• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menteri Agama Minta MK Menolak Gugatan Terhadap Uji Materi UU No.1 PNPS 1965 Pemerintah meminta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Menteri Agama Minta MK Menolak Gugatan Terhadap Uji Materi UU No.1 PNPS 1965 Pemerintah meminta"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Menteri Agama Minta MK Menolak Gugatan

Terhadap Uji Materi UU No.1 PNPS 1965

P

emerintah meminta

Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi UU PNPS No 1/1965 ten-tang penodaan/penistaan agama. Jika UU ini dihapus maka se-seorang dapat menistakan agama tanpa bisa dipidana. “Jika UU ini dihapus maka di kemudian hari seseorang boleh melakukan peno-daan agama dan tidak dipidana. Ini bisa menimbulkan main hakim sendiri dan aparat hukum tidak punya pijakan untuk menindak pelanggaran,” kata Menteri Agama (Menag) Suryadharma Ali dalam persidangan di Gedung MK, Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Kamis (4/2).

Suryadharma menyatakan UU itu dibuat dalam kondisi normal, bukan dalam keadaan darurat.

Sehingga UU itu memperhatikan kebutuhan masyarakat yang ada. “Produk hukum itu tidak dibuat dengan semena-mena dan seram-pangan. Sehingga UU itu mem-perhatikan kebutuhan masya-rakat baik saat itu maupun ke depan,” katanya.

Suryadharma juga memper -tanyakan kedudukan hukum pemohon. Karena berdasarkan penelusuran pemerintah, identi-tas pemohon telah memeluk aga-ma. Selain itu para pemohon juga tidak dalam posisi terganggu dalam menjalankan keyakinannya. “Jadi kami minta pemohon membuk-tikan hak konstitusionalnya terganggu,” katanya.

Pernyataan Suryadharma itu disambut takbir oleh anggota FPI yang memenuhi balkon ruangan

sidang MK. Ketua Majelis Hakim Mahfud MD sempat menegur para preserta sidang agar tetap tenang. “Anda tidak boleh berteriak-teriak dalam ruangan. Kalau masih berteriak-teriak silahkan di luar,” katanya.

Suryadharma Ali meminta majelis hakim menolak seluruh isi permohonan. Hal ini disebabkan para pemohon tidak memiliki le-gal standing. “Memohon pada majelis hakim memutuskan bahwa para pemohon tidak punya legal standing dan menolak seluruh isi permohonan atau setidaknya permohonan tidak dapat diterima,” katanya.

Identitas pemohon telah memeluk agama. Selain itu para pemohon juga tidak dalam posisi terganggu dalam menjalankan

Kuasa Hukum Presiden Republik Indonesia Menteri Agama Suryadharma Ali ketika menyampaikan jawaban Pemerintah atas uji materi UU No.1 PNPS 1965 di Mahkamah Konstitusi.

(2)

keyakinannya. “Jadi kami minta pemohon membuktikan hak konstitusionalnya terganggu,” katanya.

Menag juga menyatakan, bahwa ketentuan Pasal 1, Pasal 2 ayat (1), Pasal 2 ayat (2), Pasal 3 dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalah-gunaan dan/atau Penodaan Agama tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28E ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), Pasal 28 I ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 dan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Negara Republik Indone-sia Tahun 1945.

Pemerintah, kata Menag Suryadharma, pada dasarnya sa-ngat menghargai dan menghor-mati kebebasan setiap orang sebagai wujud perlindungan dan penegakan hak-hak konstitu-sional setiap orang, termasuk para Pemohon sebagaimana dija-min oleh konstitusi, tetapi dalam melaksanakan dan mewujudkan hak-hak konstitusional tersebut, tidak boleh dilakukan dengan sebebas-bebasnya tanpa batas, atau dengan cara-cara yang ber-tentangan dengan norma agama, norma kesusilaan, ketertiban umum maupun norma hukum yang berlaku, sebagaimana diten-tukan dalam Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menyatakan: “Dalam

men-jalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, kea-manan, dan ketertiban umum da-lam suatu masyarakat demokratis”

Menteri Hukum dan Ham

Patrialis Akbar menegaskan adanya supremacy of law, semua umat beragama telah mendapat-kan satu tempat yang nyaman di negara Republik Indonesia terha-dap agama-agama yang diakui sehingga penetapan PNPS menjadi undang-undang itu betul-betul merupakan satu sikap jiwa bangsa Indonesia yang sampai hari ini semua orang bisa melak-sanakan agama itu melaksana-kan ibadah menurut keyakinan mereka masing-masing.

