• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dengan masuknya masa remaja, sesuai dengan teori tahap psikososial, seorang individu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dengan masuknya masa remaja, sesuai dengan teori tahap psikososial, seorang individu"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Relasi pertemanan merupakan salah satu upaya pemenuhan kebutuhan sosio-emosional bagi individu, khususnya bagi remaja (Rice & Dolgin, 2002). Bersamaan dengan masuknya masa remaja, sesuai dengan teori tahap psikososial, seorang individu dihadapkan pada tugas perkembangan identitas versus kebingungan peran (Passer & Smith, 2007). Mereka mulai mengevaluasi nilai-nilai pribadi yang selama ini mereka anut dan juga mengembangkan pola pikir idealis dan penalaran yang logis (Santrock, 2002a). Remaja juga diharapkan untuk bersikap lebih mandiri dibandingkan pada masa kanak-kanak. Akibat munculnya pergeseran ini, tak jarang remaja mengalami konflik dengan orang tua (Rice & Dolgin, 2002). Relasi pertemanan pun diharapkan dapat menjadi sumber perolehan dukungan dalam bentuk fisik, psikis, dan moral (Dwyer, 2000; Salkind, 2006), sarana untuk mengekspresikan kasih sayang dan perhatian (Santrock, 2007), penyedia stimulus berupa informasi dan hiburan, serta berperan sebagai sumber perbandingan sosial (Dwyer, 2000; Rice & Dolgin, 2002; Santrock, 2007).

Selama beberapa tahun belakangan ini, penggunaan internet menyebar luas ke berbagai belahan dunia, termasuk negara Indonesia. Menurut data statistik yang tersedia (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia [APJII], 2014; Kementerian Komunikasi dan Informatika [Kominfo], 2013, 2014), tercatat pertumbuhan jumlah pengguna internet dari 63 juta orang menjadi 82 juta hanya dalam kurun waktu 6 bulan, terhitung dari akhir tahun 2013 hingga pertengahan tahun 2014. Angka ini senilai dengan penetrasi sebesar 29% dari keseluruhan jumlah penduduk Indonesia (We Are Social, 2014) dan cukup untuk membuat Indonesia menempati peringkat 6 sebagai negara dengan pengguna internet

(2)

paling banyak di dunia (Kompas, November 2014). Kementerian Komunikasi dan Informatika menuturkan bahwa penggunaan internet untuk mengakses berbagai jejaring sosial menempati urutan teratas dengan angka sebesar 64 persen (Kominfo, 2013; Kompas, Maret 2015), khususnya di kalangan rumah tangga dan konsumen pribadi (APJII, 2014). Hal ini tidak mengherankan menimbang bahwa Indonesia juga memegang peringkat ke 4 untuk jumlah pengguna aktif Facebook terbanyak (Kominfo, 2014) dan peringkat 5 untuk jumlah pengguna aktif Twitter (Kominfo, 2013). Setiap harinya, rata-rata lama penggunaan internet oleh masyarakat Indonesia mencapai 5 jam 27 menit (We Are Social, 2014). Menurut data Social Bakers (2014), para pengguna internet ini salah satunya didominasi oleh kelompok usia remaja.

Bagi sejumlah pengguna, internet ini dimanfaatkan sebagai media komunikasi untuk memelihara hubungan interpersonal. Hal ini bukanlah sesuatu yang baru karena pada masa sebelum ditemukannya internet, orang-orang sudah menggunakan media komunikasi lain seperti surat pos, telegram, atau dengan telepon rumah untuk saling bertukar kabar dan menjaga kontak. Namun internet merupakan media komunikasi yang juga membuka peluang bagi individu untuk bertemu dengan orang yang belum pernah mereka kenal sebelumnya. Berawal dari sini, individu pun kini dapat menjalin relasi sosial baru melalui interaksi dengan perantara media (yang juga disebut sebagai CMC atau computer-mediated communication) seperti yang layaknya terjadi melalui interaksi tatap muka. Hubungan yang berasal dari pertemuan online ini selanjutnya akan disebut sebagai online relationship atau relasi interpersonal online. Sementara untuk relasi yang dilakukan secara tatap muka berikutnya akan disebut sebagai relasi offline.

Fenomena relasi sosial atau pertemanan online ini telah tercatat di sejumlah studi, khususnya pada kelompok anggota komunitas sosial online seperti di newsgroup (Parks & Floyd, 1996) atau MOO dan MUD (sejenis tempat chat) (Parks & Roberts, 1997).

(3)

Fenomena ini sendiri juga dapat disaksikan di salah satu forum diskusi online yang cukup dikenal oleh pengguna internet Indonesia, yaitu Kaskus. Berdasarkan hasil amatan peneliti, para anggota forum Kaskus kerap mengadakan kopdar atau kopi darat rutin. Kopi darat merupakan sebuah istilah untuk acara temu tatap muka antar anggota suatu komunitas yang selama ini berinteraksi melalui internet. Kopdar ini tak jarang juga berlanjut ke pertemuan-pertemuan berikutnya atau kegiatan bersama lainnya yang tidak lagi berkaitan dengan forum Kaskus itu sendiri.

Peneliti sempat mengadakan survei pra-penelitian mengenai pengalaman memiliki teman online. Peneliti mengajukan pertanyaan “Pernahkah kamu menganggap orang yang hanya kamu kenal melalui internet sebagai teman akrab?” beserta alasannya. Berikut ini adalah sejumlah pengakuan dari orang-orang yang mengaku pernah menjalin pertemanan online:

“Saya pernah (bahkan sering) menganggap orang yang saya kenal melalui internet sebagai teman akrab, karena dalam komunikasi melalui media internet, saya justru lebih dapat terbuka mengenai kepribadian saya sendiri. Mungkin lebih banyak teman saya di dunia maya justru lebih memahami pribadi saya dibandingkan teman saya di RL [real life], dan membuka pribadi saya ke orang lain merupakan bukti tingkat kepercayaan saya kepada individu tertentu.”

“Terkadang untuk curhat secara tertulis dirasa lebih nyaman daripada secara lisan, sehingga mau tak mau terkadang orang yang hanya saya kenal melalui internet pun akhirnya dapat menjadi teman akrab, tapi perlu digarisbawahi, menjadi teman akrab hanya saat online saja.”

Namun sebagian responden lainnya ada pula yang menyatakan diri tidak pernah menganggap orang yang mereka kenal melalui internet sebagai teman akrab:

“Tidak, karena kita tidak tahu secara pasti siapa dan seperti apa orang tersebut, serta pertemanan tersebut hanya terbatas pada media tertentu. Apabila kita sudah tidak terhubung lagi pada media tersebut maka terputuslah pertemanan (kecuali sudah pernah bertemu langsung dan menjalin pertemanan di dunia nyata).”

“Sulit untuk berbagi mengenai hal-hal yang sifatnya pribadi dan emosional dengan seseorang yang tidak bisa kita kenal lebih dalam, hanya lewat tulisan/suara. Interaksi langsung jauh lebih dibutuhkan untuk membentuk koneksi antara 2 orang, agar akhirnya bisa masuk ke tingkatan ‘teman’.”

(4)

Jika dibandingkan dengan media komunikasi lainnya, internet memang memiliki daya tarik berupa keleluasan dari segi waktu dan lokasi. Untuk dapat melangsungkan interaksi, kedua komunikan tidak harus aktif pada waktu yang sama ataupun berada di tempat yang sama (Suler, 2004a). Meskipun demikian, kelebihan ini tidak lantas membuat komunikasi dengan perantara internet ini selalu berjalan dengan mulus. Masalah juga dapat timbul saat orang berinteraksi melalui internet yang akhirnya akan berdampak pada dunia nyata.

Sejumlah situs web surat kabar telah mencatat sejumlah kasus yang terjadi lantaran adanya kesalahpahaman saat berkomunikasi melalui internet. Misalnya saja dalam kasus Florence Sihombing dan Dinda, keduanya sama-sama sekadar mengungkapkan keluhan pribadi di jejaring sosial, namun lantaran status tersebut juga terbaca oleh khalayak umum, mereka pun memperoleh kecaman dari pengguna internet yang lain karena dianggap menunjukkan sikap egois terhadap orang lain (Kompas.com, 17 April 2014; Liputan6.com, 31 Agustus 2014). Dalam kasus Nur Arafah (Tempo.co, 3 Juli 2009), ia dipidanakan karena dianggap melakukan pencemaran nama baik setelah memaki seorang temannya sambil menyebut salah satu dari orang tua teman tersebut. Pada tahun 2013 silam, sempat terjadi tawuran antara siswa Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) 1 dan siswa SMKN 2 Kendari di Bali lantaran salah paham yang berlangsung di Facebook (Republika.co.id, 26 September 2013). Sementara di Yogyakarta baru-baru ini, ada pula kasus penganiayaan dan kekerasan seksual yang dipicu oleh sebuah foto tato Hello Kitty yang diunggah ke BBM (BlackBerry Messenger) dan membuat pelaku merasa korban sedang ikut-ikutan dan menjiplak dirinya (Liputan6.com, 17 Februari 2015).

Selain potensi kesalahpahaman dalam berkomunikasi, aspek anonimitas internet juga dapat menjadi resiko tersendiri bagi komunikan. Kasus cyberbullying yang menimpa seorang remaja Kanada bernama Amanda Todd bermula ketika ia diminta untuk

(5)

menunjukkan payudaranya melalui webcam oleh lawan bicara yang belum pernah ia kenal sebelumnya. Adegan tersebut ternyata disimpan dalam foto dan lantas disebar ke sekolah dan kalangan teman-temannya (TheHuffingtonPost.com, 11 Oktober 2012). Dengan menimbang adanya resiko dan persoalan yang mungkin timbul dalam interaksi melalui perantara teknologi ini, maka muncul pertanyaan mengenai relasi akrab (close relationship) yang terbentuk secara online.

Jika dikaji secara teoritik, secara garis besar, terdapat dua pandangan yang saling bertentangan mengenai mengenai pengaruh computer-mediated communication terhadap relasi sosial online, yaitu (1) pandangan pesimis yang meyakini adanya dampak negatif dan (2) pandangan optimis yang menilai relasi sosial dapat dijalin secara online. Pandangan pertama yang pesimis menggunakan pendekatan berkurangnya sinyal sosial (reduced social cues) dan kesesuaian media (media syncrocity). Short, Williams, dan Christie (1976, dalam Meissner, 2005) mengartikan kehadiran sosial dari suatu media perantara sebagai ukuran yang memungkinkan berlangsungnya suatu interaksi interpersonal. Lebih lanjut lagi, melalui teori kekayaan informasi, Daft & Lengel (1986, dalam Meissner, 2005) menuturkan bahwa media yang berbeda memiliki kemampuan yang berbeda dalam menyampaikan kekayaan informasi. Berdasarkan dua asumsi ini, internet yang sebagian besar masih berbasis teks dinilai tidak mampu menyampaikan simbol-simbol paraverbal dan non-verbal sehingga rangsangan penginderaan yang disediakan pun terbatas dan menimbulkan kesulitan untuk mempersepsi kehadiran sosial lawan bicara. Kurangnya keleluasaan dalam berinteraksi dan menyampaikan informasi ini membuat komunikan lebih memerhatikan karakter pesan ketimbang konteks sosial yang menjadi situasi berlangsungnya interaksi.

Pemahaman ini kemudian dilengkapi oleh Dennis & Valacich (1999, dalam Meissner, 2005) yang mengungkapkan bahwa perantara komunikasi terbaik bukanlah yang

(6)

mampu menyampaikan informasi paling kaya, melainkan yang mampu memfasilitasi situasi yang hendak berlangsung. Seumpama individu perlu membagi informasi secara merata, maka ia akan membutuhkan perantara komunikasi yang dapat membantunya untuk menyebar informasi (diverging). Di lain pihak, jika individu ingin saling berbagi secara mendalam untuk membangun pengertian bersama, maka ia akan memerlukan perantara komunikasi yang lebih terfokus (converging) atau bahkan personal. Komunikan harus memilih media perantara yang sesuai baginya agar bisa meningkatkan konteks sosiial.

Dengan demikian, pendekatan keterbatasan sinyal sosial ini menyimpulkan bahwa kualitas hubungan antara dua komunikan yang berinteraksi melalui CMC cenderung mengarah pada sifat kaku, dingin, dan egosentris. CMC mempersulit individu untuk membangun rasa percaya dan mengekspresikan kehangatan. Oleh karena itu, relasi sosial kemungkinan akan sulit untuk dijalin melalui interaksi CMC. Perspektif ini telah didukung oleh sejumlah penelitian yang menunjukkan bahwa rata-rata kualitas relasi online cenderung lebih rendah daripada relasi offline (Parks & Floyd, 1996; Parks & Roberts, 1997; Chan & Cheng, 2004) dan juga studi eksperimen yang mengungkap bahwa ikatan emosi lebih mudah dibangun secara tatap muka (Sherman, Michikyan, & Greenfield, 2013).

Sementara pandangan optimis mengenai CMC dilandaskan pada teori pemrosesan informasi sosial yang dikembangkan oleh Joseph B. Walther (1992, 1997, 2008). Berbeda dengan perspektif keterbatasan sinyal sosial, teori pemrosesan informasi sosial tidak terpaku pada aspek teknis media perantara, namun juga mempertimbangkan kemampuan manusia sebagai komunikan untuk beradaptasi. Asumsi dasar yang ia gunakan adalah bahwa “relational communication is a question of rate, not capability” (Walther, 2008) yang berarti isu komunikasi relasional tidak terletak pada kemampuan, melainkan pada taraf penyampaian si media perantara. Dengan kata lain, jika komunikan diberikan waktu

(7)

yang cukup, maka interaksi CMC pada akhirnya akan mampu mencapai tingkat yang sama atau sebanding dengan interaksi tatap muka. Di samping itu, Walther (dalam Meissner, 2005) juga mengungkapkan konsep hyperpersonal, yaitu ketika komunikasi online mencapai level afeksi yang mungkin justru sulit dicapai saat berada di lokasi offline. Di sini ia mengasumsikan adanya pengirim pesan yang selektif atau berusaha menampilkan citra positif dan penerima pesan yang idealis. Oleh karena itu, teori pemrosesan informasi sosial melihat bahwa CMC dapat memberikan pengaruh positif terhadap kualitas relasi sosial.

Pembahasan ini menjadi semakin menarik ketika dibawa ke ranah perkembangan remaja karena adanya dua pertimbangan. Pertama, remaja di masa ini termasuk bagian dari kalangan yang mudah beradaptasi dengan teknologi. Hal ini dapat dilihat dari tingginya jumlah pengguna internet dari kelompok usia remaja (Social Bakers, 2014) dan variasi penggunaan CMC dalam kehidupan mereka sehari-hari (Cleemput, 2010). Kedua, peran teman karib yang dinilai penting selama masa remaja (Santrock, 2002a, 2012). Di saat mereka diharap untuk memenuhi tugas-tugas perkembangan seperti menemukan identitas diri dan bersikap lebih mandiri, remaja tentunya masih memerlukan pihak yang dapat memberikan dukungan dan dijadikan sebagai ukuran perbandingan sosial. Di sini sosok teman dapat membantu mereka untuk memperoleh keakraban dan menegaskan harga diri mereka (Rice & Dolgin, 2002; Santrock, 2012). Beberapa temuan penelitian juga mengungkap bahwa remaja menjadikan teman sebagai pengganti atau pelengkap sumber dukungan emosional yang dulunya sebagian besar berasal dari orang tua (Mesch & Talmud, 2006; Rice & Dolgin, 2002).

Dengan mengamati kemunculan fenomena pertemanan online belakangan ini, maka remaja sekarang tidak hanya menghadapi tugas perkembangan, namun juga harus beradaptasi dengan perkembangan teknologi. Dampak perubahan formasi hubungan akrab

(8)

interpersonal hingga saat ini masih belum dipahami dengan baik meskipun teknologi kemungkinan besar masih akan terus berkembang dan memberikan pengaruh pada kehidupan manusia. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk membandingkan kualitas dua tipe pertemanan, yaitu pertemanan online dan pertemanan offline (tatap muka), dan memahami lebih dalam mengenai pertemanan online. Hasil penelitian ini nantinya dapat ditambahkan ke dalam rangkaian penelitian di Indonesia terkait antara disiplin ilmu psikologi dengan ilmu teknologi dan informasi.

B. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengukur dan membandingkan kualitas dua tipe pertemanan, yaitu pertemanan online dan pertemanan offline, pada kelompok usia remaja.

C. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan dua manfaat, yaitu: 1. Manfaat teoritis

a. Hasil penelitian ini dapat menambah kajian dalam ilmu psikologi sosial. b. Penelitian ini dapat memperkaya penelitian-penelitian yang telah ada

sebelumnya dan dapat digunakan sebagai pembanding penelitian berikutnya. 2. Manfaat praktis

a. Subjek maupun pembaca dapat memperoleh wawasan baru mengenai peran internet terhadap kehidupan sosial manusia.

b. Penelitian ini dapat memberikan tambahan pertimbangan untuk mendidik anak-anak dan remaja dalam penggunaan teknologi untuk kehidupan sehari-hari.

Referensi

Dokumen terkait

G.5 Musik yang dimainkan di Mulia Toserba dan Swalayan membuat saya merasa betah berbelanja di dalamnya.. G.6 Pegawai Mulia Toserba dan

dengan diperbolehkannya terdakwa mengakui semua hal yang didakwakan kepadanya dan mengaku bersalah melakukan tindak pidana yang diancam tidak lebih dari 7 (tujuh) tahun,

Dengan adanya pembelian barang yang tinggi sehingga harus adanya pengendalian internal yang baik di dalam Hotel Shangri-La Surabaya khususnya dalam siklus

[r]

H_(1 ): Minat dan Tingkat Kepuasan Pengunjung Terhadap Objek Wisata Di Air Terjun Bantimurung Gallang Tergolong Tinggi. Dari data hasil angket yang telah disebarkan

Tabel item-total statistik menunjukan hasil perhitungan reabilitas untuk 10 pernyataan.Menentukan besarnya r tabel dengan ketentuan tingkat kepercayaan (degree of

Perspektif Hukum Islam), 18 dalam tesis ini peneliti lebih membahas membahas tentang penukaran harta benda wakaf yang terjadi di wilayah proyek jalan Tol

Salah satu cara untuk  mendapat ketebalan yang tepat adalah dengan membuat garis – garis plesteran/patok pada dinding dengan arah vertikal dari atas ke bawah dengan jarak 1 -