• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERLAKUAN AGEN ANTAGONIS DAN GUANO UNTUK PENGENDALIAN PENYAKIT DAN HAMA PENGGEREK BUAH TANAMAN TOMAT (Lycopersicum esculentum Mill) DI LAPANGAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERLAKUAN AGEN ANTAGONIS DAN GUANO UNTUK PENGENDALIAN PENYAKIT DAN HAMA PENGGEREK BUAH TANAMAN TOMAT (Lycopersicum esculentum Mill) DI LAPANGAN"

Copied!
71
0
0

Teks penuh

(1)

PERLAKUAN AGEN ANTAGONIS DAN GUANO UNTUK

PENGENDALIAN PENYAKIT DAN HAMA PENGGEREK

BUAH TANAMAN TOMAT (Lycopersicum esculentum Mill)

DI LAPANGAN

IZZATI SHABRINA

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)

ABSTRAK

IZZATI SHABRINA. Perlakuan agen antagonis dan guano untuk pengendalian penyakit dan hama penggerek buah tanaman tomat (Lycopersicum esculentum Mill) di lapangan. Dibimbing oleh SURYO WIYONO dan HERMANU TRIWIDODO.

Tujuan penelitian ini adalah menguji agen antagonis dan guano untuk mengendalikan penyakit dan hama penggerek buah tanaman tomat. Penelitian dilaksanakan di lahan pertanian Pondok Pesantren Ushuluddin Magelang dan identifikasi patogen dilaksanakan di Pondok Ushuluddin, Laboratorim Bakteri Tumbuhan Departemen Proteksi Tanaman IPB, dan Laboratorim Mikologi Tumbuhan Departemen Proteksi Tanaman IPB. Sumber agen antagonis dan guano yang digunakan didapat dari koleksi Klinik Tanaman Tanaman Departemen Proteksi Tanaman IPB. Perlakuan yang diberikan antara lain: (1) Perlakuan konvensional dengan aplikasi pestisida yaitu fungisida Dithane M-45 dengan konsentrasi 4 gram/liter dan insektisida Confidor dengan konsentrasi 0,25 ml/liter di lahan. (2) Perlakuan kombinasi PGPR (Plant Growth Promoting

Rhizobacteria) dengan guano, PGPR diaplikasikan sebanyak empat kali yakni:

perendaman benih, penyiraman pada saat persemaian, dan dua kali penyiraman di lahan dengan konsentrasi 10 cc/liter, serta untuk guano diaplikasi sebanyak tiga kali yaitu penyiraman pada persemaian dan dua kali penyemprotan di lahan dengan konsentrasi 10 cc/liter. (3) Perlakuan kombinasi PGPR dengan guano ditambah dengan cendawan Trichoderma polysporum, untuk aplikasi PGPR dan guano sama dengan perlakuan yang ke-2, sementara untuk T. polysporum diaplikasikan sebagai salah satu bahan media persemaian dengan perbandingan tanah + kompos: T. polysporum = 50:1 dan pada pupuk dasar di lahan dengan perbandingan pupuk kompos: T. polysporum = 50:1. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok untuk penelitian di lahan. Analisis statistik menggunakan Statistical Analysis System (SAS) program 9.1 for windows. Hasil penelitian menunjukkan bahwa PGPR pada persemaian memiliki potensi dalam mempercepat pertumbuhan bibit tomat. Kombinasi PGPR dengan guano mempercepat pembentukan bunga dan buah. Kombinasi PGPR dengan guano dan kombinasi PGPR dengan guano ditambah dengan T. polysporum memiliki potensi yang sama dengan perlakuan konvensional yang menggunakan pestisida kimia dalam mengendalikan penyakit bercak daun yang umumnya disebabkan oleh patogen Alternaria solani dan Fulvia fulva. Perlakuan agen antagonis dan guano tidak berpengaruh dalam menekan perkembangan hama penggerek buah.

(3)

PERLAKUAN AGEN ANTAGONIS DAN GUANO UNTUK

PENGENDALIAN PENYAKIT DAN HAMA PENGGEREK

BUAH TANAMAN TOMAT (Lycopersicum esculentum Mill)

DI LAPANGAN

IZZATI SHABRINA

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian

pada

Departemen Proteksi Tanaman

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(4)

Judul Skripsi : Perlakuan Agen Antagonis dan Guano untuk Pengendalian Penyakit dan Hama Penggerek Buah Tanaman Tomat (Lycopersicum Esculentum Mill) di Lapangan

Nama Mahasiswa : Izzati Shabrina

NRP : A34050606

Menyetujui,

Dosen Pembimbing 1 Dosen Pembimbing 2

Dr. Ir. Suryo Wiyono, MSc.Agr. Dr. Ir. Hermanu Triwidodo,MSc. NIP. 19690212 199203 1 003 NIP. 19570122 198103 1 002

Mengetahui,

Ketua Departemen Proteksi Tanaman

Dr. Ir. Dadang, MSc. NIP. 19640204 199002 1 002

(5)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 6 Januari 1987 merupakan anak ke-3 dari pasangan Muhammad Harsanto dan Azizar Aziz. Penulis menjalani pendidikan di Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 29 Jakarta dan lulus pada tahun 2005. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2005 melalui Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) dan diterima di Departemen Proteksi Tanaman pada tahun 2006. Selama menjadi mahasiswa penulis pernah menjadi anggota BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) TPB (Tingkat Persiapan Bersama) Divisi Politik dan Advokasi pada tahun 2005-2006. Selain itu, penulis juga pernah menjadi anggota Forum Komunikasi Rohis Departemen, Fakultas A (FKRD-A) Divisi Syiar pada tahun 2006-2007. Penulis juga pernah mengajarkan ilmu pertanian untuk para santri Pondok Pesantren Ushuluddin di Magelang pada tahun 2009.

(6)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat, inayah, serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi penelitian yang berjudul “Perlakuan Agen Antagonis dan Guano untuk Pengendalian Penyakit dan Hama Penggerek Buah Tanaman Tomat (Lycopersicum esculentum Mill) di Lapangan.”

Penelitian dilakukan di lahan pertanian Pondok Pesantren Ushuluddin Magelang dan di Laboratorium Departemen Proteksi Tanaman IPB. Penelitian dilaksanakan sejak Maret 2009 sampai Juli 2009.

Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada: Kedua orang tua dan keluarga yang selalu memberikan pengorbanan, bimbingan moril, dan kasih sayang sehingga skripsi ini dapat selesai; Dr. Ir. Swastiko Priyambodo, Msi. sebagai dosen pembimbing akademik yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan kepada penulis; Dr. Ir. Suryo Wiyono, MSc.Agr. sebagai pembimbing skripsi pertama yang telah memberikan pengarahan dan masukan kepada penulis; Dr. Ir. Hermanu Triwidodo MSc. sebagai pembimbing skripsi kedua yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan kepada penulis; Dr. Ir. R. Yayi Munara Kusumah, MSc. yang telah memberikan masukan kepada penulis; Bpk. Mansyur Chadik sebagai pimpinan Pondok Pesantren Usuluddin beserta keluarga yang telah memberi kesempatan dan sambutan yang baik kepada penulis untuk melakukan penelitian di pondok tersebut; Bpk. Kohar, Bpk. Mahin, dan Bu Susi sebagai pihak pengelola program LM3 di Pondok Ushuluddin yang telah memberikan informasi dan pengarahan kepada penulis; Para santri Pondok Ushuluddin yang telah membantu dalam proses penelitian; Para Dosen Departeman Proteksi Tanaman yang telah membimbing dan memberikan ilmunya kepada penulis; Teman-teman di Departemen Proteksi Tanaman angkatan 42 yang telah memberikan motivasi kepada penulis; Sahabat seperjuangan di Rohis SMAN 29 angkatan 2005 yang membagi rasa persaudaraannya untuk belajar bersama menjaga hidayah-Nya; Teman-teman Puri Salwa yang membantu dan memberikan motivasinya; Para pembina penulis beserta saudara-saudara yang berada di jalan dakwah islam di IPB, Bogor Tengah, Jakarta, Tangerang, Brebes, dan Magelang yang telah memberi nasihat, memanjatkan do‟a rabithoh, dan jalinan ukhuwahnya sehingga penulis tersadarkan bahwa kehidupan ini tidaklah pantas dilalui tanpa pengorbanan untuk membela agamaNya agar menjadi insan yang layak dicintai-Nya.

Akhirnya, semoga tulisan skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan orang lain, khususnya bermanfaat dalam pengendalian hama dan penyakit pada tanaman tomat.

