• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM PELINDUNGAN KONSUMEN. Istilah konsumen berasal dan alih bahasa dari kata consumer, secara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN UMUM PELINDUNGAN KONSUMEN. Istilah konsumen berasal dan alih bahasa dari kata consumer, secara"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN UMUM PELINDUNGAN KONSUMEN

A. Pengertian Perlindungan Konsumen

Istilah konsumen berasal dan alih bahasa dari kata consumer, secara harfiah arti kata consumer adalah (lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang.11Begitu pula Kamus Bahasa Inggris-Indonesia yang memberi arti kata consumer sebagai pemakai atau konsumen.12 Kamus Umum Bahasa Indonesia mendefenisikan konsumen sebagai lawan produsen, yakni pemakai barang-barang hasil industri,bahan makanan,dan sebagainya.13 Sedangkan dalam Text-book on Consumer Law, konsumen adalah one who

purchases goods or service. Defenisi tersebut menghendaki bahwa konsumen

adalah setiap orang atau individu yang harus dilindungi selama tidak memiliki kapasitas dan bertindak sebagai produsen ,pelaku usaha dan atau pembisnis.14

Sebelum tahun 1999, hukum positif Indonesia belum mengenal istilah konsumen.Dengan demikian,hukum positif Indonesia berusaha untuk menggunakan beberapa istilah yang pengertiannya berkaitan dengan konsumen tersebut mengacu kepada perlindungan konsumen,namun belum memiliki

Perlindungan hukum terhadap konsumen adalah sebuah penegakan hukum yang membutuhkan pengaturan-pengaturan berupa ancaman terhadap si pelanggar. Hal ini tercermin di dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 yang merupakan suatu perundang-undangan di Indonesia dengan kepentingan pemberian perlindungan kepada konsumen.

(2)

ketegasan dan kepastian hukum tentang hak-hak konsumen.

Undang-Undang Nomor 10 tahun 1961 tentang Barang,dalam pertimbangannya menyebutkan :kesehatan dan keselamatan rakyat,mutu dan susunan (komposisi) barang”.Penjelasan undang-undang ini menyebutkan variasi barang dagangan baik atau tidak baik dapat membahayakan dan merugikan kesehatan rakyat.Maka perlu adanya pengaturan tentang mutu maupun susunan bahan serta pembungkusan barang-barang dagangan.

Yusuf Shofie mengatakan :

“ segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen”.

Sudaryatmo mengatakan konsumen ialah :

15

Di dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen disebutkan dalam Pasal 1 ayat (1) :

“ Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen “.

Dalam ayat (2) pasal yang sama dinyatakan :

“ Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan “.

“setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup

(3)

lain dan tidak untuk diperdagangkan”.11

“segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen”.

Gunawan Widjaja mengatakan :

12

11 Sudaryatmo, Masalah Perlindungan Konsumen di Indonesia, Citra Aditya Bakti,

Bandung, 1996, hal. 17

12 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen,

Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2000, hal. 5.

Perihal terbitnya istilah perlindungan konsumen ini adalah disebabkan adanya aktivitas-aktivitas perekonomian. Kesenjangan ekonomi merugikan berbagai pihak yang terlibat dalam aktivitas ekonomi. Masyarakat Indonesialah yang tidak lain sebagai konsumen yang paling dirugikan. Hendaknya diluruskan anggapan keliru yang menyatakan bahwa para pelaku ekonomi hanyalah terdiri dari pemerintah, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), koperasi, dan swasta/konglomerat. Konsumen juga pelaku ekonomi. Tak satupun literatur ekonomi yang meniadakan peran konsumen. Namun demikian harus diakui bahwa kosa kata konsumen dirasakan cukup miskin dalam tata hukum Indonesia.

Keberpihakan kepada konsumen sebenarnya merupakan wujud nyata ekonomi kerakyatan. Dalam praktek perdagangan yang merugikan konsumen, di antaranya penentuan harga barang, dan penggunaan klausula eksonerasi secara tidak patut, pemerintah harus secara konsisten berpihak kepada konsumen yang pada umumnya orang kebanyakan.

(4)

pengguna akhir (end user) dari suatu produk, yaitu setiap pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.13

1. Asas manfaat, dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa sehala upaya dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.

Sedangkan yang dimaksud dengan pelaku usaha menurut Pasal 1 ayat Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah :

setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.

Pasal 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen menentukan bahwa: “perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen serta kepastian hukum. Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai suatu usaha bersama berdasarkan 5 asas yang relevan dalam pembangunan nasional yaitu” :

2. Asas keadilan, dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.

3. Asas keseimbangan, dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan

13 Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, Menata Bisnis Modern di Era Global, Citra

(5)

pemerintah dalam arti materiil dan sprituil.

