• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gagasan tentang Spiritualisme dan Konstruksi Identitas dalam Masyarakat Prancis Kontemporer. Joesana Tjahjani Program Studi Prancis FIB UI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Gagasan tentang Spiritualisme dan Konstruksi Identitas dalam Masyarakat Prancis Kontemporer. Joesana Tjahjani Program Studi Prancis FIB UI"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Gagasan tentang Spiritualisme dan Konstruksi Identitas dalam Masyarakat Prancis Kontemporer

Joesana Tjahjani – Program Studi Prancis FIB UI

Transformasi struktural di Prancis sejak pertengahan dasawarsa 1960

Sejak paruh kedua dasawarsa 1960, masyarakat Prancis telah mengalami beberapa guncangan yang menimbulkan transformasi cara hidup dan sistem nilai. Pada saat yang bersamaan, hal ini menandai perpisahan dengan masa lalu sekaligus dimulainya sebuah era baru. Pada bulan Mei 1968, terjadi Gerakan Mei 68 yang pada prinsipnya bersifat kultural. Masyarakat Prancis turun ke jalan untuk memperingatkan pemerintah, pertama-tama, akan bahaya-bahaya peradaban industrial, namun kemudian berkembang memunculkan protes terhadap kungkungan berbagai tabu yang dirasakan menekan kebebasan sejak berabad-abad, salah satunya adalah protes terhadap institusi republikan. Krisis minyak pertama tahun 1973, kembalinya partai kiri ke pusat kekuasaan pada pemilihan umum 1981, dan guncangan ekonomi pada tahun 1987 telah menyebabkan lunturnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pemerintahan.

Penghancuran tembok Berlin pada tahun 1989 dan Perang Teluk tahun 1991 adalah 2 (dua) peristiwa dunia yang secara tidak langsung turut mempengaruhi gagasan tentang kebangsaan dan kontak dengan bangsa lain. Runtuhnya tembok Berlin menandai akhir komunisme diikuti pemikiran bahwa demokrasi akan berlangsung di seluruh dunia. Namun ilusi tersebut tidak berumur panjang dengan terjadinya Perang Teluk, yang seakan sekali lagi menjadi fakta sejarah bahwa dunia di luar kita berbahaya dan hidup berdampingan dengan bangsa lain menjadi sesuatu yang perlu dipertanyakan. Di Prancis, pemogokan besar-besaran pada akhir tahun 1995 mengingatkan bangsa tersebut pada gerakan massa yang terjadi pada bulan Mei 1968. Perbedaannya adalah motivasi yang melandasi kedua peristiwa yang selama beberapa saat sempat melumpuhkan berbagai sektor publik di negara itu. Jika pada tahun 1968, kalangan muda, para pekerja, dan kaum perempuan bergabung untuk menolak masyarakat industrial dan menuntut pembaruan

(2)

pandangan yang dilandasi oleh kebebasan individu, pada tahun 1995, pemogokan akibat rancangan kebijakan jaminan sosial dari pemerintah justru dilandasi tuntutan untuk mempertahankan apa yang telah ada.