Bogor, Maret 2010

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

PENDAHULUAN ... 1 Latar Belakang ... 1 Tujuan Penelitian ... 3 Hipotesis ... 3 Manfaat Penelitian ... 3 TINJAUAN PUSTAKA ... 4

Tomat (Lycopersicum esculentum ) ... 4

Klasifikasi dan Morfologi ... 4

Syarat Tumbuh Tomat ... 5

Sejarah Lahan Penelitian ... 6

Penyakit Tanaman Tomat ... 7

Bercak Kering (Alternaria solani) ... 7

Layu Bakteri (Ralstonia solanacearum) ... 7

Kapang Daun (Fulvia fulva) ... 8

Hama Penggerek Buah Tomat ... 9

Ulat Grayak (Spodoptera litura F.) ... 9

Ulat Jengkal (Plusia sp.) ... 10

Agen Antagonis ... 10

PGPR ... 10

Trichoderma sp. ... 11

Guano Kelelawar untuk Pengendalian Penyakit Tanaman .. 13

Lembaga Mandiri dan Mengakar di Masyarakat (LM3) ... 14

BAHAN DAN METODE ... 16

(8)

Bahan ... 16

Metode ... 16

Rancangan Percobaan ... 16

Perbanyakan Trichoderma polysporum ... 17

Budidaya Tomat ... 18

Pengamatan ... 18

Viabilitas Benih ... 18

Pertumbuhan Bibit ... 19

Pertumbuhan Tanaman ... 19

Penyakit Bercak Daun ... 20

Penyakit Layu ... 21

Hama Penggerek Buah ... 21

Analisis Data. ... 22

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 23

Pengaruh Aplikasi Agen Antagonis terhadap Viabilitas Benih... 23

Pengaruh Aplikasi Agen Antagonis terhadap Pertumbuhan Bibit. ... 24

Pengaruh Aplikasi Agen Antagonis + Guano terhadap PertumbuhanTanaman ... 28

Pengaruh Aplikasi Agen Antagonis + Guano terhadap Intensitas Penyakit Bercak Daun ... 31

Pengaruh Aplikasi Agen Antagonis + Guano terhadap Kejadian Layu ... 36

Pengaruh Aplikasi Agen Antagonis + Guano terhadap Serangan Hama Penggerek Buah ... 40

KESIMPULAN DAN SARAN ... 43

DAFTAR PUSTAKA ... 44

(9)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman 1. Skor serangan penyakit bercak daun ... 20 2. Pengaruh aplikasi agen antagonis terhadap potensi tumbuh maksimum

(PTM) benih tomat di persemaian Pondok Pesantren Ushuluddin, Kecamatan Salaman tahun 2009 ... 23 3. Pengaruh aplikasi agen antagonis terhadap daya berkecambah (DB)

benih tomat di persemaian Pondok Pesantren Ushuluddin, Kecamatan Salaman tahun 2009 ... 23 4. Pengaruh aplikasi agen antagonis terhadap panjang akar bibit tomat di

persemaian Pondok Pesantren Ushuluddin, Kecamatan Salaman tahun 2009 ... 24 5. Pengaruh aplikasi agen antagonis terhadap volume akar bibit tomat di

persemaian Pondok Pesantren Ushuluddin, Kecamatan Salaman tahun 2009 ... 26 6. Pengaruh aplikasi agen antagonis terhadap diameter akar bibit tomat di

persemaian Pondok Pesantren Ushuluddin, Kecamatan Salaman tahun 2009 ... 26 7. Pengaruh aplikasi agen antagonis terhadap tinggi bibit tomat di

persemaian Pondok Pesantren Ushuluddin, Kecamatan Salaman tahun 2009 ... 27 8. Pengaruh aplikasi agen antagonis + guano terhadap tinggi tanaman

tomat di lahan Pondok Pesantren Ushuluddin, Kecamatan Salaman tahun 2009 ... 29 9. Pengaruh aplikasi agen antagonis + guano terhadap jumlah tangkai

bunga tomat di lahan Pondok Pesantren Ushuluddin, Kecamatan Salaman tahun 2009 ... 29 10. Pengaruh aplikasi agen antagonis + guano terhadap jumlah buah tomat

di lahan Pondok Pesantren Ushuluddin , Kecamatan Salaman Tahun 2009 ... 30

(10)

11. Pengaruh aplikasi agen antagonis + guano terhadap intensitas penyakit bercak daun pada tanaman tomat di lahan Pondok Pesantren Ushuluddin, Kecamatan Salaman tahun 2009... 33

(11)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Skema petak lahan penelitian ... 16 2. Gejala serangan patogen Alternaria solani penyebab penyakit bercak

kering dan Fulvia fulva penyebab penyakit kapang daun. a. Gejala penyakit bercak kering di persemaian; b. Gejala penyakit bercak kering di pertanaman; c. Gejala penyakit kapang daun; dan d. Struktur mikroskopik Fulvia fulva ... 32 3. Pola intenisitas penyakit bercak daun pada tanaman tomat yang diberi

aplikasi PGPR, G (guano), dan T (T. polysporum) di lahan Pondok

Pesantren Ushuluddin, Kecamatan Salaman tahun 2009 ... 35 4. Ralstonia solanacearum pada tanaman tomat. a. Gejala penyakit layu

pada tanaman akibat serangan patogen; b. Massa patogen yang keluar dari batang tanaman; c. Hasil identifikasi patogen dengan menggunakan media TZC (Tetrazolium Chloride). ... 36 5. Pola kejadian layu pada tanaman tomat yang diberi aplikasi PGPR, G

(guano), dan T (T. polysporum) di lahan Pondok Pesantren Ushuluddin, Kecamatan Salaman tahun 2009 ... 37 6. Pola persentase kerusakan buah akibat serangan hama penggerek buah

pada tanaman tomat yang diberi aplikasi PGPR, G (guano), dan T (T.

polysporum) di lahan Pondok Pesantren Ushuluddin, Kecamatan

Salaman tahun 2009 ... 41 7. Ulat grayak yang sedang menggerek buah tomat di lahan Pondok

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman 1. Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian. a. PGPR; b. Guano; c.

Trichoderma polysporum; d. Benih tomat; e. Pupuk cair; dan f. Pupuk

M2C... 49

2. Meja inokulasi ... 50

3. Penyampuran Trichoderma polysporum dengan media persemaian ... 50

4. Lahan persemaian ... 50

5. Penanaman... 51

6. Lahan penelitian ... 51

7. Hama tanaman tomat. a. Larva Spodoptera litura; b. Larva Plusia sp.; c. Larva Epilachna sp.; d. Imago Epilachna sp.; dan e. Ulat ... 52

8. Penyakit tanaman tomat. a. Gejala penyakit layu bakteri; b. Gejala penyakit bercak kering; c. Gejala penyakit kapang daun; d. Gejala penyakit keriting; e. Gejala penyakit bercak pada buah; f. Struktur mikroskopik patogen bercak pada buah; dan g. Nematoda pada akar .... 53

9. Hasil analisis ragam tinggi tanaman pada umur 21 HST ... 55

10. Hasil analisis ragam tinggi tanaman pada umur 29 HST ... 55

11. Hasil analisis ragam jumlah tangkai bunga pada umur 4 MST ... 55

12. Hasil analisis ragam jumlah tangkai bunga pada umur 5 MST ... 55

13. Hasil analisis ragam jumlah tangkai bunga pada umur 6 MST ... 55

14. Hasil analisis ragam jumlah tangkai bunga pada umur 7 MST ... 56

15. Hasil analisis ragam jumlah buah pada umur 5 MST ... 56

16. Hasil analisis ragam jumlah buah pada umur 6 MST ... 56

17. Hasil analisis ragam jumlah buah pada umur 7 MST ... 56

18. Hasil analisis ragam jumlah buah pada umur 8 MST ... 56

19. Hasil analisis ragam intensitas penyakit bercak daun pada umur 2 MST 57

20. Hasil analisis ragam intensitas penyakit bercak daun pada umur 3 MST 57

21. Hasil analisis ragam intensitas penyakit bercak daun pada umur 4 MST 57

22. Hasil analisis ragam intensitas penyakit bercak daun pada umur 5 MST 57

(13)

24. Hasil analisis ragam intensitas penyakit bercak daun pada umur 7 MST 58 25. Hasil analisis ragam intensitas penyakit bercak daun pada umur 8 MST 58 26. Hasil analisis ragam AUDPC penyakit bercak daun ... 58

(14)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tomat adalah salah satu jenis sayuran buah yang sangat dikenal oleh masyarakat. Rasa buah tomat yang manis dan segar dapat memberikan kesegaran pada tubuh. Selain itu, rasanya yang khas dapat menambah cita rasa dan kelezatan berbagai macam masakan dan minuman (Cahyono 2009). Di Indonesia, tomat merupakan salah satu komoditas sayur unggulan. Namun, produktivitas tomat di Indonesia masih rendah, yaitu 6,3 ton/ha jika dibandingkan dengan negara-negara Taiwan, Saudi Arabia, dan India yang berturut-turut 21 ton/ha; 13,4 ton/ha; dan 9,5 ton/ha (Kartapradja dan Djuariah 1992 dalam Wijayani 2005). Sementara itu, berdasarkan data produksi tanaman sayuran di Indonesia periode 2003-2007, produksi tomat cenderung mengalami fluktuatif namun tidak menunjukkan peningkatan dari produksi tomat pada tahun 2005 dan 2003 (Ditjen Hortikultura Deptan 2008).

Rendahnya produksi tomat di Indonesia dapat disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya: varietas yang ditanam tidak cocok, kultur teknis yang kurang baik atau pengendalian hama dan penyakit yang kurang efisien (Wijayani 2005). Adanya serangan hama dan penyakit selain menyebabkan hasil produksi menjadi lebih rendah juga menyebabkan turunnya kualitas tomat sehingga perlu langkah yang tepat untuk mengendalikannya. Secara umum pengendalian hama dan penyakit tomat saat ini masih menggunakan pestisida kimia yang akan menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan. Oleh karena itu, pengendalian yang diharapkan bersifat ramah lingkungan. Pemerintah telah mencanangkan program ”Go organic 2010” dengan target produk pertanian organik. Perlu adanya sinergisme aktivitas dan pelaku usaha agar dapat mempercepat pencapaian tujuan dari “Go Organic 2010” yaitu „Indonesia sebagai salah satu produsen pangan organik utama dunia‟ (Sulaeman 2006), hal ini tentunya menuntut para pelaku sektor pertanian untuk bergerak dan mensosialisasikannya ke para petani. Program Go organic 2010 juga merupakan solusi dalam meningkatkan produksi tomat. Program tersebut memerlukan metode pengendalian hama dan penyakit tanaman yang menunjang terciptanya hasil produk pertanian organik, salah satu teknik pengendalian hama dan penyakit

(15)

yang ramah lingkungan yaitu dengan menggunakan agen antagonis sebagai agen pengendalian hayati yang berasal dari mikroorganisme.

Bakteri pemacu pertumbuhan tanaman telah dilakukan sejumlah percobaan yang juga berfungsi sebagai agen antagonis, bakteri tersebut memproduksi berbagai unsur yang dapat digunakan untuk membatasi kerusakan pada tanaman yang disebabkan oleh patogen tanaman (Glick et al. 1999). Selain bakteri, terdapat pula kelompok cendawan yang berperan sebagai agen antagonis seperti Trichoderma sp. Berdasarkan penelitian Anik (2001) menunjukkan bahwa antagonis yang paling potensial dibandingkan dengan P. flourescens dan Bacillus sp. terhadap P. solanacearum adalah Trichoderma harzianum. Selain itu, terdapat pula guano yang berasal dari kotoran kelelawar yang merupakan bahan alami yang potensial untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman dan kekebalan tanaman terhadap penyakit. Menurut Yanti (2008) bakteri asal guano pada masa pembibitan, rara-rata perlakuan guano meningkatkan kemampuan berkecambah dan mempunyai peran masing-masing dalam mempengaruhi pertumbuhan tanaman dan aktivitas dalam menekan perkembangan Phytophthora infestans.

Lembaga mandiri dan mengakar di masyarakat (LM3) berperan dalam pengembangan pertanian yang berbasis keagamaan. Pada tahun 2007 LM3 dilakukan dalam sub sektor hortikultura (Dimyati 2007). Salah satu pondok pesantren yang sedang melaksanakan pengembangan LM3 yaitu Pondok Pesantren Ushuluddin Magelang. Komoditas yang dibudidayakan antara lain: tomat, cabai, kacang panjang, dan tanaman yang lainnya. Dalam proses budidaya tomat, pihak pesantren pernah mengalami kendala seperti timbulnya gejala layu pada saat mulai berbuah, diduga disebabkan oleh cendawan Fusarium sp.

Hingga saat ini, pengaruh kombinasi agen antagonis yang telah dikembangkan belum banyak diteliti, maka perlu adanya penelitian untuk menguji kemampuan kombinasi agen antagonis di lapangan yang dilakukan di lahan Pondok Pesantren Ushuluddin. Sehingga, hasil dari penelitian tersebut diharapkan menjadi salah satu sumber informasi atau sebagai dasar pemikiran khususnya bagi para petani dalam menentukan aplikasi pengendalian suatu penyakit dan hama penggerek buah tanaman yang akan dibudidayakan secara tepat.

(16)

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan menguji agen antagonis dan guano untuk mengendalikan penyakit dan hama penggerek buah tanaman tomat.

Hipotesis

Adanya hasil perbedaan tingkat serangan penyakit dan hama penggerek buah tomat antara pengendalian penyakit dan hama penggerek buah yang menggunakan agen antagonis ditambah guano dan pengendalian penyakit dan hama penggerek buah secara konvensional di lapangan.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi tambahan informasi mengenai potensi dari pengendalian penyakit dan hama penggerek buah secara organik yaitu menggunakan kombinasi agen antagonis dan guano dibandingkan dengan pengendalian secara konvensional yang menggunakan pestisida kimia sintetik di lapangan.

(17)

TINJAUAN PUSTAKA

Tomat (Lycopersicum esculentum ) Klasifikasi dan Morfologi

Dalam klasifikasi tumbuhan, tanaman tomat termasuk kelas Dicotyledonneae (berkeping dua). Secara lengkap ahli-ahli botani menurut Tugiyono (1998) mengklasifikasikan tanaman tomat secara sistematik sebagai berikut :

Kelas (classis) : Dicotyledoneae (berkeping dua) Bangsa (ordo) : Tubiflorae

Suku (family) : Solanaceae (Berbunga seperti terompet)

Marga (genus) : Solanum (yang kini dipisahkan dengan nama Lycopersicum)

Jenis (spesies) : Lycopersicum esculentum Mill, yang dulu disebut Solanum lycopersicum L. (Tomat yang enak dimakan dan banyak dijual di pasar sebagai tomat komersial)

Organ-organ penting tomat meliputi bagian antara lain: (1) akar, tanaman tomat memiliki akar yang tumbuh menembus ke dalam tanah dan akar serabut yang tumbuh menyebar ke arah samping; (2) batang, batang tanaman tomat berbentuk persegi empat hingga bulat, berbatang lunak tetapi cukup kuat, berbulu atau berambut halus dan di antara bulu-bulu terdapat rambut kelenjar. Batang tanaman tomat berwarna hijau, pada ruas-ruas batang mengalami penebalan, dan pada ruas bagian bawah tumbuh akar-akar pendek. Selain itu, batang tanaman tomat dapat bercabang dan apabila dilakukan pemangkasan maka akan bercabang; (3) daun, daun tanaman tomat berbentuk oval, bagian tepinya bergerigi, dan membentuk celah-celah menyirip agak melengkung ke dalam. Daun berwarna hijau dan merupakan daun majemuk ganjil yang berjumlah 5 hingga 7. Di antara daun yang berukuran besar biasanya tumbuh 1 hingga 2 daun yang berukuran kecil. Daun majemuk pada tanaman tomat tumbuh berselang-seling mengelilingi batang tanaman; (4) bunga, bunga tanaman tomat berukuran kecil, berdiameter sekitar 2 cm dan berwarna kuning-cerah. Kelopak bunga yang

(18)

berwarna hijau terdapat pada bagian bawah atau pangkal bunga. Bagian lain dari bunga tomat adalah mahkota bunga. Mahkota bunga tomat berwarna kuning cerah. Bunga tomat merupakan bunga sempurna, karena benang sari atau tepung sari dan kepala benang sari terletak pada bunga yang sama; (5) buah tomat, buah tomat memiliki bentuk bervariasi, tergantung pada jenisnya. Ada buah tomat yang berbentuk bulat, agak bulat, agak lonjong, bulat telur, dan bulat persegi. Ukuran buah tomat juga bervariasi, yang berukuran paling kecil memiliki berat 8 gram dan yang berukuran besar memiliki berat sampai 180 gram. Buah tomat yang masih muda berwarna hijau-muda, bila sudah matang warnanya menjadi merah (Cahyono 2008).

Syarat Tumbuh Tomat

Tanaman tomat dapat tumbuh di berbagai ketinggian tempat, baik di dataran tinggi maupun di dataran rendah. Letak geografis tempat sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman karena memiliki kaitan langsung dengan keadaan iklim setempat, seperti suhu udara, curah hujan, kelembaban udara, curah hujan, kelembaban udara, dan penyinaran matahari (Cahyono 2008). Sifat kimia tanah juga berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman. Sifat kimia tanah yang sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman adalah derajat keasaman (pH) dan salinitas (kadar garam) dalam tanah. Tanaman tomat akan tumbuh baik bila ditanam pada tanah yang memiliki pH dari 5,5 sampai 6,8. Namun, tanaman masih toleran di bawah 5,5 hingga 5 (Cahyono 2008).

Suhu terbaik bagi pertumbuhan tomat adalah 23 oC pada siang hari dan 17

o

C pada malam hari. Suhu yang tinggi diikuti kelembaban relatif yang tinggi dapat menyebabkan penyakit daun berkembang, sedangkan kelembaban yang relatif rendah dapat mengganggu pembentukan buah (Tugiyono 1998).

Cahaya matahari sangat diperlukan dalam proses fisiologis tanaman untuk membentuk bagian vegetatif tanaman (batang, cabang, dan daun) dan bagian generatif (bunga, buah, dan biji). Intensitas matahari yang diperlukan oleh tanaman tergantung pada fase pertumbuhan tanaman. Pada fase perkecambahan, tanaman tomat memerlukan intensitas sinar matahari yang lemah. Oleh karena itu, pada fase perkecambahan tomat memerlukan naungan karena sinar matahari

(19)

langsung dapat membakar bibit yang sedang tumbuh. Pada stadia awal di kebun, yaitu setelah pindah tanam, tanaman tomat masih memerlukan sinar matahari yang lemah. Oleh karena itu, bibit tanaman tomat yang baru ditanam di kebun masih memerlukan naungan (Cahyono 2008).

Curah hujan yang sesuai dengan pertumbuhan tanaman tomat adalah dari 75 sampai 1250 mm per tahun. Keadaan ini berhubungan erat dengan ketersediaan air tanah bagi tanaman, terutama di daerah yang tidak memiliki saluran irigasi teknis (Cahyono 2008).

Sejarah Lahan Penelitian

Lahan yang digunakan sebagai lahan penelitian ini luasnya berkisar 1200 m2 dan berbentuk lahan miring (teras tering). Sebelumnya, teras paling atas dan tengah ditanami komoditas cabai. Kemudian teras paling bawah ditanami komoditas tomat. Jarak tanam yang digunakan untuk komoditas tersebut adalah 50 cm × 50 cm.

Pada saat pemupukan, pupuk dasar yang digunakan adalah pupuk kandang dari kotoran sapi, selain itu menggunakan pupuk cair dengan aplikasi tiga hari sekali.

Hama dan penyakit tanaman penting yang ditemukan pada komoditas cabai yaitu penyakit Antraknosa, hama lalat buah, dan jangkrik. Penyakit Antraknosa menyerang setelah satu bulan penanaman dan hampir seluruh tanaman cabai terserang penyakit tersebut. Jangkrik menyerang pada saat tanaman baru mulai ditanam sehingga harus melakukan tiga kali penyulaman. Sementara itu, pada komoditas tomat penyakit yang menyerang tanaman tersebut adalah layu Fusarium, penyakit layu ini menyerang pada waktu tanaman tomat mulai berbuah dan hampir terjadi pada seluruh tanaman tomat. Hama yang menyerang tanaman tomat adalah ulat penggerek buah.

Teknik pengendalian hama dan penyakit tanaman yang dilakukan dengan menggunakan pestisida nabati yang merupakan hasil ramuan dari bahan-bahan seperti: tembakau, gadung, jenu, dan daun trisdi. Pengendalian ulat dilakukan secara mekanis yaitu dengan mengambil ulat kemudian mematikannya. Lahan tersebut juga diberi perlakuan aplikasi PGPR. Aplikasi PGPR dilakukan dengan

(20)

cara disiram ke tanah, dalam waktu satu bulan dilakukan sebanyak lima kali penyiraman PGPR.

