• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI. mengevaluasi keputusan yang telah mereka buat (Bakshi, 2012). Konsumen tidak. keputusan tersebut (Hoyer dan MacInnis, 2010).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI. mengevaluasi keputusan yang telah mereka buat (Bakshi, 2012). Konsumen tidak. keputusan tersebut (Hoyer dan MacInnis, 2010)."

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

A. Penyesalan Pasca Pembelian

Meskipun proses pembelian telah selesai, konsumen masih sering mengevaluasi keputusan yang telah mereka buat (Bakshi, 2012). Konsumen tidak selalu merasa percaya diri dengan keputusan yang mereka ambil. Mereka bisa merasa bimbang apakah mereka membuat keputusan yang tepat dan bahkan menyesali keputusan tersebut (Hoyer dan MacInnis, 2010).

1. Pengertian Penyesalan Pasca Pembelian

Penyesalan adalah emosi kognitif yang ingin dihindari, dipendam, disangkal, dan diatur oleh konsumen jika dialami (Zeelenberg dan Pieter, 2006 dalam Lee dan Cotte, 2009). Menurut Sugden (1985), penyesalan adalah sebuah sensasi menyakitkan yang muncul sebagai hasil dari membandingkan “apa yang ada” dengan “apa yang harusnya ada”. Penyesalan bisa terjadi ketika konsumen membandingkan hasil dari produk yang telah dibeli tidak sebaik dengan hasil dari produk yang mungkin bisa didapat jika konsumen membeli produk lain (Bell, 1982; Tsiros dan Mittal, 2000 dalam Lee dan Cotte, 2009).

Hoyer dan MacInnis (2010) menyatakan bahwa penyesalan pasca pembelian terjadi ketika konsumen menilai adanya perbandingan yang tidak setara antara performa dari produk yang telah dibeli dengan performa dari produk yang tidak dibeli.

(2)

Konsumen juga dapat merasakan penyesalan pasca pembelian meskipun tidak memiliki informasi mengenai produk lain dan terutama intensitas penyesalan dapat meningkat apabila konsumen tidak dapat mengubah keputusannya atau mengalami hasil yang negatif.

Penyesalan pasca pembelian merupakan suatu sensasi menyakitkan yang timbul setelah membeli suatu produk karena mendapat perbandingan yang tidak setara antara apa yang diharapkan dengan apa yang didapatkan setelah membeli dan menggunakan produk tersebut (Lee dan Cotte, 2009). Penyesalan pasca pembelian dapat terjadi dalam situasi di mana pilihan yang diambil memiliki hasil lebih buruk dibandingkan dengan pilihan yang tidak diambil (Zeelenberg, Van Dijk, Manstead, dan Van der Pligt, 2000).

Jadi, penyesalan pasca pembelian dapat disimpulkan sebagai suatu sensasi menyakitkan yang muncul karena konsumen mendapatkan perbandingan yang tidak setara antara apa yang diharapkan dan apa yang didapatkan setelah membeli dan menggunakan sebuah produk.

2. Pengukuran Penyesalan Pasca Pembelian

Pengukuran penyesalan pasca pembelian didasarkan pada komponen penyesalan pasca pembelian menurut Lee dan Cotte (2009), yaitu:

(3)

a. Penyesalan akibat evaluasi pada hasil produk yang dibeli (outcome regret) Outcome regret merupakan perbandingan dari penilaian konsumen terhadap hasil dari apa yang telah dibeli dan apa yang bisa dibeli. Outcome regret terbagi atas dua, yaitu:

1) Regret due to foregone alternatives (Penyesalan karena alternatif produk yang tidak terpilih)

Penyesalan karena alternatif produk yang tidak terpilih terjadi ketika konsumen merasa menyesal telah membeli suatu produk dan bukan produk lainnya. Konsumen mengevaluasi hasil dengan cara membandingkan apa yang telah mereka dapatkan dengan apa yang seharusnya bisa mereka dapatkan (Sugden, 1985). Mereka menyesal ketika hasil yang seharusnya bisa didapatkan lebih baik daripada hasil yang telah didapatkan (Zeelenberg dan Pieters, 2006 dalam Lee dan Cotte, 2009). Bell (1982) berasumsi bahwa hasil dari alternatif yang ditolak harus diketahui oleh konsumen untuk memunculkan penyesalan. Namun, Ritov dan Baron (1995) konsumen dapat merasa menyesal meskipun tidak memiliki pengetahuan tentang alternatif lainnya dengan hanya membayangkannya.