4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen, dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang atau jasa yang dkonsumsi atau digunakan.

5. Asas kepastian hukum, dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsume, serta negara menjamin kepastian hukum.14

Di dalam era reformasi dewasa ini, Indonesia harus siap menghadapi era globalisasi ekonomi, dimana perdagangan bebas masih merupakan tanda tanya, apakah merupakan peluang bagi Indonesia atau justru sebaliknya. Indonesia termasuk negara yang cukup cepat melangkah dengan telah diratifikasinya Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization /WTO) sebelum Desember 1994.

Mulai 1 Januari 1995, WTO telah resmi menggantikan dan melanjutkan GATT (General Agreement of Tariff and Trade / Persetujuan Umum Tentang Tarif dan Perdagangan). Perlu dipahami disini bahwa WTO merupakan organisasi antar pemerintah/dunia yang mengawasi perdagangan di dunia, baik perdagangan barang maupun jasa. Segala sesuatu yang berbau proteksi/perlindungan dianggap anti WTO atau anti liberalisasi perdagangan.15

Bagi konsumen Indonesia, lahirnya WTO masih merupakan pertanyaan/permasalahan besar, apakah WTO akan membawa perbaikan nasib konsumen Indonesia. Selama lebih lima puluh tahun kita merdeka,

14 Abdul R. Saliman, et. al. Esensi Hukum Bisnis Indonesia, Teori dan Contoh Kasus,

Prenada Media, Jakarta, 2004, hal. 161-162.

(6)

perlindungan (hukum) terhadap konsumen tidak banyak memperoleh perhatian dari para pengambil keputusan, apalagi prioritas dalam pembangunan nasional. Salah satu instrumen perlindungan hukum terhadap konsumen yang diundangkan Pemerintah dengan persetujuan DPR-GR pada tahun 1961, yaitu Undang-Undang No. 10 Tahun 1961 tentang Barang (Perpu No. 1 Tahun 1961), hampir hanya menjadi huruf mati tidak bermakna. Perintah undang-undang tersebut untuk membentuk Panitia Barang tidak dilaksanakan. Disinyalir ketentuan undang-undang ini sudah banyak dilupakan.

Sebagai salah satu instrumen hukum administrasi negara, praktis ketentuan tersebut ibarat macan ompong sehingga perlindungan terhadap konsumen dirasakan tidak efektif dan efisien. Apalagi instrumen-instrumen hukum lainnya, belum dapat memberikan perlindungan hukum yang memadai kepada konsumen. Masih segar dalam pikiran kita tentang “kasus biskuit beracun “ beberapa tahun yang lalu, yang terulang lagi dengan “kasus mie instant” (1994). Para korban/keluarganya tidak mendapatkan ganti rugi, kecuali sebatas santunan atas inisiatif mantan Menko Polkam Sudomo pada waktu itu.16

Liberalisasi perdagangan membawa konsekuensi bahwa semua barang dan jasa yang berasal dari negara lain harus dapat masuk ke Indonesia bila kita tidak ingin distigma anti WTO. Masuknya barang dan jasa impor tersebut bukannya tanpa permasalahan. Lewat perdagangan internasional, penyakit sapi

(7)

gila (mad cow) (bivine spongiform encephalapanthy/BSE) yang diderita sejumlah besar sapi, dapat membahayakan konsumen Indonesia. Belum lama ini Irlandia menawarkan daging itu dengan harga murah. Penyakit ini timbul karena disana, makanan dari tepung daging daging ternak memamah biak (ruminasia) digunakan untuk makanan sapi. Kasusnya mirip dioksin yang dialami ternak unggas di Belgia. Penyakit yang bisa menimbulkan gejala kegilaan pada manusia ini menyerang ternak sapai dengan masa inkubasi 9 – 10 tahun. Hanya saja penyakit ini tidak menular pada hewan lain, seperti halnya penyakit mulut dan kuku (PMK). Adapun gejala kegilaan pada manusia bisa berupa insomania, limbung, depresi serta berubahnya perilaku dan kepribadian. Belum lagi masalah dioksin di Belgia yang diduga mencemari makanan/minuman yang diekspor negara itu.

