• Tidak ada hasil yang ditemukan

MODERNISASI PENDIDIKAN ISLAM AWAL ABAD 20 (Studi Kasus di Sumatera Barat) Rini Rahman

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MODERNISASI PENDIDIKAN ISLAM AWAL ABAD 20 (Studi Kasus di Sumatera Barat) Rini Rahman"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

174

MODERNISASI PENDIDIKAN ISLAM AWAL ABAD 20 (Studi Kasus di Sumatera Barat)

Rini Rahman

MKU FIS Universitas Negeri Padang Email: rinirahman1978@gmail.com

Abstract

The modernisation of Surau is marked by the start of Islamic Education institutions such as Sekolah Adabiyah, Sumatera Thawalib, Madrasah Diniyah, Madrasah Tarbiyah Islamiyah, and Normal Islam. These institutions apply a curriculum which includes both Islamic subjects as well as general subjects.The students graduating from these modern institutions bring positive influences to the development of Islamic education especially in West Sumatera.

Keywords: Education, Educational Institutions, Modernisation Abstrak

Modernisasi surau ditandai oleh berdirinya institusi pendidikan Islam yang modern, seperti Sekolah Adabiyah, Sumatra Thawalib, Madrasah Diniyah, Madrasah Tarbiyah Islamiyah, Normal Islam dan sebagainya. Model-model lembaga pendidikan seperti Sumatra Thawalib, Adabiyah dan Madrasah Diniyah tersebut adalah menggunakan kurikulum yang tidak hanya mengajarkan pendidikan agama, tetapi juga memasukkan pelajaran umum.Lulusan dari lembaga-lembaga pendidikan modern di Sumatera Barat ini terutama yang berasal dari luar Sumatera Barat membawa pengaruh positif terhadap modernisasi pendidikan Islam di daerah mereka.

Kata kunci: Pendidikan, Institusi Pendidikan, Modernisasi Pendahuluan

Pada awal abad ke-20, di Sumatera Barat ditandai dengan periode yang penuh pergolakan sosial dan intelektual. Berpuluh-puluh buku polemik, baik dalam bahasa Arab maupun bahasa Melayu mulai banyak diterbitkan, dan berbagai majalah, surat kabar yang mewartakan hal-hal yang berupa pergolakan pemikiran, dan aliran-aliran dalam pemahaman mazhab dalam syari’at Islam, mulai banyak bermunculan, dan pengamalan dalam adat sesuai panduan syara’, agama Islam sangat ramai dibicarakan. Dalam hal ini gerakan Islam modernis atau yang lebih dikenal sebagai Kaum Muda sangat besar peranannya. Ulama-ulama Kaum Muda mendapat pengaruh besar dari modernis Islam di Kairo, yaitu Muhammad Abduh dan Syekh Muhammad Rasyid Ridha, dan juga senior mereka Jamaluddin Al-Afghani. Para pemikir ini punya kecenderungan berpolitik, namun karena pengaruh Syekh Ahmad Khatib Al

Minangkabawi yang menjadi guru ulama Kaum Muda generasi pertama mereka umumnya hanya memusatkan perhatian pada dakwah dan pendidikan. Para pelopor gerakan pembaharuan di Minangkabau yang menyebarkan pikiran-pikirannya dari Mekah.

Hamilton yang dikutip oleh Burhanuddin Daya menyebutkan bahwa gerakan pembaharuan atau modernisasi di Minangkabau lebih banyak terpusatkan pada lokasi-lokasi surau yang telah berkembang dengan baik. Di lembaga ini, para pengajar agama dan pemuda-pemuda yang pernah pergi ke Makkah dan pulang ke Minangkabau, kemudian mengajar di surau asalnya, gerakan itu berkembang karena surau mempunyai hubungan terbuka dengan masyarakat luas (Daya 1995:64). Dari para pengajar inilah usaha pemurnian Islam dilahirkan di Sumatera Barat, bukan hanya pemurnian yang terjadi melainkan modernisasi pendidikan khususnya berkaitan dengan surau

(2)

sebagai lembaga pendidikan Islam.

Tokoh reformasi utama dalam proses modernisasi surau ini adalah Ahmad Khatib Al-Minangkabaui. Meskipun beliau tidak pernah kembali ke Minangkabau, tetapi melalui murid-muridnya yang kembali ke Nusantara (Ridwan 1993:87). Di antara mereka adalah Muhammad Thaib Umar, Abdul Latif Syakur, Abbad Abdullah, Ibrahim Musa Parabek, Agus Salim, Abdul Karim Amrullah, Daud Rasyidin, dan Sultan Darap Pariaman. Semuanya kembali ke Nusantara berkiprah dalam dunia pendidikan untuk melakukan pembaharuan dan modernisasi surau yang telah terbelakang dan tertinggal akibat hadirnya sekolah-sekolah sekuler yang didirikan oleh Hindia Belanda, selain kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang kurang menguntungkan terhadap perkembangan pendidikan Islam di Nusantara umumnya dan di Minangkabau khususnya. Modernisasi/Pembaharuan Pendidikan Islam Awal Abad ke-20

Dalam kamus besar bahasa Indonesia (2002:751), modernisasi berarti proses pergeseran sikap dan mentalitas sebagai warga masyarakat untuk dapat hidup sesuai dengan tuntutan masa kini.

