• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. TINJAUAN PUSTAKA. Ekologi. Gambar 2. Komponen kawasan pesisir secara terpadu ( Bengen, 2004).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2. TINJAUAN PUSTAKA. Ekologi. Gambar 2. Komponen kawasan pesisir secara terpadu ( Bengen, 2004)."

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Batasan dan Karakteristik Kawasan Pesisir

Undang-Undang RI. No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Kawasan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil mengemukakan bahwa kawasan pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut kearah laut sejauh 12 mil laut diukur dari garis pantai.

Kawasan pesisir adalah kawasan dimana daratan berbatasan dengan laut. Batas di daratan meliputi daerah-daerah yang tergenang air yang masih dipengaruhi oleh proses-proses laut seperti pasang-surut, angin laut, dan intrusi garam (Bengen, 2004). Selanjutnya, dikatakan bahwa batas di laut adalah daerah yang dipengaruhi oleh proses-proses alami di daratan seperti sedimentasi dan mengalirnya air tawar ke laut, serta daerah-daerah laut yang dipengaruhi kegiatan-kegiatan manusia di daratan. Kawasan pesisir secara konseptual merupakan interaksi komponen ekologi, sosial, dan ekonomi (Gambar 2).

Gambar 2. Komponen kawasan pesisir secara terpadu ( Bengen, 2004).

Bentuk pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa lingkungan di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil terdiri atas pemanfaatan sumberdaya dapat pulih (renewable resources) dan tidak dapat pulih (non renewable resources) serta jasa lingkungan. Sumberdaya dapat pulih berupa ekosistem hutan mangrove, ekosistem terumbu karang, ekosistem padang lamun, dan ekosistem estuaria. Sumberdaya tidak dapat pulih berupa mineral hydrothermal, energi kelautan, bahan tambang, serta gas biogenik kelautan (methan). Jasa-jasa lingkungan (enviromental services), pada umumnya berupa wisata bahari, wisata pulau-pulau kecil, wisata sejarah, wisata budaya, dan transportasi laut (Bengen 2006).

Ekologi i

(2)

Pengelolaan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil merupakan suatu proses perencanaan, pemanfatatan, pengawasan, dan pengendalian sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil antar sektor, antara pemerintah dan pemerintah daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Undang-Undang RI. No 27 Tahun 2007). Pengelolaan kawasan pesisir secara terpadu memiliki pengertian bahwa pengelolaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan pesisir dan laut dilakukan melalui penilaian secara terpadu (comprehensive assesment) guna mencapai pembangunan kawasan pesisir dan laut yang optimal dan berkelanjutan.

Perencanaan dan pengelolaan tersebut dilakukan secara kontinyu dan dinamis dengan mempertimbangkan aspek sosial-ekonomi-budaya dan aspirasi masyarakat pengguna kawasan pesisir (stakeholders) serta konflik kepentingan dan pemanfaatan yang mungkin ada (Dahuri et al, 2001). Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan untuk memenuhi kebutuhan hidup saat ini tanpa merusak atau menurunkan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (WCED, 1987).

Pengelolaan kawasan pesisir secara terpadu merupakan suatu pendekatan pengelolaan yang meliputi lima dimensi keterpaduan yaitu: (1) keterpaduan ekologis, (2) keterpaduan sektor, (3) keterpaduan stakeholder, (4) keterpaduan disiplin ilmu, dan (5) keterpaduan antar negara (Cicin-Sain 1998 in Darajati et al, 2004). Selanjutnya, Goodwin (1999) mengemukakan bahwa program pengelolaan kawasan pesisir dapat dikatakan efektif apabila memenuhi empat syarat yaitu: (1) diwujudkan dalam bentuk kebijakan formal untuk tujuan revitalisasi waterfront yang rusak, (2) mempunyai bantuan teknis atau keuangan dalam bentuk kemitraan, (3) meningkatkan manfaat sosial dan ekonomi pada masyarakat, dan (4) penambahan aksesibilitas publik terhadap air, kerusakan lingkungan, dan memelihara situs dan struktur sejarah.

Dahl (1997), menyatakan bahwa terdapat lima karakteristik kesuksesan program pengelolaan pesisir yaitu: (1) program pengelolaan pesisir memusatkan pada issu tertentu, (2) keterlibatan dari semua yang dipengaruhi oleh tindakan dan kebijakan program, (3) penggunaan pengetahuan yang terbaik tentang hubungan

(3)

timbal balik antara fungsi ekosistem dan kebutuhan masyarakat dan nilai-nilainya, (4) keputusan proses pengambilan keputusan yang efesien, dan (5) implementasi program. Selanjutnya, Christie et al (2003) mengemukakan bahwa salah satu faktor penting terhadap keberlanjutan program pengelolaan kawasan pesisir secara terpadu adalah dukungan dari seluruh pemangku kepentingan, oleh karena dengan adanya konflik kepentingan ataupun konflik persepsi di antara konstituen atau stakeholder (nelayan, LSM, swasta, penyelenggara wisata bahari, pemerintah, ilmuwan) akan menimbulkan ketidakpuasan diantara mereka sehingga dapat menimbulkan konflik pemanfaatan diantara stakeholder yang dapat berakibat terancamnya keberlanjutan kegiatan pengelolaan kawasan pesisir secara terpadu.

Dahl (1997) mengemukakan bahwa kunci keberhasilan dalam pengelolaan pesisir dan laut secara terpadu adalah partisipasi masyarakat dan nelayan, oleh karena masyarakat dan nelayan adalah sebagai pemegang kepentingan utama dalam pengelolaan kawasan pesisir dan laut. Masyarakat dan nelayan selaku pemegang kepentingan utama memiliki variabel sosial yaitu: ketersediaan pengaturan pengelolaan sumberdaya secara formal, tingkat kepatuhan masyarakat, dan pelaksanaan pemantauan. Keseluruhan variabel sosial ekonomi masyarakat dan nelayan dapat menjadi insentif atau disinsentif masyarakat untuk bekerjasama dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya

Masyarakat pesisir didefinisikan sebagai kelompok orang yang tinggal di daerah pesisir dan sumber kehidupan perekonomiannya bergantung secara langsung pada pemanfaatan sumberdaya laut dan pesisir. Masyarakat ini merupakan masyarakat nelayan yang terdiri dari nelayan pemilik, buruh nelayan, pembudidaya ikan dan organisme laut lainnya, pedagang ikan, pengolah ikan, suplier faktor sarana produksi perikanan. Dalam bidang non-perikanan, masyarakat pesisir bisa terdiri dari penjual jasa pariwisata, penjual jasa transportasi, serta kelompok masyarakat lainnya yang memanfaatkan sumberdaya non-hayati laut dan pesisir untuk menyokong kehidupannya (Nikijuluw, 2003).

Lebih lanjut dikatakan, secara operasional masyarakat pesisir adalah kelompok yang dominan bermukim di kawasan pesisir di seluruh Indonesia, di pantai, di pulau-pulau besar dan pulau-pulau kecil. Sebagian masyarakat nelayan pesisir adalah pengusaha skala kecil dan menengah. Namun usaha dan kegiatan

(4)

ekonominya untuk menghidupi keluarga sendiri, dengan skala yang begitu kecil sehingga hasilnya cukup untuk memenuhi kebutuhan jangka waktu sangat pendek.

Secara sosiologis, karakteristik sosial masyarakat pesisir berbeda dengan karakteristik sosial masyarakat agraris. Karakteristik masyarakat agraris, yaitu pengelolaan lahan untuk produksi suatu komunitas dengan output yang relatif dapat diprediksi, sehingga mobilitas produksi relatif rendah dan elemen resiko pun tidak terlalu besar. Karakteristik masyarakat nelayan, yaitu kondisi sumberdaya bersifat terbuka (open acses), menyebabkan nelayan harus berpindah-pindah untuk memperoleh hasil yang maksimal, sehingga elemen resikonya menjadi sangat tinggi. Kondisi sumberdaya yang berisiko menyebabkan nelayan memiliki karakter keras, tegas dan terbuka (Satria, 2002).

Smith (1979) in Yusuf (2007) mengemukakan bahwa kekuatan asset perikanan (fixity and rigidity of fishing assets) adalah alasan (reasoning) utama mengapa nelayan tetap tinggal atau bergelut dengan kemiskinan dan sepertinya tidak ada upaya mereka untuk keluar dari kemiskinan. Kemiskinan merupakan indikator ketertinggalan masyarakat pesisir. Berdasarkan jenisnya, kemiskinan terdiri atas tiga jenis utama yaitu: 1) kemiskinan struktural, 2) kemiskinan super-struktural, dan 3) kemiskinan kultural. Kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang disebabkan karena pengaruh faktor variabel eksternal (struktur sosial ekonomi masyarakat, ketersediaan insentif/disinsentif, ketersediaan fasilitas pembangunan, ketersediaan teknologi, dan ketersediaan sumberdaya alam di luar individu. Kemiskinan super-struktural adalah kemiskinan yang disebabkan karena variabel-variabel kebijakan makro (fiskal, moneter, ketersediaan hukum dan perundang-undangan, pemerintah dalam proyek dan program pembangunan), yang tidak begitu kuat berpihak pada pembangunan nelayan. Kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang disebabkan karena variabel-variabel (tingkat pendidikan, pengetahuan, adat, budaya, kepercayaan, kesetiaan pada pandangan-pandangan tertentu, serta ketaatan pada panutan) yang melekat, inheren, dan menjadi gaya hidup tertentu (Nikijuluw, 2003).

Durkheimian (1917) in Bilhair (2003) mengemukakan pandangan sosial radikal tentang perilaku manusia sebagai suatu yang dibentuk oleh kultur dan struktur sosial. Durkheimian berpendapat bahwa masyarakat bukanlah sekedar

(5)

jumlah total individu-individu tetapi merupakan suatu sistem yang dibentuk oleh bersatunya mereka dalam suatu realitas spesifik yang memiliki karakteristiknya sendiri. Selanjutnya, Durkheimian memandang bahwa yang mempersatukan masyarakat adalah budaya, sehingga dalam masyarakat yang stabil tidak ada konflik kepentingan (sosial, material idiologis) dari satu kelompok atas kelompok yang lain.

Dinamika dan partisipasi masyarakat hanya bisa dilakukan bila nilai-nilai budaya berbagai etnik dipahami secara utuh. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa di kalangan masyarakat telah berkembang kondisi disintegrasi sosial budaya yang justru menimbulkan sikap anomi. Penyebabnya adalah para pengambil keputusan acap kali mengabaikan nilai-nilai budaya masyarakat setempat dalam melakasanakan pembangunan nasional dan daerah. Nilai-nilai kearifan tradisi yang berkembang di masyarakat sesungguhnya dapat dijadikan sebagai energi untuk menggerakkan dinamika pembangunan (Meiyani, 2004).

2.2. Batasan dan Karakteristik Pulau-Pulau Kecil

Pulau Kecil adalah pulau yang berukuran kecil yang secara ekologis terpisah dari pulau induknya (mainland) dan memiliki batas daratan yang pasti, dan mempunyai penduduk 0,5 juta jiwa atau kurang (Dahuri 2001). Undang-undang RI tahun 2007 tentang Pengelolaan Kawasan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil mengemukakan bahwa pulau kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2000 km2 beserta kesatuan ekosistemnya.

Pulau-pulau kecil berdasarkan Kepmen Kelautan dan Perikanan Tahun 2000 tentang Pedoman Umum Pengelolaan Pulau-pulau Kecil yang Berkelanjutan dan Berbasis Masyarakat menyebutkan bahwa pulau-pulau kecil atau gugusan pulau-pulau kecil adalah kumpulan pulau-pulau yang secara fungsional saling berinteraksi dari sisi ekologis, ekonomi, sosial dan budaya

,

baik secara individual maupun secara sinergis dapat meningkatkan skala ekonomi dari pengelolaan sumberdayanya. Sedangkan, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No.41 Tahun 2000, yang dimaksud dengan pulau-pulau kecil adalah pulau yang mempunyai luas area kurang dari atau sama dengan 10.000 m dengan jumlah penduduk kurang dari atau sama dengan 200.000 orang (DKP, 2001).

(6)

Batasan yang sama juga digunakan oleh Hess (1990), namun dengan jumlah penduduk kurang dari atau sama dengan 500.000 orang. Namun demikian, ternyata banyak pulau yang berukuran antara 1000 – 2000 m memiliki karakteristik dan permasalahan yang sama dengan pulau yang ukurannya kurang dari 1000 km2, sehingga diputuskan oleh UNESCO tahun 1991 bahwa batasan pulau kecil adalah pulau dengan luas area kurang dari atau sama dengan 2000 km2 (Bengen, 2006).

Pulau-pulau kecil memiliki empat karakteristik, yaitu : (1) secara ekologis terpisah dari pulau induknya (mainland island), memiliki batas fisik yang jelas dan terisolasi dari habitat pulau induk, sehingga besifat insular, (2) memiliki proporsi spesies endemik lebih besar daripada yang terdapat di pulau induk, (3) daerah tangkapan air (catchment area) relatif kecil sehingga sebagian besar aliran air permukaan dan sedimen masuk kelaut, akibatnya pulau kecil selalu peka terhadap kekeringan dan kekurangan air, dan (4) dari segi sosial ekonomi budaya, masyarakat pulau-pulau kecil bersifat khas (DKP, 2001).

Pengelolaan pulau-pulau kecil dimaksudkan untuk memberdayakan serta meningkatkan kemampuan kawasan dalam mengelola potensi kelautan dan perikanan secara terintegrasi dan menyeluruh, melalui kemampuan daerah, partisipasi publik, dunia usaha, serta dukungan penmerintah. Pulau-pulau kecil pada prinsipnya memiliki tiga fungsi bagi proses pembangunan, yaitu fungsi ekologi, sosial budaya, dan ekonomi. Ketiga fungsi ini akan diperoleh apabila keberadaan sumberdaya kelautan tetap terjaga, meskipun dari waktu ke waktu dimanfaatkan sebagai modal pembangunan (DKP, 2001). Konsep integrasi harus dipikirkan dalam pengelolaan pulau-pulau kecil untuk menyesuaikan kondisi geografi dan sosial ke seluruh pulau dan perairannya sebagai suatu kawasan, sehingga pengelolaan dapat sesuai dengan perencanaan pengelolaan. Pengelolaan mungkin dapat memperlemah suatu efektifitas program, yang mana kegagalan dalam implementasi program dapat dihubungkan dengan pembatas kelembagaan di dalam pemerintahan (Butler, 2002).

Berpijak pada berbagai karakteristik pulau-pulau kecil (sumberdaya alam, aspek lingkungan dan budaya yang khas) maka pengembangan pulau-pulau kecil memiliki karakter khusus, yang mana karakter khusus tersubut menjadi kendala

(7)

bagi pembangunan pulau-pulau kecil itu sendiri. Beberapa karakter khusus tersebut adalah:

a. Ukuran yang kecil dan terisolasi, sehingga penyediaan prasarana dan sarana menjadi sangat mahal, dan sumberdaya manusia yang handal menjadi langka.

b. Kesukaran atau ketidak mampuan untuk mencapai skala ekonomi yang optimal dan menguntungkan dalam hal administrasi, usaha produksi, dan transportasi turut menghambat pembangunan hampir semua pulau-pulau kecil di dunia (Brookfield 1990; Hei 1990 in Dahuri 1998). c. Ketersediaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan, seperti air

tawar, vegetasi, tanah, ekosistem pesisir dan satwa liar, pada akhirnya akan menentukan daya dukung suatu system pulau kecil dan menopang kehidupan manusia penghuni dan segenap kegiatan pembangunan. d. Produktivitas sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat

disetiap unit ruang (lokasi) di dalam pulau dan yang terdapat disekitar pulau (seperti ekosistem terumbu karang dan perairan pesisir) saling terkait satu sama lain secara erat.

e. Budaya lokal kepulauan kadangkala bertentangan dengan kegiatan pembangunan (McElroy et al. 1990 in Dahuri 1998).

Simatupang (1998), beberapa karakteristik dapat dicermarti pada pulau-pulau kecil sehingga merupakan kendala dalam pembangunannya yaitu:

1. Ukuran kecil dan lokasinya terpencil/terisolasi.

2. Pulau-pulau kecil banyak yang belum berpenduduk, kalaupun ada relatif terbelakang, pendidikannya rendah serta sulit mendapatkan tenaga kerja yang memadai keterampilannya.

3. Sulit atau ketidakmampuan untuk mencapai skala ekonomi yang optimal dan menguntungkan dalam hal administrasi, usaha produksi dan transportasi yang turut menghambat pembangunan.

4. Keterbatasan material yang tidak dimiliki pulau-pulau kecil. 5. Budaya lokal kadang kala bertentangan dengan pembangunan.

6. Pengembangan pulau-pulau kecil mempunyai kedudukan yang strategis dari aspek hankam.

(8)

Kelembagaan juga masih menjadi kendala pembangunan pulau-pulau kecil, diantaranya konplik penggunaan ruang yang belum teratasi. Di sini terlihat masih kentalnya pola pendekatan pembangunan sektoral yang hanya memperhatikan masing-masing sektor, dan mengabaikan akibat yang timbul dari atau terhadap sektor lain.

2.3 Pengembangan Wisata Bahari Di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Wisata adalah pergerakan temporer wisatawan ke ODTW di luar tempat mereka tinggal dan bekerja. Selama tinggal di ODTW tersebut, mereka melakukan kegiatan rekreasi di tempat yang terdapat fasilitas akomodasi untuk memenuhi kebutuhan mereka (Mathieson dan Wall 1982 in Debora 2003). Orams (1999) in Baksir (2010) menyatakan bahwa wisata bahari merupakan suatu kegiatan rekreasi dari satu tempat lain dimana laut sebagai media tempat mereka. Hidayah (2000) menyatakan bahwa wisata bahari merupakan kegiatan wisata yang ada hubungannya dengan laut seperti santai di pantai menikmati alam sekitar, berenang, berperahu, berselancar, menyelam dan dan berwisata kealam laut menikmati terumbu karang dan biota laut, obyek purbakala, kapal karam, pesawat tenggelam, serta berburu ikan-ikan laut. Pembangunan wisata bahari diarahkan untuk memanfaatkan jasa-jasa lingkungan ekosistem pesisir dan laut dalam rangka meningkatkan ekonomi masyarakat dan menambah devisa negara. Oleh karena itu, keindahan dan kenyamanan, kekayaan dan keanekaragaman ekosistem pesisir serta keunikannya, harus dirawat dan dilestarikan.

Pengembangan wisata bahari mempunyai 4 prinsip yaitu: (1) prinsip konservasi, dengan prinsip bertanggung jawab dan komitmen terhadap pelestarian lingkungan alam serta melaksanakan usaha yang secara ekonomi dapat meningkatkan kesejahteraan bagi masyarakat lokal dan berkelanjutan, (2) prinsip partisipasi masyarakat, dengan prinsip berdasarkan musyawarah dengan masyarakat setempat serta peka dan menghormati nilai-nilai sosial budaya dan tradisi keagamaan yang dianut masyarakat setempat, (3) prinsip ekonomi, dengan prinsip bahwa pengembangan ekonomi harus mampu memberikan manfaat bagi masyarakat setempat dan menjadi penggerak ekonomi dikawasannya serta pelaksanaan pembangunan berimbang antara pelestarian lingkungan dengan

(9)

kepentingan semua pihak, (4) prinsip edukatif yaitu untuk meningkatkan kesadaran dan apresiasi terhadap alam, budaya dan nilai-nilai peninggalan sejarah serta memberikan nilai tambah dan pengetahuan bagi pengunjung, masyarakat dan pihak terkait (DKP, 2009).

Berdasarkan batasan wisata bahari, ada lima syarat kecukupan yang perlu dipertimbangkan dalam menganalisis kecukupan wisata yaitu: (1) pemanfaatan lingkungan untuk perlindungan (konservasi), (2) partisipasi aktif masyarakat lokal, (3) produk wisata harus mengandung pendidikan dan pembelajaran; (4) dampak lingkungan yang rendah, dan (5) memberikan kontribusi positif terhadap ekonomi lokal (Sekartjakrarini dan Legoh 2004).

Hall (2001) membagi wisata bahari atas dua jenis yaitu wisata pesisir dan wisata bahari. Wisata pesisir berhubungan dengan kegiatan pleasure dan aktifitas rekreasi yang dilakukan di kawasan pesisir dan perairan lepas pantai, meliputi rekreasi menonton ikan paus dari pinggiran pantai, berperahu, memancing,

snorkling dan menyelam, sedangkan wisata bahari berhubungan dengan wisata

pantai tetapi lebih mengarah pada perairan laut dalam seperti memancing di laut dalam dan berlayar dengan kapal pesiar.

2.3.1 Wisata Pesisir

Wisata pesisir adalah wisata yang memanfaatkan daerah pertemuan antara darat dan laut, ke arah darat kawasan pesisir meliputi: bagian daratan, baik kering maupun terendam air, maupun yang masih dipengaruhi oleh pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin (Supriharyono, 2000). Menurut Undang-undang No.32/2004 kewenangan pengelolaan sumber daya laut adalah 4 mil diukur dari garis pantai ke arah laut untuk kabupaten kota, sedangkan untuk provinsi adalah 12 mil.

Wisata pesisir adalah kegiatan wisata leisure dan aktivitas rekreasi yang dilakukan di kawasan pesisir dan perairannya, yang aktivitas wisatanya terdiri atas kegiatan yang berlangsung di pantai (pemandangan, wisata pantai dan perjalanan di karang tepi), dan wisata diperairan laut (menyelam, berenang, dan memancing), sehingga kegiatan wisata pesisir sangat dipengaruhi oleh ekosistem dan lingkungan di mana kawasan tersebut banyak ditemukan pantai berpasir, terumbu

(10)

karang, mangrove, hingga cagar budaya (Hall, 2001). Lebih lanjut dikatakan bahwa dalam perkembangan wisata pesisir, diperlukan aksesibilitas ke lokasi wisata guna mengoptimalkan potensi sumberdaya wisata dan peluang pasar wisata.

Wisata pesisir merupakan kegiatan wisata yang semua kegiatan wisatanya mengandalkan daya tarik alami lingkungan pesisir dan laut baik secara langsung maupun tidak langsung. Apabila kawasan hinter landnya dimanfaatkan untuk pemukiman, maka sistem pariwisata yang dikembangkan adalah pariwisata berkelanjutan yang memperhatikan daya dukung fisik dan sosial (Wong, 1991).

Wisata pesisir merupakan salah satu bentuk usaha yang potensial untuk dikembangkan karena kegiatan/aktivitas wisatanya dilakukan di kawasan pesisir, yang memiliki sumberdaya alam hayati yang cukup tinggi serta karakteristik alamnya yang unik dengan berbagai keindahan alam yang terdiri dari berbagai jenis satwa liar, tumbuhan, bentang alam dan panorama alam, baik dari segi kuantitatif panjang pantainya, kualitas keragaman pisik dan visualnya. Selain itu, peninggalan sejarah dan budaya masyarakat juga merupakan daya tarik wisata, baik untuk wisatawan domestik maupun mancanegara (Bjork, 2000). Pelaksanaan wisata pesisir akan berhasil apabila memenuhi berbagai komponen yakni terkait dengan kelestarian lingkungan alami, kesejahteraan penduduk yang mendiami kawasan pesisir, kepuasan pengunjung yang menikmati dan keterpaduan komunitas dengan area pengembangannya (Nurisyah 2006; Hamdiah 2004).

Wisata pesisir menyediakan kegiatan rekreasi yang telah diminati oleh sekolompok sosial tertentu dalam masyarakat Indonesia maupun dunia, dan sudah dikenal sejak dulu. Wisata pesisir diasosiasikan dengan tiga ”S” (sun, sea, dan

sand) artinya jenis wisata yang menyediakan keindahan dan kenyamanan alami

dari kombinasi cahaya matahari, laut dan pantai berpasir bersih. Kegiatan rekreasi di kawasan pesisir antara lain scuba diving, berenang, pemancingan berselancar, berjemur, berdayung, snorkling, berlayar, boating dan ski air, berjalan-jalan atau berlari di sepanjang pantai, menikmati keindahan alam dan kedamaian suasana pesisir serta bermeditasi (Fandeli, 2000).

Dalam konsep, wisata pesisir merupakan suatu aktivitas wisata dan rekreasi yang berkaitan dengan alam dan lingkungan sehingga menggugah

(11)

pengunjung untuk mencintai alam yang disebut back to nature. Dalam penyelenggaraannya, wisata pesisir seperti tersebut di atas tidak menuntut tersedianya fasilitas akomodasi modern yang dilengkapi dengan peralatan yang serba mewah. Wisata pesisir dilakukan dengan kesederhanaan, memelihara keaslian alam dan lingkungan, memelihara keaslian seni dan budaya, adat-istiadat, kebiasaan hidup (the way of live), menciptakan ketenangan, kesunyian, memelihara flora dan fauna, sehingga tercipta keseimbangan antara kehidupan manusia dengan alam sekitarnya (Smith, 1979 in Rahmadani 2005).

Hamdiah (2004) mengemukakan bahwa konsep wisata pesisir yaitu manusia memperoleh output langsung berupa hiburan dan pengetahuan sedangkan

output langsung bagi alam yakni adanya insentif yang dikembalikan untuk

mengelola kegiatan konservasi alam. Output tidak langsung yaitu berupa tumbuhnya kesadaran dalam diri setiap orang (wisatawan) untuk memperhatikan sikap hidup sehari-hari agar kegiatan yang dilakukan tidak berdampak buruk pada alam. Kesadaran ini tumbuh sebagai akibat dari kesan yang mendalam yang diperoleh wisatawan selama berinteraksi secara langsung dengan lingkungan pantai (Gambar 3). Input Output tak langsung Input Manusia Output langsung Konservasi alam Output langsung hiburan, pengetahuan Wisata Bahari

Gambar 3. Skema konsep wisata pesisir (*istilah pesisir digunakan untuk menggantikan istilah “pantai“ sebagai nama tempat) (Hamdiah, 2004).

(12)

2.3.2 Ekowisata

Istilah ecotourism diterjemahkan menjadi ekowisata, yaitu jenis pariwisata yang berwawasan lingkungan atau kegiatan wisata yang dilakukan yang berkaitan dengan alam dan lingkungan sehingga membuat wisatawan tergugah untuk mencintai alam dan disebut back to nature (Ziffer 1989; Young 1992; Valentine 1993; Scace 1993 in Baksir 2010). Hal tersebut mengandung arti bahwa ekowisata merupakan suatu bentuk wisata yang bertanggung jawab terhadap kelestarian area yang masih alami, memberi manfaat secara ekonomi dan mempertahankan keutuhan budaya bagi masyarakat setempat.

Dowling (1995) mengemukakan bahwa ekowisata adalah suatu bentuk perjalanan wisata yang bertanggung jawab terhadap kelestarian lingkungan yang masih alami dan memberikan manfaat secara ekonomi serta tetap mempertahankan keutuhan dan kelestarian budaya masyarakat setempat. Ada beberapa padanan istilah ecotourism antara lain: nature-based tourism, green

travel, low impact tourism,village based tourism, sustainable tourism, cultural tourism, heritage tourism dan natural tourism.

Carter dan Lowman (1994), mendefinisikan ekowisata sebagai suatu bentuk perjalanan yang bertanggung jawab ke daerah alami yang lingkungannya dilindungi dan mampu meningkatkan kesejahteraan penduduk lokal. Selanjutnya Carter dan Lowman (1994) mengemukakan ada 4 gambaran perjalanan yang berlabel ekowisata, yaitu:

1. Wisata berbasis alam (nature based tourism)

2. Kawasan konservasi sebagai pendukung obyek lingkungan (conservation supporting system).

3. Wisata yang sangat peduli lingkungan (environmentally aware

tourism)

4. Wisata yang berkelanjutan( sustainability run tourism).

Batasan yang tegas sebenarnya sudah diberikan oleh pemerintah melalui Peraturan Pemerintah Indonesia No. 18 tahun 1994 tentang Pengusaha Pariwisata di Zona Pemanfaatan Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam yang memuat antara lain:

(13)

a. Pariwisata alam adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata alam, termasuk pengusaha obyek dan daya tarik wisata alam serta usaha-usaha yang terkait dibidang tersebut.

b. Wisata alam adalah kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan tersebut yang dilakukan secara sukarela serta bersifat sementara untuk menikmati gejala keunikan dan keindahan alam.

c. Pengusaha pariwisata alam dilaksanakan sesuai dengan azas konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistem.

Ekowisata merupakan suatu model pengembangan wisata yang menghargai kaidah-kaidah alam dengan melaksanakan program pembangunan dan pelestarian secara terpadu antara upaya konservasi sumberdaya alam dengan pengembangan ekonomi masyarakat secara berkelanjutan (Fandeli, 2000). Sedangkan, Bjork ( 2000), menjelaskan ekowisata merupakan suatu bentuk wisata yang mengandalkan nilai sumberdaya alam dan budaya yang pemanfaatannya bersifat tidak konsumtif yang dapat menciptakan lapangan kerja dan pendapatan untuk peningkatan ekonomi masyarakat lokal dan untuk upaya konservasi sehingga, dapat dikatakan bahwa ekowisata merupakan suatu pengalaman perjalanan alam yang dapat berkontribusi terhadap konservasi lingkungan guna menjaga dan meningkatkan integritas sumberdaya alam dan elemen sosial dan budaya. Oleh karena itu, ekowisata dalam penyelenggaraannya tidak menuntut tersedianya fasilitas akomodasi yang modern yang dilengkapi dengan peralatan yang serba mewah atau bangunan artivisial yang berlebihan. Ekowisata dalam penyelenggaraannya dilakukan dengan kesederhanaan, memelihara keaslian alam dan lingkungan, memelihara keaslian seni dan budaya, adat-istiadat, kebiasaan hidup (the way live), menciptakan ketenangan, kesunyian, memelihara flora dan fauna, serta terpeliharanya lingkungan hidup sehingga tercipta keseimbangan antara kehidupan manusia dengan alam sekitarnya. Dalam ekowisata, wisatawan yang datang tidak semata-mata untuk menikmati alam sekitar tetapi juga mempelajarinya sebagai peningkatan pengetahuan atau pengalaman (Undang-Undang No.9 Tahun 1990).

Pengembangan ekowisata memberikan hasil yang menjamin kelestarian alam dan lingkungan, oleh karena ekowisata merupakan upaya pelestarian alam

(14)

dan budaya masyarakat lokal dengan tidak melakukan ekploitasi (Dowling, 1997). Lebih lanjut dikatakan bahwa kegiatan ekowisata merupakan kegiatan wisata yang memanfaatkan jasa alam dan lingkungan untuk memenuhi kebutuhannya, kebutuhan psikologis wisatawan, serta untuk memenuhi kebutuhan ilmu pengetahuan. Dymond (1997) memberikan batasan ruang ekowisata yang meliputi: (1) ekowisata menginginkan pengalaman yang masih asli, (2) layak dijalani secara pribadi dan secara sosial, (3) tidak dalam bentuk perjalanan yang ketat dan ekstrim, (4) memberikan tantangan fisik dan mental, (5) terdapat interaksi antara budaya dan penduduk lokal, (6) dapat toleran terhadap ketidaknyamanan, dan (7) dapat bersikap aktif.

Pengembangan ekowisata adalah merupakan suatu kegiatan pemanfaatan kawasan alami yang berazaskan pelestarian alam dan keberpihakan pada masyarakat setempat agar mereka tetap mempertahankan budaya lokal mereka, dan pengembangan wisata tersebut dapat meningkatkan kesejahteraan dengan cara mengatur conservation tax untuk dapat membiayai secara langsung kebutuhan kawasan dan kebutuhan masyarakat lokal (Masberg dan Morales, 1999). Sedangkan, Tisdel (1996) mengemukakan bahwa apabila ekowisata digunakan sebagai jaringan pemasaran, terbukti bukan hanya dapat meningkatkn hasil penjualan paket wisata dan dapat pula meningkatkan minat konsumen, tetapi juga dapat meningkatkan eksploitasi sumberdaya alam. Oleh karena itu, konsep pariwisata merupakan alat pengelolaan sumberdaya alam dengan tujuan dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat lokal.

Ekowisata menghasilkan output langsung maupun tidak langsung baik kepada manusia maupun kepada alam. Output langsung bagi manusia berupa unsur hiburan dan penambahan pengetahuan yang langsung dirasakan oleh manusia, sedangkan output bagi alam adalah perolehan dana yang sebagian akan difungsikan untuk mengelola kegiatan konservasi alam secara swadaya. Output tak langsung yaitu berupa tumbuhnya kesadaran dalam diri wisatawan untuk lebih memperhatikan sikap hidup agar kegiatan yang dilakukan tidak berdampak buruk pada alam. Kesadaran ini diharapkan tumbuh akibat adanya kesan mendalam, yang diperoleh wisatawan selama berinteraksi aktif secara langsung dengan lingkungan alam, disertai pemahaman-pemahaman ekologis yang dituturkan oleh

(15)

guide/pendamping. Manusia (wisatawan) dan alam (termasuk di dalamnya

kehidupan penduduk setempat) menjadi input dari kegiatan ekowisata (Hamdiah 2004).

Gambar 4. Skema konsep ekowisata (Hamdiah, 2004)

2.4. Pengembangan Wisata Bahari dalam Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan Di Kawasan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Cooper (1993) mengemukakan pariwisata adalah serangkaian kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh perorangan atau keluarga atau kelompok dari tempat tinggal asalnya ke berbagai tempat lain dengan tujuan melakukan kunjungan wisata dan bukan untuk bekerja atau mencari penghasilan ditempat tujuan. Kunjungan dimaksud bersifat sementara (1 hari, 1 minggu, 1 bulan) dan pada waktunya akan kembali ke tempat tinggal semula. Terdapat dua elemen penting wisata yaitu: perjalanannya itu sendiri dan tinggal sementara di tempat tujuan dengan berbagai aktivitas wisatanya.

Pariwisata adalah sebuah industri yang penting karena hampir 10% jumlah pekerja dunia ini bekerja di sektor pariwisata. Tidak kurang dari 11% GDP seluruh dunia juga berasal dari sektor pariwisata. Diperkirakan jumlah orang yang bepergian/berwisata akan menjadi dua kali lipat pada tahun 2020 atau sekira 1,6 miliar orang. Itu artinya, bahwa dalam 10 tahun ke depan sektor pariwisata menjadi sangat vital dan akan menjadi tulang punggung pendapatan berbagai negara (Mulyanto, 2003).

Pariwisata berkelanjutan adalah penyelenggaraan pariwisata bertanggung jawab yang memenuhi kebutuhan dan aspirasi manusia saat ini, tanpa

Output tak langsung

Output langsung (konservasi)

swdaya) Input

Output langsung (hiburan, pengetahuan)

Alam

(16)

mengorbankan potensi pemenuhan kebutuhan dan aspirasi manusia di masa mendatang, dengan menerapkan prinsipi-prinsip, layak secara ekonomi (economically feasible) dan lingkungan (environmentally viable). cinema secara sosial (socially acceptable) dan tepat guna secara teknologi (Depbudpar, 2007). Sedangkan, Davis dan Tisdell (1996) mengemukakan bahwa pariwisata berkelanjutan adalah bentuk wisata yang dikelola dengan menggunakan pendekatan pengelolaan alam dan budaya masyarakat lokal dengan menjamin kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan beserta sumberdaya alam yang terdapat di dalamnya demi menjaga kelangsungan pemanfaatan sumberdaya alam untuk masa kini dan masa yang akan datang.Oleh karena itu,pembangunan pariwisata berkelanjutan adalah pembangunan yang mampu memenuhi kebutuhan wisata bagi wisatawan dan masyarakat di daerah tujuan saat ini dengan tetap menjaga dan meningkatkan kesempatan pemenuhan kebutuhan di masa yang akan datang. Pernbangunan pariwisata berkelanjutan dicitrakan menjadi patokan dalam pengaturan sumber daya, sehingga kebutuhan ekonomi, sosial dan estetik tercapai dengan tetap menjaga integritas budaya, proses-proses dan keanekaragaman hayati.

Pariwisata berkelanjutan harus memperhatikan: (1) peningkatan kesejahteraan masyarakat, (2) mempertahankan keadilan antar generasi dan intra generasi, (3) melindungi keanekaragaman biologi dan mempertahankan sistem ekologi, dan (4) menjamin integritas budaya (Kim,1999 in Debora, 2003). Pendekatan pengembangan pariwisata berkelanjutan, menghendaki ketaatan pada azas-azas perencanaan :

1. Prinsip pengembangan pariwisata yang berpijak pada aspek pelestarian yang berorientasi kedepan.

2. Penekanan pada nilai manfaat yang besar bagi masyarakat lokal. 3. Prinsip pengelolaan aset sumberdaya yang tidak merusak tetapi lestari. 4. Kesesuaian antara kegiatan pengembangan pariwisata dengan skala,

kondisi, dan karakter kawasan yang akan dikembangkan

5. Keselarasan yang sinergis antara kebutuhan wisatawan, lingkungan hidup dan masyarakat lokal yang bermuara pada apresiasi warisan budaya, lingkungan hidup, dan jati diri bangsa dan agama.

(17)

6. Antisisipasi dan monitoring terhadap perubahan yang terjadi akibat program pariwisata, dan berorientasi pada potensi lokal dan kemampuan masyarakat sekitar.

Keberlanjutan pariwisata harus dipahami sebagai suatu transisi dan proses pembelajaran organisasi (learning organization/LO) karena pariwisata adalah suatu sistem yang kompleks dan dinamis yang tidak dapat diprediksi dengan akurasi yang memadai. Konteks LO (organisasi pembelajaran) dalam industri wisata memiliki kapasitas untuk mengantisipasi perubahan lingkungan sehingga, pengusahaan wisata harus dikelola secara adaptif yang disebut adaptive

managemen (AM). Proses adaptive managemen didasarkan pada konsep

pembelajaran secara terus menerus dan kolektif yang mengakui ketidakpastian dan memungkinkan untuk penyesuaian saat perencanaan dan pengelolaan strategi (Schianetz, et al, 2007). Ini berarti bahwa, dalam rangka mencapai keberlanjutan pariwisata, diperlukan pendekatan yang mempromosikan kolaborasi stakeholder dan belajar pada tingkat tujuan atau regional untuk memastikan bahwa issu-issu pembangunan berkelanjutan menjadi tanggung jawab organisasi swasta dan/atau pemerintah daerah. Selain itu, promosi kolaborasi pelaksanaan dan pemeliharaan jaringan infrastruktur juga sangat penting untuk bertukar informasi antar organisasi dan memungkinkan terjadinya lingkaran pembelajaran yang efektip, serta perlunya memasukkan teori-teori organisasi pembelajaran (LO) ditingkat daerah tujuan wisata (destinasi) untuk mencapai keberlanjutan wisata secara jangka panjang dalam menghadapi perubahan global.

Tujuan pengembangan kawasan pariwisata di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil adalah untuk mengembangkan potensi kawasan melalui pengelolaan pariwisata berkelanjutan yang berdaya saing global dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dibidang ekonomi dan budaya serta pembangunan daerah dalam bingkai NKRI. Penyelenggaraan wisata bahari di pesisir dan pulau-pulau kecil menerapkan prinsip berkelanjutan yang memberikan keuntungan dan kontribusi pada upaya pelestarian sumber daya alam, serta sensitif terhadap budaya masyarakat lokal. Oleh karena itu, pengembangan wisata bahari di pesisir dan pulau-pulau kecil harus menerapkan prinsip keseimbangan, prinsip keterpaduan, prinsip konservasi, prinsip partisipasi masyrakat, dan prinsip

(18)

penegakan hukum. Penerapkan prinsip pariwisata berkelanjutan yang merupakan konsepsi dari pembangunan kepariwisataan nasional guna memperkukuh nilai kesatuan dan persatuan Republik Indonesia yang berlandaskan agama dan budaya lokal, dengan memperhatikan dan menghormati hak-hak ulayat masyarakat di sekitarnya (Depbudpar, 2007).

Nurdinsyah dan Pakpahan (1998), pemanfaatan pulau-pulau kecil untuk pariwisata paling tidak mempunyai tiga alasan: 1) di garis pantai terdapat kawasan pesisir yang mengandung beragam ekosistem yang saling terkait yaitu hutan mangrove, pantai berpasir, padang lamun dan terumbu karang, 2) permintaan akan pariwisata pesisir (coastal tourism) baik dalam maupun luar negeri semakin meningkat sejalan dengan membaiknya kualitas kehidupan, dan 3) pariwisata bahari menjadi komponen dominan dalam industri pariwisata di Indonesia.

Recreation opportunity spectrum (ROS) adalah suatu metode pemantauan

dampak pariwisata yang mengintegrasikan dan mengkoordinasikan aktivitas rekreasi/wisata secara spatial dan temporal dengan penggunaan sumberdaya dan kegiatan-kegiatan pengelolaan recreational landscape classification system (recreational LSC). Recreational LSC adalah penilaian dampak pariwisata yang dilakukan secara numeric (skala) misalnya 1-9 terhadap kondisi biofisik, kelas kesesuaian dan manajerial yang bersifat partisipasi (Parkin et al, 2000).

Visitor impact management (VIM) adalah suatu metode pemantauan

dampak pariwisata yang tidak menekankan penggunaan threshold tetapi lebih kepada pemanfaatan expert panel untuk mereview dampak dan untuk mengevaluasi efektifitas tindakan pengelolaan sebelumnya, dengan mempertimbangkan banyak ukuran alternatif dan merekomendasikan aksi potensial, dimana peran publik sangat besar dan dapat menghindari historical

trend suatu ekstraksi sumberdaya lokal (Farrell et al, 2002).

Visitor experience and resource protection (VERP) merupakan metode

pemantauan dampak pariwisata yang berbasis outstandingly remarkable value (ORV) yaitu metode pemantauan dampak pariwisata yang berbasis karakteristik, ilmiah dan berorientasi pemandangan, rekreatif, biologik, kultural, geologik, dan hidrologik. Aktifitas perencanaan pemantauan dampak wisata yaitu: membentuk

(19)

mendefinisikan desired condition, mengaplikasikan prescriptive management

zoning. Sedangkan, aktifitas manajemen operasionalnya adalah: mengembangkan

indikator dan standar kualitas, memantapkan program monitoring, meneruskan usaha kerjasama dengan publik, dan menentukan alternatif kegiatan pengelolaan (Bacon et al, 2006). Sedangkan TOMM (Marion dan Leung, 2001) merupakan metode pemantauan dampak pariwisata yang memfokuskan pada outcome yang optimal dan sustainable bagi wisatawan dan masyarakat lokal melalui pendekatan pengelolaan terpadu dan mengatasi pembatasan pertumbuhan ekowisata dengan cara: (1) menghindari dampak dan limit yang seringkali mendiscourage pertumbuhan, (2) lebih holistik sehingga tidak semata-mata hanya komponen ekologi dan pasar, (3) menyediakan kesempatan keterlibatan stakeholder melalui pendekatan partnership dan membumi sistemkan dalam masyarakat, (4) melayani seluruh lapisan stakeholder dan beroperasi pada range yang luas dari protected area hingga lahan milik wasata.

2.4.1 Tipologi Wisatawan

Wisatawan pada intinya adalah orang yang sedang tidak bekerja, atau sedang berlibur, dan secara sukarela mengunjungi daerah lain untuk mendapatkan sesuatu yang "lain" (Smith 1977 in Sekartjakrarini dan Legoh 2004). Tipologi wisatawan dapat dikelompokan atas dua yaitu: (1) berdasarkan interaksi (interactional type) yang penekanannya pada interaksi antara wisatawan dengan masyarakat lokal, dan (2) berdasarkan kognitif-normatif (cognitive-normative

models) yang lebih menekankan pada motivasi yang melatarbelakangi perjalanan.

Berdasarkan interaksi, tingkat familiarisasi daerah yang akan dikunjungi, serta tingkat pengorganisasian dari perjalanan wisata (Depbudpar, 2007) maka, wisatawan diklasifikasikan atas empat yaitu:

1. Drifter, yaitu wisatawan yang ingin mengunjungi daerah yang sama sekali belum diketahuinya, dan bepergian dalam jumlah kecil.

2. Explorer, yaitu wisatawan yang mencari perjalanan baru, berinteraksi secara intensif dengan masyarakat lokal, bersedia menerima fasilitas seadanya, serta menghargai norma dan nilai-nilai lokal.

(20)

3. Elite, yaitu wisatawan yang mengunjungi daerah tujuan wisata yang belum dikenal, tetapi dengan pengaturan lebih dahulu, dan bepergian dalam jumlah yang kecil.

4. Off-beat, yaitu wisatawan yang mencari atraksi sendiri, tidak mau ikut ke tempat-tempat yang sudah ramai dikunjungi.

5. Unusual, yaitu wisatawan yang dalam perjalanannya sekali waktu juga mengambil aktivitas tambahan, untuk mengunjungi tempat-tempat yang baru, atau melakukan aktivitas yang agak berisiko. Meskipun dalam aktivitas tambahannya bersedia menerima fasilitas apa adanya, tetapi program pokoknya tetap harus mendapatkan fasilitas yang standar.

6. Incipient mass, yaitu wisatawan yang melakukan perjalanan secara individual atau kelompok kecil, dan mencari daerah tujuan wisata yang mempunyai fasilitas standar tetapi masih menawarkan keaslian. 7. Mass, yaitu wisatawan yang bepergian ke daerah tujuan wisata

dengan fasilitas yang sama seperti di daerahnya. Interaksi dengan masyarakat lokal kecil, kecuali dengan mereka yang langsung berhubungan dengan usaha pariwisata.

8. Charter, yaitu wisatawan yang mengunjungi daerah tujuan wisata dengan lingkungan yang mirip dengan daerah asalnya, dan biasanya hanya untuk bersantai/bersenang-senang. Mereka bepergian dalam kelompok besar, dan meminta fasilitas yang berstandar internasional. Tipologi wisatawan berdasarkan motivasi wisatawan (moral, nilai, norma dan sebagainya) terdiri dari (Depbudpar, 2007):

1. Existensial, yaitu wisatawan yang meninggalkan kehidupan sehari-hari dan mencari `pelarian' untuk mengembangkan kebutuhan spiritual. Mereka bergabung secara intensif dengan masyarakat lokal. 2. Experimental, yaitu wisatawan yang mencari gaya hidup yang berbeda

dengan yang selama ini dilakoni, dengan cara mengikuti pola hidup masyarakat yang dikunjungi.

3. Experiential, yaitu wisatawan yang mencari makna pada kehidupan masyarakat lokal dan menikmati keaslian kehidupan lokal/tradisional.

(21)

4. Diversionary, yaitu wisatawan yang mencari pelarian dari kehidupan rutin yang membosankan. Mereka mencari fasilitas rekreasi dan memerlukan fasilitas yang berstandar internasional.

5. Recreational, yaitu wisatawan yang melakukan perjalanan wisata sebagai bagian dari usaha menghibur diri atau relaksasi dan untuk memulihkan kembali semangat (fisik dan mentalnya). Mereka mencari lingkungan yang menyenangkan, umumnya tidak mementingkan keaslian.

Berdasarkan perilaku wisatawan pada suatu daerah tujuan wisata, maka wisatawan dapat dibedakan menjadi dua yaitu: (1) sunlust adalah wisatawan yang berkunjung ke suatu daerah dengan tujuan utama untuk beristirahat atau relaksasi), dan (2) wanderlust adalah wisatawan yang perjalanan wisatanya didorong oleh motivasi untuk mendapatkan pengalaman baru, mengetahui kebudayaan baru, ataupun mengagumi keindahan alam yang belum pernah dilihat (Sekartjakrarini dan Legoh, 2004).

Pertumbuhan jumlah kunjungan wisatawan dunia sejak tahun 1950 an menunjukkan angka-angka yang fantastis. Pada tahun 1950 an jumlah wiasatawan dunia sudah mencatat angka sekitar 25 juta. Kemudian dalam tahun-tahun berikutnya angka terus bertambah dan mencapai 69 juta orang pada tahun 1960. Pada dekade tahun 1970 an, total wisatawan dunia sudah menunjukkan angka 160 juta orang atau sekitar 2,5 kali lipat, dan pada akhir dekade tahun 1980 an sudah mencapai angka 405 juta orang (1989). Dalam tahun 2000, arus lalulintas wisatawan internasional dunia mencapai lebih dari 600 juta orang (WTO, 2001).

Khusus arus pergerakan lalulintas domestik dunia (world domestic tourist

movement) atau wisatawan domestik, menurut catatan World Tourism Organization, pada tahun 1988 besaran jumlah wisatawan domestik dunia

mencapai sekitar 4.133,3 juta atau kurang lebih 10 kali lebih banyak dibandingkan dengan Internasional tourist arrival dalam tahun yang sama. Hasil survey (WTO, 2001), diperoleh bahwa 62,1% dari total wisatawan internasional dunia melakukan perjalanan untuk maksud berlibur dan rekreasi, selebihnya, sekitar 30% merupakan perjalanan wisatawan yang terkait dengan kegiatan bisnis (business travel) dan sisanya untuk berbagai kepentingan (WTO, 2001).

(22)

2.4.2 Daya Dukung Wisata Bahari

Zhiyong and sheng (2009) mengemukakan bahwa daya dukung wisata adalah sejumlah maksimum orang yang dapat menggunakan suatu kawasan tanpa mengganggu lingkungan fisik dan menurunkan kualitas spiritual yang diperoleh pengunjung dan tidak merugikan dari sisi sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat lokal. Daya dukung dalam prakteknya merupakan suatu konsep yang lebih luas yang dapat mencakup 3 bagian yaitu ekologi, ekonomi, dan sosial. Daya dukung ekologis adalah jumlah maksimum pengunjung pada suatu lahan yang dapat didukung tanpa mengakibatkan kematian karena kepadatan, dan tanpa menimbulkan kerusakan lingkungan permanen. Daya dukung ekonomi adalah tingkat produksi (skala usaha) yang memberikan keuntungan maksimal yang ditentukan oleh tujuan usaha secara ekonomi.

McCool dan Lime (2001), daya dukung wisata merupakan suatu paradigma untuk mengatasi dan membatasi jumlah kegiatan pengembangan wisata, sehingga daya dukung adalah jumlah tertentu wisatawan melalui periode waktu tertentu untuk mempertahankan komunitas lokal dan konteks budaya dan lingkungan, dan juga merupakan kapasitas rekreasi sebagai cara merumuskan masalah dan tindakan pengelolaan yang mengakibatkan penurunan dampak. Sedangkan, Simon et al (2004) mengemukakan bahwa daya dukung adalah penggunaan maksimal sumberdaya sebelum terjadi degradasi dan tanpa menyebabkan efek negatif pada sumberdaya, tanpa menurunkan kepuasan pengunjung ataupun merugikan ekonomi masyarakat dan budaya lokal.

Daya dukung wisata bahari tergolong spesifik dan lebih berhubungan dengan daya dukung lingkungan. Daya dukung lingkungan hidup merupakan kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lain (Undang-undang No.23 tahun 1997). Daya dukung memberikan pedoman bagi penyelenggaraan wisata bahari, khususnya bagi kualitas pengembangan wisata bahari yang berwawasan lingkungan.

Daya dukung sepenuhnya dipengaruhi oleh dua faktor yaitu: faktor internal dan eksternal. Faktor internal terdiri dari struktur sosial, budaya, lingkungan, struktur ekonomi, struktur politik dan sumberdaya, faktor eksternal terdiri atas karakteristik sosial wisatawan dan tipe aktifitas wisatawan (Santosa,

(23)

1997 in Baksir, 2010). Selanjutnya, Saveriades (2000) mengemukakan bahwa daya dukung sosial yang berlebihan dapat menyebabkan penduduk merasa asing di daerah mereka karena mereka merasa hidupnya terhalangi oleh kehadiran wisatawan yang mengakibatkan terjadinya perubahan tradisi, perilaku sosial dan standar moral, meningkatnya harga lahan, dan meningkatnya biaya hidup, yang harus diterima. Dengan demikian, pembangunan yang tidak direncanakan bisa merubah dan menghancurkan keunikan sumberdaya dan budaya serta menghasilkan hilangnya permintaan pariwisata.

Komponen dasar yang mempengaruhi daya dukung wisata bahari antara lain: (1) komponen biofisik yang berkaitan dengan SDA, (2) komponen sosial berupa dampak kegiatan wisata bahari pada tingkat tertentu, (3) komponen psikologi yang ditekankan pada jumlah maksiumum pengunjung yang dapat ditampung oleh suatu area pada waktu tertentu, dan (4) komponen manajerial yang ditekankan pada jumlah pengunjung maksimum yang masih dapat dikelola pada obyek wisata alam (Ceballos-Lascurain 1991 in Yudaswara 2004).

Daya dukung bersifat tidak tetap (dinamis) karena dapat berkurang oleh perilaku manusia maupun kerusakan alam dan dapat ditingkatkan melalui pengelolaan lingkungan secara benar dan terencana (Clark, 1996 in Baksir, 2010). Daya dukung kaitannya dengan kegiatan wisata mempunyai tiga elemen yang harus diperhatikan yaitu: (1) elemen ekologis yang terkait dengan lingkungan alamiah destinasi wisata, (2) sosiokulture yang terkait dengan dampak wisata terhadap populasi dan budaya masyarakat lokal, (3) fasilitas yang berkaitan dengan kebutuhan wisatawan (Wearing dan Neil, 1999 in Baksir, 2010), sehingga issu daya dukung lingkungan harus dimasukkan dalam issu-issu tataguna lahan dengan penerapan sistem zonasi.

2.4.3 Destinasi Wisata Bahari

Pengembangan destinasi unggulan wisata bahari didasari pada identifikasi isu-isu strategik yang berkembang melalui analisis lingkungan eksternal dan internal yang menghasilkan beberapa pokok pemasalahan, kekuatan, kelemahan, ancaman dan peluang dalam kepariwisataan (Depbudpar, 2007).

Ada enam prinsip penyelenggaraan wisata guna keberlanjutan destinasi, yaitu: 1) semaksimal mungkin meniadakan dampak negatif dari kehadiran

(24)

wisatawan terhadap lingkungan destinasi wisata, 2) melakukan perjalanan wisata dengan tujuan meningkatkan pemahaman dan kesadaran terhadap alam, 3) memaksimalkan partisipasi masyarakat lokal, 4) wisatawan memberikan kontribusi terhadap usaha konservasi, 5) memberikan keuntungan ekonomi bagi masyarakat lokal, dan 6) membuka peluang bagi masyarakat lokal dan pekerja wisata untuk memanfaatkan keindahan sumberdaya alam (Fennel dan Eagles, 1990 in Depbudpar, 2007). Dengan demikian, untuk mencapai destinasi berkelanjutan, maka dibutuhkan keterlibatan keseluruhan pihak terkait, keseluruhan komponen fisik (ekosistem), sosial budaya, dan ekonomi secara terintegrasi, sehingga pariwisata dapat memainkan peranan yang berkelanjutan melalui peningkatan daya saing obyek daerah tujuan wisata (ODTW).

Konsolas (2002) in Ramli (2010), untuk meningkatkan daya saing obyek daerah tujuan wisata pesisir (ODTWP), diperlukan kreativitas dan sumberdaya manusia (SDM), yaitu dengan membuat obyek daerah tujuan wisata pesisir (ODTWP) baru. Obyek daerah tujuan wisata pesisir (ODTWP) baru perlu dipersiapkan, walaupun obyek daerah tujuan wisata pesisir (ODTWP) lama masih diminati wisman. Obyek daerah tujuan wisata pesisir (ODTWP) lama perlu diperbaharui dan direhabilitasi bila obyek daerah tujuan wisata pesisir tersebut berada pada posisi pendewasaan. Obyek daerah tujuan wisata pesisir (ODTWP) baru tersebut dibuat berdasarkan kreatifitas dan sumberdaya manusia (SDM) dengan tujuan untuk menghilangkan kejenuhan pada wisatawan, baik wisatawan mancanegara maupun wisatawan lokal terhadap obyek daerah tujuan wisata pesisir (ODTWP) lama masih memiliki kualitas obyek daerah tujuan wisata pesisir (ODTWP) yang baik dan memiliki ciri khas tertentu pada obyek wisata tersebut.

2.5. Keberlanjutan Pengelolaan Kawasan Pesisir 2.5.1 Dimensi Ekologi

Keberlanjutan (sustainability) hendaknya dijadikan salah satu tujuan pengelolaan ekosistem pesisir karena hal ini telah diamanatkan dalam deklarasi yang dihasilkan oleh United Nations Conference on Enviornment and Development yang diselenggarakan di Rio de Janeiro, Brasil, pada tahun 1992 di mana Indonesia merupakan salah satu peserta. Pembangunan berkelanjutan mensyaratkan keserasian

(25)

antara laju kegiatan pembangunan dengan daya dukung (carrying capacity) lingkungan alam untuk menjamin tersedianya aset sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan (environmental services) yang minimal sama untuk generasi mendatang (Bengen, 2003).

Suatu kegiatan pembangunan dinyatakan berkelanjutan apabila kegiatan pembangunan secara ekonomis, ekologis, dan sosial politik bersifat berkelanjutan. Berkelanjutan secara ekonomis berarti bahwa suatu kegiatan pembangunan harus dapat membuahkan pertumbuhan ekonomi, pemeliharaan kapital (capital

maintenance), dan penggunaan semberdaya serta investasi secara efisien.

Berkelanjutan secara ekologis mengandung arti bahwa kegiatan dimaksud harus dapat mempertahankan integritas ekosistem, memelihara daya dukung lingkungan, dan konservasi sumberdaya alam termasuk keanekaragaman hayati (biodiversity), sehingga diharapkan pemanfaatan sumberdaya dapat berkelanjutan. Berkelanjutan secara sosial politik mensyaratkan bahwa suatu kegiatan pembangunan hendaknya dapat menciptakan pemerataan hasil-hasil pembangunan, mobilitas sosial, kohesi sosial, partisipasi masyarakat, pemberdayaan masyarakat, identitas sosial, dan pengembangan kelembagaan (Cicin-Sain dan Knecht, 1998 in Taslim 2009 ).

Pembangunan yang merupakan proses perubahan untuk meningkatkan taraf hidup manusia tidak terlepas dari aktifitas pemanfaatan sumberdaya alam. Dalam skala tertentu setiap pemanfaatan sumberdaya alam di kawasan pesisir dan laut dapat menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan pada ekosistem pesisir dan laut itu sendiri. Perubahan-perubahan tersebut tentunya akan memberikan pengaruh pada mutu lingkungan hidup. Makin tinggi laju pembangunan di kawasan pesisir dan laut, makin tinggi pula tingkat pemanfaatan sumberdaya alamnya. Pemanfaatan dengan tidak mempertimbangkan prinsip-prinsip ekologi dapat menurunkan mutu lingkungan hidup dan berlanjut dengan terjadinya kerusakan.

Untuk mencegah semakin rusaknya terumbu karang, maka diperlukan pengelolaan terumbu karang yaitu suatu proses pengontrolan tindakan manusia agar pemanfaatan terumbu karang dapat dilakukan secara bijaksana dengan mengindahkan kaidah kelestarian lingkungan. Salah satu konsep pengelolaan terumbu karang adalah menetapkan kawasan konservasi laut (KKL), (Agardy 1997; Barr et al, 1997 in Taslim 2009) yang memiliki peran utama sebagai berikut:

a. Melindungi keanekaragaman hayati serta struktur, fungsi dan integritas ekosistem. Kawasan konservasi dapat berkonstribusi untuk mempertahankan

(26)

keanekaragaman hayati pada semua tingkatan trofik dari ekosistem, melindungi hubungan jaringan makanan, dan proses-proses ekologis dalam suatu ekosistem.

b. Meningkatkan hasil perikanan. Kawasan konservasi dapat melindungi daerah pemijahan, pembesaran dan tempat mencari makanan, meningkatkan kapasitas reproduksi dan stok sumberdaya ikan.

c. Menyediakan tempat rekreasi dan pariwisata. Kawasan konservasi dapat menyediakan tempat untuk kegiatan rekreasi dan pariwisata alam yang bernilai ekologis dan estetika. Perlindungan terhadap tempat-tempat khusus bagi kepentingan rekreasi dan pariwisata (seperti pengaturan dermaga perahu/kapal, tempat membuang jangkar dan jalur pelayaran) akan membantu mengamankan kekayaan dan keragaman daerah rekreasi dan pariwisata yang tersedia di sepanjang pesisir.

d. Memperluas pengetahuan dan pemahaman tentang ekosistem; Kawasan

konservasi dapat meningkatkan pemahaman dan kepedulian masyarakat terhadap ekosistem pesisir, laut dan pulau-pulau kecil, menyediakan tempat

yang relatif tidak terganggu untuk observasi dan monitoring jangka panjang, dan berperan penting bagi pendidikan masyarakat berkaitan dengan pentingnya konservasi laut dan dampak aktivitas manusia terhadap keanekaragaman hayati laut.

e. Memberikan manfaat sosial-ekonomi bagi masyarakat pesisir; Kawasan konservasi dapat membantu masyarakat pesisir dalam mempertahankan basis ekonominya melalui pemanfaatan sumberdaya dan jasa-jasa lingkungan secara optimal dan berkelanjutan.

Selanjutnya Westmacott et al (2000) in Taslim (2009), mengemukakan bahwa kawasan konservasi laut (KKL) memegang peranan penting bagi pelestarian dan pengelolaan teumbu karang dengan cara:

a. Melindungi daerah terumbu karang yang tidak rusak yang dapat menjadi sumber larva dan sebagai alat untuk membantu pemulihan,

b. Melindungi daerah yang bebas dari dampak manusia dan cocok sebagai substrat bagi penempelan karang dan pertumbuhan kembali.

c. Memastikan bahwa terumbu karang tetap menopang kelangsungan kebutuhan masyarakat sekitar yang bergantung padanya.

(27)

Dimensi ekologi merupakan dimensi kunci karena arahan pembangunan berkelanjutan mensyaratkan kesinambungan pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa lingkungan bagi generasi mendatang. Status atau kondisi pembangunan berkelanjutan dapat tercermin dari kondisi dimensi ekologis tersebut. Dimensi ekologi dipilih untuk mencerminkan bagaimana pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut berdampak secara ekologis terhadap keberlanjutan sumberdaya dan lingkungan serta ekosistem tersebut, sehingga kegiatan pemanfaatannya dapat berlangsung secara berkelanjutan pula. Tingkat eksploitasi atau tekanan ekploitasi akan membatasi peluang pengembangan pemanfaatan sumberdaya perikanan (Bengen dan Retraubun, 2006).

2.5.2 Dimensi Kelembagaan

Dimensi kelembagaan adalah variabel sosial ekonomi yang melekat atau dimiliki nelayan dan masyarakat selaku pemegang kepentingan. Variabel tersebut adalah ketersediaan peraturan pengelolaan sumberdaya secara formal, pemegang kepentingan utama, tingkat kepatuhan masyarakat, pelaksanaan pemantauan, pengawasan dan pengendalian, tokoh panutan, penyuluhan hukum lingkungan, koperasi, tradisi/budaya, dan forum konservasi. Keseluruhan variabel tersebut dapat menjadi insentif atau disinsentif masyarakat untuk bekerjasama dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya. Variabel-variabel tersebut menentukan perilaku masyarakat secara individu atau kelompok. Asumsi yang selalu dipegang para peneliti dan manajer sumberdaya pesisir dan laut (pemerintah) adalah bahwa menurut Ostrom (1994) in Satria (2002), mengemukakan bahwa ada dua atribut kunci yang merupakan faktor pendorong masyarakat untuk bekerjasama yaitu:

a. Jika masyarakat memiliki derajat homogenitas yang tinggi dalam bentuk hubungan kekerabatan, etnis, agama, kepentingan, kepercayaan, budaya, serta strategi pengembangan mata pencaharian lainnya.

b. Jika ada ketergantungan masyarakat yang cukup tinggi atas sumberdaya pesisir dan laut serta kesempatan yang kurang bagi masyarakat untuk menggeluti mata pencaharian lainnya.

c. Jika ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya pesisir dan laut tinggi, sedangkan ketersediaan sumberdaya tersebut terbatas atau tidak pasti jumlahnya, masyarakat cenderung bekerjasama atau melakukan aksi kolektif untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya.

(28)

c. Dimensi kelembagaan sangat bergantung pada cara tatanan kelembagaan, hak-hak masyarakat, dan aturan-aturan dibuat atau dirumuskan.

Pollinac et al (2003) menemukan bahwa peran serta semua pihak yang berkepentingan dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan pembangunan berkelanjutan dan terpadu, baik secara individu maupun secara bersama-sama sangat penting sebagai faktor utama penentu keberlanjutan pengelolaan sumberdaya pesisir. Peran serta tidak terjadi dengan sendirinya, tetapi dipengaruhi oleh beberapa hal. Para pemangku kepentingan bersedia untuk berperan serta karena mereka melihat (a) manfaat yang diharapkan akan diperolehnya (perceived benefits), (b) kemungkinan pemerataan manfaat di antara para pemangku kepentingan, dan (c) keberlanjutan manfaat setelah proyek selesai. Oleh karena, para pemangku kepentingan berperan serta dalam perencanaan proyek dan merasa memainkan peran dalam membidani lahirnya proyek, maka mereka merasa bahwa proyek tidak dipaksakan dari luar. Kondisi tersebut akan membawa para pemangku kepentingan merasa memiliki proyek tersebut sehingga, bisa dipastikan bahwa proyek yang dihasilkan dan disepakati lebih sesuai dengan keinginan anggota masyarakat. Selain itu, peran serta dalam perencanaan dan pelaksanaan pengelolaan sumberdaya pesisir tampak telah berdampak pada peningkatan pemberdayaan masyarakat.

Christie et al (2003) juga mensinyalir bahwa dukungan seluruh pemangku kepentingan kawasan pesisir merupakan faktor penting terhadap keberlanjutan program. Konflik kepentingan atau bahkan hanya konflik persepsi, di antara konsituen (seperti nelayan, penyelenggara wisata bahari, ilmuwan, pejabat pemerintah, LSM, dan konservasionis) akan memelihara ketidakpuasan di antara mereka apabila tidak diambil langkah-langkah proaktif. Ketidakpuasan di antara satu konstituen atau lebih, apabila tidak diselesaikan dengan cara yang bijak, dapat mengakibatkan terancamnya keberlanjutan kegiatan pengelolaan sumberdaya pesisir karena mereka akan melanggar kesepakatan atau peraturan yang ada yang disepakati.

Bengen (2003), terdapat enam parameter keberlanjutan pengelolaan kawasan pesisir, yaitu: (1) sesuai dengan kebijakan-kebijakan setempat, baik kebijakan formal maupun informal, (2) sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat setempat, (3) didukung oleh ketersediaan sumberdaya manusia dan kelembagaan, (4) keterlibatan aktif stakeholder, (5) memiliki rencana dan program yang jelas, (6) memiliki dampak terhadap lingkungan termasuk sosial budaya dan ekonomi masyarakat setempat.

(29)

Keenam faktor ini tentu akan lebih lengkap dengan tambahan faktor ketujuh, dan (7) dukungan informasi ilmiah.

Sievanen (2003) bahwa wisata bahari sebagai mekanisme pengenalan modal internasional dan kekuasaan negara justru sering berakibat buruk, yaitu marginalisasi pengguna sumberdaya pesisir yang telah ada. Wisata bahari secara inheren memperbesar kemungkinan termaginalisasinya para pengguana sumberdaya pesisir yang telah ada. Oleh karena itu, diperlukan dua hal yaitu: (1) perlunya mendefinisikan secara lebih tegas komunitas yang hendak dijadikan sasaran untuk diberdayakan oleh suatu program pengelolaan sumberdaya pesisir karena sering dijumpai ketidakjelasan mengenai siapa yang akan diuntungkan oleh suatu program pengelolaan sumberdaya pesisir, (2) kemitraan antara sektor publik dan sektor dunia usaha yang saat ini sedang digiatkan dalam rangka pengentasan kemiskinan dan pembangunan lingkungan hidup hendaknya mencakup komunitas yang hidupnya tergantung pada sumberdaya pesisir dan lautan (coastal and marine-dependent communities), karena sering justru mereka yang termaginalkan.

2.5.3. Dimensi Teknologi

Aspek teknologi yang digunakan dalam memanfaatkan sumberdaya sangat bergantung pada jenis dan potensi terumbu karang yang tersedia. Teknologi yang diperbolehkan atau tidak diperbolehkan diatur dan di tentukan terhadap hak-hak pemanfaatan sumberdaya. Kehadiran suatu teknologi membentuk pola interaksi antar pengguna. Jika suatu teknologi mensyaratkan adanya kerjasama antar pengguna, kerjasama itu akan terwujud karena kebutuhan. Sebaliknya, penggunaan teknologi tertentu dapat juga menjadi disinsentif bagi pengguna untuk bekerjasama yang seterusnya menentukan pola interaksi yang khas di antara mereka bukan saja pada batas-batas spasial sumberdaya terumbu karang, tetapi menentukan skala minimum suatu tatanan pengelolaan sumberdaya itu sendiri dan derajat aksesibilitas terhadap sumberdaya. Keterbatasan potensi sumberdaya berarti akses terhadap sumberdaya sulit dan mahal. Oleh karena itu, tindakan seseorang untuk berhenti memanfaatkan sumberdaya merupakan sesuatu yang jarang terjadi. Begitu seseorang sudah memiliki akses dan berada dalam proses pemanfaatan sumberdaya, akan sulit baginya untuk berhenti melakukannya. Oleh karena itu, sumberdaya terumbu karang dimanfaatkan secara bersama-sama dalam suatu bentuk kompetisi di antara pengguna, sehingga terdapat saling ketergantungan di antara pengguna. Aksi seseorang akan memberi

(30)

dampak kepada yang lain dan selanjutnya membuat orang lain melakukan aksi serupa. Jadi interaksi di antara pengguna cenderung menjurus kepada pertentangan atau konflik di antara mereka (Susilo, 2003).

Dimensi teknologi diperlukan secara khusus di daerah dimana pemanfaatan langsung terhadap terumbu karang merupakan bagian yang dominan. Di kawasan pesisir umumnya mata pencaharian penduduk yang dominan adalah pemanfaatan sumberdaya laut, seperti perikanan. Karena itu, dimensi teknologi sebaiknya dipertimbangkan secara khusus (Susilo, 2003). Dimensi teknologi mencerminkan seberapa jauh penggunaan teknologi dapat meminimumkan resiko kegagalan keberlanjutan pemanfaatan terumbu karang.

2.5.4. Dimensi Sosial Ekonomi

Memahami dimensi sosial ekonomi dalam kaitannya dengan pengelolaan terumbu karang di pulau-pulau kecil adalah sangat penting. Hal ini karena disamping sebagai kegiatan yang berbasis sumberdaya alam (natural resourcebased activity), terumbu karang merupakan kegiatan ekonomi yang berbasis pasar (market-based

activity). Oleh karena itu, perumusan suatu tatanan pengelolaan terumbu karang patut

pula memperhatikan dimensi sosial ekonomi yang berkaitan atau yang merupakan ciri sumberdaya tersebut (Adrianto, 2006).

Dimensi sosial ekonomi yang elemen utamanya meliputi aspek permintaan (demand) dan penawaran (supply) komoditas yang dihasilkan dari sumberdaya yang dikelola. Dimensi sosial ekonomi seperti harga dan struktur pasar merupakan insentif atau disinsentif bagi terbentuknya suatu tatanan kelembagaan pengelolaan terumbu karang serta derajat kepatuhan masyarakat (nelayan) terhadap tatanan tersebut. Dimensi sosial ekonomi juga menggambarkan kejadian-kejadian yang berpengaruh pada permintaan dan penawaran serta hubungan antara pelaku ekonomi (Fauzi dan Anna, 2005).

2.5.5 Multidimension Scaling

Analisis multidimensional scaling digunakan untuk mempresentasikan similaritas/disimilaritas antar pasangan individu dan karakter/variabel (Young et al 1987; Sickle, 1997 in Taslim, 2009) menyatakan bahwa multidimensional scaling dapat mempresentasikan metode ordinasi secara efektif. Multidimensional scaling adalah metode ordinasi dengan basis jarak antar obyek atau point dalam dua dimensi

(31)

atau tiga dimensi. Alder et al. (2001) menyatakan bahwa teknik ordinasi dengan mengkonvigurasikan jarak antar titik dalam t-dimensi yang mengacu pada jarak

Euclidean antar titik.

Tujuan pendekatan multidimensional scaling yang akan digunakan disini adalah untuk melihat keberlanjutan pengembangan wisata bahari di tinjau dari dimensi ekologi, teknologi, sosial, ekonomi, dan kelembagaan yang selanjutnya dapat digunakan sebagai pedoman untuk mengevaluasi keberlanjutan pengembagan wisata bahari di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil Kota Makassar.

2.6 Kebijakan

2.6.1 Batasan Kebijakan

Pemahaman dan pengertian kata kebijakan adalah sama dengan kebijaksanaan, yang berasal dari terjemahan kata policy. Jones (1999) in Thamrin (2009) menjelaskan bahwa kebijakan adalah keputusan tetap yang dicirikan oleh konsisten dan pengulangan (repetitiveness) tingkah laku dari mereka yang membuat dan dari mereka yang mematuhi keputusan tersebut. Sedangkan, Danim (2000) menyatakan bahwa kebijakan (policy) dalam penelitian kebijakan (policy

research) diartikan sebagai tndakan-tindakan yang dimaksudkan untuk

memecahkan masalah sosial.

Dunn (2000) mendefisikan analisis kebijakan adalah suatu bentuk analisis yang menghasilkan dan menyajikan informasi sedemikian rupa sehingga dapat memberikan landasan dari pembuat kebijakan untuk membuat keputusan. Kata analisis digunkan dalam pemgertian paling umum termasuk penggunaan intuisi dan pengungkapan pendapat yang mencakup pengujian kebijakan dengan memilah-milahkannya ke dalam sejumlah komponen-komponen dan perancangan serta sintesis alternatif-alternatif baru.

Penelitian kebijakan (policy research) secara spesifik ditujukan uantuk membantu pembuat kebijakan (policy maker) dalam menyusun rencana kebijakan, dengan jalan memberikan pendapat atau informasi yang mereka perlukan untuk memecahkan masalah yang dihadapi sehari-hari. Penelitian kebijakan pada hakikatnya merupakan penelitian yang bertujuan melahirkan rekopmendasi untuk pembuat kebijakan dalam rangka pemecahan masalah sosial (Dunn, 2000).

Referensi

Dokumen terkait

Lemari pendingin dan AC untuk obat yang termolabil Fasilitas peralatan penyimpanan dingin harus divalidasi secara berkala. Lemari penyimpanan khusus untuk narkotika dan

Setiap orang atau badan hukum yang melanggar ketentuan Pasal 34 huruf a, huruf b dan huruf c dikenakan pembebanan biaya paksaan penegakkan hukum sebesar Rp.500.000,-

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan dan menganalisis kebijakan pengembangan kualitas Sumber Daya Manusia dalam peningkatan kinerja Aparatur

Oleh karena itu hasil perhitungan yang menunjukkan nilai p < 0,05 pada nyeri saat bangkit dari posisi duduk dan nyeri saat naik tangga 3 trap, artinya terdapat

Motivasi pada karyawan KPRI “Perta- guma” Kota Madiun adalah baik. Hal ini juga dapat terlihat pada keadaan di koperasi me- ngenai motivasi yang timbul dari dalam diri individu

Penulisan artikel ini dimaksudkan untuk menilai telah sejauhmana program Keluarga Berencana di Kelurahan Roban Kecamatan Singkawang Tengah Kota Singkawang telah

Ringkasan atas Ikhtisar data keuangan konsolidasian penting Perseroan dan Perusahaan Anak di bawah ini diambil dari laporan keuangan konsolidasian pada tanggal dan untuk periode

Dengan ini saya, Rica Ning Nurhasanah, menyatakan sesungguhnya bahwa Tugas Akhir saya dengan judul “ Penentuan Market Sentiment Menggunakan Markov Regime Switching Model “