• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Tentang Regionalisme Kritis

2.1.1 Latar belakang regionalisme kritis

Saat ini, seluruh dunia mengalami perkembangan pesat menuju era globalisasi. Globalisasi telah memberikan kebaikan terutama dalam hal kemudahan pemenuhan kebutuhan. Namun, dampak globalisasi dalam bentuk universalisasi dalam hal ilmu pengetahuan dan teknologi juga telah menimbulkan kecenderungan terjadinya homogenitas yang tercermin pada lingkungan bangunan. Hal ini mengakibatkan terjadinya disorientasi ruang karena kota kehilangan identitas dirinya. Regionalisme kritis muncul sebagai reaksi terhadap dampak globalisasi dalam bentuk universalisasi dan internasionalisasi terhadap identitas lokal, baik dalam bidang arsitektur, kota, dan landskap. Lefaivre (1990) menyatakan bahwa Lewis Mumford pertama kali mewujudkan teori regional yang kemudian disebut oleh masyarakat Amerika sebagai ‘Regionalist Rebellion’ di tahun 1940-an sebagai reaksi terhadap karya-karya arsitektur International Style.

Levaifre (1990) juga menyatakan bahwa regionalisme yang disampaikan oleh Mumford adalah suatu kritik yang tidak hanya merupakan reaksi terhadap dampak globalisasi tetapi juga terhadap konsep regional itu sendiri. Mumford memandang regionalisme seharusnya adalah proses konstan yang menegosiasikan antara lokal dan

(2)

global. Mumford mendefinisikan kembali pemahaman tradisional definisi regional yang mengacu pada lokalitas dan dapat menimbulkan sikap egoisme yang kemudian mengarah pada rasisme dan dijadikan sebagai alat politik.

Lefaivre (1990) menyampaikan Regionalisme Kritis yang disampaikan oleh Mumford terbagi dalam lima pilar, yaitu (1) strange making vs absolute historicism, (2) sustainability vs picturesque, (3) advanced technology vs nostalgic craftmanship, (4) Komunitas multikultur vs tradisional, dan (5) Keseimbangan antara lokal dan universal.

Regionalisme kritis memiliki visi bahwa lingkungan buatan mampu beradaptasi dengan kondisi global melalui negosiasi antara lokal dan global. Regionalisme kritis bukan suatu penolakan terhadap globalisasi. Arsitektur bukanlah sesuatu yang mutlak dan tetap, namun akan selalu berubah sesuai dengan perkembangan zaman beserta perubahan-perubahan yang menyertainya.

2.1.2 Pengertian regionalisme kritis

Yeang (1987) menjelaskan bahwa arsitektur regional mencari hubungan antara desain dan ‘spirit’ suatu tempat, tempat desain tersebut berada. Titik berat perancangannya adalah pada arsitektur kontekstual yang merespon secara jelas kondisi setempat.

Frampton (1983) menyatakan bahwa regionalisme kritis merupakan perantara untuk menghadapi dampak globalisasi dengan menggunakan elemen-elemen yang langsung berasal dari keunikan-keunikan suatu tempat. Strategi utama dari

(3)

Regionalisme Kritis adalah untuk menjadi penengah dalam menghadapi dampak peradaban dunia dengan menggunakan elemen-elemen yang secara langsung berasal dari keunikan suatu tempat. Inspirasinya dapat diperoleh melalui kualitas budaya lokal, model struktur khas, atau topografi site.

Frampton (1983) juga menyatakan bahwa regionalisme kritis menguatkan elemen-elemen lokal arsitektur untuk dapat menghadapi globalisasi dan konsep-konsep abstrak yang melibatkan suatu sintesa kritis terhadap sejarah dan tradisi setempat serta menginterpretasikannya kembali, sehingga mendapatkan ekspresi dalam terminologi modern. Roesmanto (2007) menyebutkan bahwa potensi lokal tidak terbatas pada arsitektur tradisional yang secara fisik berupa bangunan berarsitektur tradisional saja. Dalam masyarakat yang heterogen, potensi lokal mencakup seluruh kekayaan yang memiliki kekhasan, keunikan, kesejarahan, ataupun sebagai penanda di kawasan, kota, dan daerahnya.

Arsitektur merupakan elemen kota salah satu penentu identitas suatu kota/kawasan. Oleh karena itu, perancangan arsitektur perlu mempertimbangkan elemen-elemen regional yang ada di tapak yang merupakan keunikan dan kekhasan suatu tempat, agar tidak terjadi disorientasi atau degradasi ruang akibat hilangnya identitas kawasan. Regionalisme kritis merupakan konsep arsitektur postmodern yang muncul sebagai reaksi terhadap dampak globalisasi yang telah merusak eksistensi potensi lokal. Konsep regionalisme kritis menggunakan elemen-elemen regional yang merupakan keunikan/kekhasan/kearifan lokal.

(4)

2.1.3 Variabel regionalisme kritis

Mohite (2008) menyatakan bahwa regionalisme kritis menekankan pada faktor spesifik site, seperti topografi yang dipertimbangkan sebagai matriks 3D tempat struktur bangunan diletakkan, pencahayaan yang merupakan media utama untuk melihat volume ruang dan nilai tektonik suatu karya, respon terhadap kondisi iklim, nilai tactile dan visual pada site, dan interpretasi elemen vernakular. Frampton (1983) menyatakan bahwa regionalisme kritis menegaskan pentingnya tapak dan konteks lokal dalam arsitektur.

Perancangan arsitektur yang menerapkan regionalisme kritis dalam rancangannya perlu menganalisis hal-hal yang berhubungan dengan elemen-elemen regional yang menentukan identitas kawasan. Identitas kawasan dapat dibedakan karena keunikan/kekhasan/kearifan lokal. Zarzar (2007), menyebutkan bahwa identitas timbul melalui persepsi dan diidentifikasi oleh karakter masyarakat setempat, deretan objek-objek alam, bangunan, kota, dan sebagainya.

Menurut Mohite (2008), regionalisme kritis memandang bahwa identitas arsitektur ditentukan oleh (1) tapak dan lokal konteks, (2) Iklim, (3) Kualitas ruang, dan (4) interpretasi elemen vernakular.

1. Tapak dan Lokal Konteks

Mohite (2008) menyatakan bahwa regionalisme kritis menghargai tapak yang terdiri dari bentuk, orientasi, elemen alam, topografi, potensi visual,serta lokal konteks yang terdiri dari lingkungan sekitar, termasuk alam dan bentuk bangunan, garis langit (skyline), dll.

(5)

Di era globalisasi saat ini, untuk menghindari biaya konstruksi yang mahal, salah satu metode konstruksi yang dianggap praktis diterapkan di daerah berkontur adalah meratakan tanah dan memperlakukan tanah seperti halnya pada tanah datar. Hal ini merupakan langkah teknis yang mengakibatkan suatu tempat kehilangan identitas tempatnya (placelessness). Regionalisme kritis memandang topografi pada tapak sebagai elemen yang unik. Frampton (1983) menyebutkan bahwa regionalisme kritis menjaga kualitas tektonik pada area berkontur, antara lain dengan membuat tingkatan/step pada site mengikuti kemiringan kontur tanah. Hal ini dapat dilihat pada salah satu contoh karya arsitektur rancangan Geoffrey Bawa yang dapat dilihat pada gambar 2.1.

Gambar 2.1 Kondisi Eksterior Universitas Ruuhunu, Srilangka Selatan Sumber: Robson, 2001

Frampton (1983) menyatakan bahwa regionalisme kritis memandang pentingnya hubungan dialektikal antara bentuk bangunan dan alam. Schulz (1980) menyatakan bahwa manusia memahami alam sebagai elemen-elemen

(6)

yang saling berhubungan dan merupakan aspek dasar dari sebuah kejadian. Schulz (1980) membedakan alam dengan menggunakan lima mode pemahaman yang penekanannya berbeda sesuai dengan budaya setempat. Cara pemahaman yang pertama adalah menitikberatkan alam sebagai sumber kekuatan dan menghubungkannya sebagai elemen-elemen alam yang nyata atau suatu benda. Langit, gunung, batu sebagai material, pohon atau vegetasi, hutan, dan air adalah elemen-elemen alam yang termasuk dalam mode ini. Cara pemahaman yang kedua adalah mengikhtisarkan alam sebagai sistem tatanan kosmik dari peristiwa perubahan yang terus menerus. Tatanan yang berpusat pada matahari sebagai fenomena alam yang berbeda adalah salah satu elemen alam yang dipahami melalui mode ini. Cara pemahaman yang ketiga adalah definisi karakter lingkungan alam berhubungan dengan sifat dasar manusia. Gua adalah contoh elemen alam menurut mode ini. Cara pemahaman yang keempat adalah fenomena alam yang kurang diamati dengan jelas. Cahaya adalah bagian dasar dari sebuah realitas, tetapi manusia kuno lebih berkonsentrasi dengan menganggap matahari sebagai sebuah benda, daripada melihatnya sebagai suatu konsep umum dari cahaya. Cahaya sangat berhubungan dengan elemen alam yang berubah secara tetap dan merupakan mode kelima dalam memahami alam. Waktu adalah mode ini, seperti pergantian musim, dan pergantian siang dan malam.

Benda, tatanan, karakter, cahaya, dan waktu adalah kategori dasar dari pemahaman alam secara nyata. Benda dan karakter adalah dimensi ruang

(7)

bumi, sedangkan tatanan dan cahaya ditentukan oleh langit. Sementara waktu, adalah dimensi bergerak dan berubah secara tetap (Schulz, 1980).

2. Iklim

Kondisi eksisting struktur kota juga terpengaruh oleh globalisasi, seperti yang terjadi pada topografi. Hal ini terutama terjadi pada hal-hal yang berhubungan dengan iklim dan mempengaruhi kualitas pencahayaan alami. Berbagai faktor harus dapat dipahami secara mendasar untuk menentang optimalisasi penggunaan teknologi universal. Regionalisme kritis cenderung memanfaatkan bukaan pada bangunan sebagai media perantara dengan kapasitas untuk merespon kondisi khusus yang ditentukan oleh tapak, iklim, dan pencahayaan.

Saat ini, aturan yang diterima oleh praktisi modern lebih menyukai penggunaan pencahayaan buatan secara eksklusif pada seluruh galeri seni. Spektrum cahaya alami tidak pernah dapat masuk ke dalam ruang. Kondisi ruang demikian menyebabkan ruang kehilangan auranya karena proses reproduksi mekanikal yang mengangkat aplikasi statik teknologi universal. Kondisi placeless ini bertentangan dengan kebutuhan galeri seni tentang pengawasan dan keamanan barang-barang seni agar terhindar dari kerusakan akibat cahaya langsung. Kondisi tertentu membutuhkan ruang tertutup yang menjadikan ruang tidak dapat berinteraksi dengan budaya, alam, dan cahaya. Namun, prinsip ini diterapkan pada segala bentuk dan di seluruh tempat. Pendekatan yang sama juga digunakan pada penggunaan material kaca.

(8)

Material kaca pada tempat-tempat tertentu baik digunakan, namun pada tempat yang lain dengan iklim tertentu, material bata sebagai fasade bangunan lebih baik dibandingkan kaca.

Bukaan merupakan elemen yang selain cocok digunakan sebagai ventilasi, juga menjadi elemen yang dapat merefleksikan kondisi alami budaya setempat (gambar 2.2). Penggunaan alat pengkondisian udara sepanjang waktu di semua tempat merupakan tindakan yang tidak menghargai kondisi iklim setempat yang seharusnya memiliki kapasitas untuk dapat diekspresikan.

Gambar 2.2 Bukaan Pada Interior Jayakody House Karya Geoffrey Bawa Sumber: Robson, 2001

3. Kualitas Ruang

Mohite (2008) menyampaikan bahwa ruang adalah elemen utama arsitektur terbaik yang dapat dinikmati dan tercipta karena bentuk bangunan dan lingkungan alamnya. Frampton (1983) menyebutkan pentingnya kapasitas jiwa untuk dapat memahami ruang dengan cara pandangnya sendiri yang

(9)

kemudian dikenal dengan konsep Tactile. Tactile merupakan strategi yang potensial untuk dapat menahan dominasi teknologi universal.

Tactile akan menyampaikan seluruh persepsi yang dapat direkam oleh indera kita ke dalam pikiran kita, seperti intensitas cahaya, kegelapan, panas dan dingin, kelembaban, aroma bahan bangunan, momen inertia yang dirasakan tubuh ketika berada di atas lantai, atau suara gema langkah kita di dalam ruang.

Tactile dapat disampaikan melalui unsur-unsur tektonik dalam ruang. Frampton (1983) menyampaikan bahwa tektonik adalah potensi-potensi/sumber daya lokal berupa material, craftwork, yang telah dipilih/disaring dan kemudian menghasilkan suatu kesatuan bentuk yang menggambarkan struktur sebagai seni bentuk daripada hanya sekedar fasade bangunan.

Nilai tektonik tidak hanya sekedar aktivitas untuk memenuhi persyaratan konstruksi bangunan. Tektonik dalam konsep regional kritis adalah suatu aktivitas yang mengangkat konstruksi sebagai suatu seni bentuk. 4. Interpretasi elemen vernakular

Frampton (1983) menyebutkan bahwa regionalisme kritis adalah sintesis kritis terhadap sejarah setempat dan tradisi, yang dinterpretasi kembali dan akhirnya diekspresikan dalam terminologi modern.

Elemen-elemen tradisional dapat dimunculkan kembali dan menjadi suatu tradisi yang dapat digunakan saat ini, jika dapat diterima kembali oleh

(10)

penduduk setempat dan disesuaikan dengan kondisi waktu, ruang, dan lingkungan yang berlaku saat ini.

2.2 Tinjauan Tentang Hotel Resort

2.2.1 Pengertian hotel resort

Dirjen Pariwisata (1995) menyebutkan bahwa Hotel adalah suatu jenis akomodasi yang mempergunakan sebagian atau seluruh bangunan, untuk menyediakan jasa penginapan, makan dan minum, serta jasa lainnya bagi umum, yang dikelola secara komersial.

Surat Keputusan Menteri Perhubungan R.I No. PM 10/PW – 301/Phb. 77, tanggal 12 Desember 1977, menyatakan bahwa Hotel adalah suatu bentuk akomodasi yang dikelola secara komersial, disediakan bagi setiap orang untuk memperoleh pelayanan penginapan, berikut makan dan minum.

Sementara itu, Resort adalah suatu perubahan tempat tinggal untuk sementara bagi seseorang di luar tempat tinggalnya dengan tujuan antara lain untuk mendapatkan kesegaran jiwa dan raga serta hasrat ingin mengetahui sesuatu. Dapat juga dikaitkan dengan kepentingan yang berhubungan dengan kegiata olah raga, kesehatan, konvensi, keagamaan serta keperluan usaha lainnya (Dirjen Pariwisata, 1988).

Pendit (1999) menyebutkan bahwa Resort adalah sebuah tempat menginap yang mempunyai fasilitas khusus untuk kegiatan bersantai dan berolah raga seperti tennis, golf, spa, tracking, dan jogging, bagian concierge berpengalaman dan

(11)

mengetahui betul lingkungan resor, bila ada tamu yang ingin hitch-hiking berkeliling sambil menikmati keindahan alam disekitarnya.

Kurniasih (2006) menyatakan bahwa hotel resort secara total menyediakan fasilitas untuk berlibur, rekreasi dan olah raga dan umumnya tidak bisa dipisahkan dari kegiatan menginap bagi pengunjung yang berlibur dan menginginkan perubahan dari kegiatan sehari-hari.

Berdasarkan Keputusan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor KM3/HK 001/MKP/02, hotel resort memiliki ketentuan jumlah kamar tidak diharuskan sesuai dengan golongan kelas hotel, tetapi disesuaikan dengan fasilitas penunjang, serta seimbang antara pendapatan dan pengeluaran dari hotel tersebut.

Dengan demikian, hotel resort didefinisikan sebagai suatu jenis akomodasi jasa penginapan yang terletak dikawasan wisata dan dikelola secara komersial dengan menyediakan fasilitas berlibur, rekreasi dan olahraga, bertujuan untuk mendapatkan kesegaran jiwa dan raga serta menginginkan perubahan dari kegiatan sehari-hari.

2.2.2 Karakteristik hotel resort

Kurniasih (2006) menyatakan bahwa ada empat karakteristik hotel resort, sehingga dapat dibedakan menurut jenis hotel lainnya, yaitu:

1. Lokasi,

Hotel umumnya berlokasi di tempat-tempat berpemandangan indah, pegunungan, tepi pantai dan sebagainya, yang tidak dirusak oleh keramaian kota, lalu lintas yang padat dan bising, “Hutan Beton” dan polusi perkotaan.

(12)

Pada Hotel Resort, kedekatan dengan atraksi utama dan berhubungan dengan kegiatan rekreasi merupakan tuntutan utama pasar dan akan berpengaruh pada harganya.

2. Fasilitas

Motivasi pengunjung untuk bersenang-senang dengan mengisi waktu luang menuntut tersedianya fasilitas pokok serta fasilitas rekreatif indoor dan outdoor. Fasilitas pokok adalah ruang tidur sebagai area privasi. Fasilitas rekreasi outdoor antara lain meliputi fasilitas olahraga, seperti kolam renang, dan penataan lanskap yang memanfaatkan potensi alam setempat.

3. Arsitektur dan Suasana

Wisatawan yang berkunjung ke Hotel Resort cenderung mencari akomodasi dengan arsitektur dan suasana yang khusus dan berbeda dengan jenis hotel lainnya.

4. Segmen Pasar

Sasaran yang ingin dijangkau adalah wisatawan/pengunjung yang ingin berlibur, bersenang-senang, menikmati pemandangan alam, pantai, gunung dan tempat-tempat lainnya yang memiliki panorama yang indah.

Dengan demikian, karakteristik hotel resort ditentukan oleh kualitas potensi-potensi alam yang ada disekitarnya, keterkaitan lokasi dengan obyek wisata di sekitar lokasi yang berpengaruh pada aktivitas pengunjung, serta kenyamanan dan keamanan yang ditentukan oleh fasilitas hotel yang tersedia.

(13)

2.2.3 Organisasi fungsional hotel

Sesuai dengan fungsi utamanya sebagai sarana akomodasi, hotel mempunyai dua bagian utama dalam mewujudkan fungsinya. Kedua fungsi tersebut dapat disebut sebagai yang berhadapan langsung dengan pengunjung, yaitu area muka bangunan (front of the house) dan area belakang (back of the house), yang mendukung kegiatan area muka bangunan.

Area muka bangunan (front of the house) adalah segala macam bentuk pelayanan dan fasilitas ditampilkan oleh sebuah hotel untuk disajikan atau dipergunakan para pengunjungnya. Area belakang (back of the house) adalah bagian penting yang mendukung kegiatan front of the house, sehingga sedapat mungkin pengunjung tidak melihat atau mengetahui segala kegiatan di sektor ini.

Gambar

Gambar 2.1  Kondisi Eksterior Universitas Ruuhunu, Srilangka Selatan   Sumber: Robson, 2001
Gambar 2.2 Bukaan Pada Interior Jayakody House Karya Geoffrey Bawa  Sumber: Robson, 2001

Referensi

Dokumen terkait

 Prinsip: memeriksa berat jenis urine dengan alat urinometer  Tujuan: mengetahui kepekatan urine.  Alat

Pangka di Kabupaten Tegal karena lokasi tersebut merupakan salah satu perusahaan negara yang bergerak dalam bidang industri gula, yang mana perusahaan ini menggunakan

 Kelompok terbaik pada hari itu diberikan reward oleh guru  Siswa bersama guru mengevaluasi hasil pembelajaran hari ini.. Rincian Kegiatan

Namun setelah 12 minggu pengamatan, ternyata pertambahan bobot hidup yang paling tinggi diperoleh pada ayam hitam dengan perlakuan onggok terfermentasi (920 g), diikuti oleh

Hasil identifikasi fauna ikan di Kawasan Mangrove Teluk Pangpang ditemukan kelimpahan dan biomassa yang tinggi pada jenis ikan bedul ( A. caninus ) sebanyak 975 ind sebesar 18.299,56

Oleh karena studi ini memfokuskan pada kajian kebutuhan pelayanan kawasan industri mebel Kalijambe berdasarkan preferensi pengusaha kecil (perajin) dan menengah

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa tingkat kepedulian sosial siswa SD di Kecamatan Kalideres paling banyak berada pada

33 Directly issued capital instruments subject to phase out from Additional Tier 1 Modal yang yang termasuk phase out dari AT1 N/A. 34 Additional Tier 1 instruments (and