2) Regret due to change in significance (Penyesalan karena perubahan yang signifikan)

Penyesalan karena perubahan yang signifikan terjadi ketika konsumen menilai berkurangnya atau menurunnya kegunaan dari produk tersebut.

(4)

Hal ini disebabkan karena menurunnya fungsi atau performa produk tersebut dari waktu pembelian terhadap titik tertentu pada waktu setelah pembelian. Ketika seseorang membeli suatu barang, terdapat harapan tertentu dalam penggunaannya. Namun, jika terjadi suatu hal yang menyebabkan berkurangnya fungsi produk tersebut, maka konsumen dapat merasa menyesal (Lee dan Cotte, 2009)

b. Penyesalan akibat evaluasi pada proses pembelian barang (process regret) Process regret terjadi ketika individu membandingkan proses pengambilan keputusan yang telah dilakukan dengan proses pengambilan keputusan alternatif yang lebih baik. Process regret terbagi atas dua, yaitu:

1) Regret due to under consideration (Penyesalan karena kurangnya pertimbangan)

Individu menilai kualitas dari keputusan yang mereka lakukan dengan memeriksa bagaimana keputusan itu dibuat dan dilaksanakan serta jumlah informasi yang telah mereka kumpulkan (Janis dan Mann, 1977). Individu dapat merasa menyesal apabila mereka merasa gagal dalam melaksanakan keputusan sesuai dengan yang mereka inginkan. Individu juga dapat merasa menyesal apabila mereka yakin bahwa mereka kekurangan informasi baik dari segi kualitas maupun kuantitas untuk membuat keputusan yang baik.

(5)

2) Regret due to over consideration (Penyesalan karena pertimbangan berlebihan)

Penyesalan karena pertimbangan berlebihan terjadi karena individu merasa telah menghabiskan waktu dan usaha yang berlebihan dalam proses membeli. Selain itu, individu juga dapat menyesali beban emosional, cognitive overload, dan stress yang dialami selama proses pengambilan keputusan (Lee dan Cotte, 2009).

3. Faktor yang Mempengaruhi Penyesalan Pasca Pembelian

Delacroix (dalam M’Barek dan Gharbi, 2011) mengklasifikasikan faktor-faktor yang mempengaruhi penyesalan pasca pembelian pada konsumen ke dalam dua kategori, yaitu:

a. Faktor situasi

1) Rasa tanggung jawab terhadap pilihan yang dibuat

Ketika konsumen merasa bertanggung jawab atas keputusan yang diambil dan merasa bahwa mereka tidak cukup berusaha dalam mencari informasi, maka mereka cenderung menyesali keputusan yang diambil (Van Djik dkk, 1999).

2) Pilihan antara merek dan harga

Simonson (1992) menemukan bahwa terdapat hubungan dua arah antara penyesalan dengan pilihan antara merek dan harga. Konsumen cenderung memilih produk mahal dari merek yang sudah dikenal untuk menghindari

(6)

perasaan menyesal. Ini dikarenakan mereka merasa lebih bertanggung jawab ketika membeli produk yang murah dari merek yang tidak terkenal dan mendapati produk tersebut tidak tahan lama. Namun, konsumen juga seringkali mengeluh jika mereka membeli produk yang terbaik dari merek terkenal, dan menyadari bahwa produk tersebut tidak lebih baik. Selain itu, konsumen yang memilih produk yang kurang terkenal dan lebih murah bisa saja tidak merasa menyesal disebabkan mereka memiliki harapan yang realistis akan performa produk tersebut.

3) Waktu dalam pengambilan keputusan

Simonson (1992) menyebutkan bahwa jika konsumen memilih untuk tidak membeli sebuah produk pada satu kesempatan, mereka cenderung merasa menyesal jika kesempatan yang mereka lewatkan memberikan penawaran yang lebih menarik. Konsumen juga cenderung merasa menyesal jika mereka mendapati bahwa produk yang telah dibeli ternyata ditawarkan dengan harga yang lebih murah pada kesempatan lain (M’Barek dan Gharbi, 2011).

4) Sifat pembelian

Konsumen yang melakukan pembelian impulsif cenderung merasa menyesal dibandingkan dengan konsumen yang melakukan pembelian terencana. Dalam pembelian impulsif, sisi emosional konsumen lebih berperan sehingga mereka tidak mempedulikan konsekuensi dari keputusan yang mereka buat (M’Barek dan Gharbi, 2011).

(7)

5) Keterlibatan

Konsumen cenderung merasa menyesal jika mereka kurang terlibat dalam proses pembelian dan juga terhadap produk yang mahal dibandingkan produk yang murah (M’Barek dan Gharbi, 2011).

6) Adanya alternatif pilihan

Jumlah pilihan produk yang sangat banyak di pasaran dapat menguntungkan karena konsumen dapat memilih produk mana yang sesuai. Namun, Schwartz (dalam M’Barek dan Gharbi, 2011) menyatakan bahwa pilihan yang banyak juga memiliki dampak negatif karena konsumen bisa merasa menyesal apabila tidak memilih produk yang terbaik.

b. Faktor disposisi 1) Self-esteem

Konsumen dengan self-esteem yang rendah cenderung mengevaluasi keputusan yang dibuat secara negatif dan merasa menyesal dibandingkan konsumen yang memiliki rasa percaya diri yang tinggi (Roese dan Olson, 1993; Brown dan Smart, 1991 dalam M’Barek dan Gharbi, 2011).

2) Perbandingan sosial

Konsumen yang seringkali membandingkan diri mereka dengan orang lain, cenderung menyesali pilihan yang mereka ambil. Selain itu, konsumen yang sensitif terhadap kritik dan pandangan orang lain, juga cenderung menyesali pilihan yang mereka ambil (M’Barek dan Gharbi, 2011).

(8)

3) Keraguan

Konsumen yang ragu-ragu cenderung menyesali pilihan yang mereka ambil karena mereka cenderung lambat dan kurang yakin ketika membuat keputusan sehingga seringkali mereka membandingkan produk yang telah mereka beli pasca pembelian (M’Barek dan Gharbi, 2011).

4) Jenis kelamin

Wanita cenderung merasa lebih menyesal dibandingkan pria dikarenakan wanita lebih sensitif dan emosional dan mereka cenderung melakukan perbandingan yang memicu munculnya perasaan menyesal (M’Barek dan Gharbi, 2011).

5) Usia

Konsumen muda lebih sering merasa menyesal dibanding konsumen yang lebih tua. Ini dikarenakan konsumen yang lebih tua dianggap sudah cukup bijaksana untuk menghindari membuat kesalahan dalam pilihan yang mereka ambil dan kurang impulsif serta jarang merasakan penyesalan (M’Barek dan Gharbi, 2011).

6) Impulsifitas

Impulsifitas memiliki hubungan positif dengan penyesalan pasca pembelian. Konsumen yang impulsif cenderung merasa menyesal karena mereka kurang memberikan usaha dalam proses pengambilan keputusan sehingga mereka lebih merasa bertanggung jawab terhadap kegagalan yang dialami akibat pengalaman negatif (M’Barek dan Gharbi, 2011).

(9)

Dari sejumlah faktor situasi dan faktor disposisi yang telah dijelaskan di atas, yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah impulsifitas. Yang membedakan penelitian ini dari penelitian yang telah dilakukan M’Barek dan Gharbi adalah dari jenis penelitian, karakteristik sampel, dan metode analisa data. Penelitian M’Barek dan Gharbi merupakan penelitian kualitatif yang menggunakan metode wawancara, skenario, asosiasi bebas, melengkapi kalimat, dan teknik bercerita. Jumlah sampel yang diteliti hanya berjumlah 15 orang sehingga yang menjadi salah satu kelemahan penelitian M’Barek dan Gharbi adalah tidak bisa digeneralisasikan ke populasi yang lebih luas.

B. Pembelian Impulsif

Usaha yang diberikan setiap individu saat membuat keputusan dalam kegiatan membeli berbeda antara pembelian yang satu dengan yang lainnya. Kadang, pengambilan keputusan dilakukan secara otomatis, informasi yang sedikit, dan keterlibatan yang rendah. Jenis pembelian yang tidak direncanakan ini dinamakan pembelian impulsif (Solomon dkk, 2006).

1. Pengertian Pembelian Impulsif

Impuls adalah keinginan tiba-tiba untuk berperilaku. Hal ini terjadi ketika individu melakukan sesuatu berdasarkan emosi daripada berdasarkan analisa yang beralasan (Hoyer dan MacInnis, 2010).

(10)

Hoyer dan MacInnis (2010) mendefinisikan pembelian impulsif sebagai pembelian yang terjadi ketika konsumen secara tiba-tiba memutuskan untuk membeli sesuatu yang tidak direncanakan untuk dibeli sebelumnya.

Solomon, dkk (2006) mendefinisikan pembelian impulsif sebagai suatu proses yang terjadi ketika konsumen mengalami dorongan tiba-tiba untuk membeli suatu benda yang tidak dapat ditolak.

Rook (dalam Earl dan Kemp, 1999) menyebutkan yang membedakan antara pembelian impulsif dan rasional adalah kehadiran faktor emosional yang meningkat, suatu desakan untuk mengkonsumsi dan kecenderungan psikologis untuk melakukan pembelian segera.

Pembelian impulsif dapat dikatakan sebagai perilaku yang tidak ada artinya karena biasanya dilakukan adanya kontrol atau atensi, sehingga bisa dianggap terjadi secara otomatis (Langer, 1989 dalam Herabadi, 2003). Pembelian impulsif biasanya melibatkan respon emosional yang tinggi dan terjadi tanpa adanya rencana (Herabadi, 2003).

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelian impulsif adalah pengambilan keputusan untuk membeli sesuatu yang tidak direncanakan sebelumnya di mana individu merasakan dorongan yang kuat untuk membeli sebuah produk tanpa mempedulikan konsekuensi negatif dan adanya keterlibatan emosional yang tinggi.

(11)

2. Pengukuran Pembelian Impulsif

Rook dan Hoch (1985) mengidentifikasi 5 elemen yang dapat dijadikan sebagai dasar untuk mengukur pembelian impulsif, yaitu:

a. Perilaku impulsif melibatkan keinginan untuk berperilaku yang tiba-tiba dan spontan

Dittmar (2008) menyebut perilaku ini sebagai perilaku yang terjadi seketika, dilakukan tanpa perencanaan dan tanpa intensi sebelumnya. Hoyer dan MacInnis (2010) menyebutnya sebagai perasaan yang intens untuk membeli produk segera.

b. Konsumen impulsif merasakan dorongan untuk membeli yang tiba-tiba dapat menyebabkan konsumen berada dalam keadaan psikologis yang disekuilibrium

Pembelian impulsif dapat membuat konsumen kehilangan kontrol dan terus menerus memikirkan produk yang ingin dibelinya yang bisa mengancam kondisi sosioekonomi mereka.

c. Ketika konsumen membeli secara impulsif, maka dapat terjadi konflik psikologis

Pembelian impulsif memunculkan perasaan bimbang pada diri konsumen apakah harus membeli produk yang mereka sukai atau mendahulukan kebutuhan dan mengabaikan keinginan mereka. Konsumen yang impulsif cenderung untuk menyerah terhadap keinginan mereka dan membeli barang

(12)

yang menarik perhatian dan mampu memuaskan mereka dalam jangka waktu pendek.

d. Konsumen akan mengurangi evaluasi kognitif mereka terhadap atribut produk ketika dia membeli secara impulsif

Konsumen tidak mempertimbangkan dengan hati-hati alternatif yang ada dan juga memiliki informasi yang kurang mengenai produk.

e. Konsumen tidak menghiraukan konsekuensi dari perilaku impulsif tersebut Dittmar (2008) menyebut elemen ini sebagai keinginan untuk membeli suatu produk yang sangat kuat sehingga mengabaikan kesulitan dan konsekuensi finansial. Hoyer dan MacInnis (2010) menyebutkan sebagai kondisi di mana konsumen tidak menghiraukan konsekuensi negatif dari perilaku membeli. Dittmar (2008) dan Hoyer dan MacInnis (2010) menambahkan satu elemen penting lain yaitu keterlibatan emosional dan psikologis individu yang tinggi pada pembelian impulsif. Hal ini biasanya berupa perasaan euphoria dan senang.

C. Hubungan Pembelian Impulsif dengan Penyesalan Pasca Pembelian

Penyesalan pasca pembelian adalah sensasi menyakitkan yang timbul setelah membeli suatu produk karena mendapat perbandingan yang tidak setara antara apa yang diharapkan dengan apa yang didapatkan setelah membeli dan menggunakan produk tersebut (Sugden, 1985; Bell, 1982; Tsiros dan Mittal, 2000 dalam Lee dan Cotte, 2009).

(13)

Penyesalan dapat dipengaruhi oleh faktor disposisi maupun situasi. Faktor-faktor situasi yang mempengaruhi penyesalan di antaranya adalah rasa tanggung jawab terhadap pilihan yang dibuat, kesenjangan antara ekspektasi dan kenyataan, pilihan antara merek dan harga, jenis pembelian, waktu dalam pengambilan keputusan, pelayanan toko, keterlibatan, adanya alternatif pilihan produk lainnya. Sedangkan faktor-faktor disposisi yang mempengaruhi penyesalan adalah self-esteem, perbandingan sosial, keraguan, usia, jenis kelamin, dan impulsifitas (M’Barek dan Gharbi, 2011).

Impulsifitas merupakan salah satu karakteristik yang dapat menimbulkan perasaan penyesalan pasca pembelian. Ini disebabkan impulsifitas seringkali disertai dengan usaha yang kurang maksimal dalam proses pengambilan keputusan sehingga memunculkan rasa tanggung jawab yang lebih besar karena individu gagal dalam mengambil keputusan yang lebih baik (M’Barek dan Gharbi, 2011).

Pembelian impulsif adalah pembelian yang terjadi ketika konsumen mengalami dorongan yang tiba-tiba dan tidak terkontrol untuk membeli suatu benda yang tidak direncanakan sebelumnya dan melibatkan keterlibatan emosional yang tinggi (Herabadi, 2003; Solomon dkk, 2006; Hoyer dan MacInnis, 2010).

MacInnis dan Patrick (dalam Suh, Na, Kim, 2010) menyatakan bahwa perasaan seperti senang, bersalah, malu, bangga, dan menyesal bisa muncul setelah melakukan pembelian impulsif. Pembelian impulsif seringkali dikaitkan dengan penyesalan pasca pembelian, pengembalian produk, rasa frustrasi, ketidakpuasan, dan rasa bersalah. Meskipun konsumen merasa senang dan puas saat proses pembelian,

(14)

namun mereka mengalami perasaan negatif dan rasa frustasi setelah pembelian dilakukan sehingga konsumen yang melakukan pembelian impulsif lebih mungkin untuk mengembalikan produk yang telah dibeli dan mengalami penyesalan pasca pembelian (Virvilaitė, Saladienė, dan Žvinklytė, 2011; Suh, Na, Kim, 2010; Dittmar, 2008; Herabadi, 2003).

Perilaku membeli wanita dianggap lebih emosional dibandingkan pria yang mengindikasikan bahwa wanita lebih responsif terhadap pembelian impulsif (Coley dan Burgess, 2003 dalam Saleh, 2012; Giraud, 2001 dalam Tinne 2011). Wanita adalah individu yang lebih sensitif dibandingkan pria sehingga mereka lebih mungkin menunjukkan respon emosional. Selain itu, wanita cenderung melakukan perbandingan sehingga meningkatkan munculnya penyesalan pasca pembelian (M’Barek dan Gharbi, 2011; Coley dan Burgess, 2003 dalam Saleh, 2012).

D. Hipotesa Penelitian

Berdasarkan pemaparan di atas, maka hipotesa yang diajukan dalam penelitian ini adalah: “Ada pengaruh positif antara pembelian impulsif terhadap penyesalan pasca pembelian pada wanita”. Di mana semakin impulsif individu dalam perilaku membeli, maka semakin menyesal individu. Sebaliknya, semakin tidak impulsif individu dalam perilaku membeli, maka semain tidak menyesal individu.

Referensi

Dokumen terkait

Dua lingkaran yang sama dengan jari-jari r berada di dalam segitiga yang bersinggungan dan juga sisi AC dan AB dan lingkaran yang lain menyinggung sisi AC dan

RPIJM Bidang Cipta Karya merupakan dokumen perencanaan dan pemrograman pembangunan infrastruktur Bidang Cipta Karya yang disusun oleh Pemerintah Kabupaten/Kota

Judul : Pengembangan Model Pembelajaran IPA Terpadu dengan Pendekatan Jelajah Alam Sekitar (JAS) melalui Lesson Study untuk Meningkatkan Profesionalisme Guru IPA SMP. Program :

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa perlakuan terbaik ialah perlakuan P 7 dengan komposisi media tanam tanah (20%), abu vulkanik gunung Kelud

 Aset keuangan yang diukur pada nilai wajar melalui laporan laba rugi termasuk aset keuangan untuk diperdagangkan dan aset keuangan yang

results-oriented accountability, drawing on lessons learned while teaching a seminar on accountability and highlighting the development of accountability policy in North Carolina..

Unesco juga sangat memperhatikan prosedur ini, maka harus dilakukan dengan baik agar terujudlah Kawasan Kota Lama Semarang sebagai kawasan warisan dunia, tidak

Berdasarkan pembahasan dan simpulan yang telah dikemukakan pada penelitian ini maka dapat direkomendasikan bahwa penerapan model pembelajaran Snowball Throwing dapat