oleh oksigen dan menghasilkan beberapa produk, seperti unsur karbon (C) yang bereaksi dengan oksigen (O2) hanya akan menghasilkan karbon dioksida (CO2) begitu pula terjadi pada unsur S yang menjadi SO2 dan H yang menjadi H2O. Sedangkan pada pembakaran tidak sempurna terjadi apabila pasokan oksigen (O2) tidak mencukupi untuk terjadinya proses pembakaran akibatnya unsur karbon (C) yang terkandung didalam bahan bakar ketika bereaksi dengan oksigen (O2) maka akan

(7)

menghasilkan gas yang tidak seluruhnya mengandung karbon dioksida (CO2) (Teknik Pertanian, 2014).

2.2.6. Pembakaran Bahan Bakar Padat

Pembakaran adalah suatu reaksi kimia eksotermal dengan kalor yang dibangkitkan sangat besar dan menghasilkan nyala, reaksi ini berlangsung spontan dan berkelanjutan karena adanya suplai kalor dari kalor yang dibangkitkan oleh reaksi itu sendiri. Mekanisme pembakaran bahan bakar padat terdiri dari tiga tahap (Borman dan Ragland, 1998), yaitu pengeringan, devolatilisasi, dan pembakaran arang (char). Bahan bakar padat karbon dapat diklasifikasikan dalam tiga kategori utama, yaitu batubara, biomassa dan lainnya. Proses pembakaran bahan bakar padat sendiri melewati tiga tahapan, yaitu pengeringan, devolatilisasi dan pembakaran arang, serta sisa pembakarannya berupa abu (ash) (Borman dan Ragland, 1998).

Mekanisme pembakaran bahan bakar padat dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Pengeringan (drying)

Moisture dalam bahan bakar padat dapat berupa air bebas (free water). Berada didalam pori-pori bahan bakar dan sebagai air terikat (bound water) yang terserap sampai permukaan bagian dalam struktur bahan bakar. Bila partikel bahan bakar dipanaskan, maka akan terjadi konveksi dan radiasi ke permukaan partikel bahan bakar akan menguap dan keluar dari partikel.

Waktu pengeringan untuk butiran partikel kecil dari bahan bakar padat adalah waktu yang dibutuhkan untuk memanaskan partikel sampai energi pada suatu partikel kecil menyatakan bahwa laju waktu perubahan energi didalam waktu sama dengan laju pemanasan untuk menguapkan air ditambah laju transfer kalor menuju partikel melalui proses konveksi dan radiasi (Borman dan Ragland, 1998).

(8)

2. Devolatilisasi

Setelah pengeringan partikel bahan bakar padat selesai serta temperatur yang terus meningkat, maka bahan bakar padat akan mengalami dekomposisi, yaitu pecahnya ikatan kimia secara termal dan volatile matter keluar dari partikel. Pada tahap ini dengan semakin meningkatnya temperatur maka zat volatile kemudian mengalir keluar melalui pori-pori sehingga akan menghambat aliran oksigen dari luar untuk masuk dalam butiran bahan bakar. Hal inilah yang membuat tahap ini juga disebut pyrolysis. Laju devolatilisasi dan produksi hasil pyrolysis akan tergantung kepada temperatur dan jenis bahan bakar. Produk pyrolysis ini akan menyala dan membentuk api yang menempel pada butiran sehingga terjadi peningkatan devolatilisasi. Laju devolatilisasi akan mempengaruhi stabilitas penyalaan.

Reaksi kimia tunggal mengubah bahan bakar padat menjadi hasil pirolisis, laju devolatilisasi bahan bakar padat tergantung dari kadar volatile dalam bahan bakar, jenis bahan bakar dan temperaturnya. Untuk partikel yang lebih besar proses pirolisis terjadi berangsur-angsur dari bagian luar partikel ke bagian dalam. Nyala bahan bakar padat terjadi di permukaan bahan bakar atau pembakaran volatile matter pada lapisan batas sekitar partikel. Volatile matter akan terbakar lebih dahulu daripada char apabila laju pemanasan permukaan partikel rendah.

3. Pembakaran arang (char combustion)

Tahapan terakhir dari proses pembakaran bahan bakar padat adalah pembakaran arang. Pada saat devolatilisasi selesai akan tersisa karbon dan abu. Arang bersifat sangat porous sehingga oksigen dapat terdifusi ke dalam partikel arang. Laju pembakaran arang tergantung pada konsentrasi oksigen, temperatur gas, bilangan reynolds, ukuran dan porositas arang. Arang mempunyai porositas yang tinggi. Porositas arang kayu berkisar 0,9 (Borman dan Ragland, 1998).

Reaksi pada permukaan char menghasilkan produk utama berupa CO, dimana CO yang terlepas akan berikatan dengan oksigen membentuk CO2. Reaksi pada

(9)

permukaan akan menyebabkan temperatur meningkat 100 – 200 °C diatas temperatur gas luar. Arang akan bereaksi dengan oksigen pada permukaan membentuk karbon monoksida dan karbon dioksida, tetapi secara umum karbon monoksida merupakan produk utama dinyatakan pada persamaan 2.1 berikut ini : :

C + ½ O2 CO ...(2.1) Dimana permukaan karbon juga bereaksi dengan karbon dioksida dan uap air dengan reaksi reduksi sebagai berikut :

C + CO2 2CO ...(2.2) C + H2O  CO + H2 ...(2.3) Reaksi reduksi (b) dan (c) secara umum lebih lambat daripada reaksi oksidasi (a), dan untuk pembakaran biasanya hanya reaksi (a) yang diperlukan.

2.2.7. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembakaran bahan bakar padat

Bahan bakar padat dapat terbakar dengan baik ketika memiliki beberapa karakteristik bahan bakar yang baik. Beberapa faktor yang mempengaruhi pembakaran bahan bakar padat, antara lain :

a. Ukuran partikel

Ukuran partikel bahan bakar padat sangat mempengaruhi proses pembakaran. Semakin kecil ukuran partikel maka proses pembakaran akan semakin cepat. b. Kecepatan aliran udara

Laju pembakaran biobriket akan naik sejalan dengan kecepatan aliran udara yang disalurkan. Ketika udara yang disalurkan cukup cepat maka akan diikuti dengan kenaikan temperatur dan laju pembakaran juga akan mengalami kenaikan dalam satu rentang waktu.

c. Temperatur udara pembakaran

Temperatur udara pembakaran yang tinggi menyebabkan semakin pendeknya waktu pembakaran. Hal ini dikarenakan kenaikan temperatur pembakaran akan mempercepat reaksi pembakaran karbon dan oksigen.

(10)

d. Jenis bahan bakar

Jenis bahan bakar yang digunakan menentukan karakteristik bahan bakar. Karakteristik tersebut antara lain kandungan zat mudah menguap (volatile matter) dan kadar air (moisture). Semakin banyak kandungan zat mudah menguap (volatile matter) pada biobriket maka akan semakin mudah terbakar dan menyala.

2.2.8. Thermogravimetry Analysis (TGA)

Thermogravimetry merupakan suatu teknik untuk menganalisa perhitungan stabilitas termal suatu bahan bakar dan fraksi komponen zat volatilnya dengan memonitor perubahan massa selama spesimen diberi perlakuan panas (Ahmad, 2010). Analisis thermogravimetry dilakukan dalam lingkungan atmosfer oksidatif (udara atau oksigen dan campuran gas inert). Sebuah instrumen yang mengukur penurunan massa pada biofuel didalam sebuah furnace dengan thermocontroller disebut thermobalance.

Gambar 2.1 Grafik karakteristik pembakaran dengan Thermogravimetry Analysis (TGA) 0 50 100 150 200 250 300 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 0 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1000 1100 1200 tem p era tu r (° C) m ass a (gram ) waktu (s) BT PT ITFC ITVM

(11)

Pada gambar grafik karakteristik pembakaran dengan Thermogravimetry Analysis (TGA) diatas, terdapat empat penentuan titik pada setiap proses yang dinyatakan sebagai berikut :

1. Initiation Temperature of Volatile Matter (ITVM) adalah temperatur bahan bakar dimana laju pengurangan massa sampel mulai mengalami peningkatan. Pada kurva laju pengurangan massa, ITVM ditandai pada zona dimana laju pengurangan massa sedikit turun kemudian meningkat dengan cepat.

2. Initiation Temperature of Fixed Carbon (ITFC) merupakan temperatur bahan bakar dimana laju pengurangan massa mulai meningkat dengan sangat cepat sebagai akibat mulai terjadinya pembakaran.

3. Peak of weight rate Temperature (PT) merupakan temperatur bahan bakar dimana laju pengurangan massa dari sampel mencapai nilai tertinggi yang ditandai sebagai puncak dari kurva.

4. Burning out Temperature (BT) adalah bahan bakar dimana laju pengurangan massa berlangsung sangat lambat dan cenderung stabil, yang ditandai dengan kurva yang sedikit mendatar karena pembakaran telah selesai.

Temperatur akhir ditentukan hingga massa bahan stabil yang secara tidak langsung menunjukkan bahwa reaksi sudah selesai secara keseluruhan (dalam hal pembakaran dapat diprediksi bahwa seluruh karbon telah terbakar). Pendekatan ini akan menghasilkan dua informasi penting, kadar abu (Mres) yang ditunjukkan oleh massa sia dan temperatur oksidasi (To).

Penentuan temperatur oksidasi dapat diperoleh dari beberapa cara, antara lain temperatur dimana laju pengarangan massa maksimal (dm/dTmax) dan temperatur ketika massa mulai berkurang (Tonset). Temperatur dimana laju pengurangan massa

maksimal menunjukkan bahwa padat temperatur tersebut oksidasi berlangsung secara maksimal sedangkan temperatur ketika massa mulai berkurang menunjukkan bahwa pada temperatur tersebut proses oksidasi dimulai.

(12)

Penggunaan definisi pertama To = dm/dTmax lebih disukai dengan dua alasan. Alasan pertama berkaitan dengan permulaan penurunan massa yang bertahap (biasanya diatas temperatur 100°C) membuat sulitnya menentukan Tonset secara tepat. Permulaan yang bertahap diyakini karena nanotubes terkontaminasi oleh amorphous karbon atau zat yang mengandung karbon yang teroksidasi pada temperatur yang lebih rendah dari bahan yang terdapat pada nanotubes. Pada kasus ini Tonset cenderung menampilkan sifat ketidakmurnian tersebut daripada bahan yang terdapat pada nanotubes. Alasan kedua adalah pengurangan massa akibat oksidasi karbon kadang tertutupi oleh kenaikan massa akibat katalisator oksidasi pada temperatur rendah, pada beberapa kasus hal ini menyebabkan kurva penurunan massa pada TGA berayun naik dan menyebabkan penentuan Tonset lebih sulit dan ambigu. Lain halnya dengan penentuan Tonset,penentuan dm/dTmax lebih jelas. Oleh sebab itu temperatur oksidasi didefinisikan To = dm/dTmax.

2.2.9. Energi aktivasi

Energi aktivasi adalah energi yang dibutuhkan sehingga reaksi dapat terjadi. Energi aktivasi dibutuhkan untuk menggerakkan energi reaktan sehingga reaksi dapat dimulai. Energi aktivasi biasanya menghasilkan panas yang dilepaskan akibat proses reaksi.

Kalita, dkk (2009) membandingkan hasil dengan menggunakan penelitian dan perhitungan untuk parameter kinetik dari bahan bakar biomassa densitas rendah. Perhitungan parameter kinetik dari data thermogravimetry menggunakan persamaan Arrhenius yang dinyatakan pada persamaan 2.5 berikut ini :

...(2.5)

Dimana X adalah massa dari sampel yang bereaksi (kg), t adalah waktu (menit), A Adalah pra-exponensial atau faktor frekuensi (menit-1), E adalah energi

(13)

aktivasi dari reaksi dekomposisi (kJ/mol), R adalah konstanta gas universal (kJ/mol.K), T adalah temperatur absout (K), dan n adalah orde reaksi (-).

Kesimpulan dari penelitian tersebut adalah metode perhitungan dengan linear multiple regression method adalah sangat akurat dan mempunyai tingkat presisi 10-2 jika dibandingkan dengan hasil penelitian.

Dari persamaan perhitungan energi aktivasi pada proses pembakaran bahan bakar padat dapa dianalisa menggunakan persamaan Arrhenius yang dinyatakan pada persamaan 2.6 berikut ini :

...(2.6) Dimana :

K : Konstanta laju reaksi A : Faktor pre-eksponensial Ea : Energi aktivasi

R : Konstanta gas universal (8,312 kal/mol)

T : Temparatur (K)

Analisa matematis persamaan Arrhenius :

...(2.7) Jika di ln – kan maka :

...(2.8) Dimana y = m . x

(14)

...(2.9)

Sehingga : ...(2.10)

Dengan memplotkan grafik antara ln k dengan 1/T dari data eksperimental, akan didapat harga energi aktivitas, dimana plot kemiringan (slope) trendline linier yang terbentuk adalah –Ea/R.

2.2.10 Analisa Karakteristik Biobriket

Analisa karakteristik biobriket dapat dilakukan dengan melakukan analisa proksimasi. Analisa proksimasi adalah analisa bahan bakar padat yang berasal dari bahan biomassa yang menghasilkan fraksi massa dari kadar air (moisture content), zat mudah menguap (volatile matter), kadar karbon tetap (fixed carbon) dan kadar abu (ash) sesuai dengan standar ASTM D-1762.

Gambar 2.2. Grafik profil pembakaran bahan bakar padat 0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 1 84 167 250 333 416 499 582 665 748 831 914 997 1080 1163 1246 1329 Tem p e ratu r ( ºC) M assa

Grafik Hasil Uji Energi Biomassa

(15)

1. Nilai Kalor (Heating value/calorific value)

Nilai kalor bahan bakar adalah besarnya panas yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar padat. Nilai kalor terdiri dari GHV (gross heating value/ nilai kalor atas) dan NHV (net heating value/ nilai kalor bawah). Nilai kalor atas atau “higher heating value” (HHV) adalah panas yang dihasilkan oleh pembakaran sempurna satu satuan berat bahan bakar padat atau cair, atau satu satuan volume bahan bakar gas, pada tekanan tetap. Nilai bakar bawah atau “net heating value” atau “lower heating value” (LHV) adalah panas yang besarnya sama dengan nilai panas atas dikurangi panas yang diperlukan oleh air yang terkandung dalam bahan bakar dan air yang terbentuk dari pembakaran bahan bakar. Besarnya nilai kalor dapat dirumuskan pada persamaan 2.11 berikut ini :

HHV =

………...………(2.11)

Diamana :

HHV = Highest heating Value (kal/gram) Acid = Sisa abu 10 kal/gram

Fulse = Panjang kawat yang terbakar = 1 cm =1 kal/gram ΔT = Selisih Suhu (ºC)

EE = 2401,459 kal/gram

Alat yang digunakan untuk mengukur kalor adalah Bomb Calorimeter. Prinsip kerja Bomb Calorimeter adalah dengan menentukan panas yang dibebaskan oleh suatu bahan bakar dan oksigen pada volume tetap. Alat tersebut ditemukan oleh Prof. S. W. Parr (1912), oleh sebab itu alat tersebut sering disebut “Parr Oxygen Bomb Calorimeter”.

2. Kadar air (Moisture)

Kadar air briket adalah kandungan air yang terkandung dalam suatu bahan bakar padat dan merupakan perbandingan berat kandungan air dalam briket dengan berat kering briket setelah dikarbonisasi. Kadar air briket sangat mempengaruhi nilai

(16)

kalor yang dihasilkan. Tingginya kandungan kadar air pada briket dapat menyebabkan penurunan nilai kalor. Hal ini disebabkan karena panas yang digunakan untuk melakukan pembakaran digunakan untuk mengeluarkan kandungan air terlebih dahulu. Besarnya kadar air dapat dirumuskan pada persamaan 2.12 berikut ini :

Kadar air (%) = ...(2.12) Dengan :

A = Massa sampel awal

B = Sampel setelah dikeringkan

Banyaknya kandungan air pada suatu bahan bakar padat dapat menyebabkan penurunan mutu bahan bakar karena :

1. Menurunkan nilai bakar karena memerlukan sejumlah panas untuk penguapan.

2. Menurunkan titik nyala bahan bakar.

3. Memperlambat proses pembakaran bahan bakar padat. 4. Menambah volume gas buang dan menimbulkan asap.

Kadar air (moisture content) yang terkandung dalam briket bahan bakar dapat dinyatakan dalam dua macam : (a) Free moisture (uap air bebas). Free moisture adalah uap air yang terkandung pada permukaan briket dan dapat menguap ketika dilakukan penjemuran. (b) Inherent moisture (uap air terikat). Kandungan inherent moisture adalah uap air yang terkandung dalam bahan bakar padat dan dapat ditentukan dengan memanaskan briket antara temperatur 104º – 110º C selama satu jam.

3. Zat-zat mudah menguap (Volatille Matter)

Zat-zat mudah menguap (Volatile matter) merupakan salah satu zat atau bahan yang keluar dari suatu bahan bakar padat yang dibakar selain air yang menjadi uap. Semakin banyak kandungan volatile matter pada bahan bakar padat maka semakin mudah terbakar dan menyala, sehingga laju pembakaran semakin cepat.

(17)

Kandungan gas-gas yang mudah terbakar seperti Hidrogen (H), karbon monoksida (CO), dan metana (CH4), tetapi kadang-kadang terdapat juga gas-gas yang tidak

terbakar seperti CO2 dan H2O.

Banyaknya kadar volatille matter pada proses pembakaran akan menyebabkan nyala yang panjang dan menghasilkan banyak asap. Sedangkan kadar volatile matter yang rendah akan menghasilkan asap yang sedikit, yaitu antara (15-25)%. Perhitungan kadar volatille matter dirumuskan pada persamaan 2.13 berikut ini :

Volatille Matter (%) = ...(2.13) Dimana : A = Massa sampel awal

B = Sampel setelah dikeringkan

C = Massa pada sampel terdapat pada titik fixed carbon (FC) 4. Kadar karbon (Fixed Carbon)

Kadar karbon (Fixed Carbon) adalah komponen utama yang digunakan dalam proses pembakaran. Kadar karbon tidak menimbulkan gas ketika dibakar, oleh karena itu sering juga disebut dengan karbon tetap (KT). Kandungan fixed carbon (FC) adalah kandungan karbon tetap yang terdapat pada suatu bahan bakar padat yang berupa arang. Untuk mengetahui kadar karbon (Fixed carbon) adalah dengan melakukan perhitungan dapat dirumuskan pada persamaan 2.14 berikut ini :

Fixed Carbon (%) = ...(2.14) Dimana : A = Massa sampel awal

C = Massa pada sampel terdapat pada titik fixed carbon (FC) D = Massa sampel pada titik Burning out

5. Kadar Abu (Ash)

Kadar abu merupakan kotoran yang tersisa setelah proses pembakaran. yang tidak akan terbakar. Kadar abu sebanding dengan kandungan bahan anorganik di dalam suatu bahan bakar padat. Abu terdiri dari bahan mineral seperti silika, kalsium, serta magnesium oksida dan lain-lain. Banyaknya kandungan silika dapat

(18)

menyebabkan penurunan kandungan kualitas nilai kalor yang dihasilkan. Untuk menghitung kadar abu dapat dirumuskan pada persamaan 2.15 berikut ini :

Gambar

Gambar 2.1 Grafik karakteristik pembakaran dengan Thermogravimetry Analysis  (TGA)  0  50  100 150 200 250 300 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 0  100  200  300  400  500  600  700  800  900  1000 1100 1200  temperatur (°C)massa (gram) waktu (s) BT PT ITFC ITVM
Grafik Hasil Uji Energi Biomassa

Referensi

Dokumen terkait

Realitas sosial yang kompleks, penuh dimensi, dan tidak beraturan disajikan dalam berita sebagai sesuatu yang sederhana, beraturan, dan memenuhi logika tertentu merupakan salah

Valuasi ekonomi merupakan sebuah upaya untuk memberikan nilai kuantitatif terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumber daya alam dan lingkungan terlepas

Akan tetapi, bauran pemasaran (produk, harga, promosi, dan saluran distribusi) untuk merek global bisa bevariasi antar Negara. Produk global berbeda dengan merek global

Pemilihan video sebagai media adalah karena anak-anak usia TK dapat menangkap pembelajaran dengan pemberian contoh langsung (demonstrasi) dan melalui kegiatan mengamati lalu

Menurut Fatah (2008: 73-75) kompetensi pedagogik adalah kemampuan seorang pendidik dalam mengelola pembelajaran peserta didik yang dapat dilihat dari indikator

Dari uraian tersebut maka penulis tertarik untuk menulis karya tulis ilmiah dengan judul “Asuhan Kebidanan Pada Akseptor Baru Kontrasepsi Implant norplant-2 Pada

Untuk tujuan ini, baik Fakultas maupun Sekolah menyediakan sumber daya akademik maupuan sumber daya pendukung akademik (laboratorium, studio, perpustakaan), bukan

Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan Ervilah dan Fachriyah (2015), Bustamam, et al (2010) dan Kartika (2011) menemukan pengaruh antara total