• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III KEBIJAKAN REGULASI DAN TATA KELOLA PENGUNGSI ASING DI NEGARA INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III KEBIJAKAN REGULASI DAN TATA KELOLA PENGUNGSI ASING DI NEGARA INDONESIA"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB III

KEBIJAKAN REGULASI DAN TATA KELOLA PENGUNGSI ASING DI NEGARA INDONESIA

Pada bab III ini, penulis akan membahas tentang kebijakan regulasi dan tata kelola pengungsi asing di negara Indonesia. Dimulai dengan penjabaran negara Indonesia dan Konvensi Pengungsi Tahun 1951 serta protokol tambahan tentang status pengungsi Tahun 1967. Dimana disini akan dijelaskan tentang definisi Konvensi Pengungsi 1951, pengertian pengungsi, pencari suaka serta migran ekonomi, dengan tujuan agar setiap pembaca mampu membedakan pengertian dari ketiga varian pengertian tersebut. lalu, akan dijelaskan kerangka hukum nasional di Indonesia terkait penanganan pengungsi asing. Kemudian, penjelasan secara umum tentang kerjasama UNHCR dan IOM dengan Indonesia dalam menangani pengungsi asing. Terakhir, akan dijelaskan terkait kebijakan negara Indonesia terhadap pengungsi asing di Aceh.

A. Negara Indonesia dan Konvensi Pengungsi 1951 serta Protokol Tambahan Tentang Status Pengungsi Tahun 1967

Indonesia adalah negara yang memiliki posisi strategis secara geografis. Indonesia adalah negara di Asia Tenggara yang terletak di garis khatulistiwa dan berada di antara dua benua Asia dan Australia serta antara samudera Pasifik dan Hindia. Mengingat letaknya yang berada di antara dua benua dan dua samudera, Indonesia juga disebut sebagai nusantara

(2)

2

(kepulauan antara). Terdiri dari 17.508 pulau, Indonesia adalah negara

kepulauan terbesar di dunia.1

Posisi yang strategis ini menyebabkan Indonesia menjadi salah satu negara yang paling sering dibanjiri oleh para pencari suaka,imigran ilegal, dan pengungsi. Sehingga Indonesia menyikapi permasalahan terkait para pengungsi/ imigran/ pencari suaka yang berada di wilayah teritorial Indonesia tersebut dihadapkan dalam dua polemik besar. Pertama, berkaitan dengan permasalahan kedaulatan negara, sedangkan pada sisi

kedua dihadapkan dengan permasalahan hak asasi manusia.2 Berdasarkan

data dari UNHCR, bahwa arus pengungsi yang masuk ke Indonesia ini terus meningkat dari tahun ke tahun, jumlah pengungsi dan pencari suaka yang berada di Indonesia hingga bulan September 2015 adalah sebesar 13.405 orang. Baik pengungsi yang masuk dengan tujuan mencari suaka maupun tujuan transit. Hal ini secara tidak langsung menjadi perhatian pemerintah Republik Indonesia, khususnya pemerintah daerah yang selama ini menjadi tempat penampungan para pengungsi dari berbagai

negara, khususnya Aceh.3

Keberadaan pencari suaka dan pengungsi di Indonesia sebenarnya telah ada sejak puluhan tahun lalu. Pada era kepemimpinan Presiden Soeharto, Indonesia menjadi tujuan para pencari suaka dan pengungsi

1

Indonesia.go.id,” geografis Indonesia”, http://indonesia.go.id/?page_id=479&lang=id, pada tanggal 10 Desember 2016

2 Rosmawati, perlindungan terhadap pengungsi/ pencari suaka di Indonesia (sebagai negara

transit) menurut konvensi 1951 dan protokol 1967, Unsyiah Jurnal Ilmu Hukum, Vol.17, No.3, 2015 , hlm. 1.

(3)

3

Vietnam pada tahun 1979, tepatnya setelah jatuhnya ibukota Saigon (Vietnam selatan) ke tangan Vietnam Utara. Ratusan ribu orang meninggalkan wilayah ini untuk mencari perlindungan di negara lain dengan berbagai cara baik lewat menyusuri sungai, jalur udara, maupun laut. Gelombang pengungsi Vietnam yang mendapatkan ancaman di negaranya ini selain menuju ke Indonesia juga memasuki beberapa negara lain, seperti Malaysia dan Filipina. Kebijakan pemerintah Soeharto ketika itu, para pengungsi ini ditempatkan di pulau Galang, kabupaten Riau. Eksistensi pengungsi yang telah ada selama puluhan tahun dan terus meningkat dari tahun ke tahun, dimana hal ini menunjukkan bahwa

keberadaannya tidak boleh dinafikkan.4

Pada tahun 2015, Indonesia kembali kedatangan pengungsi etnis Rohingya dan migran Bangladesh dalam jumlah besar. Sekitar 6.000 orang pengungsi dan migran tersebut terombang-ambing di laut Andaman dan sekitar 1.807 orang berhasil mendarat di wilayah Aceh. Mereka kemudian mendarat dan menerima bantuan baik dari pemerintah maupun masyarakat

serta organisasi-organisasi sipil baik dari dalam maupun luar negeri.5

4 Fitria, Perlindungan hukum bagi pengungsi di Negara ketiga: praktik Indonesia, Padjadjaran

jurnal ilmu hukum, Vol.2 No.1, 2015,hlm. 106-107.

5

Rizka Argadianti Rachmah & Zico Efraindio Petalozzi, Hidup yang terabaikan (laporan penelitian nasib pengungsi Rohingya di Indonesia, (Jakarta: Lembaga Bantuan Hukum, 2016 ), hlm. 17.

(4)

4

1. Konvensi Pengungsi Tahun 1951 dan Protokol Tambahan Tahun 1967

Perlindungan hak-hak pencari suaka dan pengungsi telah diatur dalam berbagai instrumen hukum internasional, termasuk perjanjian internasional dan hukum kebiasaan internasional. Instrumen utama di

bidang perlindungan pengungsi yang ada saat ini adalah The 1951

Convention Relating to the Status of Refugees (Konvensi Pengungsi 1951)

dan 1967 Protocol Relating to the Status of Refugees (Protokol Tambahan

1967). Dalam hal ini, Perang dunia II mendorong terjadinya eksodus besar-besaran penduduk di wilayah Eropa, sehingga timbul keperluan untuk melindungi penduduk yang mengungsi akibat perang tersebut. Peristiwa ini melatarbelakangi didirikannya Kantor Lomisaris Tinggi PBB untuk Urusan Pengungsi (UNHCR) pada tahun 1950 dan disahkannya

Konvensi Pengungsi pada tahun 1951.6

Pada awalnya, Konvensi Pengungsi 1951 dirumuskan secara khusus sebagai dasar hukum penanganan pengungsi Eropa pasca Perang Duna II. Namun kemudian disadari, seiring dengan semakin meningkatnya jumlah pengungsi akibat konflik di berbagai wilayah lain, isu pengungsi tidak hanya menjadi permasalahan di kawasan Eropa namun telah menjadi permasalahan global. Oleh karena itu, dipandang perlu untuk memperluas jangkauan geografis dasar hukum perlindungan pengungsi. Dalam konteks ini, Protokol Tambahan 1967 kemudian disahkan untuk

(5)

5

merevisi sebagian pasal dalam Konvensi Pengungsi 1951, sehingga

cakupan perlindungan pengungsi menjadi diperluas.7 Konvensi Pengungsi

Tahun 1951 dan Protokol Tambahan Tahun 1967 merumuskan konsep-konsep penting dalam hukum pengungsi internasional, antara lain: definisi pengungsi, hak dan kewajiban pengungsi, serta tanggung jawab negara

pihak dalam memberikan perlindungan bagi pengungsi.8

Hingga Agustus 2015, terdapat 145 negara pihak Konvensi Pengungsi 1951, sementara Protokol Tambahan 1967 telah memiliki 146 negara pihak. Sebagai prinsip umum hukum internasional, setiap perjanjian yang berlaku memiliki kewajiban dan tanggung jawab bagi negara pihak, dimana hal tersebut bersifat mengikat dan harus dilaksanakan. Negara-negara yang telah mengesahkan Konvensi pengungsi wajib melindungi pengungsi di wilayah mereka sesuai dengan ketentuan konvensi tersebut.

Adapun ketentuan-ketentuan yang harus dilaksanakan oleh negara-negara pihak ialah:

1. Kerjasama dengan UNHCR : pasal 35 Konvensi Pengungsi

dan pasal 11 Protokol 1967 memuat kesepakatan bagi Negara negara pihak untuk bekerjasama dengan UNHCR dalam melaksanakan fungsinya, terutama untuk membantu UNHCR mengawasi pelaksanaan ketentuan-ketentuan yang mendapat yang terdapat dalam perjanjian-perjanjian tersebut.

7

Ibid.,hlm.8

(6)

6

2. Informasi tentang peraturan perundang-undangan nasional :

Negara pihak pada Konvensi pengungsi sepakat untu menginformasikan Sekretaris Jenderal PBB Undang-undnag dan peraturan yang mungkn mereka buat untuk memastikan pelaksanaan Konvensi itu.

3. Pengecualian dari resiprositas : menurut hukum suatu negara,

pemberian hak kepada orang asing tunduk pada pemberian perlakuan yang sama oleh negara kewarganegaraan orang asing tersebut (ketentuan ini tidak berlaku bagi pengungsi). Konsepsi resiprositas tidak berlaku bagi pengungsi karena mereka tidak memiliki perlindungan negara asal mereka. Meskipun telah diratifikasi oleh banyak negara, pemenuhan hak-hak Pencari suaka dan Pengungsi yang dijamin dalam Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol Tambahan 1967 seringkali menghadapi berbagai kendala, baik dari segi teknis maupun dari segi sosial dan politik. Dalam praktik lapangan, kebijakan negara pihak maupun non-negara pihak Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol Tambahan 1967 dalam menangani pencari suaka dan pengungsi dapat berubah-ubah sesuai dengan situasi dan kondisi di negara yang bersangkutan dalam kurun waktu tertentu. Faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan negara antara lain adalah isu

keamanan, kemampuan menyediakan penampungan, penerimaan

masyarakat lokal, dan kepentingan politik. Kombinasi dari faktor-faktor tersebut di satu sisi dapat memperngaruhi negara pihak Konvensi untuk

(7)

7

memberlakukan kebijakan yang melanggar hak-hak pengungsi, namun disisi lain juga dapat mendorong non-negara pihak untuk mengambil

langkah yang selaras dengan ketentuan-ketentuan Konvensi. 9

2. Definisi Pengungsi, Pencari Suaka dan Migran Ekonomi

Pengungsi menurut Pasal 1A(2) Protokol Tambahan 1967 adalah seseorang yang memiliki rasa takut yang beralasan karena rasnya, agamanya, kebangsaannya, keanggotaannya dalam kelompok sosial tertentu atau pandangan politiknya, berada diluar negara asalnya, dan tidak dapat atau tidak mau memanfaatkan perlindungan negara asalnya atau kembali ke negara tersebut karena takut terhadap persekusi. Sedangkan definisi pengungsi menurut mandat UNHCR yang diatur dalam statuta UNHCR dan sejumlah resolusi Majelis Umum PBB ialah seseorang yang berada di luar negara asalnya atau tempatnya menetap dan tidak bisa atau tidak mau kembali ke negara asalnya yang dikarenakan oleh ancaman yang serius dan tanpa pandang bulu terhadap hidupnya, keselamatan fisik atau kebebasannya yang diakibatka kekerasa yang meluas atau

kejadian-kejadian yang sangat menganggu ketertiban umum.10

Namun, definisi pengungsi menurut Konvensi Pengungsi 1951 dan mandat UNHCR memiliki beberapa pengecualian. Terdapat pihak-pihak tertentu yang dianggap tidak lagi memerlukan perlindungan internasional, yaitu:

9

Ibid.,13

(8)

8

- Pengungsi yang telah mendapatkan perlindungan dan bantuan

dari badan PBB lain, seperti pengungsi Palestina yang telah ditangani oleh United Nations Relief and Works Agency for Palestine refugee in the Near East (UNRWA).

- Orang yang telah mendapatkan status yang ekuivalen dengan

kewarganegaraan di negara tempat ia bermukim. Selain itu, ada juga pihak-pihak yang tidak berhak mendapatkan perlindungan internasional, yaitu individu-individu yang telah melakukan kejahatan internasional. Kejahatan nonpolitik yang serius, atau tindakan yang bertentangan dengan tujuan dan prinsip PBB. Sedangkan pencari suaka ialah seorang individu yang mencari perlindungan internasional secara individu atau berkelompok melalui pengajuan permohonan untuk mendapatkan status pengungsi. Faktor pendorong dan penarik terjadinya eksodus besar-besaran para pengungsi dan pencari suaka antara lain dipicu oleh konflik yang terjadi antar negara maupun konflik internal. Konflik ketidakstabilan politik yang terus terjadi di beberapa negara seperti konflik Israel-Palestina, Syiria, Iraq, Afghanistan, Sudan, Myanmar, dan lainnya telah mendorong arus pengungsi dan pencari suaka guna mencari perlindungan baik di negara-negara tetangga maupun negara-negara-negara-negara lainnya yang dianggap lebih stabil

dan aman.11

11 Ibid.,hal. 2

(9)

9

Selain itu, migran dengan alasan ekonomi adalah unsur pilihan.

Economic Migrants merupakan orang-orang yang memilih untuk

meninggalkan negara asal mereka karena alasan ekonomi, dimana mereka mengharapkan pendapatan materi yang lebih baik di negara tujuan. Berbeda dengan pengungsi, Economic Migrants tidak berhak mendapatkan perlindungan internasional terhadap hak-hak pengungsi, namun mereka

berhak mendapatkan perlindungan dari negara asal mereka 12

Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol Tambahan 1967 mengatur berbagai hak dan kewajiban pengungsi yang harus dipenuhi oleh negara pihak Konvensi dan Protokol Tambahan. Hak dan kewajiban pengungsi juga dimiliki oleh pencari suaka yang masih menjalani proses penentuan

status pengungsi (refugee status determination/ RSD), atas dasar bahwa

para pencari suaka tersebut bisa jadi merupakan seorang pengungsi yang berhak mendapatkan perlindungan internasional. Adapun hak-hak pencari suaka dan pengungsi ialah :

- Hak untuk tidak didiskriminasi (non-discrimination) : tingkat

perlindungan yang sama harus diberikan kepada seluruh pencari suaka dan pengungsi tanpa memandang negara asal, suku, ras, maupun agama. Ketentuan ini tercantum dalam pasal 3 Konvensi Pengungsi.

- Hak untuk tidak dihukum akibat Illegal Entry (

non-penalization) : mengingat bahwa kondisi yang dihadapi oleh

12 Ibid.,hlm.8-9

(10)

10

pengungsi dan pencari suaka dapat menyulitkan mereka dalam mendapatkan dokumen perjalanan yang sah, pengungsi dan pencari suaka tidak boleh dihukum dengan cara kedatangan mereka yang ilegal. Ketentuan ini tercantum dalam pasal 31 Konvensi Pengungsi.

- Hak untuk tidak dikembalikan secara paksa (non-refoulment) :

pencari suaka dan pengungsi memiliki hak untuk tidak dikembalikan secara paksa ke negara atau wilayah dimana kelangsungan hidup mereka terancam. Hak ini merupakan salah satu prinsip dasar dalam perlindunga pencari suaka dan pengungsi, serta telah menjadi hukum kebiasaan internasional. Ketentuan ini tercantum dalam pasal 33 Konvensi Pengungsi 1951.

- Hak-hak asasi lainnya yang tercantum dalam perjanjian

internasional di bidang HAM : pencari suaka dan pengungsi juga menikmati hak-hak asasi lainnya yang tercantum dalam berbagai perjanjian internasional di bidang HAM seperti hak atas kebebasan bergerak, hak atas kesejahteraan, hak untuk bekerja, hak untuk memperoleh pelayanan hukum, hak untuk kebebasan beragama, hak untuk mendapatkan kartu identitas, hak untuk memperoleh rumah, hak untuk memperoleh pendidikan, dan hak untuk memperoleh bantuan umum.

(11)

11

Selain mendapatkan berbagai hak, pengungsi maupun pencari suaka memiliki kewajiban, yaitu menaati undang-undang, peraturan-peraturan, dan adat istiadat yang berlaku dalam negara tempatnya bermukim, serta menjaga ketertiban umum. Pencari suaka dan pengungsi tidak kebal dari hukum. Mereka dapat dikenakan sanksi untuk hal-hal selain daripada cara masuk yang ilegal, apabila melanggar peraturan perundang-undangan negara setempat dimana ia bermukim, maka

ketentuan tersebut tercantum dalam pasal 2 Konvensi Pengungsi 1951.13

3. Alasan Indonesia Tidak menandatangani Konvensi Pengungsi Tahun 1951 dan Protokol Tambahan 1967

Posisi Indonesia yang terletak di antara dua benua dan dua samudera, menjadikan Indonesia sebagai tempat yang strategis untuk pergerakan dan juga tempat transit pengungsi asing asal benua asia. Pengungsi asing ini memiliki latar belakang dan tujuan yang bermacam-macam. Ada pengungsi yang datang ke Indonesia karena faktor ekonomi maupun murni untuk mencari keselamatan hidup (menghindari konflik

bersenjata dan pelanggaran HAM).14

Konvensi Pengungsi 1951 mencantumkan beberapa daftar hak serta hak asasi yang sangat dibutuhkan oleh pengungsi. Seperti yang kita ketahui, bahwasanya negara-negara peserta konvensi wajib melaksanakan

13 Ibid., hal. 10 -12 14

Yahya Sultoni, Setyo Widagdo & Herman Suryokumoro, Alasan Indonesia belum meratifikasi Konvensi 1951 tentang pengungsi dan perlindungan Hukum bagi pengungsi di Indonesia”, Brawijaya jurnal ilmu hukum, hlm. 5-6

(12)

12

hak-hak dan kewajiban tersebut. Terdapat tahapan-tahapan yang harus dilaksanakan oleh negara pihak. Pertama, pengungsi yang masuk ke suatu negara tanpa dokumen lengkap mereka tidak akan akan dikenakan hukuman, selama mereka secepat-cepatnya melaporkan diri kepada pihak-pihak berwenang setempat. Kedua, ada larangan bagi para pihak-pihak untuk mengembalikan pengungsi, ini merupakan suatu prinsip mutlak yag harus dipenuhi oleh negara pihak untuk tidak mengembalikan pengungsi ke negara asalnya dimana ia merasa terancam akan keselamatan dan

kebebasannya.15 Selain dua tahapan tersebut, terdapat beberapa tahapan

yang harus dipenuhi oleh negara pihak.

Sementara, Indonesia merupakan bukan bagian dari negara pihak dalam Konvensi tentang Status Pengungsi 1951 dan Protokol Tambahan tahun 1967. Dengan belum menjadi pihak pada Konvensi Tahun 1951 dan Protokol Tambahan 1967, maka pemerintah Indonesia tidak memiliki kewenangan untuk memberikan penentuan status pengungsi atau yang

biasa disebut dengan Refugee Status Determination (RSD), sehingga

pengaturan permasalahan mengenai pengungsi ditetapkan oleh UNHCR sesuai mandat yang diterimanya berdasarkan Statuta UNHCR Tahun 1950. Semua negara termasuk yang belum meratifikasi Konvensi Pengungsi wajib menjunjung tinggi standar perlindungan pengungsi yang telah menjadi bagian dari hukum internasional umum, karena konvensi tersebut

15 Ibid.,

(13)

13

telah menjadi jus cogens, sehingga tak seorang pengungsi pun yang dapat

dikembalikan ke wilayah di mana hidup atau kebebasannya terancam.16

Jika Indonesia menjadi negara pihak dalam Konvensi Pengungsi 1951, maka Indonesia harus melaksanakan ketentuan-ketentuan yang telah diatur pada Konvensi tersebut. Ada beberapa alasan mengapa Indonesia masih berat untuk meratifikasi Konvensi pengungsi 1951 dikarenakan ada beberapa pasal yang dinilai sangat berat untuk dilaksanakan. Beberapa pasal yang menjadi pertimbangan dari pemerintah Indonesia yaitu:

- pasal 17 yang berisi hak untuk bekerja bagi pengungsi: pasal ini

menuntut negara pihak dari Konvensi tersebut untuk memberi pekerjaan. Hal ini dinilai cukup berat bagi pemerintah Indonesia, mengingat Indonesia adalah negara berkembang dan memiliki angka pengangguran yang cukup tinggi, lalu pendapatan per kapitadari penduduk Indonesia sendiri juga dinilai belum cukup layak.

