• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penerapan Metode Phase Congruency Image (PCI) dalam Pengenalan Citra Wajah secara Otomatis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Penerapan Metode Phase Congruency Image (PCI) dalam Pengenalan Citra Wajah secara Otomatis"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

1

Penerapan Metode Phase Congruency Image (PCI)

dalam Pengenalan Citra Wajah secara Otomatis

Puspita Ayu Ningsih Putri. SY, Wirawan, Hendra Kusuma Jurusan Teknik Elektro – FTI, Institut Teknologi Sepuluh Nopember

Kampus ITS, Keputih-Sukolilo, Surabaya-60111

Abstrak ̶̶ Pengukuran dan analisis statistik data biologis (biometrik) berkembang dengan pesat. Hal ini dikarenakan sebuah ciri biologi dapat memberikan informasi yang unik berkaitan dengan identifikasi masing-masing individu yang biasanya dikenal dengan sistem pengenalan wajah. Salah satu faktor penting untuk keberhasilan sistem pengenalan wajah adalah adanya citra wajah yang efektif, dimana citra wajah ini sangat bergantung pada teknik ekstraksi yang tidak terpengaruh oleh perubahan variasi posisi wajah, iluminasi, maupun ekspresi.

Pada tugas akhir ini dilakukan pengenalan citra wajah dengan menggunakan fitur Gabor phase congruency sebagai pengekstraksi citra wajah, dimana Gabor phase ini akan merepresentasikan citra wajah yang tidak terpengaruh iluminasi dan kontras karena tidak tergantung besar tanggapan filter (magnitude response). Ekstraksi fitur tersebut diproyeksi dengan algoritma Subspace Linear Discriminant Analysis (LDA) dan kemudian dibandingkan dengan menggunakan algoritma Principal Component Analysis (PCA) untuk mendapatkan tingkat akurasi pengenalannya.

Hasil pengujian sistem menunjukkan bahwa penggunaan algoritma Subspace LDA memberikan tingkat akurasi sebesar 62,2%. Sedangkan dengan PCA dapat memberikan peningkatan akurasi pengenalan hingga 100%.

Kata kunci: pengenalan wajah, principal component analysis,

subspace LDA, gabor phase congruency, filter gabor.

I. PENDAHULUAN

ENGENALAN citra wajah berhubungan dengan obyek yang tidak pernah sama, karena adanya bagian-bagian yang dapat berubah. Perubahan ini dapat disebabkan oleh ekspresi wajah, intensitas cahaya dan sudut pengambilan gambar, atau perubahan asesoris pada wajah. Dalam kaitan ini, pencahayaan merupakan salah satu yang paling berpengaruh terhadap pengenalan wajah. Perubahan-perubahan iluminasi yang disebabkan oleh sumber cahaya pada posisi-posisi tertentu maupun karena intensitas yang berbeda akan memberikan perbedaan yang cukup berarti, seperti pada Gambar 1.

Algoritma pengenalan wajah dapat dibedakan menjadi 2 bagian yaitu berdasarkan pendekatan fitur (feature-based) dan pendekatan penampilan (appearance-based)[1]. Metoda-metoda reduksi fitur berusaha untuk mengurangi dimensi-dimensi fitur yang digunakan pada tahap klasifikasi.

Gambar 1. Citra wajah yang sama dengan pencahayaan yang berbeda Pada tugas akhir ini digunakan pendekatan fitur berdasarkan gabor phase congruency yang membedakan skala dan memberikan orientasi yang bertindak sebagai skala pada masing-masing versi. Filter gabor dikenal sebagai detektor ciri yang sukses karena memiliki kemampuan menghilangkan variabilitas yang disebabkan oleh iluminasi kontras dan sedikit pergeseran serta deformasi citra, output filter Gabor pada skala spasial dan lokasi spasial telah digunakan dengan sukses untuk pengenalan wajah[2]. Ada dua metoda yang digunakan dalam tugas akhir ini untuk mereduksi dimensi fitur yaitu, Principal

Component Analysis (PCA) dan Linear Discriminant Analysis

(LDA).