Permasalahan akibat liberalisasi perdagangan ini tampil ke permukaan dalam bentuk pengaduan/komplain dari konsumen atas barang atau jasa yang dikonsumsinya. Dari sudut hukum belum jelas mekanisme penyelesaiannya. Tak hanya itu, secara yuridis muncul pula permasalahan apabila peraturan perundang-undangan Indonesia bertentangan atau berbeda dengan peraturan perundang-undangan negara lain, ketentuan/kesepakatan regional, bahkan ketentuan/kesepakatan WTO atau sebaliknya sehingga diperlukan harmonisasi ketentuan-ketentuan nasional Indonesia terhadap ketentuan/kesepakatan regional dan WTO. Pada pokoknya, hakim (pengadilan) negara manakah yang berwenang mengadili kasus-kasus konsumen yang berdimensi internasional

(8)

serta hukum mana yang digunakan. Kasus-kasus sengketa franchice (waralaba) yang berdimensi internasional, dimana yang bertindak sebagai franchisor (pemberi waralaba) pelaku usaha asing, sedangkan yang bertindak sebagai

franchiee (penerima waralaba) pelaku usaha Indonesia atau sebaliknya,

merupakan contoh prediksi ini. Dari segi perlindungan konsumen sengketa ini bisa membawa kerugian bagi konsumen, misalnya tidal lagi tersedianya produk franchise bersangkutan, harga produk menjadi lebih mahal, atau bahkan menyangkut tidak tersedianya fasilitas purna jual bagi konsumen.

Dalam Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 1997 tentang Waralaba dalam konsiderannya dinyatakan bahwa untuk menciptakan tertib usaha dengan cara waralaba serta perlindungan terhadap konsumen, dipandang perlu menetapkan ketentuan waralaba dengan peraturan pemerintah. Dalam ketentuan ini, perlindungan konsumen yang dimaksud belum konkret, ibarat antara niat dengan perbuatan tidak seia dan sekata.

Secara teoritis, dapat saja sengketa-sengketa seperti itu diselesaikan, tetapi pada praktek dan kenyataannya tidak mudah dilakukan karena berbagai sebab yang bersifat juridis–politis– sosiologis.

Pertama, karena tidak konsistennya badan peradilan kita atas putusan-putusannya. Sering terjadi perbedaan putusan-putusan pengadilan dalam kasus-kasus yang serupa. Dalam kasus-kasus yang berskala nasional saja, pengadilan belum mampu bersikap konsisten, bagaimana dengan kasus-kaus konsumen pada era perdagangan bebas yang bernuansa internasional.

(9)

Kedua, sebagian besar konsumen Indonesia enggan berperkara ke Pengadilan, padahal telah (sangat) dirugikan oleh pengusaha. Keengganan ini bukanlah karena mereka tidak sadar hukum. Bahkan mereka lebih sadar hukum ketimbang sebagian dari para penegak hukumnya sendiri. Keengganan mereka sebelum diundangkannya Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen pada tanggal 20 April 1999, lebih didasarkan pada : 1. Tidak jelasnya norma-norma perlindungan konsumen,

2. Praktek peradilan kita tidak lagi sederhana, cepat dan biaya ringan,

3. Sikap menghindari konflik meskipun hak-haknya sebagai konsumen dilanggar pengusaha.17

Ketiga, tarik menarik berbagai kepentingan di antara para pelaku ekonomi yang bukan konsumen, yang memiliki akses kuat di berbagai bidang, termasuk akses di luar jangkauan hukum. Kalaupun hukum mampu menjangkaunya, itupun hanya sebatas pada mereka yang menjadi tumbal (space – goat) tarik menarik kepentingan tersebut.

Menghadapi perdagangan bebas, Indonesia memerlukan sejumlah undang-undang penting, seperti undang-undang intellectual proprety rights, Undang-Undang Antimonopoli, Undang-Undang Perlindungan pengusaha Kecil dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Kejelasan asas dan tujuan perlindungan konsumen, hak-hak konsumen, norma-norma

(10)

perlindungan konsumen dan penyelesaian sengketa konsumen, yang tertuang dalam undang-undang perlindungan konsumen kita, masih harus dibuktikan dalam praktek segenap instrumen hukum di Indonesia.

B. Bentuk-Bentuk Perlindungan Konsumen

Agar konsumen tidak terjebak oleh cara-cara yang ditawarkan produsen/pengusaha, konsumen dituntut bersikap kritis dan waspada dalam menentukan pilihannya. Untuk bersikap kritis dan waspada konsumen dituntut memiliki kesadaran dan kepedulian baik perorangan maupun kelompok sehingga terhindar dari perbuatan yang tidak etis/merugikan dari pengusaha/produsen dalam hal ini disebut sebagai kegiatan perlindungan konsumen.

Agar kegiatan perlindungan konsumen ini efektif diperlukan keterlibatan dari berbagai pihak yakni pemerintah, pengusaha, dan konsumen sendiri. Cara yang efektif untuk menumbuh kembangkan potensi masyarakat dalam upaya perlindungan konsumen, adalah :

1. Memberikan bimbingan perlindungan bagi konsumen yang rentan (lemah) baik pendidikan, pengetahuan dan pendapatan.

2. Mendorong konsumen yang mapan atau yang mempunyai kemampuan baik pendidikan, pengetahuan dan pendapatan untuk melakukan upaya perlindungan konsumen antara lain melalui pembentukan lembaga sosial / swadaya masyarakat (LSM) dan kelompok-kelompok strategis.

(11)

Dalam menghadapi kondisi tersebut di atas, bentuk upaya perlindungan konsumen yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut :

1. Bentuk perlindungan konsumen yang dilakukan pemerintah adalah dengan: a. Membuat berbagai aturan, perangkat hukum yang memberikan

kepastian hukum bagi konsumen.

b. Pengendalian impor antara lain melalui penerapan syarat teknis bagi importir barang-barang konsumsi luar negeri yang tidak bertentangan dengan perjanjian organisasi perdagangan dunia (WTO). Sehingga konsumen dalam negeri cukup terlindungi.

c. Melakukan pengawasan barang sebelum dipasarkan serta penandaan ML untuk produk impor, proses produksi dalam negeri melalui penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI), penandaan tanggal kadaluwarsa.

d. Pembinaan dan penyuluhan terhadap konsumen dan pengusaha / produsen.

2. Bentuk perlindungan konsumen yang dilakukan oleh pelaku usaha/produsen sebagai berikut :

a. Menerapkan standart mutu (ISO 9000, ISO 14000 serta Standar Nasional Indonesia(SNI))

b. Memberikan informasi yang jelas, jujur terhadap produknya.

(12)

swadaya masyarakat antara lain :

a. Memberikan penjelasan atas pengaduan atau komplain dari konsumen serta menindaklanjuti sesuai dengan peraturan.

b. Memberdayakan konsumen agar menjadi lebih aktif dan peduli akan perlindungan konsumen.

C. Hak dan Kewajiban Konsumen

Pembangunan dan perkembangan perekonomian di bidang perindustrian dan perdagangan nasional telah menghasilkan berbagai variasi barang dan/atau jasa yang dapat dikonsumsi. Ditambah dengan globalisasi dan perdagangan bebas yang didukung oleh kemajuan teknologi telekomunikasi kiranya memperluas ruang gerak arus transaksi barang dan/atau jasa. Akibatnya barang dan/atau jasa yang ditawarkan bervariasi baik produksi luar negeri maupun produksi dalam negeri. Kondisi seperti ini di satu pihak mempunyai manfaat bagi konsumen karena kebutuhan akan barang dan/atau jasa yang diinginkan dapat terpenuhi serta semakin terbuka lebar, karena adanya kebebasan untuk memilih aneka jenis dan kualitas barang dan/atau jasa sesuai dengan keinginan dan kemampuan konsumen.18

Tetapi di sisi lain, dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang dan konsumen berada pada posisi yang lemah, yang menjadi objek aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang

18 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Raja Grafindo

(13)

sebesar-besarnya oleh pelaku usaha melalui berbagai promosi, cara penjualan, serta penerapan perjanjian baku yang merugikan konsumen. Berkenaan dengan pertimbangan tersebut, maka perlu juga diketengahkan apa yang menjadi hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha.

Pasal 4 Undang-Undang Perlindungan Konsumen menerangkan tentang Hak dan Kewajiban Konsumen.

Hak konsumen adalah :

a. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa.

b. Hak untuk memilih dan mendapatkan barang dan/atau jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.

c. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.

d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan.

e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.

f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan kosumen ,

g. Hak untuk di perlukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif,

h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.

i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 4 huruf g Undang-Undang Perlindungan Konsumen dijelaskan “Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif berdasarkan suku, agama, budaya, daerah, pendidikan, kaya, miskin dan status sosial lainnya”.

Hak-hak konsumen sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 Undang-Undang Perlindungan Konsumen lebih luas daripada hak-hak dasar konsumen sebagaimana pertama kali dikemukakan oleh Presiden Amerika Serikat J.F. Kennedy di depan kongres pada tanggal 15 Maret 1962, yaitu terdiri dari :

(14)

1. Hak memperoleh keamanan, 2. Hak memilih,

3. Hak mendapat informasi, 4. Hak untuk didengar.19

Keempat hak tersebut merupakan bagian dari deklarasi Hak-Hak Asasi Manusia yang dicanangkan PBB pada tanggal 10 Desember 1948, masing-masing pada Pasal 3, 8, 19, 21 dan Pasal 26, yang oleh organisasi Konsumen Sedunia (International Organization of Consumers Union-IOCU), ditambahkan empat hak dasar konsumen lainnya, yaitu :

1. Hak untuk memperoleh kebutuhan hidup. 2. Hak untuk memperoleh ganti rugi,

3. Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen,

4. Hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat.20

Di samping Masyarakat Eropa (Europese Ekonomische Gemeenschap

atau EEG) juga telah menyepakati lima hak dasar konsumen sebagai berikut :

1. Hak perlindungan kesehatan dan keamanan (Recht op besherming van zijn

gezendheid en veiligheid).