Awal abad XXI ditandai dengan sebuah peristiwa yang sangat mengejutkan dan sekali lagi mempertaruhkan konsep tentang perdamaian universal. Peristiwa pengeboman WTC pada bulan September 2001 tidak saja mengguncang rasa aman dunia Barat pada umumnya, tetapi pada saat yang bersamaan juga memperdalam kecurigaan pada ideologi yang lain. Di dalam negara Prancis sendiri, 3 (tiga) peristiwa politik yang berlangsung pada tahun-tahun berikutnya memperlihatkan hal tersebut. Yang pertama adalah masuknya calon presiden dari partai ekstrem kanan ultra-nasionalis, pada putaran pertama pemilu tahun 2002, menggeser calon presiden dari partai sosialis Prancis. Hal ini sempat mengguncang masyarakat Prancis karena menunjukkan jurang yang terbentang antara kelompok sosial yang ada di pusat kekuasaan serta masyarakat pada umumnya. Peristiwa kedua adalah opini rakyat Prancis terhadap konstitusi Eropa yang membagi mereka ke dalam 2 (dua) kelompok, seperti terlihat dari hasil referendum tahun 2005, dengan lebih dari separuh rakyat Prancis menolak menjadi bagian dari masyarakat Eropa. Awal tahun 2006, undang-undang tenaga kerja baru, buah pikiran Perdana Menteri Dominique de Villepin, memicu gerakan massa hampir di seluruh negeri. Undang-undang tersebut dilancarkan sebenarnya sebagai upaya pemerintah Prancis untuk mengatasi masalah pengangguran kaum muda yang terus meningkat. Angka pengangguran di Prancis pada saat ini hampir mencapai 10% dari total populasi aktif. Namun alih-alih mendapat sambutan baik dari rakyat, undang-undang tenaga kerja itu diprotes keras karena memperlihatkan kesewenang-wenangan pemerintah dan akhirnya menurunkan De Villepin dari kursi perdana menteri. Ketiga peristiwa politik yang disebutkan memperlihatkan kegamangan masyarakat Prancis menghadapi berbagai perubahan, baik dalam lingkup nasional maupun dalam skala internasional.

Ketidakpastian adalah salah satu kata kunci yang dapat menjelaskan kegamangan masyarakat Prancis dewasa ini. Multiplikasi kontrak kerja untuk waktu yang terbatas adalah lambang dari ketidakpastian dalam bidang profesional. Sementara itu, perceraian, keluarga yang tercerai-berai, bentuk keluarga dominan yakni „famille recomposée’ atau keluarga yang dibentuk kembali setelah perceraian merupakan lambang dari

(3)

ketidakpastian kehidupan berpasangan. Ketidakpastian menyentuh pula kehidupan pribadi dan batiniah : gagasan, pendapat, atau keyakinan berubah-ubah. Dalam situasi seperti ini, keberlanjutan, keberlangsungan, dan stabilitas dengan mudah memudar. Adalah kaum muda yang paling rentan terhadap ketidakpastian di berbagai bidang kehidupan. Sebelum usia 30 tahun, jarang sekali dijumpai kalangan muda yang memiliki kehidupan yang stabil, baik dalam kehidupan profesional maupun individual. Pada umumnya, mereka belum memiliki rencana karir atau program hidup yang jelas. Hidup kaum muda Prancis saat ini lebih banyak diwarnai dengan berbagai gejolak perubahan. Alih-alih menjadi pengalaman yang berguna atau mendapatkan kepuasan dari perubahan tersebut, mereka malah terjebak dalam kegelisahan dan kekuatiran yang berkepanjangan. Ketidakmampuan merancang masa depan mereka sendiri menjadikan mereka cenderung berpikir untuk saat ini dan di sini.

Selain ketiadaan akses untuk mendapatkan kepastian, masalah lain adalah ketidakmampuan untuk mengetahui dan menemukan kebenaran, yang semakin tersembunyi di dunia yang kian bertambah rumit. Para aktor sosial dan para pakar (politikus, ekonom, sosiolog,…) mengemukakan pendapat yang berbeda bahkan berlawanan mengenai sebagian besar masalah. Atas nama objektivitas, media massa memberikan porsi yang sama besar bagi berbagai pendapat yang saling bertentangan itu. Ironisnya, sikap dan perilaku minoritas juga ditampilkan, misalnya dalam beberapa acara talk-show di televisi, dengan pertimbangan semua sudut pandang dapat dan harus didengar. Kesan yang muncul adalah bahwa semua diterima berdasarkan prinsip toleransi. Di hadapan berbagai opini, pendapat, dan sudut pandang yang simpang-siur tersebut, mudah dimengerti jika masyarakat Prancis saat ini, sekali lagi, lebih mementingkan masa kini dari pada memikirkan masa depan.