II. TEORI PENUNJANG

A. Pemodelan Citra Wajah dengan Gabor Phase

Gabor magnitude mempunyai tanggapan yang perlahan terhadap perubahan posisi spasial. Hal ini berbeda dengan Gabor phase yang akan mempunyai harga yang sangat berbeda meskipun berasal dari titik sampel yang berdekatan pada citra wajah. Ketidakstabilan dari Gabor phase ini akan membuat kesulitan dalam mengekstraksi fitur diskriminan yang stabil yang berasal dari Gabor phase sehingga beberapa metoda yang ada hanya mengandalkan fitur dari Gabor

magnitude untuk membentuk vektor fitur Gabor.

Model awal dari phase congruency bertujuan mencari titik-titik pada suatu citra dimana tanggapan filter log-Gabor pada beberapa skala dan orientasi adalah maksimum dalam tanggapan fasanya[3]. Sehingga suatu titik pada citra adalah penting jika hanya phase response dari filter log-Gabor pada jangkauan frekuensi menunjukkan suatu urutan. Pada model awal, phase response dari filter log-Gabor pada jangkauan frekuensi menunjukkan suatu urutan. Pada model awal, phase

congruency akan dihitung untuk setiap orientasi filter dan

kemudian hasil-hasilnya dikombinasikan untuk membentuk

Phase Congruency Image (PCI). Model PCI memang cocok

untuk deteksi tepi dan sudut yang robust terhadap perubahan iluminasi dan kontras dari citra, namun tidak tepat digunakan sebagai fitur wajah.

(2)

2 Untuk memperbaiki model Gabor phase congruency dikembangkan Oriented Gabor Phase Congruency Pattern (OGPCP)[4], dimana OGPCP dihitung untuk setiap orientasi filter yang kemudian dijadikan vektor fitur Gabor phase

congruency. Phase congruency dengan mempertimbangkan

orientasi diperoleh dari persamaan (1) :

𝑂𝐺𝑃𝐶𝑃 𝑥, 𝑦 = 𝐴𝑢,𝑣 𝑥, 𝑦 ∆𝛷𝑢,𝑣(𝑥, 𝑦) 𝑝−1 𝑢 =0 𝐴𝑢,𝑣 𝑥, 𝑦 + 𝜀 𝑝−1 𝑢 =0 (1) dimana 𝑣 merupakan orientasi filter ke 𝑣 dan 𝜀 merupakan konstanta berharga kecil untuk menghindari pembagian nol. ∆𝛷𝑢,𝑣 𝑥, 𝑦 merupakan ukuran penyimpangan fasa yang dihitung oleh persamaan (2).

∆∅𝑢,𝑣 𝑥, 𝑦 = cos ∅𝑢,𝑣 𝑥, 𝑦 − ∅𝑣 𝑥, 𝑦 − sin⁡(∅𝑢,𝑣 𝑥, 𝑦 − ∅𝑣(𝑥, 𝑦))

(2) OGPCP akan mempresentasikan citra wajah yang tidak dipengaruhi iluminasi dan kontras karena tidak tergantung pada besar tanggapan filter (magnitude response). Properti ini membuat OGPCP menjadi sangat berguna untuk merepresentasikan citra wajah pada pengenalan wajah.

Berikut ini adalah prosedur pembentukan vektor fitur OGPCP yang berasal dari suatu citra wajah[11].

a. Untuk suatu citra wajah , hitung OGPCP untuk semua orientasi r dan sejumlah pilihan skala filter p.

b. Lakukan proses downsampling pada OGPCP dengan faktor ρ.

c. Lakukan proses normalisasi OGPCP yang telah

di-downsampling.

d. Bentuk vektor kolom untuk setiap OGPCP.

e. Bentuk vektor fitur Gabor Phase Congruency, x dengan menyusun vektor-vektor kolom OGPCP yang sudah ternormalisasi.