2. Hak perlindungan ekonomi (recht op bescherming van zijn economische

belangen).

3. Hak mendapat ganti rugi (recht op schadevergoeding)

19 Mariam Darus Badrulzaman, Perlindungan Terhadap Konsumen Dilihat Dari Sudut

Perjanjian Baku, dimuat dalam Hasil Simposiun Aspek-Aspek Hukum Masalah Perlindungan

(15)

4. Hak atas penerangan (recht op voorlichting en vprming) 5. Hak untuk didengar (recht om te worden gehord)21

Memperhatikan hak-hak yang disebutkan di atas, maka secara keseluruhan pada dasarnya dikenal 10 macam hak konsumen, yaitu sebagai berikut :

1. Hak atas keamanan dan keselamatan, 2. Hak untuk memperoleh informasi, 3. Hak untuk memilih

4. Hak untuk didengar

5. Hak untuk memperoleh kebutuhan hidup, 6. Hak untuk memperoleh ganti rugi

7. Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen

8. Hak memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat,

9. Hak untuk mendapatkan barang sesuai dengan nilai tukar yang diberikannya

10. Hak untuk mendapatkan upaya penyelesaian hukum yang patut. 22

Selanjutnya masing-masing hak tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Hak atas keamanan dan keselamatan.

20

C. Tantri D dan Sulastri, Gerakan Organisasi Konsumen, Seri Panduan Konsumen, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia-The Asia Foundation, Jakarta, 1995, hal. 19-21.

21 Mariam Darus Badrulzaman, Op.Cit, hal. 61. 22 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.Cit, hal. 40.

(16)

Hak atas keamanan dan keselamatan ini dimaksudkan untuk menjamin keamanan dan keselamatan konsumen dalam penggunaan barang atau jasa yang diperolehnya, sehingga konsumen dapat terhindar dari kerugian (fisik maupun psikis) apabila mengkonsumsi suatu produk.

2. Hak untuk memperoleh informasi

Hak atas informasi ini sangat penting, karena tidak memadainya informasi yang disampaikan kepada konsumen ini dapat juga merupakan salah satu bentuk cacat produk, yaitu yang dikenal dengan cacat instruksi atau cacat karena informasi yang tidak memadai. Hak atas informasi yang jelas dan benar dimaksudkan agar konsumen dapat memperoleh gambaran yang benar tentang suatu produk, karena dengan informasi tersebut, konsumen dapat memilih produk yang diinginkan/sesuai dengan kebutuhannya serta terhindar dari kerugian akibat kesalahan dalam penggunaan produk.

Informasi yang merupakan hak konsumen tersebut di antaranya adalah mengenai manfaat kegunaan produk, efek samping atas penggunaan produk, tanggal kadaluarsa, serta identitas produsen dari produk tersebut. Informasi tersebut dapat disampaikan baik secara lisan, maupun secara tertulis, baik yang dilakukan dengan mencantumkan pada label yang melekat pada kemasan produk, maupun melalui iklan-iklan yang disampaikan oleh produsen, baik melalui media cetak maupun media elektonik.

Informasi ini dapat memberikan dampak yang signifikan untuk meningkatkan efisiensi dari konsumen dalam memilih produk serta

(17)

meningkatkan keyakinan terjamin atau tidaknya terhadap produk tertentu, sehingga memberikan keuntungan bagi perusahaan yang memenuhi kebutuhannya. Dengan demikian pemenuhan hak ini akan menguntungkan baik konsumen maupun produsen.

3. Hak untuk memilih

Hak untuk memilih dimaksudkan untuk memberikan kebebasan kepada konsumen untuk memilih produk-produk tertentu sesuai dengan kebutuhannya, tanpa ada tekanan dari pihak luar. Berdasarkan hak untuk memilih ini konsumen berhak memutuskan untuk membeli atau tidak terhadap suatu produk, demikian pula keputusan untuk memilih baik kualitas maupun kuantitas jenis produk yang dipilihnya.

Hak memilih yang dimiliki konsumen ini hanya ada jika ada alternatif pilihan dari jenis produk tertentu, karena jika suatu produk dikuasai secara monopoli oleh suatu produsen atau dengan kata lain tidak ada pilihan lain (baik barang maupun jasa), maka dengan sendirinya hak untuk memilih tidak akan berfungsi.

