PEMANFAATAN PESAWAT UDARA NIR-AWAK (PUNA) SEBAGAI
METODE ALTERNATIF PENGUMPULAN DATA GEOSPASIAL
PULAU-PULAU KECIL TERLUAR
(Utilization of Unmanned Aerial Vehicle (UAV) as an Alternative Method for Collecting
Geospatial Data of the Outermost Small Islands)
Niendyawati1 dan Eko Artanto2
1
Pusat Penelitian, Promosi dan Kerja Sama, Badan Informasi Geospasial 2
Pusat Pemetaan Batas Wilayah, Badan Informasi Geospasial Jl. Raya Jakarta Bogor Km. 46 Cibinong, Bogor
E-mail: niendya_salam@yahoo.co.id
Diterima (received): 16 April 2014; Direvisi (revised): 5 Mei 2014; Disetujui untuk dipublikasikan (accepted): 17 Mei 2014
ABSTRAK
Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai ribuan pulau besar maupun kecil yang tersebar dari Sabang hingga Merauke dan dari Miangas hingga Pulau Rote. Pemetaan pada pulau-pulau besar relatif mudah dilakukan dibanding di pulau-pulau kecil. Aksesibilitas ke lokasi dan kendala tutupan awan seperti pada citra optik menjadi hambatan utama pemetaan pulau-pulau kecil. Namun data dan informasi geospasial pulau-pulau kecil terluar harus tetap dikumpulkan dan dimutakhirkan. Pemotretan dengan Pesawat Udara Nir-Awak (PUNA) dilakukan sebagai alternatif untuk mendapapatkan sumber data pemetaan. Pemotretan menggunakan pesawat tanpa awak dikendalikan dengan menggunakan remote control dan komputer. Tujuan dari pemanfaatan PUNA ini untuk mendapatkan data geospasial pulau-pulau kecil terluar, sesuai dengan skala yang diinginkan tanpa gangguan tutupan awan. Pulau Batek yang merupakan salah satu dari 92 pulau kecil terluar dipilih sebagai lokasi kajian. Pulau Batek termasuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Hasil uji ketelitian menunjukkan bahwa keseluruhan foto yang dihasilkan memiliki nilai Ground Spatial Distance kurang dari 20 cm, dimana ukuran tersebut telah memenuhi kebutuhan untuk produksi peta sampai skala 1:2.500.
Kata Kunci: PUNA, pulau kecil terluar, informasi geospasial
ABSTRACT
Indonesia is an archipelagic state that has many large and small islands spreading from Sabang to Merauke and from Miangas to Rote islands. Mapping the larger islands is relatively easier than the small islands. Accessibility to the small islands sites and the constraints due to cloud cover as occasionally appeared on optical satellite imageries are the main obstacles for mapping the small islands. However, geospatial data and information of the outermost small islands should be continually collected and updated. This research evaluates the used of Unmanned Aerial Vehicle (UAV) as an alternative to inventory and update geospatial data. The collecting data used drones that controlled via remote control and computer. The purpose of the use of UAV was to collect geospatial data of the outermost small islands in a particular desired scale and cloud cover free images. The location of the research was in Batek Island which is one among the 92 outermost islands of Indonesia, which located at Kupang district, East Nusa Tenggara Province. The result shows that the overall photos has a Spatial Ground Distance value smaller than 20 cm, this size has met the requirements for mapping production at the scale of 1:2,500.
Keywords: UAV, outermost small island, geospatial information
PENDAHULUAN
Negara Kesatuan Republik Indonesia
merupakan Negara kepulauan yang memiliki wilayah yang sangat luas dengan panjang garis pantai kurang lebih 98.988 km, dengan jumlah pulau lebih dari 13.466 pulau (Badan Informasi Geospasial, 2013). Pengelolaan negara kepulauan yang demikian besar, tentu memerlukan data dan informasi geospasial yang dapat dipercaya dan andal. Badan Informasi Geospasial (BIG) adalah
satu-satunya lembaga di Indonesia sebagai
penyelenggara Informasi Geospasial Dasar (IGD), Infrastruktur Informasi Geospasial (IIG), dan merupakan pembina dan pelaksana integrasi
Informasi Geospasial Tematik (IGT). BIG
mempunyai visi menjadi lembaga penggerak dan
terdepan dalam penyelenggaraan informasi
geospasial di Indonesia yang andal, terintegrasi dan mudah dimanfaatkan. Salah satu misinya adalah membangun data dan informasi geospasial yang berkualitas dan berkelanjutan dengan multi-
resolusi dan multi-skala dalam satu referensi tunggal serta mudah dimanfaatkan secara cepat
dan dapat dipertanggungjawabkan untuk
mendukung pembangunan nasional.
