• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyidikan dan Pengujian Penyakit Rabies di Wilayah Kerja Balai Veteriner Bukittinggi Tahun 2015

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Penyidikan dan Pengujian Penyakit Rabies di Wilayah Kerja Balai Veteriner Bukittinggi Tahun 2015"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

KEMENTERIAN PERTANIAN

BALAI VETERINER BUKITTINGGI

Penyidikan dan Pengujian

Penyakit Rabies di Wilayah Kerja

Balai Veteriner Bukittinggi

Tahun 2015

DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN

(2)

Laporan ini merupakan hasil kegiatan monitoring postvaksinasi Rabies di

wilayah kerja Balai Veteriner Bukittinggi meliputi Propinsi Sumatera Barat,

Propinsi Riau, dan Propinsi Jambi. Surveilans sindromik diwilayah bebas rabies

(Prov.Kepri, Kab Meranti dan Kab Mentawai dan Pulau Bengkalis serta Pulau

Rupat (akan diajukan bebas) dan Hasil Monitoring postvaksinasi rabies diwilayah

endemis.

Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang

telah membantu dalam pelaksanaan kegiatan ini terutama dinas peternakan atau

dinas pertanian yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan di

lokasi kegiatan. Laporan ini masih jauh dari kesempurnaan, tetapi dapat

diharapkan sebagai sumber informasi bagi yang memerlukannya.

Drh. Azfirman

NIP. 19651004 199403 1 001

Drh. Martdeliza, M. Sc

NIP. 19720301 200312 2 002

Kepala Balai

Penyusun

(3)

Daftar Isi

Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang 1 1.2 Tujuan 2 1.3 Input 3 1.4 Keluaran 3 1.5 Manfaat 3 1.6 Sasaran 3

1.6.a Monitoring Post Vaksinasi Rabies 3 1.6.b Surveilans Sindromik 4

Bab II Materi dan Metode

2.1 Materi 5

2.2 Metode 5

Prosedur Uji ELISA KIT Platelia II KIT Rabies Bio-Rab 5 Prosedur Uji ELISA KIT Rabies Pusvetma Surabaya 5 Prosedur Uji FAT 6

Bab III Hasil dan Pembahasan 8

Bab IV Kesimpulan dan Saran 14

(4)

1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Rabies adalah penyakit infeksi akut susunan saraf pusat pada manusia dan mamalia. Penyakit ini disebabkan oleh virus rabies yang termasuk genus Lyssavirus, family Rhabdoviridae dan menginfeksi manusia melalui sekreta yang mengandung virus pada gigitan Hewan Penular Rabies (HPR). Gejala klinis yang terlihat umumnya adalah berupa manifestasi peradangan otak (encephalitis) yang akut baik pada hewan maupun manusia. Masa inkubasi rabies pada anjing dan kucing berkisar antara 10 sampai 8 minggu. Pada sapi, kambing. Kuda dan babi berkisar antara 1 sampai 3 bulan. Gejala klinis pada anjing dan kucing hampir sama.

Penyakit ini dikenal dalam 3 bentuk yaitu:

a. Bentuk ganas (furious rabies) masa eksitasi panjang, kebanyakan akan mati dalam 2 sampai 3 hari setelah tanda tanda rabies terlihat.

b. Bentuk diam atau dungu (dumb rabies) disini terjadi kelumpuhan (paralisa) sangat ceat menjalar keseluruh anggota tubuh dan masa eksitasi pendek

c. Bentuk asymptomatis disini memperlihatkan kejadian dimana hewan tiba-tiba mati dengan tidak menunjukan gejala-gejala sakit.

Selain dari ketiga bentuk tanda klinis rabies pada anjing dan kucing bisa dijumpai tanda-tanda lain yang sering terlihat sebagai berikut :

§ Pada phase prodromal hewan mencari tempat-tempat yang dingin dan menyendiri, tetapi dapat lebih menjadi

agresif dan nervous. Reflek cornea berkurang/hilang, pupil meluas dan cornea kering.

§ Pada phase exitasi hewan akan menyerang siapa saja yang ada disekitamya dan memakan barang yang aneh-aneh.

Dengan berlanjutnya penyakit, mata mejadi keruh dan selalu terbuka.

§ Pada phase paralisa cornea kering, mata terbuka dan kotor, semua reflek hilang dan mati.

Tanda klinis pada hewan pemamah biak dapat dilibat seperti gelisah, gugup, liar dan adanya rasa gatal pada seluruh tubuh, kelumpuhan pada kaki belakang dan akhirnya hewan mati. Pada hari pertama atau kedua gejala klinis terlihat biasanya temperatur normal, anorexia, eskpresi wajah berubah dari biasa, sering menguak dan ini merupakan tanda yang spesiftk bagi hewan yang menderita rabies.

Rabies dapat digolongkan sebagai penyakit strategis, karena merugikan dari segi ekonomi dan kesehatan masyarakat. Ada sekitar 30.000-70.000 kematian pada manusia yang disebabkan oleh penyakit ini setiap tahunnya, 99% dari kasus kematian tersebut terjadi di negara berkembang. Rabies tersebar diseluruh dunia dan hanya beberapa negara yang bebas rabies. Lebih dari 100 negara beresiko terinfeksi rabies. Anak- anak lebih beresiko terinfeksi rabies. Lebih dari 99 % kasus rabies pada manusia ditularkan melalui gigitan anjing.

Penyakit Rabies menimbulkan dampak psikologis seperti kepanikan, kegelisahan, kekhawatiran, kesakitan dan ketidaknyamanan pada orang-orang yang terpapar. Kerugian ekonomi yang ditimbulkan pada daerah tertular terjadi

Bab I

(5)

karena biaya penyidikan, pengendalian yang tinggi, serta tingginya biaya post- exposure treatment. Disamping itu, kerugian akibat pembatalan kunjungan wisatawan, terutama di daerah yang menjadi tujuan wisata, dapat saja terjadi jika tingkat kejadian rabies sangat tinggi.