Berdasarkan hal tersebut, maka ketentuan yang dapat membantu penegakan hak tersebut dapat dilihat dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, baik dalam Pasal 19 maupun Pasal 25 ayat (1). Pasal 19 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 menentukan bahwa :

(18)

sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat berupa :

a. Menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar yang bersangkutan, atau

b. Meghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya itu, atau,

c. Membatasi peredaran dan atau penjualan barang dan atau jasa pada pasar yang bersangkutan, atau,

d. Melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.

Sementara Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 menentukan bahwa :

Pelaku usaha dilarang menggunakan posisi dominan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk.

a. Menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah dan atau menghalangi konsumen memperoleh barang dan atau jasa yang bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas, atau, b. Membatasi pasar dan pengembangan teknologi atau,

c. Menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar bersangkutan.

4. Hak untuk didengar

Hak untuk didengar ini merupakan hak dari konsumen agar tidak dirugikan lebih lanjut, atau hak untuk menghindarkan diri dari kerugian. Hak ini dapat berupa pertanyaan tentang berbagai hal yang berkaitan dengan produk-produk tertentu apabila informasi yang diperoleh tentang produk tersebut kurang memadai, ataukah berupa pengaduan atas adanya kerugian yang telah dialami akibat penggunaan suatu produk, atau yang berupa pernyataan/pendapat tentang suatu kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan kepentingan konsumen. Hak ini dapat disampaikan baik secara

(19)

perorangan maupun secara kolektif, baik yang disampaikan secara langsung maupun diwakili oleh suatu lembaga tertentu misalnya YLKI.

5. Hak untuk memperoleh kebutuhan hidup

Hak ini merupakan hak yang sangat mendasar, karena menyangkut hak untuk hidup. Dengan demikian, setiap orang (konsumen) berhak untuk memperoleh kebutuhan dasar (barang atau jasa) untuk mempertahankan hidupnya (secara layak). Hak-hak ini terutama yang berupa hak atas pangan, sandang, papan, serta hak-hak lainnya yang berupa hak untuk memperoleh pendidikan, kesehatan dan lain-lain.

6. Hak untuk memperoleh ganti kerugian

Hak atas ganti kerugian ini dimaksudkan untuk memulihkan keadaan yang telah menjadi rusak (tidak seimbang) akibat adanya penggunaan barang atau jasa yang tidak memenuhi harapan konsumen. Hak ini sangat terkait dengan penggunaan produk yang telah merugikan konsumen baik yang berupa kerugian materi, maupun kerugian yang menyangkut diri (sakit, cacat, bahkan kematian) konsumen. Untuk merealisasikan hak ini tentu saja harus melalui prosedur tertentu, baik yang diselesaikan secara damai di luar maupun yang diselesaikan melalui pengadilan.

7. Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen

Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen ini dimaksudkan agar konsumen memperoleh pengetahuan maupun keterampilan yang diperlukan

(20)

agar dapat terhindar dari kerugian akibat penggunaan produk, karena dengan pendidikan konsumen tersebut, konsumen akan dapat menjadi lebih kritis dan teliti dalam memilih suatu produk yang dibutuhkan.

8. Hak memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat

Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen ini dimaksudkan agar konsumen memperoleh pengetahuan maupun keterampilan yang diperlukan agar terhindar dari kerugian akibat penggunaan produk, karena dengan pendidikan konsumen tersebut, konsumen akan dapat menjadi lebih kritis dan teliti dalam memilih suatu produk yang dibutuhkan.

9. Hak untuk mendapatkan barang sesuai dengan nilai tukar yang diberikannya

Hak ini dimaksudkan untuk melindungi konsumen dari kerugian akibat permainan harga secara tidak wajar. Karena dalam keadaan tertentu konsumen dapat saja membayar harga suatu barang yang jauh lebih tinggi daripada kegunaan atau kualitas dan kuantitas barang atau jasa yang diperolehnya. Penegakan hak konsumen ini didukung pula oleh ketentuan dalam Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 6 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Ketentuan di dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha tidak sehat menentukan bahwa :

(21)

untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada dasar-dasar bersangkutan yang sama.”

Sedangkan Pasal 6 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat menentukan bahwa : “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan jasa atau jasa yang sama.”

10. Hak untuk mendapatkan upaya penyelesaian hukum yang patut

Hak ini tentu saja dimaksudkan untuk memulihkan keadaan konsumen yang telah dirugikan akibat penggunaan produk, dengan melalui jalur hukum.

Sepuluh hak konsumen, yang merupakan himpunan dari berbagai pendapat tersebut di atas hampir semuanya sama dengan hak-hak konsumen yang dirumuskan dalam Pasal 4 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, sebagaimana dikutip sebelumnya.