Pulau-pulau terluar merupakan pintu gerbang wilayah Indonesia, yang harus dijaga baik dari segi keamanannya dan keberadaannya. Pada umumnya
pembangunan wilayahnya pulau-pulau terluar
masih tertinggal, hal ini dikarenakan wilayah ini jauh dari pusat pemerintahan, padahal keberadaan dan pembangunannya sangat penting dan harus mendapatkan prioritas oleh pemerintah. Oleh karena itu data dan informasi wilayah ini penting untuk diinventarisasi dan selalu diperbaharui dalam kurun waktu tertentu.
Inventarisasi dan pemutakhiran data
geospasial pada pulau-pulau kecil terluar sering mengalami kendala, baik dari faktor alam, misalnya cuaca, bencana, dan aksesibilitas ke lokasi. Sedangkan kendala yang berasal dari teknologi satelit juga sering muncul, seperti pengambilan data dari citra optik sering terjadi kendala tutupan awan, atau keterbatasan ketersediaan citra dengan resolusi tinggi sehingga kurang mendapatkan informasi sesuai yang diinginkan. Oleh karena itu, dalam tulisan ini diberikan alternatif dalam
menghadapi kendala tutupan awan dan
keterbatasan ketersediaan data sesuai skala yang diinginkan dan dengan biaya yang efektif (Haala et al., 2011), yaitu dengan kajian pemanfaatan Pesawat Udara Nir-Awak (PUNA) (Tahar et al., 2011).
Tujuan dari penelitian ini adalah menguji
sejauh mana ketelitian hasil pemotretan
menggunakan PUNA untuk inventarisasi data geospasial khususnya di pulau kecil terluar. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan pemanfaatan PUNA selanjutnya.
METODE
Metode yang digunakan untuk pemetaan pulau-pulau kecil terluar dilaksanakan dengan metode fotogrametri small format yang dipotret menggunakan wahana tanpa awak (Udin et al., 2012).
Langkah-langkah yang digunakan dalam
penelitian ini meliputi: 1. Persiapan administrasi
Tahap ini merupakan langkah awal sebelum
pengambilan data dilakukan. Persiapan
administrasi meliputi pengurusan administrasi, pengurusan perijinan, dan asuransi.
2. Persiapan pemotretan
Tahap persiapan pemotretan meliputi penyiapan peralatan yang akan digunakan, peta dasar, peta kerja, dan data pendukung, menyiapkan jalur terbang, dan Ground Control Points (GCP) (Eisenbeiss, 2011). Persiapan peralatan juga termasuk ujicoba dan persiapan terhadap wahana UAV yang akan digunakan untuk menjaga agar wahana mampu bertahan terbang sesuai jalur yang diinginkan pada cuaca lokasi pemotretan.
Gambar 1. Ilustrasi jalur terbang dengan sidelap dan overlap.
3. Pemotretan
a. Tahap pemotretan dimaksudkan untuk
melakukan pengumpulan data. Pada tahap ini setiap jalur terbang harus dapat dipotret secara berurutan dalam satu kali pemotretan. Apabila terjadi pemutusan jalur terbang, karena tertutup awan atau kendala lain harus
diberikan catatan. Selanjutnya untuk
menyelesaikan sisanya harus dimulai dari titik awal yang mempunyai pertampalan dengan jalur terbang sebelumnya (Bryson, 2013).
b. Pengukuran GCP menggunakan metode PPP (precise point positioning). Distribusi GCP ini memperhatikan keberadaan titik kontrol yang telah ada hasil dari pengukuran
sebelumnya yang mempunyai ketelitian Orde-3 atau yang lebih tinggi, kemudian
dilakukan survei di lapangan untuk
penempatan posisi tugu sehingga dapat
digunakan untuk pekerjaan-pekerjaan
selanjutnya. Survei penentuan koordinat titik kontrol tanah pada pekerjaan ini adalah untuk menentukan koordinat titik yang akan digunakan untuk kontrol pekerjaan aerial tringulasi melalui hitungan block adjustment (perataan blok). Teknik PPP ini akan memberikan hasil yang terikat pada datum GPS WGS 1984 untuk posisi horizontal, sedangkan datum vertikal direferensikan terhadap model Geoid EGM96.
Gambar 3. Premark dan pengukuran GCP. 4. Pemrosesan data
a. Hasil pemotretan diproses secara otomatis
dengan fotogrametri digital untuk
menghasilkan Peta Foto dan Peta Garis. b. Proses triangulasi udara. Triangulasi udara
pada fotogrametri adalah metode dalam menentukan dan menghitung koordinat
3-dimensi setiap objek dengan cara
fotogrametri, dengan menggunakan setiap foto dari posisi yang berbeda yang meliputi objek yang sama. Dengan triangulasi udara, foto udara dimungkinkan dapat menghitung koordinat 3-dimensi untuk setiap elemen objek. Dalam proses, diperlukan beberapa titik dengan posisi diketahui yang tampak pada beberapa foto. Titik-titik ini merupakan
titik kontrol yang menjadi bagian penting dalam proses triangulasi udara (ENVI, 2014). Secara umum, tahapan proses triangulasi udara menurut (Saile, 2011), yaitu:
- Identifikasi titik kontrol dan titik ikat model. - Pengamatan titik dalam sistem koordinat model atau melalui pengamatan koordinat
foto kemudian dihitung koordinat
modelnya.
- Penyusunan persamaan pengamatan. - Penyusunan persamaan normal.
Pemecahan persamaan normal untuk mendapatkan koordinat definitif dari titik ikat (dan
parameter transformasi bila diperlukan untuk menghitung titik model lainnya).
DTM merupakan data tiga dimensi (3-Dimensi) yang merepresentasikan keadaan
permukaan objek yang diliput. DTM
merupakan data raster dengan ukuran sel 1 mm pada skala peta, yang diperolah secara otomatis dengan teknik stereo matching dan
dilanjutkan dengan editing data semi
otomatis (Fabris & Pesci, 2005). Kegiatan editing data hasil stereo matching dilakukan untuk membuang data yang tidak mewakili
terain tanah. Jadi kegiatan editing
dimaksudkan untuk mengubah hasil proses stereo matching yang masih berupa data model permukaan digital (DSM) menjadi data terain digital (DTM) (Grohmann, 2013). Selanjutnya, garis kontur dibuat berdasarkan DTM yang dihasilkan dengan ketentuan interval kontur sebesar 1/2000 dari angka penyebut skala peta (dalam meter) dan untuk kontur bantu dengan interval 1/4000 dari angka penyebut skala peta (untuk daerah yang relatif datar).
c. Ortho-Rectification
Rektifikasi adalah suatu re-eksposur dari suatu foto sehingga kemiringan-kemiringan (tilt) yang terdapat pada foto tersebut menjadi hilang dan sekaligus mengatur skala rata-rata foto yang satu dengan yang lainnya (Martin & Alonso, 1999). Rektifikasi dilakukan apabila permukaan tanah yang terpotret relatif datar, dengan asumsi ∆h pada setiap titik pengamatan < 0.5 % x tinggi terbang terhadap tinggi rata-rata pada foto yang bersangkutan.
Pembuatan peta foto untuk daerah yang bergunung dilakukan dengan proses ortofoto
(Vallet et al., 2012), dimana dengan ortofoto ini dilakukan re-eksposur secara orthogonal per bagian-bagian kecil dari foto (Baltsavias, 1996), sehingga kemiringan, skala, dan pergeseran relief dapat dikoreksi (Hemmleb & Wiedemann, 1997). Proses ortofoto akan menjadikan foto dalam proyeksi orthogonal dan hanya mempunyai satu skala (walaupun dalam medan yang beraneka), dan seperti foto karena menyajikan medan dengan gambaran sebenarnya (tidak berwujud garis dan simbol) (PCI Geomatics, 2013). Ortofoto dilakukan apabila permukaan tanah yang dipotret itu bergunung dengan asumsi ∆h pada setiap titik pengamatan >0,5% x tinggi terbang terhadap tinggi rata-rata pada foto yang bersangkutan.
5. Survei lapangan
Survei ini dimaksudkan untuk mengumpulkan data lapangan yang harus dikumpulkan untuk melengkapi hasil pemotretan UAV(Tahar, 2012).
Survei lapangan tersebut antara lain
mengumpulkan data tentang batas administrasi dan toponimi (nama desa, nama sungai, dan nama-nama geografis lainnya yang diperlukan) yang dituangkan dalam formulir F6-NG yang telah dilegalisasi oleh pemerintah setempat (Firat et al., 2008).