- Pasal 21 yang berisi tentang hak untuk memiliki rumah bagi

pengungsi: angka kemiskinan di Indonesia juga cukup tinggi, selain itu masih banyak daerah-daerah tertinggal di Indonesia yang masih membutuhkan infrastruktur yang layak dari pemerintah pusat. Oleh karena itu jika pemerintah membuat kebijakan dalam hal memebrikan fasilitas berupa rumah bagi

16

Atik Krustiyati, kebijakan penanganan pengungsi di Indonesia:kajian dari Konvensi Pengungsi Tahun 1951 dan Protokol 1967, law review, Vol.XII, No.2,Hlm.174.

(14)

14

para pengungsi sangatlah tidak tepat dan masih jauh dari kondisi Indonesia sebagai negara berkembang.

- Pasal 22 mengenai hak untuk memperoleh pendidikan:

kebijakan untuk memberikan pendidikan bagi pengungsi hingga perguruan tinggi sangatlah tidak mungkin untuk dilaksanakan, mengingat masyarakat Indonesia yang bisa menempuh pendidikan hingga perguruan tinggi juga sedikit, terlebih lagi angka pendidikan yang cukup mahal.

- Pasal 4 yang berisi mengenai tentang hak untuk memperoleh

kebebasan beragama: Indonesia hanya mengakui enam agama kepercayaan. Ada hal yang ditakutkan oleh pemerintah jika melaksanakan ketentuan tersebut, terdapat agama atau keyakinan oleh pengungsi tersebut lain yang tidak diakui di Indonesia, hal ini ditakutkan aka menimbulkan konflik antar

umat beragama.17

- Indonesia memiliki aturan nasional yang dituangkan dalam

Undang-undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang keimigrasian: sebenarnya yang disebutkan dalam UU tentang keimigrasian ini adalah mengenai ketentuan bagi orang asing, dimana bahwasanya orang asing adalah orang yang bukan warga negara

Indonesia dan dikategorikan sebagai imigran ilegal.

Implikasinya ialah semua orang asing yang datang ke Indonesia

17 Ibid.,hlm.6-9

(15)

15

(pencari suaka, pengungsi, atau pelaku kejahatan) yang tidak mempunyai dokumen resmi, maka tetap dikategorikan sebagai imigran gelap dan mereka yang tertangkap dan ditahan di Rudenim.

Ketentuan-ketentuan diatas merupakan beberapa hal yang menjadi alasan dari pemerintah Indonesia belum meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 sampai saat ini. Meskipun pemerintah Indonesia belum meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol Tambahan 1967, namun Indonesia dapat dikategorikan sebagai negara yang telah menghormati serta mengimplementasikan beberapa prinsip-prinsip utama yang terkandung dalam Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol Tambahan 1967. Menurut aturan internasional, setidak-tidaknya Indonesia telah menghormati tiga prinsip utama tersebut, yaitu pemerintah Indonesia tidak mengembalikan

para pengungsi ke negara asalnya (non-refoulment), pemerintah Indonesia

tidak menghukum mereka karena telah melakukan tindakan pelanggaran

keimigrasia (non-penalization), dan pemerintah Indonesia tidak

membedakan atau mendiskriminasikan antara para pengungsi ataupun

pencari suaka (non-discrimination).

B. Kerangka Hukum Nasional

Indonesia sampai saat ini memang belum memiliki aturan hukum nasional yang secara khusus memberikan perlindungan dan penanganan terhadap para pencari suaka dan pengungsi. Hukum nasional yang

(16)

16

dianggap dapat dijadikan rujukan bagi perlindungan pencari suaka dan pengungsi ialah:

1. UU Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaaan dan Perlakuan Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia (UU CAT), mengatur bahwa:

Pasal 3: Tidak boleh ada negara yang menolak, mengembalikan atau

mengekstradisi seseorang ke negara yang mana terdapat

keyakinan/alasan yang kuat bahwa dia akan berbahaya karena menjadi sasaran penyiksaan.

2. UU Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, mengatur bahwa:

a. Pasal 25 : ayat (1) menyatakan bahwa kewenangan pemberian

suaka kepada orang asing berada di tangan Presiden dengan

memperhatikan pertimbangan Menteri. Ayat (2) menyatakan

bahwa pelaksanaan kewenangan sebagaiman yang dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan keputusan Presiden.

b. Pasal 26 : pemberian suaka kepada orang asing dilaksanakan sesuai

dengan peraturan perundang-undangan nasional serta dengan memperhatikan hukum, kebiasaan, dan praktik internasional.

c. Pasal 27 : ayat (1) menyatakan bahwa presiden menetapkan

kebijakan masalah pengungsi dari luar negeri dengan

(17)

17

bahwa pokok-pokok kebijakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan keputusan Presiden.

3. UU Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, mengatur bahwa:

a. Pasal 1 : ayat (1) keimigrasian ialah hal ihwal lalu lintas orang

yang masuk dan keluar wilayah Indonesia serta pengawasannya

dalam rangka menjaga tegaknya kedaulatan negara. Ayat (9)

orang asing adalah orang yang bukan warga negara Indonesia. Ayat (11) kantor imigrasi adalah unit pelaksana teknis yang menjalankan fungsi keimigrasian di daerah kabupaten, kota, atau

kecamatan. Ayat (12) tempat pemeriksaan imigrasi adalah tempat

pemeriksaan di pelabuhan laut, bandar udara, pos lintas batas, atau tempat lain sebagai tempat masuk dan keluar wilayah Indonesia. Ayat (13) dokumen perjalanan adalaha dokumen resmi yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang dari suatu negara, Perserikatan Bangsa-Bangsa, atau organisasi internasaional lainnya untuk melakukan perjalanan antarnegara yang memuat identitas

pemegangnya. Ayat (15) dokumen perjalanan Republik Indonesia

adalah paspor Republik Indonesia dan surat perjalanan laksanan

paspor Republik Indonesia. Ayat (18) visa Republik Indonesia

yang selanjutnya disebut Visa adalah keterangan tertulis yang diberikan oleh pejabat yang berwenang di Perwakilan Republik Indonesia atau di tempat lain yang ditetapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia yang memuat persetujuan bagi orang asing

(18)

18

untuk melakukan perjalanan ke wilayah Indonesia dan menjadi

dasar pemberian izin tinggal. Ayat (33) Rumah Detensi Imigrasi

adalah unit pelaksanatenis yang menjalankan fungsi keimigrasian sebagai tempat penampungan sementara bagi orang asing yang

dikenai tindakan administratif keimigrasian. Ayat (35) Deteni ialah

orang asing penghuni rumah detensi imigrasi yang telah mendapatkan keputusan pendetensian dari pejabat migrasi.

b. Pasal 71 : setiap orang asing yang berada di wilayah Indonesia

wajib memberikan segala keterangan yang diperlukan mengenai identitas diri dan/atau keluarganya serta melaporkan setiap perubahan status sipil, kewarganegaraan, pekerjaan, penjamin, atau perubahan alamatnya kepada kantor imigrasi setempat.