Dalam bukunya berjudul Pour comprendre les Français. Francospie 2007 (Untuk memahami orang Prancis. Francoscopie 2007), Gérard Mermet mengatakan bahwa „le maître-mot‟ atau „the master word‟ untuk menjelaskan mentalitas, sikap, perilaku, dan nilai-nilai orang Prancis saat ini adalah ketakutan. Sosiolog yang telah mengamati kehidupan sosial bangsanya sejak lebih dari 20 (dua puluh) tahun itu selanjutnya menjelaskan bahwa ketakutan dimaksud lebih bersifat psikologis dari pada fisik. Ketakutan utama adalah pada sang liyan dan kekuatannya untuk mengganggu melalui

(4)

-kriminalitas, ketiadaan tata cara dan etika, serta persaingan. Beragam ketakutan lainnya adalah ketakutan pada kehampaan eksistensial di hadapan masyarakat kebendaan, pada ilmu pengetahuan dan beragam perspektifnya yang membingungkan, pada teknologi dan barang-barang kompleks serta frustasi yang ditimbulkan, serta takut tidak mengetahui dan mengerti, untuk akhirnya mengambil keputusan yang salah. Mereka juga takut tidak menemukan tempat dalam masyarakat, takut untuk sendiri, serta takut pada berbagai hal lain seperti penyakit, kecelakaan, bencana, dan juga kematian. Tidak mengherankan jika psikolog dan psikiater kian hadir dalam kehidupan orang Prancis. Saat ini, ruang konsultasi mereka telah menggantikan ruang pengakuan dosa di gereja-gereja. Di sebuah negara yang makmur dan sehat seperti Prancis, penderitaan mental ternyata lebih menyebar dari pada penderitaan fisik.

Spiritualisme dan kehidupan beragama di Prancis

Dalam sebuah dunia yang ditandai dengan kompleksitas dan ketidakpastian, orang Prancis mencari penjelasan, titik temu, dan akar. Mereka tidak lagi merujuk pada agama. Pemisahan Gereja dan Negara sejak tahun 1905 diikuti oleh pengikisan keimanan dan praktik ibadah pada beberapa dasawarsa terakhir. Pengaruh agama Katholik terhadap cara hidup dan nilai-nilai telah sangat jauh berkurang, terutama pada kalangan muda Prancis. Keyakinan religius lebih jarang ditemukan pada diri individu, dan sekaligus menjadi masalah yang semakin peka pada tingkatan sosial. Perspektif religius tentang kehidupan dan surga setelah kematian semakin jauh dari pemikiran orang Prancis sehingga mereka lebih memusatkan diri pada pencarian kepuasan duniawai yang sifatnya aktual atau « saat ini dan di sini ». Kesenjangan antara khotbah di gereja dan kenyataan hidup sehari-hari telah semakin menjauhkan spiritualisme dan sebaliknya mendekatkan mereka dengan kehidupan fana.

Jauh berabad-abad yang lalu, Prancis pernah dikenal sebagai „La Fille aînée de l’Église‟ atau „Putri Sulung Gereja‟ pada masa agama Katholik menjadi sebuah fenomena mentalitas1, yakni serangkaian aturan dan praktik kehidupan sehari-hari, sekaligus sesuatu yang menjadi akses bagi individu untuk masuk ke dalam sebuah

(5)

komunitas sosial seraya menentukan identitasnya. Manusia lahir dan mati secara dan sebagai Katholik. Ruang aktivitas sehari-hari pun merupakan ruang keagamaan ; gereja menjadi pusat kehidupan masyarakat. Mereka yang tidak percaya dan bukan pratikan tidak hanya dikucilkan oleh gereja namun juga oleh komunitasnya sebagai makhluk asosial. Nilai-nilai baru republikan pada abad XIX menjadikan agama bukan lagi sebagai fenomena mentalitas, melainkan fenomena opini. Sekolah-sekolah dan bangunan wali kota didirikan, begitu pula monumen-monumen yang perlahan-lahan menyaingi peranan ruang peribadatan. Nilai-nilai dan kemajuan peradaban pada abad XX selanjutnya semakin menggantikan nilai-nilai dan moralitas Katholik.

