• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang terdiri dari angkatan darat, angkatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang terdiri dari angkatan darat, angkatan"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Semua negara di dunia pasti memiliki institusi yang bertugas sebagai badan pertahanan dan keamanan negara, tak terkecuali Indonesia. Sebelum reformasi, Indonesia memiliki institusi pertahanan dan keamanan negara yaitu Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang terdiri dari angkatan darat, angkatan laut, angkatan udara, dan polisi. Namun setelah reformasi, MPR memutuskan untuk memisahkan ABRI menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang memiliki fungsi pertahanan dan Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) yang menangani masalah keamanan. Menurut undang-undang nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, bahwa pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia selaku alat negara yang dibantu oleh masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Sehubungan dengan tugas yang diamanatkan kepada anggota kepolisian, Skolnick (dalam Tabah, 1991) menyebutkan bahwa ada dua unsur yang mempengaruhi pelaksanaan tugas polisi, yaitu unsur bahaya yang membuat polisi selalu curiga, dan unsur kewenangan, yaitu kewenangan untuk membatasi kebebasan manusia sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Sebagai institusi

(2)

commit to user

yang memiliki kewenangan membatasi kebebasan orang lain, hal ini tidaklah mudah dilakukan oleh anggota polisi. Mereka harus bersinggungan langsung dengan orang-orang yang susah diatur. He, Zhao, dan Archbold (dalam Magdalena, 2008) menyebutkan bahwa secara umum, petugas polisi menempati posisi dimana ia mengalami interaksi yang langsung dan sering berhadapan dengan publik serta dihadapkan pada elemen-elemen masyarakat yang paling mengancam, antisosial dan tidak dapat dipercaya. Mereka ini adalah orang-orang yang melanggar hukum dan melakukan tindakan yang membahayakan orang lain, seperti pembunuh, teroris atau massa yang mengamuk.

Satjipto Rahardjo (dalam Martono dkk, 1994) mengatakan bahwa polisi -tengah masyarakat. Tugas ini tidak dapat digantikan oleh siapapun. Dalam pelaksanaan tugas tersebut polisi harus menjadi sosok yang ideal seperti yang diharapkan masyarakat. Polisi yang memiliki tugas utama sebagai pengayom masyarakat juga sekaligus harus berperan sebagai penegak hukum dalam waktu yang bersamaan (Tabah, 1991). Dengan kata lain, di satu sisi polisi harus mengejar penjahat atau orang-orang yang dianggap mengganggu keamanan masyarakat, dengan resiko bahaya yang dapat mengancam jiwa anggota kepolisian. Namun disisi lain, polisi harus menangkap dan memproses pelaku kejahatan sesuai dengan undang-undang yang berlaku.

Kompleksnya tugas sebagai anggota kepolisian tidak berarti polisi selalu mendapat perhatian yang positif dari masyarakat. Kritik negatif dari berbagai pihak telah memuculkan persepsi pada masyarakat bahwa polisi belum mampu

(3)

commit to user

memenuhi harapan masyarakat sebagai instansi penegak hukum. Aksi protes, reaksi brutal, unjuk rasa, hujatan sampai dengan pengerusakan markas POLRI adalah bentuk reaksi negatif masyarakat yang ditujukan untuk POLRI. Karena tingginya tekanan terhadap kinerja inilah yang kemudian membuat seorang anggota kepolisian mengalami stres atau bahkan depresi.

Stres sebenarnya merupakan suatu bentuk tanggapan seseorang, baik secara fisik maupun mental, terhadap suatu perubahan di lingkungannya yang dirasakan menganggu dan mengakibatkan dirinya terancam (Anoraga, 2001). Stres dapat disebabkan oleh beberapa macam penyebab, seperti permasalahan perkawinan, hubungan interpersonal, pekerjaan, lingkungan hidup, keuangan, masalah hukum, tahap perkembangan, penyakit fisik atau cidera, faktor keluarga dan trauma (Hawari, 2001).

Stres merupakan sesuatu hal yang amat alamiah. Dalam bidang pekerjaan, stres seringkali dialami oleh seorang pekerja. Stres kerja dapat terjadi karena lingkungan kerja yang tidak kondusif. Lingkungan kerja dapat menjadi sumber stres karena beberapa alasan antara lain tuntutan kerja, tanggung jawab kerja, lingkungan fisik kerja, rasa kurang memiliki pengendalian, hubungan antara manusia yang buruk, kurang pengakuan dan peningkatan jenjang karier, serta rasa kurang aman dalam kerja (Hardjana, 1994).

Dalam profesi sebagai polisi, lingkungan kerja mereka sangat di dominasi dengan lingkungan yang tidak aman. Dapat dikatakan mereka selalu

(4)

commit to user

mengakibatkan trauma psikologis sehingga dapat menimbulkan terjadinya stres. Tuntutan tugas yang dirasakan oleh anggota kepolisian dimungkinkan karena tugas yang diberikan melebihi kemampuan yang dimiliki para anggota. Kondisi ini akan memberikan dampak pada munculnya stres kerja yang berkepanjangan. Stres yang berkepanjangan ini dapat mengubah perilaku anggota menjadi perilaku yang tidak diterima di lingkungan tugas maupun di luar lingkungan tugas. Hubungan antar sesama anggota menjadi kurang harmonis, penuh kecurigaan yang dapat menimbulkan kemarahan serta perilaku agresi, seperti yang telah ditunjukkan oleh beberapa anggota POLRI (Sumantri, 2011).

Studi empiris mengenai stres polisi menemukan bahwa sepanjang 13 tahun pertama pengabdian, stres meningkat sebab petugas baru tak percaya pada kemampuan mereka sendiri, harus melaksanakan sejumlah pekerjaan administrasi besar, dan merasa suatu gap antara pelatihan akademi formal dan keterampilan yang nyata diperlukan untuk menjadi afektif di jalanan (BID HUMAS POLDA METRO JAYA, 2009). Lazarus (dalam Smet, 1994) mengatakan bahwa ketika individu berhadapan dengan lingkungan yang baru atau berubah lingkungan, mereka akan melakukan proses penilaian awal (primary appraisal) untuk menentukan arti dari kejadian tersebut. Kejadian-kejadian tersebut dapat dirasakan sebagai hal yang positif, netral, maupun negatif. Apabila seseorang merasa bahwa kejadian tersebut negatif, dapat dimungkinkan individu tersebut akan mengalami stres. Stres akan berkurang ketika petugas menjadi lebih nyaman dengan tuntutan pekerjaan mereka (Violanti, dalam Yusuf, 2009).

(5)

commit to user

Tinggi rendahnya stres kerja dapat dipengaruhi oleh penilaian subjektif karyawan terhadap kondisi pekerjaan yang dianggap sebagai stressor. Penilaian ini dipengaruhi oleh faktor individu seperti kepribadian. Sehnert (1997) mengatakan bahwa ada dua penyebab utama munculnya stres dalam pekerjaan yaitu kurangnya kendali dan faktor kepribadian. Kepribadian adalah kombinasi karakteristik fisik dan mental yang stabil yang memberikan identitas kepada individu seperti penampilan, pemikiran, tindakan, dan perasaan seseorang (Kreitner dan Kinichi, 2014). Salah satu konsep kepribadian yang cukup berperan di dalam ilmu psikologi adalah locus of control internal yang dikembangkan oleh Rotter.

Locus of control internal merupakan konsep kontinum dari locus of control

yaitu mereka yang cenderung lebih berorientasi pada keberhasilan (Rotter, dalam Friedman dan Schustack, 2006). Locus of control internal juga didefinisikan sebagai dimensi kepribadian tentang keyakinan atau persepsi seseorang bahwa keberhasilan atau kegagalan yang dialaminya disebabkan oleh faktor internal yaitu berasal dari dirinya sendiri (Yusuf, 2004). Rini (2002) mengatakan bahwa locus of

control internal adalah persepsi orang dalam memandang keberhasilan atau

kegagalan yaitu tergantung dari usaha diri sendiri dan tidak mudah menyerah pada nasib atau keadaan serta tidak tergantung atau mengharapkan bantuan orang lain. Menurut Zulkaida (2007), seseorang dengan locus of control internal cenderung menganggap bahwa ketrampilan (skill), kemampuan (ability), dan usaha (efforts) lebih menentukan pencapaian dalam hidup mereka.

(6)

commit to user

Rotter (dalam Gibson, dkk., 2005) menyebutkan bahwa seseorang dengan

locus of control internal melihat bahwa pengendalian dari kehidupannya datang

dari dalam dirinya sendiri. Seorang pekerja dengan locus of control internal memiliki keyakinan bahwa dirinya dapat mengatur dan mengarahkan hidupnya serta memiliki kemampuan dan kebebasan dalam menentukan perilakunya untuk mengendalikan penguat yang diterimanya.

Seorang anggota kepolisian yang memiliki locus of control internal yang tinggi akan lebih aktif berusaha keras, berprestasi, penuh kekuatan, tidak tergantung dan efektif. Karyawan demikian memiliki sifat lebih mandiri dan lebih ulet serta memiliki daya tahan yang lebih kuat terutama dalam menghadapi kegagalan, khususnya dalam dunia kerja (Sujana dan Wulan, 1994). Hal inilah yang menyebabkan seseorang dengan locus of control internal lebih mampu menghadapi stres kerja yang dialaminya. Karyawan yang memiliki locus of

control internal yang tinggi akan memiliki tingkat stres yang lebih rendah karena

karyawan tersebut memiliki daya tahan dan keefektifan dalam menghadapi dan menyikapi datangnya stressor-stressor kerja. Hasil penelitian Widyastuti (2013) yang dilakukan pada karyawan PT. Nusantara Surya Sakti Demak menunjukkan bahwa ada hubungan negatif antara locus of control internal dengan stres kerja pada karyawan PT. Nusantara Surya Sakti Demak. Hal ini dilihat dari hasil koefisien korelasi (r) sebesar 0,355 dengan taraf signifikan p = 0,000 dimana p < 0,01. Hal ini menunjukkan hubungan yang cukup erat antara stres kerja dengan

locus of control internal. Arah hubungan yang negatif menunjukkan semakin

(7)

commit to user

Demikian pula sebaliknya. Karyawan dengan locus of control internal lebih mampu menghadapi stres kerja yang dialaminya. Robbins (2003) menambahkan bahwa orang yang memiliki locus of control internal yakin bahwa kesehatan benar-benar berada dalam kendalinya sendiri melalui perilaku yang tepat, sehingga orang-orang tersebut menerima tanggung jawab yang lebih besar atas kesehatannya dan memiliki perilaku kesehatan yang lebih baik. Karyawan yang memiliki locus of control internal yang tinggi akan memiliki tingkat stres yang lebih rendah karena karyawan tersebut memiliki daya tahan dan keefektifan dalam menghadapi dan menyikapi datangnya stressor-stressor kerja.

Seorang anggota kepolisian akan mampu menyikapi stressor-stressor kerja apabila merka juga menerapkan komunikasi interpersonal yang baik. Komunikasi interpersonal yang baik akan menghasilkan hubungan interpersonal yang baik pula, dengan demikian didalam lingkup kepolisian, akan tercipta suasana kerja yang kondusif sehingga stres kerja dapat terhindarkan. Devito (1997) menjelaskan bahwa komunikasi interpersonal adalah proses pengiriman dan penerimaan pesan-pesan antara dua orang atau di antara sekelompok kecil orang-orang, dengan beberapa efek dan beberapa umpan balik seketika. Umpan balik dalam komunikasi interpersonal bersifat langsung sehingga komunikator akan mengetahui pasti apakah komunikasinya bersifat positif atau negatif.

Dalam profesi sebagai anggota polisi, komunikasi interpersonal bisa menjadi kebutuhan sehari-hari bagi kelancaran tugas-tugas polisi. Komunikasi interpersonal yang dimiliki seorang polisi dimungkinkan akan mempermudah untuk mendekatkan diri dengan masyarakat, atasan ataupun dengan rekan kerja.

(8)

commit to user

dalam sebuah instansi adalah tidak adanya kesediaan pihak atasan untuk mau mendengar, memahami dan mengakui pendapat ataupun prestasi karyawan. Apabila hal tersebut terus berlangsung maka dapat dimungkinkan akan terjadi peningkatan absensi bawahan, kinerja yang menurun, dan bahkan sampai sikap agresi kepada atasan. Hal tersebut tidak akan terjadi apabila seorang anggota kepolisian mampu bersikap terbuka, memiliki empati, sikap saling mendukung, sikap positif serta memiliki kesetarran sebagai komunikator. Hal ini sesuai dengan pendapat Devito (1997) bahwa komunikasi interpersonal akan berlangsung secara efektif apabila didalamnya terdapat keterbukaan, empati, sikap mendukung, sikap positif dan kesetaraan.

Rakhmat (2011) menjelaskan bahwa dalam komunikasi interpersonal seseorang akan mengalami proses belajar, pengoperan lambang-lambang dan proses menyesuaikan diri. Ketiga proses tersebut dapat dimaknai bahwa seorang yang melakukan komunikasi interpersonal akan saling mempengaruhi, sehingga akan terbentuk pola pikir dan perilaku yang positif. Dengan demikian seorang polisi yang mampu melakukan komunikasi interpersonal dengan baik tidak akan mudah merasa tertekan dan dimungkinkan dapat mempermudah anggota kepolisian dalam melaksanakan tugasnya.

Penelitian ini akan dilakukan di POLRES Kediri Kota provinsi Jawa Timur. Berdasarkan wawancara yang dilakukan peneliti pada 4 orang anggota kepolisian POLRES Kediri kota didapatkan data bahwa mereka sering mengeluhkan tentang pekerjaan mereka yang banyak, kurangnya waktu istirahat, mudah merasa lelah,

(9)

commit to user

dan sering merasa terancam jiwanya saat mengejar pelaku kejahatan. Dari hasil uraian di atas dapat diketahui bahwa seorang polisi dengan tuntutan kerja yang cukup berat diduga dapat menyebabkan stres kerja. Agar stres kerja dapat teratasi dengan baik maka ada beberapa hal yang dimungkinkan dapat membantu polisi tersebut, yaitu dengan mengembangkan kepribadian locus of control internal dan melakukan komunikasi interpersonal yang efektif.. Berdasarkan latar belakang tersebut maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul

locus of control Internal dan komunikasi interpersonal dengan

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka peneliti ingin mengungkap lebih jauh permasalahan mengenai :

1. Apakah ada hubungan antara locus of control internal dan komunikasi interpersonal dengan stres kerja pada anggota kepolisian POLRES Kediri Kota?

2. Apakah terdapat hubungan antara locus of control internal dengan stres kerja pada anggota kepolisian POLRES Kediri Kota?

3. Apakah terdapat hubungan antara komunikasi interpersonal dengan stres kerja pada anggota kepolisian POLRES Kediri Kota?

(10)

commit to user C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui hubungan antara locus of control internal dan komunikasi interpersonal dengan stres kerja pada anggota kepolisian POLRES Kediri Kota.

2. Untuk mengetahui hubungan antara locus of control internal dengan stres kerja pada anggota kepolisian POLRES Kediri Kota.

3. Untuk mengetahui hubungan antara komunikasi interpersonal dengan stres kerja pada anggota kepolisian POLRES Kediri Kota.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan pemikiran dan pengetahuan yang bermanfaat di bidang ilmu Psikologi, khususnya psikologi industri.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi anggota kepolisian

Memberi informasi kepada anggota kepolisian tentang pentingnya

locus of control internal dan komunikasi interpersonal, sehingga nantinya

anggota kepolisian dapat menjaga kesehatan mentalnya. b. Bagi peneliti lain

Dapat menambah referensi bagi peneliti lain untuk melakukan penelitian lebih lanjut khususnya berkaitan tentang hubungan locus of

(11)

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian yang sudah dilakukan Bimbingan orangtua mempunyai hubungan yang sangat signifikan dengan pelaksanaan perawatan menarche pada siswi

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh penambahan krioprotektan kedalam pengencer sperma terhadap kualitas sperma setelah thawing dan untuk mengetahui tahapan mana

VViggin, pozitif yüklü iyon pompalarının çalışmasını kontrol eden mekanizmaların suyun enerji dö­ nüştürücü özelliğine gereksinim duyduğunu göstermiştir:

Catatan Pertemuan dan Daftar Hadir Mahasiswa diterima di UPBJJ UT Medan paling lambat 27 Mei 2017 4... Laman unggah Karya Ilmiah

apakah penerapan standart kontrak dalam perjanjian kredit perbankan sesuai dengan sistem terbuka buku III KUHPerdata, apa akibat hukum penerapan asas.

menunjukkan, bahwa rataan denyut nadi domba yang diberi ransum K1 memiliki hasil pengukuran yang lebih tinggi dari K2, serta pemberian pakan dua kali memiliki pengukuran denyut

Pentingnya pemahaman konsep reproduksi virus yang bertujuan agar siswa mampu mengaplikasikan konsep tersebut dalam kehidupan sehari-harinya tanpa miskonsepsi dan gambar

Dengan belum menjadi pihak pada Konvensi Tahun 1951 dan Protokol Tambahan 1967, maka pemerintah Indonesia tidak memiliki kewenangan untuk memberikan penentuan status