• Tidak ada hasil yang ditemukan

pd. T-14-2004-A

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "pd. T-14-2004-A"

Copied!
93
0
0

Teks penuh

(1)

Pd T-14-2004-A

Konstruksi dan Bangunan

Analisis stabilitas bendungan tipe urugan

akibat beban gempa

Kep Men Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor : 360/KPTS/M/2004

Tanggal : 1 Oktober 2004

(2)

Prakata

Pedoman ini termasuk dalam Gugus Kerja Geoteknik, Bendungan dan Waduk pada Sub Panitia Teknik Bidang Sumber Daya Air yang berada di bawah Panitia Teknik Bidang Konstruksi dan Bangunan Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah.

Penulisan pedoman ini mengacu kepada Pedoman BSN No.8 Tahun 2000 dan telah mendapat masukan dan koreksi dari ahli bahasa.

Perumusan pedoman ini dilakukan melalui proses pembahasan pada Gugus Kerja, Prakonsensus dan Konsensus pada tanggal 10 September 2003 di Pusat Litbang Sumber Daya Air Bandung serta proses penetapan pada Panitia Teknik yang melibatkan para narasumber dan pakar dari berbagai instansi terkait.

Pedoman ini mengacu Selecting Seismic Parameter for Dam Projects, USCOLD, 1985 dan standar serta pedoman terkait lainnya seperti dijelaskan dalam bab 2, yaitu acuan normatif. Pedoman ini bertujuan memberikan keseragaman dalam analisis stabilitas bendungan tipe urugan akibat beban gempa dengan penjelasan tentang petunjuk umum pemilihan parameter gempa untuk desain bendungan dan bangunan air (faktor-faktor umum, pemilihan besaran gempa, pemilihan parameter gempa, pengaruh pemilihan parameter, metode analisis stabilitas), penentuan beban gempa menggunakan peta zona gempa, dan metode perhitungan analisis stabilitas bendungan urugan akibat beban gempa, metode analisis likuifaksi, dan gempa imbas.

(3)

Pd T-14-2004-A Daftar Isi Prakata ... i Daftar isi ... ii Pendahuluan ... iv 1 Ruang lingkup ... 1 2 Acuan normatif ... 1

3 Istilah dan definisi ... 1

4 Petunjuk umum pemilihan parameter gempa untuk desain bendungan ... 4

4.1 Faktor utama yang perlu dipertimbangkan dalam desain ... 4

4.2 Pemilihan besaran gempa untuk analisis ... 6

4.3 Pemilihan parameter gempa ... 7

4.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan parameter evaluasi gempa 11

4.5 Analisis stabilitas bangunan pengairan lainnya... 15

5 Peta zona gempa ... 15

5.1 Risiko gempa (seismic risk) ... 15

5.2 Prosedur pembuatan peta zona gempa ... 16

5.3 Percepatan gempa maksimum di permukaan tanah ... 24

5.4 Ragam percepatan gempa desain ... 26

6 Proses likuifaksi dan gempa imbas ... 29

6.1 Likuifaksi pada tanah pasiran ... 29

6.2 Pengaruh gempa imbas pada waktu pengisian waduk ... 30

7 Penentuan parameter dinamik tanah dan batuan ... 31

7.1 Penjelasan umum ... 31

7.2 Metode uji lapangan ... 31

7.3 Metode uji laboratorium ... 35

7.4 Metode empiris dari hasil uji laboratorium ... 39

7.5 Hubungan antara modulus penormalan G/Gmax dan rasio redaman dengan regangan geser ... 45

8 Metode analisis stabilitas bendungan urugan akibat beban gempa ... 49

8.1 Tinjauan umum... 49

8.2 Analisis potensi likuifaksi ... 49

8.3 Analisis dengan cara koefisien gempa (pseudostatic analyses) ... 49

(4)

Lampiran A Bagan alir analisis stabilitas bendungan tipe urugan akibat beban gempa 53

Lampiran B Frekuensi kejadian gempa dan parameter gempa ... 56

Lampiran C Formulasi alihan tetap ... 71

Lampiran D Contoh-contoh aplikasi stabilitas dinamik bendungan ... 76

Lampiran E Daftar nama dan lembaga ... 85

(5)

Pd T-14-2004-A Pendahuluan

Desain suatu bendungan tipe urugan yang menahan air dalam volume yang besar harus mempertimbangkan faktor keamanan terhadap pengaruh kestabilan bendungan. Sampai sekarang, pedoman mengenai metode analisis kestabilan bendungan tipe urugan akibat beban gempa belum ada di Indonesia. Oleh karena itu, perlu dibuat pedoman yang dapat digunakan sebagai acuan bagi pendesain bendungan tipe urugan dengan pertimbangan analisis desain stabilitas akibat beban gempa.

Pedoman ini menguraikan petunjuk umum pemilihan parameter gempa untuk desain bendungan dan bangunan air, penentuan beban gempa dengan menggunakan peta zona gempa, metode perhitungan proses likuifaksi dan pengaruh gempa imbas, penentuan parameter dinamik untuk tanah dan batuan, dan metode analisis stabilitas bendungan urugan akibat beban gempa.

Prinsip-prinsip yang diuraikan dalam pedoman ini akan menjadi pegangan dalam analisis stabilitas untuk desain bangunan pengairan tahan gempa khususnya bendungan tipe urugan beserta bangunan pelengkap, termasuk penanganan aspek gempa untuk evaluasi perilaku bendungan. Dengan adanya keseragaman dan pegangan dalam desain bendungan, diharapkan akan bermanfaat bagi semua pihak terkait (pemilik, pendesain dan instansi berwenang) terutama dalam bidang desain bendungan tipe urugan tahan gempa ataupun dalam pembangunan bendungan urugan umumnya.

(6)

Analisis stabilitas bendungan tipe urugan

akibat beban gempa

1 Ruang lingkup

Pedoman ini menjelaskan analisis stabilitas lereng bendungan tipe urugan akibat beban gempa, yang diuraikan secara singkat dalam bagan alir pada lampiran Gambar A.1. Pedoman ini terdiri atas :

1) petunjuk umum pemilihan parameter gempa untuk desain bendungan dan bangunan pengairan.

2) penentuan beban gempa yang menggunakan peta zona gempa dengan cara menentukan percepatan gempa maksimum di permukaan tanah untuk desain bendungan beserta bangunan pelengkapnya dan bangunan air lainnya.

3) penjelasan proses likuifaksi jika terjadi gempa bumi dan pengaruh gempa imbas pada waktu pengisian waduk.

4) penentuan parameter dinamik untuk tanah dan batuan dengan cara uji lapangan, uji laboratorium dan cara empiris.

5) metode analisis stabilitas bendungan urugan akibat beban gempa dengan cara koefisien gempa dan cara dinamik.

Pedoman ini tidak menguraikan pengaruh sesaran-sesaran aktif yang mungkin terjadi di sekitar lokasi rencana bendungan besar, yang memerlukan studi gempa tersendiri.

2 Acuan normatif

RSNI T- 01-2002 Tata Cara Desain Tubuh Bendungan Tipe Urugan.

RSNI M-02-2002 Metode Analisis dan Cara Pengendalian Rembesan Air Untuk

Bendungan Tipe Urugan.

RSNI M-03-2002 Metode Analisis Stabilitas Lereng Statik Bendungan Tipe Urugan

U.S Dept. of the Interior (1987), Design standards, Embankment dams no. 13, Chapter 4,

Static Stability Analyses, U.S Bureau of Reclamation.

U.S Dept. of the Interior (1984), Design standards, Embankment dams no. 13, Chapter 13,

Seismic design and analysis, US Bureau of Reclamation.

USCOLD 1985, Selecting Seismic Parameter for Dam Projects. 3 Istilah dan definisi

3.1 Beban gempa ialah beban atau gaya inersia yang timbul sebagai akibat adanya goncangan gempa di permukaan tanah.

3.2 Gempa bumi tektonik ialah gempa yang terjadi jika kekuatan geser batuan (batu dan tanah) tidak dapat lagi menahan tegangan, yang meningkat secara perlahan-lahan dalam suatu lempeng tektonik atau pada sesaran aktif.

3.3 Magnetudo atau kebesaran gempa ialah tingkat besaran gempa yang berhubungan dengan pelepasan enersi regangan pada saat terjadi patahan batuan sepanjang garis sesaran, yang terdiri atas berikut ini :

(7)

Pd T-14-2004-A

1) ML ialah kebesaran gempa yang diperkenalkan pertama kali oleh Richter (1935) dan

disebut kebesaran gempa lokal. Kebesaran ini diperoleh sebagai logaritma dari amplitudo maksimum yang tercatat dengan alat Wood Anderson Torsion Seismometer pada jarak episentrum 100 km. Untuk jarak yang lain, kebesaran ini harus dikoreksi. Persamaan umumnya ialah

ML = Log (A/A0) ………. (1)

dengan :

ML : kebesaran gempa lokal

A : amplitudo maksimum yang terekam oleh alat Wood A0 : amplitudo 1/1000 mm.

2) Ms ialah kebesaran gempa yang didasarkan atas gelombang permukaan (surface waves)

yang diperkenalkan oleh GUTENBERG (1945). Skala kebesaran ini berlaku untuk setiap seismograf dan diperoleh dengan persamaan

Ms= Log A + C1 Log d + C2 ……….(2)

dengan :

A : amplitudo yang terekam C1 dan C2 : konstanta

d : jarak episentrum

3) Mb atau m ialah kebesaran gempa yang didasarkan atas gelombang badan (body waves)

dan pada umumnya digunakan untuk gempa-gempa dalam karena tidak menghasilkan amplitudo yang cukup besar.

3.4 Intensitas gempa ialah suatu angka yang menunjukkan pengaruh kehebatan suatu gempa bumi terhadap bangunan buatan manusia di atas permukaan tanah, sehingga merupakan suatu bentuk kualitatif dari besar goncangan dan kerusakan di suatu tempat tertentu.