Vektor fitur Gabor Phase Congruency menjadi seperti persamaan (3).

𝑥 = 𝐷0𝑇, 𝐷

1𝑇, 𝐷2𝑇, … , 𝐷𝑟−1𝑇 𝑇 (3) dimana T menunjukkan operator transpose dan 𝐷𝑣, untuk v =

0,1,...,r-1 merupakan vektor yang dihasilkan dari OGPCP pada

orientasi ke v.

Gambar 2. Contoh citra OGPCP, (a) untuk θv = 0o dan p=2, (b) untuk θv = 0o

dan p=3, (c) untuk θv = 0o dan (d) p=4, untuk θv = 0o dan p=5 [5]

Gambar 3. Contoh OGCPC untuk semua orientasi sebanyak 8 (r = 8) yang menjadi dasar pembentukan vektor fitur Gabor Phase Congruency[5]

B. Algoritma Principal Components Analysis (PCA) Principal Components Analysis (PCA) merupakan suatu algoritma yang digunakan untuk mencari pola dalam dimensi data yang tinggi pada bidang pengenalan wajah maupun dalam kompresi gambar dengan cara mengurangi jumlah dimensi tanpa kehilangan banyak informasi [6].

Sebuah image 2D dengan dimensi b baris dan k kolom dapat direpresentasikan ke dalam bentuk image 1D dengan dimensi n (n=b*k). Dengan ekspresi lain dapat dituliskan sebagai Rn, adalah ruang image dengan dimensi n. Image

training yang digunakan sebanyak K sampel dinyatakan

dengan {x1,x2,...,xk} yang diambil sebanyak c obyek yang

dinyatakan dengan {X1,X2,...,Xc}. Total matriks scatter ST

(matriks kovarians) didefinisikan sebagai berikut:

𝑆𝑇= (𝑥𝑘− 𝜇) 𝐾

𝑘 =1

(𝑥𝑘− 𝜇)𝑇 (4)

dimana µ adalah rata-rata sampel image yang diperoleh dengan merata-rata training image {x1,x2,...,xk}. Dengan

dekomposisi eigen, matriks kovarians ini dapat didekomposisi menjadi:

𝑆𝑇= 𝛷𝛬𝛷𝑇 (5)

dimana 𝛷 adalah matriks eigenvektor, dan 𝛬 adalah sebuah matriks diagonal dari nilai eigen. Kemudian dipilih sejumlah

m kolom eigenvektor dari matriks 𝛷 yang berasosiasi dengan sejumlah m nilai eigen terbesar. Pemilihan eigenvektor ini menghasilkan matriks transformasi atau matriks proyeksi 𝛷𝑚, yang mana terdiri dari m kolom eigenvektor terpilih yang biasa disebut juga dengan „eigenimage‟. Berikutnya, sebuah

image x (berdimensi n) dapat diekstraksi ke dalam fitur baru y

(berdimensi m < n) dengan memproyeksikan x searah dengan 𝛷𝑚, sebagai berikut:

𝑦 = 𝛷𝑚𝑥 (6)

Total matriks scatter ST pada persamaan (2.4) adalah

jumlahan dari matriks scatter dalam kelas SW dan matriks

scatter antar kelas SB yaitu:

𝑆𝑇 = 𝑆𝑊+ 𝑆𝐵 (7) C.Subpsace Linear Discriminant Analysis (LDA)

Linear Discriminant Analysis (LDA) bekerja berdasarkan analisa matriks penyebaran (scatter matrix analysis) yang bertujuan menemukan suatu proyeksi optimal yang dapat memaksimumkan penyebaran dalam kelas data wajah. Algoritma LDA memiliki karakteristik perhitungan matriks yang hampir sama dengan PCA. Pada LDA, diusahakan adanya perbedaan yang minimum dari citra dalam kelas.

Sedangkan Subspace LDA merupakan suatu metode yang menggabungkan PCA dengan LDA. Metode ini terdiri dari 2 tahap, yaitu citra wajah diproyeksikan ke ruang eigenface yang telah dibentuk oleh PCA dan kemudian vektor-vektor

(3)

3 yang telah terproyeksi diproyeksikan kembali menuju ruang klasifikasi LDA untuk membentuk suatu classifier linear.

Perbedaan antar kelas direpresentasikan oleh matriks SB

(scatter between class) dan perbedaan dalam kelas direpresentasikan oleh matriks Sw (scatter within class).

Matriks kovarians didapatkan dari kedua matriks tersebut. Untuk memaksimalkan jarak antar kelas dan meminimumkan jarak dalam kelas digunakan suatu discriminant power.

𝐽 𝑊 = 𝑊 𝑇. 𝑆 𝐵. 𝑊 𝑊𝑇. 𝑆 w. 𝑊 (8)

Menghitung Scatter Within Class (Sw)

Sw disebut matriks scatter within class atau penyebaran data

dalam satu kelas yang sama. Untuk c individu yang memiliki citra training sebanyak 𝑞𝑖 pada database maka within class

scatter matrix dihitung dengan persamaan (9).

𝑆𝑊= 𝑃(𝐶𝑖) 𝑐

𝑖=1

𝑖 (9)

dimana mewakili average scatter Σi dari proyeksi Ω pada ruang eigenface dari Ci individu yang berbeda dengan mean 𝜇𝑖. Ukuran dari Sw tergantung pada ukuran ruang eigenface, yaitu jika digunakan M‟ eigenface maka ukuran dari Sw adalah (M′ x M′). Mean dari kelas pada ruang eigenspace (Eigenface Class Mean) yang merupakan rata-rata dari eigenvektor citra training yang terproyeksi pada ruang

eigenspace didefinisikan dengan persamaan (10).

𝜇𝑖 = 1 𝑞𝑖 Ω𝑖 𝑞𝑖 𝑘=1 (10)

dimana i = 1, 2, 3, ... , c dan ukuran dari Eigenface Class

Mean adalah (M‟ x 1).

Sedangkan mean face dihitung dari rata-rata aritmatika dari semua vektor-vektor citra training yang terproyeksi.

𝜇𝑜 =1 𝑃 Ω𝑘

𝑃

𝑘=1

(11)

Rata-rata penyebaran (average scatter) dihitung sebagai berikut:

𝑖 = 𝐸 Ω − 𝜇𝑖 . (Ω − 𝜇𝑖)𝑇 (12) Menghitung Scatter Between Class (SB)

SB disebut matriks scatter between class atau penyebaran

data antar kelas yang berbeda. Bila pada PCA dicari rata-rata seluruh citra saja, maka pada LDA harus dicari lebih dulu rata-rata citra yang terdapat dalam suatu kelas. Misalnya ada citra dari c kelas dan setiap kelas masing-masing memiliki 𝑞𝑖 citra, maka dapat dihitung scatter between class dengan persamaan (13).

𝑆𝐵= 𝑃(𝐶𝑖) 𝜇𝑖− 𝜇𝑜 𝜇𝑖− 𝜇𝑜 𝑇 𝑐

𝑖=1

(13)

dimana 𝑃𝑟(𝐶𝑖) adalah prior class probability yaitu: 𝑃 𝐶𝑖 =1

𝑐 (14)

Dengan asumsi bahwa setiap kelas mempunyai prior

probability yang sama.

Mencari Matriks Kovarians LDA

Tujuan dari metode subspace LDA adalah memaksimumkan 𝐽 𝑊 , yaitu menentukan proyeksi optimal 𝑊𝑜𝑝𝑡 yang akan memaksimumkan between class scatter dan meminimumkan within class scatter.

𝑊𝑜𝑝𝑡 = 𝑎𝑟𝑔 max

𝑊 𝐽 𝑊 (15)

W kemudian dapat diperoleh dengan menyelesaikan

permasalahan umum eigenvalue.

𝑆𝐵𝑊 = 𝑆𝑤𝑊λw (16) Langkah berikutnya adalah memproyeksikan vektor-vektor citra training yang sudah terproyeksi pada eigenface ke ruang klasifikasi dengan cara melakukan dot product antara proyeksi optimal 𝑊 dan vektor bobot.

𝐺 𝛺𝑖 = 𝑊𝑡. 𝛺𝑖 (17) Citra training terproyeksi pada eigenface ke ruang klasifikasi yang berukuran ((c-1) x 1) dimana i = 1, 2, …., Mt. Pada saat ini tahap training telah berakhir.

III. PERANCANGAN SISTEM

Percobaan ini menggunakan database wajah Yale-B sebanyak 10 citra wajah dengan kondisi pencahayaan sebanyak 12 tiap citra wajah yang berbeda. Citra dibagi menjadi 5 subset, tiap subset mengandung 120 citra wajah.

Gambar 4 menunjukkan perbandingan pengenalan wajah menggunakan metode Phase Congruency Image (PCI) yang diproyeksikan dengan algoritma Subspace LDA dan algorima PCA.

(4)

4 Gambar 5. Blok diagram sistem keseluruhan pengenalan wajah menggunakan

metoda Gabor Phase Congruency

Pada tugas akhir ini pengujian sistem dibuat menjadi tiga metode pengenalan wajah seperti ditunjukkan Gambar 5. Pada metode pertama ini, sistem dimulai dari preprocesssing yaitu

cropping dan (resize) menyamakan ukuran citra training dan test yang akan digunakan, lalu citra dikonvolusi dengan filter

Gabor phase sehingga didapatkan fitur hasil ekstraksi. Dan kemudian fitur tersebut direduksi dengan algoritma subspace

Linear Discriminant Analysis (LDA) dan algoritma Principal Component Analysis (PCA).

Pada Gambar 5 merupakan blok diagram sistem secara keseluruhan. Ekstraksi fitur merupakan suatu proses untuk mendapatkan ciri-ciri pembeda yang membedakan suatu citra wajah dari citra wajah yang lain. Proses ekstraksi dilakukan dengan mengkonvolusi suatu citra wajah dengan filter Gabor

phase congruency agar diperoleh fitur dari citra tersebut. Citra

yang telah diresize menjadi 128 x 128 dikonvolusi dengan Gabor phase congruency dan orientasi θv yang digunakan

sebanyak 6 pada skala 2, seperti pada Gambar 7.

Gambar 6. Flowchart mencari vektor fitur OGPCP

Untuk mendapatkan vektor fitur citra hasil OGPCP tersebut, dihitung OGPCP nya untuk semua orientasi r dan sejumlah pilihan skala filter p. Pada percobaan ini digunakan 6 orientasi dan skala 2. Selanjutnya, dilakukan proses downsampling dengan faktor ρ dan OGPCP tersebut dinormalisasi. Bentuk

vektor kolom untuk setiap OGPCP dan vektor fitur Gabor

Phase Congruency dengan cara menyusun vektor-vektor

kolom OGPCP yang telah ternormalisasi.

Kemudian citra hasil OGPCP tersebut dihitung OGPCP nya untuk semua orientasi r dan sejumlah pilihan skala filter p. Pada percobaan ini digunakan 6 orientasi dan skala 2. Selanjutnya, dilakukan proses downsampling dengan faktor ρ dan OGPCP tersebut dinormalisasi. Bentuk vektor kolom untuk setiap OGPCP dan vektor fitur Gabor Phase

Congruency dengan cara menyusun vektor-vektor kolom

OGPCP yang telah ternormalisasi.

Gambar 7. Citra hasil OGPCP dengan tingkat iluminasi yang berbeda menggunakan skala 2 dan 6 orientasi

Proyeksi PCA

Memproyeksikan citra ke dalam ruang eigen-nya dengan cara mencari matriks eigenvector dan matriks eigenvalue yang dimiliki setiap citra dan memproyeksikan kedalam ruang

eigen. Besarnya dimensi ruang eigen tergantung dari jumlah

citra yang ada dalam database training.

Gambar 8. Flowchart training PCA

Preprocessing (cropping + resize) Ekstraksi fitur (Filter Gabor Phase) Algoritma Subcpace LDA Algoritma PCA Vektor fitur Citra training Citra tes

(5)

5 Kemudian mencari rata-rata mean dari citra-citra training. Dan didapatkan matriks rata-rata total PCA dengan dimensi (Nx1).

  120 1 120 1 i i T T (18)

Setelah mendapatkan mean dari setiap citra training, kemudian mencari zero mean yang merupakan pengurangan citra training dan mean.

Vektor zero mean ini memiliki matriks berukuran (N x P) piksel. Setelah mendapat vektor zero mean, tiap vektor yang diperoleh dimasukkan ke dalam suatu matriks 𝐴, dimana matriks 𝐴 ini pada tiap kolomnya berisi semua vektor citra

training yang sudah dikurangi dengan mean. Matriks 𝐴 ini

disebut dengan Difference Matrix.

𝐴 = Φ1,1 Φ1,2 … … Φ1,75 Φ2,1 ⋮ ⋮ Φ2,2 … … ⋮ ⋮ ⋮ ⋮ ⋮ ⋮ Φ2,75 ⋮ ⋮ Φ10240 ,1 Φ10240 ,2 … … Φ10240 ,75 (19)

Matriks kovarians merupakan perkalian matriks A dengan

transposenya sehingga akan dihasilkan matriks dengan ukuran

(PxP). 𝐶 = 1 120 Φ𝑖Φ𝑖 𝑇 120 𝑖=1 (20)

Selanjutnya dilakukan dekomposisi eigen sehingga maka diperoleh matriks eigenvalue 𝜆 dan eigenvector 𝑉 yang masing-masing berdimensi (PxP) dimana P merupakan jumlah dari citra training.

Proyeksi Subspace LDA Perhitungan Sw

Matriks scatter dalam kelas Sw, dihitung sesuai persamaan (9), dimana mewakili average scatter Σi dari proyeksi Ω pada ruang eigenface dari 𝐶𝑖 individu yang berbeda dengan mean 𝜇𝑖. Ukuran dari Sw tergantung pada ukuran ruang eigenface,

yaitu jika digunakan M‟ eigenface maka ukuran dari Sw adalah (M′ x M′).

Perhitungan SB

Matriks scatter antar kelas 𝑆𝐵 dihitung sesuai persamaan (13), dengan 2 informasi matriks scatter ini maka dihitung matriks kovarians kemudian dicari eigenvalue dan eigenvector dari matriks C tersebut. Selanjutnya eigenvector ini digunakan untuk transformasi fitur PCA ke dalam bentuk fitur LDA.

Gambar 9. Flowchart training Subspace LDA

Mencari Matriks Kovarians

Matriks kovarians LDA didapatkan dari operasi antara 𝑆𝑊 dan 𝑆𝐵.

𝑆𝐵𝑊 = 𝑆𝑤𝑊λw (21) 𝐶 = 𝑆𝐵× 𝑆𝑤−1 (22) Dari proses tersebut menghasilkan fitur LDA atau biasa disebut dengan fisherface. Pada pemrosesan untuk mendapatkan hasil yang maksimal dilakukan pengurangan jumlah fisherface sebanyak 𝑐 − 1 dimana c merupakan jumlah kelas. Setelah mendapatkan fisherface selanjutnya mengurutkan fisherface dari nilai yang terbesar, seperti pada

eigenface.

IV. PENGUJIAN DAN ANALISA

Normalisasi intensitas piksel merupakan bagian yang menentukan keseragaman nilai piksel serta membuat dimensi piksel citra menjadi lebih kecil. Pada tugas akhir ini proses

cropping dilakukan terpisah dengan program, hal ini

dilakukan agar hasil cropping sesuai dengan yang diinginkan. Normalisasi ukuran citra yaitu 168 x 192. Hasil yang diperoleh dari normalisasi ukuran citra adalah seluruh citra yang digunakan sebagai citra training maupun citra tes dapat dinormalisasi dengan baik.