Hak-hak konsumen yang dirumuskan dalam Pasal 4 Undang-Undang Perlindungan Konsumen tersebut, terdapat satu hak yang tidak terdapat pada 10 hak konsumen yang diuraikan sebelumnya, yaitu hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif, namun sebaliknya Pasal 4 Undang-Undang Perlindungan Konsumen tidak mencantumkan secara khusus tentang hak untuk memperoleh kebutuhan hidup dan hak memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat, tetapi hak tersebut dapat dimasukkan ke dalam hak yang disebutkan terakhir dalam Pasal 4 Undang-Undang

(22)

Perlindungan Konsumen tersebut, yaitu hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Sedangkan hak-hak lainnya hanya perumusannya yang lebih rinci, tetapi pada dasarnya sama dengan hak-hak yang telah disebutkan sebelumnya.

Bagaimanapun banyaknya rumusan hak-hak konsumen yang telah dikemukakan, namun secara garis besar dapat dibagi dalam tiga hak yang menjadi prinsip dasar, yaitu :

1. Hak yang dimaksudkan untuk mencegah konsumen dari kerugian, baik kerugian personal, maupun kerugian harta kekayaan.

2. Hak untuk memperoleh barang dan/atau jasa dengan harga yang wajar, dan 3. Hak untuk memperoleh penyelesaian yang patut terhadap permasalahan

yang dihadapi.23

Oleh karena ketiga hak/prinsip dasar tersebut merupakan himpunan beberapa hak konsumen sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, maka hal tersebut sangat esensial bagi konsumen, sehingga dapat dijadikan/merupakan prinsip perlindungan hukum bagi konsumen di Indonesia.

Apabila konsumen benar-benar akan dilindungi, maka hak-hak konsumen yang disebutkan di atas harus dipenuhi baik oleh pemerintah maupun oleh produsen, karena pemenuhan hak-hak konsumen tersebut akan melindungi kerugian konsumen dari berbagai aspek.

23 Ahmadi Miru, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia,

(23)

Menurut Pasal 5 Undang-Undang Perlindungan Konsumen kewajiban konsumen adalah :

a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa demi keamanan dan keselamatan,

b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa, c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati,

d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

Adanya kewajiban konsumen membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa demi keamanan dan keselamatan, merupakan hal penting mendapat pengaturan.

Adapun pentingnya kewajiban ini karena sering pelaku usaha telah menyampaikan peringatan secara jelas pada label suatu produk, namun konsumen tidak membaca peringatan yang telah disampaikan kepadanya. Dengan pengaturan kewajiban ini, memberikan konsekuensi pelaku usaha tidak bertanggung jawab, jika konsumen yang bersangkutan menderita kerugian akibat mengabaikan kewajiban tersebut. Misalnya untuk penggunaan obat-obatan dari dokter atau berdasar etiket produk tersebut telah diberikan instruksi bahwa pemakaiannya hanya dalam dosis tertentu, namun konsumen sendiri yang tidak mematuhi instruksi tersebut. Kesalahan konsumen dalam

(24)

penggunaan produk, juga banyak terjadi pada penggunaan obat bebas (obat tanpa resep). Walaupun obat bebas tersebut adalah obat yang dinyatakan oleh para ahli aman dan manjur apabila digunakan sesuai petunjuk yang tertera pada label beserta peringatannya, namun konsumen harus menyadari bahwa mengobati diri sendiri dengan menggunakan obat bebas sesungguhnya bukanlah hal yang mudah, sederhana dan selalu menguntungkan. Tanpa dibekali dengan pengetahuan yang memadai, tindakan tersebut dapat menyebabkan terjadinya ketidaktepatan penggunaan obat, yang bukannya menyembuhkan tetapi justeru memperparah penyakit, memperburuk kondisi tubuh atau menutupi gejala yang sesungguhnya menjadi ciri utama penyakit yang lebih serius dan berbahaya.

Masalah pemenuhan kewajiban konsumen dapat terlihat jika peringatan yang disampaikan pelaku usaha tidak jelas atau tidak mengundang perhatian konsumen untuk membacanya, seperti kasus ER. Squib & Sons Inc. V Cox, pengadilan berpendapat bahwa konsumen tidak dapat menuntut jika peringatannya sudah diberikan secara jelas dan tegas. Namun jika produsen tidak menggunakan cara yang wajar dan efektif untuk mengkomunikasikan peringatan itu, yang menyebabkan konsumen tidak membacanya, maka hal itu tidak menghalangi pemberian ganti kerugian pada konsumen yang telah dirugikan.

Menyangkut kewajiban konsumen beritikad baik hanya tertuju pada transaksi pembelian barang dan/atau jasa. Hal ini tentu saja disebabkan karena

(25)

bagi konsumen, kemungkinan untuk dapat merugikan produsen mulai pada saat melakukan transaksi dengan produsen. Berbeda dengan pelaku usaha kemungkinan terjadinya kerugian bagi konsumen dimulai sejak barang dirancang/diproduksi oleh produsen (pelaku usaha).

Kewajiban konsumen membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati dengan pelaku usaha, adalah hak yang sudah biasa dan sudah semestinya demikian.

Kewajiban lain yang perlu mendapat penjelasan lebih lanjut adalah kewajiban konsumen mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut. Kewajiban ini dianggap sebagai hal baru, sebab sebelum diundangkannya Undang-Undang Perlindungan Konsumen hampir tidak dirasakan adanya kewajiban secara khusus seperti ini dalam perkara perdata, sementara dalam kasus pidana tersangka/terdakwa lebih banyak dikendalikan oleh aparat kepolisian dan/atau kejaksaan.

Adanya kewajiban seperti ini diatur dalam UUPK dianggap tepat, sebab kewajiban ini adalah untuk mengimbangi hak konsumen untuk mendapatkan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut. Hak ini akan menjadi lebih mudah diperoleh jka konsumen mengikuti upaya penyelesaian sengketa secara patut. Hanya saja kewajiban konsumen ini tidak cukup untuk maksud tersebut jika tidak diikuti oleh kewajiban yang sama dari pihak pelaku usaha.

(26)

D. Akibat Hukum Dari Pelanggaran Hak Konsumen

Bentuk sanksi yang bisa dikenakan terhadap pelanggar Undang-undang Perlindungan Konsumen menurut UU No. 8 Tahun 1999 hanya ada dua macam yaitu sanksi administratif (Pasal 60) dan sanksi pidana (Pasal 61-62) ditambah hukuman tambahan (pasal 63). Hanya saja pengaturan tentang kewenangan sanksi administratif dalam UU Perlindungan Konsumen hanya bisa diberikan oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Hal yang berbeda diberlakukan pada pengaturan sanksi pidana dalam UU No. 8 Tahun 1999 ternyata dapat dikenakan langsung pada pelaku usaha yang melanggar beberapa ketentuan hukum perlindungan konsumen.

Kebijakan pengenaan sanksi pada pelanggaran hak konsumen seharusnya didasarkan atas pemahaman hubungan hukum yang akan dikenakan sanksi. Bentuk sanksi seharusnya mengikuti hubungan hukum yang diatur. Secara khusus pada pasal 16 UU No. 8 Tahun 1999 terdapat hubungan hukum perdata berupa perjanjian jual-beli makanan dengan sistem pesanan maka bentuk sanksi yang seharusnya dikenakan adalah sanksi keperdataan berupa ganti rugi, pembatalan perjanjian atau pemenuhan prestasi pada perjanjian.

Pemahaman ini sangat penting mengingat sanksi pidana seringkali digunakan sebagai ‘alat pengancam’ bagi pelanggar hukum suatu ketentuan hukum. Hal ini sangat tidak tepat jika dikaitkan dengan hakekat sanksi pidana sendiri sebagai ultimum remidiu

Referensi

Dokumen terkait

Dengan demikian, kelompok memberikan kemungkinan seseorang yang secara individual memiliki kelebihan untuk melakukan kepemimpinan itu, dapat mempraktekkan dan

Dengan demikian, tercipta lingkungan hidup yang sehat dan berkembangnya pengusaha yang bertanggung jawab. 35 Penerapan pemerintah sebagaimana disebutkan di atas

Alat analisis yang digunakan dalam riset ini adalah analisis faktor dan uji Paired Sample T test kedua analisis ini digunakan untuk mengetahui apakah ada perbedaan nilai

Manfaat yang didapat masyarakat dari upaya untuk memperkenalkan jamu tradisional kepada anak melalui game adalah memperoleh pengetahuan tentang jenis-jenis jamu dan

Dari perjalanan waktu terlihat bahwa sistem pemerintahan yang melahirkan begitu banyak partai politik yang didominasi oleh orientasi ideologi yang tidak selalu sejalan dengan

Mengingat pentingnya sistem yang terintegrasi serta peranan dari dosen dan asisten, maka penulis tertarik untuk membahas lebih lanjut mengenai penerapan ERP pada proses

dapat diketahui bahwa, dari 14 responden yang memiliki tingkat pengetahuan baik lebih sedikit yang mengalami kejadian dermatitis sebanyak 5 responden (35,7%)

Mereka menuliskan apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan dari soal sebelum akhirnya mereka menyelesaikan soal tersebut, sehingga ada 25 siswa atau 71,43 % dari jumlah