6. Finalisasi
Finalisasi dari kegiatan ini berupa ploting hasil pemotretan dan survei kelengkapan data lapangan.
Gambar 5. Diagram alir pembentukan DTM. DTM Bundle Adjustment Orthographic Model Re-Projection Control Point Georefencing Dense Pointcloud Reconstruction Collect Images 3D Terrain Model Scale-Invariant Feature Transform Extraction & Matching Image Pre-Processing Ground Control Point
Data Acquisition Image Processing Terrain
Gambar 6. Alur kegiatan. HASIL DAN PEMBAHASAN
Kendala utama dalam pekerjaan
menggunakan wahana udara tanpa awak adalah kondisi cuaca di lapangan. Angin yang bertiup
kencang menyebabkan kesulitan dalam
mempertahankan pesawat tanpa awak untuk dapat terbang sesuai dengan rencana jalur terbang. Selain itu, ombak yang tinggi juga merupakan kendala aksesibilitas menuju lokasi pulau yang akan dipotret. Kendala perijinan pemotretan pada lokasi-lokasi tertentu.
Secara keseluruhan foto udara yang dihasilkan telah memenuhi spesifikasi area overlap > 60% dan sidelap > 20%. Kondisi cuaca berangin di wilayah pesisir yang menyebabkan wahana udara tanpa awak sulit untuk mengikuti jalur terbang. Kondisi ini pada praktek di lapangan disiasati dengan menambah nilai overlap dan sidelap untuk mengurangi resiko kekurangan foto. Rata-rata nilai overlap antar-foto udara adalah 80%. Nilai overlap yang tinggi menyebabkan korelasi antar-foto udara
menjadi semakin baik. Pada setiap lokasi
pemotretan jumlah foto yang diambil rata-rata lebih dari 500 citra foto udara. Sebagai konsekuensi dari
jumlah foto yang banyak, maka proses pengolahan foto udara harus dikerjakan secara otomatis. Nilai
korelasi yang tinggi antar-foto udara akan
menambah kualitas proses otomatisasi dalam proses triangulasi udara.
Pemanfaatan teknologi GPS (Global
Positioning System) memungkinkan didapatkannya koordinat planimetrik pada satu referensi sehingga diperoleh ketelitian yang cukup baik, yaitu dalam fraksi sub-meter. Akurasi tersebut cukup memadai untuk pemetaan skala 1:5.000 dan lebih besar.
Penelitian ini menggunakan metode
pengukuran Precise Point Positioning. Teknik ini akan memberikan hasil yang terikat pada datum GPS WGS 1984 untuk posisi horizontal, sedangkan datum vertikal direferensikan terhadap model Geoid EGM96. Seluruh hasil pengamatan GPS metode static selama lebih dari 1,5 jam pengamatan dapat memenuhi target presisi < 1,5m untuk posisi horizontal. Secara keseluruhan citra foto yang dihasilkan memiliki nilai Ground Spatial Distance yang lebih kecil dari 20 cm. Ukuran tersebut telah memenuhi kebutuhan untuk produksi peta sampai skala 1:2.500.
Camera Model Resolution Focal Length Precalibrated Cannon PowerShot A2200 4320 x 3240 5 mm EXIF
Gambar 7. Hasil hitungan triangulasi udara menghasilkan presisi < 2,5 piksel setara dengan < 0,63 m.
Label X error (m) Y error (m) Z error (m) Error (m) Proj Error (pix)
point 1 0.001567 -0.009115 0.009655 0.009655 29 0.00
point 2 0.003073 0.018735 -0.003796 0.019361 25 0.00
point 3 0.004591 -0.002682 -0.000559 0.005346 26 0.00
point 4 -0.009233 -0.006938 0.001586 0.011658 28 0.00
Gambar 8. Letak GCP dan presisinya .
Gambar 10. Peta Garis Pulau Batek hasil pemotretan PUNA. KESIMPULAN
Dari kajian dengan menggunakan PUNA ini dapat disimpulkan bahwa wahana PUNA dapat menghasilkan data geospasial dengan ketelitian tinggi kurang dari 1 meter.PUNA juga memberikan alternatif sumber data untuk daerah yang jauh dan sulit terjangkau, seperti pulau-pulau kecil terluar. Kelebihan lain yaitu PUNA mampu menghasilkan data geospasial sesuai skala yang diinginkan dan bebas awan. Yang terakhir, PUNA menjadi alternatif penyediaan data sesuai periode waktu yang diinginkan.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Pusat Pemetaan Batas Wilayah BIG atas dukungan data dan informasinya, sehingga tulisan ini dapat dipublikasikan pada Majalah Ilmiah Globe.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Informasi Geospasial. (2013). Presentasi
“Penghitungan Garis Pantai, Luas NKRI dan Pembakuan Pulau”. 27 September 2013.