Perkembangan fenomena religius seperti itu sesungguhnya telah dimulai sejak pasca Perang Dunia II. Bagi sebagian orang, khususnya generasi tertua, keyakinan beragama tetap menjadi fenomena mentalitas, seperti disebutkan Borne, namun bagi sebagian besar lainnya keimanan telah menjadi fakta opini yang mengabaikan visi lain dalam kehidupan bermasyarakat. Satu hal yang menarik untuk dicatat, pada umumnya kaum perempuan bertahan lebih lama dengan keyakinan beragama mereka. Perkembangan menentukan terjadi pada paruh kedua abad XX tatkala keyakinan beragama secara praktis menghilang sebagai fenomena mentalitas ; bagi sebagian kecil orang Prancis, hal itu tetap menjadi fenomena opini yang sifatnya pribadi ; bagi keseluruhan masyarakat Prancis, hal itu berubah menjadi fenomena budaya.

« Qu’est-ce qu’être catholique aujourd’hui ? » (« Bagaimanakah menjadi katholik sekarang ini ? »). Katholisisme tidak lagi merepresentasikan hal yang sama bagi semua orang. Sebagian besar dari 80% orang Prancis yang menyatakan diri Katholik tidak pernah menjejakkan kaki di gereja2. Pernyataan tersebut lebih bermuatan budaya dari pada pengakuan religius. Sebagian orang lebih suka menyaksikan misa melalui televisi dari pada pergi ke gereja. Praktik sosial seperti pembaptisan dan pernikahan di gereja semakin berkurang. Hanya upacara pemakaman Katholik yang masih dilakukan oleh sebagian besar orang Prancis sampai saat ini. Adapun hari raya Natal lebih diperingati sebagai pesta pertemuan keluarga. Identifikasi diri sebagai katholik terutama berimplikasi budaya dan afektif; hal itu mengungkapkan kesetiaan pada sejumlah

2 Caire-Jabinet, Marie-Paule. 2000. Histoire des religions en France (16e--20e siècle). Paris : Armand Colin.

(6)

nostalgia, kepercayaan, atau adat-istiadat. Menjadi katholik pada saat ini adalah menerima warisan sejarah yang telah berakar dalam konteks budaya.

Perkembangan tersebut tidak hanya berkaitan dengan agama Katholik, namun juga agama dan kepercayaan lain. Kondisi seperti ini dimungkinkan oleh tumbuhnya konsumerisme di mana praktik sosial yang paling kuat, yakni media massa khususnya televisi dan waktu senggang, menjadi praktik individual yang hadir tanpa nilai-nilai moral seperti yang ada sebelumnya. Borne menyebutnya sebagai perasukan budaya di mana masyarakatnya secara budaya ditandai oleh nilai-nilai Yahudi-Kristiani maupun nilai-nilai kiri, yang diyakini pula oleh sebagian cendekiawan Prancis sebagai kematian ideologi. Bukan karena lenyapnya nilai-nilai religius, namun karena hal itu tidak berkaitan lagi dengan keseluruhan tindakan dan praktik sehari-hari yang mengubah nilai-nilai tersebut menjadi kepercayaan yang bersifat agamawi.

Satu hal yang menarik dan patut dicatat di balik fenomena religius di Prancis adalah larisnya karya-karya yang bermuatan spiritual. Beberapa penerbit berhasil meraup keuntungan dari penulis-penulis seperti Christian Bobin dan Paulo Coelho. Eric-Emmanuel Schmitt, yang melahirkan tema-tema spiritualitas, termasuk dalam kategori penulis seperti ini. Karya-karya penulis berdarah Yahudi ini tidak hanya terbatas pada penerbitan buku saja, melainkan juga pementasan teater dan produksi film dari berbagai tulisannya. Dari fenomena ini mungkin dapat ditarik kesimpulan bahwa kehidupan beragama dan berkeyakinan telah berubah lagi menjadi masalah pribadi masing-masing individu, melebihi tradisi keluarga dan sosial.

Lingkaran kehidupan sehari-hari orang Prancis pada umumnya ditandai dengan keterputusan kontak dengan orang lain. Di tempat kerja, undang-undang waktu bekerja 35 jam/minggu menuntut efisiensi tinggi sehingga memperkecil komunikasi antarkaryawan dan menghapus basa-basi yang kini dirasakan sebagai pemborosan waktu belaka. Pasar swalayan, yang kini juga mudah ditemukan di kota-kota kecil, menjadi semata-mata arena jual-beli menggantikan fungsi pasar atau toko kecil tradisional di lingkungan pemukiman di mana mereka yang berbelanja saling mengenal atau paling tidak bertukar sapa dan kabar dengan sang pemilik toko. Di rumah, televisi dan internet menghapus waktu bersama antaranggota keluarga. Tidak dapat dipungkiri bahwa komunikasi dengan orang lain tetap menjadi kebutuhan mendasar yang manusiawi.

(7)

Dalam kondisi demikian, bacaan bermuatan dan bertemakan spiritualitas dapat dianggap sebagai penyalur kebutuhan pribadi akan kekosongan dalam kehidupan masyarakat Prancis.

Nilai-nilai dalam masyarakat Prancis kontemporer

Uang, kebahagiaan, dan individualisme

Sejumlah jajak pendapat disebarkan untuk melihat opini masyarakat Prancis yang berkaitan dengan tingkat kebahagiaan dan kepuasan mereka dalam kehidupan3. Hasil yang diperoleh memperlihatkan korelasi antara uang atau kekayaan dan tingkat kebahagiaan. Mereka yang menyatakan diri puas dengan kehidupan mereka adalah mereka yang berasal dari kategori sosial atas dengan tingkat pendapatan yang relatif tinggi. Hal ini bertentangan dengan peribahasa Prancis, „l’argent ne fait pas le bonheur‟ atau „uang tidak mendatangkan kebahagiaan‟. Yang menarik dari fakta ini adalah bahwa PIB (Produit Intérieur Brut) atau Produk Domestik Bruto (PDB) tidak berkorelasi dengan BIB (Bonheur Individuel Brut) atau „Kebahagiaan Individual Bruto‟, seperti yang dikatakan Mermet. Secara menyeluruh, masyarakat Prancis memandang masa lalu lebih baik dari masa kini.

Merujuk pada piramida Maslow, kebutuhan manusiawi paling mendasar biasanya berkaitan dengan sandang, pangan, dan papan. Pada tingkat lebih tinggi, berkembang menjadi kebutuhan akan keamanan fisik, yakni perlindungan dan rasa aman dari berbagai bahaya yang mengancam seperti bencana alam, kecelakaan, atau yang berasal dari orang lain (perang atau agresi). Pada tingkatan tertinggi, yang dibutuhkan adalah pengakuan termasuk dalam komunitas sosial dan realisasi diri. PDB Prancis cukup tinggi; hal ini mencerminkan tingkat kesejahteraan rakyat Prancis pada umumnya cukup baik dalam penemuhan kebutuhan primer. Namun serangkaian serangan teroris di berbagai belahan dunia dan gerakan massa yang menimbulkan kerusuhan yang terjadi di Prancis pada beberapa dekade terakhir menimbulkan ketidaknyamanan, bahkan ketakutan pada diri orang Prancis, seperti yang telah diuraikan pada bagian terdahulu. Hal ini sangat mempengaruhi pandangan orang Prancis dalam hubungannya dengan institusi

(8)

pemerintahan, pekerjaan, hubungan sosial, bahkan pandangan tentang dirinya sendiri. Mudah dimengerti dalam kondisi seperti ini yang berkembang adalah sikap penuh curiga, tak acuh, dan skeptis, yang pada akhirnya ditandai dengan perilaku mengambil jarak, memprotes, pengabaian serta penolakan terhadap berbagai sistem sosial yang ada. Individualisme yang mengarah pada otonomi diri adalah kecenderungan terakhir yang berkembang dalam masyarakat Prancis dewasa ini.

Aktualisasi diri dalam konteks global-lokal

Kerusuhan di pinggiran kota-kota besar (banlieues) Prancis pada bulan November 2005 menjadi sebuah ilustrasi dari ketidakmampuan model republikan mengintegrasikan rakyat. Peristiwa tersebut merupakan konsekuensi dari « ketakutan terhadap sang liyan », yakni mereka yang « berbeda » dari agama, budaya, etnis, warna kulit, maupun dari tingkat pendidikan bahkan daya konsumsinya. Peristiwa ini juga mengindikasikan kecenderungan untuk mencari yang sama atau serupa dengan diri sendiri dalam keseharian dari pada membentuk komunitas dengan mereka yang dianggap berbeda. Demikianlah, tenaga kerja aktif membedakan dirinya dari para tuna karya, para atasan dari karyawan, para pekerja sektor swasta dari pada pegawai negeri. Wilayah perkotaan dan daerah di pinggiran kota terbentuk menjadi pemukiman-pemukiman umat Islam, Yahudi, kulit hitam, pendatang dari Asia, atau kaum homoseksual. Pada kenyataannya, pembauran sosial mengarah pada suatu tujuan yang sulit dicapai dalam masyarakat di mana anggota-anggotanya cenderung semakin mencari yang mirip dengan dirinya dalam artian yang paling luas. Pada gilirannya, mereka yang tersisihkan, dengan sendirinya, akan berusaha pula untuk membedakan diri dengan cara membentuk komunitasnya sendiri, meskipun yang dimaksud adalah komunitas marjinal.

Upaya aktualisasi diri pada lingkungan terdekat terlihat mewarnai berbagai aspek kehidupan. Selain seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, Mermet menguraikan beberapa contoh lain. Para politikus berusaha mendekatkan diri dengan para calon pendukungnya seraya membuat sasaran atau naratologi kekuasaan dari sudut pandang rakyat kebanyakan. Akan tetapi mereka lupa bahwa rakyat menantikan visi yang lebih luas dan lebih jauh ke masa depan, serta lebih ambisius sekaligus lebih bertanggung jawab bagi generasi-generasi selanjutnya dari calon pemimpin mereka.

(9)

Perusahaan-perusahaan dan pusat perbelanjaan pun berusaha mendekatkan diri dengan calon klien mereka, bahkan sampai ke wilayah pribadi pelanggan atau calon pelanggan, melalui berbagai perangkat marketing modern seperti pembuatan profil dan data pribadi target produk mereka, pengiriman tawaran-tawaran konsumsi melalui alamat email, sampai dengan metode penjualan dengan tawaran jasa baru seperti pengantaran barang gratis sampai ke rumah atau penggantian produk yang tidak sesuai, sampai dengan penyediaan tenaga khusus sebagai penasihat komersial. Kenyataan seperti ini sering sekali mengabaikan tidak saja hak atas wilayah pribadi setiap orang, melainkan juga tidak mempertimbangkan tingkat kesadaran dan kemampuan memahami dan berpikir rakyat kebanyakan.

Dapat dikatakan bahwa, secara umum, Prancis telah mengembangkan sebuah kultus kehidupan keseharian yang berdasarkan pada aspek kedekatan („proximité‟). Permasalahan lokal menjadi lebih menarik dari pada isu global. Banyak orang Prancis yang memusatkan perhatian pada aspek kehidupan terdekat; berumah tangga, meneruskan keturunan, berinvestasi sebatas tempat tinggal mereka, dan jika perlu menciptakan hubungan dengan lingkungan sekitar. Selain itu, komunitas sosial terbentuk dari kesamaan selera (musik, film, karya sastra, jenis olah raga, cara dan tempat melewatkan liburan dan waktu senggang,…). Ruang publik yang mempertemukan mereka dan pertumbuhan komunitas-komunitas sosial ini menjadi bagian penting dari pembentukan identitas. Kaum ‘bobos‟ atau „bourgeois bohèmes‟, misalnya, terlihat dari wilayah pemukiman mereka yang chic dan cool di kota-kota besar.

Komunitas sosial lain dapat saja terbentuk tanpa batasan geografis, misalnya dalam dunia maya ; internet mempertemukan orang-orang, yang dapat saja tinggal berjauhan namun memiliki kesamaan minat dan selera. Dalam konteks ini, muncul permasalahan diaspora. Menulis diary atau catatan harian yang asalnya bersifat sangat pribadi saat ini dapat dilakukan secara kolektif di internet. Pembentukan komunitas-komunitas seperti yang disebutkan bagaimanapun juga merupakan sarana integrasi, meskipun pada saat yang bersamaan menjadi faktor pengabaian bagi yang sang liyan. Agama, warna kulit, etnis, usia, atau kecenderungan seksual turut menentukan sebagai sarana integrasi dan pembentukan komunitas sosial, sehingga terbentuklah komunitas-komunitas seperti Association française des Amis de l’Université de Tel-Aviv, La

(10)

Fédération protestante de France, Club du 3e âge bagi manula, perayaan Gays Parade setahun sekali.

Pembentukan komunitas-komunitas tersebut sebenarnya menjawab hasrat melawan berbagai bentuk diskriminasi. Para anggotanya memperjuangkan gagasan multikulturalisme yang berdasarkan pada prinsip pengakuan dan penerimaan keberagaman dan perbedaan. Perusahaan komersial turut berperan, yakni dengan memasarkan produk khusus bagi etnis atau gender tertentu. Demikian pula media massa dengan program-program bagi komunitas atau tingkatan usia tertentu. Pendekatan yang dilakukan cukup menarik, namun sesungguhnya bukanlah peran para pengusaha untuk terlibat dalam ranah ideologis. Di satu pihak, hal tersebut mungkin memang diperlukan sebagai upaya aktualisasi diri dalam iklim global saat ini. Namun, di pihak lain, fenomena seperti itu sering berakhir dengan solusi pengucilan diri, dan pada saat yang bersamaan mencerminkan keterbatasan mereka melihat realitas global. Para aktor sosial yang berperan dalam lembaga pemerintahan dan pendidikan bangsa yang seharusnya memikirkan bagaimana caranya masyarakat Prancis hidup bersama dalam konjungtur sosial dan politik dewasa ini.

Penutup

Modèle républicain d’intégration atau model integrasi yang diterapkan di Prancis tampaknya belum berhasil menyelesaikan berbagai masalah yang muncul dengan adanya keberagaman. Masalahnya karena penanaman nilai-nilai kebangsaan terkesan dipaksakan untuk diterapkan secara individual kepada rakyat tanpa memperhatikan aspek-aspek lain yang berperan dalam pembentukan identitas setiap individu. Situasi dan kondisi aktual kehidupan di Prancis dan model integrasi yang bersifat kaku dan anti-perbedaan justru membuka kesempatan terhadap aksi-aksi diskriminasi. Dengan tujuan menegakkan identitas negara bangsa, Prancis, secara sadar maupun tidak, bersikap diskriminatif terhadap semua perbedaan yang muncul dan yang dianggap tidak cocok dengan nilai-nilai kebangsaan tersebut. Masih banyak permasalahan sosial, ekonomi, dan politik yang harus dihadapi oleh rakyat dan juga oleh pemerintah Prancis sebagai negara yang menghormati hak-hak asasi manusia.

(11)

Agama yang pernah menjadi unsur yang sangat berpengaruh dalam membentuk pola hidup dan praktik keseharian masyarakat Prancis, termasuk menentukan sistem dan standar moralitas dan nilai-nilai, terpaksa tunduk di hadapan realitas kebangsaan saat ini. Kondisi seperti ini memunculkan kebutuhan untuk memenuhi kehampaan eksistensial dan lahirlah spiritualitas model baru di kalangan masyarakat Prancis, yakni yang bertumpu pada individualisme. Minat dan selera budaya serta keseharian orang Prancis memperlihatkan hal itu.

(12)

Lampiran

Jumlah Imigran berdasarkan negara asal (sejak tahun 1962-1999).