c. Pasal 83 : ayat (1) pejabat imigrasi berwenang menempatkan

orang asing dalam Rumah Detensi Imigrasi jika berada di wilayah Indonesia tanpa memiliki izin tinggal yang sah atau memiliki izin tinggal yang tidak berlaku lagi, berada di wilayah Indonesia tanpa memiliki dokumen perjalanan yang sah, dikenai tindakan administratif keimigrasian berupa pembatalan izin tinggal karena melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau menganggu keamanan dan ketertiban umum.

d. Pasal 85 : ayat (1) detensi terhadap orang asing dilakukan sampai

(19)

19

dimaksud dalam ayat (1) belum dapat dilaksanakan, detensi dapat dilakukan dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun.

e. Pasal 86 : ketentuan tindakan administratif keimigrasian tidak

diberlakukan terhadap korban perdagangan orang dan

penyeludupan manusia.

f. Pasal 87 : ayat (1) menyatakan korban perdagangan orang dan

penyeludupan manusia yang berada di wilayah Indonesia ditempatkan didalam Rumah Detensi Imigrasi atau di tempat lain

yang ditentukan. Ayat (2) menyatakan korban perdagangan orang

dan penyeludupan manusia sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) mendapatkan perlakuan khusus yang berbeda dengan deteni pada umumnya.

g. Pasal 88 : Menteri atau pejabat imigrasi yang ditunjuk

mengupayakan agar korban perdagangan dan penyeludupan manusia yang berkewarganegaraan asing segera dikembalikan ke negara asal mereka dan diberikan surat perjalanan apabila mereka tidak memilikinya.

4. Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2013 tentang keimigrasian : pada pasal 206, 221, dan 223 menyatakan bahwasanya ketentuan-ketentuan yang ada pada PP mengatur tentang pendetensian pengungsi (imigran ilegal) hingga 10 tahun, PP tersebut mengatur bahwa setelah 10 tahun pendetensian mereka dapat dikeluarkan dengan

(20)

20

kewajiban melaporkan selama 6 bulan sekali dan kewajiban melapor ke kantor imigrasi apabila ada perubahan status dan pekerjaan mereka.

Ketentuan-ketentuan diatas merupakan suatu instrumen nasional yang merujuk pada penanganan terhadap pengungsi asing dan pencari suaka. Pada peraturan perundang-undangan diatas, kita bisa mengkaji bahwasanya tidak ada pengaturan tentang pencari suaka dan pengungsi yang didefinisikan secara komprehensif. Namun, tetap saja terdapat peraturan perundang-undangan di Indonesia yang memberi ruang bagi bagi kehadiran para pengungsi asing dan pencari suaka. Pertama, kita kaji terkait peraturan yang menguatkan bahwa prinsip non-refoulment menjadi suatu komitmen yang secara hukum diakui oleh pemerintah Indonesia,

sebagaimana yang termaktub dalam Convention Againts Tortute (CAT).

Kedua, meskipun Undang-undang 37/1999 tentang Hubungan Luar Negeri telah menyebut bahwa kebijakan mengenai pengungsi ditentukan oleh Presiden dalam sebuah Keppres, namun hingga saat ini belum terdapat

sebuah ketentan khusus yang dapat dijadikan acuan bersama (common

reference) bagi semua instansi terkait penanganan masalah pengungsi. Belum adanya ketentuan khusus telah membuat masalah pengungsi

ditangani secara ad hoc. Untuk mengatasi kekurangan tersebut,

Kementrian Luar Negeri telah memulai inisiatif penyusunan sebuah rancangan Peraturan Presiden mengenai penanganan pencari suaka dan

pengungsi dengan melibatkan Kementrian/lembaga terkait, dan

(21)

21

Rancangan Perpres tersebut telah mengakomodasi prinsip-prinsip yang terdapat di dalam Konvensi tentang Status Pengungsi 1951, serta prinsip-prinsip yang terdapat dalam berbagai instrumen HAM internasional di

mana Indonesia telah menjadi pihak.18

Ketiga, instrumen hukum nasional tentang keimigrasian, namun disayangkan tidak ada pembahasan terkait pengungsi yang dibahas secara eksplisit dalam ketentuannya. Bila kita kaji, Indoneia yang bukan menjadi negara pihak Konvensi 1951, untuk memenuhi hak dan kewajiban bagi pada pengungsi asing, maka digunakanlah UU keimigrasian ini. Namun, UU keimigrasian ini memandang bahwa setiap pengungsi asing atau pencari suaka yang masuk ke Indonesia adalah imigran ilegal, atau korban perdagangan dan penyeludupan manusia. Padahal secara fakta yang ditemukan di lapangan, tidak semua para pengungsi asing dan pencari suaka masuk dalam kategori korban perdagangan dan penyeludupan manusia. Penjabaran yang tidak eksplisit terhadap pengungsi dan pencari suaka yang tertera dalam UU keimigrasian ini, membuat beberapa pihak terutama pihak pemerintah daerah yang menjadi aktor dalam penerimaan awal para pengungsi asing ini sulit dalam mengambil kebijakan.

Dalam hal ini, Provinsi Aceh merupakan salah satu daerah yang paling sering menerima dan melakukan penanganan terhadap para pengungsi asing yang terdampar beberapa tahun terakhir, terutama dari etnis Rohingya dan Bangladesh. Tidak ada ketentuan hukum nasional

18 Ibid.,hal.38

(22)

22

terkait penanganan pengungsi asing dan pencari suaka menyulitkan pihak pemerintah Aceh dalam menangani pengungsi asing. Ditambah, segala hal yang bersifat dalam kebijakan politik luar negeri merupakan urusan pemerintah Indonesia, seperti termaktub dalam Undang-undang tentang pemerintah Aceh Nomor 11 tahun 2006. Sehingga dalam hal ini pemerintah Aceh seakan-akan terlihat seperti menentang peraturang perundang-undangan Indonesia. Meskipun pada faktanya, pemerintah Aceh tetap mengambl kebijakan untu menerima dan melakukan penanganan semaksimal mungkin bagi para pengungsi asing yang terdampar di wilayah perairan Aceh.

C. Kerjasama UNHCR dan Indonesia Terkait pengungsi Asing

Komisariat Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa Urusan Pengungsi (UNHCR) ialah suatu lembaga internasional yang diberi mandat untuk memberikan perlindungan internasional kepada para pengungsi dan mengusahakan penyelesaian jangka panjang atau solusi permanen bagi masalah mereka. UNHCR dalam menjalankan mandatnya, bekerjasama dengan pemerintah sesuai dengan perjanjian dan persetujuan dengan negara yang bersangkutan, selain mereka juga bekerjasama dengan

organisasi-organisasi lainnya. 19 Mandat UNHCR selain melakukan

perlindungan terhadap pengungsi dan pencari suaka dari pemulangan paksa dan melaksanakan proses penenuan status pengungsi, UNHCR juga

(23)

23

berupaya membantu pengungsi untuk mencari solusi jangka panjang untuk mereka. Solusi jangka panjang yang dimaksud adalah pemulangan kembali

secara sukarela, penempatan ke negara ke tiga, atau intergrasi lokal.20

Menurut Wagiman, UNHCR adalah lembaga internasional yang berkompeten dengan urusan pengungsi.