Oleh karena itu, Kata Patrialis Akbar, prinsip supremacy of law ini sudah terkandung di dalam-nya. Yang kedua ada prinsip due

process of law. Tadi sudah

dijelaskan oleh Menteri Agama

justru dengan PNPS negara telah memberikan tempat yang terhor-mat kepada seluruh masyarakat Indonesia yang telah diakui agamanya oleh bangsa ini untuk beribadah menurut cara masing-masing. Oleh karena itu kesamaan prinsip-prinsip ini justru dijamin oleh Undang-Undang PNPS ini Nomor 1 Tahun 1965 dimana di situ dinyatakan suatu ketegasan karena adanya kebersamaan di dalam melaksa-nakan ibadah maka diaturlah suatu aturan tentang jangan sampai ada penyalahgunaan atau penodaan terhadap agama-agama yang diatur di Indonesia ini. Itulah prinsip dari negara hukum bah-wa memang segala sesuatu harus

bagaimana proses satu Perpres menjadi satu undang-undang karena dia sudah menjadi satu undang-undang maka dia adalah merupaka satu sistem dan sistem itu berlaku untuk seluruh bangsa Indonesia. “Due process of law juga sudah dianut di dalam prinsip-prinsip pemahaman negara hukum,”ujarnya.

Menkumham menambahkan, bahwa equality before the law

diatur dengan baik dengan sistem. Pemohon, kata Patrialis Akbar, menginginkan adanya suatu kebebasan yang sebebas-bebas-nya di dalam melaksanakan ajaran agama tanpa dibatasi, bah-kan pembatasan itu tadi dianggap adalah sebagai satu pelanggaran konstitusi. “Kami ingin memberi-kan satu pemahaman kepada kita terutama kepada Pemohon, perta-ma tolong dipahami secara kom-Menteri Agama Suryadharma Ali diampingi Sekjen Kemenag Bahrul Hayat ketika mengikuti jalannya sidang uji materi UU No.1 PNPS 1965 di Mahkamah Konstitusi.

(3)

prehensif isi dan eksistensi dari Undang-Undang Dasar kita,” tambahnya.

Menurut Menkumham, mema-hami satu Konstitusi hanya sepo-tong-potong maka akan menim-bulkan bahaya bagi bangsa dan negara ini. Di dalam kontitusi kita, memang sudah menganut satu pengakuan yang utuh perlindungan dan pemenuhan terhadap Hak Asasi Manusia In-donesia tetapi persoalan-persoalan HAM itu tidaklah sama dengan HAM yang dimiliki oleh bangsa-bangsa lain yang bersifat universal. “Tidak benar kalau kebebasan itu hanya berlaku pada prinsip-prinsip pidana, sangat amat kita sayangkan pemahaman yang tidak sempurna itu,” ucapnya.

Pembatasan di dalam negara ini, kata Patrialis, diakui dalam segala aspek termasuk pemba-tasan dalam kehidupan berbang-sa dan bernegara dan termasuk pembatasan di dalam pelaksa-naan Hak Asasi Manusia itu sen-diri. Oleh karena itu tolong dibaca dengan cermat apa yang tertulis. Pengabulan terhadap uji materi UU nomor 1/ PNPS tahun 1965 tentang Penyalahgunaan dan/ atau Penodaan Agama bakal menimbulkan konflik horizontal. “Permohonan ini akan menim-bulkan kerentanan kehidupan umat beragama, yang sudah harmonis,” ujar Menteri Hukum dan HAM, Patrialis Akbar.

Dia tidak bisa membayangkan jika permohonan tersebut dika-bulkan lalu satu agama dimasuki oleh prinsip-prinsip yang bertolak belakang dengan ajarannya. Padahal permasalahan prinsip dalam satu agama itu tidak dapat ditawar. Hal ini yang kemudian akan menimbulkan kekacauan. Bahkan sangat besar kemung-kinan muncul tindakan main hakim sendiri. “Sangat patut dan beralasan jika permohonan yang menuntut kebebasan itu diabai-kan dan ditolak,” kata Patrialis.

Selama ini, menurut Patrialis, Undang Undang tentang penoda-an agama itu jusru telah men-ciptakan sebuah kerukunan dan keharmonisan antarumat ber -agama. Dalam UU itu juga diatur agar tidak terjadi penyalahguna-an terhadap agama ypenyalahguna-ang lain. Kesamaan di mata hukum justru sangat diperhatikan di sini. Oleh UU itu, setiap warga negara dija-min kebebasannya untuk melak-sanakan kegiatan beragama.