Penyakit Tanaman Tomat Bercak Kering (Alternaria solani)

Alternaria spp. memiliki miselium berwarna coklat dan pada jaringan

yang lama terserang memproduksi konidiospora pendek, sederhana, dan berbentuk batang. Konidia berukuran besar, panjang, dan berbentuk seperti buah pir. Konidia dilepaskan dengan mudah dan dibawa oleh angin (Agrios 2004).

Patogen menghasilkan material toksik di dalam daun yang menyebabkan berwarna kuning cerah yang luas dan daun menjadi rontok, walaupun hanya ada beberapa bercak nekrotik. Massa gelap konidia menghasilkan garis tepi pada spot yang mudah dikeluarkan oleh angin. Cendawan ini kadang-kadang menyerang buah, bercak yang luas sering timbul pada batang di persemaian dalam skala lapang (Yang 1979).

Penyakit ini dapat dikendalikan secara mekanis, yakni dengan memangkas bagian tanaman yang sakit atau mencabut tanaman yang terserang, kemudian dimusnahkan dengan cara dibakar. Pengendalian secara kimiawi dapat dilakukan dengan penyemprotan fungisida, misalnya Rovral 50 WP atau Ridomil 25 WP (pestisida berbahan aktif metaksil dan mankozeb, atau ipridion) (Cahyono 2008).

Layu Bakteri (Ralstonia solanacearum)

Patogen Ralstonia solanacearum dulunya terkenal dengan nama

Pseudomonas solanacearum. Semangun (2001) menyebutkan bakteri berbentuk

batang, berukuran 1,5 x 0,5 µm, tidak berspora, tidak berkapsula, bergerak dengan satu flagel (bulu cambuk) yang terdapat di ujung, aerob, dan gram negatif. Bakteri berkembang dengan baik pada suhu 30 hingga 50 oC dan pH 6,7. Di dalam biakan murni bakteri menghasilkan enzim pektinmetilesterase (PME), poligalakturonase (PG), dan selulase (Cx).

P. solanacearum menyerang lebih dari 200 kultivar tanaman dan gulma

(21)

luas saat tidak ada di tanaman inang. P. solanacearum masuk melalui akar yang terluka akibat pencangkokan, pengolahan tanah, serangga, nematoda, dan melalui luka alami di daerah akar sekunder muncul. Layu terjadi setelah 2 sampai 5 hari setelah infeksi, tergantung pada kepekaan inang, temperatur, dan virulen dari patogen. Infeksi dan perkembangan penyakit didukung oleh temperatur yang tinggi (optimum 30 hingga 35 oC) dan kelembaban yang tinggi. Saat layu pada inang, patogen menyerang sel parenkim dan kantung terisi dengan massa bakteri yang berkembang di sekitar berkas vaskular (Jones et al. 1997).

Gejala: tanaman yang diserang penyakit ini lebih cepat layu. Tanaman yang telah terinfeksi, daunnya masih hijau tetapi kemudian tiba-tiba layu, terutama pucuk daun yang masih muda, dan daun bagian bawah menguning. Tanaman yang terinfeksi menjadi kerdil, daun menggulung ke bawah, dan kadang-kadang terbentuk akar adventif sepanjang batang tomat. Tanaman yang terserang biasanya akan roboh dan mati (Pudjiatmoko 2008).

Pengendalian: (1) melakukan rotasi tanaman dan tidak boleh menanam jenis-jenis tanaman yang termasuk famili Solanaceae; (2) gulma di areal pertanaman dibersihkan; (3) menanam varietas tomat yang resisten; (4) tanaman disambung dengan batang bawah takokak; (5) tanaman disemprot dengan antibiotika; (6) tanaman yang sakit dicabut dan dibakar; (7) tanah yang telah dicangkul dibiarkan beberapa waktu agar cukup terkena sinar matahari (Pudjiatmoko 2008).

Kapang Daun (Fulvia fulva)

Organisme penyebabnya adalah Fulvia fulva, konidiospora dengan panjang sampai 200 µm melalui stomatal yang membuka, biasanya tidak bercabang, dan beberapa mengkerut pada dasar dan lebih luas pada ujung. Konidia pucat coklat kegelapan. Cendawan ini tergantung pada kelembaban dan temperatur yang relatif tinggi untuk perkembangan penyakit. Perkecambahan spora dapat terjadi di air bersih, tetapi tidak dapat terjadi jika kelembaban relatif lebih rendah daripada 85% sehingga kapang daun tidak timbul pada kelembaban yang relatif di bawah 85%. Perkembangan penyakit optimal antara 22 dan 24 oC,

(22)

tetapi bisa terjadi antara 4 dan 32 oC. Rata-rata penyakit terjadi di bawah 10 oC (Jones et al. 1997).

Cendawan F. fulva bertahan sebagai saprofit pada sisa tanaman sebagai konidia pada tanah. Konidia yang siap disebarkan dengan hujan dan angin dapat bertahan paling tidak selama satu tahun. Faktor lain yang berperan dalam penyebaran adalah alat-alat pertanian, pakaian petani, dan barangkali serangga (Jones et al. 1997).

Menurut Semangun (2002) gejala penyakit ini adalah pada sisi atas daun terdapat bercak berwarna kuning dengan batas yang kurang jelas. Pada sisi bawah daun tampak bahwa pada bercak ini terdapat satu lapisan beledu ungu kehijauan, yang terdiri dari konidiofor dan konidium cendawan. Bercak-bercak dapat bersatu menjadi becak yang besar. Daun yang sakit lebih cepat mengering. Pada tanaman tomat rumah kaca, penyakit dikendalikan dengan meningkatkan ventilasi dalam ruangan. Di Indonesia yang dapat dianjurkan hanyalah pemakaian fungisida yang juga ditunjukkan kepada penyakit-penyakit lain.

Hama Penggerek Buah Tomat Ulat Grayak (Spodoptera litura F.)

Hama ini bersifat kosmopolitan, daerah pencarannya luas di Asia Pasifik dan Australia. Serangga dewasa merupakan ngengat berwarna agak gelap dengan garis agak putih pada sayap depannya. Telurnya berwarna putih mutiara dan berbentuk bulat dengan diameter 0,5 mm. Telur diletakkan berkelompok. Satu kelompok telur terdapat sekitar 350 butir telur. Total produksi telur seekor ngengat betina sekitar 2000 sampai 3000 butir (Kalshoven 1981 dalam Setiawati 1997).

Stadium larva terdiri atas lima instar. Instar yang sangat berbahaya bagi tanaman adalah instar tiga dan empat. Pupa berwarna coklat gelap terbentuk pada permukaan tanah. Pupa menetas menjadi imago sekitar 7 hari. Daur hidup dari telur sampai dewasa lamanya berkisar 30 sampai 61 hari. Larva memakan daun dan buah tomat. Gejala serangan pada daun oleh larva instar satu dan dua, berupa bercak-bercak putih menerawang, karena epidermis daun bagian atas ditinggalkan. Serangan oleh larva dewasa menyebabkan daun berlubang-lubang.

(23)

Gejala serangan pada buah ditandai dengan timbulnya lubang tidak beraturan (Setiawati 1997).

Pengendalian hama ini dengan sanitasi kebun, penanaman serempak, pergiliran tanaman dengan tanaman non-sayuran, pengolahan tanah secara intensif, memunguti ulat dan memusnahkannya, serta penyemprotan dengan insektisida berbahan aktif profenofos dan deltametrin (Cahyono 2008).

Ulat Jengkal (Plusia sp.)

Hama ulat jengkal memakan daun tanaman tomat, baik daun muda maupun daun tua dan pucuk tanaman. Ulat jengkal memiliki ciri khas berjalan melompat dengan melengkungkan tubuhnya (Cahyono 2008).

Agen Antagonis PGPR

PGPR singkatan dari Plant Growth Promoting Rhizobacteria atau rhizobakteri pendukung pertumbuhan tanaman. Penggunaan PGPR di dalam pengendalian hayati telah lama dilakukan. Bakteri pengkoloni akar pertama kali dipilih karena kemampuannya mendukung pertumbuhan tanaman, dan selanjutnya karena peranannya dalam menghambat mikroflora akar lainnya atau patogen tanaman. Kelompok rhizobakteri ini, terutama adalah strain

Pseudomonas flourescens Migula dan Pseudomonas putida (Trevisan) (Soesanto

2008).

Pengaruh perlakuan PGPR pada awal pertumbuhan tanaman menyebabkan adanya pertumbuhan morfologi tanaman. Misalnya, kotiledon dan daerah daun dengan meningkatnya berat kering dan bagian tanaman lainnya. Pengaruh PGPR juga diperlihatkan dengan peningkatan pengambilan atau penyerapan mikronutrisi. Penghambatan pengkolonian akar oleh jamur patogen dapat disebabkan oleh adanya PGPR dalam populasi yang tinggi pada akar yang menghasilkan bahan antibiotik, memanfaatkan nutrisi, dan mengubah lingkungan kimia di sekitar akar (Soesanto 2008).

Saat ini, ada lebih dari beberapa 20 strain bakteri pemacu pertumbuhan yang telah tersedia secara komersial. Contohnya bakteri Bacillus subtilis yang

(24)

digunakan sebagai biokontrol terhadap patogen Rhizoctonia solani, Fusarium spp., Alternaria spp., dan Aspergillus spp. yang menyerang akar pada tanaman kapas. Kemudian terdapat Pseudomonas flourescens sebagai biokontrol terhadap

Erwinia amylovora pada tanaman kentang, strawberi, dan tomat (Glick et al.

1999).

Trichoderma sp.

Trichoderma adalah genus cendawan yang berada di semua jenis tanah.

Konidiofornya banyak yang bercabang dan sulit untuk diidentifikasi atau diukur. Cabang utama dari konidiofor memiliki sisi cabang yang lateral. Berikut klasifikasi dari Trichoderma sp.:

Kingdom : Fungi Divisi : Ascomycota Subdivisi : Pezizomycotina Kelas : Sordariomycetes Ordo : Hypocreales Famili : Hypocreaceae Genus : Trichoderma (http://en.wikipedia.org).

Trichoderma spp. memiliki keuntungan sebagai agen antagonis, menurut

Soesanto (2008) pembelitan hifa cendawan Trichoderma spp. terhadap hifa cendawan patogen tanaman dan menghasilkan antibiotika yang mudah menguap, merupakan interaksi hifa yang menarik perhatian dan penting dalam stadium awal proses mikoparasitisme.

Keuntungan yang lain adalah kisaran yang luas dari kondisi lingkungan yang toleran oleh beragam spesies Trichoderma dan isolasinya, hal tersebut memungkinkan untuk memilih isolat yang paling sesuai pada kondisi lingkungan yang sedang terdapat patogen tanaman yang dapat menyebabkan penyakit. Sebagai contoh, beberapa isolat dapat tumbuh pada temperatur rendah dan tinggi. Isolat juga berbeda dalam toleransi terhadap kimia yang berbeda dan banyak yang menunjukkan resisten yang luar biasa terhadap fungisida (Tronsmo 1989

(25)

Spesies cendawan Trichoderma dapat hidup sebagai saprotrof dan mikoparasit. Agensia ini telah lama dan banyak digunakan dalam pengendalian layu pada tanaman tomat, melon, jahe, krisan, kapas, dan lainnya. Penerapan antagonis ini umumnya sebagai pencegah atau pelindung tanaman dari serangan patogen dan diberikan sebagai perlakuan benih atau dicampur ke dalam tanah dalam bentuk biakan murni maupun yang telah diformula dalam dedak. Cendawan Trichoderma spp. mampu menurunkan intensitas penyakit layu antara 60% dan 83%. Mekanisme penghambatannya dapat dalam bentuk antibiosis, misalnya terhadap Verticillium albo-atrum Reinke & Berthier pada tomat; mikoparasit, misalnya pada Rhizoctonia dan Sclerotium rolfsii; dan persaingan yang umum pada kebanyakan patogen (Soesanto 2008).

Trichoderma polysporum adalah spesies yang penyebarannya luas. T. polysporum dapat tumbuh baik dengan amino-N, diikuti amonium, urea, dan

nitrat; sumber karbon yang baik meliputi: D-manosa, D-galaktosa, D-xylosa, cellobiosa, glycerol, dan D-monnitol Rifai (1962 dalam Domsch et al. 1980).

Kombinasi strain IMI 206040 dan 206039 dari T. harzianum dan T.

polysporum merupakan salah satu buatan biopestisida komersial yang paling

lama yang masih ada. Di Swedia dan Denmark sebagian besar digunakan untuk mengendalikan kapang kelabu (Botrytis cinera) pada strawberi, dengan menggunakan beberapa tambahan pada tanaman rumah kaca untuk pengendalian patogen tular-tanah (Whipps dan Lumsden 2001).

Di laboratorium, cendawan Trichoderma koningii mampu menghambat pertumbuhan jamur patogen Rigidoporus lignosus, penyebab penyakit akar putih pada tanaman karet. Pada penerapan di lapang, Trichoderma viridae berhasil menekan pertumbuhan beberapa jamur patogen, antara lain Pythium spp.,

Fusarium solani, Helminthosporium sp., Alternaria sp., Rhizoctonia solani

dengan pH tanah rendah, dan menekan Athelia rolfsii dan Armillaria mellea, tetapi tergantung pada kepadatan inokulum Trichoderma viridae (Whipps dan Lumsden 2001).

(26)

Guano Kelelawar untuk Pengendalian Penyakit Tanaman

Kotoran kelelawar yang dalam dunia pertanian disebut pupuk guano mengandung Nitrogen, Fosfor, dan Potasium sangat bagus untuk mendukung pertumbuhan, merangsang akar, dan kekuatan batang tanaman. Kotoran kelelawar yang sudah mengendap lama di dalam dasar gua akan bercampur dengan tanah dan bakteri pengurai. Pupuk seperti inilah yang saat ini sedang dicari sebagai pengganti pupuk dari bahan kimia (http://tumbuh.wordpress.com). Pupuk guano yang dihasilkan kelelawar penghuni gua sudah banyak dimanfaatkan oleh sebagian masyarakat. Guano merupakan bahan yang mengandung Posfat terbanyak. Posfat merupakan bahan penyusun pupuk pertanian. Indonesia kaya akan sumber penghasil Posfat (Wiyatna 2003).

Beck (1959 dalam Wiyatna 2003) menyatakan bahwa kandungan kasar bahan utama pupuk guano kelelawar adalah 10% Nitrogen, 3% Fosfor, dan 1% Potasium. Tingginya kandungan Nitrogen sangat mendukung pertumbuhan tanaman yang cepat, Posfor merangsang pertumbuhan akar dan pembungaan, serta Kalium mendukung kekuatan batang tanaman. Di samping tiga unsur utama tersebut, guano mengandung semua unsur atau mineral mikro yang dibutuhkan oleh tanaman. Tidak seperti pupuk kimia buatan, guano tidak mengandung zat pengisi. Guano tinggal lebih lama dalam jaringan tanah, meningkatkan produktivitas tanah dan menyediakan makanan bagi tanaman lebih lama daripada pupuk kimia buatan.

Kemampuan guano dalam menekan perkembangan patogen juga diperlihatkan pada uji potongan daun pada penelitian Sari (2007) yaitu perlakuan filtrat guano mampu menekan penyakit bercak coklat atau bercak kering (Alternaria solani) dengan keefektifan yang lebih tinggi dibandingkan dengan fungisida Dithane M-45 (mancozeb 80%). Penekanan tersebut disebabkan oleh bahan-bahan kimia dan mikroba yang terdapat di dalam guano kelelawar. Pada konsentrasi 0,675%; 1,25%; 2,5%; dan 5%, filtrat guano steril dan tidak steril tidak menimbulkan efek fitotoksisitas, bahkan mampu mempercepat perkecambahan dan meningkatkan pertumbuhan kecambah tomat. Penelitian Yanti (2008) memperlihatkan bahwa filtrat guano tidak steril 5% dan 2,5% serta filtrat guano steril 5% mempunyai aktivitas fungisidal terhadap P. infestans

(27)

dengan tingkat penghambatan masing-masing yaitu: 78,79%; 57,58%; dan 60,61%. Aktivitas penghambatan filtrat guano sebagian disebabkan oleh mikroba yang terkandung di dalamnya. Sedangkan bakteri asal guano yang berpotensi menekan penyakit hawar daun adalah bakteri G5, GE, dan GC dengan tingkat penghambatan masing-masing, yaitu 67,21%; 70,49%; dan 72,13%. Bakteri asal guano mempunyai peran masing-masing dalam mempengaruhi pertumbuhan tanaman dan aktivitas dalam menekan perkembangan P. infestans.

Lembaga Mandiri dan Mengakar di Masyarakat (LM3)

Dimyati (2007) mengatakan bahwa LM3 adalah lembaga yang tumbuh di tengah masyarakat dan telah berperan dalam pembinaan dan pengembangan sosial ekonomi masyarakat. Lembaga ini sebagian besar berada di daerah pedesaan yang mempunyai basis utama perekonomiannya adalah usaha di bidang pertanian, dengan demikian lembaga ini dinilai strategis dapat berperan dalam pembangunan pertanian.

Salah satu LM3 yang telah banyak berkembang dan penting di Indonesia adalah pondok pesantren. Pondok pesantren telah memainkan peranan penting dalam mengembangkan swadaya masyarakat dan mencerdaskan kehidupan bangsa baik melalui pendidikan formal maupun non-formal. Secara formal pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan islam tertua telah berperan dalam mencetak kader ulama dan mencerdaskan masyarakat. Dengan kedudukannya yang sebagian besar di pedesaan, tumbuh bersama, mengakar, dan mandiri di masyarakat pedesaan maka pondok pesantren memiliki potensi untuk berkembang atau dikembangkan sebagai salah satu pelaku pembangunan agribisnis di pedesaan (Dimyati 2007).

Salah satu sasaran program ini adalah meningkatnya produksi, produktivitas usaha, mutu, daya saing, nilai tambah, dan pendapatan LM3 serta masyarakat sekitarnya di bidang agribisnis hortikultura. Pembangunan hortikultura ditunjukkan untuk peningkatan produksi, produktivitas, dan mutu yang pada akhirnya mampu meningkatkan daya saing produksi hortikultura. Upaya mencapai tujuan tersebut pembangunan hortikultura dilakukan melalui pendekatan Manajemen Rantai Pasokan (SCM). Sistem Manajemen Rantai

(28)

Pasokan merupakan siklus lengkap produksi, mulai dari kegiatan pengelolaan di setiap mata rantai aktifitas produksi sampai siap untuk digunakan oleh pemakai. Salah satu hal penting dalam pendekatan SCM adalah menyediakan produk yang baik, yang dalam hal ini dilaksanakan melalui penerapan norma Budidaya yang Baik (Good Agriculture Practices = GAP) dan penerapan budidaya dengan tata cara operasional baku. Dengan mengikuti kaidah-kaidah budidaya komoditas yang telah dibakukan, diharapkan akan dihasilkan produk hortikultura yang baik dan berkualitas sesuai yang diharapkan konsumen (Dimyati 2007).

(29)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di lahan pertanian Pondok Pesantren Ushuluddin Magelang dan identifikasi patogen dilaksanakan di Pondok Pesantren Ushuluddin, Laboratorium Bakteri Tumbuhan Departemen Proteksi Tanaman IPB, Laboratorium Mikologi Tumbuhan Departemen Proteksi Tanaman IPB. Penelitian ini dilakukan sejak bulan Maret hingga Juli 2009.

Bahan

Bahan yang digunakan ialah benih tomat Or Nature 155 tomat Hibrida F1 varietas Marcopolo, agen antagonis (berupa PGPR dan Trichoderma

polysporum), guano, jagung, air, kapas, aluminium foil, fungisida Dithane M-45,

insektisida Confidor, pupuk kompos, pupuk urin, pupuk organik cair Flash

Liquid, pupuk M2C, dan polybag.

Metode Rancangan Percobaan

Percobaan disusun dalam Rancangan Acak Kelompok (RAK). Lahan pengamatan terdiri atas tiga blok, masing-masing blok terdapat tiga perlakuan, setiap perlakuan ditentukan enam tanaman contoh, dan setiap petak terdiri atas 62 sampai 348 batang tanaman. Skema petak lahan penelitian ditunjukkan oleh Gambar 1.

Gambar 1 Skema petak lahan penelitian

Blok 1 Blok 2 Blok 3 Konvensional Konvensional Konvensional PGPR + guano PGPR + guano PGPR + guano PGPR + guano + T. polysporum PGPR + guano + T. polysporum PGPR + guano + T. polysporum

(30)

Penelitian ini menggunakan tiga perlakuan antara lain: (1) perlakuan konvensional, perlakuan ini merupakan paket pengendalian penyakit dan hama penggerek buah secara konvensional. Teknis pengendalian penyakit dan hama penggerek buah di lahan menggunakan fungisida Dithane M-45 dengan konsentrasi 4 gram/liter dan insektisida Confidor dengan konsentrasi 0,25 ml/liter. Aplikasi penyemprotan pestisida tersebut dilakukan pada 1 sampai 4 MST (Minggu Setelah Tanam) dan 7 sampai 8 MST. Pupuk yang digunakan adalah pupuk kandang dan pupuk M2C; (2) perlakuan PGPR + guano, perlakuan ini merupakan paket pengendalian penyakit dan hama penggerek buah secara organik dengan konsentrasi masing-masing sebanyak 10 cc/liter. Aplikasi PGPR dilakukan saat perendaman benih selama 6 jam; penyiraman pada 14 HSS (Hari Setelah Semai); dan penyiraman pada 9 dan 20 HST (Hari Setelah Tanam). Aplikasi guano, selain dilakukan dengan penyiraman pada 15 HSS, juga dilakukan penyemprotan pada 9 dan 30 HST. Sementara itu, untuk pengendalian hama penggerek buah dilakukan secara mekanik yaitu memungut dan memusnahkannya dengan menggunakan tangan. Pupuk yang digunakan adalah pupuk kompos, pupuk urin, dan pupuk organik cair Flash Liquid; dan (3) perlakuan PGPR + guano + T. polysporum juga merupakan paket pengendalian penyakit dan hama penggerek buah secara organik seperti perlakuan PGPR + guano. Namun, yang membedakan pada perlakuan ini yaitu menggunakan tambahan agen antagonis yaitu cendawan T. polysporum. T. polysporum diaplikasikan sebagai salah satu bahan media persemaian dengan perbandingan tanah + kompos: T. polysporum = 50:1 dan pada pupuk dasar untuk pertanaman dengan perbandingan pupuk kompos: T. polysporum = 50:1.

Perbanyakan Trichoderma polysporum

Jagung pipilan yang telah dihancurkan direndam selama 12 jam, lalu disaring, dan diperas dengan kain hingga tidak ada air yang menetes. Jagung dimasukkan ke dalam botol kaca tahan panas dan ujung botol ditutup dengan kapas. Selanjutnya ditutup dengan kertas aluminium foil. Media yang sudah jadi siap disterilkan dengan autoklaf selama 20 menit, lalu T. polysporum dibiakkan

(31)

∑ benih yang berkecambah ∑ benih yang dikecambahkan

pada media tersebut. Setelah 1 hingga 2 minggu T. polysporum siap diaplikasikan.

Budidaya Tomat

Benih yang dibudidayakan adalah benih tomat Or Nature 155 tomat Hibrida F1 varietas Marcopolo. Benih disemai pada media semai dengan menggunakan polybag. Media semai terdiri atas tanah yang berasal dari perakaran bambu dan pupuk kompos dengan perbandingan tanah: pupuk kompos = 2:1. Penyiapan lahan antara lain menggemburkan tanah, merapikan bedengan, dan pemasangan mulsa plastik perak (mulsa yang digunakan adalah mulsa yang telah digunakan pada budidaya sebelumnya). Setelah itu, membuat lubang tanam dan memberi pupuk dasar yaitu pupuk kompos yang berbahan dasar kotoran sapi. Penanaman dilakukan pada saat sore hari. Bibit tomat ditanam pada lubang tanam, selanjutnya dilakukan pemberian ajir pada tanaman tomat agar tanaman tetap tegak dan batang tanaman tidak mudah patah. Ajir diletakkan dengan jarak berkisar 10 sampai 15 cm dari batang tanaman, hal tersebut dilakukan agar tidak mengenai dan merusak akar tanaman. Penyiraman dilakukan tergantung kondisi cuaca dan kelembaban tanah. Apabila tanah cuaca sedang hujan atau tanah masih basah maka tidak dilakukan penyiraman. Pemupukan susulan dilakukan saat tanaman berumur 3 MST. Pupuk yang digunakan antara lain pupuk urin, pupuk organik cair, dan pupuk M2C.

Pengamatan Viabilitas Benih

Pengamatan viabilitas benih dilakukan di lahan persemaian dengan menghitung jumlah benih yang berkecambah, berkecambah normal, dan seluruh benih yang dikecambahkan. Viabilitas potensial dapat ditentukan dengan menghitung potensi tingkat kecambah maksimum (PTM) pada umur 3 HSS, dengan rumus sebagai berikut:

(32)

∑ benih yang dikecambahkan ∑ benih yang berkecambah normal

Sementara itu, untuk mengetahui viabilitas potensial dapat ditentukan dengan menghitung daya berkecambah (DB) pada umur 4 HSS, dengan rumus sebagai berikut:

DB = × 100%

Pertumbuhan Bibit

Pengamatan pertumbuhan tanaman pada lahan persemaian dilakukan pada umur 12 HSS. Variabel yang diamati antara lain: panjang akar, volume akar, diameter batang, dan tinggi bibit. Pada pengamatan ini diambil 10 unit bibit sebagai bibit contoh dari masing-masing perlakuan.

Pertumbuhan Tanaman

Pengamatan pertumbuhan tanaman dilakukan pada fase vegetatif dan generatif. Pada fase vegetatif dilakukan pengukuran tinggi tanaman sebanyak dua kali yaitu pada umur 21 dan 29 HST. Pada fase generatif dilakukan penghitungan jumlah tangkai bunga dan buah yang dihasilkan setiap minggunya. Penghitungan jumlah tangkai bunga dilakukan sebanyak empat kali yaitu pada umur 4 sampai 7 MST. Sementara itu, penghitungan jumlah buah dilakukan sebanyak empat kali yaitu pada umur 5 sampai 8 MST. Semua pengamatan ini dilakukan pada enam tanaman contoh yang telah ditentukan.

(33)

NV ∑ (ni=0 ivi)

i Penyakit Bercak Daun

Pengamatan penyakit bercak daun dilakukan dengan mengamati enam tanaman contoh setiap minggunya yaitu pada umur 2 sampai 8 MST. Penghitungan intensitas penyakit bertujuan untuk menentukan tingkat keparahan serangan penyakit pada tanaman contoh, dengan rumus sebagai berikut (Sinaga 2006):

IP = × 100% Keterangan:

IP : Intensitas penyakit

ni : Jumlah tanaman dengan skor ke-i

vi : Nilai skor penyakit dari i = 0

N : Jumlah tanaman yang diamati V : Nilai skor serangan tertinggi Tabel 1 Skor serangan penyakit bercak daun

Nilai skor Ketegori serangan

0 Tidak ada serangan

1 Serangan sangat rendah (1< x ≤20% bagian tanaman terserang) 2 Serangan cukup rendah (21< x ≤40% bagian tanaman terserang) 3 Serangan sedang (41< x ≤60% bagian tanaman terserang) 4 Serangan parah (61< x ≤80% bagian tanaman terserang) 5 Serangan sangat parah (>80% bagian tanaman terserang)

Selain itu, ditentukan pula intensitas penyakit yang menimbulkan kerusakan berat atau kematian tanaman. Nilai intensitas ditentukan dengan menghitung area di bawah kurva perkembangan penyakit atau area under disease

(34)

∑ (yi+yi+1) i=0 Ni-1 ∑ N ∑ n 2

Rumus yang digunakan sebagai berikut (Madden et al. 2007 dalam Sparks et al. 2008):

Ak = × (ti+1-ti)

Keterangan:

Ak : Nilai AUDPC

yi : Intensitas penyakit pada pengamatan ke-i

t : Waktu pengamatan

Penyakit Layu

Pengamatan penyakit layu dilakukan langsung dengan menghitung jumlah tanaman yang bergejala layu. Kejadian penyakit layu ditentukan setiap minggunya yaitu pada umur 3 sampai 8 MST dengan rumus:

KP = × 100% Keterangan:

KP : Kejadian penyakit

n : Tanaman yang terserang penyakit N : Tanaman yang diamati

Hama Penggerek Buah

Pengamatan hama penggerek buah dilakukan dengan melihat secara langsung buah yang terdapat gejala gerekan akibat serangan hama penggerek buah, menghitung jumlah buah yang terserang dan seluruh jumlah buah yang dihasilkan tanaman. Pengamatan hama penggerek buah dilakukan setiap minggunya sebanyak tiga kali yaitu pada tanaman berumur 6 sampai 8 MST.

(35)

∑ N ∑ n

Luas serangan hama didapat dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

L = × 100% Keterangan:

L : Persentase buah yang terserang n : Buah yang terserang

N : Buah yang dihasilkan

Analisis Data

Rancangan percobaan di lahan yang digunakan ialah Rancangan Acak Kelompok (RAK). Analisis statistik menggunakan Statistical Analysis System (SAS) program 9.1 for windows. Apabila perlakuan berpengaruh nyata dilakukan uji selang berganda Duncan pada taraf nyata 5%.

(36)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh Aplikasi Agen Antagonis terhadap Viabilitas Benih

Proses perkecambahan dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal terdiri atas faktor genetik, tingkat kemasakan benih, dan umur benih. Sementara faktor eksternal terdiri atas air, suhu, cahaya, gas, dan medium perkecambahan (Widajati et al. 2008).

Tabel 2 Pengaruh aplikasi agen antagonis terhadap potensi tumbuh maksimum (PTM) benih tomat di persemaian Pondok Pesantren Ushuluddin, Kecamatan Salaman tahun 2009

Perlakuan PTM (%)

Konvensional 96

PGPR 92

PGPR + T. polysporum 89

Tabel 2 menunjukkan bahwa potensi tumbuh maksimum pada seluruh perlakuan menghasilkan nilai di atas 85%. Kondisi tanah atau media tanam dapat berpengaruh terhadap perkecambahan, hal ini disebabkan oleh faktor abiotik dan biotik. Faktor abiotik adalah keadaan fisik tanah dan sifat kimia tanah (kadar garam tinggi, nitrat, nitrit, dan lain-lain). Faktor biotik adalah ada atau tidaknya aktivitas mikroorganisme penghasil inhibitor perkecambahan (Widajati et al. 2008).

Tabel 3 Pengaruh aplikasi agen antagonis terhadap daya berkecambah (DB) benih tomat di persemaian Pondok Pesantren Ushuluddin, Kecamatan Salaman tahun 2009

Perlakuan DB (%) Konvensional 84

PGPR 70

PGPR + T. polysporum. 70

PGPR diketahui memiliki potensi dalam mendukung pertumbuhan tanaman, mekanismenya menurut Soesanto (2008) diperkirakan melalui

(37)

menguasai bintil akar dan pelarutan nutrisi. Namun, pada perlakuan konvensional memiliki PTM yang paling tinggi diantara kedua perlakuan lainnya yang mengandung mikroba penghuni tanah atau PGPR (Tabel 2). Begitu pula terjadi pada hasil DB yang diperoleh (Tabel 3). Hal ini terjadi karena pada perlakuan konvensional dilakukan seleksi benih sehingga bisa mengurangi jumlah benih yang gagal berkecambah, sedangkan pada kedua perlakuan lainnya tidak dilakukan seleksi benih.

Sementara itu, pada perlakuan PGPR + T. polysporum menghasilkan nilai PTM lebih kecil daripada perlakuan PGPR dan konvensional, hal ini disebabkan oleh suhu pada kondisi persemaian untuk perlakuan ini lebih rendah karena lebih lama terkena naungan pohon sehingga sinar matahari yang diperoleh lebih sedikit dibandingkan dengan kedua perlakuan lainnya. Menurut Widajati et al (2008) suhu dapat mempengaruhi perkecambahan melalui cara menentukan kapasitas dan kecepatan perkecambahan (okra suhu 45 oC, 10 hari langsung sesudah tanamam dapat meningkatkan pertumbuhan kecambah). Kemudian menurut Goldsworthy dan Fisher (1996) dua persyaratan umum ekologi perkecambahan biji adalah suhu yang sesuai dan lengas yang cukup. Suhu juga mempengaruhi waktu yang diperlukan untuk berkecambah dan kondisi hangat menyokong perkecambahan lebih cepat.

Pengaruh Aplikasi Agen Antagonis terhadap Pertumbuhan Bibit

Variabel pertumbuhan bibit yang diamati meliputi: panjang akar, volume akar, diameter batang, dan tinggi.

Tabel 4 Pengaruh aplikasi agen antagonis terhadap panjang akar bibit tomat di persemaian Pondok Pesantren Ushuluddin, Kecamatan Salaman tahun 2009

Perlakuan Panjang akar bibit (cm)

Konvensional 10,79 ± 3,44 (n=10)

PGPR 11,58 ± 2,74 (n=10)

(38)

Tabel 4 menunjukkan bahwa perlakuan dengan PGPR menghasilkan panjang akar yang paling tinggi, diikuti dengan perlakuan konvensional, namun tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Hal tersebut disebabkan oleh adanya IAA (indoleasetic acid) yang dihasilkan PGPR. Menurut Xie et al (1996

dalam Glick et al. 1999) efek pada morfologi akar terlihat dari aplikasi

konsentrasi yang bervariasi dari exogenous IAA juga terlihat dari inokulasi pada tanaman dengan bakteri pemacu pertumbuhan yang memproduksi IAA dengan level yang berbeda.

PGPR yang digunakan pada penelitian ini mengandung bakteri

Pseudomonas flourescens dan Bacillus polymixa. Menurut Beleyer et al. (1997 dalam Glick et al. 1999) mutan P. flourescens CHAO yang ditambahkan pada

tanah steril dari gandum dan mentimun yang menimbulkan efek kerusakan pertumbuhan akar primer yang ditunjukkan dari banyak strain yang mensintesis IAA dengan tingkat tinggi. Sementara itu, menurut Soesanto (2008) mekanisme PGPR dalam hal mendukung pertumbuhan tanaman belum sepenuhnya dimengerti, tetapi salah satunya diperkirakan melalui mekanisme pengaturan produksi etilen pada perakaran. Pada penelitian ini diketahui bahwa PGPR dalam mendukung pertumbuhan tanaman sedikit terlihat.

Pada beberapa kasus etilen bertindak dalam penghambatan pemanjangan sel. Sebelumnya diketahui bahwa pengaruh penghambatan disebabkan oleh auksin, namun saat ini pengaruh penghambatan dikarenakan adanya sintesis etilen yang diinduksi oleh konsentrasi auksin yang tinggi. Sebagai contoh, diperkirakan etilen yang menghambat pemanjangan akar dan perkembangan tunas aksilar dalam kondisi auksin yang berlebihan (Campbell et al. 2003). Pernyataan tersebut, mendukung bahwa hasil panjang akar pada perlakuan yang menggunakan PGPR tidak berbeda jauh dengan perlakuan konvensional diduga karena adanya produksi IAA yang berlebihan oleh mikroorganisme pada PGPR.

(39)

Tabel 5 Pengaruh aplikasi agen antagonis terhadap volume akar bibit tomat di persemaian Pondok Pesantren Ushuluddin, Kecamatan Salaman tahun 2009

Perlakuan Volume akar bibit (ml)

Konvensional 0,8 (n=10)

PGPR 1,6 (n=10)

PGPR + T. polysporum 0,4 (n=10)

Berdasarkan hasil pengamatan, volume akar bibit terlihat bahwa adanya perbedaan volume akar dari masing-masing perlakuan. Perlakuan PGPR memperlihatkan hasil yang paling tinggi. Perlakuan PGPR + T. polysporum tinggi tanaman memiliki volume akar paling kecil dibandingkan dengan kedua perlakuan lainnya. Berdasarkan (Tabel 4) diketahui bahwa akar bibit yang paling panjang diantara kedua perlakuan lainnya adalah perlakuan dengan PGPR, hal tersebut dapat mempengaruhi besarnya volume akar. Soesanto (2008) menjelaskan bahwa suatu penerapan PGPR pada rizosfer sangat dikaitkan dengan kemampuannya mengkoloni perakaran tanaman. PGPR harus mampu menyelubungi sepanjang permukaan akar. Adanya keaktifan pengkolonian akar tersebut, akar menyerap produk mikroba yang secara langsung mempengaruhi pertumbuhan dan fisiologi akar.

Tabel 6 Pengaruh aplikasi agen antagonis terhadap diameter akar bibit tomat di persemaian Pondok Pesantren Ushuluddin, Kecamatan Salaman tahun 2009

Perlakuan Diameter batang bibit (mm)

Konvensional 2,05 ± 0,37 (n=10)

PGPR 2,40 ± 0,32 (n=10)

PGPR + T. polysporum 1,98 ± 0,08 (n=10)

Perlakuan PGPR memperlihatkan hasil yang paling tinggi dalam ukuran diameter batang (Tabel 6). Adanya penyerapan nutrisi yang baik oleh tanaman yang dibantu dengan peran PGPR akan berdampak pada morfologi tanaman yang ditunjukkan pada ukuran diameter batang yang lebih tinggi dibandingkan dengan

(40)

perlakuan konvensional. Campbell et al. (2003) menjelaskan bahwa selain merangsang pemanjangan sel untuk pertumbuhan primer, auksin juga mempengaruhi pertumbuhan sekunder dengan cara menginduksi pembelahan sel pada pada kambium pembuluh dan mempengaruhi diferensiasi xylem sekunder. Tabel 7 Pengaruh aplikasi agen antagonis terhadap tinggi bibit tomat di

persemaian Pondok Pesantren Ushuluddin, Kecamatan Salaman tahun 2009

Perlakuan Tinggi bibit (cm)

Konvensional 7,45 ± 0,80 (n=10)

PGPR 7,65 ± 0,79 (n=10)

PGPR + T. polysporum 6,65 ± 0,57 (n=10)

Menurut Campbell et al. (2003) meristem apikal suatu tunas merupakan tempat utama sintesis auksin yang fungsi terpentingnya adalah merangsang pemanjangan sel pada tunas muda yang sedang berkembang. Namun dengan perlakuan PGPR + T. polysporum, tinggi bibit memiliki nilai paling kecil dibandingkan dengan kedua perlakuan lainnya.

Berdasarkan hasil secara keseluruhan pada pengamatan pertumbuhan bibit menunjukkan bahwa perlakuan dengan PGPR memiliki peranan yang cukup berpengaruh dalam mendukung pertumbuhan bibit. Hal ini terbukti karena menurut Soesanto (2008) PGPR pada awal pertumbuhan tanaman menyebabkan adanya pertumbuhan morfologi tanaman. Sementara itu, dengan perlakuan PGPR + T. polysporum, pertumbuhan bibit paling kecil dibandingkan dengan kedua perlakuan lainnya.

Kandungan pupuk organik yang dapat langsung diserap oleh akar tanaman prosesnya lebih lambat dibandingkan dengan pupuk kimia sintetik karena pada pupuk organik membutuhkan proses penguraian terlebih dahulu. Oleh karena itu, perlu mikroorganisme pengurai dan pelapuk bahan organik yang membantu dalam mempercepat proses penguraian pupuk tersebut di dalam tanah, contohnya mikroorganisme pengurai seperti PGPR yang mampu membuat nutrisi

(41)

yang siap diserap oleh tanaman dari bahan organik dan Trichoderma sp. yang membantu proses pelapukan bahan organik.

Hasil pengamatan pertumbuhan tanaman yang menggunakan kombinasi kedua mikroorganisme pengurai tersebut menunjukkan hasil yang tidak semestinya jika dibandingkan dengan perlakuan konvensional yang tidak menggunakan pupuk kimia saat persemaian. Hal ini diduga disebabkan oleh adanya persaingan antara PGPR dan T. polysporum tersebut dalam menguasai ruang gerak dan perolehan nutrisi di media persemaian yang terbatas karena menggunakan plastik polybag sehingga peran PGPR dan T. polysporum kurang optimal dalam membantu pertumbuhan bibit atau kedua agen tersebut diduga tidak bersifat kompatibel. Menurut Gunawan et al. (2006) populasi cendawan tanah ± 100 kali kurang dari populasi bakteri tanah, namun cendawan biasanya mempunyai biomassa yang lebih besar dan kebanyakan cendawan sering kali kepadatannya bertambah di sekitar akar.

Pengaruh Aplikasi Agen Antagonis + Guano terhadap Pertumbuhan Tanaman

Berdasarkan hasil yang diperoleh dapat diketahui bahwa pada tinggi tanaman umur 21 HST pada perlakuan konvensional tidak berbeda nyata dengan perlakuan PGPR + guano. Namun, keduanya berbeda nyata dengan perlakuan PGPR + guano + T. polysporum. Meskipun pada pengamatan pada umur 29 HST semua perlakuan tidak menunjukkan perbedaan nyata antara masing-masing perlakuan (Tabel 8).

(42)

Tabel 8 Pengaruh aplikasi agen antagonis + guano terhadap tinggi tanaman tomat di lahan Pondok Pesantren Ushuluddin, Kecamatan Salaman tahun 2009

Perlakuan

Tinggi tanaman (cm)1

21 HST 29 HST

Konvensional 48,41a 57,89a

PGPR + guano 49,89a 61,24a

PGPR + guano + T. polysporum 37,35b 45,61a

Keterangan:1 Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji Duncan α = 0,05

HST= Hari Setelah Tanam

Tabel 8 menunjukkan tinggi tanaman pada perlakuan PGPR + guano tidak berbeda nyata dengan perlakuan konvensional. Hasil pengamatan ini tidak sesuai dengan hasil penelitian Rahadi (2008) yang menyatakan bahwa interaksi antara pupuk kandang sapi dan guano berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman dan batang polong kedelai/10 m2. Selain pernyataan tersebut, telah diketahui bahwa PGPR mampu menghasilkan IAA atau auksin yang membantu pertumbuhan tanaman.

Tabel 9 Pengaruh aplikasi agen antagonis + guano terhadap jumlah tangkai bunga tomat di lahan Pondok Pesantren Ushuluddin, Kecamatan Salaman tahun 2009

Perlakuan Jumlah tangkai bunga

1

4 MST 5 MST 6 MST 7 MST

Konvensional 1,44a 4,33a 8,67a 11,44a

PGPR + guano 2,83a 4,56a 9,61a 11,61a

PGPR + guano + T. polysporum 1,33a 4,28a 7,89a 11,72a

Keterangan:1 Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji Duncan α = 0,05

MST = Minggu Setelah Tanam

Berdasarkan uji Duncan 5% dari perlakuan satu dengan yang lainnya pada (Tabel 9) tidak berbeda nyata dalam menghasilkan jumlah tangkai bunga. Pada penelitian ini, perlakuan konvensional menggunakan pupuk M2C dan

(43)

pupuk kompos, sementara kedua perlakuan lainnya menggunakan pupuk organik (dalam bentuk PGPR, guano, pupuk urin, dan pupuk organik cair) dan T.

polysporum yang hanya digunakan untuk perlakuan yang ketiga. Pada awal

pengamatan menunjukkan bahwa adanya peran PGPR dan guano dalam mempercepat dalam merangsang pembentukan bunga. Beck (1959 dalam Wiyatna 2003) menyatakan bahwa kandungan kasar bahan utama pupuk guano kelelawar adalah 10% Nitrogen, 3% Fosfor, dan 1% Potasium. Tingginya kandungan Nitrogen sangat mendukung pertumbuhan tanaman yang cepat, Posfor merangsang pertumbuhan akar dan pembungaan, serta Kalium mendukung kekuatan batang tanaman.

Tabel 10 Pengaruh aplikasi agen antagonis + guano terhadap jumlah buah tomat di lahan Pondok Pesantren Ushuluddin, Kecamatan Salaman tahun 2009

Perlakuan Jumlah buah

1

5 MST 6 MST 7 MST 8 MST

Konvensional 0,78a 5,28a 13,56a 17,22a

PGPR + guano 1,68a 6,94a 9,83a 13,5a

PGPR + guano + T. polysporum 0,28a 7,99a 11,89a 12,56a

Keterangan:1 Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji Duncan α = 0,05

MST = Minggu Setelah Tanam

Pada beberapa tumbuhan, auksin dan gibrelin harus ada supaya dapat berbuah (Campbell et al. 2000). Oleh karena itu, adanya PGPR yang menghasilkan IAA dapat membantu mempercepat pembentukan buah, hal tersebut terlihat pada awal pengamatan jumlah buah terbanyak dihasilkan oleh tanaman saat 5 MST adalah pada perlakuan PGPR + guano. Namun, berdasarkan uji Duncan 5% antara masing-masing perlakuan memperlihatkan hasil yang tidak berbeda nyata dalam menghasilkan jumlah buah. Hal ini menunjukkan bahwa adanya kesetaraan potensi dalam menghasilkan buah antara perlakuan yang sifatnya organik (menggunakan PGPR, guano, T. polysporum, dan pupuk organik) dan perlakuan konvensional.

(44)

Pengaruh Aplikasi Agen Antagonis + Guano terhadap Intensitas Penyakit Bercak Daun

Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, patogen yang menimbulkan gejala bercak daun pada tanaman tomat umumnya disebabkan oleh dua patogen utama yaitu Alternaria solani yang menjadi penyebab bercak kering dan Fulvia

fulva yang menjadi penyebab penyakit kapang daun. Pada saat persemaian sudah

muncul gejala bercak kering dengan ciri adanya bercak yang berwarna coklat dan di sekeliling bercak berwana kuning atau sering disebut dengan halo. Apabila serangan sangat berat maka buah yang dihasilkan tidak maksimal dan umur tanaman tidak akan lama. Gejala kapang daun muncul pada saat di pertanaman, gejala awalnya adalah warna daun berubah menjadi kekuning-kuningan yang tidak jelas batasnya dan gejala selanjutnya berwarna agak kecoklatan. Selain itu, terdapat beledu berwarna keungu-unguan pada sisi bawah permukaan daun. Pada saat awal pengamatan di lapang gejala kapang daun sudah ditemukan.

Gambar

Gambar 2  Gejala serangan patogen Alternaria solani penyebab penyakit  bercak  kering  dan  Fulvia  fulva  penyebab  penyakit  kapang  daun
Gambar 3  Pola intensitas penyakit bercak daun pada tanaman tomat  yang diberi  aplikasi  PGPR,  G  (guano),  dan  T  (T
Gambar 4  Ralstonia solanacearum pada tanaman tomat. a. Gejala penyakit layu  pada tanaman akibat serangan patogen; b
Gambar 5  Pola kejadian penyakit layu pada tanaman tomat yang diberi aplikasi  PGPR, G (guano), dan T (T
+2

Referensi

Dokumen terkait

Kemampuan Java RMI untuk menangani pengiriman objek apa saja di setiap waktu menggunakan kelas Serialization dan berkas kelas yang diunduh dari server merupakan hal

Diantaranya, motif pribadi bergabungnya para informan untuk bergabung dengan KJPL, pengalaman para informan sebagai seorang jurnalis terkait dengan jurnalisme

Pelaksanaan kegiatan yang dibiayai DAK Bidang Pendidikan untuk SD/SDLB harus selesai dan dilaporkan paling lambat 1 (satu) bulan setelah uang diterima 100% (seratus

Kepada seluruh peserta disarankan sudah memiliki tiket pergi – pulang (PP). Check out hotel sesuai dengan ketentuan panitia yaitu untuk Gelombang I pada hari Sabtu, tanggal 18 Juni

mahasiswi Program Peningkatan Kualifikasi Guru SD/MI Melalui Dual Mode Sistem (DMS), Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar, setelah dengan

Salah satu penyakit penting pada tanaman sawit adalah Busuk Pangkal Batang (BPB) kelapa sawit yang disebabkan oleh Ganoderma boninense yang merupakan penyakit

Dari tabel diatas terdapat beberapa item penilaian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu bagaimana kondisi kerja kantor, sarana dan prasana yang dimiliki,

Menurut Mcleod (2001, p344) pengertian Sistem informasi pemasaran adalah suatu sistem yang berbasis komputer yang bekerja sama dengan sistem informasi fungsional lainnya