Sejak awal beroperasi pada tanggal 1 Januari 1951, UNHCR telah berperan aktif dalam penanganan pengungsi akibat peristiwa yang terjadi di berbagai negara, seperti Sri Lanka, Sudan, dan negara-negara lainnya. Pembentukan UNHCR dipusatkan oleh Majelis Umum PBB pada 3 Desember 1949 dan statusnya diterima oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 14 desember 1950. Sedangkan wewenang utama UNHCR telah dikukuhkan dalam Undang-undang yang terlampir pada Resolusi 428 (V) Sidang Umum pada tahun 1950. Pada tanggal 28 Juli 1951, Konvensi Pengungsi Tahun 1951 diadopsi, yang menjadi dasar kerangka hukum internasional perlindungan pengungsi. Melalui status tersebut, fungsi utama UNHCR ialah memberikan perlindungan internasional, dibawah supervisi PBB kepada para pengungsi yang berada dibawah statuta UNHCR, berdasarkan alasan kemanusiaan dan non-politis kepada pengungsi serta mencarikan solusi permanen bagi mereka, termasuk

repatriasi dan resettlement ke negara ketiga.21

UNHCR mendirikan kantor cabang perwakilan di Jakarta pada tahun 1979 dimana saat ini telah menjadi kantor regional yang mewakili

20

Ibid.,hlm.

(24)

24

wilayah kerja dari beberapa negara seperi Malaysia, Filipina, Indonesia, Singapura, dan Brunei Darussalam. Keberadaaan UNHCR di Indonesia disahkan melalui sebuah perjanjian antara pemerintah Indonesia dengan UNHCR pada tanggal 15 Juni 1979. Melalui kesepakatan tersebut,

UNHCR membangun kantornya di Jakarta dan menempatkan

perwakilannya di Medan, Tanjung Pinang, Surabaya, Makassar, Kupang,

dan Pontianak.22

Awalnya, kerjasama antara Indonesia dan UNHCR pertama kali terjalin ketika ribuan pengungsi indo cina berdatangan ke Indonesia. Saat itu, kantor regional UNHCR di Jakarta bekerjasama dengan pemerintah Indonesia dalam memproses para pencari suaka dan pemohon pengungsi di Indonesia. Hal ini dilakukan agar para pengungsi tidak dikembalikan ke negara asalnya dan dapat memperoleh perlindungan internasional. UNHCR membantu proses penyelesaian permasalahan pengungsi ketika pada tahun 1979, dimana pemerintah Indonesia memutuskan membuat penampungan bagi 170.000 pegungsi di pulau Galang, yang kemudia ditutup pada tahun 1996 setelah semua pengungsi berhasil repatriasi atau

ditempatkan ke negara ketiga. 23

Indonesia sampai saat ini belum meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol Tambahan 1967, sedangkan kasus kehadiran pengungsi asing terus meningkat dari tahun ke tahun di Indonesia. Sebagai negara pihak Non-pihak pada Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol Tahun

22

Ibid,.hal.62

(25)

25

1967, Indonesia tidak memiliki sistem nasional penetuan status pengungsi (refugee status determination/RSD). Untuk itu, UNHCR telah diberikan izin operasional oleh Pemerintah Indonesia guna menjalankan mandat perlindungan pengungsi dan mencari solusi penyelesaian permasalahan

pengugsi di Indonesia.24

Mandat perlindungan UNHCR dimulai ketika para pencari suaka dan pengungsi tidak dikembalikan ke negara asal oleh negara penerima. Dengan kata lain, UNHCR akan melakukan upaya untuk memastikan prinsip non-refoulment dipatuhi oleh semua negara, terlepas dari negara tersebut pihak maupun Non-pihak pada Konvensi 1951 dan Protokol 1967. Selanjutnya, beberapa hal ketentuan-ketentuan UNHCR dalam melakukan penanganan terhadap pengungsi maupun pencari suaka ialah dengan menjalankan prosedur status pengungsi (RSD), dimulai dengan cara verifikasi bagi pengungsi dan pencari suaka, melakukan pendataan untuk tujuan registrasi dan pengeluaran dokumen. Dalam hal ini, UNHCR akan melakukan wawancara individual dengan masing-masing pencari suaka yang mana akan didampingi oeh seorang penerjemah.

Dari serangkaian proses ini akan melahirkan suatu keputusan apakah permohonan atas status pengungsi dapat diberikan atau tidak. Namun, terdapat pemberian banding terhadap pengungsi jika permohonan ditolak. Sedangkan, bagi setiap individu yang mendapatkan status pengungsi dari UNHCR, akan mendapat perlindungan dari lembaga

24 Ibid.,

(26)

26

UNHCR. Dalam hal ini, lembaga ini juga akan bertanggung jawab untuk mencarikan suatu solusi yang bersifat permanen, seperti tindakan resettlement (penempatan negara ketiga), repatriasi sukarela (Voluntary repatriation), dan integrasi lokal. Dalam hal mencari tujuan tersebut, UNHCR akan menjalin hubungan yang erat dengan negara-negara yang memiliki potensi untuk menerima para pengungsi ini.

D. Kerjasama Indonesia dan IOM Terkait Pengungsi Asing

International Organization for Migration atau organisasi

internasional untuk migrasi (IOM) merupakan suatu organisasi antar-pemerintah yang terkemuka di bidang migrasi dan bekerjasama dengan mitra pemerintah, organisasi antar-pemerintah dan non-pemerintah. Pada

awalnya, organisasi ini dibentuk pada tahun 1951 sebagai Provisional

Intergovernmental Commitee for the Movement of the Migrants From Europe (PICMME) untuk membantu memukimkan kembali orang-orang

yang terusir pada perang dunia II. Mandat utama dari PICMME adalah

membantu negara-negara Eropa unutk mengatasi krisis migran, termasuk mencari negara ketiga yang bersedia menampung sekitar 11 juta penduduk yang meninggalkan negaranya akibat perang pada tahun 1950-an.

