• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tugas Etika Produksi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Tugas Etika Produksi"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

Tugas : Kelompok Tanggal Penyerahan : 12 November 2009 Batas Penyerahan : 12 November 2009

Tugas Mata Kuliah : Etika Bisnis

Ethics of Production

Dosen :

Prof. Dr. Ir. Aida Vitalaya Hubeis

Oleh :

AKHMAD FAUZI PANE P 056080053.30E

DESI ARI SANTI P 056080093.30E

GANJAR PUTRA PANGGALIH P 056080133.30E

MASANI P 056080213.30E

ONGKI WIRATNO P 056080263.30E

PRITTA AMANDA P 056080293.30E

ROSIDI P 056080333.30E

Program Pascasarjana Manajemen dan Bisnis Institut Pertanian Bogor

(2)

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Bicara etika bisnis berarti bicara tentang moral dan acuan berbisnis. Aspek moral mencerminkan sesuatu yang normatif yakni adanya wilayah baik dan ada pula wilayah buruk. Jadi kalau berbisnis jangan sampai sekalipun ada yang dirugikan atau disusahkan atau didzolimi. Sementara, aspek acuan bermakna adanya kesepakatan komunitas bisnis bahwa etika menjadi pedoman keseharian mereka. Jadi harus dihormati dan dipraktekkan, bukan sebagai slogan.

Dalam kenyataannya mengapa masih saja ada penyimpangan etika dalam berbisnis? Mengapa masih ada saja manipulasi mutu? Masih ingat beras oplosan, daging gelonggongan, makanan berformalin dan boraks, dsb? Mengapa masih ada komersialisasi di bidang pendidikan dan kesehatan? Mengapa masih banyak para karyawan tidak memperoleh kesejahteraan yang wajar padahal bisnis perusahaan tempat mereka bekerja terus berkembang? Mengapa masih banyak perusahaan yang merusak lingkungan? Mengapa masih banyak pengusaha yang menghindari pajak? Mengapa, mengapa dan mengapa…

Ada beberapa dugaan mengapa masih terjadinya praktek bisnis yang tidak etik, antara lain:

(1) Pemahaman tentang etika yang kurang. Etika baru dipandang sebagai ”barang” pengetahuan, bukan simbol kesadaran. Karena itu tidak mustahil ada pengusaha yang memandang etika tidak perlu memasuki wilayah bisnis. Menurutnya biarlah etika itu urusan pribadi masing-masing.

(2) Ketidakpedulian terhadap etika bisnis. Dia memandang etika tidak jauh dari nasib hukum. Hukum konon gampang dibeli. Apalagi etika yang relatif tidak ada resikonya kalau dilanggar. Etika dianggap menghambat dalam meraih pilihan-pilihan terbaik untuk meraih keuntungan dari bisnis.

(3) Sifat rakus yang meyebabkan terjadinya kedzoliman terhadap orang lain. Tujuannya semata-mata mencari keuntungan besar. Sementara para

(3)

karyawan tidak diperhatikan kebutuhan hidupnya. Di sisi lain, tuntutan konsumen tentang mutu dan harga diabaikan.

(4) Lemahnya kontrol sosial. Kalau toh ada berbagai instansi pengawas tentang usaha-usaha bersifat monopoli, tentang mutu produk makanan dan obat-obatan, dan produk industri lainnya serta tentang perlindungan hak-hak karyawan namun upaya, hasil dan dampaknya kurang signifikan merubah perilaku bisnis yang tidak etis.

Perumusan Masalah

Bisnis kotor di dunia khususnya di Indonesia tidak gampang dihentikan. Fenomena mark-up harga, manipulasi mutu produk, suap bisnis, pencucian uang, penyelundupan, penebangan hutan secara liar, dsb sudah merupakan bagian hidup dari sebagian pelaku bisnis. Di samping karena faktor lingkungan, agaknya bisnis kotor sangat dipengaruhi oleh moral perilaku bisnis yang langsung dan tidak langsung terkait dengan bisnis. Dengan demikian prioritas pendekatan pengubahan seharusnya mulai dari unsur manusia. Mengapa? Karena secara fitrah manusia dilahirkan dalam keadaan suci dan bersih. Hanya faktor lingkungan yang menyebabkan manusia dapat berubah menjadi tak beretika.

Bisnis sebagai sistem kehidupan sosial masyarakat sangat terkait dengan sistem kehidupan sosial dalam wujud etika. Dengan demikian, mustahil sebuah bisnis akan mampu berjalan tanpa ada latar belakang etika. Jika tiap orang yang terlibat langsung dalam bisnis, seperti produsen, pengusaha, penjual, manajer, karyawan dan konsumen bertindak tanpa memiliki etika maka secara teoritis suatu bisnis akan terhenti.

Agama telah meletakkan fundamen tentang bagaimana secara normatif berbisnis dilakukan dengan baik. Konsep ekonomi tidak berdiri sendiri, tetapi sebagai bagian dari tata kehidupan berdasarkan agama. Sementara dalam Islam, masalah bisnis yang diperkenankan adalah yang terkandung dalam tindakan kemurahan hati, motif pengabdian, kejujuran, keadilan dan kesadaran akan Allah (rasa takut dan takwa). Seorang Muslim -pelaku bisnis- diharuskan untuk mempersenjatai diri dengan etika (nilai-nilai Islam).

(4)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Pengertian Etika

Dalam banyak hal pembahasan mengenai etika tidak terlepas dari pembahasan mengenai moral. Suseno (1987) mengungkapkan bahwa etika merupakan filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Menurut Theodorus M. Tuanakotta (1997) menyatakan bahwa etik merupakan sifat-sifat manusia yang ideal atau disiplin atas diri sendiri diatas atau melebihi persyaratan atau kewajiban menurut Undang-undang.

Sedangkan menurut S. Munawir (1987), etik merupakan suatu prinsip moral dan perbuatan yang menjadi landasan bertindak seseorang sehingga apa yang dilakukannya dipandang oleh masyarakat umum sebagai perbuatan terpuji dan meningkatkan martabat dan kehormatan seseorang. Etik yang disepakati bersama oleh anggota suatu profesi disebut kode etik profesi.

Kode etik yang disepakati oleh anggota se-profesi akuntan disebut kode etik akuntan. Kode etik akuntan dimaksudkan untuk membantu para anggotanya dalam mencapai mutu pekerjaan yang sebaik-baiknya.

Menurut Madjid (1992) dalam Ludigdo dan Machfoedz (1999), etika (etos) adalah sebanding dengan moral (mos) dimana keduanya merupakan filsafat tentang adat kebiasaan (sitten). Site dalam perkataan Jerman menunjukkan arti moda (mode) tingkah laku manusia. Oleh karenanya secara umum etika atau moral adalah filsafat ilmu atau disiplin tentang tingkah laku manusia atau tindakan manusia. Ward (1993) dalam Ludigdo dan Machfoedz (1999) mengungkapkan bahwa etika tidak hanya perkataan benar atau salah, baik atau buruk, lebih jauh etika merupakan suatu proses penentuan yang kompleks tentang apa yang harus dilakukan seseorang dalam situasi tertentu, dimana proses itu meliputi penyeimbangan pertimbangan sisi dalam dan luar yang disifati oleh kombinasi unik dari pengalaman dan pembelajaran masing-masing individu.

(5)

Pengertian Etika Bisnis

Etika bisnis merupakan bagian dari etika sosial yang tumbuh dari etika pada umumnya. Etika bisnis beroperasi pada tingkat individual, organisasi dan sistem (Ludigdo dan Machfoedz, 1999).

Selain itu, etika bisnis juga dapat diartikan sebagai berikut:

1) Merupakan sistem nilai yang dijabarkan dari filosofi perusahaan, paradigma bisnis dan business values yang dianut oleh perusahaan sebagai acuan untuk berhubungan dengan lingkungan internal maupun eksternal

2) Mengatur hubungan antara perusahaan (di dalam pengertian ini adalah perusahaan sebagai suatu entitas) dengan pelanggan, pemegang saham, individu dalam perusahaan, petani plasma, pemasok, kreditur, komunitas (publik), Pemerintah, auditor, media massa atau pesaing

3) Menjelaskan bagaimana perusahaan (sebagai suatu entitas) beretika, bersikap dan bertindak dalam upaya menyeimbangkan kepentingan perusahaan dengan seluruh stakeholder lainnya.

Menurut K. Bertens, ada 3 tujuan yang ingin dicapai dari mempelajari Etika Bisnis, yaitu:

1) Menanamkan atau meningkatkan kesadaran akan adanya dimensi etis dalam bisnis. Menanamkan, jika sebelumnya kesadaran itu tidak ada, meningkatkan bila kesadaran itu sudah ada, tapi masih lemah dan ragu.

Orang yang mendalami etika bisnis diharapkan memperoleh keyakinan bahwa etika merupakan segi nyata dari kegiatan ekonomis yang perlu diberikan perhatian serius.

2) Memperkenalkan argumentasi moral khususnya dibidang ekonomi dan bisnis, serta membantu pebisnis/calon pebisnis dalam menyusun argumentasi moral yang tepat.

Dalam etika sebagai ilmu, bukan hal penting adanya norma-norma moral, tidak kalah penting adalah alasan bagi berlakunya norma-norma itu. Melalui studi etika diharapkan pelaku bisnis akan sanggup menemukan fundamental rasional untuk aspek moral yang menyangkut ekonomi dan bisnis.

(6)

3) Membantu pebisnis/calon pebisnis, untuk menentukan sikap moral yang tepat didalam profesinya (kelak).

Tiga aspek pokok dari bisnis yaitu: a. Sudut Pandang Ekonomis

Bisnis adalah kegiatan ekonomis. Yang terjadi disini adalah adanya interaksi antara produsen/perusahaan dengan pekerja, produsen dengan konsumen, produsen dengan produsen dalam sebuah organisasi. Kegiatan antar manusia ini adalah bertujuan untuk mencari untung oleh karena itu menjadi kegiatan ekonomis. Pencarian keuntungan dalam bisnis tidak bersifat sepihak, tetapi dilakukan melalui interaksi yang melibatkan berbagai pihak.

Dari sudut pandang ekonomis, good business adalah bisnis yang bukan saja menguntungkan, tetapi juga bisnis yang berkualitas etis.

b. Sudut Pandang Moral

Dalam bisnis, berorientasi pada profit, adalah sangat wajar, akan tetapi jangan keuntungan yang diperoleh tersebut justru merugikan pihak lain. Tidak semua yang bisa kita lakukan boleh dilakukan juga. Kita harus menghormati kepentingan dan hak orang lain. Pantas diperhatikan, bahwa dengan itu kita sendiri tidak dirugikan, karena menghormati kepentingan dan hak orang lain itu juga perlu dilakukan demi kepentingan bisnis kita sendiri.

c. Sudut Pandang Hukum

Bisa dipastikan bahwa kegiatan bisnis juga terikat dengan "Hukum", Hukum Dagang atau Hukum Bisnis, yang merupakan cabang penting dari ilmu hukum modern. Dalam praktek hukum banyak masalah timbul dalam hubungan bisnis, pada taraf nasional maupun international. Seperti etika, hukum juga merupakan sudut pandang normatif, karena menetapkan apa yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan. Dari segi norma, hukum lebih jelas dan pasti daripada etika, karena peraturan hukum dituliskan hitam atas putih dan ada sanksi tertentu bila terjadi pelanggaran. Bahkan pada zaman kekaisaran Roma, ada pepatah terkenal: "Quid leges sine

(7)

moribus" yang artinya "apa artinya undang-undang kalau tidak disertai

moralitas".

Dari sudut pandang moral, setidaknya ada 3 tolok ukur bahwa bisnis itu baik, yaitu:

1. Hati Nurani

Suatu perbuatan adalah baik, bila dilakukan susuai dengan hati nuraninya, dan perbuatan lain buruk bila dilakukan berlawanan dengan hati nuraninya. Kalau kita mengambil keputusan moral berdasarkan hati nurani, keputusan yang diambil "di hadapan Tuhan" dan kita sadar dengan tindakan tersebut memenuhi kehendak Tuhan.

2. Kaidah Emas

Cara lebih obyektif untuk menilai baik buruknya perilaku moral adalah mengukurnya dengan Kaidah Emas (positif), yang berbunyi: "Hendaklah memperlakukan orang lain sebagaimana Anda sendiri ingin diperlakukan" Kenapa begitu? Tentunya kita menginginkan diperlakukan dengan baik. Kalau begitu yang saya akan berperilaku dengan baik (dari sudut pandang moral). Rumusan Kaidah Emas secara negatif: "Jangan perlakukan orang lain, apa yang Anda sendiri tidak ingin akan dilakukan terhadap diri Anda" Saya kurang konsisten dalam tingkah laku saya, bila saya melakukan sesuatu terhadap orang lain, yang saya tidak mau akan dilakukan terhadap diri saya. Kalau begitu, saya berperilaku dengan cara tidak baik (dari sudut pandang moral).

3. Penilaian Umum

Cara ketiga dan barangkali paling ampuh untuk menentukan baik buruknya suatu perbuatan atau perilaku adalah menyerahkan kepada masyarakat umum untuk menilai. Cara ini bisa disebut juga audit sosial. Sebagaimana melalui audit dalam arti biasa sehat tidaknya keadaan finansial suatu perusahaan dipastikan, demikian juga kualitas etis suatu perbuatan ditentukan oleh penilaian masyarakat umum.

(8)

Etika Bisnis dalam Islam

Salah satu kajian penting dalam Islam adalah persoalan etika bisnis. Pengertian etika adalah a code or set of principles which people live (kaedah atau seperangkat prinsip yang mengatur hidup manusia).

Etika adalah bagian dari filsafat yang membahas secara rasional dan kritis tentang nilai, norma atau moralitas. Dengan demikian, moral berbeda dengan etika. Norma adalah suatu pranata dan nilai mengenai baik dan buruk, sedangkan etika adalah refleksi kritis dan penjelasan rasional mengapa sesuatu itu baik dan buruk. Menipu orang lain adalah buruk. Ini berada pada tataran moral, sedangkan kajian kritis dan rasional mengapa menipu itu buruk apa alasan pikirannya, merupakan lapangan etika.

Dikotomi Moral dan Bisnis

Di zaman klasik bahkan juga di era modern, masalah etika bisnis dalam dunia ekonomi tidak begitu mendapat tempat. Maka tidak aneh bila masih banyak ekonom kontemporer yang menggemakan cara pandang ekonom klasik Adam Smith. Mereka berkeyakinan bahwa sebuah bisnis tidak mempunyai tanggung jawab sosial dan bisnis terlepas dari “etika”. Dalam ungkapan Theodore Levitt, tanggung jawab perusahaan hanyalah mencari keuntungan ekonomis belaka.

Di Indonesia paham klasik tersebut sempat berkembang secara subur di Indonesia, sehingga mengakibatkan terpuruknya ekonomi Indonesia ke dalam jurang kehancuran. Kolusi, korupsi, monopoli, penipuan, penimbunan barang, pengrusakan lingkungan, penindasan tenaga kerja, perampokan bank oleh para konglomerat, adalah persoalan-persoalan yang begitu telanjang didepan mata kita baik yang terlihat dalam media massa maupun media elektronik.

Di Indonesia, pengabaian etika bisnis sudah banyak terjadi khususunya oleh para konglomerat. Para pengusaha dan ekonom yang kental kapitalisnya, mempertanyakan apakah tepat mempersoalkan etika dalam wacana ilmu ekonomi? Munculnya penolakan terhadap etika bisnis, dilatari oleh sebuah paradigma klasik, bahwa ilmu ekonomi harus bebas nilai (value free).

