• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Cendol

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Cendol"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Cendol

Cendol merupakan salah satu makanan tradisional dengan bahan baku berasal dari sumber lokal, diolah menurut resep setempat dan sesuai dengan selera masyarakat. Menurut Rungkat et al., (2001), pengertian pangan tradisional meliputi bahan baku dan produk pangan serta minuman yang dibuat dari bahan yang tersedia di Indonesia dan sudah dikenal dan digunakan semenjak dahulu. Berbagai jenis pangan tradisional diketahui secara empiris mempunyai khasiat terhadap kesehatan baik sebagai pencegah penyakit maupun sebagai penyembuh atau sebagai pangan fungsional. Potensi makanan tradisional digunakan sebagai pangan fungsional cukup besar karena berbagai hasil penelitian mulai menghasilkan data ilmiah mengenai khasiat makanan tradisonal, baik khasiat bahan-bahan baku maupun produk-produk jadi. Bahan-bahan baku yang telah diteliti khasitanya meliputi rempah-rempah, sayuran, buah-buahan, rumput laut, kacang-kacangan, dan sebagainya.

Menurut Candraningsih (1997), cendol merupakan salah satu jenis makanan tradisonal Indonesia yang bahan baku utamanya berupa padi-padian dan kacang-kacangan, yang sudah dikenal dan digemari secara luas di Indonesia. Cendol memiliki tekstur yang kenyal dan umumnya berwarna hijau. Cendol terbentuk sebagai akibat dari proses gelatinisasi pati. Dalam 100 gram cendol yang terbuat dari dari campuran tepung beras dan tepung tapioka mengandung energi 95,08 Kkal, karbohidrat 8,25 gr, protein 1,21 gr, dan lemak 6,44 gr (Anonymousa, 2001). Menurut Santoso (2000), dalam proses pembuatan cendol, tepung hunkwe atau tepung beras ditambah dengan pewarna hijau dan air, dimasak sampai kekentalan tertentu kemudian dicetak dengan cetakan cendol.

Terdapat dua jenis cendol siap pakai yang ada dipasaran yaitu cendol tepung hunkwee dan cendol tepung beras. Cendol tepung hunkwee berwarna hijau terang dan kenyal, sedangkan cendol tepung beras berwarna hijau gelap dan empuk. Cendol siap pakai dijual dalam kemasan plastik dan direndam dalam air agar setiap butiran tidak lengket satu sama lainnya. Cendol pada umumnya memiliki aroma segar yang berasal dari daun suji atau daun pandan (Anonymousa, 2001).

(2)

2.2. Rumput Laut

Rumput laut merupakan tanaman tingkat rendah yang tidak memiliki perbedaaan susunan kerangka akar, batang, dan daun. Meskipun wujudnya tampak seperti ada perbedaan, bentuk yang sesungguhnya hanya berupa thalus. Rumput laut termasuk ke dalam jenis alga. Secara umum, alga dikelompokkan dalam empat kelas yaitu alga hijau (Chlorophyceae), alga hijau-biru (Cyanophyceae), alga coklat (Phaecophyceae), dan alga merah (Rhodophyceae). Alga coklat dan alga merah memiliki habitat di laut dan lebih banyak dikenal sebagai rumput laut atau seaweed. Klasisfikasi rumput laut dan hasil produksinya dapat dilihat pada Gambar 1 (Winarno, 1990).

Gambar 1. Klasifikasi Rumput Laut dan Hasil Produksinya (Winarno, 1985 dalam Winarno 1990). Rumput laut Gracilaria Gelidium Ascophyllum laminaria Macrocystis Rhodophyceae (Alga merah) Phaecophyceae (Alga coklat) Cyanophyceae (Alga hijau-biru) Chlorophyceae (Alga hijau) Kelas : Genus : Chondrus Euchema Gigartina Furcellaria

Agar-agar Carragenan Furcellaran Algin (alginat) Produksi :

(3)

Rumput laut tumbuh dengan menempel baik pada karang mati, atau cangkang moluska agar dapat tahan terhadap terpaan ombak. Selain memerlukan tempat menempel, rumput laut juga memerlukan sinar matahari untuk proses fotosintesis. Sinar matahari yang masuk dan diserap tergantung kejernihan air laut. Jenis Chlorophyceae umumnya tumbuh lebih dekat dengan pantai, lebih ke tengah lagi Phaecophyceae, dan jenis Rhodophyceae hidup di laut yang lebih dalam (Indriani dan Sumiarsih, 1991).

Proses fotosintesis rumput laut tidak hanya dibantu oleh sinar matahari, tetapi juga dipengaruhi oleh ketersediaan zat hara dalam air sekelilingnya. Zat hara yang ada di laut masih mencukupi untuk kehidupan rumput laut karena adanya sirkulasi yang baik, run-off dari darat, dan gerakan air. Namun demikian, hal yang perlu diperhatikan dalam budidaya rumput laut adalah kondisi cemaran air laut. Rumput laut dapat meneyerap logam berat seperti Pb dan Hg yang berbahaya bagi kesehatan manusia. Zat hara yang tersedia diserap melalui seluruh bagian tanaman. Selain menyediakan zat hara, gerakan air laut juga membantu memudahkan rumput laut membersihkan kotoran yang menempel, dan melangsungkan proses pertukaran CO2 dengan O2, sehingga kebutuhan oksigen dapat terpenuhi. Arus yang baik untuk pertumbuhan rumput laut adalah antara 20-40 cm/detik atau jika bergelombang tingginya tidak lebih dari 30 cm (Indriani dan Sumiarsih, 1991).

Selain faktor zat hara dan sinar matahari, pertumbuhan rumput laut juga dipengaruhi oleh salinitas (kadar garam) dan temperatur. Berdasarkan salinitasnya, terdapat dua golongan rumput laut yaitu stenohalin yang dapat tumbuh dan berkembang biak pada perairan dengan kisaran salinitas yang sempit, dan euryhalin yang dapat tumbuh dan berkembang biak di perairan dengan kisaran salinitas yang luas. Temperatur yang baik untuk pertumbuhan rumput laut berkisar antara 20-28oC. Walaupun demikian, ada beberapa jenis rumput laut yang dapat hidup di luar kisaran tersebut, seperti Phorphyra, Furcellaran, Chondrus, dan Laminaria (Indriani dan Sumiarsih, 1991).

Terdapat dua kelompok rumput laut yang telah menjadi komoditas budidaya bernilai ekonomi, yaitu Gracilaria spp. dan Eucheuma spp. Kedua rumpun ini telah berhasil dibudidayakan dan telah diperdagangkan secara luas karena dibutuhkan dalam jumlah besar sebagai bahan baku industri. Menurut Winarno (1990), terdapat

(4)

beberapa jenis rumput laut di Indonesia yang memiliki nilai ekonomis sesuai dengan hasil ekstraksinya, antara lain Gracilaria Sp, Gelidium, Gelidiopsis, dan Hypnea yang merupakan rumput laut penghasil agar-agar (agarophyte), Euchema spinosum, E. cotonii, dan E. striatum merupakan rumput laut penghasil karagenan (Carragenophyt), Sargassum, Marcocystis, dan Lessonia merupakan rumput laut penghasil algin.

Rumput laut jenis Euchema cotonii yang merupakan bagian dari ganggang merah, merupakan jenis rumput laut yang banyak dibudidayakan di Indonesia. Euchema cotonii tumbuh di berbagai wilayah, antara lain Teluk Banten, Kepulauan Seribu, perairan Sulawesi, perairan Nusa Penida, Bali, dan perairan Pelabuhan Ratu (Atmaja et al., 1995). Atmaja et al., (1995) menambahkan, rumput laut jenis ini umumnya lebih dikenal dan biasa dipakai dalam dunia perdagangan nasional maupun internasional, sebagai komoditas ekspor dan bahan baku industri penghasil karagenan. Karagenan yang dihasilkan adalah tipe kappa karagenan. Oleh karena itu jenis ini secara taknsonomi diubah namanya dari Euchema alvarezii menjadi Kappaphycus alvarezii.

2.3. Komposisi Kimia Euchema cotonii

Kandungan rumput laut umumnya adalah mineral esensial (besi, iodin, aluminum, mangan, calsium, nitrogen dapat larut, phosphor, sulfur, chlor. silicon, rubidium, strontium, barium, titanium, cobalt, boron, copper, kalium, dan unsur-unsur lainnya yang dapat dilacak), protein, tepung, gula dan vitamin A, B, C, D. Persentase kandungan zat-zat tersebut bervariasi tergantung dari jenisnya (Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, 2003).

Hasil penelitian Chaidir (2007) menunjukkan bahwa air merupakan komponen yang dominan pada Euchema cotonii segar yaitu 93,1%, diikuti oleh kandungan karbohidrat 75,36% bk. Komposisi lengkap Euchema cotonii disajikan pada Tabel 2 dan disajikan pula komposisi kimia Euchema cotonii menurut Astawan et al., (2004).

(5)

Tabel 2. Komposisi Kimia Euchema cotonii

Komponen Satuan Astawan et al., (2004) Chaidir (2007) Kadar abu

Kadar lemak Kadar protein Karbohidrat Serat pangan larut Serat pangan tak larut Serat pangan total Iodium % bk % bk % bk % bk % bb % bb % bb µg/g 2,7 2,1 4,3 90,9 30,8 52,4 83,2 - 18 3,39 0,43 75,36 5,75 3,87 9,62 38,94

2.4. Serat Pangan (dietary fiber)

Menurut Trowell (1976), serat pangan dalam arti fisiologi yaitu polisakarida tumbuhan dan lignin yang tahan terhadap hidrolisis enzim pencernaan manusia. Sedangkan secara kimia serat pangan diartikan sebagai polisakarida bukan pati (non starch polysaccharides/NSP) dari tumbuhan dan lignin (Gallaher dan Schneeman, 1996). Definisi serat pangan berasal dari sel tanaman. Sel tanaman mengandung lebih dari 95% komponen serat pangan, yaitu selulose, hemiselulose, lignin, pektin, dan juga termasuk polisakarida bukan pati (Groff dan Gropper, 1999). Keterkaitan antara dinding sel tanaman dan serat pangan dapat diuraikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Keterkaitan Antara Dinding Sel Tanaman dan Serat Pangan (Groff dan Gropper, 1999).

Serat pangan secara prinsip berbeda dengan serat kasar. Serat kasar adalah bagian tanaman pangan yang tersisa atau tidak dapat dihidrolisis kembali oleh larutan Komponen dinding sel tanaman ƒ Gum ƒ Mucilages ƒ Algal polysaccharides ƒ Suberin ƒ Cutin Serat pangan Komponen bukan

dinding sel tanaman

ƒ Protein ƒ Lemak ƒ Komponen inorganik ƒ Lignin ƒ Selulosa ƒ Hemiselulosa ƒ Pektin

(6)

asam sulfat (H2SO4) atau larutan natrium hidroksida (NaOH) dalam analisis proksimat bahan pangan. Kandungan tersebut belum menunjukkan kandungan serat total dalam makanan. Oleh karena larutan asam sulfat dan natrium hidroksida berkadar 1,25% masih mampu menghidrolisis komponen-komponen makanan dalam jumlah yang lebih besar. Berbeda dengan kemampuan enzim-enzim pencernaan yang dihasilkan tubuh. Bila dibandingkan dengan serat pangan, nilai serat kasar lebih kecil 1/3 – 1/2 dari nilai serat pangan (Soelistijani, 2002).

Dihubungkan dengan sifat kolesterolemik, terdapat tiga komponen penting yang dikandung oleh rumput laut yaitu agar, karagenan, dan asam alginat. Menurut Hallgren (1981) pengaruh fisiologis pemberian serat adalah meningkatkan berat dan volume feses, menurunkan transit time, mengikat asam empedu, menurunkan kolesterol darah dan penyerapan mineral.

Studi tentang kemampuan agar, alginat, dan karagenan telah banyak dilakukan oleh para peneliti di bidang pangan dan medis. Penelitian yang dilakukan oleh Alan et al., (1976) terhadap tikus percobaan menunjukkan bahwa penambahan agar sebanyak 7% dalam ransum menurunkan kadar kolesterol dalam serum. Pada tikus kontrol (ransum tanpa penambahan serat) kadar kolesterol serum 78 mg/100 ml, sedangkan yang diberi agar 7% adalah 72 mg/100 ml. Demikian juga yang dilaporkan oleh Kelley dan Tsai (1978) pada tikus yang ditambahkan agar 5% dalam ransum, kandungan kolesterol dalam serumnya menurun. Serum tikus yang berperan sebagai kontrol mengandung kolesterol 110 mg/dl, sedangkan yang diberi perlakuan agar 5% kolesterol serumnya 108 mg/dl.

Penelitian pada manusia juga telah dilakukan oleh Hunninghake et al., (1994) yang menunjukkan bahwa terjadi penurunan kolesterol plasma akibat pengaruh serat pangan. Pasien yang menderita hiperkolesterolemia setelah diberi serat sebanyak 20 gram/hari ternyata total kolesterol, LDL, serta rasio LDL-HDL plasmanya mengalami penurunan masing-masing 6%, 8%, dan 8%. Mereka menyimpulkan bahwa kandungan serat dalam makanan merupakan terapi konvensional bagi penderita hiperkolesterolemia.

Berdasarkan kelarutannya, serat pangan dapat dikelompokkan menjadi serat pangan larut dan tidak larut. Adapun serat larut adalah serat yang dapat terdispersi di dalam air dan bukan sebagai kelarutan kimiawi, sedangkan serat tidak larut adalah

(7)

serat yang tidak dapat terdispersi di dalam air (Gallaher dan Schneeman, 1996). Sifat kelarutan ini berpengaruh pada fisiologis serat pada proses-proses di dalam pencernaan dan metabolisme zat gizi. Serat larut air terdiri dari pektin, musilase, dan gum, sedangkan serat yang tidak larut air terdiri dari selulosa, hemiselulosa, dan lignin (Soelistijani, 2002).

Serat yang bersifat larut dalam air (soulble dietary fiber) memiliki peranan fisiologis penting dalam menurunkan kadar kolesterol dan glukosa serum, serta mencegah penyakit jantung dan hipertensi (Astawan, 1998 dalam Astawan, 1999). Fungsi serat pangan dalam hal ini melibatkan asam empedu (bile acid). Pasien dengan konsumsi serat yang tinggi dapat mengekskresikan asam empedu, sterol, dan lemak lebih banyak melalui feses. Serat-serat tersebut mencegah terjadinya penyerapan kembali asam empedu, kolesterol, dan lemak.

Serat tidak larut (insoluble dietary fiber) merupakan bulking agent yang dapat berperan dalam pencegahan penyakit kanker usus besar, divertikulosis, konstipasi, dan hemmorhoid (Astawan, 2004). Menurut Winarno (1997), penyakit divertikulosis merupakan panyakit yang disebabkan oleh terjadinya pembengkakan keluar pada usus besar, terutama pada bagian depan (bagian ascending dan menyilang). Bagian usus besar tersebut dapat menggembung dan pecah sehingga terjadi infeksi. Hasil penelitian secara klinis diperoleh bahwa serat pangan khususnya dari serealia sangat efektif dalam menanggulangi penyakit divertikulosis. Dengan konsumsi serat yang tinggi maka feses lebih mudah menyerap air, menjadi lebih empuk, halus, dan mudah didorong keluar sehingga mengurangi kesakitan penderita penyakit ini.

Menurut Soelistijani (2002), konstipasi merupakan kesulitan dalam pengeluaran sisa pencernaan karena volume feces terlalu kecil, sehingga penderita jarang buang air besar. Gangguan ini dapat dihindari dengan mengkonsumsi makanan berserat tinggi yang tidak larut air, misal selulosa dan hemiselulosa. Serat-serat tersebut di dalam kolon mampu berikatan menyerap air. Keadaan ini akan menyebabkan volume feses menjadi besar dan lunak. Untuk mencegah diare, sebaiknya secara teratur mengkonsumsi serat larut air. Serat ini mudah membentuk gel sehingga memperlambat waktu transit zat-zat makanan di dalam usus.

Dietary Guidelines for American menganjurkan untuk mengkonsumsi makanan yang mengandung pati dan serat dalam jumlah tepat (20-35 gram/hari)

(8)

untuk menghindari kelebihan lemak jenuh, kolesterol, gula, natrium, serta membantu mengontrol berat badan. American Dietetic Association (ADA), National Center Institute, dan American Cancer Society merekomendasikan konsumsi serat antara 25 hingga 35 gram setiap hari atau 10 hingga 13 gram serat per 1000 Kcal setiap harinya untuk orang dewasa dan manula. Untuk anak-anak dan remaja (umur 2 hingga 20 tahun), ADA merekomendasikan konsumsi serat sama dengan umur (dalam tahun) ditambah 5 gram setiap hari. Sebagai contoh, anak berusia 5 tahun, maka kebutuhan seratnya adalah 10 gram per hari, sedangkan pada usia 20 tahun kebutuhan seratnya adalah 25 gram per hari (Anonymousb, 2007).

2.5. Tepung Beras

Beras terdiri dari bagian kariopsis dan struktur pembungkus yaitu sekam. Bagian sekam terdiri dari 18-20% berat gabah. Kariopsis merupakan biji tunggal yang dilapisi dengan dinding ovari matang atau perikarp membentuk biji (Juliano, 1972). Tepung beras dibuat melalui tahapan seperti pembersihan bahan, pengeringan sampai kadar air 14% dan kemudian digiling kasar untuk memisahkan lembaga dan endospermnya. Hasil gilingan itu dikeringkan kembali hingga mencapai kadar air 12-14%, kemudian dilakukan penggilingan halus dengan alat penggilas. Hasil gilingan tersebut selanjutnya diayak dengan pengayak bertingkat untuk mendapatkan berbagai tingkatan hasil giling, misal < 10 mesh (butir kasar), < 40 mesh (tepung kasar atau bubuk), 65-80 mesh (tepung agak halus), dan > 100 mesh (tepung halus) (Hubeis, 1984). Komposisi kimia tepung beras dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Komposisi Kimia Tepung Beras per 100 Gram

Komponen Satuan Nilai

Kalori Protein Lemak Hidrat arang Ca P Fe Vitamin A Vitamin B Vitamin C Air Kkal g g g mg mg mg mg mg mg % 364,0 7,0 0,5 80,0 5,0 14,0 0,8 0,0 0,12 0,0 12,0

(9)

Kandungan amilosa dan amilopektin banyak menentukan tekstur pada makanan yang banyak mengandung pati. Menurut Graham (1977), kandungan amilosa pada beras sebanyak 16-17% dari berat total dan kandungan amilopektin beras menurut Winarno (1992) sebanyak 4-5% dari berat total. Amilosa menyebabkan terbentuknya gel yang keras dan berwarna keruh setelah dimasak sedangkan amilopektin berperan penting terhadap sifat konsistensi gel dan viskositas gel sehingga menyebabkan makanan menjadi lengket (Cagampang et al., 1973).

Pati tidak larut dalam air dingin, tetapi bila pati dipanaskan dalam air maka akan terjadi perubahan yang nyata pada saat mencapai suhu gelatinisasi, dimana butir-butir pati akan mengembang (Kulp, 1975). Suhu gelatinisasi adalah suhu pada saat granula pati mengembang dan tidak kembali lagi ke bentuk semula (irreversible). Menurut Winarno (1980) bila pemanasan diteruskan, pengembangan akan mencapai titik maksimum dan granula pati akan pecah sehingga kekentalan dari suspensi akan naik.

2.6. Tepung Hunkwee

Bahan baku yang digunakan dalam pembuatan tepung hunkwee adalah biji kacang haijau. Biji kacang hiaju secara umum terbagi dalam dua bagian yaitu kulit biji, endosperm, dan lembaga. Kulit biji berfungsi untuk melindungi biji dari kekeringan, kerusakan fisik, mekanik, serangan kapang dan serangga. Endosperm merupakan biji yang mengandung cadangan makanan untuk pertumbuhan lembaga. Lembaga ini akan membesar selama pertumbuhan biji tersebut (Soeprapto dan Sutarman, 1990)

Kacang hijau merupakan salah satu tanaman Leguminosae yang cukup penting karena kacang ini banyak mengandung protein, vitamin, dan mineral. Setiap 100 gram biji kacang hijau mengandung 150-400 IU (International Unit) vitamin A, dan beberapa jenis vitamin lainnya. Bila biji kacang hijau dikecambahkan, maka kecambah yang tumbuh menjadi kaya akan vitamin E (Soeprapto, 1998). Nilai gizi kacang hijau dan taoge dapat dilihat pada Tabel 4.

Kadar vitamin kacang hijau tergantung pada bentuk olahannya. Dalam bentuk kecambah (taoge) kandungan vitaminnya sudah sangat berkurang dan hampir tidak

(10)

bersisa bila dalam bentuk tepung. Hal ini disebabkan karena vitamin yang terkandung mudah larut dalam air, terutama vitamin B1 sehingga vitamin banyak yang terbawa bersama air (Soeprapto, 1998).

Tabel 4. Kandungan Gizi Biji dan Kecambah Kacang Hijau per 100 Gram (Soeprapto, 1998)

Komposisi Satuan Biji Kecambah (Taoge)

Kalori Kkal 345,0 23,0 Protein gr 22,2 2,9 Lemak gr 1,2 0,2 Karbohidrat gr 62,9 4,1 Kalsium mg 125,0 29,0 Fosfor mg 320,0 69,0 Besi mg 6,7 0,8 Vitamin A IU 157,0 10,0 Vitamin B1 mg 0,64 0,07 Vitamin C mg 6,0 15,0 Air gr 10,0 92,4

Salah satu pemanfaatan kacang hijau dalam industri pangan di Indonesia yang porsinya cukup besar adalah sebagai bahan baku pabrik tepung hunkwee. Tepung hunkwee adalah pati kacang hijau yang diekstrak dengan air. Kandungan utama tepung hunkwee adalah karbohidrat (83,5%), sedangkan protein 4,5%. Komposisi kimia tepung hunkwee disajikan pada Tabel 5 (Direktorat Gizi, Departemen Kesehatan RI, 1979).

Tabel 5. Komposisi Tepung Hunkwee (100 gram)

Komposisi Satuan Nilai

Kalori Kal 364,0 Protein gr 4,5 Lemak gr 1,0 Karbohidrat gr 83,5 Kalsium mg 50,0 Fosfor mg 100,0 Besi mg 1,0 Vitamin A IU 0,0 Vitamin B1 mg 0,0 Vitamin C mg 0,0 Air gr 10,0 Serat kasar gr 0,0

(11)

Dari kacang hijau dapat diperoleh 15,20% tepung hunkwee. Proses pembuatan tepung hunkwee secara tradisional adalah dengan cara menggiling pecah biji kacang hijau menjadi dua bagian. Bagian pertama berupa kulit luar dan bagian kedua berupa kulit halus dan dedak. Bagian kulit halus dan dedak kemudian direndam selama 3-4 jam dan dicuci dengan air. Kulit halus dan dedak digiling dalam kondisi basah, kemudian dilakukan penyaringan untuk mendapatkan larutan patinya. Larutan pati diendapkan, dicuci, dan diendapkan kembali selama 3 jam sebanyak 3 kali. Endapan berupa tepung halus digiling dan dikeringkan selama 1-2 hari, kemudian ditambah dengan vanili dan zat pewarna (Departemen Pertanian, Balai Informasi Pertanian Daerah Istimewa Aceh, 1987).

2.7. Pengeringan Beku (Freeze Drying)

Pengeringan secara umum bertujuan untuk menghilangkan air atau hilangnya pelarut organik. Hilangnya air menjamin stabilitas dan pengawetan yang efektif (Voight, 1994). Dengan pengeringan beku produk akhir diharapkan memiliki karakteristik tidak keriput (bentuk tetap), bau, warna, dan cita rasa tidak berubah serta proses rehidrasi lebih cepat.

Proses pengeringan pada pengeringan beku berlangsung pada saat bahan dalam kondisi beku, sehingga proses yang terjadi adalah sublimasi. Proses sublimasi terjadi pada suhu dan tekanan rendah, di bawah titik triple air. Mula-mula bahan dalam keadaan beku dimasukkan ke dalam ruang pengering yang hampa udara, panas sublimasi akan diberikan dengan menempatkan lempeng pemanas di dalam ruang pengering, dan panas akan diradiasikan dari lempeng pemanas ke permukaan (Rachdiani, 2001).

Menurut Liapis dan Bruttini (1995) proses pengeringan beku berlangsung dalam tiga tahap, yaitu a) tahap pembekuan, dimana seluruh bahan didinginkan hingga menjadi beku; b) tahap pengeringan primer, dimana air dan pelarut dikeluarkan dalam keadaan beku secara sublimasi; c) tahap pengeringan sekunder, mencakup pengeluaran uap air terikat yang ada di lapisan kering. Tahap pengeringan sekunder dimulai setelah tahap pengeringan primer berakhir.

Menurut Desrosier (1988) bahan pangan dengan kandungan air yang tinggi akan membeku pada suhu antara 0 0C sampai -5 0C. Selama berlangsungnya

(12)

pembekuan, suhu bahan tersebut relatif tetap sampai sebagian besar dari bahan pangan tersebut membeku, dan setelah beberapa waktu, suhu akan mendekati medium pembeku. Pembekuan cepat didefinisikan sebagai proses di mana suhu bahan pangan tersebut melampaui zona pembekuan kristal maksimum dalam waktu kurang dari 30 menit.

Menurut teori kerusakan kristal, pertumbuhan kristal es pada umumnya merusakkan kualitas bahan pangan. Pembekuan lambat memberi kesempatan pertumbuhan kristal es yang besar. Sel-sel daging unggas, ikan, kerang, buah-buahan, dan sayuran semuanya mengandung protoplasma yang menyerupai selai. Maka untuk membuat massa yang tetap menyerupai selai, besarnya kecepatan pembekuan harus sedemikian rupa sehingga terbentuk kristal kecil yang seragam ke seluruh jaringan. Jaringan yang dibekukan dengan cepat jika dicairkan kembali maka air akan diserap kembali ke dalam jaringan ketika kristal-kristal es tersebut mencair, sedangkan pada pembekuan lambat atau kondisi suhu pembekuan yang berfluktuasi akan terbentuk kristal es yang besar sehingga sel-sel menjadi rusak dan jaringan yang dicairkan tidak dapat kembali seperti pada keadaan awal selai. Sebagian cairan yang dihasilkan dari pencairan tidak dapat diserap kembali dan nampak seperti air bebas (Desrosier, 1988).

Untuk merubah fase es pada bahan menjadi fase uap diperlukan panas sebesar panas laten sublimasi, yaitu sebesar 666 kalori/gram es. Panas ini dapat diperoleh dari suhu lingkungan atau dari sumber panas yang ada di luar bahan. Secara komersial, panas untuk sublimasi pengeringan beku diperoleh dengan menempatkan lempeng pemanas di dalam ruang pengering dan uap air yang terbentuk ditarik dengan pompa vakum yang dilengkapi dengan kondensor untuk menangkap uap air proses sublimasi (Harper et al., 1962).

Pergerakan fraksi air selama proses pengeringan beku akan semakin menurun. Pada tahap awal pergerakan fraksi air menurun dengan tajam dan menjelang akhir proses pengeringan gradien pergerakan fraksi air mulai melandai. Melandainya gradien pergerakan fraksi air, menunjukkan semakin sedikitnya kandungan air dalam bahan yang harus diuapkan sehingga tidak terjadi lagi penurunan massa bahan (Rachdiani, 2001).

(13)

Gambar 3. Diagram Fase Air (Karel, 1975 dalam Wenur, 1997).

Selama proses pengeringan beku, kandungan air bahan tidak dalam fase cair sehingga dapat mencegah terjadinya perpindahan zat-zat yang larut dalam air dan memperkecil terjadinya reaksi degradasi (King, 1971). Keunggulan lain proses pengeringan beku dibandingkan dengan pengeringan konvensional dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Perbedaan Metode dan Mutu Produk antara Pengeringan Beku dan Pengeringan konvensional (Tischer dan Brockman dalam Desrosier, 1988)

Variabel Pengeringan Konvensional Pengeringan Beku ƒ Suhu proses ƒ Tekanan ƒ Penguapan air ƒ Produk ƒ Bau ƒ Warna ƒ Cita rasa ƒ Rehidrasi ƒ Stabilitas penyimpanan ƒ Biaya ƒ 100-200 0C ƒ Atmosfir

ƒ Dari permukaan bahan ƒ Kering padat dan

mengkerut ƒ Berubah ƒ Lebih gelap ƒ Berubah

ƒ Lambat dan tidak sempurna

ƒ Baik ƒ Rendah

ƒ Cukup rendah

ƒ Vakum (dibawah titik triple, 610 Pa)

ƒ Sublimasi

ƒ Kering dan berongga ƒ Tetap

ƒ Tetap ƒ Tetap

ƒ Cepat dan lebih sempurna ƒ Sangat baik ƒ Tinggi titik kritis padat cair gas titik triple 0 Suhu (0C) 61 0 Tekanan (pa)

Gambar

Gambar 1. Klasifikasi Rumput Laut dan Hasil Produksinya (Winarno, 1985                    dalam Winarno 1990)
Tabel 2. Komposisi Kimia Euchema cotonii
Tabel 3. Komposisi Kimia Tepung Beras per 100 Gram
Tabel 4. Kandungan Gizi Biji dan Kecambah Kacang Hijau per 100 Gram                 (Soeprapto, 1998)
+2

Referensi

Dokumen terkait

lambat ke kompartemen ketiga atau jaringan dalam, yang terdiri dari. jaringan yang rendah perfusinya seperti tulang dan lemak (Shargel

Peradilan Pidana Anak, pada dasarnya juga untuk melakukan koreksi, rehabilitasi, sehingga cepat atau lambat, anak dapat kembali ke kehidupan masyarakat normal dan bukan untuk

Kelebihan teknik kultur jaringan antara lain dapat memperbanyak tanaman tertentu yang sangat sulit dan lambat diperbanyak secara konvesional, dalam waktu singkat

Kontraindikasi PPH adalah fistula anus, bengkak, gangren, penyempitan anus, prolaps jaringan hemoroid yang tebal, serta pada pasien dengan gangguan koagulasi (pembekuan darah)

Sungai bagian hilir umumnya lebih lebar, tebingnya curam atau landai, badan air dalam , kekruh, aliran air lambat, dan populasi biota air didalamnya termasuk banyak,

Kualitas atau mutu air yang mengalir dalam suatu jaringan pipa distribusi air sangatlah penting. Karena tujuan utama dari perencanaan jaringan distribusi air bersih

Bagian muara memiliki ciri tebing yang landai dan dangkal, daya erosi kecil, arus air sangat lambat dengan volume air yang lebih besar.Bahan air dalam dan

Reaksi kematian gulma terjadi sangat lambat, karena tidak langsung mematikan jaringan tanaman yang terkena tapi dengan cara mengganggu proses fisiologi jaringan tersebut