Di depan majelis hakim, Patrialis bersuara keras, meminta pemohon utnuk membaca kemba-li segala peraturan perundangan yang terkait. Karena pemahaman yang sepotong-potong justru akan menimbulkan distorsi yang bisa menimbulkan bahaya pada nega-ra ini. ” Tolong dibaca dengan be-nar,” ujarnya yang kemudian di-sambut oleh seruan interupsi oleh pemohon. Namun, kemudian dice-gah oleh Ketua Majelis Hakim Mah-kamah Konstitusi, Mahfud MD.

Di dalam sidang tersebut tidak diperkenankan adanya interupsi. Lebih lanjut Patrialis menjelas-kan bahwa selama ini pemohon selalu berbicara tentang kebe-basan HAM. Tapi pemohon tidak mengerti bahwa HAM di Indone-sia itu berbeda dengan bangsa lain yang sifatnya sangat univer-sal. HAM di negara ini harus ada pembatasan sebagai upaya untuk menghormati hak-hak orang lain.

Dipertahankan

Sementara itu, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menegaskan bahwa keberadaan peraturan perundangan menge-nai penistaan dan atau penodaan agama harus dipertahankan. ”Ka-rena itu, kita berharap Mahka-mah Konstitusi (MK) menolak uji materi undang-undang itu,” kata Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi

Menurut Hasyim, tanpa ada-nya peraturan itu maka yang akan terjadi adalah anarki. Di satu sisi orang bisa berbuat

sesu-kanya membuat agama atau aliran kepercayaan sesuai selera, di sisi lain masyarakat yang tidak terima akan berbuat sesukanya untuk melakukan pengha-kiman.”Kalau tidak ada cantolan hukum, masyarakat bukannya diam, tetapi justru akan anarki. Kalau ada hukum hal itu bisa kita rem,” katanya.

Hasyim menegaskan, permin-taan agar UU itu dicabut atas nama demokrasi sangat tidak tepat. Penodaan agama merupa-kan agresi moral yang justru me-rusak agama. “Jadi harus dibedakan antara demokrasi de-ngan agresi moral,” kata penyan-dang gelar doktor honoris causa bidang peradaban Islam tersebut. Dikatakannya, UUD 1945 memang menjamin kebebasan beragama, namun harus dimak-nai sebagai bebas memilih dan menjalankan agama yang diakui dan sah menurut undang-un-dang. Soal tuntutan agar tidak ada pembatasan mengenai jumlah agama yang diakui, menurut Hasyim justru hal itu yang men-jadi pintu masuk bagi penodaan terhadap agama yang telah jelas eksistensinya. “Kalau pun ada yang minta jumlahnya ditambah demi alasan keadilan, ya, tetap tidak menyelesaikan persoalan. Kalau pun dikasih sepuluh, yang pingin agama ke-11 akan menilai tidak adil. Dikasih 100 sekali pun, yang berikutnya tetap meng-anggap tidak adil,” katanya.

Menurut pemahaman Hasyim, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1965 tidak menyangkut kebe-basan agama tapi menyangkut penodaan agama, sehingga tidak relevan kalau dikaitkan dengan kebebasan beragama.

Jadi sudah jelas, kata Hasyim, Undang-Undang ini masih diper-lukan di Indonesia, karena kalau UU ini dicabut akan menimbul-kan instabilitas Indonesia dan dapat mengganggu kerukunan umat beragama yang sudah sangat baik.

(4)

Hasyim menambahkan, kalau UU ini dicabut yang paling rugi a-dalah minoritas. Kalau mayoritas dia cukup mempunyai kemam-puan untuk bereaksi, tetapi kalau reaksi itu timbul karena peno-daan, kemudian tidak ada pato-kan hukumnya maka yang terja-di tentu anarki. “Jaterja-di, kita jangan mengambil logika terbalik, se-akan-akan tidak ada aturan menjadi beres.Tapi tidak ada aturan itu masyarakat akan bikin aturannya sendiri,” ingatnya.

Ketua Umum PP Muham-madiyah Din Syamsudin menolak judicial review peraturan perunda-ngan mengenai penyalahgunaan dan atau penodaan agama oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Din melanjutkan, jika Peraturan Presiden No.1/PNPS/1965 yang sudah diundangkan melalui UU No 5 tahun 1969 itu jadi diubah, maka akan sangat berpotensi me-micu konflik yang lebih besar bagi kehidupan beragama di Indonesia. “Saya ingin berpandangan atas nama Muhammadiyah bahwa amandemen terhadap ketentuan perundangan tersebut sangat berbahaya,” jelasnya.

Din menambahkan, tidak dapat dibayangkan kalau perubahan itu disetujui maka penodaan dan penistaan terhadap agama baik secara tidak disengaja seperti merusak pemahaman, keyakinan, ajaran dan akidah agama, atau-pun yang dilakukan secara sengaja seperti rekayasa sosial dan politik akan berkembang pesat. “Akan menimbulkan social disorder,” tambahnya. Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini.

Dalam negara demokrasi, kata Din, harus ada kebebasan ber-agama namun itu perlu diper-tegas dalam ketentuan hukum yang melindungi dari penodaan agama. Din yakin, penolakan ini akan mendapatkan dukungan dari komunitas agama manapun karena semua umat beragama manapun tidak ingin agama yang suci dinodai. Dan dalam hal ini,

perlu keterlibatan negara untuk mengaturnya.

Keguncangan

Majelis Ulama Indonesia (MUI) menilai munculnya gugatan uji materiil terhadap UU no 1 tahun 1965, tidak terlepas dari kelompok Ahmadiyah. ”Ini tidak terlepas dari perjuangan kelompok ter-tentu dalam kasus Ahmadiyah,” tegas Ketua MUI KH Amidhan, yang menjadi koordinator MUI sebagai pihak terkait dalam Sidang MK di Gedung MK Jakarta, Kamis (4/2).

Di depan sidang, Amidhan me-negaskan bahwa para pemohon menafsirkan agama secara meng-ada-ada. ”Pembatalan ataupun perubahan terhadap UU itu akan menimbulkan keguncangan-keguncangan,” tegas Amidhan.

Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Adhian Husaini yang tampil sebagai saksi ahli dari MUI

mengatakan, jika UU PNPS Nomor 1/PNPS/1965 tentang Penodaan dan/atau Penistaan agama dica-but, dinilai membahayakan kare-na akan ada pekare-nafsiran subjektif. Menurut Adhian, UU tersebut menghimpun penafsiran-penaf-siran yang bersifat subjektif yang dihadirkan ke dalam sidang un-tuk ditafsirkan menjadi objektif. Oleh karenanya, soal ketersing-gungan agama menjadi sangat relatif.

”Saya perhatikan dari pemo-hon, terutama masalah netralitas agama. Negara tidak boleh mengatasnamakan satu kelom-pok masyarakat atas dasar keyakinannya dan orang tidak bo-leh terlibat satu tafsir keagamaan tertentu,” ungkapnya.

Ia pun mengutip, seorang ahli bahwa persoalan utamanya adalah negara terlalu ikut campur dalam urusan negara.

”Contoh, sejumlah teolog Sejumlah ormas Islam menggelar demo menolak uji materi terhadap UU No.1 PNPS 1965.

(5)

Katolik dipecat Vatikan karena punya pandangan berbeda. Profesor Jacks Dopoa diberi sanksi menyusul penerbitan bukunya yang berjudul Christian

Thelogy Religi Pluralism. Dia

mendapat notifikasi dari konfe-derasi ajaran iman Vatikan, ia tidak bisa dipandang sebagai seorang teolog Katolik,” ujarnya.

Selain itu,”Sanksi yang sama juga dijatuhkan seorang yang menulis buku Jesus Symbol of

God. Pandangan-pandangan

dianggap berbeda Vatikan bertin-dak sangat aktif dalam memeriksa dan menjatuhkan sanksi pada sejumlah teolog yang dinilai menyimpang,” ujarnya.

”Jika sebagai pemegang otori-tas keagaaman yang dikatakan menyimpang dari ajaran agama Katolik tentu umat Islam berhak menyatakan agama menyimpang dari ajaran agama Islam. Begitu-pun agama-agama lain,

Masalah-nya memang Paus memiliki kedudukan tertinggi agama Katolik. Umat Islam dan umat agama lain, berhak mendapat perlindungan dari penodaan dan penyalahgunaan, itulah tujuan dari PNPS,” jelasnya.

”Dan itulah tujuan eksistensi PNPS menurut saya, hidupan berbangsa dan berke-hidupan harmonis dalam beraga-ma di Indonesia, beraga-maka tidak seharusnya satu agama di Indo-nesia berdiri di posisi yang netral,” paparnya.

Memicu Konflik

Perihal yang tak kalah penting dalam mengkaji UU No. 1/PNPS/ 1965 tentang Penodaan dan/atau Penistaan Agama adalah opera-sionalisasi UU ini. Sementara pe-nafsiran tentang agama, secara

internum (ke dalam), mutlak

dibe-rikan tanpa boleh diintervensi oleh siapapun karena hal itu di-hormati dan dijamin UU tersebut. Demikian diungkapkan oleh Soedarsono selaku Ahli Peme-rintah dalam sidang uji materi UU Penodaaan Agama di ruang sidang pleno MK, Rabu (17/03).

”UU Penodaan Agama telah sesuai azas dan sangat visioner, futuristik untuk penerapan kebebasan dalam beragama yang bermoral sehingga menciptakan keamanan dan ketertiban umum dalam masyarakat,” tuturnya.

Dengan demikian, menurut Soedarsono, masyarakat memiliki pedoman konkrit untuk menjaga hubungan antar umat beragama dan intern agama. ”Larangan penodaan merupakan titik temu dalam negara Pancasila sehingga UU Penodaan Agama tidak perlu dibatalkan,” lanjutnya.

Sementara, Dr. Siti Zuhro, selaku Ahli yang dihadirkan MK, menyatakan bahwa pencapaian demokrasi yang disepakati oleh bangsa Indonesia harus pula menjamin HAM dengan ditegak-kannya pengakuan martabat dan agama. ”Jaminan pluralitas,

pe-ngakuan status sosial, dan kesa-maan derajat harus ditegakkan. Penyelesaian konflik komunal terkait permasalahan agama ha-rus diselesaikan dan kita carikan solusi bersama,” ungkapnya.

Berkaca pada tradisi dan sejarah perpolitikan di Indonesia, menurut peneliti LIPI yang

con-cern pada masalah demokrasi dan

birokrasi ini, yang terjadi adalah politisasi di segala bidang. Politisasi inilah yang memicu konflik dan kekerasan sehingga Pancasila sebagai way of life serta nilai kebhinekaan hanya menjadi gincu (pemanis bibir, red).

”Jalan tengah adalah UU ini disesuaikan dengan kondisi kekinian, kebutuhan bersama, serta perubahan. Saya tidak merekomendasikan dicabut, namun direvisi untuk menjaga kerukunan dan toleransi sehingga terjadi harmoni dan agama bukan menjadi legitimasi untuk menegasikan yang lain,” katanya. Sementara itu, Munarman yang turut hadir mewakili Front Pembela Islam (FPI) memberikan tanggapan bahwa paradigma HAM yang dari luar Indonesia dan kemudian dimasukkan ke Indone-sia juga akan menjadi intervensi baru karena perbedaan kultur. ”Konflik dan kekerasan merupa-kan keniscayaan sehingga itu menjadi tugas hukum untuk menegakkan keadilan,” tekannya. Menanggapi hal itu, Siti Zuhro menyatakan bahwa harmoni, toleransi, dan persamaan itu me-rupakan variabel demokrasi. Konteks kebhinekaan Indonesia harus dikelola secara serius dan tidak asal-asalan. ”Konflik me-mang selalu ada tapi jangan dise-lesaikan dengan kekerasan. Mengenai nilai HAM, maka kita harus bicara secara universal mana yang sesuai dengan negara kita mana yang tidak. Jadi ada

win-win solution sehingga tercipta

rasa saling percaya antara satu dan lain, demi harmonisasi masyarakat,” ujarnya. (es/ts)

Referensi

Dokumen terkait

Penyusunan tugas akhir studi praktik bisnis ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada jenjang Strata Satu

tidak sesuai dengan hasil tangkapan sebenarnya, banyak praktik para tengkulak8. mendatangi langsung para petugas dengan memberi imbalan serta pelaporan

Hasil analisa ini juga diperkuat oleh teori yang dikemukakan oleh Wahyu Purwaningsih dan Siti Fatmawati (2010) bahwa faktor perilaku yang mempengaruhi kematian bayi baru

Ratumbuysang ; Indeks Kepuasan Masyarakat- Jumlah pengaduan masyarakat tentang layanan publik Rumah Sakit Jiwa

Pengembangan Desain Didaktis Geometri Dimensi Tiga Dalam Kelas Inklusif.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

Subbagian Tata Usaha pada Fakultas Keperawatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 54 ayat (2) huruf c mempunyai tugas melakukan urusan penyusunan rencana, program, dan

Ketiga, bahwa tingkat pendidikan jemaat GSJA Victorious Worship Family Makassar sangat berpengaruh terhadap sikap memberi persepuluhan kepada Tuhan, di mana apabila terjadi

Pendidikan Anak Usia Dini atau disingkat PAUD adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui