• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN KINERJA KPAI KOMISI PERLINDUNGAN ANAK INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LAPORAN KINERJA KPAI KOMISI PERLINDUNGAN ANAK INDONESIA"

Copied!
122
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN KINERJA

KPAI - 2017

KOMISI PERLINDUNGAN ANAK INDONESIA

JL. Teuku Umar Nomor 10-12 Menteng, Jakarta Pusat Telp. 021-31901445, 31901556., Fax. 021-3900833 Website: www.kpai.go.id, email: pengaduan@kpai.go.id

(2)

2

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmat dan ridho-Nya, Sekretariat Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dapat menyelesaikan penyusunan Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) Tahun 2017. Hal ini semata-mata dilakukan untuk menunjukkan kepada pemangku kepentingan dan masyarakat bahwa KPAI mempunyai komitmen dan tekad yang kuat untuk melaksanakan kinerja organisasi yang berorientasi pada outputs dan outcomes, dan dalam rangka memenuhi prinsip tranparansi dan akuntabilitas yang merupakan pilar penting pelaksanaan good governance.

LAKIP Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Tahun 2017 ini berisi informasi tentang uraian pertanggungjawaban atas capaian kinerja KPAI dalam mencapai tujuan dan sasaran strategisnya selama tahun 2017. LAKIP ini disusun berdasarkan dokumen Rencana Kerja Tahunan (RKT) Tahun 2017 dan Penetapan Kinerja (PK) Tahun 2017 yang mengacu sepenuhnya pada Rencana Strategis (Renstra) KPAI Tahun 2015-2019.

Akhirnya kami mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada seluruh jajaran Komisi Perlindungan Anak Indonesia, baik pimpinan maupun staf, yang telah bekerja dengan sunguh-sungguh dalam melaksanakan tugasnya.

Jakarta, Februari 2018. Kepala Sekretariat KPAI,

(3)

3

DAFTAR ISI

Kata Pengantar 2

Daftar Isi 3

Ringkasan Eksekutif 4

Bagian Pertama : Pendahuluan 11

A. Latar Belakang 11

B. Peran dan Fungsi KPAI 15

B. Ruang Lingkup dan Sistematika Penyajian 18

Bagian Kedua : Perencanaan Kinerja 20

A. Rencana Strategis 20

B. Penetapan Kinerja Tahun 2017 35

C. Perjanjian Kinerja Tahun 2017 35

Bagian Ketiga : Akuntabilitas Kinerja 38

Program Perlindungan Anak

Pengawasan Pelaksanaan Perlindungan Anak (KPAI) 38

1. Laporan Pengawasan Penanganan Terpadu Korban Kekerasan terhadap Anak (KtA) 42 2. Laporan Layanan Pengaduan, Penelaahan dan Mediasi Pengaduan yang Ditindaklanjuti 78 3. Laporan Data dan Informasi dan Rekomendasi serta Tindak Lanjut terkait Perlindungan Anak 92 4. Laporan Akuntabilitas dan Kinerj`a Organisasi KPAI 105

5. Laporan Layanan Perkantoran 106

Bagian Keempat : Penutup 108

Bagian Kelima : Lampiran 119

1. Target dan Realisasi Anggaran Komisi Perlindungan Anak Indonesia 119 2. Jumlah Pembentukan Komisi Perlindungan Anak Daerah 120 3. Milestone Sistem Pendataan di KPAI dan Struktur Organisasi KPAI 121

(4)

4

RINGKASAN EKSEKUTIF

Dalam menjalankan tugas konstitusionalnya, KPAI telah memasuki periodesasi ke-5 (lima). Periode pertama berlangsung mulai tahun 2004-2007, periode kedua berlangsung pada tahun 2007-2010, periode ketiga pada tahun 2010-2013, periode keempat berlangsung pada tahun 2014-2017 dan saat ini memasuki Periode 2017-2022.

Meski periodesasi berganti, namun eksistensi secara kelembagaan terus berlangsung dengan berbagai strategi, inovasi dan upayanya dari masa ke-masa terlebih dari sisi mandat sejak tahun 2014 juga mengalami sedikit perubahan. Dengan harapan, seluruh langkah dan upaya yang dilakukan menjadi pemacu percepatan penyelenggaraan perlindungan anak yang semakin efektif.

Laporan Kinerja KPAI Tahun ini merupakan hasil yang diolah dari (i) pemantauan dan pengawasan (ii) laporan dan telaah pengaduan masyarakat, (iii) advokasi terkait kebijakan dan isu perlindungan anak, (iv) telaah dan kajian terhadap fenomena perlindungan anak selama tahun 2017, (v) pengumpulan dan pengolahan data tahun 2017.

Dalam catatan laporan kinerja KPAI tahun 2017 ini berupaya menginformasikan rangkaian program dan kegiatan KPAI selama tahun 2017, sesuai dengan tugas dan fungsinya yang diamanatkan oleh Undang–Undang No. 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Laporan ini menguraikan kegiatan KPAI mencakup sembilan (9) bidang KPAI, yakni; Bidang Sosial dan Anak Dalam Situasi Darurat, Bidang Keluarga dan Pengasuhan, Bidang Hak Sipil dan Partisipasi, Bidang Agama dan Budaya, Bidang Pendidikan, Bidang Kesehatan dan Napza, Bidang Pornografi dan Cybercrime, Bidang Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) serta Bidang Trafficking dan Eksploitasi.

(5)

5

Dengan kehadiran laporan kinerja KPAI ini, diharapakan dapat memberikan gambaran kinerja KPAI selama tahun 2017 bagi para pemangku kepentingan penyelenggaraan perlindungan anak, yakni; Negara, Pemerintah, Masyarakat, Keluarga, dan Orangtua, memahami betapa kompleksnya problematika anak di Indonesia. Dengan membaca laporan kinerja ini, KPAI berharap komitmen para pengambil kebijakan dan semua stakeholders semakin meningkat untuk pemastian perlindungan anak. Selain itu laporan ini diharapkan dapat dijadikan referensi untuk pemajuan penyelenggaraan perlindungan anak.

Adapun dalam ringkasan eksekutif ini akan disampaikan terkait akuntabilitas kinerja yang berisi capaian kinerja KPAI selama tahun 2017 yang mengacu pada sasaran strategis yang telah ditetapkan. Program Pengawasan Pelaksanaan Perlindungan Anak (KPAI), didukung anggaran sebesar: Rp. 15.000.000.000,- (lima belas milyar rupiah), terealisasi 99,46% yaitu sebesar Rp. 14.926.676.563,- (empat belas milyar sembilan ratus dua puluh enam juta enam ratus tujuh puluh enam ribu lima ratus enam puluh tiga rupiah).

Ditinjau dari capaian kinerja masing-masing sasaran yaitu tercapainya efektifitas penyelenggaraan perlindungan anak dan terselenggaranya kepemerintahan yang baik, untuk tahun 2017 KPAI telah dapat melaksanakan tugas utama yang menjadi tanggungjawab organisasi. Berikut akan diuraikan kinerja KPAI tahun 2017 dilihat dari sasaran program pengawasan penyelenggaraan perlindungan anak dan penerapan kepemerintahan yang baik, antara lain :

1. KPAI menerima pengaduan masyarakat sebanyak 3.849 kasus sepanjang tahun 2017. Jika dilihat dari trend kasus tahunan, pengaduan kasus KPAI mengalami penurunan.

Dari situasi ini dapat dilihat bahwa pertama, mulai tumbuhnya lembaga-lembaga layanan perlindungan anak di daerah, sehingga pengaduan kasus pelanggaran anak, cukup diadukan ke lembaga terdekat dan tidak melakukan pengaduan ke KPAI. Misalnya berdasarkan data dari Direktorat

(6)

6

Jendral Pemasyarakatan Kementrian Hukum dan HAM, Anak yang berada di LPKA meningkat sebanyak 90 anak (2.319 menjadi 2.409) dan di LPAS meningkat 179 anak (905 menjadi 1.084) pada tahun 2017 dibandingkan dengan tahun 2016. Kedua, sebagai dampak dari masifnya advokasi perlindungan anak, perilaku masyarakat terkait perlindungan anak mulai semakin membaik, dan kasus pelanggaran terhadap hak anak mulai berkurang, meski kasus-kasus ekstrim masih terus terungkap. Ketiga, model-model pengarusutamaan perlindungan anak pada lembaga penyelenggaraan perlindungan anak mulai bertumbuhan; sekolah ramah anak, puskesmas ramah anak, dan lain sebagainya.

Namun demikian, perlu dicatat bahwa kualitas dan kompleksitas kasus kekerasan terhadap anak semakin meningkat. Hal ini dapat dilihat misalnya kasus video pornografi yang korbannya lebih dari 750 ribu anak serta kasus-kasus bullying yang masih terjadi di sekolah-sekolah di tanah air.

2. Dalam kurun waktu tujuh tahun terakhir, berdasarkan laporan pengaduan KPAI jumlah korban dan pelaku usia anak mencapai 28.284 orang dengan jumlah korban dan pelaku berjenis kelamin laki-laki. Hal ini mengkonfirmasi berbagai temuan kementrian dan lembaga bahwa anak laki-laki memiliki kerentanan yang tinggi baik sebagai pelaku maupun korban. Pada tahun 2017, anak laki-laki sebanyak 1.234 atau 54% dan anak perempuan sebanyak 1064 atau 46% sebagai korban dan pelaku.

3. Kasus Anak Berhadapan dengan Hukum masih menjadi kasus tertinggi di KPAI dengan kasus sebanyak 1209 kasus, diikuti dengan kasus bidang Keluarga dan Pengasuhan Alternatif sebanyak 593 kasus, dan kasus pornografi dan cybercrime sebanyak 514 kasus. Sejak tahun 2016, kasus bidang pornografi dan cybercrime jumlah kasusnya bertambah dan menggantikan posisi bidang pendidikan.

(7)

7

4. Pada kasus anak berhadapan dengan hukum, anak sebagai pelaku kekerasan sebanyak 530 sedangkan anak sebagai korban 477. Dari data tersebut, KPAI berpandangan bahwa kerentanan anak saat ini tidak lagi hanya menjadi korban tetapi juga menjadi pelaku. Meskipun anak pelaku tersebut juga merupakan ‘korban’ dari problem pengasuhan di keluarga maupun situasi lingkungan yang kurang mendukung.

5. Tingginya perceraian yang mencapai 19,9% pada tahun 2016 menyebabkan konflik orang tua yang berdampak kepada anak masih tinggi. Padahal seharusnya kepentingan terbaik bagi anak menjadi prioritas orang tua. KPAI mendorong reformasi hukum perlindungan anak paska perceraian orang tua dengan mendorong kepastian hak kuasa asuh, pemenuhan hak akses bertemu, dan pemenuhan hak nafkah. Selain itu, KPAI mendorong Presiden untuk meratifikasi the Hague Convention on Child Abduction sebagai dorongan mekanisme pemenuhan hak anak dari ‘penculikan’ oleh salah satu orang tua di level nasional.

6. Kasus-kasus pornografi dan kejahatan seksual terhadap anak di dunia maya menjadi problem era digital. Pada satu kasus pornografi dan kejahatan terhadap anak di dunia maya bisa jadi tindakan kriminalitasnya sedikit. Namun demikian, korbannya bisa ratusan bahkan ribuan. Diperlukan upaya maksimal untuk melakukan identifikasi korban kekerasan seksual terhadap anak di dunia maya agar mereka mendapatkan rehabilitasi optimal. Selain itu, literasi internet sehat kepada anak-anak sudah harus menjadi keharusan di era globalisasi yang perlu diikuti dengan kebijakan informatika yang ramah anak. 7. Kasus trafiking dan eksploitasi anak dewasa ini masih menjadi persoalan yang

kompleks. Modus penjualan bayi di salah satu area di Sumatera Utara merupakan bentuk kejahatan serius yang harus dicegah. Bentuk lainnya, eksploitasi anak di area pekerjaan berbahaya yang mengancam kesehatan dan jiwa anak juga masih menjadi pekerjaan rumah yang harus mendapatkan atensi khusus.

(8)

8

8. Advokasi kebijakan yang dilakukan KPAI untuk perlindungan anak pada tahun ini menghasilkan beberapa kebijakan strategis diantaranya Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2017 tentang Pengasuhan; Peraturan turunan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak yaitu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 8 Tahun 2017 tentang Tata Cara Pelaksanaan Koordinasi, Pemantauan, Evaluasi, dan Pelaporan Sistem Peradilan Pidana Anak, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2009 tentang Pedoman Register Perkara Anak Dan Anak Korban; Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi bagi Anak Korban Tindak Pidana; Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2017 Tentang Pengesahan ASEAN Convention Against Trafficking In Person Especially Women And Children (Konvensi Asean Menentang Perdagangan Orang, Terutama Perempuan Dan Anak). Selain itu KPAI masih mencermati proses kebijakan lainnya yang sedang dalam proses legislasi yaitu RUU tentang Penyiaran, Revisi Revisi Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dan Revisi Peraturan Presiden Tentang Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

9. KPAI memandang bahwa salah satu pilar perlindungan anak adalah di ranah pendidikan. Sekolah/Madrasah/Pesantren Ramah Anak sudah menjadi kebutuhan mendesak agar proses penyelenggaraan pendidikan memiliki visi misi ramah anak mulai dari kurikulum, sumber daya pendidik dan tenaga kependidikan, penyelenggaraan sekolah, hingga budaya yang dibangun di sekolah. KPAI mendorong Kemendikbud dan Kementrian Agama menjadi leading sector penyelenggaraan Sekolah/Madrasah/Pesantren Ramah Anak. KPAI meminta percepatan penerbitan dan pengesahan Rencana Peraturan Presiden Sekolah Ramah Anak. Mengingat jumlah Sekolah Ramah Anak saat ini baru mencapai 2800 sekolah dari 260 ribu sekolah atau hanya 0,09%.

10. Menguatnya radikalisme di kalangan anak menjadi keprihatinan KPAI. Berdasarkan kajian KPAI, keterpaparan anak terhadap paham radikal didapatkan dari akses internet, bahan bacaan, keluarga hingga di ruang sekolah. Tanpa dampingan orang tua, sekolah dan masyarakat sebagai satu

(9)

9

kesatuan fungsi saling control, anak memiliki kerentanan yang tinggi menjadi korban paham radikal.

11. Upaya penegakan hukum terhadap kasus-kasus kekerasan seksual harus menjadi komitmen seluruh aparat penegak hukum. Bagi pelaku anak, penegakan Sistem Peradilan Pidana Anak menjadi amanat yang harus ditunaikan untuk menjaga kepentingan terbaik bagi anak. Sedangkan bagi korban, KPAI menghimbau pemerintah untuk hadir melakukan upaya rehabilitasi korban secara maksimal.

12. Program Pendidikan Pengasuhan bagi Orang Tua harus diupayakan oleh pemerintah sebagai bentuk perlindungan terhadap anak dari hulu. Orang tua pun menguatkan komitmen melakukan pengasuhan terbaik untuk anak dengan membersamainya dalam tumbuh kembangnya. Upaya pencegahan anak menjadi pelaku maupun korban dengan pengasuhan terbaik di keluarga menjadi banteng utama dan terakhir perlindungan anak.

13. Mengingat desa merupakan ujung tombak pembangunan nasonal, perwujudan desa ramah anak merupakan kebutuhan mendesak. Adanya dana alokasi desa yang saat ini cukup signifikan, merupakan momentum positif untuk mendukung penyediaaan fasilitas ramah anak, rintisan model sekolah/madrasah ramah anak di desa, integrasi kegiatan warga desa dengan isu perlindungan anak serta upaya pencegahan dan penanganan anak berbasis masyarakat desa merupakan kebutuhan mendesak segera dilakukan.

14. Mendorong pemerintah dan pemerintah daerah untuk memenuhi 3.085.343 lembar akta (8,84%) berdasarkan RPJMN 2019 terkait pemenuhan hak sipil anak terutama keluarga miskin dan disabilitas. Sampai saat ini pemerintah dan pemerintah daerah baru memenuhi hak akta lahir anak sebanyak 65.153.812 lembar akta. Salah satu strategi pemenuhan akta lahir, pemerintah dan pemerintah daerah diharapkan melakukan layanan pencatatan akta lahir

(10)

10

berbasis desa atau kelurahan. Sedangkan berdasarkan data susenas anak Indonesia berjumlah 83,9 juta. Maka kekurangan akta lahir yang harus dipenuhi sebanyak 18.836.188 lembar akta lahir.

15. KPAI mendorong pemerintah untuk dapat melaksanakan Jaminan Kesehatan Nasional secara menyeluruh mulai dari upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Dalam hal promotif KPAI melihat bahwa sosialisasi tentang JKN masih belum dipahami secara menyeluruh oleh masyarakat, sehingga antara lain akses terhadap layanan kesehatan menjadi masalah nomor 2 yang dilaporkan kepada KPAI. Dalam bidang preventif, khususnya yang menyangkut imunisasi point-point yang harus mendapat perhatian terutama masalah UCI (Universal Coverage Imunisation) yang baru terbatas pada provinsi tertentu. KPAI meminta pemerintah untuk memastikan kualitas vaksin dari sisi kehalalannya, distribusinya dalam cold chain (rantai dingin), dan kualitas vaksin itu sendiri. Selain itu, KPAI menghimbau kepada masyarakat luas agar mengikuti program imunisasi secara lengkap dan berkesinambungan. 16. Mengingat sebagian geografis wilayah Indonesia merupakan rawan

bencana, maka pemerintah perlu memastikan integrasi perspektif perlindungan anak dalam seluruh proses penanggulangan bencana, termasuk pencegahan, tanggap darurat, dan rehabilitasi.

17. Sebagai ikhtiar untuk mewujudkan Indonesia Ramah Anak, maka peran orang tua, keluarga, sekolah, kelompok-kelompok masyarakat, komunitas adat, kelompok lintas agama, perlu mengoptimalisasikan perlindungan anak dalam setiap peran yang dilakukan.

(11)

11

BAGIAN PERTAMA : PENDAHULUAN

A.

LATAR BELAKANG

Pembangunan perlindungan anak telah dilakukan sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 b ayat (2): Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Disamping itu juga sesuai dengan prinsip-prinsip perlindungan anak yang tertuang dalam Konvensi Hak-hak Anak (KHA), yaitu non-diskriminasi (pasal 2); mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi anak (pasal 3); dan menghargai partisipasi anak (pasal 12). Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang– Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, kemudian pada tanggal 9 November 2016 telah ditetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) Nomor 1 Tahun 2016 menjadi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, lebih lanjut telah menegaskan bahwa perlindungan anak mencakup anak yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan, dan mencakup hak-hak anak untuk hidup, tumbuh dan berkembang, mencegah segala bentuk kekerasan, eksploitasi, perdagangan, dan diskriminasi, serta melindungi hak-hak anak untuk didengar pendapatnya.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) merupakan Lembaga Negara Independen yang dibentuk berdasarkan Undang–Undang No. 23 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang–Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pasal 74 ayat (1). Tujuan dibentuknya KPAI adalah untuk meningkatkan efektivitas penyelenggaraan perlindungan anak. Untuk tercapainya tujuan tersebut dalam Undang – Undang No. 35 Tahun 2014

(12)

12

tentang Perubahan atas Undang–Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pasal 76 mengamanatkan tugas dan fungsi KPAI:

a. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan perlindungan dan pemenuhan hak anak;

b. Memberikan masukan dan usulan dalam perumusan kebijakan tentang penyelenggaraan Perlindungan Anak;

c. Mengumpulkan data dan informasi mengenai Perlinugan Anak;

d. Menerima dan melakukan penelaahan atas pengaduan masyarakat mengenai pelanggaran hak anak;

e. Melakukan mediasi atas sengketa pelanggaran Hak Anak;

f. Melakukan kerjasama dengan lembaga yang dibentuk masyarakat di bidang Perlindungan Anak; dan

g. Memberikan laporan kepada pihak yang berwajib tentang adanya dugaan pelanggaran terhadap Undang – Undang.

Secara teknis penyelenggaraan Perlindungan Anak diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 77 tahun 2003 tentang Komisi Perlindungan Anak Indonesia, pada pasal 15 menyatakan bahwa pelaksaanaan tugas KPAI dilakukan dengan mengutamakan musyawarah dan mufakat. Kemudian dalam Pasal 17 menegaskan bahwa mekanisme kerja KPAI didasarkan pada prinsip pemberdayaan, kemitraan, akuntabilitas, kredibilitas, efektifitas, dan efisiensi.

Kemudian pada tanggal 14 Juli 2016 telah diundangkan Peraturan Presiden RI Nomor 61 Tahun 2016 tentang Komisi Perlindungan Anak Indonesia, sebagai aturan pelaksanaan ketentuan Pasal 75 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

(13)

13

Sesuai Peraturan Presiden RI Nomor 61 Tahun 2016 tentang Komisi Perlindungan Anak Indonesia pada Pasal 7 Ayat (1) Dalam melaksanakan tugasnya, KPAI dibantu Sekretariat KPAI yang dipimpin Kepala Sekretariat; Ayat (2) Kepala Seretariat adalah jabatan struktural Eselon II atau Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama yang diangkat dan diberhentikan oleh Menteri; dan Ayat (3) Sekretariat KPAI bertugas memberikan dukungan teknis dan administrative kepada KPAI; Ayat (4) Kepala Sekretariat KPAI secara fungsional berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Menteri; dalam Ayat (5) Ketentuan mengenai susunan organisasi, tugas, tanggung jawab dan tata kerja Sekretariat KPAI, diatur dengan Peraturan Menteri.

Organisasi dan tata kerja Sekretariat KPAI dibentuk berdasarkan Keputusan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Nomor : 44/KEP/MenegPP/IX/2004 tentang Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Komisi Perlindungan Anak Indonesia, sebagai berikut :

➢ Sekretariat Komisi Perlindungan Anak Indonesia selanjutnya dalam keputusan ini disebut Sekretariat Komisi adalah unit kerja yang berada dibawah dan bertanggungjawab secara struktural kepada Sekretaris Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan secara fungsional bertanggungjawab kepada Komisi Perlindungan Anak Indonesia.

➢ Sekretariat Komisi dipimpin oleh seorang Kepala Sekretariat.

➢ Sekretariat Komisi mempunyai tugas melaksanakan pelayanan administratif untuk mendukung kelancaran tugas Komisi Perlindungan Anak Indonesia.

➢ Tugas dan fungsi Sekretariat Komisi:

a. Penyusunan rencana program anggaran dan pengelolaan keuangan;

(14)

14

c. Pelaksanaan kehumasan, keprotokolan, ketatausahaan, kerumahtanggaan dan kepegawaian;

d. pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Komisi.

➢ Mengingat Sekretariat KPAI adalah unit kerja di bawah Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), maka KPAI sebagai lembaga independen perlu menegaskan kaitan keterhubungannya dengan KPPPA, karena terkadang dalam hal tertentu dapat mempengaruhi independensi dan daya gerak KPAI secara keseluruhan.

➢ Sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2016 tentang Komisi Perlindungan Anak Indonesia, pada pasal 7 berbunyi:

(1) Dalam melaksanakan tugasnya KPAI dibantu Sekretariat KPAI yang dipimpin Kepala Sekretariat.

(2) Kepala Sekretariat adalah jabatan struktural Eselon II atau Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama yang diangkat dan diberhentikan oleh Menteri.

(3) Sekretariat KPAI bertugas memberikan dukungan teknis dan administratif kepada KPAI.

(4) Kepala Sekretariat KPAI sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) secara fungsional berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri.

(5) Ketentuan mengenai susunan organisasi, tugas, tanggung jawab dan tata kerja Sekretariat KPAI, diatur dengan Peraturan Menteri.

(15)

15

Struktur Organisasi KPAI

Gambar 1. Struktur Organisasi KPAI, Tahun 2017.

B.

Peran dan Fungsi KPAI

Sesuai dengan tugas pokok yang disebutkan pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, kemudian pada tanggal 9 November 2016 telah ditetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) Nomor 1 Tahun 2016 menjadi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pada Pasal 76, jelas tergambar kegiatan-kegiatan apa saja yang harus dilakukan KPAI untuk mengefektifkan penyelenggaraan

(16)

16

pengawasan perlindungan anak. Makna dari pengefektifan tersebut terletak pada sisi pengawasannya. Keberadaan KPAI dimaksudkan sebagai pengawas korektif yang menjaga agar perlindungan anak berada dalam relnya, sekaligus memacu penyelenggara perlindungan anak dan pemangku kepentingan dimanapun yang terdiri dari Negara, pemerintah, masyarakat, dan keluarga untuk berusaha semaksimal mungkin dan tidak melanggar prinsip-prinsip yang disepakati mengenai perlindungan anak. Apabila tidak diindahkan, KPAI akan melanjutkan dengan memberikan pertimbangan kepada Presiden sebagai penanggungjawab keseluruhan pelaksanaan penyelenggaraan Negara.

Fungsi KPAI berbeda dengan fungsi KPPPA. Fungsi KPPPA adalah pembuat kebijakan di wilayah eksekutif yang mensinkronkan berbagai aspek perlindungan anak yang dijalankan oleh seluruh perangkat pemerintah baik di pusat maupun di daerah. Dalam hal ini, KPPPA juga memiliki perangkat pemantauan dan evaluasi sendiri, termasuk untuk menjatuhkan sanksi internal dan memberikan penghargaan. Pelaksanaan pemantauan, evaluasi, dan pengawasan yang dilakukan KPP dan PA memiliki makna yang berbeda dengan yang dilakukan KPAI. Dimana yang dilakukan KPP dan PA ada dalam wilayah administratif dan dalam kerangka antar instansi sehingga lebih bersifat koordinasi di dalam pemerintahan. Sedangkan yang dilakukan KPAI berada di luar wilayah penyelenggara Negara dalam arti eksekutif. Meskipun KPAI adalah lembaga Negara, sifat independennya menyebabkan KPAI tidak berada dalam wilayah koordinasi internal. KPAI bisa memberikan teguran, publikasi, rekomendasi, dan hal-hal lain yang dianggap perlu kepada seluruh Penyelenggara Negara, namun KPAI tidak bisa menjatuhkan sanksi internal atau administratif.

KPAI tidak menjalankan pelaksanaan teknis kegiatan perlindungan anak seperti penyediaan pendidikan bagi anak, dan KPAI juga tidak seharusnya menggantikan fungsi advokasi individual masyarakat yang pada prakteknya dijalankan oleh organisasi-organisasi kemasyarakatan dan non pemerintah

(17)

17

lainnya, namun sebagai sebuah lembaga pengawas, penyeimbang, dan penyanding penyelenggara perlindungan anak. KPAI mempunyai kewenangan untuk memberikan penangan sementara dan segera memintakan instansi terkait untuk menjalankan fungsinya terkait dengan masalah anak.

Seiring dengan berbagai dinamika perubahan yang terjadi sampai saat ini, maka KPAI telah memasuki periode keanggotaan yang ke-lima. Periode pertama berlangsung mulai 2004-2007 dan merupakan titik awal kinerja KPAI secara kelembagaan. Periode kedua, 2007-2010 merupakan fase pengembangan, sementara periode ketiga 2010-2013 merupakan fase pemantapan, pada periode keempat 2014-2017 merupakan fase penguatan aspek kelembagaan dan pada periode 2017-2022 merupakan fase penguatan sistem kinerja maupun penguatan sumberdaya manusia dan pengembangan kemitraannya dengan berbagai stakeholders, baik di dalam maupun luar negeri.

Kemudian pada tahun 2016, Indonesia menghadapi dinamika perlindungan anak cukup serius, beragam kasus terus bermunculan dan kasus kejahatan seksual merupakan kasus serius yang mendapat respon serius oleh negara dan masyarakat. Di sisi lain, anak sebagai korban bullying menurun, namun anak menjadi pelaku bullying meningkat. Inilah yang kemudian Presiden mengambil langkah segera dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak serta Raperpres tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Terhadap Anak di Satuan Pendidikan.

Tahun 2016, kasus pelanggaran terhadap anak terus terjadi dengan berbagai pola dan bentuknya. Namun, ketika Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan

(18)

18

Anak pada tanggal 9 November 2016 disetujui oleh DPR dalam rapat paripurna dan disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang. Dapat dimaknai bahwa komitmen negara semakin terlihat, dari sisi substansi telah menjawab kebutuhan faktual untuk pemberatan hukuman bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak. Mengingat pelaku kejahatan seksual terhadap anak, merupakan tindakan yang tak bisa ditoleransi.

C.

Ruang Lingkup Dan Sistematika Penyajian

Pada dasarnya Laporan Akuntabilitas Kinerja ini mengkomunikasikan pencapaian kinerja Komisi Perlindungan Anak Indonesia selama tahun 2017. Capaian kinerja tersebut dibandingkan dengan Penetapan Kinerja 2017 sebagai tolok ukur keberhasilan tahunan unit kerja. Analisis atas capaian kinerja terhadap rencana kinerja ini memungkinkan diidentifikasinya celah bagi perbaikan kinerja pada masa datang. Dengan pola pikir seperti itu, maka sistematika penyajian Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) Komisi Perlindungan Anak Indonesia tahun 2017 adalah sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan, menjelaskan secara ringkas latar belakang, aspek

strategis Komisi Pelindungan Anak Indonesia (KPAI), dan struktur organisasi.

Bab II Rencana Strategis dan Penetapan Kinerja, menjelaskan berbagai

kebijakan umum terkait dengan perlindungan anak, rencana strategis Komisi Perlindungan Anak Indonesia untuk periode 2015-2019, dan penetapan kinerja untuk tahun 2017.

Bab III Akuntabilitas Kinerja, menjelaskan analisis pencapaian kinerja

(19)

19

pertanggungjawaban publik terhadap pencapaian sasaran strategis untuk tahun 2017.

Bab IV Penutup, menjelaskan simpulan menyeluruh dari LAKIP Komisi

Perlindungan Anak Indonesia tahun 2017 ini, dan menguraikan rekomendasi yang diperlukan bagi perbaikan kinerja di masa datang.

Bab V Lampiran, menggambarkan capaian kinerja KPAI selama Tahun 2017, antara lain : target dan realisasi anggaran Komisi Perlindungan Anak Indonesia Tahun 2017, Jumlah Pembentukan Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD), dan Milestone Sistem Pendataan KPAI dan Struktur Organisasi Sekretariat KPAI.

(20)

20

BAGIAN KEDUA : PERENCANAAN KINERJA

A.

RENCANA STRATEGIS

Anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa dan generasi penerus, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Konsekuensinya anak harus mendapatkan kesempatan seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal baik fisik, mental, spiritual maupun sosial dengan memberikan perlindungan serta pemenuhan atas hak-haknya tanpa diskriminasi. Oleh karenanya upaya Perlindungan Anak harus dilakukan sedini mungkin yakni sejak janin dalam kandungan sampai anak berumur 18 (delapan belas) tahun.

Dalam upaya realisasi mandat Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, kemudian pada tanggal 9 November 2016 telah ditetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) Nomor 1 Tahun 2016 menjadi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, sesuai tugas dan fungsinya anggota KPAI secara garis besar telah melaksanakan 3 (tiga) hal; Pertama melakukan serangkaian program terkait subtansi perlindungan anak sesuai dengan tugas dan fungsi sebagaimana mandat pasal 76 Undang–Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,

Kedua melakukan penguatan dan penataan kelembagaan baik internal

maupun eksternal, yang Ketiga melakukan langkah–langkah strategik, yang diimplementasikan dalam rencana strategis KPAI. Dalam melaksanakan seluruh rangkaian program dan kegiatan, KPAI menggunakan pendekatan System Building Approach (SBA) dengan harapan peta masalah dapat diidentifikasi secara utuh, serta solusi alternatif dapat dirumuskan secara baik.

(21)

21

Secara singkat dapat disampaikan bahwa ada dua kelompok besar permasalahan anak Indonesia: Pertama, yang terkait dengan pemenuhan hak, seperti: pemenuhan hak kesehatan, hak pendidikan, hak sipil, hak agama, hak mendapatkan jaminan sosial. Kedua, yang terkait dengan perlindungan khusus, seperti perlindungan anak dari kekerasan dan diskriminasi di sekolah, keluarga, dan lingkungan masyarakat, perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum (ABH), perlindungan khusus bagi anak minoritas, korban trafficking, korban penyalahgunaan napza, korban bencana alam dan konflik sosial, serta anak dengan disabilitas.

Dua kategori besar permasalahan anak Indonesia ini pada dasarnya semuanya menjadi mandat KPAI untuk melakukan langkah-langkah sesuai tugas dan fungsinya, agar penyelenggaraan perlindungan anak di Indonesia dapat berjalan efektif. KPAI mengakui belum semua persoalan di seluruh wilayah Indonesia baik di Pusat maupun di Daerah, meski sudah terpetakan, dapat dipantau dan diawasi efektifitas kebijakan dan implementasinya. Faktor utama yang menyebabkan hal ini adalah diantaranya tidak adanya dukungan struktural KPAI di daerah.

Dengan kapasitas yang demikian, KPAI berusaha fokus pada persoalan perlindungan anak yang merupakan pelanggaran hak anak yang berat, berskala massif atau berdampak luas, dengan kompleksitas yang tinggi, serta masalah-masalah yang menyangkut pelanggaran hak anak oleh negara atau penyelenggara negara.

Semakin kompleksnya permasalahan sosial dan globalisasi dunia telah membawa pengaruh negatif yang menimbulkan dampak serius kepada perkembangan anak. Anak Indonesia menghadapi ancaman yang tidak mudah mereka sadari dampaknya. Oleh sebab itu, keberadaan KPAI sangat strategis untuk berperan lebih optimal agar dampak negatif tersebut bisa ditanggulangi yaitu dengan cara memperketat pengawasannya atas berbagai aspek yang terkait dengan masalah kehidupan anak.

(22)

22

Selain itu, kondisi penyelenggaraan perlindungan anak di Indonesia juga terus menghadapi kasus-kasus kekerasan yang semakin keji, perdagangan anak, pornografi, pemerkosaan, adopsi illegal, sampai kepada masalah klasik yang belum tertuntaskan yakni kekurangan gizi, angka partisipasi dan kelulusan sekolah yang rendah, ditambah dengan terabaikannya pendapat anak untuk memiliki lingkungan yang layak dan mendukung tumbuh kembang anak-anak secara optimal. Dalam kaitan itu, maka peran KPAI ke depan akan semakin signifikan sekaligus juga berat.

Potensi dan Permasalahan

Dari sisi norma, Indonesia telah memiliki ragam UU dan peraturan terkait penyelenggaran perlindungan anak. Dari sisi potensi, Indonesia memiliki pilar-pilar strategis untuk peningkatan kualitas perlindungan anak, mulai tumbuhnya ormas, kelembagaan, NGO, serta pegiat yang concern terhadap pelrindungan anak. kanak juga, pegiat perlindungan anak semakin meningkat. Namun demikian, pelanggaran hak anak masih kompleks dan menjadi masalah serius. Jika dipetakan, potret masalah perlindungan anak secara umum menyangkut dua hal. Pertama, belum optimalnya pemenuhan hak-hak anak di bidang kesehatan, pendidikan, pengasuhan, sosial, agama dan budaya, dan hak-hak sipil. Kedua, belum optimalnya perlindungan khusus untuk anak yang membutuhkan perlindungan khusus karena menjadi korban kekerasan, diskriminasi, eksploitasi, penelantaran dan perlakuan salah lainnya. Berbagai data sebagaimana dipaparkan di atas merupakan ilustrasi sekilas tentang permasalahan yang ada.

Permasalahan anak di Indonesia pada dasarnya merupakan hilir dari belum efektifnya sistem perlindungan anak yang ada. Dengan pendekatan berbasis sistem, hulu dari persoalan anak di Indonesia bisa diidentifikasi sebagai berikut :

Pertama, pada level kebijakan. Pada level ini norma perlindungan anak

(23)

23

tentang Perlindungan Anak, Konvensi Hak Anak masih belum maksimal implementasinya. Indikasinya adalah;

(1) Sebagian peraturan perundang-undangan dan kebijakan belum sepenuhnya berperspektif Perlindungan Anak. Hal ini berdampak sistemik bagi upaya penyelenggaraan perlindungan anak di berbagai sektor;

(2) Masih banyak peraturan yang merupakan turunan dari Undang-Undang belum diterbitkan, sehingga menghambat implementasi dan operasionalisasi bagi penyelenggara perlindungan anak di berbagai tingkatan;

(3) Untuk tingkat daerah, masih sedikit daerah tingkat I dan II yang memiliki Perda Perlindungan Anak yang menempatkan perlindungan anak sebagai landasan pengarusutamaan perlindungan anak dalam pembangunan daerah.

Kedua, pada level struktur dan aparatur. Persoalan pada level ini dapat

diidentifikasi sebagai berikut :

(1) Para penyelenggara negara di tingkat pusat dan daerah masih beragam tingkat pemahaman dan komitmennya terkait perlindungan anak. Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 dan Konvensi Hak Anak masih belum menjadi referensi wajib bagi seluruh kepala daerah, para legislator dan aparat penegak hukum di pusat dan daerah. Konsekuensinya, perlindungan anak belum menjadi program yang diprioritaskan, belum didukung oleh infrastuktur yang memadai, termasuk SDM, kelembagaan dan pembiayaannya, serta belum diselenggarakan secara efektif. Kerap kali, pengambil kebijakan atau aparat penegak hukum masih secara nyata mengambil kebijakan atau proses penegakan hukum yang melanggar hak anak, padahal semestinya pengambil kebijakan dan penegak hukum itu adalah pihak yang wajib memberikan perlindungan khusus kepada anak karena kedudukan strukturalnya;

(24)

24

(2) Belum terbentuknya kelembagaan perlindungan anak yang komprehensif dan menjangkau semua wilayah, serta

(3) Masih lemahnya mekanisme pengawasan dan pendataan. Hal ini ditunjukkan dengan masih rendahnya pencapaian pembangunan perlindungan anak yang, antara lain, disebabkan oleh masih lemahnya kualitas dan kapasitas kelembagaan. Hingga saat ini, belum ada mekanisme komprehensif yang berlaku dari pusat ke daerah, yang ditujukan untuk melindungi anak. Mekanisme yang ada masih bersifat sektoral dan belum memadai sehingga belum dapat menciptakan lingkungan yang aman bagi anak, dan belum memberikan wadah bagi setiap anggota masyarakat, termasuk anak-anak, untuk berpartisipasi dalam upaya pemenuhan hak anak. Di samping itu, sistem pengelolaan data dan informasi serta indeks komposit perlindungan anak yang terpilah, yang mutakhir dan mudah diakses, juga belum tersedia.

Ketiga, pada level kultur dan realitas di masyarakat. Beberapa masalah

mendasar pada level ini adalah;

(1) Banyak nilai-nilai yang hidup di masyarakat masih membenarkan dan melestarikan kekerasan dan diskriminasi terhadap anak, serta belum memberikan ruang bagi partisipasi anak. Sebagian perilaku diskriminatif kepada anak yang berkebutuhan khusus dan anak-anak minoritas dianggap hal wajar. Sebagian pendidik masih memandang kekerasan sebagai hal yang perlu dilakukan dalam rangka mendisiplinkan anak. Eksploitasi ekonomi dan seksual dianggap hal yang boleh dilakukan orang tua atas nama kewajiban anak untuk berbakti kepada orang tua; (2) Perilaku negatif dalam keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan pergaulan di masyarakat, secara langsung dan tidak langsung masih memberikan pengaruh terhadap anak untuk melakukan tindak kekerasan dan perbuatan tidak terpuji lainnya;

(3) Informasi tidak ramah anak masih mudah dan bebas diakses di mana-mana, sementara ketersediaan informasi yang ramah anak masih terbatas;

(25)

25

(4) Sebagian masyarakat permisif terhadap pelanggaran hak anak yang terjadi di sekelilingnya. Pendek kata, hak-hak anak yang belum sepenuhnya dipahami oleh semua orang dewasa, keluarga, dan masyarakat Indonesia telah mengakibatkan terlanggarnya hak-hak anak, minimnya perlindungan khusus untuk mereka dan terjadinya pembiaran atas pelanggaran hak anak.

Permasalahan pada ketiga level tersebut tidak berdiri sendiri melainkan terkait satu sama lain dan saling mempengaruhi. Oleh karena itu, tidak ada pilihan untuk mengefektifkan penyelenggaraan perlindungan anak selain menjadikan pendekatan sistem dalam perlindungan anak menjadi komitmen dan perhatian bersama, agar capaian penyelenggaraan perlindungan anak tepat, terukur dan berorientasi pada kepentingan terbaik anak.

Dalam konteks ini, KPAI sebagai lembaga negara independen yang memiliki mandat mengefektifkan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan anak, sebagai ikhtiar untuk mewujudkan Indonesia Ramah Anak. Hal ini meniscayakan bahwa dalam menjalankan tugas konstitusional tidak hanya menyelesaikan masalah faktual dan fenomenal tetapi mendorong perbaikan sistem penyelenggaraan perlindungan anak yang efektif.

Dalam kerangka menjalankan tugas tersebut, Sekretariat KPAI sebagai unit kerja yang secara fungsional membantu KPAI, maka tupoksi Sekretariat KPAI diarahkan untuk mendukung upaya membangun sistem perlindungan anak yang efektif, yang ditandai dengan;

(a) meningkatnya akses dan kualitas layanan pemenuhan hak dasar anak bagi semua anak dan perlindungan khusus bagi anak yang memerlukan;

(b) meningkatnya perlindungan khusus bagi anak korban kekerasan, diskriminasi, eksploitasi, penelantaran dan perilaku salah lainnya, anak berhadapan hukum, anak-anak yang menjadi korban bencana, korban

(26)

26

pornografi dan napza, dan anak-anak yang menjadi korban perlakuan salah lainnya; dan

(c) meningkatnya efektivitas kelembagaan perlindungan anak, baik di tingkat nasional maupun daerah.

Untuk menajamkan perencanaan strategis KPAI, perlu dilakukan pemetaan atas potensi yang dimiliki oleh KPAI, peluang dan kesempatan yang ada harus dimanfaatkan secara efektif dan efisien. Selain itu, perlu juga antisipasi atas setiap kendala dan hambatan yang dihadapi ataupun menyiasati kelemahan yang ada dalam rangka mencapai tujuan organisasi. Analisis lingkungan perlu dilakukan terhadap faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi keberhasilan organisasi KPAI secara keseluruhan.

Lingkungan Internal

Dalam proses penyusunan Rencana Strategis KPAI, perhatian terhadap kemungkinan perubahan faktor lingkungan organisasi, baik internal maupun eksternal merupakan hal yang penting. Wujud perhatian tersebut adalah dengan melakukan penilaian terhadap kondisi organisasi dan lingkungan sekitarnya yang dapat dilakukan antara lain dengan menerapkan analisis SWOT. Analisis lingkungan baik internal maupun eksternal organisasi merupakan hal yang penting dalam menentukan faktor-faktor penentu keberhasilan bagi suatu organisasi. Penelaahan atas kondisi internal dapat menghasilkan kekuatan dan kelemahan yang ada dalam organisasi, sedangkan analisis atas kondisi eksternal dapat diketahui peluang dan ancaman yang dihadapi organisasi. Analisis lingkungan sangat diperlukan untuk meningkatkan kapabilitas organisasi dalam menyikapi setiap perubahan dan perkembangan jaman.

1. Kekuatan

a. Komitmen Komisioner dan pimpinan yang kuat untuk meningkatkan kinerja organisasi.

(27)

27

b. Tersedianya sumber daya manusia yang kompeten di bidang pengawasan dan kapasitas kelembagaan yang memadai.

c. Kewenangan dari peraturan perundang-undangan sebagai lembaga pengawas perlindungan anak.

d. Mempunyai kewenangan melakukan mediasi terhadap sengketa pelanggaran hak anak.

e. Menjadi rujukan penyediaan data penyelenggaraan perlindungan anak.

f. Memiliki jaringan mitra dan informasi dalam penyelenggaraan perlindungan anak di seluruh Indonesia.

g. Memiliki pengalaman dalam bidang monitoring, evaluasi dan pengawasan dalam penyelenggaraan perlindungan anak.

h. Memiliki program Pengembangan Sistem dan Teknologi Informasi terkait Perlindungan Anak.

i. Layanan pengaduan masyarakat yang cepat, tepat dan mudah yang ramah terhadap anak dan berbasis teknologi informasi.

2. Kelemahan

a. Sekretariat masih eselon 2 sementara kebutuhan fasilitasi kelembagaan semakin meningkat.

b. Belum terwujudnya penguatan dan pembaharuan dasar hukum pembentukan Sekretariat KPAI.

c. Ketersediaan SDM terbatas, sementara dari sisi tugas semakin meningkat.

d. Masih terbatasnya porsi anggaran dalam mendukung pelaksanaan tugas dibanding dengan sasaran program yang akan dilaksanakan.

e. Sarana dan prasarana yang mendukung dalam pelaksanaan tugas masih terbatas.

(28)

28

Lingkungan Eksternal 1. Peluang

a. Meningkatnya kepercayaan dan kesadaran masyarakat untuk melaporkan kasus pelanggaran hak anak, sehingga eksistensi KPAI semakin kuat.

b. Meningkatnya stakeholder yang memanfaatkan tenaga mediator KPAI yang bersertifikasi dalam proses mediasi sengketa pelanggaran hak anak.

c. Meningkatnya kepercayaan publik dalam pemanfaatan data penyelenggaraan perlindungan anak.

2. Ancaman

a. Adanya persepsi sebagian masyarakat yang beranggapan bahwa layanan pengaduan terkait perlindungan anak dikenakan biaya, sehingga sebagian masyarakat masih ada yang belum melaporkan kasus pelanggaran hak anak.

b. Modus Kejahatan Perlindungan Anak Semakin Beragam dan jumlahnya semakin meningkat.

c. Terbatasnya pemahaman dan komitmen perlindungan anak dari pemangku kewajiban perlindungan anak, sehingga anak rentan menjadi korban sekaligus sebagai pelaku.

d. Aparatur / Pegawai KPAI rentan untuk dilibatkan dalam proses hukum.

Berdasarkan hasil analisis SWOT posisi KPAI berada pada posisi SO (strength-opportunity) yang berarti bahwa potensi/kekuatan KPAI lebih besar dibanding dengan kelemahannya, dan peluangnya lebih besar dibanding dengan ancamannya. Oleh karena itu, KPAI diharapkan mampu memberikan kontribusi nyata untuk memecahkan permasalahan perlindungan anak yang dihadapi pemerintah dalam hal pengembangan kapasitas pengawasan intern pemerintah yang professional dan kompeten dalam penyelenggaraan perlindungan anak Indonesia.

(29)

29

Faktor Kunci Keberhasilan

Dengan memperhatikan faktor-faktor tersebut, KPAI akan terus memacu diri melaksanakan tugas dan fungsinya untuk mendukung terwujudnya peningkatan efektifitas penyelenggaraan perlindungan anak di Indonesia khususnya untuk mendukung terwujudnya KPAI yang profesional, handal, dan akuntabel sebagaimana yang telah dirumuskan dalam visi KPAI sehingga rumusan hasil analisis strategi yang menjadi prioritas dalam rangka penentuan faktir kunci keberhasilan (FKK) adalah sebagai berikut :

a. Peningkatan efektivitas dan efisiensi kerja Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).

b. Peningkatan sistem perencanaan, program dan administrasi perkantoran yang efektif.

c. Peningkatan profesionalisme segenap jajaran dan pemangku kepentingan di lingkungan KPAI.

d. Peningkatan sarana dan prasarana yang mendukung pelaksanaan tugas KPAI.

Selanjutnya untuk memberi fokus kuat dan memperkuat rencana yang menjelaskan hubungan antara misi dan tujuan, ditentukanlah faktor Kunci Keberhasilan sebagai berikut:

1. Adanya konsistensi antara sistem perencanaan dan program yang efektif, pelaksanaan tugas yang optimal, dan sistem evaluasi, monitoring dan pengawasan yang tepat, sebagai suatu kesatuan sistem yang saling terkait.

2. Adanya pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia khususnya aparatur KPAI agar menjadi profesional.

3. Adanya dukungan sumber daya yang memadai dalam pelaksanaan kegiatan KPAI.

(30)

30

Visi

Rencana strategis Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Tahun 2015-2019 pada hakekatnya merupakan pernyataan komitmen bersama mengenai upaya terencana dan sistematis untuk meningkatkan kinerja organisasi, melalui sistem manajemen organisasi yang handal, sumber daya aparatur yang professional, budaya kerja yang baik, sarana dan prasarana kerja yang memadai dan pengelolaan anggaran yang akuntabel. Hal ini bertujuan untuk menciptakan efektivitas, efisiensi dan produktivitas pelaksanaan tugas pokok dan fungsi KPAI, sebagaimana dimandatkan dalam Keputusan Presiden Nomor 77 Tahun 2003 tentang Komisi Perlindungan Anak Indonesia, yang selanjutnya sudah diubah menjadi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 61 Tahun 2016 tentang Komisi Perlindungan Anak Indonesia.

Visi Komisi Perlindungan Anak Indonesia dirumuskan sebagai berikut:

"Terwujudnya Indonesia Ramah Anak".

Dengan visi terwujudnya Indonesia Ramah Anak, KPAI mempunyai komitmen yang tinggi, menjadi lembaga pengawas yang profesional dan terpercaya untuk memastikan setiap anak Indonesia mendapatkan haknya melalui sistem perlindungan yang berkelanjutan. Untuk mewujudkan hal tersebut, KPAI melakukan penguatan sistem pengawasan yang modern, profesional dan berbasis teknologi informasi. Dengan demikian visi, misi dan tujuan KPAI dapat terwujud secara optimal dalam pelaksanaannya.

Misi

Untuk mencapai visi tersebut, KPAI telah menetapkan misi sebagai berikut: 1. Membangun sistem pengawasan penyelenggaraan perlindungan anak

yang berkualitas dan profesional;

2. Mengoptimalkan kuantitas dan kualitas usulan untuk perumusan kebijakan yang berperspektif perlindungan anak;

(31)

31

3. Mewujudkan sistem data dan informasi perlindungan anak yang terintegrasi;

4. Meningkatkan kapasitas, aksesibilitas, dan kualitas layanan pengaduan masyarakat;

5. Mengoptimalkan layanan mediasi atas sengketa pelanggaran hak anak;

6. Membangun kerjasama dan kemitraan dengan pemangku kepentingan penyelenggaraan perlindungan anak;

7. Meningkatkan kualitas sistem pelaporan penyelenggaraan perlindungan anak.

Tujuan

Untuk mewujudkan visi dan misi KPAI, selanjutnya dirumuskan tujuan strategis KPAI. Tujuan strategis merupakan implementasi dari pernyataan visi dan misi yang akan dicapai dalam jangka waktu 5 (lima) tahun, serta menjadi dasar penyusunan indikator. Rumusan tujuan strategis KPAI adalah sebagai berikut: 1. Terbangunnya sistem pengawasan terhadap penyelenggaraan

perlindungan anak;

2. Optimalnya kuantitas dan kualitas usulan dalam perumusan kebijakan yang berperspektif perlindungan anak;

3. Terwujudnya sistem data dan informasi perlindungan anak yang terintegrasi;

4. Meningkatnya kapasitas, aksesibilitas, dan kualitas layanan pengaduan masyarakat;

5. Optimalnya layanan mediasi atas sengketa pelanggaran hak anak; 6. Terbangunnya kerjasama dan kemitraan dengan pemangku

kepentingan penyelenggaraan perlindungan anak;

7. Meningkatnya kualitas sistem pelaporan penyelenggaraan perlindungan anak.

(32)

32

Sasaran Strategis

Sasaran strategis dan indikator kinerja utama KPAI dalam mewujudkan visi dan misinya yakni terwujudnya Indonesia Ramah Anak, KPAI menetapkan sasaran strategis sebagai berikut, antara lain:

1. Sasaran dari tujuan terwujudnya mekanisme pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan anak adalah:

a) Terwujudnya pola dan strategi pengawasan perlindungan anak yang efektif dan efisien.

b) Terwujudnya jejaring kelembagaan pengawasan perlindungan anak yang terintegrasi.

2. Sasaran dari tujuan optimalnya kuantitas dan kualitas usulan dalam perumusan kebijakan yang berperspektif perlindungan anak, adalah: a) Terwujudnya kebijakan yang berperspektif perlindungan anak

yang mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak berdampak sistemik bagi efektifitas penyelenggaraan perlindungan anak.

b) Terwujudnya peningkatan kuantitas kebijakan yang berperspektif perlindungan anak.

3. Sasaran dari tujuan terwujudnya sistem data dan informasi perlindungan anak yang terintegrasi adalah:

a) Terwujudnya data dan informasi perlindungan anak yang menjadi rujukan utama para pemangku kepentingan penyelenggaraan perlindungan anak.

b) Terwujudnya pemanfaatan data secara optimal untuk referensi, analisis dan rekomendasi yang komprehensif dalam mendukung kebijakan dan implementasi perlindungan anak.

4. Sasaran dari tujuan meningkatnya kapasitas, aksesibilitas, dan kualitas layanan pengaduan masyarakat adalah:

(33)

33

a) Terwujudnya kapasitas layanan pengaduan masyarakat dengan meningkatkan sumber daya manusia, sarana dan prasarana serta sistem data layanan yang memadai.

b) Terwujudnya aksesibilitas layanan pengaduan masyarakat yang mudah, cepat, akurat dan responsif terhadap pengaduan masyarakat

c) Terwujudnya kualitas layanan pengaduan masyarakat yang profesional, ramah dan berpihak kepada kepentingan terbaik bagi anak.

5. Sasaran dari tujuan optimalnya layanan mediasi atas sengketa pelanggaran hak anak, adalah:

a) Terwujudnya sistem dan mekanisme mediasi atas sengketa pelanggaran hak anak yang efektif dan profesional.

b) Terwujudnya layanan mediasi atas sengketa pelanggaran hak anak yang mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak. 6. Sasaran dari tujuan terbangunnya kerjasama dan kemitraan dengan

pemangku kepentingan penyelenggaraan perlindungan anak adalah: a) Terwujudnya kemitraan yang mampu mendukung pelaksanaan

tugas pengawasan penyelenggaraan perlindungan anak;

b) Terwujudnya model-model kemitraan berbasis masyarakat dan korporasi yang mampu mendukung pelaksanaan tugas pengawasan penyelenggaraan perlindungan anak;

7. Sasaran dari tujuan optimalnya laporan publik terkait penyelenggaraan perlindungan anak, adalah:

a) Terwujudnya pelaksanaan laporan pengawasan perlindungan anak yang memiliki manfaat untuk peningkatan efektifitas pengawasan perlindungan anak.

b) Terwujudnya analisis dan rekomendasi yang komprehensif dalam mendukung kebijakan dan implementasi perlindungan anak.

(34)

34

Indikator Kinerja Utama

Terbangunnya sistem pengawasan penyelenggaraan perlindungan anak yang berkualitas dan profesional;

1. Meningkatnya kualitas perlindungan anak, melalui sistem pengawasan perlindungan anak yang efektif dan terukur melalui indeks perlindungan anak Indonesia;

2. Meningkatnya jumlah masukan dan usulan KPAI dalam proses perumusan produk hukum dan kebijakan yang berperspektif Perlindungan Anak;

3. Meningkatnya jumlah kementerian, lembaga dan stake holder yang memanfaatkan data dan informasi terkait dengan pengawasan penyelenggaraan perlindungan anak;

4. Meningkatnya efektivitas sistem dan prosedur layanan pengaduan masyarakat serta stake holder yang memanfaatkan layanan pengaduan masyarakat.

5. Meningkatnya efektivitas sistem mediasi atas sengketa pelanggaran hak anak oleh mediator tersertifikasi.

6. Meningkatnya kualitas kerjasama dan kemitraan KPAI dengan lembaga mitra yang berperspektif Perlindungan Anak di tingkat pusat dan daerah untuk mewujudkan sistem pengawasan perlindungan anak yang efektif. 7. Meningkatnya efektivitas sistem pelaporan pengawasan penyelenggaraan perlindungan anak serta jumlah kementerian, lembaga dan stakeholder yang memanfaatkan laporan hasil pengawasan penyelenggaraan perlindungan anak tersebut;

(35)

35

B.

PENETAPAN KINERJA TAHUN 2017

Dalam rangka mewujudkan perlindungan anak telah disusun Penetapan Kinerja Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) tahun 2017 yang merupakan rencana kinerja yang akan dicapai pada tahun 2017.

Rencana Kinerja yang telah ditetapkan untuk tahun 2017 merupakan tolok ukur keberhasilan unit kerja dan menjadi dasar penilaian dalam evaluasi akuntabilitas kinerja pada akhir tahun 2017.

C. PERJANJIAN KINERJA TAHUN 2017

PERJANJIAN KINERJA TAHUN 2017

Dalam rangka mewujudkan manajemen pemerintahan yang efektif, transparan dan akuntabel serta berorientasi pada hasil, kami yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Retno Adji Prasetiaju Jabatan : Kepala Sekretariat KPAI selanjutnya disebut sebagai pihak pertama

Nama : Yohana Yembise

Jabatan : Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak selaku atasan pihak pertama, selanjutnya disebut pihak kedua

Pihak pertama berjanji akan mewujudkan target kinerja yang seharusnya sesuai lampiran perjanjian ini, dalam rangka mencapai target kinerja jangka menengah seperti yang telah ditetapkan dalam dokumen perencanaan. Keberhasilan dan kegagalan pencapaian target kinerja tersebut menjadi tanggung jawab kami.

(36)

36

Pihak kedua akan melakukan supervisi yang diperlukan serta akan melakukan evaluasi terhadap capaian kinerja dari perjanjian ini dan mengambil tindakan yang diperlukan dalam rangka pemberian penghargaan dan sanksi.

Pihak Kedua,

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak,

Yohana Yembise

Jakarta, Juli 2017. Pihak Pertama, Kepala Sekretariat KPAI,

Retno Adji Prasetiaju

PERJANJIAN KINERJA TAHUN 2017

SEKRETARIAT KOMISI PERLINDUNGAN ANAK INDONESIA

NO SASARAN INDIKATOR KINERJA TARGET

(1) (2) (3) (4)

1. Terlaksananya Pengawasan Penanganan Terpadu Korban Kekerasan terhadap Anak (KtA);

Jumlah pengawasan

penanganan terpadu korban KtA

10 Provinsi

2. Terlaksananya Layanan pengaduan, penelaahan dan mediasi pengaduan yang ditindaklanjuti;

Persentase layanan penanganan pengaduan masyarakat

100 %

3. Tersusunnya Laporan Data dan Informasi dan Rekomendasi serta tindak lanjut terkait perlindungan

Jumlah Laporan Akuntabilitas dan kinerja organisasi KPAI

(37)

37

anak;

4. Tersusunnya Laporan Akuntabilitas dan kinerja organisasi KPAI;

Jumlah Laporan Akuntabilitas dan kinerja organisasi KPAI

1 laporan

5. Terlaksananya Layanan Perkantoran;

Bulan Layanan internal organisasi

12 bulan

KEGIATAN ANGGARAN

1. Pengawasan Pelaksanaan Perlindungan Anak (KPAI)

Rp. 15.000.000.000,-

Atasan Pimpinan Unit Kerja,

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

Yohana Yembise

Jakarta, Juli 2017. Pimpinan Unit Kerja, Kepala Sekretariat KPAI

(38)

38

BAGIAN KETIGA : AKUNTABILITAS KINERJA

PROGRAM PERLINDUNGAN ANAK

PENGAWASAN PELAKSANAAN PERLINDUNGAN ANAK (KPAI)

Program dan kegiatan KPAI di Tahun 2017 antara lain ;

Bidang Sosial dan Anak Dalam Situasi Darurat : Pengawasan penyelenggaraan pemeliharaan dan perawatan anak terlantar baik dalam maupun di luar Lembaga, Pengawasan pemenuhan hak anak dalam situasi darurat, Advokasi peningkatan perlindungan anak terlantar, Advokasi peningkatan perlindungan anak dalam situasi darurat, Penanganan kasus pelanggaran hak anak di bidang sosial dan anak dalam situasi darurat.

Bidang Keluarga dan Pengasuhan Alternatif : Pengawasan kebijakan keluarga dan pengasuhan alternative, Advokasi peningkatan perlindungan anak dalam keluarga dan pengasuhan alternative, Advokasi kebijakan mediasi yang berperspektif perlindungan anak, Penanganan kasus pelanggaran hak anak.

Bidang Agama dan Budaya : Pengawasan pemenuhan hak agama bagi anak, Advokasi peningkatan pemenuhan hak agama bagi anak, Advokasi perwujudan budaya ramah anak, Penanganan kasus pengaduan terkait pelanggaran pemenuhan hak agama bagi anak.

Bidang Hak Sipil dan Partisipasi Anak : Pengawasan Percepatan Capaian Pemenuhan Akte Kelahiran, Advokasi Pentingnya Kebijakan Pemenuhan Akte Kelahiran Tanpa Biaya, Advokasi Peningkatan Partisipasi Anak dalam pembangunan, Penanganan kasus pelanggaran atas pemenuhan hak sipil dan partisipasi anak.

Bidang Kesehatan dan NAPZA : Pengawasan pemenuhan hak anak atas kesehatan, Advokasi peningkatan pemenuhan hak anak atas kesehatan, Advokasi peningkatan

(39)

39

perlindungan anak dari NAPZA, Penanganan kasus pengaduan terkait pelanggaran pemenuhan hak anak atas kesehatan.

Bidang Pendidikan : Pengawasan pemenuhan hak anak atas Pendidikan, Pengawasan implementasi kebijakan sekolah ramah anak, Pengawasan terhadap sarana bermain untuk anak, Advokasi perlindungan anak di satuan Pendidikan, Advokasi perlindungan anak menjadi mata kuliah wajib bagi fakultas keguruan dan ilmu pendidikan/tarbiyah, Penanganan pengaduan pelanggaran hak anak atas Pendidikan.

Bidang Pornografi dan Cybercrime : Pengawasan perlindungan anak dari pornografi, Pengawasan perlindungan anak dari cybercrime, Advokasi perlindungan anak dari cybercrime dan pornografi, Penanganan kasus anak terkait cybercrime dan pornografi.

Bidang Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) : Pengawasan Terhadap Implementasi UU Sistem Peradilan Pidana Anak, Advokasi peningkatan perlindungan anak yang berhadapan dengan hukum, Advokasi percepatan penerbitan Peraturan Presiden dan Peraturan Pemerintah terkait dengan UU SPPA, Advokasi revisi KUHP yang berperspektif perlindungan anak, Penanganan kasus anak berhadapan dengan hukum.

Bidang Trafficking dan Eksploitasi : Pengawasan perlindungan anak dari trafiking, Pengawasan Terhadap Implementasi Gugus Tugas TPPO, Advokasi peningkatan perlindungan anak dari trafiking, Penanganan kasus anak korban trafiking.

(40)
(41)

41

Berikut ini diuraikan akuntabilitas kinerja yang berisi capaian kinerja KPAI selama tahun 2017 yang mengacu pada sasaran strategis yang telah ditetapkan. Program Pengawasan Pelaksanaan Perlindungan Anak (KPAI), didukung anggaran sebesar: Rp. 15.000.000.000,- (lima belas milyar rupiah), terealisasi 99,46% yaitu

sebesar Rp. 14.926.676.563,- (empat belas milyar sembilan ratus dua puluh enam juta enam ratus tujuh puluh enam ribu lima ratus enam puluh tiga rupiah).

(42)

42

Analisis Capaian Kinerja

Ditinjau dari capaian kinerja masing-masing sasaran yaitu tercapainya efektifitas penyelenggaraan perlindungan anak dan terselenggaranya kepemerintahan yang baik, untuk tahun 2017 KPAI telah dapat melaksanakan tugas utama yang menjadi tanggungjawab organisasi. Berikut akan diuraikan kinerja KPAI tahun 2017 dilihat dari sasaran program pengawasan penyelenggaraan perlindungan anak dan penerapan kepemerintahan yang baik. Adapun program kerja pada tahun 2017 yang telah dilaksanakan melalui kegiatan sebagai berikut :

1. Laporan Pengawasan Penanganan Terpadu Korban Kekerasan Terhadap Anak (KtA).

Anggaran untuk program kerja Laporan Pengawasan Penanganan Terpadu Korban Kekerasan Terhadap Anak (KtA) sebesar Rp. 6.300.000.000,- dan telah terealisasi Rp. 6.295.467.182,- atau 99,92 %. Adapun anggaran tersebut untuk menunjang pelaksanaan kegiatan sebagai berikut:

1) Pertemuan Penyusunan Instrumen Pengawasan Penanganan Terpadu Korban KtA;

2) FGD Penyempurnaan Instrumen Pengawasan Penanganan Terpadu Korban KtA;

3) Pertemuan Koordinasi Pengawasan Penanganan Terpadu Korban KtA di Provinsi.

4) Pertemuan Penelaahan Hasil Koordinasi Pengawasan Penanganan Terpadu Korban KtA;

5) Penyusunan Laporan Hasil Koordinasi Pengawasan Penanganan Terpadu Korban KtA;

6) Supervisi Pengawasan KPAD dan Lembaga Terkait Tentang Penanganan Terpadu Korban KtA;

7) FGD Hasil Supervisi Pengawasan KPAD dan Lembaga Terkait Tentang Penanganan Terpadu Korban KtA;

8) Penyusunan Laporan Hasil Supervisi Pengawasan KPAD dan Lembaga Terkait Tentang Penanganan Terpadu Korban KtA;

(43)

43

10) Pertemuan Koordinasi Penanganan Terpadu Korban KtA dengan Lembaga Terkait;

11) Penyusunan Instrumen Pengawasan Kekerasan Terhadap Anak di Lingkungan Pendidikan;

12) Seminar Instrumen Pengawasan Kekerasan Terhadap Anak di Lingkungan Pendidikan;

13) Pertemuan Koordinasi Pengawasan Kekerasan Terhadap Anak di Lingkungan Pendidikan;

14) FGD Hasil Koordinasi Pengawasan Kekerasan Terhadap Anak di Lingkungan Pendidikan;

15) Penyusunan Laporan Hasil Koordinasi Pengawasan Kekerasan Terhadap Anak di Lingkungan Pendidikan;

16) Pertemuan Pengumpulan Data Terkait Laporan Pengawasan Perlindungan Anak;

17) Pengolahan/Penyajian Data Terkait Laporan Pengawasan Perlindungan Anak;

18) Penyusunan Laporan Terkait Perlindungan Anak;

19) Penyusunan Laporan Informasi Perlindungan Anak Kepada Publik; 20) Pertemuan Tindaklanjut Monitoring dan Evaluasi UU SPPA;

21) Sinkronisasi Program Terkait Perlindungan Anak dengan Stakeholder Terkait;

22) Pertemuan Koordinasi Implementasi Penyelenggaraan Perlindungan Anak dengan Lembaga Terkait;

23) Layanan Internal Organisasi.

Dari pelaksanaan kegiatan tersebut mendapatkan kesimpulan dan rekomendasi sebagai berikut :

1) Pertemuan Penyusunan Instrumen Pengawasan Penanganan Terpadu Korban KtA, yakni :

1. Terjadinya kekerasan terhadap anak disebabkan beberapa faktor yang melatar belakanginya, umumnya disebabkan oleh faktor internal yang berasal dari anak sendiri maupun faktor eksternal

(44)

44

yang berasal dari kondisi keluarga dan masyarakat. Terjadinya kekerasan terhadap anak tentu saja menimbulkan efek bagi anak-anak yang mengalaminya atau kekerasan dapat menyebabkan anak kehilangan hal-hal yang paling mendasar dalam kehidupannya dan pada gilirannya berdampak sangat serius pada kehidupan anak di masa yang akan datang.

2. Undang-undang nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak belum sepenuhnya mampu memberikan perlindungan kepada anak-anak yang mengalami korban kekerasan atau perlakuan yang tidak sewajarnya dari orang-orang yang seharusnya menjadi contoh atau bahkan panutan dalam kehidupan sehari-harinya. Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak. Bagi setiap orang yang melanggar peraturan harus dikenakan sanksi atau hukuman sesuai dengan perbuatannya karena semua kepentingan haruslah semata-mata demi kebaikan anak.

3. Pandangan Hukum Islam mengenai kekerasan terhadap anak adalah tergantung dari kekerasan yang terjadi. Karena Islam juga “membolehkan” melakukan tindakan fisik tapi dengan tujuan disiplin bukan kekerasan. Kedisiplinan bisa diraih tanpa adanya kekerasan karena anak merupakan amanah Allah untuk diasuh, dididik dan dibimbing menjadi anak yang saleh dan salehah. Menelantarkan dan mensia-siakan anak juga sangat dilarang oleh agama Islam.

2) FGD Penyempurnaan Instrumen Pengawasan Penanganan Terpadu Korban KtA, yakni :

1. Penyempurnaan Instrumen Pengawasan Penanganan Terpadu Korban KtA menjadi acuan Pemerintah, Pemerintahan Daerah, Organisasi Masyarakat, Lembaga Layanan yang menangani anak korban kekerasan.

(45)

45

2. Penyempurnaan Instrumen Pengawasan Penanganan Terpadu Korban KtA disusun dan diterapkan dalam rangka penyelenggaraan urusan wajib Pemerintahan Provinsi dan Kabupaten/Kota yang berkaitan dengan perlindungan anak yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

3. Pemerintah, Pemerintahan Daerah, Organisasi Masyarakat, Lembaga Layanan yang menangani anak korban kekerasan dalam melaksanakan Pengawasan Penanganan Terpadu Korban KtA disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan, kemampuan kelembagaan, sarana, prasarana, dan petugas yang menangani anak korban kekerasan.

4. Pemerintah, Pemerintahan Daerah, Organisasi Masyarakat, Lembaga Layanan yang menangani anak korban kekerasan dalam melaksanakan Pengawasan Penanganan Terpadu Korban Kekerasan Terhadap Anak dapat melakukan pemberdayaan masyarakat, melalui:

a. penguatan kelembagaan masyarakat;

b. peningkatan pendidikan dan keterampilan petugas dalam penanganan korban kekerasan terhadap anak; dan

c. pengembangan jaringan kerjasama dan informasi masyarakat.

3) Pertemuan Koordinasi Pengawasan Penanganan Terpadu Korban KtA di Provinsi, yakni :

1. Peningkatan koordinasi kapasitas pemerintah daerah, stakeholder, dan orang tua dalam merencanakan, melaksanakan hingga memonitor dampak dari praktik mekanisme pengawasan penanganan terpadu korban kekerasan terhadap anak, bekerjasama dengan BAPERMAS di Tingkat provinsi .

2. Memfasilitasi dan berkoordinasi dalam peningkatan pemahaman dan pelaksanaan praktik mekanisme pengawasan penanganan terpadu korban kekerasan terhadap anak di tingkat provinsi.

Gambar

Gambar 1.  Struktur Organisasi KPAI, Tahun 2017.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

(BORNEO , VOLUME IX, Nomor 1, Juni 2015 ) 199 pada kertas, setiap kelompok diberi kesempatan membacakan hasil diskusinya, Guru memberikan pertanyaan kepada siswa dengan

(2) Subbidang Potensi Sumber Daya Kawasan Perbatasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf b, mempunyai tugas menyiapkan bahan perumusan kebijakan, dan

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga.. Tesis Deteksi DNA

Adapun beberapa karakteristik biometrik lainnya yang sudah sering dipakai maupun yang masih dalam tahap penyelidikan atau pengembangan lebih lanjut untuk proses identifikasi

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayahnya,serta memberikan kemudahan bagi penulis dalam menyelesaikan sekripsi sehingga tersusunlah

PERTAMA Tanggal 10 Agustus ditetapkan sebagai Hari Konservasi Alam

Hasil pengujian hipotesis menunjukkan bahwa status pembayaran dividen, kenaikan jumlah dividen, dan persistensi dividen berpengaruh positif dan signifikan terhadap