Modernisasi Islam dipahami sebagai perubahan paradigma pemikiran umat Islam, bukan membangun definisi Islam yang baru. Dilihat dari alur pemikiran, lahirnya paradigma ini disebabkan “ketidakrelaan” kelompok pemikir terhadap ketertinggalan umat Islam dalam “merancah” dunia sosialnya, serta kepicikan pemikiran umat Islam dalam mentransfer literasinya ke dalam dunia nyata. Modernisasi pendidikan Islam dapat dipahami sebagai perubahan pemikiran dalam bidang pendidikan Islam, memperbaiki sistem pendidikan lama menjadi sistem yang baru dalam rangka memperbaiki mutu pendidikan Islam. Istilah modernisasi dalam pendidikan Islam memiliki makna yang sama dengan pembaharuan/pembaharuan dalam pendidikan Islam. Dalam pembahasan selanjutnya maka akan dipergunakan kedua istilah tersebut.

Awal abad XX pendidikan Islam di Indonesia mulai memasuki pembaharuan. Gerakan pembaharuan ini dilatarbelakangi oleh dua faktor yaitu faktor internal dan ekternal (Ramayulis 2012:295-297). Faktor Internal yaitu: (a) Dorongan untuk meningkatkan perlawanan terhadap kolonial Belanda; (b) Rasa

tidak puas terhadap sistem pendidikan kolonial Belanda; (c) Rasa tidak puas terhadap pengalaman Islam dan penerapan adat di tengah-tengah masyarakat; (d) Keinginan kalangan kaum muda untuk memurnikan ajaran Islam. Sedangkan Faktor eksternal yaitu; pengaruh pemikiran tokoh-tokoh pembaharu Timur Tengah yang terjadi di akhir abad ke-19, khususnya Jamal al-Din al-Afghani dan Muhammad Abduh. Meskipun sikap politik mereka secara tegas menunjukkan anti Barat karena praktek penjajahan yang dilakukannya terhadap negara-negara Islam, Jamaluddin al Afghani dan Muhammad Abduh memberi dukungan kepada umat Islam untuk mempelajarii ilmu pengetahuan yang lebih luas sebagaimana sudah dialami juga terlebih dahulu oleh sebahagian negara-negara Barat. Dalam kaitan inilah, mereka menyerukan penataan sistem kelambagaan sosial, politik, ekonomi, dan termasuk pendidikan, yang lebih memungkin bagi umat Islam.

Daerah Minangkabau dianggap sebagai salah satu titik awal masuknya ide-ide modernis ke Nusantara. Hal ini bisa disimpulkan dari pembahasan Deliar Noer dalam bukunya Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Di dalam buku tersebut Deliar Nooer memulai pembahasan tentang asal usul dan pertumbuhan gerakan modern Islam dengan terlebih dahulu membahas daerah Minangkabau. Menurutnya daerah Minangkabau memiliki peranan penting dalam penyebaran cita-cita pembaharuan ke daerah-daerah lain (Deliar 1996:37). Kontak antara Minangkabau dengan dunia Arab terjalin terutama melalui media haji, namun kemudian melebar menjadi kontak-kontak intelektual yang lebih permanen. Ini dimungkinkan antara lain oleh adanya perbaikan ekonomi di daerah ini sebagai hasil langsung dari internasionalisasi perdagangan kopi dan hasil-hasil bumi lainnya. Ringkasnya, dinamisme daerah ini yang sedemikian menonjol telah membuatnya lebih dahulu merasakan modernisasi dalam banyak hal.

Gelombang Modernisasi/Pembaharuan Di Minangkabau

Di Minangkabau, paradigma pemikiran modernisasi Islam ini sebenarnya sudah muncul semenjak lahirnya puritanisasi sebagai pendobrak pemurnian pemahaman Islam orang Minangkabau yang sinkretisme. Namun, modernisasi Islam lebih berkembang ketika

(3)

awal abad ke-19 seiring dengan bergeraknya kaum agama membangun sekolah-sekolah agama modern, mengubah sistem surau yang tradisional dengan sistem pendidikan modern yang klasikal, berijazah dan memiliki kurikulum. Di Padang Panjang misalnya, surau Jembatan Besi dengan duet tenaga pengajar yakni Haji Abdullah Ahmad dan Haji Rasul menjadi cikal bakal sekolah Thawalib. Sekolah ini sangat berpengaruh di Minangkabau (Daya 1995:63).

Proses modernisasi dilakukan melalui dua cara; Pertama, melalui injection motivation, dan kedua melalui revolusi think tank. Cara pertama lebih dimotivasi oleh kemajuan dunia luar. Di Minangkabau, modernisasi dalam institusi pendidikan sangat dipengaruhi oleh sistem pendidikan luar terutama Mekah dan Mesir. Sistem ini dibawa oleh ulama-ulama Minangkabau dan diterapkan dalam sistem pendidikan Islam lokal. Akhirnya, terjadi pembaharuan dalam isntitusi pendidikan surau menjadi madrasah, yang klasikal dan tidak lagi berhalaqah, serta terjadi perombakan-perombakan dalam kurikulum pendidikan (Gazalba 1983:55).

Pembaharuan Pendidikan Islam Kaum Muda Di Minangkabau (Sumatera Barat)

Disebabkan kondisi riil pendidikan di Minangkabau, dimana di suatu sisi surau sebagai lembaga pendidikan Islam mulai termarginalkan dan terkotak-kotaknya ulama Islam, di sisi lain lembaga pendidikan sekuler penjajah Belanda mulai mendapat tempat di sebagian hati masyarakat pribumi. Kondisi ini mendorong kaum muda (tokoh-tokoh muda Islam) untuk mengadakan pembaharuan pendidikan Islam. Pembaharuan pendidikan Islam di Minangkabau mencapai puncaknya pada awal abad ke-20, dipelopori oleh empat tokoh yang dikenal dengan “empat serangkai” yang merupakan murid Syekh Ahmad Katib al-Minangkabawi, seorang ulama Minangkabau yang menetap di Mekkah dan menjadi imam besar masjid al-Haram dan mengajar di Mekkah. Di antara muridnya adalah Syekh Muhammad Jamil Jambek di Bukittinggi, DR. H. Abdullah Ahmad di Padang Panjang dan Padang, Syekh Muhammad Thalib Umar di Batu Sangkar, dan DR. H. Abdul Karim

Amrullah di Maninjau (Azra 2003: 141). Di samping tokoh empat serangkai di atas ada lagi tokoh yang terkenal karena beliau mempelopori berdirinya organisasi yang menjamin dan melindungi perkembangan madrasah yaitu Syekh Sulaiman Ar-Rasuly. Beliau mendirikan organisasi yang bernama “Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI).

Selain tokoh-tokoh keluaran (alumni) Mekkah yang dididik Syekh Ahmad Khatib, ada beberapa tokoh pembaharu pendidikan Islam yang merupakan hasil didikan di Minangkabau sendiri walau tak lepas dari pemikiran murid-murid Ahmad Khatib, tokoh yang sangat menonjol adalah Zainuddin Labay el-Yunusi dan Rahmah el-Yunusiah.

Tokoh-tokoh pendidikan Islam tersebut pada awalnya dididik di lingkungan surau, kemudian melalui pengembaraan intelektualnya baik belajar di lembaga pendidikan formal maupun autodidak menawarkan ide-ide segarnya demi kemajuan pendidikan Islam yang bisa bersaing dengan lembaga sekuler sekaligus mampu menjawab kebutuhan masyarakat. Ide-ide mereka ada yang disalurkan melalui media massa, atau melalui lembaga pendidikan yang didirikan. Lembaga-lembaga pendidikan yang mereka dirikan memiliki ciri khas tersendiri yang siap ditawarkan ke tengah-tengah masyarakat (Ramayulis 2012:299).

Dari beberapa corak lembaga pendidikan yang ditawarkan ada beberapa ciri yang berbeda, hal ini dapat dikelompokkan kepada tiga corak; pertama, corak yang lebih mengadopsi pola pendidikan Kolonial Belanda, yang diwakili oleh Abdullah Ahmad; mendirikan pendidikan modern ala sekolah. Kedua, corak yang mempertahankan ciri khas surau dengan mengadakan pembaharuan /modernisasi yang berkiblat ke Timur Tengah, yang diwakili oleh Syekh Abdul Karim Amrullah; mereka mendirikan pendidikan modern ala madrasah.. ketiga, pembaharuan pendidikan yang beorientasi kepada kebutuhan masyarakat (social demand) yang diwakili oleh Zainuddin Labay Yunusi dan Rahmah el-Yunusiah; mereka mendirikan pendidikan modern ala sekolah Kejuruan (takhassus), walaupun belum sepenuhnya.

(4)

Tabel 1: Corak Pendidikan dalam Rangka Modernisasi Pendidikan Corak Pendidikan Lembaga Pendidikan Tahun Berdiri Pendiri Keterangan Pendidikan Modern ala Sekolah Adabiyah School

1907 Abdullah Ahmad - Menerapkan sistem klasikal - Integrasi kurikulum ilmu agama

dan umum

- Menggunakan metode debating club

- Perlu sumber dana alternatif Pendidikan Modern ala Kejuruan Diniyah School 1915 Zainuddin Labay el-Yunisi

- Sistem pembelajaran bersifat klasikal

- Kurikulum sudah teratur materi pelajaran meliputi agama dan umum

- Berorientasi output yang bermutu baik bidang keagamaan maupun umum

Diniyah Putri 1923 Rahmah el-Yunusiah

Memiliki berbagai program pendidikan baik umum maupun agama seperti program pendidikan agama Islam, program pendidikan khusus program keterampilan, dan program pendidikan bahasa Arab Pendidikan

Modern ala Madrasah

Sumatera Thawalib

1918 Syekh Haji Abdul Karim Amrullah

Awalnya merupakan sebuah organisasi yang bergerak dalam bidang pendidikan yang meliputi dua lembaga yaitu Sumatera Thawalib di Padang Panjang dan Di Parabek. Namun karena perkembangan politik, maka pengaruh politik juga masuk ke lembaga ini

Normal Islam

1931-1946

Mahmud Yunus Menggunakan metode modern dalam melaksanakan kegiatan belajatr seperti pemakaian papan tulis, meja, kursi tempat duduk untuk para siswa

Madrasah Tarbiyah Islamiyah

1928 Syekh Sulaiman ar-Rasuli, Syekh Jamil Jaho, Syekh Abbas, Syekh Abdul Wahid, M. Arifin

BatuHampar, Syekh Khatib Ali, Syekh Makhdum, Syekh M. Yunus

MTI didirikan berbentuk organisasi yang betujuan untuk memajukan pendidikan dan pengajaran Islam

Sumber: diolah penulis, 2015 Pendidikan Modern ala Sekolah Adabiyah School

Lembaga pendidian Islam yang pertama yang menerapkan sistem klasikal, menurut Mahmud Yunus adalah Adabiyah School (Sekolah Adabiyah). Pada mulanya sekolah ini didirikan di Padang panjag pada tahun 1907 oleh Haji Abdullah Ahmad. Karena sifatnya yang berbeda dengan surau, yakni

menggunakan papan tulis, meja dan bangku, maka ia mendapat reaksi dan tantangan yang keras dari masyarakat. Setelah dua tahun bertahan, akhirnya ia menutup sekolah tersebut dan pindah ke Padang, mendirikan kembali sekolah yang sama pada tahun 1909 (Daya 1995:82). Pada awalnya Adabiyah School merupakan lembaga pendidikan yang berbentuk madrasah, artinya lembaga ini materi agama

(5)

merupakan materi pokok. Adabiyah School bertahan sebagai madrasah sampai tahun 1914. Pada tahun 1915 Adabiyah School menerima subsidi dana dari pemerintah dan berubah menjadi HIS dengan nama Hollandsh Malaiche School Adabiyah (Noer 1996:52-53), artinya lembaga ini tidak jauh beda dengan sekolah-sekolah yang didirikan Belanda yang mengutamakan materi umum. Bedanya, kalau sekolah yang didirikan Belanda bersifat sekuler (terlepas dari ajaran agama), sedangkan Adabiyah nilai-nilai Islam masih dipertahankan. Dengan perubahan nama ke Adabiyah materi umum menjadi dominan, tanpa mengenyam-pingkan materi agama, khususnya al-Qur’an dan al-Sunnah.

Di antara pemikiran Abdullah Ahmad tentang pendidikan yaitu (Nata 2005:161-167):

1. Menyerukan adanya pemerataan pendidikan. Hal ini sebagai reaksi atas kebijakan Belanda yang diskrimimatif dalam bidang pendidikan. Masyarakat pribumi tidak mendapatkan kesempatan belajar yang wajar, kecuali bagi golonngan priyayi.

2. Perlunya integrasi kurikulum antara ilmu agama dan umum. Ide ini diaplikasikan di Adabiyah School khususnya sesudah Adabiyah berubah menjadi HIS. Menurut Abdullah Ahmad, baik bahasa Arab maupun bahasa Belanda memegang peranan amat penting dalam rangka mencapai cita-cita pembaharuan maupun dalam rangka penterjemahan ilmu pengetahuan yang semula berbahasa asing ke dalam bahasa Melayu (Indonesia). 3. Perlu sumber dana alternatif.

4. Ide kemodernan, yakni adanya keterbukaan dalam penerimaan murid di Adabiyah dari segala lapisan masyarakat yang penting beragama Islam. Guru-gurunya pun dipilih guru-guru yang berbobot setara dengan bobot guru di sekolah Belanda. Ketetapan dalam menerima murid dan memilih guru-guru yang memiliki kemampuan setingkat dengan guru-guru di sekolah Belanda ini diharapkan lulusan HIS Adabiyah sama dengan lulusan HIS yang dilaksanakan pemerintah Belanda.

5. Memperluas pemakaian metode mengajar, metode mengajar tidak hanya ceramah, tetapi Adabiyah menggunakan pula metode debating club yakni metode diskusi yang

memberikan kesempatan kepada murid untuk berkreasi. Metode ini memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada murid untuk bertanya dan berdialog secara terbuka tentang berbagai hal yang menyangkut masalah agama yang pada saat itu dianggap sangat tabu dan kurang dianggap beradab. Hal ini dilakukan sebagai upaya mengubah cara lama yang menempatkan para siswa secara pasif dan kurang diberikan kebebasan, sementara waktu lebih banyak dipergunakan oleh guru. Disamping itu digunakan juga metode ganjaran dan hukuman, metode bermain dan rekreasi.

Adabiyah School dianggap sebagai pelopor pola pendidikan nasional Indonesia, yang pertama sebagai lembaga pendidikan umum plus agama, yang kedua sebagai lembaga pendidikan agama plus umum (Daya 1995:89). Pendidikan Modern ala Kejuruan

Diniyah School

Pada tahun 1915, Zainuddin Labay el-Yunusi mendirikan Diniyah School di Padang Panjang. Lembaga ini sebagian merupakan perkembangan dari Surau Jembatan Besi. Sistem yang dipergunakan dalam Diniyah School hampir menyerupai sekolah pemerintah ketika itu, terdiri dari tujuh kelas. Pada tingkat bawah bahasa yang digunakan adalah bahasa Melayu (Indonesia) dan memakai buku-buku yang berbahasa Indonesia, tapi juga ada yang berbahasa Arab dan kebanyakan buku yang digunakan adalah buku-buku karangan sendiri. Kemudian untuk tingkat atas barulah memakai kitab-kitab yang berbahasa Arab terbitan Mesir atau Kairo (Yunus 1993:9).

Di antara pembaharuan pendidikannya adalah: (1) sistem pembelajaran sekolah yang bersifat klasikal, (2) materi pembelajaran meliputi mata pelajaran agama dan umum, (3) kurikulumnya sudah disusun secara teratur, (4) sekolahnya berorientasi kepada output yang bermutu baik bidang keagamaan maupun bidang umum. Untuk bidang agama sistem pembelajarannya berkiblat pada sistem pembelajaran yang dilaksanakan di Mesir. Sementara bidang umum, ia cenderung mengambil sistem pembelajaran yang dikembangkan oleh Musthafa kemal Pasya, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha.

Pada tahun 1924 (dalam usia 34 tahun) Zainuddin labay el-Yunusi meninggal dunia,

(6)

dan Diniyah School mengalami kemunduran, bahkan tahun 1935 terpaksa ditutup.

Diniyah Putri

Diniyah putri didirikan oleh Rahmah el-Yunusiah pada 1 November 1923. Mulanya terdapat 71 orang murid yang kebanyakan terdiri atas ibu-ibu rumah tangga yang masih sangat muda. Pelajaran yang terdiri atas pelajaran agama dan ilmu alat diberikan di sebuah mesjid dekat Pasar Usang, Padang Panjang selama 3 jam sehari (Ramayulis 2012:305). Tahun 1924, sekolah ini pindah ke sebuah rumah dekat mesjid tersebut, dan mulailah sistem kelas berikut bangku, meja, dan papan tulis. Di tingkat atasnya digunakan asrama. Tahun 1930 sebuah kelas tambahan pada tingkat menengah diselenggarakan. Semenjak itu lembaga pendidikan Diniyah Putri berkembang pesat.

Rahmah mengintegrasikan ilmu pengetahuan agama dan umum. Ini terlihat dari kurikulum yang diterapkannya pada Diniyah School yang awalnya hanya mempelajari ilmu agama dan bahasa Arab, kemudian berkembang menjadi program-program yang bervariasi baik umum maupun agama, yaitu:

1. Program pendidikan agama Islam. Program ini bertujuan agar peserta didik memiliki bekal pengetahuan agam Islam yang dapat dikembangkan dalam masyarakat.

2. Program pendidikan kelompok khusus program keterampilan. Program ini berupa pendidikan anak dan keluarga. Hal ini dimaksudkan untuk mempersiapkan wanita menjadi ibu pendidik.

3. Program pendidikan bahasa Arab. Program ini merupakan program unggulan di Diniyah Putri. Dengan penguasaan bahasa Arab, memungkinkan peserta didik mendalami agama Islam dari sumber-sumber asli yang berbahasa Arab.

Untuk mewujudkan program-program, Rahmah menempatkan peserta didik dalam asrama. Semua peserta didik dilatih cara hidup bermasyarakat, memimpin, dan dipimnpin. Peserta didik dilatih mempraktekkan ilmu yang mereka peroleh di bangku pendidikan formal dalam muhadharah atau pidato untuk melatih pikiran, keberanian, dan percaya pada diri sendiri.

Dari sistem pendidikan yang dilaksanakan Rahmah terlihat ada dua bentuk

lembaga pendidikan yaitu formal dan non-formal. Pendidikan formal dilaksanakan di sekolah dan pendidikan non-formal dilaksanakan di asrama. Dari sistem yang diterapkannya, Rahmah berkeinginan untuk mencipkakan peserta didiknya (yang semuanya perempuan) siap menjadi seorang ibu pendidik.

Pendidikan Modern ala Madrasah

Madrasah yang berkembang di Indonesia berbeda dengan perkembangan madrasah yang ada di Timur Tengah. Perkembangan Madrasah pada abad Modern ini terjadi pada kurun awal abad ke-20 di mana pendidikan Islam mulai mengadopsi mata pelajaran non keagamaan. Latar belakang pertumbuhan ini tidak dapat dilepaskan dari gerakan pembaharuan di Indonesia dan adanya respon pendidikan Islam terhadap kebijakan pendidikan pemerintah Hindia-Belanda.

Sumatera Thawalib

Lembaga pendidikan yang lebih penting dan mungkin lebih berpengaruh di Minangkabau adalah Sumatera Thawalib (Nata 2001:222). Sumatera Thawalib adalah nama dari sebuah organisasi yanng mula-mula didirikan di Padang Panjang, Sumatera Barat. Organisasi ini didirikan oleh Syekh Haji Abdul Karim Amrullah pada 1918 dengan nama Sumatera Thuwailib (Pelajar kecil Sumatera). Organisasi ini kemudian semakin berkembang dengan bergabungnya organisasi pelajar dari Parabek yang bernama Muzakaratul Ikhwan. Kemudian berdasarkan musyawarah antara Syekh Haji Abdul Karim Amrullah dengan Syekh Ibrahim Musa Parabek, maka Sumatera Thuwailib kemudian dirobah menjadi Sumatera Thawalib (pelajar-pelajar dewasa Sumatera) hal ini dilakukan karena dengan bergabungnya pelajar dari Padang Panjang dengan pelajar dari Parabek nama Thuwailib (pelajar kecil) dianggap tidak sesuai lagi dan dan dirobah menjadi Thawalib (pelajar-pelajar dewasa). Sumatera Thawalib yang awalnya berupa organisasi yang bergerak dalam bidang pendidikan meliputi dua lembaga yaitu Sumatra Thawalib di Padang Panjang dan Sumatera Thawalib di Parabek. Kemudian didirikan pula perguruan Sumatera Thawalib lainnya di Padang Panjang, di Sungayang Batusangkar, dan Maninjau.

Sumatera Thawalib yang di Parabek dan Padang Panjang mengalami kemajuan yang

(7)

sangat pesat dan siswanya semakin bertambah banyak. Namun seiring dengan kemajuan itu, politik pun telah mulai masuk ke ke kehidupan siswa Thawalib, terutama yang di Padang Panjang. Pengaruh politik yang masuk ke perguruan ini datang dari paham komunisme. Oleh karena itu sewaktu terjadi pemberontakan komunis di Silungkang, banyak siswa Thawalib Padang Panjang yang terlibat. Untuk membatasi gerak dan kegiatan politik para guru dan siswa Thawalib, pemerintah Belanda mengeluarkan pembatasan-pembatasan kegiatan dan larangan mengajar bagi beberapa guru Thawalib mereka yang terkena larangan itu antara lain adalah Zainal Abidin Ahmad, Ahmad Syukur, Ibrahim Modin, Seidi Umar dan lain-lainnya.

Di bawah pimpinan Syekh Abdul Karim Amrullah Sumatera Thawalib Padang Panjang berkembang pesat. Namun dengan terjadinya penangkapan-penangkapan oleh Belanda, sehubungan dengan pemberontakan Silungkang, ditambah dengan terjadinya gempa pada 1926 yang menyebabkan banyak orang cenderung untuk memikirkan nasib keluarganya, maka Syekh Abdul Karim Amrullah kembali ke Maninjau dan pimpinan Thawalib diserahkan pada Tuanku Mudo Abdul Hamid Hakim.

Pada 1929 organisasi Sumatera Thawalib memperluas keanggotaan pada semua bekas pelajar dan guru-guru yang tidak lagi mempunyai hubungan langsung dengan lembaga pendidikan tersebut. Organisasi ini pada tahun berikutnya berobah menjadi suatu organisasi massa dengan nama Persatuan Muslimin Indonesia (PERMI). Hal ini diputuskan dalam Konferensi Perguruan Thawalib yang diadakan di Padang pada 1930. Dengan adanya PERMI maka seluruh perguruan Thawalib berada di bawah pengawasan PERMI dalam kegiatan dan pengelolaannya.

Sekitar tahun 1933 PERMI mendapat tekanan-tekanan dari pemerintah Belanda, sebab banyaknya anggota PERMI yang terlibat dalam politik menentang Belanda. Hal ini sangat memperlemah lembaga-lembaga pendidikan Thawalib yang berada di bawah naungannya. Sementara itu siswa-siswanya mendapat tekanan pemerintah agar meninggalkan sekolahnya. Jumlah pelajar di Padang Panjang berkurang hanya tinggal 400 siswa dibanding 1930 sebanyak 1.300 siswa. Sekolah-sekolah di luar Padang Panjang dan

Parabek ditutup, sehingga sekolah Thawalib hanya ada di dua tempat itu.

Lahirnya Sumatera Thawalib mempunyai pengaruh besar di Sumatera Barat dalam bidang pendidikan, kehidupan beragama, organisasi politik dan media massa. Dalam bidang pendidikan Thawalib berperan dalam menumbuhkan berbagai lembaga pendidikan di Sumatera Barat. Dalam kehidupan beragama Thawalib dengan penerangannya dapat memperbaiki kehidupaan beragama menjadi lebih baik. Demikian pula dam penerbitan media massa peran Thawalib sangat besar sebagi pelopor penerbitan al-Munir.

Normal Islam

Normal Islam merupakan sebuah nama dari suatu lembaga pendidikan di Padang Sumatera Barat. Lembaga pendidikan ini didirikan oleh Mahmud Yunus pada tahun 1931-1946, yang merupakan realisasi dari konsep pendidikan Islam modern yang dicetuskannya. Normal Islam merupakan sekolah agama yang mempergunakan metode modern dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajarnya. Metode modern yang diterapkan dalam sekolah ini, misalnya adalah pemakaian papan tulis, meja, kursi untuk duduk para siswa, sementara pada lembaga pendidikan lain hal seperti ini belin nampak dimulai pemakaiannya. Pada lembaga pendidikan lain pada masa itu lazimnya digunakan sistem tradisional, sistem surau dan halaqah tanpa mempergunakan papan tulis, meja atau kursi. Hal lain yang termasuk modern adalah dengan diajarkannya ilmu pengetahuan agama yang menjadi mata pelajaran pokok di sekolah ini. Di lembaga pendidikan ini Mahmud Yunus memadukan pelajaran agama dan umum. Madrasah ini yang pertama kali memiliki laboratorium Ilmu Fisika dan Ilmu Kimia. Murid-murid diharuskan menguasai bahasa Inggris dan Belanda di samping bahasa Arab dan Indonesia, karena semua bahasa tersebut digunakan sebagai bahasa pengantar pendidikan di Normal Islam.

Siswa-siswa sekolah Normal Islam tidak terbatas dari daerah Sumatera Barat saja, banyak diantaranya yang dari luar Sumatera Barat, seperti Aceh, Tapanuli, Palembang, Jawa Timur, dan daerah lain di Indonesia. Pada umumnya para siswa diharuskan tinggal di asrama yang disediakan, agar mereka terdidik selama mereka menempuh pendidikannya di Normal Islam. Sedangkan mata pelajaran pokok

(8)

yang diberikan di Normal Islam adalah ilmu pengetahuan agama Islam, namun di samping itu, juga diajarkan ilmu pengetahuan umum seperti ilmu eksakta, ilmu sosial, ilmu pendidikan, bahasa asing, dan lain-lainnya. Bahkan dalam bahasa asing ini Normal Islam dapat mencetak alumninya yanng mampu menguasai tiga bahasa asing secara aktif; hal ini tentunya tidak terlepas dari pendidikan asrama yang memang diwajibkan bagi para siswanya. Sedangkan untuk perlengkapan sekolahnya Normal Islam mempunyai sebuah laboratorium yang lengkap dengan peralatannya untuk praktikum yang didatangkan dari Mesir.

Normal Islam, dari sejak berdirinya sampai ditutup, yaitu dari tahun 1931 sampai 1946, dipimpin oleh Prof. Dr. Mahmud Yunus. Selama 15 tahun Normal Islam telah menghasilkan 750 orang alumni yang tersebar di seluruh pelosok tanah air dengan berbagai macam profesi yang ditekuninya. Di antara mereka banyak yang menjadi pejabat pemerintah, guru agama, mubaligh, pedagang dan wiraswasta lainnya. Pada masa permulaan kemerdekaan, khususnya di Sumatera Barat, peran alumni Normal Islam sangat menonjol dalam mengisi lowongan-lowongan yang ditinggalkan penjajah. Mereka banyak berperan dalam menangani masalah-masalah daerah, khususnya yang menyangkut jabatan-jabatan baik dalam bidang swasta, pendidikan maupun pemerintahan. Guru-guru, khususnya guru agama, baik di sekolah swasta maupun pemerintah, SD, SLP, dan SLA hampir semuanya dipegang para alumni Normal Islam. Demikian juga jabatan-jabatan pemerintahan seperti Kepala Kantor Agama, karyawan Departemen Agama baik tingkat propinsi, kabupaten maupun kotamadya pada umumnya adalah para alumni Normal Islam. Selain dari pada itu, di antara mereka ada juga yang menjabat sebagai pamong praja seperti Wedana, Patih, Bupati, dan lain-lainnya.

Pada tahun 1946 Normal Islam Padang ditutup setelah selama 15 tahun menjalankan kegiatannya dalam pendidikan Islam di Sumatera Barat. Hal ini terpaksa dilakukan karena pada saat itu kota Padang diduduki Belanda, yang kemudian diikuti dengan pecahnya perang kemerdekaan melawan Belanda di Padang.

Madrasah Tarbiyah Islamiyah

Madrasah Tarbiyah Islamiaya didirikan pada 5 Mei 1928 di Candung Bukitting oleh beberapa ulama termasyhur di Minangkabau. Mereka adalah Syekh Sulaiman Ar-Rasuli (Candung Bukittinggi), Syekh M. Jamil Jaho (Padang Panjang), Syekh Abbas (Ladang Lawas Bukittinggi), Syekh Abdul Wahid (Tabek Gadang Suliki), M. Arifin Batuhampar(Payakumbuh), Syekh Khatib Ali (Padang), Syekh Makhdum (Solok), dan Syekh M.Yunus (Sasak Pasaman).

Pada masa berdirinya itu, Madrasah Tarbiyah Islamiyah berbentuk organisasi yang bertujuan untuk mewujudkan dan memajukan pendidikan dan pengajaran Islam. Tujuan tersebut dicapai dengan membangun surau-surau serta madrsah-madrasah. Madrasah-madrasah yang tergabung dalam Tarbiyah Islamiyah ini antara lain Madrasah Tarbiyah Islamiyah Candung, Madrasah Tarbiyah Islamiyah Tabek Gadang, Madrasah Tarbiyah Islamiyah Jaho Padang Panjang, dan Madrasah Tarbiyah Islamiyah Batuhampar. Dalam konferensi Tarbiyah Islamiyah I yang berlangsung pada 20 Mei 1930 diputuskan bahwa Tarbiyah Islamiyah berdasarkan Islam, penganut Ahlus Sunah wal Jamaah dalam keimanan dan Mazhab Syafi’i dalam syari’at dan ibadat.

Dewasa ini madrasah-madrasah yang bernaung di bawah Madrasah Tarbiyah Islamiyah sudah tersebar, bukan saja di Minangkabau tetapi juga tersebar di luar Minangkabau. Menurut catatan resmi jumlah madrasah-madrasah tersebut mencapai 300 buah yang terdiri dari tingkat Awaliyah, Ibtidaiyah, Tsanawiyah dan Kuliah Syar’iyah bagian putra dan putri di Bukittinggi. Disamping itu Tarbiyah Islamiyah juga menerbitkan buku pelajaran dan majalah Suarti (Suara Tarbiyah Islamiyah) dan al-Mizan (Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah 1992: 586). Beberapa dampak sosial dari modernisasi:

 Munculnya paradigma baru masyarakat Islam tentang Barat. Adanya pembaharuan paradigma tersebut telah merubah kebencian masyarakat terhadap bangsa Barat, ternyata tidak semua yang datang dari Barat itu salah/negatif, tetapi ada sisi positifnya termasuk dalam pendidikan.  Dengan munculnya pembaharuan, muncul

pula keinginan masyarakat dalam menyampaikan ide/gagasan mereka

(9)

melalui media. Media yang ada dapat mencerdaskan masyarakat.

 Adanya pembaharuan menyebabkan pergeseran nilai dan sikap masyarakat yang semula irasional menjadi rasional.

Terjadinya modernisasi pendidikan Islam di Sumatera Barat dengan lahirnnya berbagai lembaga pendidikan Islam yang mengintegrasikan antara pelajaran agama dengan pelajaran umum dan tidak diskriminatif dalam menerima siswanya, menjadikan lembaga-lembaga pendidikan Islam tersebut diminati oleh berbagai lapisan masyarakat. Para siswanya tidak saja berasal dari wilayah Sumatera Barat, melainkan banyak juga yang berasal dari luar Sumatera barat.

Kurikulum yang diterapkan pada lembaga-lembaga pendidikan ini menghasilkan lulusan yang tidak saja menguasai ilmu pengetahuan agama tapi juga ilmu pengetahuan umum, dan fasih berbahasa asing seperti Arab, Inggris dan Belanda.

Di antara alumni dari lembaga pendidikan modern tersebut kemudian juga mendirikan lembaga pendidikan Modern di daerahnya berasal seperti K.H. Imam Zarkasyi (yang merupakan lulusan Normal Islam) mendirikan Pondok Modern Gontor Ponorogo. Jadi modernisasi pendidikan Islam di Sumatera Barat yang terwujud dengan berdirinya lembaga-lemaga pendidikan modern yang islami memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap perkembangan lembaga pendidikan modern di luar Sumatera Barat.

Simpulan

Secara umum kelahiran pembaharuan /modernisasi Islam di Indonesia merupakan wujud respon terhadap kemunduran Islam.Eksistensi surau sebagai salah satu institusi pendidikan Islam pertama di Minangkabau sempat melakukan upaya modernisasi di tengah penetrasi Hindia Belanda. Modernisasi surau ditandai oleh berdirinya institusi pendidikan Islam yang

modern, seperti Sekolah Adabiyah, Sumatra Thawalib, Madrasah Diniyah, Madrasah Tarbiyah Islamiyah, Normal Islam dan sebagainya. Model-model lembaga pendidikan seperti Sumatra Thawalib, Adabiyah dan Madrasah Diniyah tersebut adalah menggunakan kurikulum yang tidak hanya mengajarkan pendidikan agama, tetapi juga memasukkan pelajaran umum.

Daftar Rujukan

Abuddin Nata (ed). 2001. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan

Lembaga-lembaga Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Grasindo.

___________. 2005.Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Azyumardi Azra. 2003. Surau: Pendidikan

Tradisional dalam Transisi dan Modernisasi. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.

Buhanuddin Daya. 1995. Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam (Kasus Sumatera Thawalib). Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. Deliar Noer,. 1996 Gerakan Modern Islam di

Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES.

Kafrawi Ridwan. 1993. Ensiklopedi Islam, jilid I . Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hove. Mahmud Yunus. 1993. Sejarah Pendidikan

Islam di Indonesia. Jakarta: Hidakarya Agung.

Ramayulis. 2012. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia.

Sidi Gazalba. 1983. Masjid Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam. (Jakarta: Pustaka Antara.

Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah. 1992. Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan.

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.

Gambar

Tabel 1: Corak Pendidikan dalam Rangka Modernisasi Pendidikan  Corak  Pendidikan  Lembaga  Pendidikan  Tahun  Berdiri  Pendiri  Keterangan  Pendidikan  Modern ala  Sekolah  Adabiyah School

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini hanya meneliti dua faktor yang mempengaruhi Kinerja Guru yaitu Motivasi Kerja dan Disiplin Kerja sehingga penelitian ini hanya dapat memberikan informasi

Sampel yang diambil menghasilkan data yang terlihat pada grafik yang menunjukkan derajat keasaaman air masih dalam keadaan asam, sedangkan pada kadar TDS masih

Variabel yang digunakan dari penelitian ini adalah struktur modal, kebijakan dividen, ukuran perusahaan, kepemilikan saham manajerial dan profitabilitas sebagai variabel

Dengan diajukannya proposal ini untuk mengajukan Rancang Bangun Sistem Informasi Penjualan Obat pada Apotek Berliana diharapkan dapat membuat laporan penjualan yang

Pemohon informasi ke PPID pada bulan Juni 2019 hanya 1 orang yang disampaikan melalui alamat surat elektronik (email) PPID dengan informasi yang diminta berjumlah 1

Abang tidak gemar akan makanan yang pahit seperti peria.. Menurut abang, dia tidak gemar akan rasa pahit

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi layanan pendidikan yang kinerjanya belum dapat memuaskan siswa dan merekomendasikan perbaikan layanan dengan menggunakan dimensi

Saya telah membaca surat permohonan dan mendapatkan penjelasan tentang penelitian yang akan dilakukan oleh Saudara Thoyibah Nur Khayati Mahasiswa SI