(9)

Memasukkan gatra nilai etis sosial dalam diskursus ilmu ekonomi, menurut kalangan ekonom seperti di atas, akan mengakibatkan ilmu ekonomi menjadi tidak ilmiah, karena hal ini mengganggu obyektivitasnya. Mereka masih bersikukuh memegang jargon “mitos bisnis a moral” Di sisi lain, etika bisnis hanyalah mempersempit ruang gerak keuntungan ekonomis. Padahal, prinsip ekonomi, menurut mereka, adalah mencari keuntungan yang sebesar-besarnya. Kebangkitan Etika Bisnis

Sebenarnya, pemikiran yang mengemukakan bahwa ilmu ekonomi bersifat netral etika seperti di atas, akhir-akhir ini telah digugat oleh sebagian ekonom Barat sendiri. Pandangan bahwa ilmu ekonomi bebas nilai, telah tertolak. Dalam ilmu ekonomi harus melekat nuansa normatif dan tidak netral terhadap nilai-nilai atau etika sosial. Ilmu ekonomi harus mengandung penentuan tujuan dan metode untuk mencapai tujuan. Pemikiran ini banyak dilontarkan oleh Samuel Weston (1994) yang merangkum pemikiran Boulding (1970), Mc Kenzie (1981) dan Myrdal (1984).

Pada tahun 1990-an Paul Ormerof, seorang ekonom kritis Inggris menerbitkan bukunya yang amat menghebohkan “The Death of Economics, Ilmu Ekonomi sudah menemui ajalnya” (Ormerof,1994). Tidak sedikit pula pakar ekonomi millenium telah menyadari makin tipisnya kesadaran moral dalam kehidupan ekonomi dan bisnis modern. Amitas Etzioni menghasilkan karya monumental dan menjadi best seller, The Moral dimension: Toward a New

Economics (1988). Berbagai buku etika bisnis dan dimensi moral dalam ilmu

ekonomi semakin banyak bermunculan.

Jadi, menjelang millenium ketiga dan memasuki abad 21, konsep etika mulai memasuki wacana bisnis. Wacana bisnis bukan hanya dipengaruhi oleh situasi ekonomis, melainkan oleh perubahan-perubahan sosial, ekonomi, politik, teknologi, serta pergeseran-pergeseran sikap dan cara pandang para pelaku bisnis atau ahli ekonomi. Keburukan-keburukan bisnis mulai dibongkar. Mulai dari perkembangan pasar global, resesi yang mengakibatkan pemangkasan anggaran PHK, enviromentalisme, tuntutan para karyawan yang makin melampaui sekedar

(10)

kepuasan material, aktivisme para pemegang saham dalam perusahaan-perusahaan

go public atau trans nasional, kaedah-kaedah baru di bidang manajemen, seperti Total Quality Management, rekayasa ulang dan benchmarking yang menghasilkan

pemipihan hirarki dan empowerment, semuanya telah meningkatkan kesadaran orang tentang keniscayaan etika dalam aktivitas bisnis.

Contoh kecil kesadaran itu terlihat pada sikap para pakar ekonomi kapitalis Barat -yang telah merasakan implikasi keburukan strategi spekulasi yang amat riskan- mengusulkan untuk membuat kebijakan dalam memerangi spekulasi. Prof. Lerner dalam buku “Economics of Control”, mengemukakan bahwa kejahatan spekulasi yang agresif, paling baik bila dicegah dengan kontra spekulasi. Mereka tampaknya belum berhasil menyelesaikan krisis tersebut, meskipun mereka menanganinya dengan serius. Mungkin karena itulah Prof. Taussiq berusaha memecahkan masalah ini dengan memperbaiki moral rakyat. Ia dengan lantang berkomentar, “Obat paling mujarab, bagi kerusakan dunia bisnis adalah norma moral yang baik untuk semua industri”.

Pandangan-pandangan di atas menunjukkan, bahwa di Barat telah muncul kesadaran baru tentang pentingnya dimensi etika memasuki lapangan bisnis. Perusahaan-perusahaan besar, model abad 21, kelihatannya juga mempunyai kecenderungan baru untuk mengimplementasikan etika bisnis sebagai visi masyarakat yang bertanggung-jawab secara sosial dan ekonomis. Realitas di atas, dibuktikan oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh James Liebig, penulis

Merchants of Vision. Dalam penelitian itu, ia mewawancarai tokoh-tokoh bisnis di

14 negara. James Liebig menemukan enam perspektif, yang umum berlaku, sbb: 1) Bertindak sesuai etika,

2) Mempertinggi keadilan sosial, 3) Melindungi lingkungan,

4) Pemberdayaan kreatifitas manusia,

5) Menentukan visi dan tujuan bisnis yang bersifat sosial dan melibatkan para karyawan dalam membangun dunia bisnis yang lebih baik, menghidupkan sifat kasih sayang dan pelayanan yang baik dalam proses perusahaan, 6) Meninjau ulang pandangan klasik tentang paradigma ilmu ekonomi yang

(11)

selama ini jadi cita-cita, kini benar-benar menjadi mudah diwujudkan sebagai kenyataan.

Islam Sumber Nilai dan Etika

Islam merupakan sumber nilai dan etika dalam segala aspek kehidupan manusia secara menyeluruh, termasuk wacana bisnis. Islam memiliki wawasan yang komprehensif tentang etika bisnis. Mulai dari prinsip dasar, pokok-pokok kerusakan dalam perdagangan, faktor-faktor produksi, tenaga kerja, modal organisasi, distribusi kekayaan, masalah upah, barang dan jasa, kualifikasi dalam bisnis, sampai kepada etika sosio ekonomik menyangkut hak milik dan hubungan sosial.

Aktivitas bisnis merupakan bagian integral dari wacana ekonomi. Sistem ekonomi Islam berangkat dari kesadaran tentang etika, sedangkan sistem ekonomi lain, seperti kapitalisme dan sosialisme, cendrung mengabaikan etika sehingga aspek nilai tidak begitu tampak dalam bangunan kedua sistem ekonomi tersebut. Keringnya kedua sistem itu dari wacana moralitas, karena keduanya memang tidak berangkat dari etika, tetapi dari kepentingan (interest). Kapitalisme berangkat dari kepentingan individu sedangkan sosialisme berangkat dari kepentingan kolektif. Namun, kini mulai muncul era baru etika bisnis di pusat-pusat kapitalisme. Suatu perkembangan baru yang menggembirakan. Al-Qur’an sangat banyak mendorong manusia untuk melakukan bisnis. (Qs. 62:10). Al-Qur’an memberi pentunjuk agar dalam bisnis tercipta hubungan yang harmonis, saling ridha, tidak ada unsur eksploitasi (QS. 4: 29) dan bebas dari kecurigaan atau penipuan, seperti keharusan membuat administrasi transaksi kredit (QS. 2: 282).

Rasulullah sendiri adalah seorang pedagang bereputasi international yang mendasarkan bangunan bisnisnya kepada nilai-nilai ilahi (transenden). Dengan dasar itu Rasulullah membangun sistem ekonomi Islam yang tercerahkan. Prinsip-prinsip bisnis yang ideal ternyata pernah dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Realitas ini menjadi bukti bagi banyak orang, bahwa tata ekonomi yang berkeadilan, sebenarnya pernah terjadi, meski dalam lingkup nasional,

(12)

negara Madinah. Nilai, spirit dan ajaran yang dibawa Rasulullah itu, berguna untuk membangun tata ekonomi baru, yang akhirnya terwujud dalam tata ekonomi dunia yang berkeadilan.

Syed Nawab Haidar Naqvi, dalam buku “Etika dan Ilmu Ekonomi: Suatu Sistesis Islami”, memaparkan empat aksioma etika ekonomi, yaitu: tauhid, keseimbangan (keadilan), kebebasan dan tanggung jawab.

Tauhid, merupakan wacana teologis yang mendasari segala aktivitas manusia, termasuk kegiatan bisnis. Tauhid menyadarkan manusia sebagai makhluk ilahiyah, sosok makhluk yang bertuhan. Dengan demikian, kegiatan bisnis manusia tidak terlepas dari pengawasan Tuhan dan dalam rangka melaksanakan titah Tuhan (QS. 62:10).

Keseimbangan dan keadilan, berarti bahwa perilaku bisnis harus seimbang dan adil. Keseimbangan berarti tidak berlebihan (ekstrim) dalam mengejar keuntungan ekonomi (QS.7:31). Kepemilikan individu yang tak terbatas, sebagaimana dalam sistem kapitalis, tidak dibenarkan. Dalam Islam, harta mempunyai fungsi sosial yang kental (QS. 51:19).