Baltsavias, E. P. (1996). Digital ortho-images - a powerful tool for the extraction of spatial and geo-information.
ISPRS Journal of Photogrammetry and Remote sensing, 51(2), 63-77.
Bryson, M., Johnson-Roberson, M., Murphy, R. J., & Bongiorno, D. (2013). Kite aerial photography for low-cost, ultra-high spatial resolution multi-spectral mapping of intertidal landscapes. PloS one, 8(9), e73550.
Eisenbeiss, H. (2011). The potential of unmanned aerial vehicles for mapping. Photogrammetrische Woche
2011, 135-145. Dieter Fritsch (Ed.). Wichmann
Verlag, Heidelberg.
Eisenbeiss, H. (2011). Tutorial g Introduction, UAV-g 2011. International Conference on Unmanned
Aerial September 14-16, 2011. Campus Science
City, ETH Zurich Vehicles in Geomatics. 34p. ENVI. (2014). ENVI Tutorial: Orthorectifying Aerial
Photographs. ITT Visual Information Solutions 4990
Pearl East Circle Boulder CO, 80301,
303.786.9900. 10p.
Fabris, M. & Pesci, A. (2005). Automated DEM Extraction in Digital Aerial Photogrammetry: Precisions and Validation for Mass Movement Monitoring, Annals of
Geophysics. 48(6). December 2005. 16p.
Fırat, O., Pamukoğlu, K., Eker, O. Özerbil, Ö. T. & Maraş, H. H. (2008). 1:25.000 Scaled Photogrammetric Map Production System, The International Archives
of the Photogrammetry Remote Sensing and Spatial Information Sciences. Vol. XXXVII. Part B4. Beijing
2008.
Haala, N., Cramer, M., Weimer, F. & Trittler, M. (2012). Performance Test on UAV-Based Photogrammetric Data Collection. ISPRS - International Archives of
the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences. Volume XXXVIII-1/C22.
ISPRS Zurich 2011 Workshop, 14-16 September 2011, Zurich, Switzerland
Hemmleb, M. & Wiedemann, A. (1997). Digital Rectification and Generation of Orthoimages in Architectural Photogrammetry. Proc. of the CIPA Int.
Symposium '97, Photogrammetry in Architecture, Archaeology and Urban Conservation, Int. Archives for Photogrammetry and Remote Sensing, Band XXXII, Part 5C1B.
Martín, J. J. F. & Alonso, J. S. J. (1999). The Combined Application of Image Rectification. Photogrametric
Restitution and Classic Surveying as an Effective Basis to Architectural Documentary Methods. XVII
SYMPOSIUM CIPA School of Architecture. University of Valladolid. Valladolid.
PCI Geomatics. (2013). DEM extraction and DSM to
DTM conversion. Geomatica 2013 Tutorial. Celebreting 30 Years PCI Geomatics.
Peraturan Presiden Nomor 94 Tahun 2011 tentang Badan Informasi Geospasial.
Saile, J. 2011. High Performance Photogrammetric Production. Photogrammetric Week 2011. Stuttgart. Tahar, K. N., Ahmad, A., & Akib, W. A. A. W. M. (2011).
UAV-based stereo vision for photogrammetric survey in aerial terrain mapping. Computer Applications and Industrial Electronics (ICCAIE), 2011 IEEE International Conference on (pp. 443-447). IEEE.
Tahar, K. N., & Ahmad, A. (2012). A simulation study on the capabilities of rotor wing unmanned aerial
vehicle in aerial terrain mapping. International
Journal of Physical Sciences, 7(8), 1300-1306.
doi:10.5897/IJPS11.969.
Udin, W. S., Hassan, A. F., Ahmad, A., & Tahar, K. N. (2012, March). Digital terrain model extraction using digital aerial imagery of unmanned aerial vehicle. In
Signal Processing and its Applications (CSPA), 2012 IEEE 8th International Colloquium (pp.
272-275). IEEE.
Vallet, J., Panissod, F., Strecha, C. & Traco,l M. (2012). Photogrammetric Performance of an Ultra Light Weight Swinglet “UAV.” ISPRS - International
Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences.