• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Pemasangan kateter vena sentral (CVC) diperlukan untuk pemberian cairan,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA. Pemasangan kateter vena sentral (CVC) diperlukan untuk pemberian cairan,"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

7 2.1 Kateter Vena Sentral

2.1.1 Indikasi

Pemasangan kateter vena sentral (CVC) diperlukan untuk pemberian cairan, nutrisi, obat-obatan dengan konsentrasi pekat dan iritatif. Untuk resusitasi, cairan intravena dengan volume besar dapat secara cepat diberikan melalui kateter vena sentral dengan ukuran 8,5 Fr karena kecepatan aliran yang tinggi. Kesulitan pemasangan kateter vena perifer pada pasien dengan syok karena vasokonstriksi perifer merupakan salah satu indikasi pemasangan CVC. Pemberian obat-obatan pada resusitasi jantung paru lebih efektif melalui kateter vena sentral dibandingkan vena perifer karena obat –obatan tersebut langsung mempengaruhi jantung dan didistribusikan ke seluruh tubuh. Indikasi lainnya adalah pemberian agen intravena yang dapat mengiritasi dan mengakibatkan sklerosis vena perifer seperti larutan kalium klorida, nutrisi parenteral total, obat kemoterapi dan vasopressor. Pengukuran tekanan vena sentral, tekanan arteri pulmonal, hemodialisis dan plasmapharesis adalah indikasi-indikasi lain pemasangan kateter vena sentral. (Pepe, 2005)

(2)

2.1.2 Kontraindikasi

Pada prinsipnya tidak ada kontraindikasi absolut pemasangan kateter vena sentral. Salah satu keadaan yang merupakan kontraindikasi pemasangan adalah pada pasien dengan koagulopati berat atau trombositopenia. Pada pasien-pasien dengan keadaan ini, vena femoral dan vena jugularis interna merupakan lokasi yang dianjurkan untuk pemasangan CVC karena perdarahan dari lokasi ini dapat dikontrol dengan penekanan namun tetap ada risiko untuk terjadinya hematoma yang besar dan mengganggu jalan nafas. Lokasi lain yang memungkinkan adalah melalui vena perifer karena kontrol perdarahan yang lebih mudah. Pemasangan di vena subklavia dihindari karena pembuluh darah ini tidak dapat ditekan secara manual bila terjadi perdarahan. Bila pemilihan akses lokasi yang memungkinkan pada pasien dengan koagulopati tidak dapat dilakukan maka pasien perlu dioptimalisasi terlebih dahulu dengan produk darah sampai kanulasi dapat dilakukan dengan aman. (Pepe, 2005)

Kontraindikasi lain dari pemasangan CVC yaitu infeksi pada lokasi pemasangan, adanya fistula arteriovena ipsilateral untuk hemodialisa, trombosis vena disekitar lokasi pemasangan.

2.1.3 Tipe- tipe kateter vena sentral

Beberapa tipe kateter vena sentral tersedia untuk berbagai tujuan pemasangan. CVC dapat single-lumen atau multi-lumen, pemasangan dari vena sentral atau perifer,

(3)

terlapisi antibiotic atau tidak, temporer atau jangka panjang, tunneled atau percutaneous. (Pepe, 2005)

2.2 Teknik Pemasangan

Pemasangan CVC dapat dilakukan dengan pendekatan bedah (cutdown) atau percutaneous. Pendekatan bedah dapat digunakan pada vena sefalika, jugularis interna maupun eksterna, dan femoral. Pendekatan ini dapat mengurangi kemungkinan komplikasi seperti pneumothoraks, hemothoraks, dan kilothoraks, namun ketersediaan dokter bedah dan kamar operasi meningkatkan biaya. Komplikasi pendekatan percutaneous yang semakin rendah dengan teknik yang ada saat ini, membuat klinisi lebih memilih menggunakan pendekatan percutaneous. Salah satu teknik percutaneous adalah teknik Seldinger. Teknik Seldinger telah menjadi pendekatan standar pemasangan kateter vena sentral. Teknik ini menggunakan penuntun melalui jarum akses, dimana penuntun ini akan memfasilitasi masuknya kateter kedalam vena. ( Pepe, 2005)

Pemilihan lokasi pemasangan CVC adalah salah satu faktor yang dapat mengurangi risiko komplikasi mekanik dari prosedur pemasangan. Lokasi yang sedapat mungkin dihindari adalah lokasi pemasangan yang pernah dicoba dan gagal, atau ada deformitas tulang, bekas operasi, radiasi atau jaringan parut. Sebuah meta-analisis yang membandingkan pemasangan CVC pada vena jugularis interna dan subklavia menunjukan bahwa pemasangan pada vena jugularis interna lebih sering

(4)

terjadi penusukan pada arteri, namun lebih sedikit masalah yang berkaitan dengan malposisi kateter. (Pepe, 2005)

Pemasangan pada vena jugularis interna kanan lebih dipilih dibanding vena jugularis interna kiri karena tingkat keberhasilan yang lebih tinggi (90-99%) dengan komplikasi yang lebih sedikit. Kateter yang dipasang melalui vena jugularis interna kiri harus melewati vena brachiocephalica kiri sebelum memasuki VCS dengan sudut 90o, sehingga ujung distal dapat menempel pada dinding lateral kanan dari VCS, dimana akan meningkatkan potensi cedera vascular. (Venugopal dkk, 2013)

Pendekatan prosedur yang paling aman adalah dengan mempertimbangkan kemampuan dan pengalaman dari klinisi, serta melihat postur tubuh dan fungsi pembekuan darah pasien. Penggunaan ultrasonography (USG) dapat meningkatkan keberhasilan insersi CVC terutama pada vena jugularis interna ataupun pada operator yang kurang berpengalaman. (Pepe, 2005; McGee dkk., 2004)

Untuk memfasilitasi pemasangan kateter, pasien diposisikan supinasi dengan diganjal vertical diantara kedua tulang scapula pada pemasangan di vena subklavia supaya segitiga deltopectoral terbuka dan memungkinkan akses yang lebih paralel ke vena. Untuk pemasangan pada vena jugularis interna, ganjalan diletakkan horizontal antara scapula supaya leher dalam posisi hiperekstensi. Posisi trendelenburg 10-15o dapat dilakukan untuk mengisi dan memperlebar vena sentral, sedangkan posisi reverse trendelenburg dapat membantu pemasangan kateter pada vena femoralis dan

(5)

pemasangan di vena subclavia serta jugularis interna pada pasien morbid obese yang euvolemik karena dinding dada dapat dijauhkan dari lokasi pemasangan. (Pepe, 2005)

2.2.1 Teknik Seldinger

Gambar2.1 Pemasangan melalui vena jugular interna (Pepe, 2005)

Teknik Seldinger adalah pendekatan standar yang digunakan untuk berbagai jenis kateter dan lokasi pemasangan. Setelah anestesi lokal diberikan pada lokasi insersi, jarum dimasukan secara perlahan sesuai acuan anatomi, sambil mempertahankan tekanan negatif. Adanya darah yang teraspirasi merupakan tanda masuknya jarum ke pembuluh darah. Penuntun dimasukkan melalui jarum sampai dengan panjang maksimal 20 cm (berhubungan dengan perbatasan atriocaval). Jarum dikeluarkan

(6)

perlahan, meninggalkan penuntun ditempatnya. Insisi ± 0,5 cm dibuat dengan pisau ditempat penuntun masuk, diikuti dengan dilator, untuk memperlebar tempat insersi. Kateter dimasukan kedalam vena melalui penuntun (guidewire) lalu penuntun dikeluarkan. Panjang kateter yang dimasukkan seharusnya mencukupi supaya ujung kateter berada pada perbatasan atriocaval. Aspirasi dilakukan pada setiap ujung kateter untuk memastikan posisi kateter pada vena setelah itu setiap kateter harus dibilas dengan salin murni atau yang mengandung heparin. Kateter difiksasi ke kulit dengan jahitan dan ditutup secara steril untuk menghindari infeksi. Paska tindakan, foto rontgen thoraks harus dilakukan untuk mengkonfirmasi posisi kateter berada di perbatasan atrial-caval dan menghindari komplikasi intratorakal. (Pepe, 2005)

2.2.2 Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi dibagi menjadi 3 kelompok besar yaitu : mekanik, infeksi, thrombosis atau emboli.

Komplikasi mekanik biasanya adalah hasil langsung dari prosedur pemasangan dan dapat diketahui dalam waktu singkat. Salah satu yang sering terjadi adalah aritmia atrial; insiden komplikasi ini adalah 41%. Aritmia yang terjadi biasanya tidak mengakibatkan efek yang serius; insiden terjadi aritmia ventricular maligna adalah rendah. Komplikasi terjadi karena kabel penuntun atau kateter yang terlalu dalam sampai ke atrium kanan. (Pepe, 2005)

(7)

Komplikasi mekanik lain yang sering adalah tertusuknya arteri, biasanya terjadi pada penusukan di vena femoralis dan jugularis interna, namun bila arteri subklavia tertusuk, perdarahan yang terjadi susah dikendalikan dengan tekanan sehingga sering mengakibatkan hematoma ekstrapleural ataupun hemothoraks. Pnemothoraks yang terjadi akibat kateterisasi vena sentral biasanya dapat ditangani dengan observasi ketat serta kontrol rontgen thoraks kecuali bila pasien mendapat ventilasi mekanik dengan tekanan positif. Adanya udara di mediastinum atau subkutan (emfisema) adalah tanda terjadi robekan pada pleura. Gangguan hemodinamik dan respirasi yang terjadi setelah pemasangan CVC pada vena jugularis interna dan subklavia harus segera dicurigai suatu pnemothoraks tipe tension dan segera dilakukan dekompresi. (Pepe, 2005; McGee dkk., 2004)

Emboli udara dapat terjadi dengan insidens 0,1%, dikarenakan pada saat pemasangan atau pelepasan kateter ujung kateter terhubung dengan udara. Hal ini dapat dihindari dengan prosedur yang benar seperti penggunaan posisi trendelenburg, pembilasan kateter dengan cairan salin, serta penutupan semua ujung kateter sebelum pemasangan. Bila emboli terjadi, pasien harus segera diposisikan trendelenburg dengan sudut yang curam serta posisi miring kekiri, diberikan oksigen 100% dan dukungan hemodinamik bila diperlukan. Aspirasi udara dari kateter dapat dilakukan meskipun kemungkinan berhasilnya kecil. (Pepe, 2005)

Malposisi dari kateter, yang didefinisikan sebagai posisi ujung kateter yang tidak tepat. kateter yang tersumbat, thrombosis, emboli, maupun perforasi vena dengan

(8)

hemothoraks atau cairan infus di rongga mediastinum, atau bahkan perforasi atrium kanan dengan tamponade dapat terjadi bila ujung kateter tidak parallel dengan lumen vena cava superior. Hal-hal tersebut dapat dideteksi dengan rontgen thoraks paska tindakan dan bila terjadi harus segera dilakukan tindakan reposisi atau penggantian kateter dengan penuntun.

Kateterisasi juga dapat mencederai sistem limfatik yaitu duktus thoracicus yang memasuki vena diperbatasan antara vena subklavia kiri dan vena jugularis interna kiri. Cedera ini biasanya tidak disadari sampai terjadi efusi pleura dengan kilothoraks pada foto rontgen. Komplikasi ini dapat ditangani dengan drainase dan pembatasan diet namun dapat juga memerlukan operasi ligasi untuk kontrol definitif. (Pepe, 2005)

Komplikasi emboli dan trombosis dapat terjadi setelah pemasangan kateter terutama pada pasien dengan keganasan (insiden sampai dengan 36%). Trombosis lebih sering terjadi pada vena jugularis interna dan femoralis dibandingkan dengan vena subklavia. Trombosis vena dalam pada ekstrimitas atas merupakan 15% dari kasus thrombosis vena dalam di ruang terapi intensif dan semuanya berkaitan dengan kanulasi vena subklavia dan jugularis interna. Faktor risiko terjadinya trombosis meningkat pada pemasangan CVC di vena jugularis interna, tanpa dilakukan heparinisasi, serta pemberian emulsi lipid. Walaupun sering tanpa gejala namun trombosis yang terjadi perlu segera diketahui dan ditangani sebab merupakan risiko terjadinya emboli paru. (Pepe, 2005)

(9)

2.3 Penentuan Letak Ujung Kateter

Angka kejadian malposisi CVC berkisar 3,6-14%. Walaupun penggunaan USG dapat mengurangi komplikasi selama pemasangan, USG tidak dapat menentukan letak ujung kateter di jantung. Hanya TEE yang dapat mendeteksi secara akurat letak ujung CVC pada perbatasan vena cava superior dan atrium kanan ( RA) namun ketersediaan alat ini sebagai alat diagnostik sangat terbatas. (Venugopal, dkk., 2013)

CVC dikatakan mengalami malposisi bila ujung kateter tidak berada pada vena cava superior maupun inferior, terjadi simpul pada kateter. Hal ini dapat menghambat pelepasan kateter, ujung kateter masuk terlalu dalam ke jantung, mengakibatkan aritmia, merusak katup jantung kanan atau mengakibatkan tamponade jantung, posisi dari ujung kateter terlalu dekat dengan dinding vena, mengakibatkan hambatan saat aspirasi maupun saat pemberian cairan (Pittiruti M., 2002)

Penempatan ujung CVC sedekat mungkin dengan jantung sangat diperlukan untuk keberhasilan terapi. Dalam berbagai kasus, posisi ujung CVC ± 2 cm dari perbatasan vena cava superior dan atrium kanan dianggap optimal. Posisi ini memberikan tempat yang cukup untuk ujung kateter bergerak tanpa mencederai dinding atrium secara langsung (Pittiruti M., 2002)

(10)

Gambar 2.2 Posisi kateter yang direkomendasikan di (A) vena cava superior atau (B) Vena cava inferior. (Pittiruti M., 2002)

Gambar 2.3 Posisi normal kateter vena jugularis interna kanan. Ujung kateter idealnya berada pada ketinggian karina. (Melakorde K, 2009)

(11)

Formula untuk menentukan kedalaman CVC yang diinsersi dari vena subklavia dan jugularis interna kanan telah dipublikasi oleh Peres dkk dan Andropoulos dkk dimana tinggi pasien dipakai sebagai nilai untuk menentukan kedalaman CVC.

Tabel 2.1 Formula Peres, dkk.

Insersi Formula

Sisi kanan:

Vena subklavia L= (H/10)-2

Vena jugularis interna L= H/10 Sisi kiri :

Vena jugularis eksterna L= H/10+4

Tabel 2.2 Formula Andropolous, dkk.

Tinggi ( cm) Formula

Vena subklavia dan jugularis interna kanan

H ≤ 100 cm L= (H/10) -1

H ≥ 100 cm L= (H/10) -2

Keterangan: H= Tinggi badan (cm), L= panjang kateter (cm)

Nilai yang didapat dari kedua formula pada pasien yang lebih tinggi dari 100 cm dan diinsersikan dari vena jugularis interna kanan berbeda dan memerlukan penelitian lebih lanjut. Pada pasien dengan proporsi badan yang tidak biasa misalnya leher yang

(12)

pendek maupun panjang, bagian tubuh atas yang lebih panjang memerlukan penentuan secara individual kasus perkasus. (Pittiruti M., 2002)

Prosedur diagnostik yang rutin dilakukan untuk penilaian paska prosedur adalah rontgen thoraks. Rontgen digunakan untuk memastikan letak ujung kateter dan mendeteksi malposisi serta komplikasi yang terjadi. (Venugopal, dkk., 2013)

Lokasi ujung distal kateter diharapkan setinggi karina atau vertebra thorakal 4-5 dimana di lokasi ini ujung kateter berada diluar atrium, 2-3 cm dari perbatasan cavoatrial. (Venugopal dkk, 2013). Perbatasan antara VCS dan RA pada rontgen thoraks adalah pada perpotongan garis lateral kanan dari VCS dengan batas superior dari RA (siluet jantung). Panjang VCS ± 6 cm dan karina terletak di tengah dari VCS, bila ujung kateter berada setinggi karina maka kateter terletak di VCS, namun bila lebih dari 3 cm dibawah karina maka kateter terletak di intraatrial. (Schuster, 2000)

Karina digunakan sebagai marka untuk penentuan posisi ujung kateter pada rontgen thoraks karena karina berada ditengah rongga thoraks sehingga kemungkinan untuk terjadinya distorsi gambar dan kesalahan pengukuran lebih kecil. (Ryu, 2007; Stonelake, 2006)

Ryu, dkk telah melakukan penelitian untuk penentuan kedalaman ujung CVC yang dipasang di vena jugularis interna kanan dan vena subklavia kanan dengan mengukur jarak dari tempat insersi ke sternal notch ditambah jarak vertikal dari sternal notch ke karina pada rontgen thoraks. Dimana dari penelitian tersebut

(13)

didapatkan bahwa pengukuran tersebut berkorelasi dengan posisi ujung CVC pada rontgen thoraks dan dapat digunakan untuk menentukan kedalaman CVC bila tidak ada penunjang lainnya. (Ryu, dkk., 2007)

Metode lain untuk menentukan letak kateter adalah dengan panduan EKG intraatrial yang memiliki tingkat keakuratan 95-100% (Venugopal, dkk., 2013)

2.4 Adaptor Elektrokardiogram

Pemasangan CVC dengan panduan EKG pertama kali diperkenalkan oleh Hellerstein dkk tahun 1949. Mereka medeteksi letak dari CVC di dalam atrium dengan adanya gelombang P intraatrial (P-atriale). (Joshi, dkk., 2008)

Adaptor EKG (Certodyn - Universal adapter, B. Braun Melsungen, Germany) digunakan setelah CVC (Certofix Trio, B. Braun Melsungen, Germany) telah terpasang dengan penuntun masih didalam kateter. Ujung penuntun ditarik sampai batas marka yang mengindikasikan ujung penuntun berada pada ujung kateter. Adaptor dihubungkan dengan penuntun melalui elektroda merah acuan yang ditempel di sisi kanan dinding dada. Elektroda monitor disisi kanan dinding dada diletakkan di adaptor. Adaptor ini memiliki tuas untuk mengubah lead II menjadi lead II yang dimodifikasi untuk merekam EKG intraatrial. Dengan mendorong maju kateter dengan penuntunnya, konfigurasi gelombang P dapat terlihat di monitor EKG. Tinggi dari gelombang P akan meningkat perlahan dan menjadi sama atau bahkan lebih dari gelombang R. Bila kateter didorong lagi gelombang P akan menjadi bifid, namun

(14)

pada saat ini kateter harus ditarik sampai gelombang P menjadi normal lagi. Panjangnya kateter disaat gelombang P menjadi normal adalah kedalaman kateter yang diharapkan. (Joshi, dkk., 2008)

Gambar 2.4 EKG intraatrial yang menunjukan gelombang P atrial ( Gelombang P yang lebih besar dari gelombang R) ( Joshi, 2008)

Joshi dkk mengatakan bahwa EKG intra atrial dapat dipergunakan untuk menilai posisi kateter yang benar dengan sederhana dan ekonomis pada saat pemasangan sehingga rontgen thorak paska pemasangan untuk evaluasi posisi kateter vena sentral dapat ditunda. (Joshi, dkk., 2008)

Gebhard, dkk. dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa pemasangan kateter vena sentral dengan panduan EKG lebih banyak menghasilkan posisi kateter yang tepat dibandingkan dengan pemasangan tanpa panduan EKG ( 96% vs 76%). Namun panduan dengan EKG tidak dapat membedakan apakah kateter berada di intravena

(15)

atau intraarteri karena hasil P-atrial yang dihasilkan sama bila ujung kateter berada pada bayangan pericardium. (Schummer, dkk., 2004).

Schummer, dkk. pada tahun 2003 telah meneliti mengenai pemasangan kateter vena sentral dengan panduan EKG pada vena jugularis interna kanan dan kiri. Mereka menyimpulkan bahwa EKG tidak dapat dipakai untuk memandu pemasangan kateter melalui vena jugularis interna kiri. Salah satu penyebabnya adalah karena sudut antara kateter dan dinding lateral dari vena cava superior lebih dari 40% dilihat dari rontgen thoraks, sehingga walaupun posisi awal ujung kateter dengan panduan EKG adalah benar, namun sering sekali tidak dapat diaspirasi dengan lancar sehingga perlu dimasukkan lebih jauh sampai dengan intraatrial. (Schummer, dkk., 2003)

Gambar

Gambar  2.3  Posisi  normal  kateter  vena  jugularis  interna  kanan.  Ujung  kateter  idealnya berada pada ketinggian karina
Tabel 2.1 Formula Peres, dkk.
Gambar 2.4 EKG intraatrial yang menunjukan gelombang P atrial ( Gelombang P  yang lebih besar dari gelombang R) ( Joshi, 2008)

Referensi

Dokumen terkait