Rabies telah ada di Indonesia sejak abad ke-19 dan telah tersebar di sebagian besar wilayah. Rabies dilaporkan pertama kali oleh Stchorl pada tahun 1884, yaitu pada seekor kuda di Bekasi, Jawa Barat. Selanjutnya kasus rabies pada kerbau dilaporkan pada tahun 1889, kemudian rabies pada anjing dilaporkan oleh Penning tahun 1890 di Tangerang. Kasus rabies pada manusia dilaporkan oleh Eilerts de Haan pada seorang anak di Desa Palimanan, Cirebon tahun 1894. Selanjutnya rabies dilaporkan semakin menyebar kebeberapa wilayah di Indonesia, yaitu Sumatra Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur tahun 1953, Sulawesi Selatan tahun 1959, Lampung 1969, Aceh tahun 1970, Jambi dan DI Yogyakarta tahun 1971. Rabies di Bengkulu, DKI Jakarta, dan Sulawesi Tengah di laporkan tahun 1972, Kalimantan Timur tahun 1974 dan Riau tahun 1975. Pada dekade 1990-an dan 2000-an rabies masih terus menjalar ke wilayah yang sebelumnya bebas historis menjadi tertular, yaitu Pulau Flores tahun 1998, Pulau Ambon dan Pulau Seram tahun 2003, Halmahera dan Morotai tahun 2005, Ketapang tahun 2005, serta Pulau Buru tahun 2006. Kemudian Pulau Bali dilaporkan tertular rabies tahun 2008, Pulau Bengkalis dan Pulau Rupat di Propinsi Riau tahun 2009 (Direktorat Kesehatan Hewan, 2006; Kepmentan, 2008).

Wilayah kerja BPPV Regional II termasuk daerah endemis rabies. Dalam rangka pengendalian dan penanganan penyakit rabies perlu dilakukan koordinasi lintas sektoral. Untuk mencapai Indonesia bebas rabies Tahun 2020 Direktorat Kesehatan Hewan membuat road map pembebasan rabies, dengan kegiatan pokok :

1. Mempertahankan daerah bebas melalui kegiatan :

Kontrol lalu lintas HPR khususnya anjing, peningkatan kapasitas surveillans untuk deteksi penyakit, respon cepat terhadap dugaan kasus rabies, kontrol populasi, koordinasi dan kolaborasi lintas sektoral dan pencegahan didaerah resiko tinggi.

2. Membebaskan daerah tertular melalui kegiatan :

Vaksinasi massal, kontrol lalu lintas HPR khususnya anjing, peningkatan kapasitas surveilans (termasuk deteksi dini), peningkatan kapasitas pengendalian dan penanggulangan (harus ada respon cepat juga), kontrol populasi dan koordinasi dan kolaborasi antar sektoral.

Dalam upaya mendukung program diatas, sesuai dengan tupoksi, BVet Bukittinggi tiap tahun rutin melaksanakan program monitoring rabies di wilayah kerja Reg II. Demikian juga untuk tahun 2015 BVet Bukittinggi melakukan monitoring rabies, dengan kegiatan berupa :

1. Surveilans sindromik diwilayah bebas rabies (Prov.Kepri, Kab Meranti dan Kab Mentawai dan Pulau Bengkalis serta Pulau Rupat (akan diajukan bebas)

2. Monitoring postvaksinasi rabies diwilayah endemis

1.2. Tujuan

1. Menunjukkan keadaan bebas penyakit

2. Untuk mengetahui efikasi vaksin dan tingkat keberhasilan pelaksanaan vaksinasi Rabies di wilayah kerja Bvet Bukit Tinggi dengan melihat tingkat antibodi protektif yang ditimbulkan sebagai bahan masukan dalam menyusun kegiatan pengendalian

(6)

1.3. Input

1. Data lokasi pengambilan sampel 2. Sampel yang diperoleh

3. Peralatan pengambilan sampel 4. Petugas Pelaksana

1.4. Keluaran

Tersedianya laporan tentang keberhasilan pelaksanaan vaksinasi Rabies secara laboratories dan data dari tanda tanda yang menunjukkan kearah penyakit rabies atau tidak ada tanda tanda penyakit rabies

1.5. Manfaat

Tersedianya data laboratoris yang dapat dipakai sebagai dasar untuk tindakan pengendalian rabies, diharapkan rencana Indonesia bebas rabies dapat tercapai. Dengan bebasnya Indonesia dari rabies akan menimbulkan rasa aman masyarakat, untuk daerah-daerah wisata rasa aman ini akan meningkatkan jumlah wisatawan yang datang. Pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan.

1.6. Sasaran

1.6.a. Monitoring postvaksinasi rabies

Sasaran dari kegiatan monitoring rabies adalah HPR terutama anjing postvaksinasi yang ada di daerah yang dikunjungi. Besaran sampel disesuaikan dengan target sampel Bvet Bukittinggi (berdasarkan kemampuan balai dalam menyediakan bahan uji). Daerah pengambilan sampel berdasarkan realisasi pengambilan sampel 2014, dimana daerah yang susah didapatkan sampelnya pada tahun sebelumnya, tahun ini tidak didatangi lagi

Rencana Lokasi yang akan dikunjungi

Tabel 1. Jumlah target sampel monitoring aktif rabies 2015 di Propinsi Sumatera Barat

Tabel 2. Jumlah target sampel monitoring aktif rabies 2015 dari Propinsi Jambi

NO KABUPATEN / KOTA TOTAL SERUM HARI KUNJUNGAN 1 50 Kota 100 ( 2 x kunjungan ) 2

2 Bukittinggi 50 2

3 Padang Panjang 100 ( 3 x kunjungan) 3 4 5 Pasaman Sijunjung 50 50 3 3 Total 350 13

1 Kota Sungai Panuah 50 3

2 3 4 Kota Jambi Kab Kerinci Muaro Bungo 50 100( 2 x kunjungan) 50 3 6 3 Total 250 15

(7)

Tabel 3. Jumlah target sampel monitoring aktif rabies 2013 dari Propinsi Riau

1.6.b. Surveilans sindromik

Sasaran daerah bebas rabies (Prov.Kepri, Kab. Mentawai dan Kab Meranti), dan daerah yang akan mengajukan bebas rabies (Pulau Rupat dan Pulau Bengkalis). Pada daerah diatas BVet akan membagikan kuisioner untuk mendapatkan informasi/data rabies didaerah tersebut. Jika ada HPR dengan gejala rabies diharapkan dinas peternakan dan kesehatan hewan/fungsi yang membawahinya mengirimkan sampel otak HPR tersebut ke BVet Bukittinggi. Atau jika ada HPR yang mati karena kecelakaan, otak harap dikirimkan ke BVet Bukittinggi.

Dalam pelaksanaan surveilans sindromik ini benar benar membutuhkan kerjasama dan komitmen yang kuat dari masing-masing pihak terkait (BVet Bukittinggi, Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan/fungsi yang membawahinya Provinsi/Kabupaten dan petugas lapangan serta diharapkan peran serta masyarakat dalam pelaporan kasus)

1 2 3 4 5 Dumai Bengkalis Kuansing Pekanbaru Siak 50 50 50 50 50 3 3 3 3 3 Total 250 15

(8)

Bab II

Materi dan Metode

2.1. Materi

Untuk monitoring postvaksinasi materi yang dibutuhkan serum darah anjing postvaksinasi (minimal 3 minggu postvaksinasi dan maksimal 12 bulan postvaksinasi) di daerah yang dikunjungi dengan catatan semua tim yang berangkat harus mengisi waktu vaksinasi sampel yang diambil. Jika tidak ada informasi lebih baik sampelnya tidak diambil. Serum yang diambil benar-benar serum postvaksinasi. Bahan pemeriksaan berupa Kit Elisa Antibody Rabies Produksi Pusvetma Surabaya atau Kit Elisa Biorad

Untuk surveilans sindroming materi berupa data dari kuisioner dan otak anjing (jika ada anjing yang menunjukkan gejala/dicurigai rabies dan otak anjing yang mati karena kecelakaan)

2.2. Metode

Metode pemeriksaan yang dilakukan berupa pemeriksaan antibody rabies secara Elisa. Hasil pemeriksaan berupa status protektif dan tidak protektif berdasarkan nilai Optical density (OD) serum yang diperiksa.

Prosedur uji ELISA KIT Platelia II KIT Rabies Bio-Rad

Mikroplate dikeluarkan dari kemasan, kemudian serum sampel, serum kontrol positif (R4a 0,5EU) dan kontrol negatif (R3) diencerkan dengan perbandingan 1: 100 dalam larutan pengencer (R6). Sedangkan serum kontrol positif standar (R4b), diencerkan 1:100 (sebagai S6 dengan titer 4EU) dalam larutan pengencer (R6), selanjutnya dari S6 tersebut diencerkan secara serial dua kali (500μl S6 ditambah 500μl R6) menjadi S5 (2EU), demikian seterusnya dengan cara yang sama menjadi S4 (1EU), S3 (0,5EU), S2 (0,25EU) dan S1 (0,125EU). Kemudian masing-masing serum sampel dan serum kontrol, dimasukkan 100 μl ke dalam sumuran mikroplate. Mikroplate ditutup dan diinkubasikan pada suhu 37°C selama 1 jam. Mikroplate dicuci sebanyak 3 kali. Kemudian ditambahkan 100 μl conjugate yang telah diencerkan pada semua lubang. Tutup mikroplate dan diinkubasikan 1 jam pada suhu 37°C. Mikroplate dicuci sebanyak 5 kali. Kemudian ditambahkan 100 μl substrat pada semua sumuran, dan diinkubasikan pada suhu kamar selama 30 menit dalam kondisi gelap. Kemudian ditambahkan 100 μl stop solution pada semua sumuran. Setelah 30 menit, dilakukan pembacaan optical density pada panjang gelombang 450 nm sampai 620 nm. Penghitungan dilakukan ke dalam EU dari masing-masing OD sampel dengan menggunakan rumus yang sudah disediakan dalam KIT. Titer 0,5 EU atau lebih dianggap protektif.

Prosedur uji ELISA Kit Rabies Pusvetma Surabaya

Serum sampel di inaktivasi dengan memanaskan dalam penangas air dengan suhu 56ºC selama 30 menit, kemudian diencerkan 1:100 dengan menambahkan 2,5 μl sampel serum dengan 247,5 μl PBST. Selanjutnya diencerkan serum kontrol positif 1:100 yakni 10 ul Kontrol Positif (sebagai K4 dengan titer 4 EU) dalam 990 ul PBST, selanjutnya dari K4 tersebut diencerkan secara serial dua kali (500μl K4 ditambah 500μl PBST) menjadi K2 (2EU), demikian seterusnya dengan cara yang sama menjadi K1(1EU), K0,5(0,5EU), K0,25(0,25EU) dan K0,125 (0,125EU ). Kontrol negatif diencerkan dengan pengenceran 1 : 100 dengan mengambil 2,5 ul kontrol negatif ditambahkan 247,5 ul PBST, demikian juga dengan kontrol ST 1 EU diencerkan dengan pengenceran 1 : 100. Serum sampel dan kontrol dimasukkan pada sumuran mikroplate masing-masing 100 μl dan sumuran H11 dan H12 tanpa serum, tetapi dimasukkan 100 ul

(9)

PBST sebagai blank. Kemudian mikroplate ditutup dengan plastik penutup dan diinkubasikan pada suhu 37ºC selama 60 menit. Selanjutnya cairan serum pada mikroplate uji dibuang dan dilakukan pencucian sebanyak 4-5 kali. Cairan pencuci yang tersisa dalam jumlah kecil dalam mikroplat dikeringkan dengan cara membalikkan mikroplat di atas kertas tissue tebal. Kemudian tambahkan konjugat yang telah diencerkan(16.000 x) sebanyak 100 μl per sumuran. Mikroplat ditutup kembali dan diinkubasikan pada suhu 37ºC selama 60 menit. Selanjutnya cairan dibuang dan dilakukan pencucian sebanyak 4 - 5 kali dan ditambahkan substrat sebanyak 100 μl pada setiap sumuran. Plate diinkubasikan pada suhu kamar, dalam kondisi gelap selama 10 menit. Terakhir ditambahkan 100μl stop solution pada setiap sumuran. Pembacaan densitas optik (OD = Optical Density) pada pembaca (Reader) dengan panjang gelombang 405nm. Selanjutnya dihitung Equivalent Unit (EU) dari masing-masing OD sampel dengan menggunakan rumus yang sudah disediakan dalam KIT. Titer serum 0,5 EU atau lebih dianggap protektif.

Kuisioner untuk sindromik akan dianalisa dan sampel otak diuji dengan metode uji seller dan FAT

Prosedur uji FAT

a. Penyusunan Conjugate

§ Larutkan conjugate dengan 3 ml aquadest § Sentrifuge 1500 rpm selama 5 menit

b. Pembuatan Preparat Slide

1. Material segar atau dalam pengawet 50% gliserin-garam yang sudah dicuci beberapa kali dalam larutan PBS, dipersiapkan untuk dibuat preparat tempel atau preparat ulas.

2. Pembuatan Preparat Tempel atau Preparat Ulas.

Preparat tempel/sentuh :

§ Material besarnya cukup, kondisi masih baik atau belum mengalami pembusukan.

§ Material dipotong dibeberapa bagian, permukaan potongan digunakan untuk membuat satu preparat tempel. § Dibuat preparat tempel diatas satu kaca preparat, masing-masing area preparat tempel panjangnya + 2,5 cm.

Preparat Ulas :

§ Material besarnya cukup, tetapi pada beberapa bagian sudah mengalami pembusukan.

§ Material tanpa pengencer digerus dalam mortar dan pastanya digunakan secukupnya untuk membuat preparat

ulas.

§ Preparat ulas dibuat sampai ¾ panjang kaca preparat

3. Sisa material atau pastanya disimpan dalam deep freezer untuk pemeriksaan lanjutan/ulang dan uji biologis bilamana pemeriksaan ini negatif.

4. Dibuat juga preparat tempel dari otak tikus putih yang sudah diinfeksi street virus Rabies sebagai kontrol Positif dan preparat tempel dari otak tikus putih normal sebagai kontrol negatif. Preparat kontrol dapat dibuat beberapa

o

buah sekaligus dan setelah difiksasi dalam aceton dingin, preparat dapat disimpan kering pada suhu –20 C untuk tidak lebih dari 10 hari.

5. Keringkan Preparat uji di udara terbuka.

0 0

6. Kemudian preparat difiksasi dalam aceton –15 C sampai –20 C selama 2-4 jam. 7. Setelah difiksasi, preparat dikeringkan di udara terbuka.

(10)

8. Setiap preparat tempel dibuat lingkaran pembatas menggunakan pensil lilin (marking pencil). 9. Pada setiap kaca preparat ditetesi dengan conjugate secukupnya

10. Konjugat diusahakan merata dengan cara merotasi kaca preparat atau menggunakan tusuk gigi tanpa mengganggu preparat/film.

0

11. Preparat diinkubasikan pada ruang lembab pada suhu 37 C selama 30 menit.

12. Selanjutnya preparat dicuci 2 X dengan cara merendam ke dalam bak pencuci yang berisi larutan PBS pH 7,4 dengan menggunakan Coplin Jar masing-masing selama 10 menit.

13. Preparat dikeringkan di udara terbuka dengan posisi tegak.

14. Preparat diberi 1 tetes 50% gliserin-buffer (pH 7,6) dan tutup dengan cover slip.

15. Preparat diperiksa menggunakan mikroskop ultra-violet pada perbesaran 200 dan 400 kali.

Pembacaan Hasil

Positif : Preparat Kontrol Positif dan preparat uji akan memberikan warna flourecent hijau apel atau berstruktur

hijau-kuning dengan ukuran bervariasi dariberupa pasir/debu sampai berupa bentuk negri body. Kontrol Positif selalu diperiksa sebelum dan sesudah contoh uji.

Negatif : Preparat kontrol Negatif tidak memberikan warna flourecent, demikian juga contoh uji yang tidak

(11)

Hasil dan Pembahasan

Kegiatan monitoring rabies dilakukan secara aktif dan pasif. Pada monitoring aktif pengambilan sampel untuk pemeriksaan rabies dilakukan oleh tim BVet langsung ke beberapa kabupaten/kota yang berada diwilayah kerja BVet Bukittinggi. Dilapangan pengambilan sampel berkoordinasi dengan Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan atau yang membawahinya. Jumlah sampel yang berhasil diambil dalam kegiatan surveilans rabies secara aktif pada Tahun 2015 adalah sebanyak 783 serum, jumlah ini tidak mencapai target di TOR yaitu sebanyak 850 serum. Hal ini terjadi karena beberapa kendala dilapangan, tetapi jumlah sampel ini memenuhi target minimal sampel balai yaitu 653 sampel. Demikian juga dengan daerah yang ditarget di atas ada beberapa wilayah yang diganti karena kendala lapangan (daerah yang ditargetkan belum siap). Jumlah sampel dan daerah asalnya dapat dilihat pada tabel 4,5 dan 6. Sampel serum yang diambil berasal dari hewan yang sudah divaksin rabies, minimal 3 minggu postvaksinasi dan maksimal 12 bulan postvaksinasi. Pengambilan serum dengan rentang waktu 3 minggu sampai 12 bulan postvaksinasi dimaksutkan untuk mengetahui waktu yang tepat untuk melakukan revaksinasi. Tetapi dalam pelaksanaan dilapangan, beberapa sampel tidak mempunyai data yang lengkap kapan divaksin. Hal ini kemungkinan terjadi karena memang petugas dilapangan tidak mempunyai data yang lengkap atau karena tim BVet yang berangkat kelokasi tersebut dengan beban kerja yang tinggi, target sampel biasanya ada beberapa jenis hewan yang mesti diambil dengan jumlah yang tinggi, sehingga tentang data tersebut terlewatkan. Kurang lengkapnya data menyebabkan serum postvaksinasi yang diperiksa tidak dapat di kelompokan berdasarkan waktu vaksinasinya, sehingga tidak bisa disimpulkan kapan waktu terbaik untuk revaksinasi.

Tabel 4. Jumlah serum postvaksinasi dari Provinsi Sumatera Barat

Tabel 5. Jumlah serum postvaksinasi dari Provinsi Jambi

Bukittinggi 51

Lima Puluh Koto 30

Padang Panjang 50

Pasaman 51

Sijunjung 85

Total 267

KABUPATEN / KOTA JUMLAH

Batang Hari 5

Jambi 27

Kerinci 126

Sungai Penuh 60

Tanjung Jabung Timur 19

Total 237

(12)

Tabel 6. Jumlah serum postvaksinasi dari Provinsi Riau

Dari 783 serum tersebut diatas hanya 604 serum yang layak untuk diuji (tabel 7, 8 dan 9), yang lainnya lisis dan berwarna merah pekat, karena metode pengujian yang digunakan ELISA dimana yang diukur adalah densitas warna, serum yang jelek bisa menghasilkan hasil uji yang bias. Hal ini perlu menjadi perhatian, perlunya kualitas sampel yang bagus dari lapangan sehingga perlu ditinjau penyebabnya, apakah faktor SDM sehingga dibutuhkan pelatihan untuk mengingatkan kembali teknik pengambilan dan penanganan sampel yang baik, atau perlunya tim yang kelapangan membawa sentrifuse untuk mendapatkan sampel yang lebih baik.

Tabel 7. Jumlah serum yang diuji dari Provinsi Sumatera Barat

Tabel 8 Jumlah serum yang diuji dari Provinsi Jambi

Tabel 9. Jumlah serum yang diuji dari Provinsi Riau

Bengkalis 45 Dumai 27 Kuantan Singingi 91 Pekanbaru 92 Siak 24 Total 279

KABUPATEN / KOTA JUMLAH

Bukittinggi 51 20

Lima Puluh Koto 30 23

Padang Panjang 50 58

Pasaman 51 35

Sijunjung 85 75

Total 267 221

KABUPATEN / KOTA JUMLAH JUMLAH SERUM DIUJI

Batang Hari 5 5

Jambi 27 8

Kerinci 126 88

Sungai Penuh 60 50

Tanjung Jabung Timur 19 19

Total 237 170

KABUPATEN / KOTA JUMLAH JUMLAH SERUM DIUJI

KABUPATEN / KOTA JUMLAH JUMLAH SERUM DIUJI

Bengkalis 45 34 Dumai 27 7 Kuantan Singingi 91 86 Pekanbaru 92 72 Siak 24 24 Total 279 223

(13)

Pada grafiks 1 dibawah dapat dilihat dari 170 serum posvaksinasi Provinsi Jambi hanya 54 serum yang protektif ( 32 %). Serum Provinsi Jambi berasal dari Kabupaten Tanjung Jabung Timur dimana dari 19 serum yang diuji 63 % protektif, dari Kota Sungai Penuh 40 % protektif dari 19 serum yang diuji, dari Kabupaten Kerinci 18 % protektif dari 88 sampel yang diuji, dari Kota Jambi 63 % protektif dari 8 serum yang diuji, dari Kabupaten Batanghari 20 % protektif dari 5 sampel yang diuji.

Tingkat protektifitas vaksinasi yang dilakukan di 5 Kabupaten/Kota di Provinsi Jambi masih rendah, hal ini perlu menjadi perhatian mengingat cakupan vaksinasi minimal 70% dan jika dilapangan cakupan 70 % ini tercapai tetapi dengan hasil protektifitas masih rendah apakah mungkin hasil yang didapat dapat mengendalikan kasus rabies.

Tingkat protektifitas vaksinasi Provinsi Jambi pada Tahun 2014 sebesar 34 %, jadi pada Tahun 2015 ini tidak menunjukkan peningkatan hasil vaksinasi yang dilakukan. Rendahnya tingkat protektifitas bisa disebabkan oleh beberapa faktor antara lain, catatan vaksinasi dilapangan masih kurang, rantai dingin vaksin yang belum memadai, kondisi hewan yang kurang sehat waktu vaksinasi, juga faktor individu hewan yang divaksin dalam merespon vaksin, dan mutu vaksin yang digunakan. Untuk itu perlu kerja keras dan komitment semua pihak yang terkait, sehingga vaksinasi yang dilakukan dapat mencapai hasil yang diharapkan

Grafiks 1. Hasil uji ELISA serum dari Provinsi Jambi

Dari 223 serum posvaksinasi Provinsi Riau yang diuji, protektif 35 %, Sampel yang diuji berasal dari Kabupaten Siak, 29 % protektif dari 24 serum yang diuji, Kota Pekanbaru, 65 % protektif dari 72 sampel yang diuji, Kabupaten Kuantan Singingi protektif 15 % dari 86 sampel yang diuji, Kota Dumai 29 % protektif dari 7 sampel yang diuji, Kabupaten Bengkalis 29 % protektif dari 34 sampel yang diuji.

Pada Tahun 2014 presentasi protektifitas vaksinasi yang dilakukan oleh Provinsi Riau sebesar 60 %, terjadi penurunan yang signifikan dibandingkan protektifitas vaksinasi pada Tagun 2015 ini, sebesar 35 %. Hal ini perlu menjadi perhatian masalahnya dimana, secara umum masalahnya sama dengan yang terjadi pada Provinsi Jambi tetapi mengingat pada tahun sebelumnya sudah mencapai 60 % kenapa terjadi penurunan yang signifikan.

Vaksinasi merupakan salah satu cara untuk mengendalikan rabies, sehinggga perlu ditingkatkan cakupan, kualitas sehinggga hasil yang didapat sesuai denngan harapan. Sehinggga Indonesia bebas rabies Tahun 2020 dapat dicapai. Hal ini tentu memerlukan kerja keras dan kerjasama intra dan antar instansi yang terkait.

PRESENTASE POSITIF PROTEKTIF JUMLAH SAMPEL 15 20 58 63 16 88 18 20 50 40 54 170 32 12 19 63 0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 BATANG HARI JAMBI KERINCI SUNGAI PENUH TANJUNG JABUNG TIMUR PROV.JAMBI

(14)

Grafiks 2. Hasil uji ELISA serum dari Provinsi Riau

Protektifitas vaksinasi Provinsi Sumbar tahun 2015 sebesar 64 %, (135 serum protektif dari 223 serum yang diuji). Terjadi sedikit peningkatan jika dibandingkan dengan hasil pada Tahun 2014 yang sebesar 60 %. Presentase hasil uji serum postvaksinasi Provinsi Sumbar lebih tinggi jika dibandingkan dengan presentasi protektifitas hasil uji dari 2 Provinsi lainnya di wilayah kerja BVet Bukittinggi.

Monitoring postvaksinasi di Provinsi Sumbar dilakukan di Kabupaten Sijunjung dengan hasil 71 % protektitif dari 75 sampel yang diuji, di Kabupaten Pasaman dari 35 serum yang diuji, 49 % protektif, di Kota Padang panjang dari 58 serum yang diuji 60 % protektif, di Kabupaten Lima Puluh Kota dari 23 serum yang diuji, protektif sebesar 48 %, sedang di Kota Bukittinggi dari 20 serum yang diuji, 95 % protektif. Hasil yang didapatkan dari masing-masing kabupaten/kota jauh lebih baik jika dibandingkan dengan kab/kota lain yang diuji diwilayah kerja BVet Bukittinggi. Tetapi untuk mencapai Indonesia bebas rabies Tahun 2020 keberhasilan vaksinasi ini masih perlu ditingkatkan, disamping langkah-langkah lain yang disepakati secara nasional untuk mengendalikan rabies di Indonesia.

Grafiks 3. Hasil uji ELISA serum dari Provinsi Sumbar

10 34 29 2 7 29 13 86 15 47 72 65 7 24 29 79 223 35 PRESENTASE POSITIF PROTEKTIF JUMLAH SAMPEL 0 50 100 150 200 250 BENGKALIS DUMAI KUANTAN SINGINGI PEKANBARU SIAK PROV.RIAU 19 20 95 11 23 48 35 58 60 17 35 49 53 75 71 135 223 64 PRESENTASE POSITIF PROTEKTIF JUMLAH SAMPEL BUKITTINGGI LIMA PULUH KOTO PADANG PANJANG PASAMAN SIJUNJUNG PROV.SUMBAR

(15)

Monitoring rabies untuk Provinsi Kepri, yang berdasarkan Surat keputusan Menteri Pertanian RI di Propinsi Kepulauan Riau No.240/Kpts/PD650/4/2015), Kabupaten Kepulauan Mentawai (No.238/Kpts/PD650/4/2015) dan Kabupaten Kepulauan Meranti (No.239/Kpts/PD650/4/2015) dilakukan berdasarkan laporan kasus negatif dari instansi yang bertanggungjawab terhadap kesehatan hewan di daerah tersebut. Pada Tahun 2015 tidak ada kasus rabies di Provinsi Kepri. Bebas rabies bukan berarti tugas dari pihak-pihak terkait sudah selesai tetapi masih perlu kerja sama dan kerja keras dari pihak-pihak terkait untuk mempertahankan daerah ini tetap bebas rabies

Monitoring rabies di wilayah kerja dilakukan juga berdasarkan hasil identifikasi virus rabies yang dilakukan di laboratorium virologi BVet Bukittinggi dan Laboratorium type B Provinsi Jambi. Hasil uji dapat dilihat pada grafiks 4 dibawah. Prevalensi rabies di Provinsi Sumbar berdasarkan hasil uji laboratorium sebesar 82 %, prevalensi rabies Provinsi Jambi sebesar 89 % dan prevalensi rabies Provinsi Riau sebesar 80 %.

ika dilihat berdasarkan hasil identifikasi virus yang dilakukan di laboratorium Provinsi Sumbar sebesar 82 %, memang sudah tidak semua HPR yang menggigit positif rabies tetapi untuk mencapai prevalensi 0 % masih perlu meningkatkan protektifitas vaksinasi yang dilakukan dan juga meningkatkan cakupan vaksinasi yang dilakukan oleh pihak terkait. Demikian juga untuk Provinsi Jambi dan Provinsi Riau masih perlu kerja keras dan komitmen yang tinggi untuk memberantas penyakit rabies.

Prevalensi rabies di ketiga wilayah diatas masih sangat tinggi, sehinggga benar-benar diperlukan kerja keras dan kerjasama antar dan intra instansi untuk mewujudkan Indonesia bebas rabies Tahun 2020 sesuai kesepakatan regional bebas rabies Tahun 2020.

Salah satu upaya untuk mengendalikan penyakit rabies adalah vaksinasi. Berdasarkan hasil monitoring postvaksinasi rabies Provinsi Sumbar Tahun 2015 tingkat protektifitas vaksinasi yang dilakukan di Provinsi Sumbar sebesar 64 %.

Upaya untuk mengendalikan rabies dengan vaksinasi dan eliminasi anjing yang tidak optimal tidak banyak memberikan hasil. Hal ini mungkin disebabkan karena cakupan vaksinasi yang tidak memadai. Cakupan vaksinasi merupakan salah satu hal yang sangat penting dalam pengendalian suatu penyakit, disamping kualitas vaksin, teknik aplikasi dan waktu pelaksanaan vaksinasi (Rahman dan Maharis, 2008; Touihri et al.,2011).

Penyebab lainnya yang perlu dikaji antara lain rentang waktu kekebalan yang ditimbulkan oleh vaksin yang dipakai terlalu singkat, penanganan vaksin yang tidak baik (misalnya rantai dingin yang tidak terpenuhi), salah aplikasi, ataukah terjadi perbedaan struktural gen pada glikoprotein virus rabies. Yang disebut terakhir itu dapat menyebabkan vaksin yang diberikan tidak mampu lagi memberikan protektivitas pada anjing yang divaksin. Seperti diketahui bahwa glikoprotein virus rabies merupakan protein yang berperan dalam menginduksi produksi antibodi netralisasi yang bersifat protektif setelah vaksinasi. Glikoprotein juga sebagai faktor penting dalam patogenisitas virus rabies (Benmansour et al., 1991; Susetya, 2005; Nagarajan et al., 2006; Maillard dan Gaudin, 2002).

Deteksi antibodi rabies sangat penting dilakukan untuk mengetahui efektivitas vaksin rabies. Jenis vaksin tampaknya menghasilkan respon imun yang berbeda. Hasil penelitian Minke et al. (2009) menunjukkan bahwa vaksin Rabisin menginduksi respon kebal tertinggi pada hari 14 setelah vaksinasi yaitu 87%. Vaksin yang lain, yaitu Nobivac, disebutkan menginduksi kekebalan yang lebih seragam yang mencapai 100% (Minke et al. 2009). Penelitian yang dilakukan di Nigeria (Ohore et al. 2007) menunjukkan bahwa titer antibodi tertinggi dicapai antara 3 sampai 6 bulan pasca vaksinasi (PV) dan terendah antara 9 sampai 12 bulan PV.

Kunci utama dalam menangani rabies adalah mencegah pada sumbernya yaitu hewan. Sesuai dengan pedoman pengendalian rabies terpadu, metoda pemberantasan rabies dilakukan dengan a) vaksinasi dan eliminasi dilakukan

(16)

pada anjing, kucing, dan kera dengan fokus utama pada anjing, b) vaksinasi dilakukan terhadap anjing dan kera berpemilik, dan c) eliminasi dilakukan terhadap anjing tidak berpemilik dan anjing berpemilik yang tidak divaksinasi/diliarkan (Direktorat Kesehatan Hewan, 2006).

Upaya untuk mengendalikan rabies dengan vaksinasi dan eliminasi anjing yang tidak optimal tidak banyak memberikan hasil, bahkan didaerah-daerah tertentu kasus rabies semakin meningkat (Adjid et al., 2005). Hal ini mungkin disebabkan karena cakupan vaksinasi yang rendah (kurang dari 70%) atau vaksin yang digunakan hanya mampu memberikan kekebalan dalam waktu yang relatif singkat. Cakupan vaksinasi minimal 70% telah dibuktikan di banyak negara berhasil mencegah terjadinya wabah. Namun demikian pemberantasan rabies tidak hanya tergantung pada masalah anjing, tetapi juga menyangkut masalah manusia. Pada dasarnya keberhasilan pengendalian dan pemberantasan rabies bergantung kepada tingkat kesadaran masyarakat. Perlu ada perubahan perilaku yang membuat masyarakat dapat menerima dan mematuhi berbagai kewajiban sesuai aturan yang berlaku. Kewajiban yang dimaksud antara lain mengandangkan atau mengikat anjing yang dimiliki, merawat dan menjaga kesehatannya, serta memvaksinnya secara rutin. Hal ini akan membantu petugas pengendali rabies menjadi lebih mudah mengatasi keadaan.

Tetapi untuk wilayah Sumatera Barat, kesadaran masyarakat untuk melakukan vaksinasi rabies terhadap anjingnya sangat rendah, dimana masyarakat memelihara anjing untuk hobi berburu dan adanya anggapan ditengah masyarakat jika anjing mereka divaksin akan menyebabkan anjing tersebut kehilangan tenaga untuk berburu. Disini dibutuhkan ketegasan hukum bahwa setiap masyarakat yang memelihara anjing harus dipelihara dengan baik dan harus divaksin rabies, jika perlu diberikan sanksi, bagi yang melanggar. Sanksi bisa berupa denda, yang harus dijalankan dengan komitmen yang tinggi.

Grafiks 4. Hasil Identifikasi virus rabies wilker BVet Bukittinggi

132 47 5 108 42 4 82 89 80 0 20 40 60 80 100 120 140 PROVINSI SUMBAR PROVINSI JAMBI PROVINSI RIAU PRESENTASE POSITIF JUMLAH SAMPEL

Prevalensi

Rabies

(17)

Kesimpulan dan Saran

4.1 KESIMPULAN

1. Dari 170 serum posvaksinasi Provinsi Jambi hanya 54 serum yang protektif ( 32 %). 2. Dari 223 serum postvaksinasi Provinsi Riau yang diuji, protektif 35 %,

3. Protektifitas vaksinasi Provinsi Sumbar sebesar 64 %, (135 serum protektif dari 223 serum yang diuji). 4. Provinsi Kepri, Kabupaten Meranti dan Kabupaten Mentawai bebas rabies

5. Prevalensi rabies di Provinsi Sumbar berdasarkan hasil uji laboratorium sebesar 82 %. 6. Prevalensi rabies Provinsi Jambi sebesar 89 %.

7. Prevalensi rabies Provinsi Riau sebesar 80 %.

Permasalahan yang terjadi monitoring rabies 2015 :

1. HPR yang divaksin tidak tercatat dengan baik

2. Pengambilan sampel door to door dengan jarak yang lumayan jauh, hal ini menyebabkan banyak sampel yang rusak 3. Kit pengujian kurang

4.2 SARAN

1. Masih perlu ditingkatkan pelaksanaan program vaksinasi dalam hal cakupan vaksinasi yang dilakukan 2. Penggunaan vaksin yang bermutu dan aplikasi vaksin yang sesuai standart

3. Perlu ditingkat pengawasan lalu lintas HPR

4. Perlu ditingkat kesadaran masyarakat tentang bahaya rabies dan pentingnya peran masyarakat dalam membantu program pemerintah untuk mewujudkan Indonesia bebas rabies 2020

5. Perlu ditingkat koordinasi dan kolaborasi intra dan antar sektoral.

6. Program kontrol populasi HPR perlu dilakukan terutama pada daerah-daerah dengan kasus gigitan HPR tinggi atau pada daerah-daerah yang secara historis bebas rabies.

(18)

Adjid.R.M.A., A.Sarosa, T.Syapriati, dan Yuningsih. 2005. Penyakit rabies diIndonesia dan pengembangan teknik diagnosisnya. Wartazoa. 15(4 ) : 165-172

Anonim. 2004. WHO Expert Consultation on rabies first report. WHO technical Report series, 931.

Balai Veteriner Bukittinggi. 2014. Penyidikan Penyakit Rabies Dalam Rangka Pemberantasan Penyakit Rabies di Wilayah Kerja Balai Veteriner. Balai Veteriner Bukittinggi. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian.

Benmansour A., H. Leblois, P. Coulon, C.Tuffereau, Y. Gaudin, A. Flamand dan F. Lapay. 1991. Antigenicity of Rabies Virus Glycoprotein. Journal of Virology. 65 (8): 4198-4203.

Bingham J. 2005. Canine Rabies Ecology in Southern Africa. Emerging Infectious Diseasses. 11(9) : 1337-1341. www.cdc.org. Diakses Maret 2011.

Direktorat Kesehatan Hewan. 2006. Pedoman Pengendalian Rabies Terpadu.Departemen Pertanian, Direktorat Jenderal Peternakan, Direktorat Kesehatan Hewan.

Kang B., J.S.Oh, C.S.Lee, B.K.Park, Y.N.Park, K.S.Hong, K.G.Lee, B.K.Cho, and D.S.Song. 2007. Evaluation of Rapid Immunodiagnostic Test kit for Rabies Virus. Journal of Virology Methods.145(2007): 30-36

Maillard.P.A. dan Y. Gaudin. 2002. Rabies virus glycoprotein can fold in two alternative, antigenically distinct conformations depending on membraneanchor type. Journal of General virology. 83 : 1465-1476.

Minke.J.M., J.Bauvet, F.Cliquet, M.Wasniewski, A.L.Gulot, L.Lemaiter, C.Cariou, V.Cozette, L.Vergne dan P.M.Guigal. 2009. Comparison of Antibody Responses After vaccination with two inactivated rabies vaccines. Short communication. Vet.Microbiology. 133 (2009) : 283-286.

Nagaraja T., B. Mohanasubramanian, E.V. Seshagiri, S.B. Nagendrakumar, M.R.Saseendranath, M.L. Satyanarayana, D. Thiagarajan, P.N. Rangarajan, dan V.A. Srinivasan. 2006. Molecular Epidemiology of Rabies Virus Isolates in India. Journal of Clinical Microbiology. 44 (9) : 3218-3224.

Ohore.O.G., B.O.Emikpe., O.O.Oke, and D.O.Oluwayelu. 2007. The seroprofile of rabies antibodies in companion urban dogs in Ibalan Nigeria. Journal of animal and veterinary advance 6 (1). 53-56. Medwell online.

Rahman A. dan R. Maharis. 2008. Analisis Keberhasilan Vaksin Oral Rabies Sebagai Perbandingan Pengendalian Rabies di Indonesia. Buletin Pengujian Mutu Obat Hewan.13 (2008).

Susetya H. 2005. Analisis genetik gen penyandi glikoprotein dari virus rabies isolat Indonesia. Seminar nasional teknologi peternakan dan veteriner.

Touihri L., I. Zaouia, K.Elhili, K.Dellagi, and C.Bahloul. 2011. Evaluation of Mass Vaccination Campaign Coverage Against Rabies in Dogs in Tunisia. Zoonoses and Public Health, 58: 110-118. Doi:10.1111/j.1863- 2378.2009.01306.x

William H Wunner and Deborah J Briggs. 2010. Rabies in the 21st century.

(19)

KEMENTERIAN PERTANIAN

BALAI VETERINER BUKITTINGGI

H T T P : // B V E T B U K I T T I N G G I . D I TJ E N N A K . P E R TA N I A N . G O . I D

@

BVETBUKITTINGGI BVET-BUKITTINGGI SMS INFOVET 0812 2159 2225 SMS SPECIMENT 0812 2159 2226

Kementerian Pertanian

Balai Veteriner Bukittinggi

Jl. Raya Bukittinggi-Payakumbuh Km.14 Baso Kab. Agam Sumbar PO.Box 35 Bukittinggi 26101

bppv2_bukittinggi@yahoo.co.id infovetbppbbukittinggi@gmail.com 0752 - 28300 0752 - 28290

Gambar

Tabel 1. Jumlah target sampel monitoring aktif rabies 2015 di   Propinsi Sumatera Barat
Tabel 3. Jumlah target sampel monitoring  aktif rabies 2013 dari Propinsi Riau
Tabel 4. Jumlah serum postvaksinasi dari Provinsi Sumatera Barat
Tabel 6. Jumlah serum postvaksinasi dari Provinsi Riau

Referensi

Dokumen terkait

Melihat pentingnya selulase dalam biokonversi selulosa menjadi glukosa sebagai bahan untuk produksi etanol, maka diperlukan optimasi terhadap produksi selulase kasar

Khusus untuk air tambang, porsi terbesar berasal dari aktivitas pembukaan lahan dan material buangan (waste) yang mudah tererosi sehingga mempengaruhi baku mutu air limpasan yang

Penelitian ini menyimpulkan bahwa penggunaan strategi word square dapat meningkatkan konsentrasi belajar siswa dalam pembelajaran PKn pada siswa kelas IIIA SD Al Firdaus

Biomekanika merupakan ilmu yang memfokuskan pada teknik gerak, sehingga sangat logis bila para guru pendidikan jasmani harus menggunakan prinsip-prinsip biomekanika

Konsep Nilai Hasil (Earned Value) merupakan salah satu metode pengendalian yang digunakan untuk mengendalikan biaya dan waktu proyek secara terpadu. Metode ini

Bahwa dalam rangka mengendalikan usaha/kegiatan yang dapat menimbulkan bahaya, kerugian dan gangguan terhadap masyarakat serta kelestarian lingkungan dan sehubungan

Stabilitas emosi merupakan keperibadian yang mencirikan seseorang sebagai seorang yang tenang, percaya diri, tentram (positif) versus gugup, tertekan dan tidak

62 P5304021202 FATUMNUTU Nusa Tenggara Timur Timor Tengah Selatan Ds..