1962 1968 1975 1982 1990 1999

Dalam

% dalam % dalam % dalam % dalam % dalam % angka

Eropa 78.7 76.4 67.2 57.3 50.4 44.9 1,934,144

Spanyol 18.0 21.0 15.2 11.7 9.5 7.3 316,232

Italia 31.8 23.9 17.2 14.1 11.6 8.8 378,649

Portugal 2.0 8.8 16.9 15.8 14.4 13.3 571,874

Polandia 9.5 6.7 4.8 3.9 3.4 2.3 98,571

Negara eropa lain 17.5 16.1 13.1 11.7 11.4 13.2 568,818

Afrika 14.9 19.9 28.0 33.2 35.9 39.3 1,691,562

Aljazair 11.6 11.7 14.3 14.8 13.3 13.3 574,208

Maroko 1.1 3.3 6.6 9.1 11.0 12.1 522,504

Tunisia 1.5 3.5 4.7 5.0 5.0 4.7 201,561

Negara Eropa lain 0.7 1.4 2.4 4.3 6.6 9.1 393,289

Asia 2.4 2.5 3.6 8.0 11.4 12.8 549,994

Turki 1.4 1.3 1.9 3.0 4.0 4.0 174,160

Kamboja, Laos,

Vietnam 0.4 0.6 0.7 3.0 3.7 3.7 159,750

Negara asia lain 0.6 0.6 1.0 1.9 3.6 5.0 216,084

Amerika, Oseania 3.2 1.1 1.3 1.6 2.3 3.0 130,394

Tidak diketahui 0.8 0.1 /// /// /// /// ///

Total 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0

Jumlah dalam angka 2,861,280 3,281,060 3,887,460 4,037,036 4,165,952 4,306,094 4,306,094

Sumber : Insee, Recensements de la population, 1962-1999.

(13)

Rujukan Kepustakaan

Borne, Dominique. 1992. Histoire de la société française depuis 1945. Paris: Armand Colin.

Gauchet, Marcel. 1998. La religion dans la démocratie. Paris: Gallimard.

Mermet, Gérard. 2006. Pour comprendre les Français. Francoscopie 2007. Paris: Larousse.

Stasi, Bernard. 2004. Laïcité et République. Commission de réflexion sur l‟application du principe de laïcité dans la République.

Vassberg, Liliane M. 1997. “Immigration maghrébine en France : l‟intégration des femmes” dans The French Review, Vol. 70, No. 5, pp.710-720.

Zarka, Yves-Charles (dir.). 2005. Faut-il reviser la loi de 1905 ? La séparation entre religions et État en question. Paris : PUF.

Referensi

Dokumen terkait

Beberapa kriteria risiko tinggi yaitu adanya gejala iskemia yang berulang atau menetap, gambaran infark pada EKG yang persisten, Fungsi ventrikel kiri yang rendah (EF<40%),

Oleh karena itu, walaupun sisi kiri dan kanan jantung memompa darah dalam jumlah yang sama, sisi kiri melakukan kerja yang lebih besar karena ia memompa darah dalam

Field harus terisi Diisi sesuai dengan format Kode haru urut dan tidak double Kode Barang Completeness Check.

UNSUR UTAMA MENGHADAPI ANCAMAN NIRMILITER DI BIDANGNYA BEKERJASAMA DGN MENHAN DLM SIAP SUMDANAS UTK HANNEG DLM LAKS PEMBANGUNAN DI BIDANGNYA MENGKOMODASIKAN KEPENTINGAN HANNEG

memiliki status sosial yang rendah dan mendapat kritikan dari berbagai sisi. Hal ini menimbulkan pertanyaan bagaimana polisi dapat diharapkan melindungi HAM jika hak-hak

Forum kemitraan ini berfungsi antara lain : pertama, memberi informasi tentang masalah- masalah yang dihadapi warga maupun kebutuhannya karena pandangan masyarakat

Namun demikian, dalam sudut pandang pekerjaan sosial, hal tersebut sangatlah penting karena terkait dengan bahwa sejauh ini klien pekerjaan sosial umumnya berada

ketika sensor gas mendeteksi kondisi kadar asap rokok lebih besar dari 0 ppm maka fan 1 akan menghisap asap rokok untuk diuraikan pada tabung pertama kemudian