PICMME kemudian beberapa kali berganti nama menjadi the

Intergovernmental Committee for EuropeanMigration (ICEM) pada tahun

1952, dan the Intergovernmental Committee for Migrations (ICM) pada

(27)

27

Migration (IOM) pada tahun 1989. Pergantian nama ini merefleksikan adanya perubahan organisasi dalam kurun waktu empat dekade dari organisasi yang hanya mengurusi logistik menjadi badan yang mengurusi

migrasi.25

IOM bekerja untuk memajukan serta mempromosikan migrasi yang manusiawi dan teratur untuk kepentingan bersama, dengan cara meningkatkan pemahaman mengenai masalah-masalah migrasi, membantu dan melayani jasa dan nasihat bagi negara dan para migran, mendorong pembangunan sosial-ekonomi melalui migrasi, mempromosikan kerjasama internasional dalam isu migrasi serta membantu dan menemukan solusi praktis terhadap isu migrasi dan menyediakan bantuan kemanusiaan bagi kelompok yang membutuhkan termasuk bagi pengungsi asing maupun internal.26

IOM memiliki 149 negara anggota dengan 12 negara yang berstatus sebagai negara pengamat. Pada tahun 1991 pemerintah Indonesia resmi mendapatkan status sebagai salah satu negara pengamat dalam keanggotaan lembaga. Sebenarnya IOM pertama kali hadir di Indonesia pada tahun 1979, disaat IOM menjalankan operasinya dalam memproses migran Vietnam di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau. Saat itu, IOM bekerjasama dengan pihak berwenang dari Indonesia dan Australia guna

25

Ibid., hal.63-64

26

IOM, “IOM seluruh dunia”, https://indonesia.iom.int/id/iom-seluruh-dunia, pada tanggal 15 Desember 2016

(28)

28

mendukung upaya mereka untuk mengatur lalu lintas migran gelap melalui Indonesia.27

Semenjak indonesia resmi menjadi negara pengamat di IOM, hubungan kerjasama pemerintah Indonesia dengan organisasi migrasi ini semakin ditingkatkan. Beberapa kerjasama dan perjalanan yang dilakukan antara IOM dan pemerintah Indonesia ialah:

- Pada tahun 2000, pemerintah Indonesia dan IOM

menandatangani perjanjian kerjasama dalam memerangi penyeludupan manusia di Indonesia.

- Tahun 2002, bersama-sama dengan pemerintah Australia,

pemerintah Indonesia dan IOM menyelenggarakan Bali Process tentang isu penyeludupan manusia, perdagangan manusia, dan kejahatan transnasional.

- Tahun 2003, Konvensi PBB menentang kejahatan transnasional

yang terorganisir (UNTOC) mulai berlaku.

- Tahun 2009, pemerintah Indonesia mendukung UNTOC dan

protokol yang ada kedalam hukum nasional, dengan UU No.6 /2009 dan UU 15/2009

- Tahun 2011, pemerintah Indonesia mengesahkan UU migrasi

baru ( Uuno6 tahun 2011)

27

Vera puspita Ningsih, Upaya International Organization for Migration (IOM) dalam menangani masalah imigran gelap di Indonesia, ejournal ilmu hubungan internasional,Vol.3, No. 2, 2014, hlm.483.

(29)

29

Terdapat beberapa program/aktivitas yang dilakukan IOM di Indonesia yaitu:

- manajemen imigrasi dan perbatasan : IOMkerap diminta oleh

negara untuk membantu menangani tantangan-tantangan yang kompleks dalam manajemen perbatasan. Beberapa program penanganan imigrasi dan manajemen perbatasan IOM yaitu pengkajian manajemen migrasi dan perbatasan, pengembangan kapasitas manajemen perbatasan dan migrasi, manajemen perbatasan, manajemen identitas, pemberantasan penyeludupan manusiia, manajemen data migrasi, analisa risiko dan intelijen, serta bantuan migrasi dan visa.

- Manajemen risiko bencana : dalam sepuluh tahun terakhir, IOM

telah berkomitmen untuk medukung upaya pemerintah indonesia dalam mengatasi dampak bencana. Bermitra dengan pemerintah, IOM mengirimkan bantuan tanggap darurat skala besar untuk bencana alam di Aceh (2004), Nias (2005), Yogyakarta (2006), dan lain sebagainya.

- Tanggapan keadaan darurat dan pasca krisis : IOM juga telah

menjadi ujung tombak dalam berbagai kegiatan operasional tanggap darurat, dengan membantu ratusan orang yang terlantar oleh bencana alam atau konflik, seperti memberikan bnatuan kemanusiaan berupa makanan dan barang, membangun pemukiman sementara dan fasilitas sanitasi, membangun

(30)

30

kembali layanan pendidikan dan kesehatan, dan lain sebagainya.

- Migrasi tenaga kerja : IOM bekerjasama dengan pemerintah

Indonesia dalam memperbaiki manajemen migrasi tenaga kerja melalui penelitian, dialog kebijakan, pengembangan kapasitas dan peningkatan kesadaran tentang migrasi yang aman. Sehingga kegiatan-kegiatan ini diharapkan dapat membantu orang-orang yang berencana bekerja di luat negeri.

- Pemberantasan perdagangan manusia : beberapa program yang

dijalankan oleh IOM untuk memberantas perdagangan manusia

seperti penguatan sistem peradilan Indonesia dengan

meningkatkan kapasitas penegak hukum serta memperbaiki akses keadilan bagi para korban perdagangan manusia, perlindungan korban perdagangan melalui bantuan langsung pada korban serta pengembangan kapasitas institusional dari aktor pemerintah dan non-pemerintah. Berikut beberapa program bantuan bagi korban oleh IOM yaitu menyediakan bantuan pemulangan, pemulihan dan reintegrasi bagi korban dari Indonesia dan asing melalui program dana bantuan korban. Bantuan reintegrasi termasuk program perawatan kesehatan fisik dan mental, tempat penampungan sementara, konseling keluarga, bantuan pendidikan, bantuan penghidupan, dan bantuan hukum.

(31)

31

E. Kebijakan Pemerintah Indonesia Terhadap Pengungsi Asing di Aceh Pada tahun 2015, sekitar 1.807 jiwa pengungsi dari etnis Rohingya dan Bangladesh ditemukan terombang-ambing di wilayah perairan Aceh. Mereka diselamatkan oleh nelayan setempat. Seperti yang kita ketahui, para etnis Rohingya melarikan diri dari penindasan dan kekerasan di Myanmar, sedangkan para warga dari Bangladesh melarikan diri karena kemiskinan. Para pengungsi ini ditemukan dalam kondisi kelaparan dan lemas. Penanganan langsung dilakukan oleh pihak pemerintah Aceh, baik dalam pemberian bantuan makanan serta penampungan sementara. Bantuan juga mengalir dari pihak masyarakat setempat.

Dalam permasalahan ini, pemerintah Indonesia mengambil kebijakan untuk tidak menerima pengungsi yang terombang-ambing di wilayah perairan Aceh. Hal ini disampaikan oleh panglima TNI Jenderal Moeldoko, bahwa pemerintah Indonesia tidak akan membiarkan pengungsi Rohingya dan Bangladesh masuk ke wilayah Indonesia. Menurut dia, bantuan kemanusiaan tetap akan diberikan kepada pengungsi asing tersebut, namun tetap melarang mereka masuk apalagi menepi di daratan Indonesia. Beliau menambahkan jika pengungsi tersebut melewati selat Malaka dan mengalami kesulitan, TNI wajib membantu, tetapi mereka tidak diijinkan masuk ke wilayah Indonesia. Moeldoko menuturkan bantuan akan diberikan di tengah laut, sehingga kapal-kapal yang ditumpangi oleh pengungsi asing ini tidak perlu memasuki wilayah teritori negara Indonesia. Patroli yang dilakukan oleh TNI Angkatan Laut

(32)

32

dan Angkatan Udara juga akan dikerahkan untuk menjaga wilayah laut Indonesia tetap steril. Langkah ini diambil lantaran keberadaan para

pengungsi ilegal ini justru menimbulkan persoalan sosial.28 Dimana

Pemerintah Indonesia melarang para pengungsi ini masuk dikarenakan masih terdapat banyak persoalan sosial masyarakat indonesia yang belum

terselesaikan.29

Lalu, para nelayan yang beroperasi di wilayah Aceh juga dilarang menjemput dan membawa etnis Rohingya dan Bangladesh yang terjebak di wilayah laut Indonesia, hal ini disampaikan oleh juru bicara TNI Fuad Basya. Beliau mengatakan, orang asing yang memasuki wilayah dataran Indonesia harus menggunakan dokumen resmi. Dimana TNI memiliki

kewajiban untuk menjaga kedaulatan wilayah Indonesia termasuk di laut.30

Dengan adanya peningkatan jumlah arus pengungsi asing yang terdampar di wilayah Aceh. Hal ini terlihat dari jumlah total arus gelombang pengungsi yang terdampar dari tanggal 15 sampai dengan 19 Mei 2015. Dimana, peristiwa ini juga telah mencuri perhatian dunia. Dalam hal ini, pemerintah Aceh terus memberikan penanganan, meskipun pemerintah Indonesia belum memberikan respon untuk membantu para

28

Sabrina Asril, “ panglima TNI tolak kapal pengungsi Rohingya masuk RI, tapi bersedia beri bantuan”,

http://nasional.kompas.com/read/2015/05/15/20213301/Panglima.TNI.Tolak.Kapal.Pengungsi.R ohingya.Masuk.RI.tapi.Bersedia.Beri.Bantuan%20, pada tanggal 15 Desember 2016

29

Anonym, ” Indonesia, Malaysia, Thailand, dan PBB bahas pengungsi Rohingya”,

http://www.dw.com/id/indonesia-malaysia-thailand-dan-pbb-bahas-pengungsi-rohingya/a-18456105, pada tanggal 15 Desember 2016

30

Anonym,”TNI melarang nelayan Aceh membawa pengungsi Rohingya ke wilayah RI”,

http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/05/150518_tni_larang_nelayan_rohingy a, pada tanggal 15 Desember 2016

(33)

33

pengungsi asing ini. Beberapa upaya dorongan yang dilakukan pemerintah Aceh agar pemerintah pusat mau melakukan penanganan terhadap para pengungsi asing ini, yaitu seperti melakukan koodinasi dengan pemerintah pusat, meminta segera melakukan proses penanganan terhadap pengungsi, meminta dana untuk penanganan pengungsi asing, dan lain-lain.

Setelah sebelumnya sempat ditolak kehadirannya di Indonesia, akhirnya melalui Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Retno Marsudi menyetujui pihaknya untuk menerima para imigran yang berada di wilayah perairan Indonesia. Kebijakan tersebut tercapai setelah diadakan pertemuan dari perwakilan tiap-tiap negara bersama dengan dua negara

lain seperti Malaysia dan Thailand.31 Pada tanggal 20 Mei 2015, Indonesia

dan Malaysia menyatakan siap menampung para pengungsi yang terapung-apung di laut. Indonesia dan Malaysia berjanji akan mengupayakan bantuan pemukiman dan melakukan repatriasi dalam kurun waktu setahun kepada sekitar 7.000 pengungsi Rohingya dan Bangladesh

yang melarikan diri dari negara mereka dengan bantuan intermasional.32

Dalam hal ini, pemerintah Indonesia menerima kedatangan para imigran Bangladesh dan Rohingya karena pertimbangan kemanusiaan. Namun, bukan berarti mengundang para imigran tersebut. Dalam hal penanganan atas kedatangan para pengungsi ini, pemerintah Indonesia

31

Ringgo febriar, identitas kebijakan luar Negeri :bantuan kemanusiaan Turki terhadap etnis Rohingya pasca konflik komunal Myanmar Tahun 2012-2015, journal of international relations, Vol.2, No.2,2016,hlm.63.

32

Amanda Puspita Sari & Noor Aspasia Hasibuan, “ RI dan Malaysia sepakat repatriasi imigran dalam satu tahun”, http://www.cnnindonesia.com/internasional/20150520142243-106-54503/ri-dan-malaysia-sepakat-repatriasi-imigran-dalam-satu-tahun/, pada tanggal 15 Desember 2016

(34)

34

telah melakukan koordinasi dengan UNHCR dan IOM, yaitu melakukan verifikasi data bagi para pengungsi asing ini. Atas dasar pendataan tersebut,telah diputuskan bahwa para imigran Bangladesh termasuk kedalam imigran ekonomi,sehingga kebijakan dari pemerintah Indonesia

ialah akan memulangkan para imigran ekonomi ini.33 Sedangkan, imigran

dari etnis Rohingya ini akan ditempatkan dalam batas waktu setahun di Indonesia.34

33

Rohmatin Bonasir, “ pendatang asal Bangladesh dipulangkan dalam satu bulan”,

http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/05/150526_indonesia_pengungsi, pada tanggal 15 Desember 2016

34

Feri Fernandes, ” Menko Tedjo : Ri terima imigran karena kemanusiaan, tapi bukan

mengundang”, http://news.detik.com/berita/2935629/menko-tedjo-ri-terima-imigran-karena-kemanusiaan-tapi-bukan-mengundang, pada tanggal 15 Desember 2016

(35)

Referensi

Dokumen terkait

Perihal masuknya seni ukir zaman kuno ke Jepara terdapat dalam Risalah dan Kumpulan Data Tentang Perkembangan Seni Ukir Jepara (yang diterbitkan oleh Pemerintah

mengenai tingkah laku makan kambing muara (Capra aegagrus hircus) untuk. merancang manajemen pemeliharaan sesuai dengan kebutuhan

Motivasi merupakan dorongan yang timbul dari dalam diri seseorang untuk melakukan perbuatan tertentu, Seseorang kader yang tahu tentang pengertian, tujuan dan

12. Lembar soal boleh dicorat-coret, sedangkan Lembar Jawaban tidak boleh dicorat-coret. Petunjuk khusus tiap jenis soal ada pada bagian awal setiap jenis soal. SELAMAT MENGERJAKAN

Lajirunsauden ja pinta-alan sekä eristyneisyyden välisen yhteyden puuttuminen saattaa selit- tyä myös sillä, että vaikka nämä tekijät rajoittaisivatkin lajirunsautta,

Di era Globalisasi ini, jarak pandang semakin luas. Membuat dunia menjadi sempit untuk dijelajahi dengan berbagai macam akses yang mumpuni. Disinilah kemajuan

Prosedur ini jika dibandingkan dengan hasil penelitian yang didapatkan maka dapat dikatakan bahwa proses penggunaan barang milik daerah yang dilakukan Badan Pengelola Keuangan

[r]