3.5 Fokus gempa (hiposentrum) ialah titik pada sesaran atau lempeng tektonik ketika patahan mulai terjadi.

3.6 Episentrum ialah titik di permukaan bumi yang tepat di atas fokus gempa (lihat gambar 1).

Gambar 1 Episentrum dan hiposentrum pada waktu terjadi gempa bumi

(8)

3.7 Jarak episentrum ialah jarak horisontal dari suatu lokasi bangunan terhadap episentrum gempa.

3.8 Jarak hiposentrum ialah jarak dari suatu tempat terhadap fokus gempa.

3.9 Risiko gempa ialah peluang terjadinya gempa dengan besaran gempa (percepatan, kecepatan, dan lama goncangan) serta kebesaran gempa pada periode ulang rata-rata tertentu selama masa guna bangunan yang dinyatakan dengan RN.

3.10 Masa guna bangunan ialah umur teknis suatu bangunan yang secara struktural masih dapat berfungsi dengan baik dan aman.

3.11 Risiko tahunan ialah peluang tahunan suatu gempa yang dapat dicapai atau dilewati suatu besaran gempa tertentu yang dinyatakan dengan RA.

3.12 Periode ulang rata-rata suatu gempa ialah jumlah pengulangan suatu periode dari besaran gempa setiap tahun.

3.13 Percepatan gempa maksimum di permukaan tanah (maximum ground

acceleration, ag) ialah percepatan gempa yang diperoleh dari hasil analisis risiko gempa

dengan menggunakan rumus empiris dari Fukushima-Tanaka, tetapi belum dikoreksi terhadap pengaruh jenis tanah setempat.

3.14 Percepatan gempa maksimum terkoreksi (peak ground acceleration, PGA= ad)

ialah percepatan gempa maksimum di permukaan tanah yang dihitung berdasarkan koreksi pengaruh jenis tanah setempat.

3.15 Periode predominan (predominant period) suatu perlapisan tanah ialah periode natural dari perlapisan tanah.

3.16 Ragam percepatan gempa (acceleration spectrum) ialah ragam sambutan dinamik maksimum yang dialami oleh suatu sistem linier berderajat kebebasan tingkat satu pada waktu digetarkan atau digoncangkan oleh suatu percepatan gempa di permukaan tanah. 3.17 Ragam percepatan gempa penormalan (normalized acceleration spectrum) ialah ragam percepatan gempa yang dinormalisasikan dengan cara membagi nilai-nilai percepatan gempa pada setiap periode dengan nilai percepatan gempa maksimum terkoreksi (ad).

3.18 Gempa bolehjadi maksimum (Maximum Credible Earthquake, MCE) ialah gempa terbesar yang dapat atau mungkin terjadi sepanjang sesaran atau di daerah subduksi yang ditentukan secara geografis dan telah diketahui atau diperkirakan sebelumnya. Gempa ini merupakan batas atas dari besaran gempa atau pada kasus khusus sebagai batas atas dari intensitas Modified Mercally. Kejadiannya bervariasi antara periode ulang 100 tahun sampai dengan dengan puluhan ribu tahun. Setiap sesaran aktif di daerah geologi regional atau geologi lokal akan terkait dengan suatu gempa maksimum bolehjadi. Jika ditinjau secara geologi penentuan besaran gempa maksimum bolehjadi sangat penting jika dibandingkan dengan kejadian gempa pendek dengan sistem pendekatan Paleoseismisiti dan sangat berguna untuk memperkirakan perilaku sesaran aktif tertentu untuk jangka panjang.

3.19 Gempa bolehjadi maksimum penentu (Controlling maximum credible

earthquake, CMCE) ialah gempa maksimum bolehjadi paling kritis yang dapat

mempengaruhi suatu lokasi studi. CMCE ini ditentukan sesudah diperkirakan besarnya gempa maksimum boleh jadi yang terjadi sepanjang sesaran atau di daerah tektonik terdekat dengan daerah studi. Untuk daerah tektonik dengan laju aktivitas yang rendah dan

(9)

tanda-Pd T-14-2004-A

tanda identifikasi yang kurang nyata, konsep CMCE merupakan gempa maksimum boleh jadi yang menjadi signifikan di daerah studi. Evaluasi untuk kondisi ini sebaiknya dilakukan dengan cara probabilistik bencana gempa.

3.20 Gempa desain maksimum (Maximum design earthquake, MDE) ialah gempa yang memberikan goncangan terbesar di lokasi studi yang akan digunakan untuk desain atau analisis. Untuk bendungan yang keruntuhannya akan mengancam kehidupan, gempa desain maksimum sebaiknya diambil pada batas yang sama dengan CMCE, untuk mempertahankan kapasitas pengisian waduk. Jika keruntuhan bendungan tidak mengancam kehidupan, dapat diambil gempa yang lebih kecil dari CMCE sebagai MDE.

3.21 Gempa dasar operasi (Operating basis earthquake, OBE) ialah gempa dengan batasan goncangan di permukaan tanah pada lokasi studi dengan 50% kemungkinan tidak terlampaui dalam 100 tahun, yang sebaiknya ditentukan secara probabilistik. Bendungan dan bangunan pelengkap serta peralatannya harus tetap berfungsi dengan baik dan mudah perbaikannya jika terjadi gempa dasar operasi, tetapi tanpa memperhitungkan tinjauan keamanan terhadap kehidupan manusia.

3.22 Proses likuifaksi (liquefaction) ialah proses meningkatnya tekanan air pori dalam bahan pasiran (tanah lanau pasiran atau pasir lanauan) sehingga kekuatan gesernya mengalami penurunan.

3.23 Gempa imbas (Reservoir induced earthquake, RIE) ialah gempa bumi yang terjadi akibat pengisian waduk yang memberikan tingkat goncangan permukaaan maksimum di lokasi bendungan. Pengaruh gempa imbas hanya dipertimbangkan pada bendungan yang lebih tinggi dari 100 m atau waduk yang sangat besar dengan kapasitas lebih dari 109 m3

dan pada bendungan baru dengan ukuran lebih kecil di daerah yang sensitif terhadap pergerakan tektonik. Meskipun terdapat banyak perbedaan pendapat mengenai gempa imbas pada waduk, RIE harus tetap dipertimbangkan untuk menentukan beban gempa pada bendungan tinggi dengan waduk yang mengandung sesaran aktif di daerah hidrauliknya. Meskipun sesaran di daerah waduk tidak aktif terhadap tektonik, tetapi gempa imbas tidak boleh diabaikan, jika geologi lokal ataupun regional serta kegempaan bersifat signifikan. Besaran gempa imbas ditentukan berdasarkan MCE dan OBE, lokasi bendungan, dan kondisi seismotektonik sehingga gempa imbas dapat menjadi lebih kecil atau sama, ataupun lebih besar dari OBE, atau sama dengan MDE.

3.24 Bangunan pelengkap ialah fasilitas yang dibangun pada suatu bendungan yang berkemampuan untuk mengambil dan mengeluarkan air, antara lain, bangunan pelimpah untuk menjaga keamanan bendungan, bangunan pengeluaran untuk memenuhi fungsi bendungan, bangunan pengeluaran untuk pemeliharaan aliran di bagian hilir, serta bangunan pengeluaran untuk inspeksi, perbaikan, operasi dan pemeliharaan.

3.26 Bangunan pengairan ialah fasilitas yang perlu dibangun untuk pemanfaatan dan pengendalian suatu sistem pengairan, antara lain bangunan sadap, bangunan silang, tanggul penutup, tanggul banjir, tembok penahan dan lain-lain.

4 Petunjuk umum pemilihan parameter gempa untuk desain bendungan

4.1 Faktor utama yang perlu dipertimbangkan dalam desain

Faktor utama dalam pemilihan parameter desain bendungan tahan gempa tergantung pada kondisi geologi dan kegempaan di daerah sekitar bendungan. Uraiannya mencakup faktor-faktor penting yang relatif lengkap, tetapi format dan terperinciannya harus tetap fleksibel dan disesuaikan dengan kondisi lokal, dimensi bendungan, fungsi bangunan, serta konsekuensi kerusakan atau keruntuhan total.

(10)

Pada hakekatnya pemilihan parameter gempa untuk evaluasi keamanan bendungan baru ataupun lama merupakan proses bertahap yang minimal harus mencakup persyaratan yang akan diuraikan berikut ini.

4.1.1 Geologi regional

Studi geologi dan kegempaan umumnya dilakukan dengan cara mempertimbangkan aspek-aspek regional dan kondisi lokal. Untuk mengerti keseluruhan masalah geologi dan sejarah kegempaan di suatu tempat, diperlukan adanya suatu pendekatan. Oleh karena itu, perlu dilakukan studi regional pada beberapa tempat yang mencakup seluruh kondisi geologi utama dan mempertimbangkan kondisi khusus lainnya.

Studi geologi regional harus mencakup radius minimum sekitar 200 km dari lokasi bendungan dan dapat juga diperluas sampai dengan dengan 300 km yang mencakup adanya sesaran utama atau karakteristik atenuasi khusus.

Data geologi yang ditinjau ulang harus mencakup :

1) identifikasi phisiographi dan kegempaan pada lokasi studi; 2) sejarah geologi daerah studi;

3) penjelasan formasi geologi, jenis batuan dan deposit tanah;

4) lokasi struktur geologi regional utama termasuk lipatan, pola rekahan dan kekar; 5) interpretasi mekanisme regional kegempaan dan jenis sesaran yang berkaitan;

6) lokasi dan pemerian sesaran daerah remukan (hancuran) serta penilaian terhadap sesaran yang dapat menimbulkan gempa, atau peralihan akibat gempa. Dokumentasi harus meliputi ada atau tidak adanya sejarah aktivitas gempa dari setiap sesaran ;

7) kecepatan gempa dan derajat aktivitas sesaran yang terkait dengan daerah studi, misalnya laju rata-rata geseran, geseran (slip) per satuan waktu, interval waktu antara gempa kuat dan lain-lain.

4.1.2 Sejarah kejadian gempa

Untuk keperluan identifikasi pola kejadian gempa dari suatu daerah, dan penyediaan data dasar untuk memperkirakan batas bawah dari besaran goncangan gempa pada lokasi yang ditinjau, diperlukan pengumpulan data tentang sejarah kejadian gempa. Hal ini didasarkan atas anggapan bahwa kejadian serupa yang pernah terjadi pada masa lalu dapat terulang di dekat lokasi yang sama. Kekurangan atau ketidak lengkapan data sejarah kejadian gempa tidak berarti bahwa daerah tersebut bukan daerah gempa. Oleh karena itu, harus dilengkapi dengan catatan khusus tentang data kejadian gempa. Katalog gempa yang dihasilkan oleh BMG (Badan Meteorologi dan Geofisika Indonesia), Direktorat Geologi (Bandung), USGS (United States Geological Survey) dan NOAA (National Oceanic and Atmospheric

Administration USA) menyajikan informasi tentang besaran gempa, lokasi dan terperincian

parameter lain, seperti kedalaman pusat gempa dan jarak dari lokasi yang ditinjau. Katalog yang berisi daftar data tersebut harus diperiksa ketelitian, kelengkapan dan cakupannya sebelum digunakan untuk analisis.

Data kejadian gempa yang dikumpulkan harus mencakup daerah dengan radius minimum 200 km dan berpusat di lokasi bangunan yang ditinjau. Kejadian gempa khusus dapat diperluas lebih dari 200 km agar mencakup data terkait lainnya, misalnya sesaran kuat yang aktif.

Setiap data kejadian gempa yang tersedia harus mencakup : 1) koordinat episentrum;

2) magnetudo (intensitas pusat gempa); 3) tanggal dan waktu kejadian;

4) kedalaman pusat gempa; 5) mekanisme pusat gempa; 6) daerah yang terpengaruh; 7) efek pada permukaan tanah;

(11)

Pd T-14-2004-A

Peta intensitas dengan kontur isoseismal pada waktu terjadi gempa-penting tetap menjadi salah satu cara terbaik untuk memperoleh fungsi atenuasi intensitas pada saat diperoleh data lain. Kontur isoseismal ialah garis yang menghubungkan lokasi-lokasi dengan besaran kerusakan yang sama atau daerah pengaruh efek gempa yang sama.

Sejarah kejadian gempa dan pertimbangan geologi dapat digunakan untuk menentukan besarnya laju aktivitas gempa (jumlah kejadian setiap tahun) pada daerah yang diteliti, jika mungkin untuk setiap sesaran atau daerah sumber gempa di daerah studi.

Data sejarah kejadian gempa harus diproses secara statistik untuk mendapatkan hubungan regional dengan frekuensi kejadian gempa, sebagai contoh, penggambaran (plotting) hubungan antara jumlah kejadian gempa dan magnetudo yang sama atau lebih besar pada skala logaritma. Sumber gempa yang telah diolah secara statistik untuk Indonesia dapat diperiksa pada lampiran B.1

Lokasi episentrum dapat dipilih dengan menggunakan urutan kronologis dan penambahan jarak dari lokasi yang ditinjau. Penentuan atau penggambaran (plotting) lokasi pusat gempa yang berkaitan dengan lokasi bendungan diperlukan untuk memberikan penilaian visual terhadap lokasi dan kejadian gempa yang ditinjau.

4.1.3 Geologi lokal

Informasi geologi di lokasi tinjauan diperlukan untuk menentukan karakteristik goncangan tanah dasar yang akan terjadi di tempat bendungan dan untuk mengevaluasi potensi gerakan sesaran utama pada fondasi bendungan. Setiap kondisi geologi pada atau di dekat lokasi tinjauan yang mengidentifikasi adanya gerakan sesaran atau aktivitas gempa yang baru terjadi harus didokumentasikan. Data geologi lokal dapat diperoleh dari literatur, laporan teknik tentang proyek tersebut, inspeksi di lokasi tinjauan, eksplorasi lapangan dan pengamjikan serta uji contoh batuan dan tanah. Data tersebut di atas harus mencakup : 1) definisi dari tipe, penyebaran, tebal, macam endapan atau formasinya serta karakteristik

stabilitas dari satuan batuan dan endapan tanah.

2) lokasi dan kronologi dari sesaran lokal, termasuk jumlah dan tipe perubahan yang diperkirakan dari sejarah kejadian dan data stratigrafi, waktu akhir rekahan, laju aktivitas, laju tarikan, laju geseran dan lain-lain. Pada beberapa kasus disarankan menggunakan teknik penyelidikan khusus seperti penentuan umur batuan dengan menggunakan unsur karbon.

3) interpretasi dari struktur geologi termasuk orientasi dan jarak kekar, perlapisan, kemiringan dan jurus satuan geologi, lipatan serta batuan intrusi dan batuan lelehan. 4) penentuan kondisi geohidrologi, termasuk lokasi muka air tanah, tekanan air tanah dan

kondisi aliran, serta karakteristik kelulusan air dari formasi yang tercakup. 5) evaluasi potensi timbulnya goncangan gempa dan longsoran lereng waduk; 6) penentuan kondisi fondasi dan ebatmen.

7) inventarisasi rekaman goncangan gempa kuat (strong motion) dari sejarah kejadian gempa yang terjadi di dekat lokasi tinjauan atau di daerah yang kondisi geologi dan tektoniknya sama.

4.2 Pemilihan besaran gempa untuk analisis 4.2.1 Penjelasan umum

Untuk keperluan analisis, besaran gempa harus ditentukan untuk memilih parameter gempa yang sesuai, seperti percepatan, ragam sambutan gempa, durasi dan lainnya. Proses pemilihan parameter dapat dilakukan dengan menggunakan, baik prosedur deterministik ataupun evaluasi probabilitas bencana gempa.

Pemilihan parameter evaluasi gempa, besaran dan jarak tidak dapat ditentukan dengan prosedur deterministik seperti yang dijelaskan dalam subbab 4.2.3. Besaran gempa yang diperkirakan akan terjadi pada daerah sumber gempa (umumnya pada sesaran aktif atau daerah subduksi) lebih cocok ditentukan dengan cara probabilistik, seperti diuraikan pada subbab 4.3.2 sampai dengan 4.3.5.

(12)

Evaluasi probabilitas bencana gempa harus diperhitungkan untuk menentukan jumlah kontribusi goncangan gempa di lokasi bendungan. Goncangan gempa tergantung pada seluruh sumber gempa dengan besaran minimum (besaran tipikal ialah 4 atau 5) sampai dengan besaran maksimum. Evaluasi probabilitas ini termasuk besaran gempa yang mungkin terjadi pada bagian dari lokasi sumber gempa.

4.2.2 Evaluasi penentuan beban gempa

Beban gempa yang akan digunakan untuk desain bendungan baru atau evaluasi keamanan bangunan yang ada diperoleh dari MDE, OBE dan kadang-kadang RIE. Tergantung pada kondisinya, suatu bendungan dapat dievaluasi terhadap satu atau beberapa beban gempa. Persyaratan utama desain bendungan tahan gempa ialah dapat memberikan perlindungan terhadap keamanan umum, kehidupan ataupun harta benda. Pada umumnya bendungan harus dapat menahan goncangan gempa kuat atau pergerakan sesaran yang mungkin terjadi di lokasi bendungan sehingga tidak terjadi pelimpahan air waduk yang tidak terkontrol (bobol). Pada kasus CMCE, jika terjadi kerusakan pada bendungan yang cukup besar, bendungan harus tetap dalam batasan keamanan yang dapat ditoleransi, dan tidak terjadi bencana banjir (overtopping).

Selain itu, faktor-faktor yang dibutuhkan untuk evaluasi keamanan bendungan terhadap gempa antara lain :

1) tingkat bencana gempa di lokasi bendungan (periksa subbab 4.4.2); 2) tipe bendungan;

3) kebutuhan fungsional;

4) tingkat risiko bendungan dan waduk yang telah selesai; 5) konsekuensi perkiraan risiko.

Sebagai contoh, pembangunan bendungan besar dengan penekanan fungsi ekonomis perlu dianalisis dengan ketentuan beban MDE, OBE dan RIE. Bendungan yang cukup tinggi dengan waduk yang digunakan untuk penyediaan air minum di daerah permukiman harus didesain dengan mempertimbangkan persyaratan beban baik pada MDE ataupun OBE. Bangunan yang rendah faktor ekonomisnya, tetapi keruntuhannya akan menyebabkan kehilangan nyawa manusia harus tetap dievaluasi dengan MDE. Untuk bendungan buri (tailing dams), bendungan limbah atau bangunan pengendali banjir dapat diperhitungkan hanya terhadap OBE, karena bendungan semacam ini kerap kali dikeringkan pada masa operasionalnya.

Penentuan analisis bendungan dengan menggunakan besaran MDE, OBE, dan atau RIE harus ditentukan bersama dengan pemilik bendungan, pendesain, dan instansi berwewenang lainnya berdasarkan pertimbangan utama, yaitu kepentingan umum.

4.3 Pemilihan parameter gempa. 4.3.1 Umum

Parameter gempa dapat terdiri atas salah satu atau beberapa karakteristik goncangan di permukaan tanah dasar, seperti percepatan, kecepatan atau alihan, dan ragam sambutan atau sejarah waktu percepatan gempa yang memberikan karakteristik tersendiri bagi MDE,

OBE dan RIE.

Pemilihan parameter dapat dilakukan secara deterministik atau secara probabilistik bencana gempa atau kombinasi keduanya. Sebagai contoh, hubungan percepatan gempa dengan periode ulang untuk menentukan MDE, dan dengan OBE terdiri dari percepatan gempa maksimum (Peak ground acceleration, PGA) dan bentuk sambutan gempa (spektrum) yang spesifik.

Parameter gempa yang mencerminkan besaran MDE, OBE atau RIE sering digunakan sebagai data masukan untuk analisis numerik pada bendungan. Hasil dari analisis numerik tersebut digunakan untuk evaluasi perilaku bendungan dan keamanan bendungan yang menghasilkan besaran goncangan.

(13)

Pd T-14-2004-A

Banyak faktor yang mempengaruhi goncangan tanah dan parameter gempa, tetapi belum dapat dipahami sepenuhnya. Goncangan tanah dasar biasanya dipengaruhi oleh kondisi sumber gempa, jalur transmisi, dan kondisi lokal.

Sumber gempa dipengaruhi antara lain oleh tipe sesaran, dimensi retakan, mekanisme arah, kedalaman pusat, penurunan tegangan (stress drop) dan besarnya pelepasan enersi. Pengaruh jalur transmisi merupakan faktor yang berhubungan dengan sebaran geometri dan penyerapan enersi gempa pada waktu gelombang berjalan menjauhi sumbernya. Yang termasuk fenomena ialah tipe batuan, tidak homoginnya kerak bumi, lapisan aluvium yang dalam dan efek arah jalur gelombang terhadap arah meluasnya retakan sesaran.

Pengaruh kondisi lokal berasal dari kondisi topografi dan geologi yang ada di lokasi dan kemungkinan yang ada antara bangunan dan media di sekitarnya.

Faktor utama yang dipertimbangkan dalam persyaratan parameter gempa ialah : 1) klasifikasi tempat (aluvium atau batuan);

2) parameter fisik (physical properties) dan ketebalan lapisan fondasi; 3) pengaruh dekatnya jarak terhadap sesaran (near field effects); 4) jarak dari daerah pelepasan enersi;

5) pemilihan magnetudo untuk desain.

Faktor-faktor lain seperti arah propagasi retakan sesaran (pengaruh arah), tipe sesaran (normal, reverse atau strike slip) dan topografi cukup penting, tetapi sampai dengan saat ini tidak secara rutin tercakup dalam studi kegempaan pada bendungan.

Penentuan evaluasi gempa sebaiknya dilakukan dengan menggunakan pertimbangan ketergantungan lokasi (site dependent); yaitu dengan menggunakan pengetahuan yang ada dan pengukuran aktual terhadap rekaman gempa pada lokasi-lokasi dengan karakteristik yang sama. Jika data pada lokasi yang diterapkan kurang banyak, maka harus digunakan karakteristik goncangan tanah dasar yang tidak tergantung pada lokasi.

Idealnya seluruh faktor yang mempengaruhi goncangan tanah dasar harus dipertimbangkan, tetapi pada umumnya tidak praktis untuk memasukkan seluruh faktor tersebut dalam memperkirakan parameter gempa. Biasanya hanya dipertimbangkan faktor dari satu sumber besaran dan satu jalur transmisi jarak. Pengaruh lokal sering diabaikan atau dibatasi sampai dengan perbedaan antara lokasi batuan atau aluvial serta kemungkinan pertimbangan pengaruh kedekatan lokasi (near field)

Susunan yang digunakan untuk menentukan karakteristik parameter evaluasi gempa dijelaskan berikut ini.

4.3.2 Parameter goncangan maksimum di tanah dasar (Peak ground motion

parameter)

Goncangan tanah dasar dapat ditandai dengan nilai maksimum dari perkiraan percepatan, kecepatan dan alihan. Hubungan empiris diperoleh dari data gempa yang tersedia dengan persamaan fungsi atenuasi yang berupa hubungan antara goncangan tanah maksimum dengan jarak dari pusat pelepasan enersi dan magnetudo gempa.

Percepatan gempa maksimum di permukaan tanah (PGA) dengan tidak memperhatikan pengaruh kedekatan lokasi (near field) atau banyaknya kejadian gempa dengan frekuensi tinggitetap merupakan faktor penting yang digunakan untuk mencari karakteristik parameter gempa untuk bendungan. Pada akhir-akhir ini banyak persamaan atenuasi yang telah dikembangkan untuk memperkirakan variabel tersebut.

Pedoman ini tidak memberikan saran penggunaan persamaan tertentu untuk memperoleh besaran percepatan gempa maksimum PGA, tetapi harus dipertimbangkan penggunaan nilai rata-rata yang paling tepat seperti diuraikan pada referensi berikut (periksa lampiran B.2). 1) Rumus Fukusima dan Tanaka (1990)

2) Idriss (1991) 3) Sadigh (1993)

4) Joyner and Boore (1993) 5) Crouse (1991)

(14)

6) Youngs (1997) 7) Kenneth W. Campbell

Pada umumnya, untuk memperoleh besaran PGA sebaiknya didasarkan pada batuan dasar, seperti diuraikan dalam buku referensi dengan menggunakan persamaan atenuasi. Kemudian, besaran PGA disesuaikan keperluan dengan memperhitungkan kondisi lokasi khusus, misalnya aluvium dalam, yaitu dengan percepatan pada daerah bebas (free field) umum mempunyai enersi yang lebih besar jika dibandingkan dengan lokasi batuan.

Prosedur desain terbaru untuk bendungan cenderung menggunakan nilai PGA rata-rata jika dibandingkan dengan nilai ekstrem. Hal ini disebabkan oleh keperluan konservatif yang sering digunakan untuk berbagai masalah, misalnya pada ordinat spektral (periksa subbab 2.3.4).

Hingga kini, beberapa parameter yang berkaitan dengan persamaan atenuasi telah dikembangkan untuk kecepatan puncak. Hal ini karena adanya indikator yang lebih baik bagi intensitas goncangan tanah akibat pengaruh kedekatan lokasi (near field), alihan puncak atau komponen vertikal goncangan tanah yang biasanya mempengaruhi kedekatan lokasi. Untuk lokasi dengan jarak jauh atau pertengahan (far field and intermediate), maka PGA vertikal dapat diambil cukup konservatif, yaitu sebesar 2/3 atau 1/2 dari PGA horisontal. 4.3.3 Durasi gempa

Durasi gempa yang berakibat langsung pada tingkat kerusakan bendungan merupakan salah satu parameter yang sangat penting untuk desain bendungan. Durasi gempa dapat diperkirakan dengan berbagai cara, tetapi yang terpenting ialah waktu pengukuran antara kejadian pertama sampai dengan akhir dengan percepatan lebih besar dari 0,05 g (bracketed duration), frekuensi di atas 2 Hz dan durasi getar sesuai dengan jumlah total enersi yang dilepaskan. Chang dan Krinitzsky (1977) telah meninjau ulang beberapa hubungan empiris antara magnetudo gempa dan durasi gempa serta mengembangkan kurva-kurva yang berhubungan dengan durasi gempa, magnetudo gempa dan jarak episentrum yang terjadi pada batuan dan tanah dasar.

4.3.4 Ragam sambutan gempa

Ragam sambutan gempa menggambarkan hubungan sambutan dinamik maksimum pada percepatan, kecepatan atau alihan sebagai fungsi dari frekuensi percepatan gempa di permukaan tanah dan redaman yang dialami oleh suatu sistem berderajat kebebasan tingkat satu. Ragam sambutan gempa pada MDE, OBE dan RIE dapat ditentukan berdasarkan pertimbangan terhadap percepatan gempa maksimum, kecepatan dan alihan. Seed, Ugas dan Lysmer (1974) telah mengembangkan bentuk umum ragam sambutan sebagai nilai rata-rata dan nilai rata-rata-rata-rata yang ditambah satu standar deviasi untuk digunakan pada lokasi batuan ataupun tanah lainnya. Hasil tersebut digunakan jika besaran gempa desain mendekati 6,5, dan data dasar mempunyai kisaran magnetudo gempa 6,5. Studi serupa telah dilakukan pula oleh Mohraz (1976), Kiremidjian, dan Shah (1978). Mohraz (1978) memperluas studinya untuk evaluasi pengaruh dari magnetudo gempa dan waktu getar terhadap bentuk ragam sambutan gempa. Joyner dan Boore (1982), Donovan (1982) dan

Idriss (1985) mengemukakan prosedur untuk mengembangkan bentuk-bentuk ragam

sambutan gempa yang tergantung pada besaran gempa dan jarak, serta bentuk-bentuk ragam sambutan gempa vertikal.

Bentuk ragam sambutan gempa biasanya tersedia dalam bentuk penormalan dengan PGA. Untuk keperluan analisis bendungan, dianjurkan menggunakan bentuk rata atau rata-rata yang ditambah satu standar deviasi.

Alternatif lain dari bentuk ragam sambutan gempa ialah persamaan atenuasi untuk amplitudo. Amplitudo dapat secara langsung menentukan parameter ragam sambutan sebagai fungsi dari magnitude gempa, jarak, frekuensi, dan pengaruh jenis tanah.

(15)

Pd T-14-2004-A

Tingkat koefisien redaman dengan ragam sambutan yang telah ditentukan untuk memberi gambaran dari MDE, OBE dan RIE, harus mencakup kisaran nilai yang dapat diterapkan terhadap tipe bendungan dan tingkat getaran tanah yang ditinjau. Besaran koefisien redaman untuk analisis bendungan tipe urugan berkisar antara 5% sampai dengan dengan 20%. Untuk analisis stabilitas bendungan urugan akibat beban gempa dapat digunakan ragam percepatan gempa desain yang dibahas pada subbab 5.4.

4.3.5 Sejarah waktu percepatan gempa (Acceleration time history)

Dalam analisis bendungan dengan metode nonlinier tetap diperlukan data rekaman gempa berupa sejarah waktu percepatan gempa. Dalam desain disarankan untuk menggunakan beberapa sejarah waktu percepatan gempa untuk menggambarkan besaran MDE, OBE, dan

RIE. Sejarah waktu percepatan gempa dapat berupa getaran horisontal atau vertikal, dan

sebaiknya berupa rekaman akselerogram aktual dari lokasi yang kondisinya sama seperti di lokasi bendungan. Data rekaman akselerogram untuk gempa kuat yang tersedia pada saat ini tidak mencakup keseluruhan kisaran dari berbagai kondisi yang mungkin terjadi sehingga dalam desain perlu dirancang suatu rekaman akselerogram buatan yang sesuai dengan kondisi di lokasi bendungan. Rekaman akselerogram buatan ini dapat dikembangkan dengan metode superposisi, proses stokastik atau simulasi matematik dari rekahan sesaran (Fault Rupture Model) yaitu :

1) Metode superposisi ialah cara sederhana untuk memperoleh rekaman akselerogram buatan dengan durasi getar, percepatan gempa puncak dan interval waktu akselerogram tertentu. Metode ini diperoleh dengan menggunakan beberapa segmen dari rekaman akselerogram yang pernah terjadi dan diskalakan dalam amplitudo dan interval waktu rekaman sesuai dengan keperluan dengan faktor yang tepat. Metode yang dikenal ialah cara Seed-Idriss (1968). Penerapannya harus dilakukan dengan sangat hati-hati karena akselerogram buatan yang diperoleh kadang-kadang kurang realistis.

2) Proses stokastik ialah suatu cara untuk memperkirakan rekaman akselerogram dengan

menggunakan white noise, filtered white noise, atau non stationary filtered white noise. 4.3.6 Evaluasi probabilistik bencana gempa (Probabilistic Seismic Hazard Evaluation) Evaluasi probabilistik bencana gempa meliputi cara mendapatkan parameter goncangan gempa dengan proses matematik dan statistik, hubungan antara parameter goncangan permukaan tanah dasar dan kemungkinan terlampauinya pada periode ulang tertentu di lokasi bendungan dengan umur bendungan tertentu. Parameter yang akan digunakan untuk evaluasi keamanan bendungan ditentukan berdasarkan kriteria bangunan dan lokasinya. Lokasi yang aktif atau berpotensi aktif, sesaran-sesaran dan daerah kejadian gempa disebut sebagai daerah sumber gempa. Hubungan laju aktivitas pada setiap daerah sumber gempa dapat membentuk elemen dasar model bencana pada lokasi yang ditinjau. Model tersebut harus konsisten dengan kondisi geologi dan tektonik daerah yang kejadian gempanya sedang ditinjau.

Evaluasi bencana gempa di suatu tempat akibat sumber tunggal mencakup hubungan tiga fungsi probabilitas (Cornell, 1968; Mc.Guire, 1976; Donovan-Bornstein, 1977; Der-Kiurghian

and Ang, 1977; Kulkarni dkk, 1979) yaitu :

1) probabilitas terjadinya gempa dengan besaran tertentu pada suatu sumber gempa dalam interval waktu yang ditentukan.

2) probabilitas terjadinya rekahan yang berkaitan dengan sumber gempa dan suatu kejadian dengan besaran dan jarak tertentu dari lokasi yang ditinjau.

3) probabilitas terjadinya goncangan gempa di tanah dasar dengan suatu besaran gempa dan jarak tertentu yang akan melebihi tingkat yang telah ditentukan pada lokasi itu.

(16)

Dengan kombinasi ketiga fungsi tersebut, untuk setiap sumber gempa dan pengaruh dari seluruh sumber gempa, maka probabilitas terlampauinya tingkat tertentu dari suatu goncangan di tanah dasar pada lokasi yang ditinjau harus dihitung pada interval waktu yang ditentukan.

Keuntungan menggunakan evaluasi probabilistik bencana gempa, ialah sebagai berikut: 1) Termasuk kontribusi gempa yang berkisar antara besaran terkecil sampai dengan

terbesar (maksimum) dari setiap sumber gempa.

2) Termasuk kontribusi seluruh sumber gempa dan seluruh jarak.

3) Hasilnya dapat digunakan untuk memilih parameter gempa desain dengan membandingkan derajat risiko pada dua lokasi atau lebih. Probabilitas tahunan yang disarankan untuk desain bendungan dalam menentukan goncangan di permukaan tanah pada MCE berkisar antara 1/3000 sampai dengan dengan 1/10000 yang tergantung pada tingkat risiko bangunan (subbab 4.4.3).

4.4 Faktor- faktor yang mempengaruhi pemilihan parameter evaluasi gempa 4.4.1 Umum

Dalam pemilihan parameter untuk evaluasi gempa ada tiga faktor yang perlu dipertimbangkan yaitu :

1) tingkat kerusakan di lokasi bendungan.

2) tingkat risiko dari bangunan yang sudah selesai dibangun. 3) tipe bendungan dan potensi tipe keruntuhan.

Dalam menentukan metode yang paling tepat untuk evaluasi bendungan dan menentukan parameter gempa berdasarkan faktor-faktor tersebut diatas, diperlukan keputusan teknik dan pengalaman profesi yang memadai.

4.4.2 Pengaruh tingkat kerusakan

Secara geografis, jika beberapa tempat cenderung mengalami goncangan gempa lebih tinggi dibandingkan dengan tempat lain. Klasifikasi tingkat kerusakan dapat dibuat berdasarkan percepatan gempa maksimum (PGA) yang mungkin terjadi pada MDE. Penentuan ini dapat dilakukan dengan menggunakan peta zona gempa yang diuraikan dalam bab V. Tabel 1 dapat diterapkan pada lokasi dengan material fondasi yang baik (batuan), namun, pada lokasi dengan material fondasi lanau pasiran lunak atau pasir lepas dengan kepadatan relatif rendah yang berpotensi mengalami likuifaksi harus diterapkan lebih berhati-hati. Tingkat kerusakan yang diuraikan dalam tabel 1 dapat digunakan sebagai indikasi awal untuk menentukan parameter gempa yang berupa evaluasi awal, yaitu sebagai berikut.

Tabel 1 Tingkat kerusakan menurut besarnya percepatan gempa maksimum pada MDE

Percepatan gempa maksimum (PGA=ad) Klasifikasi tingkat

kerusakan

PGA < 0,1 g I (Rendah)

0,10 ≤ PGA < 0,25g II ( Moderat)

PGA ≥ 0,25g

Tidak terdapat sesaran aktif dalam jarak 10km dari lokasi

III (tinggi)

PGA ≥0,25g

Sesaran aktif lebih dekat dari 10 km dari lokasi

(17)

Pd T-14-2004-A

1) Pada lokasi dengan tingkat kerusakan I, parameter percepatan gempa maksimum terkoreksi pada MDE yang dapat digunakan untuk analisis di samping metode analisis sederhana dengan cara koefisien gempa. Jika sudah dianalisis dengan menggunakan

MDE, maka pertimbangan terhadap besaran OBE ataupun RIE tidak diperlukan lagi.

2) Pada lokasi dengan tingkat kerusakan II, parameter gempa dapat ditentukan dengan percepatan gempa maksimum terkoreksi, ragam sambutan gempa, atau sejarah waktu percepatan gempa. Selain itu, masih harus dipertimbangkan pengaruh tipe bendungan dan risiko tingkat bencana di hilir yang akan dijelaskan pada subbab selanjutnya. Pertimbangan terhadap OBE tidak diperlukan karena bendungan-bendungan yang didesain dengan baik pada tingkat kerusakan III harus dapat menahan gempa MDE dengan asumsi hanya terjadi kerusakan sedikit.

3) Pada lokasi dengan tingkat kerusakan III, sebaiknya parameter gempa ditentukan dengan menggunakan sejarah waktu percepatan gempa meskipun kemungkinan sudah cukup dengan ragam sambutan gempa. Biasanya masih dibutuhkan pertimbangan secara terpisah untuk OBE dan RIE.

4) Pada lokasi dengan tingkat kerusakan IV, sejarah waktu percepatan gempa digunakan untuk menentukan dan memberikan dampak sesaran terhadap kedekatan lokasi (near

field) atau pengaruh arah.

4.4.3 Pengaruh tingkat risiko bangunan

Hal-hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan pengaruh tingkat risiko bangunan, meliputi klasifikasi kelas risiko dan kriteria beban gempa untuk desain bendungan urugan.

4.4.3.1 Klasifikasi kelas risiko

Kelas risiko beban gempa yang harus digunakan dalam desain ditentukan oleh tingkat risiko bangunan seperti diperlihatkan dalam tabel 2.

Tabel 2 Kriteria faktor risiko untuk evaluasi keamanan bendungan

Angka bobot dalam kurung

Faktor Risiko Ekstrem Tinggi Moderat Rendah

Kapasitas (106m3) (FRk) >100 (6) 100-1,25 (4) 1,00-0,125 (2) < 0,125 (0) Tinggi (m) (FRt) > 45 (6) 45-30 (4) 30-15 (2) < 15 (0) Kebutuhan evakuasi (jumlah orang) (FRe) > 1000 (12) 1000-100 (8) 100-1 (4) (0) 0

Tingkat kerusakan hilir (FRh)

Sangat Tinggi

(12) Tinggi (10) Tinggi Agak (8)

Moderat

(4) Tidak Ada (0)

Empat faktor risiko yang harus dipertimbangkan dalam analisis ialah kapasitas waduk, tinggi bendungan, kebutuhan evakuasi dan kerusakan di hilir. Tiap-tiap faktor risiko terbagi lagi dalam kondisi risiko ekstrem, kondisi risiko tinggi, kondisi risiko moderat dan kondisi risiko rendah dengan nilai bobot seperti yang tertera dalam kurung. Penentuan kelas beban gempa dilakukan dengan menghitung faktor risiko total (FRtot) yang merupakan penjumlahan dari

faktor risiko pengaruh kapasitas waduk (FRk), tinggi bendungan (FRt), kebutuhan evakuasi

(FRe) dan pengaruh tingkat kerusakan di hilir (FRh ) dengan persamaan:

FRtot = FRk + FRt + FRe + FRh ……….. (3)

dengan :

FRtot adalah faktor risiko total (bobot)

FRk adalah faktor risiko pengaruh kapasitas waduk (bobot)

FRt adalah faktor risiko pengaruh tinggi bendungan (bobot)

FRe adalah faktor risiko kebutuhan evakuasi (bobot)

FRh adalah faktor risiko tingkat kerusakan hilir (bobot), diperoleh dari Pedoman Klasifikasi

(18)

4.4.3.2 Kriteria beban gempa untuk desain bendungan

Menurut faktor risiko total, kelas risiko untuk desain seperti diuraikan dalam tabel 3 terbagi atas kelas I (rendah), kelas II (moderat), kelas III (tinggi), dan kelas IV (ekstrem). Kriteria beban gempa ditinjau berdasarkan tabel 4 dan ditentukan menurut kelas risiko. Analisis dilakukan dengan dua tingkat gempa, yaitu sebagai berikut.

Tabel 3 Kelas risiko bendungan dan bangunan air

Faktor risiko total Kelas risiko

(0-6) I (Rendah)

(7-18) II (Moderat)

(19-30) III (Tinggi)

(31-36) IV (Ekstrem)

1) Persyaratan tanpa kerusakan dengan periode ulang T ditentukan (OBE), sehingga beban gempa dapat diperoleh dari peta zona gempa (bab V). Analisis dilakukan dengan cara koefisien gempa. Kestajikan bendungan harus lebih tinggi dari faktor keamanan minimum yang dipersyaratkan, bendungan tidak mengalami kerusakan yang serius, dan masih tetap beroperasi, serta tidak diperlukan pekerjaan perbaikan yang menyeluruh.

2) Persyaratan yang diperkenankan ada kerusakan tanpa terjadi keruntuhan dengan periode ulang T ditentukan untuk kelas I, II, III, dan IV sehingga percepatan gempa maksimum di permukaan tanah dapat diperoleh dari peta zona gempa (bab V). Analisis dilakukan dengan cara dinamik dengan menggunakan ragam sambutan gempa atau sejarah waktu percepatan gempa. Bendungan harus mampu menahan gempa desain MDE tanpa keruntuhan atau diperkenankan ada kerusakan dengan alihan tetap tidak melampaui 50 % dari tinggi jagaan.

Tabel 4 Kriteria beban gempa untuk desain bendungan

Kelas risiko dengan masa

guna

Persyaratan tanpa

kerusakan Persyaratan diperkenankan ada kerusakan tanpa keruntuhan T

(thn) Analisis Metode (tahun) T Analisis Metode

IV

N=50-100 a100 – 200 d ≥ 0,1 g

Koef Gempa 10.000

(MDE) Koef.gempa atau dinamik *

III

N=50-100 a50 – 100 d ≥ 0,1 g

Koef Gempa 5000

(MDE) Koef. gempa atau dinamik *

II N=50-100 50-100 ad ≥ 0,1 g Koef Gempa 3000 (MDE)

Koef. gempa atau dinamik * I

N=50-100 a50-100 d ≥ 0,1 g

Koef Gempa 1000

(MDE) Koef. gempa atau dinamik *

Catatan :

1) Untuk bendungan besar dengan kondisi geologi setempat yang khusus, Peta Zona Gempa dalam bab V tidak dapat digunakan, dan perlu dilakukan studi gempa tersendiri.

2) Analisis dinamik dapat dilakukan dengan analisis ragam sambutan gempa atau sejarah waktu percepatan gempa.

*) Penjelasan lebih terperinci periksa tabel 17.

4.4.4 Pengaruh tipe bendungan

Pengaruh tipe bendungan, tipe keruntuhan, tingkat bahaya kerusakan pada lokasi dan kelas risiko bangunan harus dipertimbangkan dalam menentukan parameter gempa. Pengalaman profesi sangat diperlukan untuk menentukan faktor-faktor, yang dapat mempengaruhi persyaratan parameter evaluasi gempa. Buku pedoman ini tidak secara khusus menguraikan metode analisis bendungan yang paling sesuai terhadap pengaruh kombinasi beban gempa

(19)

Pd T-14-2004-A

dengan beban lainnya serta kriteria evaluasi perilaku yang dapat diterapkan. Tetapi, pengaruh dari berbagai macam analisis dan tipe bendungan urugan serta kemungkinan tipe keruntuhan yang diterapkan terhadap pemilihan parameter evaluasi gempa akan ditinjau secara umum dalam uraian berikut ini.

Metode yang paling lengkap untuk menentukan beban gempa ialah metode dengan menggunakan tiga komponen goncangan gempa yang saling tegak lurus, yaitu dua horisontal dan satu vertikal. Ketiga komponen tersebut tidak selalu diperlukan seluruhnya karena tergantung dari analisis yang digunakan.

Hal-hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan pengaruh beban gempa pada desain bendungan urugan meliputi : aspek keamanan dan pencegahan kerusakan serta keruntuhan bendungan.

4.4.4.1 Aspek keamanan

Berbagai macam ketidakstajikan bendungan urugan yang dilanda goncangan gempa meliputi tiga tipe, yaitu:

1) ketidakstajikan akibat penurunan kekuatan geser material urugan atau material fondasi yang disebabkan oleh peningkatan tekanan air pori sehingga mengakibatkan terjadi proses likuifaksi.

2) ketidakstajikan akibat deformasi yang berlebihan berupa longsoran lereng secara rotasi dan planar, perosokan, dan retakan pada bendungan yang disebabkan oleh peningkatan tegangan geser akibat beban gempa.

3) ketidakstajikan akibat gelombang tinggi pengaruh gempa yang dapat menyebabkan terjadinya pelimpahan yang melewati tubuh bendungan.

Untuk mengetahui tingkat kestajikan bendungan dapat dilakukan analisis dengan metode simplifikasi, misalnya dengan cara koefisien gempa, cara Newmark (1968), Makdisi & Seed (1978), atau prosedur terpeterperinci yang menggunakan cara elemen hingga dengan anggapan material berperilaku linier atau nonlinier. Jika tidak dicurigai adanya penurunan kuat geser material yang disebabkan oleh peningkatan tekanan air pori sehingga tidak mengakibatkan terjadi proses likuifaksi, maka prosedur analisis dapat dilakukan dengan cara simplifikasi.

Untuk memperkirakan perilaku bendungan urugan pada kelas risiko ataupun tingkat kerusakan tinggi, sebaiknya digunakan prosedur analisis yang terperinci misalnya cara analisis elemen hingga (finite element method). Dalam analisis ini diperlukan data sejarah waktu percepatan gempa sebagai parameter evaluasi gempa. Bendungan urugan mempunyai periode predominan yang berkisar antara 0,5 sampai dengan dengan 1,5 detik, sehingga untuk penggunaan dalam analisis elemen hingga, interval bacaan asselerogram desain bervariasi antara 0,01 detik sampai dengan dengan 0,05 detik.

4.4.4.2 Desain pencegahan kerusakan bendungan

Dalam desain bendungan yang kemungkinan mengalami permasalahan keruntuhan diperlukan pencegahan dengan analisis yang kompleks. Penerapan secara sederhana dari langkah-langkah penangkal yang baik untuk mencegah pengaruh kerusakan akibat gempa bumi, antara lain:

1) tinggi jagaan yang cukup untuk mengatasi penurunan berlebihan atau pergeseran sesaran aktif.

2) zona transisi yang cukup lebar yang terbuat dari material nonkohesif untuk mencegah retakan berkelanjutan dan pengaruh gelombang air.

3) drainase tegak di bagian tengah (inti) bendungan tanah.

4) Zona drainase yang cukup lebar untuk mencegah kemungkinan aliran air rembesan mengalir melalui daerah yang retak.

5) zona inti yang cukup lebar dari material yang cukup plastis supaya tidak mudah retak. 6) gradasi filter yang baik di sebelah udik dan hilir zona inti untuk menghambat

(20)

7) puncak bendungan yang tinggi yang akan mencegah erosi di dalam setiap kejadian pelimpahan dan pengaruh gelombang air.

8) pelebaran bagian inti bendungan pada bidang kontak di ebatmen.

9) penempatan inti yang baik untuk memperkecil derajat kejenuhan dari material. 10) kestabilan lereng hilir waduk untuk mencegah menggesernya ke arah waduk

11) pengadaan terperinci yang khusus untuk mencegah kemungkinan adanya potensi pergeseran sesaran antara permukaan fondasi bendungan.

12) penyediaan kualitas bahan urugan batu yang baik sehingga air dapat mengalir dengan bebas.

13) penggaliani material fondasi yang berpotensi menimbulkan permasalahan di kemudian hari (misalnya lanau pasiran dan pasir lepas yang berpotensi mengalami likuifaksi).

4.5 Analisis stabilitas bangunan pengairan lainnya

Untuk desain bangunan pengairan tahan gempa lainnya, seperti bangunan sadap, bangunan silang, tanggul penutup (tanggul banjir), dan tembok penahan lainnya perlu dilakukan analisis stabilitas bangunan dengan mengikuti prosedur yang dianjurkan pada tabel 5.

Tabel 5 Prosedur analisis yang dianjurkan untuk bangunan pengairan

No. Jenis Bangunan Kelas Risiko Dengan Masa guna

Periode Ulang T (tahun) Metode Analisis 1 Bangunan Pengairan Permanen seperti : • bangunan sadap, • bangunan silang, • tanggul penutup, • tanggul banjir, • tembok penahan, • lain-lain. V N=20-50 20-50 Ba 2 Bangunan Pengairan

Semi Permanen : VI - Tidak dianalisis perlu Catatan :

Ba = Untuk bangunan pengairan dengan H ≤ 15m, analisis dilakukan dengan metode koefisien gempa dengan persamaan (48) dan (49); jika H > 15m analisis harus menggunakan kelas risiko IV pada tabel 17.

5 Peta zona gempa

5.1 Risiko gempa (seismic risk)

Peta percepatan gempa boleh jadi untuk periode ulang 10, 20, 50, 100, 200, 500, 1000, 5000, dan 10000 tahun yang kemudian digabungkan menjadi satu peta zona gempa dapat digunakan untuk memprediksi percepatan gempa untuk periode ulang tertentu. Tetapi, dalam prakteknya kadang-kadang diperlukan probabilitas terjadinya atau terlampauinya suatu percepatan gempa maksimum di permukaan tanah untuk suatu masa guna bangunan. Beberapa persamaan penting yang dapat digunakan untuk menghitung probabilitas atau risiko diuraikan sebagai berikut :

Tabel 6 Risiko gempa untuk berbagai masa guna dan periode ulang

T RN (%) dengan masa guna bangunan dalam tahun

(thn) 10 20 50 100 200 500 1000 5 89,3 98,9 100 100 100 100 100 10 65,1 87,8 98,5 100 100 100 100 20 40,1 64,2 92,3 99,4 100 100 100 50 18,3 33,2 63,6 86,7 98,2 100 100 100 9,6 18,2 39,5 63,4 86,6 99,3 100 200 4,9 9,5 22,2 39,4 63,3 91,8 99,3 500 2,0 3,9 9,5 18,1 33,0 63,3 86,5 1000 1,0 2,0 4,9 9,5 18,1 39,4 63,2 2000 0,5 1,0 2,5 4,9 9,5 22,1 39,4 5000 0,2 0,4 1,0 2,0 3,9 9,5 18,1 10000 0,1 0,2 0,5 1,0 1,6 4,9 9,5

(21)

Pd T-14-2004-A

T = 1/ RA ...……….(4)

RN = 1 – (1 – RA)N ...……….(5)

dengan :

T adalah periode ulang rata-rata (tahun) RA adalah risiko tahunan atau annual risk (-)

N adalah masa guna bangunan (tahun)

RN adalah risiko atau probabilitas terjadinya percepatan gempa dalam waktu N tahun (-).

Pada tabel 6 diperlihatkan hubungan antara RN, N dan T. Jika untuk desain ditentukan

probabilitas terjadinya RN ialah 10% dalam 50 tahun (N), maka dari tabel 6 dapat diperoleh

T= 475 tahun. Dengan demikian untuk memperkirakan percepatan gempa maksimum di permukaan tanah, maka dapat dipilih peta percepatan gempa boleh jadi dengan periode ulang yang mendekati 475 tahun atau peta dengan T=500 tahun.

5.2 Prosedur pembuatan peta zona gempa

Dalam penyusunan peta zona gempa untuk Kepulauan Indonesia telah dilaksanakan dengan langkah-langkah sebagai berikut :

1) Pemilihan fungsi atenuasi dilakukan dengan memilihnya dari berbagai literatur. Dalam penyusunan peta ini digunakan persamaan atenuasi dari Fukushima & Tanaka (1990), seperti diperlihatkan pada persamaan (6) berikut ini :

Log10 (ag)=0,41Ms–Log10(R + 0,032 x 100,41M) – 0,0034 R + 1,3 ……(6)

dengan :

ag adalah percepatan gempa maksimum di permukaan tanah (gal = cm/det2)

R adalah jarak hiposentrum (km) Ms adalah magnetudo gempa.

2) Penentuan daerah sumber gempa pada zona subduksi diperoleh dengan menggunakan peta frekuensi kejadian gempa untuk Ms≥5; Ms≥6; Ms≥7 yang datanya diperoleh dari USGS untuk gempa dangkal (< 100km) dengan lama pengamatan 100 tahun. Peta ini

dapat dilihat dari hasil studi yang telah dilakukan [Najoan, 1996]. Untuk pekerjaan analisis ini, kepulauan Indonesia dibagi dalam 5 wilayah yaitu sebagai berikut :

a) Wilayah Sumatera dengan daerah sumber gempa berjumlah 138, periksa gambar 2. Setiap daerah sumber gempa mempunyai parameter jumlah kejadian gempa n per 100 tahun observasi untuk interval Ms = 5,5, 6,5 dan 7,5. Data ini merupakan data

masukan yang akan digunakan dalam program SEISRISK III untuk menghitung nilai β = -2,303b (b ialah konstanta sifat tektonik daerah sumber gempa dari model

Gutenberg-Richter) dan jumlah kejadian gempa tahunan N1(M).

b) Wilayah Jawa dengan daerah sumber gempa berjumlah 35, periksa gambar 3.

c) Wilayah Bali, Nusa Tenggara dan Timor Timur dengan daerah sumber gempa berjumlah 48, periksa gambar 4.

d) Wilayah Kalimantan dan Sulawesi dengan daerah sumber gempa berjumlah 118, periksa gambar 5.

e) Wilayah Irian Jaya dengan daerah sumber gempa berjumlah 56, periksa gambar 6. 3) Penentuan parameter aktivitas gempa pada sesaran aktif diperoleh dengan

menggunakan persamaan dari Wells dan Coppersmith (1994) sebagai berikut: Mmax = 5,08 + 1,16 Log L ………. (7)

Tmax =(1000/slip-rate)x10 (-5,46 + 0,82 x Mmax) ……….. (8)

(22)

dengan :

Mmax adalah magnetudo gempa maksimum yang dapat terjadi

L adalah panjang segmen patahan (km)

Tmax adalah periode ulang dari gempa maksimum (tahun)

Slip rate adalah pergerakan sesaran (mm/tahun) a, b adalah konstanta

N1(Mmax) adalah jumlah kejadian gempa dengan Mmax per tahun.

Untuk menghitung periode ulang pada magnetudo lainnya, dapat digunakan persamaan (8) dengan memasukkan nilai Mmax sama dengan nilai yang diinginkan (misalnya M = 5, 6

dan 7). Konstanta a dan b dapat diperoleh dari persamaan (9) dengan menggunakan 2 nilai magnetudo yaitu pada Mmax dan Ms=5. Data sesaran aktif yang digunakan untuk

analisis risiko gempa dapat dilihat di wilayah Sumatera, yaitu berjumlah 14 segmen (gambar 2), di wilayah Jawa 2 segmen (gambar 3), dan di wilayah Irian Jaya 8 segmen (gambar 6). Parameter dari setiap segmen sesaran dapat diperiksa pada tabel 7.

4) Data yang diuraikan pada 1), 2) dan 3) merupakan data masukan untuk analisis risiko gempa yang menggunakan program SEISRISK III (BENDER & PERKINS 1987). Perhitungan dilakukan pada berbagai koordinat yang penting di wilayah Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Timor Timur, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Irian Jaya, dengan tujuan agar dapat dibuat peta kontur percepatan gempa maksimum bolehjadi di permukaan tanah untuk periode ulang 10, 20, 50, 100, 200, 500, 1000, 5000 dan 10000 tahun. Peta percepatan gempa maksimum boleh jadi ini tidak dilampirkan dalam pedoman ini.

5) Dalam penggunaannya, percepatan gempa maksimum dari hasil perhitungan pada setiap koordinat di Kepulauan Indonesia dibagi dengan percepatan gempa maksimum yang terjadi di Jakarta pada periode ulang 10, 20, 50, 100, 200, 500,1000, 5000, dan 10000 tahun. Rasio rata-rata dari percepatan gempa maksimum di tiap-tiap koordinat dengan percepatan gempa maksimum di Jakarta untuk periode ulang 10 sampai dengan dengan 10000 tahun digambarkan berupa kontur koefisien zona dalam peta zona gempa untuk daerah Indonesia yang dapat diperiksa pada gambar 7. Berdasarkan kontur pada zona gempa, daerah Indonesia dapat dibagi menjadi 6 zona gempa, yaitu zona A, B, C, D, E dan F. Besarnya nilai koefisien zona tersebut dapat dilihat pada tabel 8. Dari peta zona gempa dapat diperoleh percepatan gempa maksimum di permukaan tanah dengan menggunakan persamaan (10).

(23)

Pd T-14-2004-A

(24)
(25)

Pd T-14-2004-A

Gambar 4 Daerah sumber gempa dan parameter kejadian gempa untuk Bali dan Nusa Tenggara

(26)

Gambar 5 Daerah sumber gempa dan parameter kejadian gempa untuk Kalimantan dan Sulawesi

(27)

Pd T-14-2004-A

Gambar 6 Daerah sumber gempa dan parameter kejadian gempa untuk Maluku dan Irian Barat

(28)
(29)

Pd T-14-2004-A

Tabel 7 Parameter sesaran aktif yang digunakan untuk analisis risiko gempa No

Sesa ran

Nama sesaran L

(km) Mmax Slip (mm/thnrate ) Tmax ((tahun) N1(Mmax) N1(M=5) b a N1(M=6) N1(M=7) 1 Sunda 52,2 7,0725 11 198,6 0,005034 0,251995 0,82 3,51 0,0381 0,00577 2 Ranau 158 7,6304 11 569,6 0,001756 0,251995 0,82 3,50 0,0381 0,00577 3 Keruh Dempo 82,9 7,3055 11 308,4 0,003242 0,251995 0,82 3,50 0,0381 0,00577 4 Kaba 73,3 7,2435 11 274,3 0,003645 0,251995 0,82 3,50 0,0381 0,00577 5 Sumbing-Kataun 149,1 7,6012 11 539,0 0,001855 0,251995 0,82 3,50 0,0381 0,00577 6 Keterperinci 165,8 7,6547 11 596,3 0,001677 0,251995 0,82 3,50 0,0381 0,00577 7 Singkarak 55,3 7,1016 11 209,8 0,004766 0,251995 0,82 3,50 0,0381 0,00577 8 Bukittinggi 64,4 7,1783 11 242,6 0,004123 0,251995 0,82 3,50 0,0381 0,00577 9 Lubuksikaping 256,6 7,8747 16 621,1 0,00161 0,366539 0,76 3,38 0,0555 0,00840 10 Sorik-Merapi 143,7 7,5826 5 1144 0,000873 0,114543 0,95 3,82 0,0173 0,00262 11 Toba 210,2 7,7743 27 304,5 0,003285 0,618534 0,68 3,19 0,0936 0,01417 12 Alas 174,2 7,6796 27 254,6 0,003927 0,618534 0,67 3,16 0,0936 0,01417 13 Aceh 210,2 7,7743 10 822,0 0,001216 0,229087 0,84 3,54 0,0347 0,00525 14 La Teuba 79,5 7,2844 10 326,0 0,003067 0,229087 0,84 3,55 0,0347 0,00525 15 Lembang 24,9 6,6996 2 540,3 0,001851 0,045817 0,83 2,84 0,0069 0,00105 16 Banyumas 100,4 7,4020 2 2035 0,000491 0,045817 0,82 2,76 0,0069 0,00105 17 Sorong (01) 268,8 7,898 1 21 494,6 0,00202 0,481082 0,82 3,88 0,07281 0,01102 18 Yapen (02) 168,0 7,661 4 21 316,3 0,003164 0,481082 0,82 3,78 0,07281 0,01102 19 Yapen (03) 190,4 7,360 21 179,1 0,005585 0,481082 0,82 3,78 0,07281 0,01102 20 Meervlakte (4A) 78,40 6,974 21 86,39 0,011575 0,481082 0,82 3,78 0,07281 0,01102 21 Meervlakte (4B) 112,0 7,457 21 215,0 0,004650 0,481082 0,82 3,78 0,07281 0,01102 22 Meervlakte (4C) 134,4 7,549 21 255,8 0,003909 0,481082 0,82 3,78 0,07281 0,01102 23 Meervlakte (4D) 201,6 7,753 21 376,0 0,002659 0,481082 0,82 3,78 0,07281 0,01102 24 Meervlakte (4E) 168,0 7,661 21 316,1 0,003164 0,481082 0,82 3,78 0,07281 0,01102 25 Tarera Aduma(05) 134,4 7,550 21 256.3 0.003901 0.481082 0.82 3.94 0.07281 0.01102

Tabel 8 Koefisien zona pada zona A,B,C,D,E,F

Zona Koefisien zona Z

A 0,10-0,30 B 0,30-0,60 C 0,60-0,90 D 0,90-1,20 E 1,20-1,40 F 1,40-1,60

5.3 Percepatan gempa maksimum di permukaan tanah

Perhitungan percepatan gempa maksimum di permukaan tanah dapat langsung diperoleh dengan menggunakan peta zona gempa dengan cara sebagai berikut :

1) Daerah Indonesia dibagi dalam enam zona gempa yaitu A, B, C, D, E dan F dengan tiap-tiap koefisien gempanya.

2) Percepatan gempa diperoleh berdasarkan pada peta zona gempa, koefisien zona gempa, dan percepatan gempa dasar yang dihitung dengan persamaan berikut.

ad = Z x ac x v ……….. (10)

dengan :

ad adalah percepatan gempa maksimum yang terkoreksi di permukaan tanah (gal)

ac adalah percepatan gempa dasar, periksa tabel 9.

Z adalah koefisien zona, periksa gambar 7.

(30)

Tabel 9 Percepatan gempa dasar untuk berbagai periode ulang T (tahun) (gal)ac 10 90 20 120 50 160 100 190 200 220 500 250 1000 280 5000 330 1000 350

Tabel 10 Faktor koreksi pengaruh jenis tanah setempat

Kelompok Jenis Tanah Periode predominan

Ts(detik)

Koreksi (v)

1 Batuan

a) Perlapisan terbentuk sebelum periode kuarter disebut batuan.

b) Lapisan diluvial di atas lapisan batuan dengan tebal kurang dari 10 m

Ts ≤ 0,25 0,80

2 Diluvium

a) Lapisan diluvial di atas lapisan batuan dengan tebal lebih dari 10 m

b) Lapisan aluvial di atas lapisan batuan dengan tebal kurang dari 10 m.

0,25 < Ts ≤ 0,50 1,00

3 Aluvium

a) Lapisan aluvial di atas lapisan batuan dengan tebal kurang dari 25 m

b) Lapisan aluvial di atas lapisan batuan dengan tebal kurang dari 25 m dan lapisan aluvial lunak kurang dari 5 m.

0,50 < Ts ≤ 0,75 1,10

4 Aluvium lunak

a) Lapisan tanah pasiran jenuh air dengan tebal kurang dari 10m dari permukaan dengan NSPT ≤

10 pkl/30cm penetrasi.

b) Lapisan tanah kohesif atau lanauan lunak

ditemukan mulai pada kedalaman 3 m dari permukaan dengan nilai cu ≤ 0,25 kg/cm2 dari uji

lapangan.

Ts > 0,75 1,20

Catatan :

(1) Yang termasuk dalam lapisan diluvial ialah lapisan pasir padat, kerikil pasiran, kerikil bongkahan, dan lempung keras.

(2) Yang termasuk dalam lapisan aluvial ialah lapisan endapan baru seperti endapan sungai, dan longsoran.

3) Percepatan gempa maksimum di permukaan tanah harus dikoreksi terhadap pengaruh jenis tanah setempat yang berdasarkan

a) periode predominan dari perlapisan tanah yang dibagi dalam 4 kelompok, seperti diperlihatkan pada tabel 10.

b) nilai periode predominan dihitung dengan menggunakan persamaan berikut : Ts = 1,25 Tp ………. (11)

Tp = ∑n i=1 (

4Hi

Vsi ) ……… (12)

Vs dihitung dengan menggunakan persamaan (13) dan (14) atau diuji di laboratorium dengan menggunakan uji kolom resonansi (resonant column test) atau diuji di lapangan dengan uji lubang silang (cross hole test).

Vs = 100 N1/3 ; untuk tanah kohesif ……….. (13)

Vs = 80 N1/3 ; untuk tanah nonkohesif ………… (14)

dengan :

Ts adalah periode predominan perlapisan tanah dengan regangan besar pada waktu terjadi gempa (detik)

(31)

Pd T-14-2004-A

Hi adalah tebal perlapisan ke i (m)

Vsi adalah cepat rambat gelombang geser pada lapisan tanah ke i (m/detik) NSPT adalah nilai uji penetrasi standar (SPT)

Vs adalah cepat rambat gelombang geser (m/detik) n adalah jumlah lapisan.

c) Bagi batuan dasar yang merupakan batas terdalam harus ditentukan lapisan yang mempunyai nilai Vs lebih dari 280 m/detik.

5.4 Ragam percepatan gempa desain

Dalam analisis stabilitas bendungan urugan akibat beban gempa pada umumnya digunakan data ragam percepatan gempa desain yang diperoleh dari hasil pencatatan akselerograf. Oleh karena itu, telah dikumpulkan hasil pencatatan akselerograf dari Jepang, yang berupa 277 rekaman berasal dari 68 kejadian gempa dengan besarnya gempa berkisar antara 4,5 sampai dengan 8,0 dan kedalaman fokusnya kurang dari 60 km. Data ragam percepatan gempa desain perlu diubah terlebih dahulu menjadi ragam percepatan gempa penormalan dengan cara membagi nilai ragam percepatan gempa pada setiap periode percepatan gempa maksimum yang tercatat.

Ragam percepatan gempa penormalan dibagi dalam empat kelompok (sesuai dengan penggolongan dalam tabel 10) yang setiap kelompoknya mempunyai satu ragam percepatan gempa penormalan dengan koefisien redaman D = 5 % (lihat gambar 8, 9 10, dan 11). Ragam percepatan gempa penormalan dengan D≠ 5% dikoreksi dengan menggunakan persamaan berikut.

San = Sa5 x Cn ……….. (15)

dengan :

San adalah ragam percepatan gempa penormalan untuk D ≠ 5% (-)

Sa5 adalah ragam percepatan gempa penormalan untuk D = 5% (-)

Cn adalah koefisien koreksi untuk D≠ 5% dengan menggunakan gambar 12 (-).

Gambar 8 Ragam percepatan gempa penormalan untuk fondasi batuan (Ts ≥ 0,25 detik) Ï Sa/ad 0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 4.0 3.0 2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 0 D = 5% T Î

(32)

Gambar 9 Ragam percepatan gempa penormalan untuk fondasi diluvium (0,25 <Ts ≤ 0,50 detik)

Gambar 10 Ragam percepatan gempa penormalan untuk fondasi aluvium (0,50 <Ts ≤ 0,75detik)

0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 4.0 3.0 2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 0 T Î Ï Sa/ad 0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 4.0 3.0 2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 0 T Î Ï Sa/ad D = 5% D = 5%

(33)

Pd T-14-2004-A

Gambar 11 Ragam percepatan gempa penormalan untuk fondasi aluvium lunak (Ts > 0,75detik)

Gambar 12 Faktor koreksi Cn untuk menentukan ragam percepatan gempa penormalan

dengan D tidak sama dengan 5% D = 5% 0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 4.0 3.0 2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 0 T Î Ï Sa/ad Koefisien redaman, D F a k to r ko reksi , Cn

(34)

6 Proses likuifaksi dan gempa imbas

6.1 Likuifaksi pada tanah pasiran 6.1.1 Lapisan tanah pasiran

Jenis lapisan tanah pasiran yang jenuh air cenderung mengalami likuifaksi pada waktu ada gempa sehingga daya dukung batasnya harus dikoreksi. Hal ini biasanya dijumpai pada

1) kedalaman lapisan tanah kurang dari 20 m dari permukaan tanah,

2) kedalaman muka air tanah kurang dari 10 m,

3) butiran tanah D50 pada grafik analisis gradasi butir mempunyai nilai antara 0,02 mm

sampai dengan dengan 2,0 mm. 6.1.2 Analisis potensi likuifaksi

Analisis potensi likuifaksi pada lapisan tanah pasiran dapat dilakukan dengan menghitung faktor keamanan terhadap likuifaksi melalui rumus-rumus berikut :

Fp = R L p ………. (16) Rt = 0,0882 5 . 0 '

0 

,

7



+

v SPT

N

σ

……….. (17) Rp = Rt + 0,19 ; 0,02 mm < D50 < 0,05 mm ………. (18a) Rp = Rt + 0,225 log10





50

35

.

0

D

; 0,05 mm < D50 < 0,60 mm …(18b) Rp = Rt – 0,05 ; 0,60 mm < D50 < 2,00 mm ……… (18c) L = rd Kh v v

σ

σ

'

……… (19) rd = 1,0 – 0,015 z ……… (20) dengan :

Fp adalah faktor keamanan terhadap likuifaksi; jika Fp<1 dianggap terjadi proses likuifaksi;

Rp adalah ketahanan elemen tanah terhadap beban dinamik (-)

L adalah beban-beban dinamik yang terimbas akibat goncangan gempa (-) z adalah kedalaman lapisan tanah dari permukaan tanah asli (m)

Kh adalah koefisien gempa (-)

σv adalah tegangan vertikal total (kg/cm2)

σv’ adalah tegangan vertikal efektif (kg/cm2)

Nspt adalah nilai uji penetrasi standar (SPT)

6.1.3 Koreksi daya dukung batas

Daya dukung batas dari lapisan tanah pasiran yang dapat mengalami proses likuifaksi dan mempunyai kedalaman kurang dari 20 m dari permukaan tanah harus dikoreksi dengan mengalikan daya dukung tanah semula dengan faktor reduksi De (lihat tabel 11).

Referensi

Dokumen terkait