• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, sampai menghilangkan rasa nyeri dan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, sampai menghilangkan rasa nyeri dan"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Narkotika adalah zat atau obat, baik yang berasal dari tanaman maupun bukan, baik sintesis maupun semi sintesis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, sampai menghilangkan rasa nyeri dan menimbulkan ketergantungan kecanduan.2

Pada dasarnya peredaran narkotika di Indonesia apabila ditinjau dari aspek yuridis adalah sah keberadaannya. Undang-Undang Narkotika hanya melarang penggunaan narkotika tanpa izin oleh undang-undang yang dimaksud. Keadaan yang demikian ini dalam tataran empirisnya, penggunaan narkotika sering disalahgunakan bukan untuk kepentingan pengobatan dan ilmu pengetahuan. Akan tetapi jauh dari pada itu, dijadikan ajang bisnis yang menjanjikan dan berkembang pesat, yang mana kegiatan ini berimbas pada rusaknya fisik maupun psikis mental pemakai narkotika khususnya generasi muda.

Di satu sisi narkotika merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan, pelayanan kesehatan, dan pengembangan ilmu pengetahuan. Namun, di sisi lain dapat menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila dipergunakan tanpa adanya pengendalian serta pengawasan yang ketat dan seksama.

3

Penyebaran narkoba sudah tidak lagi di kota besar, tetapi sudah masuk kota–kota kecil dan merambah di kecamatan bahkan desa. Jika dilihat dari

2

Lihat Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. 3

(2)

kalangan pengguna, narkoba tidak hanya dinikmati kalagan tertentu saja, tetapi sudah memasuki berbagai profesi.

Dewasa ini perkembangan penggunaan narkotika semakin meningkat, dan perkembangan itu tidak untuk tujuan kepentingan pengobatan atau kepentingan ilmu pengetahuan, tetapi untuk memperoleh keuntungan yang sangat besar.

Ketentuan perundang-undangan yang mengatur masalah narkotika telah disusun dan diberlakukan, namun demikian kejahatan yang menyangkut tentang narkotika belum dapat diredakan. Dalam banyak kasus terakhir, banyak bandar-bandar dan pengedar yang tertangkap dan mendapat sanksi berat, namun pelaku lain seperti tidak mengacuhkannya bahkan lebih cenderung untuk memperluas daerah operasinya.4

Kejahatan narkotika masih menjadi masalah kronis yang menimpa Indonesia. Berbagai cara telah dilakukan oleh pemerintah untuk memberantas kejahatan yang telah merenggut banyak nyawa anak bangsa ini. Salah satunya di

Kejahatan narkotika dan obat-obatan terlarang pada masa sekarang telah bersifat transnasional yang dilakukan dengan modus operandi yang tinggi dan teknologi yang canggih, aparat penegak hukum diharapkan mampu mencegah dan menanggulangi kejahatan tersebut guna meningkatkan moralitas dan kualitas sumber daya manusia di Indonesia, khususnya bagi generasi penerus bangsa. Di antara aparat penegak hukum yang juga mempunyai peran penting terhadap adanya kasus tindak pidana narkotika ialah Badan Narkotika Nasional (BNN), yang diharapkan mampu membantu proses penegakan hukum terhadap tindak pidana narkotika.

4

O.C. Kaligis & Associates, Narkoba dan Peradilannya di Indonesia, Reformasi Hukum Pidana Melalui Perundangan dan Peradilan, (Bandung : Alumni, 2002) hlm: 260.

(3)

bidang regulasi yang ditandai dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Seiring dengan perkembangan kejahatan narkotika, undang-undang tersebut dianggap sudah tidak lagi memadai, maka kemudian dikeluarkan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika.

Dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika yang di dalamnya diatur juga sanksi hukumnya, serta hal-hal yang diperbolehkan, maka Badan Narkotika Nasional diharapkan mampu membantu proses penyelesaian perkara terhadap seseorang atau lebih yang telah melakukan tindak pidana narkotika dewasa ini. Dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika, Badan Narkotika Nasional diberi kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan, hal mana belum diatur dalam undang-undang yang lama. Dua kewenangan dirasa perlu untuk mengantisipasi kejahatan narkotika dengan modus operandi yang semakin kompleks dan didukung oleh jaringan organisasi. Tidak hanya penambahan kewenangan, status kelembagaan Badan Narkotika Nasional pun ditingkatkan. Efektifitas berlakunya undang-undang ini sangatlah tergantung pada seluruh jajaran penegak umum, dalam hal ini seluruh intansi yang terkait langsung, yakni Badan Narkotika Nasional serta para penegak hukum yang lainnya. Di sisi lain, hal yang sangat penting adalah perlu adanya kesadaran hukum dari seluruh lapisan masyarakat guna menegakkan kewibawaan hukum dan khususnya terhadap Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009, maka peran Badan Narkotika Nasional bersama masyarakat sangatlah penting dalam membantu proses penegakan hukum terhadap tindak pidana narkotika yang semakin marak.

(4)

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana peranan dari Badan Narkotika Nasional dalam pencegahan terhadap tindak pidana narkotika sebelum dan menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 serta peranan Badan Narkotika Nasional dalam proses penyidikan tindak pidana narkotika, dengan judul: “ PERANAN BADAN

NARKOTIKA NASIONAL (BNN) DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA MENURUT UNDANG – UNDANG NO 35 TAHUN 2009 ”

B. Permasalahan

Sehubungan dengan semakin maraknya kasus narkoba dikalangan remaja yang merupakan generasi penerus bangsa, maka pemerintah semakin memperkuat peran serta kewenangan dari Badan Narkotika Nasional dalam hal proses penyidikan terhadap Tindak Pidana Narkotika. Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah :

1. Bagaimanakan peranan Badan Narkotika Nasional dalam pencegahan tindak pidana narkotika sebelum dan sesudah berlakunya Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009?

2. Bagaimanakah peranan Badan Narkotika Nasional ( BNN ) dalam proses penyidikan tindak pidana narkotika?

(5)

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penulisan dalam skripsi ini adalah :

1. Untuk mengetahui peranan Badan Narkotika Nasional dalam pencegahan terjadinya tindak pidana narkotika sebelum dan sesudah undang-undang No. 35 tahun 2009

2. Untuk mengetahui peran Badan Narkotika Nasional, POLRI, dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil dalam proses penyidikan Tindak Pidana Narkotika

D. Keaslian penulisan

Adapun judul penulisan dalam skripsi yakni mengenai “Peranan Badan

Narkotika Nasional ( BNN ) Dalam Penanggulangan tentang Narkotika Menurut Undang–Undang Nomor 35 Tahun 2009”, dimana sepengetahuan

penulis belum pernah ada yang membahas atau mengangkat hal tersebut ke dalam sebuah tulisan ilmiah.

Sebenarnya telah banyak tulisan–tulisan mengenai narkotika, namun tidak ada penulisan yang secara khusus membahas tentang lembaga Badan Narkotika Nasional yang sebenarnya telah membantu para penyidik dalam melakukan proses penyidikan terhadap tindak pidana Narkotika.

Dalam proses pembuatan skripsi ini penulis memulainya dengan mengumpulkan bahan–bahan yang berkaitan dengan Narkotika dan Badan Nasional Narkotika yakni Undang–Undang Narkotika Nomor 35 Tahun 2009 dan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 83 Tahun 2007 mengenai Badan Narkotika Nasional, Badan Narkotika Provinsi, dan Badan Narkotika

(6)

Kabupaten/Kota. Oleh karena itu penulis dapat menyatakan bahwa skripsi ini adalah murni merupakan hasil karya penulis.

E. Tinjauan Pustaka

1. Pengertian Tindak Pidana Narkotika

Tindak Pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenai hukuman pidana, dan pelaku ini dapat dikatakan merupakan subjek tindak pidana. Dalam pandangan KUHP, yang dapat menjadi subjek tindak pidana adalah seorang manusia sebagai oknum. Ini mudah terlihat pada perumusan-perumusan dari tindak pidana dalam KUHP, yang menampakkan daya berpikir sebagai syarat bagi subjek tindak pidana itu, juga terlihat pada wujud hukuman/pidana yang termuat dalam pasal-pasal KUHP, yaitu hukuman penjara, kurungan, dan denda.5

Dalam peraturan perundang-undangan indonesia tidak ditemukan defenisi tindak pidana. Pengertian tindak pidana yang dipahami selama ini merupakan kreasi teoritis para ahli hukum. Para ahli hukum pidana umumnya masih memasukkan kesalahan sebagai bagian dari pengertian tindak pidana. Demikian pula dengan apa yang didefenisikan Simons dan Van Hammel. Dua ahli hukum pidana Belanda tersebut pandangan-oandangannya mewarnai pendapat para ahli hukum pidana Belanda dan Indonesia hingga saat ini.6

Simons mengatakan bahwa tindak pidana itu adalah kelakuan yang

diancam dengan pidana, bersifat melawab hukum, dan berhubungan dengan kesalahan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab. Sedangkan

5

Romli Atmasasmita , Tindak Pidana Narkotika Transnasional dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia , ( Bandung : Citra Aditya Bakti , 1997 ) , hal: 26.

6

Moh.Taufik Makarao, Tindak Pidana Narkotika, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 2003) , hal:35.

(7)

Van Hamel mengatakan bahwa tindak pidana itu adalah kelakuan orang yang dirumuskan dalam undang-undang, bersifat melawan hukum, patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan.7

Begitu berpengaruhnya pandangan ahli-ahli hukum belanda tersebut, sehingga umunya diikuti oleh ahli-ahli hukum pidana indonesia, termasuk generasi sekarang, Komariah E.Sapardjaja maengatakan tindak pidana adalah suatu perbuatan manusia yang memenuhi perumusan delik, melawan hukum dan pembuat bersalah melakukan perbuatan itu.

8

Hal senada juga dikemukakan

Indriyanto Seno Adji, dikatakannya tindak pidana adalah poerbuatan seseorang

yang diancam pidana, perbuatannya bersifat melawan hukum, terdapat suatu kesalahan dan bagi pelakunya dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya.9

Di dalam Bab I Pasal I Ayat (1) KUHP berisi tentang “ nulum delictum nulla poena sine praevia lege poenale “, yang pada intinya menyatakan bahwa tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali sudah ada ketentuan undang-undang yang mengatur sebelumnya (asas legalitas). Akan tetapi perumusan ini mengalami perkembangan luas di dalam rancangan KUHP terbaru di tahun 2004 yaitu pada ketentuan Pasal 1 ayat (1) tersebut tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup atau hukum adat yang menentukan bahwa menurut adat setempat seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan

7

Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana. (Yogyakarta : Bina Aksara, 1983) Hlm : 24-25

8

Komariah E.Sapardjaja, Ajaran Melawan Hukum Materiil dalam Hukum Pidana Indonesia. ( Bandung : Alumni, 2002 ) Hlm : 22

9

Indriyanto Seno Adji, Korupsi dan Hukum Pidana, ( Jakarta : PT. Kencana, 2002 ) Hlm: 155

(8)

perundang-undangan.10

a. Narkotika apabila dipergunakan secara proprosional, artinya sesuai menurut asas pemanfaatan, baik untuk kesehatan maupun untuk kepentingan penelitian ilmu pengetahuan, maka hal tersebut tidak dapat dikuwalisir sebagai tindak pidana narkotika. Akan tetapi apabila dipergunakan untuk maksud – maksud yang lain dari itu, maka perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai perbuatan tindak pidana dan atau penyalahgunaan narkotika berdasarkan Undang- undang Nomor 35 Tahun 2009.

Hal ini dikenal dengan asas legalitas materiel. Dengan aturan itu jelaslah bahwa RUU KUHP Tahun 2004 memberikan tempat bagihukum adat setempat sebagai sumber keputusan bagi hakim apabila ternyata ada suatu perbuatan yang menurut hukum positif Indonesiabelum/tidak diatur sebagai tindak pidana namun menurut masyarakat dianggap sebagai perbuatan yang patut dipidana.

Tindak pidana narkotika merupakan bentuk-bentuk kejahatan dan pelanggaran dalam hal penyalahgunaan narkotika sebagai berikut :

b. Bentuk tindak pidana narkotika yang umum dikenal antara lain berikut ini: 1) Penyalahgunaan /melebihi dosis, dalam hal ini meliputi kegiatan

memakai dalam bentuk tanaman atau yang bukan tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.800.000,000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak

10

(9)

Rp.8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah). Apabila beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana maksimum denda sebagaimana dimaksud diatas ditambah 1/3 (sepertiga).

2) Pengedaran narkotika ini dilakukan tanpa pengawasan dari Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan dan tidak dilengkapi dengan dokumen yang sah. Kegiatan ini meliputi Ekspor dan Impor. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud diatas ditambah 1/3 (sepertiga).

(10)

3) Jual beli narkotika. Ini pada umumnya dilatarbelakangi oleh motivasi untuk mencari keuntungan materil, namun ada juga karena motivasi untuk kepuasan.

Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar , atau menyerahkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 ( sepuluh miliar rupiah). Apabila bentuk tanaman tersebut beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 6 (enam) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana yang dimaksud diatas ditambah 1/3 (sepertiga).

Penyalahgunaan narkotika merupakan bahaya yang amat merugikan bagi suatu negara. Hal ini disebabkan tindak pidana narkotika oleh generasi muda akan memberikan dampak buruk baik jasmani atau rohani dari generasi muda, sehingga memberikan kerugian yang amat besar bagi negara dan bangsa Indonesia.

Dilihat dari uraian diatas maka dapat digambarkan bahwa tindak pidana narkotika merupakan tindak pidana yang sangat kompleks, sehingga

(11)

diperlukannya usaha pencegahan sejak dini baik dalam bentuk penal (hukum pidana) dan non penal (diluar hukum pidana).

Penyalahgunaan narkotika merupakan tindak pidana yang mempunyai kekhususan tersendiri dibandingkan tindak pidana umumnya. Ciri-ciri khusus tindak pidana narkotika adalah sebagai berikut :11

1. Suatu kejahatan terorganisir dalam jaringan sindikat, jarang kasus narkotika tidak merupakan sindikat terutama heroin.

2. Berlingkup Internasional, tidak lokal sifatnya. Walaupun di Indonesia tanaman ganja dapat tumbuh, tapi konsumennya diseluruh dunia sehingga dapat dikirim keluar negeri.

3. Pelakunya dengan sistem sel artinya antara konsumen dan pengedar tidak ada hubungan langsung (terputus) sehingga apabila konsumen tertangkap maka sulit untuk diketahui pengedarnya, demikian pula sebaliknya.

4. Dalam tindak pidana narkotika pelaku juga korban sehingga kejahatan narkotika pelaporannya sangat minim.

Di dalam rancangan KUHP pada pasal 50 Tahun 2004, yang disusun oleh Tim Pengkajian Bidang Hukum Pidana dapat dijumpai tujuan pemidanaan :

1. Untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi penganyoman masyarakat

2. Untuk memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan, sehingga menjadikannya orang yang baik dan berguna

11

Djoko Prakoso, Kejahatan-kejahatan yang Merugikan dan Membahayakan Negara”(Jakarta, Bina Aksara) hal : 477

(12)

3. Untuk menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.

4. Untuk membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

Ketentuan mengenai pidana ini berlaku juga terhadap tindak pidana narkotika, hal ini sesuai menurut ketentuan Pasal 102 Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1997, pada intinya mengemukakan bahwa masih tetap diberlakukan undang – undang lama sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum diganti dengan peraturan baru berdasarkan undang – undang ini.

Oleh karena itu, sehubungan dengan sanksi terhadap tindak pidana narkotika yang disebuntukan dalam Bab XII Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1997 yang terdapat pada Pasal 78 sampai dengan 99 adalah tindak kejahatan, kecuali tersebut dalam pasal 100 adalah merupakan pelanggaran.

Di dalam pasal – pasal tersebut jelas sanksi yang diatur oleh Pasal 10 Kitab Undang – Undang Hukum Pidana, dan itu diatur pula secara tegas dalam Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1997, termasuk di dalamnya mengenai hukuman Pidana Mati. Yang dinyatakan secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997, pada Pasal 80 dan beberapa pasal kemudian.Namun dengan berjalannya waktu Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1997 ini mengalami revisi kembali sehingga dibentuklah undang – undang baru yaitu Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 yang memiliki sanksi lebih memberatkan, yang ketentuan pemidanaannya terdapat di dalam Bab XV pasal 111 sampai dengan pasal 148.

(13)

Akan tetapi, jika ditinjau melalui pendekatan filosofis kemanusiaan bahwa hukuman dengan pidana mati sangat pantas dijatuhkan kepada para penyalahguna narkotika tersebut, terutama terhadap jaringan dan para pengedarnya. Oleh karena akibat dari perbuatan tersebut sangat berat bobot kejahatannya, yang pada akhirnya dapat menghancurkan hampir kebanyakan generasi muda dari sebuah bangsa.

Dan pada akhirnya, seperti lazimnya berat ringan penjatuhan pidana sangat tergantung kepada proses sidang peradilan dan keyakinan serta penilaian hakim yang melakukan pemeriksaan atas suatu perkara pidana.

2. Sejarah Berdirinya Badan Narkotika Nasional

Sejarah penanggulangan bahaya Narkotika dan kelembagaannya di Indonesia dimulai tahun 1971 pada saat dikeluarkannya Instruksi Presiden Republik Indonesia (Inpres) Nomor 6 Tahun 1971 kepada Kepala Badan Koordinasi Intelligen Nasional (BAKIN) untuk menanggulangi 6 (enam) permasalahan nasional yang menonjol, yaitu pemberantasan uang palsu, penanggulangan penyalahgunaan narkoba, penanggulangan penyelundupan, penanggulangan kenakalan remaja, penanggulangan subversi, pengawasan orang asing.

Berdasarkan Inpres tersebut Kepala BAKIN membentuk Bakolak Inpres Tahun 1971 yang salah satu tugas dan fungsinya adalah menanggulangi bahaya narkoba. Bakolak Inpres adalah sebuah badan koordinasi kecil yang beranggotakan wakil-wakil dari Departemen Kesehatan, Departemen Sosial, Departemen Luar Negeri, Kejaksaan Agung, dan lain-lain, yang berada di bawah

(14)

komando dan bertanggung jawab kepada Kepala BAKIN. Badan ini tidak mempunyai wewenang operasional dan tidak mendapat alokasi anggaran sendiri dari ABPN melainkan disediakan berdasarkan kebijakan internal BAKIN.

Pada masa itu, permasalahan narkoba di Indonesia masih merupakan permasalahan kecil dan Pemerintah Orde Baru terus memandang dan berkeyakinan bahwa permasalahan narkoba di Indonesia tidak akan berkembang karena bangsa Indonesia adalah bangsa yang ber-Pancasila dan agamis. Pandangan ini ternyata membuat pemerintah dan seluruh bangsa Indonesia lengah terhadap ancaman bahaya narkoba, sehingga pada saat permasalahan narkoba meledak dengan dibarengi krisis mata uang regional pada pertengahan tahun 1997, pemerintah dan bangsa Indonesia seakan tidak siap untuk menghadapinya, berbeda dengan Singapura, Malaysia dan Thailand yang sejak tahun 1970 secara konsisten dan terus menerus memerangi bahaya narkoba.

Menghadapi permasalahan narkoba yang berkecenderungan terus miningkat, Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) mengesahkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Berdasarkan kedua Undang-undang tersebut, Pemerintah (Presiden Abdurahman Wahid) membentuk Badan Koordinasi Narkotika Nasional (BKNN), dengan Keputusan Presiden Nomor 116 Tahun 1999. BKNN adalah suatu Badan Koordinasi penanggulangan narkoba yang beranggotakan 25 Instansi Pemerintah terkait.

BKNN diketuai oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) secara ex-officio. Sampai tahun 2002 BKNN tidak mempunyai personil dan

(15)

alokasi anggaran sendiri. Anggaran BKNN diperoleh dan dialokasikan dari Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia (Mabes Polri), sehingga tidak dapat melaksanakan tugas dan fungsinya secara maksimal.

BKNN sebagai badan koordinasi dirasakan tidak memadai lagi untuk menghadapi ancaman bahaya narkoba yang makin serius. Oleh karenanya berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2002 tentang Badan Narkotika Nasional, BKNN diganti dengan Badan Narkotika Nasional (BNN). BNN, sebagai sebuah lembaga forum dengan tugas mengoordinasikan 25 instansi pemerintah terkait dan ditambah dengan kewenangan operasional, mempunyai tugas dan fungsi: 1. mengoordinasikan instansi pemerintah terkait dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan nasional penanggulangan narkoba; dan 2. mengoordinasikan pelaksanaan kebijakan nasional penanggulangan narkoba. Mulai tahun 2003 BNN baru mendapatkan alokasi anggaran dari APBN. Dengan alokasi anggaran APBN tersebut, BNN terus berupaya meningkatkan kinerjanya bersama-sama dengan BNP dan BNK. Namun karena tanpa struktur kelembagaan yang memilki jalur komando yang tegas dan hanya bersifat koordinatif (kesamaan fungsional semata), maka BNN dinilai tidak dapat bekerja optimal dan tidak akan mampu menghadapi permasalahan narkoba yang terus meningkat dan makin serius. Oleh karena itu pemegang otoritas dalam hal ini segera menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2007 tentang Badan Narkotika Nasional, Badan Narkotika Propinsi (BNP) dan Badan Narkotika Kabupaten/Kota (BNK), yang memiliki kewenangan operasional melalui kewenangan Anggota BNN terkait dalam satuan tugas, yang mana BNN-BNP-BNKab/Kota merupakan mitra

(16)

kerja pada tingkat nasional, propinsi dan kabupaten/kota yang masing-masing bertanggung jawab kepada Presiden, Gubernur dan Bupati/Walikota, dan yang masing-masing (BNP dan BN Kab/Kota) tidak mempunyai hubungan struktural-vertikal dengan BNN.

Menghadapi permasalahan narkoba yang cenderung meningkat, Pemerintah dan Dewan Perwilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) mengesahkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Berdasarkan kedua undang-undang tersebut, Pemerintah (Presiden Abdurrahman Wahid) membentuk Badan Koordinasi Narkotika Nasional (BKNN), dengan Keputusan Presiden Nomor 116 Tahun 1999. Badan Koordinasi Narkotika Nasional (BKNN) adalah suatu badan koordinasi penanggulangan narkoba yang beranggotakan 25 instansi pemerintah terkait.12

Badan Koordinasi Narkotika Nasional ini diketuai oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) secara ex-officio. Sampai tahun 2002 BKNN tidak mempunyai personil dan alokasi anggaran sendiri. Anggaran BKNN diperoleh dan dialokasikan dari Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia (Mabes Polri), sehingga tidak dapat melaksanakan tugas dan fungsinya secara maksimal. BKNN sebagai badan koordinasi dirasakan tidak memadai lagi untuk menghadapi ancaman bahaya narkoba yang makin serius. Oleh karenanya berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2002 tentang Badan Narkotika Nasional, BKNN diganti dengan Badan Narkotika Nasional (BNN). Badan

11

(17)

Narkotika Nasional adalah lembaga non-struktural yang berkedudukan dibawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Badan Narkotka Nasional sebagai sebuah lembaga forum dengan tugas mengoordinasikan 25 instansi pemerintah terkait dan ditambah dengan kewenangan operasional, mempunyai tugas dan fungsi:

1. Mengoordinasikan instansi pemerintah terkait dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan nasional penanggulangan narkotika

2. Mengoordinasikan pelaksanaan kebijakan nasional penanggulangan narkoba.

Badan Narkotika Nasional mempunyai tugas membantu presiden dalam : a. Mengkoordinasikan instansi pemerintah terkait dalam penyusunan

kebijakan dan pelaksanaan kebijakan operasional di bidang ketersediaan dan pencegahan, pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, psikotropika, prekursor dan bahan adiktif lainnya atau dapat disingkat dengan P4GN ; dan

b. Melaksanakan P4GN dengan membentuk satuan tugas yang terdiri dari unsur instansi pemerintah terkait sesuai dengan tugas, fungsi, dan kewenangannya masing – masing.

Kemudian Badan Narkotika Propinsi mempunyai tugas membantu Gubernur dalam :

a. Mengoordinasikan perangkat daerah dan instansi pemerintah di Provinsi dalam penyusunan kebijakan dan pelaksanaan kebijakan operasional BNN di bidang ketersediaan dan P4GN;dan

(18)

b. Membentuk satuan tugas sesuai kebijakan operasional BNN yang terdiri atas unsur perangkat daerah dan instansi pemerintah di Provinsi sesuai dengan tugas, fungsi dan kewenangannya masing-masing.

Badan Narkotika Kabupaten/Kota mempunyai tugas membantu Bupati/Walikota dalam :

a. Mengoordinasikan perangkat daerah dan instansi pemerintah di Kebupaten/Kota, dalam mengimplementasikan kebijakan dan pelaksanaan operasional di bidang P4GN.

b. Membentuk satuan tugas sesuai kebijakan operasional BNN yang terdiri atas unsur perangkat daerah dan instansi pemerintah di Kabupaten/Kota sesuai dengan tugas, fungsi dan kewenangannya masing-masing.

Keberadaan Badan Narkotika Nasional didasarkan kepada konvensi – konvensi internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia. Dengan ratifikasi tersebut , maka konvensi internasional tersebut menjadi bagian dari hukum positif Indonesia dan ketentuan – ketentuannya mengikat Indonesia untuk dilaksanakan.13

a. Single Convention on Narcotics Drugs 1961, yang sudah diratifikasi dengan Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1976 , Pasal 35 (a) yaitu ;

Konvensi – konvensi internasional yang dimaksud antara lain :

“ Membuat pengaturan untuk koordinasi pada lingkup nasional kegiatan-kegiatan pencegahan dan penegakan hukum terhadap peredaran gelap narkotika dan untuk hal ini perlu dibuat sebuah badan yang mengkoordinasikan kegiatan – kegiatan tersebut ”.

13

(19)

b. Convention on Psychotropic Substances 1971, yang sudah diratifikasi dengan Undang – undang No.8 Tahun 1996.

Sedangkan misi dari Badan Narkotika Nasional adalah :

a. Mengkoordinasikan penyusunan dan pelaksanaan kebijakan di bidang penyediaan legal, pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan pengedaran gelap narkoba dan prekursor dari instansi pemerintah terkait. b. Mendorong dan meningkatkan pertisipasi masyarakat, organisasi bukan

pemerintah, media massa dan sektor usaha serta masyarakat luas dalam program pencegahan dan penanggulangan penyalahgunaan dan pengedaran gelap narkoba dan prekursor.

c. Melaksanakan kerjasama regional dan internasional baik bilateral dan multilateral.

d. Menyelenggarakan pengembangan kapasitas SDM melalui program pelatihan, dan pengadaan prasarana dan sarana, serta piranti lunak, termasuk pengembangan sistem informasi nasional narkoba yang terpadu dengan sistem informasi narkoba regional dan internasional.

e. Menyelenggarakan penelitian dan pengembangan tentang permasalahan narkoba.

Perkembangan kelembagaan Badan Narkotika Nasional pada Periode

Pertama ( 1971-1999 )14

14

Ibid , hlm: 107.

, Indonesia sejak tahun 1971 telah melaksanakan tindakan – tindakan yang bertujuan menanggulangi bahaya narkotika, kala itu pemerintah Soeharto mengantisipasi dengan menerbitkan Instruksi Presiden

(20)

Nomor : 6/1971 yang menginstruksikan kepada Kabakin untuk mendirikan Badan Koordinasi, Bakolak Inspres 6/1971 yang menangani 6 masalah nasioanal yaitu :

1. Pemberantasan uang palsu

2. Penanggulangan penyalahgunaan narkoba 3. Penanggulangan penyeludupan

4. Penanggulangan kenakalan remaja 5. Penanggulangan subversi

6. Penanggulangan orang asing

Periode Kedua pada tahun (1999-2002), dengan berkembangnya permasalahan penyalahgunaan dan peredran gelap Narkoba yang semakin meningkat dan berdasarkan amanat Undang – Undang Nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika Pasal 54, maka pada tahun 1999 pemerintah Indonesia membentuk Lembaga baru melalui Keppres Nomor 116 tahun 1999 yaitu Badan Koordinasi Narkotika Nasional (BKNN) dengan tugas pokok menetapkan kebijaksanaan dan strategi serta mengkoordinasikan semua lembaga departermen- Non departermen. Pada periode dirasakan struktur organisasi belum berjalan dengan baik dan koordinasi hanya sebatas administrasi sedang operasionalnya masih sporadis dan sektoral pada masing – masing anggota departermen/lembaga BNN.

Periode Ketiga ( 2002-2004), karena lembaga yang ada hanya bersifat koordinatif dan administratif, maka dinilai kurang, efektif sehingga memerlukan lembaga yang lebih operasional. Untuk itu berdasarkan Keppres Nomor 17 Tahun 2002 dan Inpres Nomor 3 Tahun 2002, Undang – Undang Nomor 22 tahun 1997

(21)

dan Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2002 tentang Rekomendasi Atas Laporan Pelaksanaan Putusan MPR RI oleh Presiden, DPA, DPR, MA, pada Sidang Tahun MPR RI Tahun 2002, Badan Koordinasi Narkotika Nasional (BKNN) diubah menjdi Badan Narkotika Nasional (BNN) dengan memiliki 25 anggota dari Departermen serta lembaga pemerintah terkait dengan Kapolri Selaku ketua Ax officio yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Tugas pokoknya adalah mengoordinasikan instansi pemerintah terkait dalam menyusun kebijksanaan dan pelaksanaan di bidang ketersediaan dan P4GN serta melaksanakan P4GN dengan membentuk satgas – satgas yang bersifat operasional. Sejak perubahan status kelembagaan menjdi BNN pada tahun 2002 maka Polri secara khusus telah memperbantukan 1 ( satu ) Direktorat yaitu Direktorat IV Narkoba Bareskrim Polri untuk mendukung tugas operasional dibawah kendali BNN. Disamping itu badan Narkotika Nasional pun sudah diakui sebagai focal point untuk masalah narkoba oleh badan-badan Internasional di dunia.

Visi Badan Narkotika Nasional yaitu mewujudkan masyarakat Indonesia bebas dari penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.

Misi Badan Narkotika Nasional adalah :

1. Mengkoordinasikan penyusunan pelaksanaan kebijakan di bidang penyediaan legal, pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan pengedaran gelap narkotika dan prekursor dari instansi pemerintah terkait. 2. Mendorong dan meningkatkan partisipasi masyarakat, organisasi bukan

(22)

program pencegahan dan penanggulangan penyalahgunaan dan pengedaran gelap narkoba dan prekursor.

3. Menyelenggarakan kerjasama regional dan internasional baik bilateral maupun multilateral

4. Menyelenggarakanpengembangan kapasitas Sumber Daya Manusia melalui program pelatihan, dan pengadaan prasarana dan sarana, serta piranti lunak,termasuk pengembangan sistem informasi nasional narkoba yang terpadu dengan sistem informasi narkoba regional internasional. 5. Menyelanggarakan penelitian dan pengembangan tentang permasalahan

narkotika.

Merespon perkembangan permasalahan narkoba yang terus meningkat dan makin serius, maka Ketetapan MPR-RI Nomor VI/MPR/2002 melalui Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI) Tahun 2002 telah merekomendasikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk melakukan perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Oleh karena itu, Pemerintah dan DPR-RI mengesahkan dan mengundangkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, sebagai perubahan atas UU Nomor 22 Tahun 1997. Berdasarkan UU Nomor 35 Tahun 2009 tersebut, BNN diberikan kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika. Berdasarkan undang-undang tersebut, status kelembagaan BNN menjadi Lembaga Pemerintah Non-Kementrian (LPNK) dengan struktur vertikal ke propinsi dan kabupaten/kota. Di propinsi dibentuk BNN Propinsi, dan di kabupaten/kota dibentuk BNN

(23)

Kabupaten/Kota. BNN dipimpin oleh seorang Kepala BNN yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. BNN berkedudukan di bawah dan bertanggungjawab kepada Presiden15.

Ketetapan MPR-RI Nomor VI/MPR/2002 melalui Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI) Tahun 2002 telah merekomendasikan kepada DPR-RI dan Presiden RI untuk melakukan perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Oleh karena itu, Pemerintah dan DPR-RI mengesahkan dan mengundangkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, sebagai perubahan atas UU Nomor 22 Tahun 1997. Berdasarkan UU Nomor 35 Tahun 2009 tersebut, BNN diberikan kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika.

Berdasarkan undang-undang tersebut, status kelembagaan BNN menjadi Lembaga Pemerintah Non-Kementrian (LPNK) dengan struktur vertikal ke propinsi dan kabupaten/kota. Di propinsi dibentuk BNN Propinsi, dan di kabupaten/kota dibentuk BNN Kabupaten/Kota. BNN dipimpin oleh seorang Kepala BNN yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. BNN berkedudukan di bawah dan bertanggungjawab kepada Presiden. Kepala BNN dibantu oleh seorang Sekretaris Utama, Inspektur Utama, dan 5 (lima) Deputi yaitu Deputi Pencegahan, Deputi Pemberdayaan Masyarakat, Deputi Rehabilitasi, Deputi Pemberantasan, dan Deputi Hukum dan Kerja Sama.

15

http://www.bnn.go.id/portalbaru/portal/konten.php?nama=Profil&op=sejarah&mn =1&smn=a.

(24)

F. Metode Penelitian

Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu yang bertujuan nutuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan menganalisanya. Dalam melakukan penelitian seyogyanya selalu meningkatkan dengan makna yang mungkin dapat diberikan kepada hokum. Dalam melakukan suatu penelitian agar tercapainya sasaran dan tujuan yang diinginkan, maka penulis menggunakan metode sebagai berikut:16

1) Jenis Penelitian

Sesuai dengan karakteristik perumusan masalah yang ditujukan untuk menganalisis kaidah kaidah hukum peranan penyidik POLRI, Badan Narkotika Nasional, dan Pegawai Negeri Sipil dalam penyelesaian penyalahgunaan narkoba maka jenis penelitian ini tergolong pada penelitian juridis normatif. Dalam penelitian ini, hukum dipandang sebagai kaidah atau norma yang bersifat otonom dan bukan sebagai sebuah fenomena sosial. Oleh karena itu, penelitian ini menjadikan kaidah hukum sebagai hasil penelitian.

Metode penelitian hukum normatif adalah metode penelitian hukum normatif, yaitu penelitian yang mengacu kepada norma norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang – undangan dan putusan pengadilan.

2) Data dan Sumber Data

Untuk memperoleh hasil data yang akurat dan signifikan, data dikumpulkan melalui studi pustaka yang dihimpun dan diolah dengan melakukan

16

Kudzaifah Dimyati dan Felik Wardiono, Metode Penelitian Hukum. (Surakarta : Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2004) Hlm : 3.

(25)

pendekatan yuridis normatif. Penelitian deskriptif lebih mengutamakan data sekunder atau library research, yakni :

a. Bahan hukum primer, berupa Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2009 dan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 83 Tahun 2007 tentang Badan Narkotika Nasional, Badan Narkotika Provinsi, dan Badan Narkotika Kabupaten/Kota.

b. Bahan hukum sekunder, berupa bukun – buku bacaan yang ada hubungannya dengan materi penelitian ini.

Disamping data sekunder diatas dilakukan pula penelitian terhadap data primer sebagai bahan pendukung penelitian ini, yakni yang diperoleh dari informasi dan narasumber.

G. Teknik Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsepsi teori atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dan penelitian terdahulu yang berhubungan dengan objek telaahan penelitian ini yang dapat berupa peraturan perundang – undangan, buku, tulisan ilmiah dan karya ilmiah lainnya.

1) Analisis Data

Data yang telah dikumpulkan dengan studi kepustakaan tersebut selanjutnya dianalisis dengan menggunakan metode analisis kualitatif yang didukung oleh logika berfikir secara deduktif.

(26)

H. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam skripsi ini dibagi kepada empat bab yaitu :

BAB I : Yang berjudul Pendahuluan yang telah diuaraikan penulis secara singkat yakni tentang Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Keaslian Penulisan, Tinjauan kepusatakaan, Metode Penelitian, Sistematika Penulisan.

BAB II : Berjudul Peranan Badan Narkotika Nasional ( BNN ) dalam Pencegahan Tindak Pidana Narkotika yang dalam sub babnya dibahas tentang Badan Norkotika sebagai Koordinator, Badan Norkotika sebagai Pendukung dan Badan Narkotika Nasional dalam Kebijakan dan Strategi Nasional Program P4GN

BAB III : Berjudul Peranan Badan Narkotika Nasional (BNN) dalam Proses Pemeriksaan Tindak Pidana Narkotika yang di dalam sub babnya dibahas tentang Badan Narkotika Nasional sebagai Penyidik Tindak Pidana Narkotika menurut Undang – Undang No 35 Tahun 2009, Hubungan Penyidik dan Polri dan Penyidik Badan Narkotika Nasional dan disertai contoh – contoh kasusnya.

BAB IV : Berjudul Kesimpulan dan Saran pada Bab terakhir ini penulis menarik suatu kesimpulan yang merupakan intisari dari skripsi ini dan sekaligus merupakan pemecahan dari permasalahan yang ada. Selain daripada itu , penulis juga memberikan saran

(27)

– saran dalam bab ini menurut kemampuan dan pengetahuan penulis selama masa perkuliahan.

Referensi

Dokumen terkait

Oleh karena itu diperlukan desain ulang bagi meja di stasiun pengisian air minum dengan melakukan analisis terhadap nilai gaya, momen, posisi kerja dan energi yang ditimbulkan

Penelitian Richard Boyatzis (1983) bahwa faktor kompetensi mempengaruhi kinerja efektif dari berbagai level manajemen. Menurutnya bahwa karakteristik dasar

misalnya garam (NaCl), ginjal dapat mengeliminasi kelebihan tersebut dalam urin. Jika terdapat kekurangan, ginjal dapat membatasi kehilangan zat tersebut melalui

Media informasi digital yang memaparkan informasi birokrasi kampus untuk publik, serta transparansi pengelolaan dana keuangan MENDORONG PENINGKATAN KUALITAS TRANSPARANSI,

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan frekuensi aplikasi POC dan pupuk NPK pada tanaman jagung. Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak

Tuntutan tersebut menyangkut pembaharuan sistem pendidikan, di antaranya pembaharuan kurikulum, yaitu diversifikasi kurikulum untuk melayani peserta didik dan potensi daerah

Kemudahan dalam pencapaian baik dari maupun menuju tapak dilengkapi dengan transportasi menuju sarana dan prasarana di pusat kota maupun ke luar kota yaitu dengan

Penyiapan media tanam yang dilakukan PT. London Sumatra Indonesia Tbk, sudah memenuhi standar SOP perusahan tanah topsoil yang didatangkan diluar areal pembibitan tanah ya ng