Kemudian saat dilakukan pengujian citra yang berikutnya, citra wajah dengan ukuran 168 x 192 tersebut di resize menjadi 128 x 128 dan hasil yang diperoleh adalah semua citra dapat diresize dengan baik. Kemudian dilakukan training terhadap semua citra wajah tersebut.

Pengujian pertama, dilakukan dengan cara mereduksi fitur vektor Gabor dengan algoritma PCA. Citra tes yang diuji berjumlah 10 orang dan masing-masing memiliki 12 foto dengan tingkat pencahayaan yang berbeda-beda. Subset 1 dijadikan sebagai citra training dan untuk citra tes nya adalah

(6)

6 citra yang terdapat pada subset 2 , subset 3, subset 4 dan subset 5. Pengujian dilakukan dengan mengambil nilai

eigenface 50%, 60%, 70% dan 80% dengan tujuan untuk

mengetahui tingkat perbedaan pengenalan.

Pengujian kedua, fitur vektor Gabor Phase diuji dengan

subspace LDA, dimana jumlah citra wajah yang digunakan

sebagai training terdiri dari 10 orang dan masing-masing memiliki 12 foto dengan tingkat pencahayaan yang berbeda-beda. Pengujian dilakukan dengan mengambil nilai eigenface 50%, 60%, 70% dan 80% dengan tujuan untuk mengetahui tingkat perbedaan pengenalan.

Gambar 10. Hasil pengujian citra wajah fitur Gabor phase congruency dengan algoritma PCA dan algoritma Subspace LDA

V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil pengujian yang dilakukan pada Tugas Akhir penerapan metode Phase Congruency Image (PCI) dalam pengenalan citra wajah secara otomatis, dapat disimpulkan bahwa:

1. Dari hasil pengujian terhadap perbedaan eigenvektor menunjukkan eigenvektor yang menunjukkan hasil pengenalan terbaik pada eigenvektor 50%.

2. Waktu komputasi yang dibutuhkan untuk melakukan pengujian citra wajah dari eigenvektor 50% sampai 80% selama 23 menit.

3. Semakin banyak jumlah eigenvektor yang digunakan, maka semakin lama waktu komputasi yang dibutuhkan untuk melakukan pengujian citra wajah.

4. Peningkatan yang signifikan hingga 100% terjadi pada pengenalan dengan algoritma PCA, hal ini menunjukkan bahwa ekstraksi fitur gabor phase congruency lebih tahan terhadap perbedaan pencahayaan saat direduksi dengan algoritma PCA, bila dibandingkan dengan algoritma

Subspace LDA sebesar 62,2%.

B. Saran

Beberapa saran yang berguna untuk pengembangan Tugas Akhir ini adalah :

1. Untuk penelitian selanjutnya, ekstraksi ciri bisa menggunakan gabungan antara Gabor phase dan Gabor

magnitude.

2. Pengujian bisa menggunakan database yang lain misalnya

database FERET, AT&T atau CMU.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Struc,V., Vesnicer, B., & Pavesic, N.,“The Phase-based

Gabor Fisher Classifier and its Application to Face Recognition under Varying Illumination Conditions,”

Proceedings of the 2nd International Conference on Signal Processing and Communication Systems, pp. 1-6, 978-1-4244-4242-3, Gold Coast, Australia, IEEE, NJ, 2008.

[2] Liu,C.J & Wechsler.H., “Gabor Feature Based

Classification Using the Enhached Fisher Linear Discriminant Model for Face Recognition,” IEEE

Transactionson Image Processing, Vol. 11, pp.467-476. 2002.

[3] Kovesi, P., “Image Features from Phase Congruency,”

Videre: Journal of Computer Vision Research, Vol.1,

No.3, pp. 1-26. 1999.

[4] M.Turk andA.Pentland, “Eigenfaces for Recognition”, J. Of Cognitive Neuroscience, Vol.3, no.1, pp. 71-86. 1991. [5] Struc,V.,Vesnicer, B., & Pavesic, N,. “The Complete

Gabor Fisher Classifier for Robust Face Recognition,”

EURASIP Journal on Advances in signal Processing, Hindawi Publising Corporation Vol. 2010, article ID 847680. 2010.

[6] Lindsay I Smith, “A tutorial on Principal Components

Analysis”, 2002.

RIWAYAT PENULIS

Puspita Ayu Ningsih Putri. SY

dilahirkan di Gunung Sitoli, 15 Juli 1987. Merupakan putri kedua dari pasangan Sukino BP dan Yusniar Ndruru. Lulus dari SDN 010083 Kisaran, tahun 1999 dan melanjutkan ke SLTPN 2 Kisaran. Kemudian melanjutkan jenjang pendidikan ke SMAN 2 Kisaran pada tahun 2002 dan lulus pada tahun 2005. Setelah menamatkan SMA, pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan D3 ke Politeknik Negeri Padang Jurusan Teknik Elektro, program studi Telekomunikasi Multimedia. Lulus pada tahun 2008 dengan gelar Am.d, dan langsung melanjutkan pendidikan S-1 Lintas Jalur jurusan Elektro, program studi Telekomunikasi Multimedia di Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya. 100 99,7 100 99,75 62,2 59,4 58,6 52,8 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

Eigen 50% Eigen 60% Eigen 70% Eigen 80%

Ti n g k a t P en g en a la n ( % )

Persentase eigenface yang digunakan

Gambar

Gambar 1. Citra wajah yang sama dengan pencahayaan yang berbeda
Gambar 2. Contoh citra OGPCP, (a) untuk θ v  = 0 o  dan p=2, (b) untuk θ v  = 0 o dan p=3, (c) untuk θ v  = 0 o  dan (d) p=4, untuk θ v  = 0 o  dan p=5 [5]
Gambar  4  menunjukkan  perbandingan  pengenalan  wajah  menggunakan  metode  Phase  Congruency  Image  (PCI)  yang  diproyeksikan dengan algoritma  Subspace  LDA dan algorima  PCA
Gambar 5. Blok diagram sistem keseluruhan pengenalan wajah menggunakan  metoda Gabor Phase Congruency
+3

Referensi

Dokumen terkait

Penerapan Metode Jaringan Syaraf Tiruan Learning Vector Quantization (lvq) Untuk Pengenalan Wajah Dengan Citra Wajah Gaussian Blur. Universitas Pendidikan Indonesia

Proyeksi Data dari data citra wajah dari 2 subyek pada 3 komponen utama PCA Dari hasil pengujian terhadap perangkat lunak pengenalan citra wajah manusia dengan

Pada penelitian ini diajukan sebuah metode perbaikan orientasi citra secara otomatis menggunakan fitur haar-like dengan klasifikasi cascade adaboost untuk mendeteksi objek wajah

HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Komponen Database Citra Wajah Untuk melakukan proses pengenalan wajah dibutuhkan database training yang terdiri dari citra wajah 6

Tujuan dari tugas akhir ini adalah membuat sebuah aplikasi berbasis computer vision untuk pengenalan citra wajah manusia menggunakan algoritma Eigenface pada

HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Komponen Database Citra Wajah Untuk melakukan proses pengenalan wajah dibutuhkan database training yang terdiri dari citra wajah 6

Pengujian pada sistem pengenalan wajah yang dikembangkan pada penelitian ini dilakukan dengan memisahkan data citra wajah menjadi dua himpunana yang saling pisah (disjoint)

Implementasi Algoritma Gabor Wavelet Dalam Pengenalan Sketsa Wajah Pada Citra Digital Tresia Dorarta Lumbantobing, Nelly Astuti Hasibuan, Sumiati Adelina Hutabarat Program Studi