Kebebasan, berarti bahwa manusia sebagai individu dan kolektivitas, punya kebebasan penuh untuk melakukan aktivitas bisnis. Dalam ekonomi, manusia bebas mengimplementasikan kaedah-kaedah Islam. Karena masalah ekonomi, termasuk kepada aspek mu’amalah, bukan ibadah, maka berlaku padanya kaedah umum, “Semua boleh kecuali yang dilarang”. Yang tidak boleh dalam Islam adalah ketidakadilan dan riba. Dalam tataran ini kebebasan manusia sesungguynya tidak mutlak, tetapi merupakan kebebasan yang bertanggung jawab dan berkeadilan.

Pertanggungjawaban, berarti bahwa manusia sebagai pelaku bisnis, mempunyai tanggung jawab moral kepada Tuhan atas perilaku bisnis. Harta sebagai komoditi bisnis dalam Islam, adalah amanah Tuhan yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan.

(13)

Panduan Nabi Muhammad dalam Bisnis

Rasululah SAW, sangat banyak memberikan petunjuk mengenai etika bisnis, di antaranya ialah:

Pertama, bahwa prinsip esensial dalam bisnis adalah kejujuran. Dalam

doktrin Islam, kejujuran merupakan syarat fundamental dalam kegiatan bisnis. Rasulullah sangat intens menganjurkan kejujuran dalam aktivitas bisnis.

Kedua, kesadaran tentang signifikansi sosial kegiatan bisnis. Pelaku

bisnis menurut Islam, tidak hanya sekedar mengejar keuntungan sebanyak-banyaknya, sebagaimana yang diajarkan Bapak ekonomi kapitalis, Adam Smith, tetapi juga berorientasi kepada sikap ta’awun (menolong orang lain) sebagai implikasi sosial kegiatan bisnis. Tegasnya, berbisnis bukan mencari untung material semata, tetapi didasari kesadaran memberi kemudahan bagi orang lain dengan menjual barang.

Ketiga, tidak melakukan sumpah palsu. Nabi Muhammad SAW sangat

intens melarang para pelaku bisnis melakukan sumpah palsu dalam melakukan transaksi bisnis.

Keempat, ramah-tamah. Seorang palaku bisnis, harus bersikap ramah

dalam melakukan bisnis.

Kelima, tidak boleh berpura-pura menawar dengan harga tinggi, agar

orang lain tertarik membeli dengan harga tersebut.

Keenam, tidak boleh menjelekkan bisnis orang lain, agar orang

membeli kepadanya.

Ketujuh, tidak melakukan ihtikar. Ihtikar ialah menumpuk dan

menyimpan barang dalam masa tertentu, dengan tujuan agar harganya suatu saat menjadi naik dan keuntungan besar pun diperoleh. Rasulullah melarang keras perilaku bisnis semacam itu.

Kedelapan, takaran, ukuran dan timbangan yang benar. Dalam

perdagangan, timbangan yang benar dan tepat harus benar-benar diutamakan.

(14)

Kesembilan, Bisnis tidak boleh menggangu kegiatan ibadah kepada

Allah.

Kesepuluh, membayar upah sebelum kering keringat karyawan.

Pembayaran upah tidak boleh ditunda-tunda. Pembayaran upah harus sesuai dengan kerja yang dilakuan.

Kesebelas, tidak monopoli. Salah satu keburukan sistem ekonomi

kapitalis ialah melegitimasi monopoli dan oligopoli. Contoh yang sederhana adalah eksploitasi (penguasaan) individu tertentu atas hak milik sosial, seperti air, udara dan tanah dan kandungan isinya seperti barang tambang dan mineral. Individu tersebut mengeruk keuntungan secara pribadi, tanpa memberi kesempatan kepada orang lain. Ini dilarang dalam Islam.

Keduabelas, tidak boleh melakukan bisnis dalam kondisi eksisnya

bahaya (mudharat) yang dapat merugikan dan merusak kehidupan individu dan sosial. Misalnya, larangan melakukan bisnis senjata di saat terjadi chaos (kekacauan) politik. Tidak boleh menjual barang halal, seperti anggur kepada produsen minuman keras, karena ia diduga keras, mengolahnya menjadi miras. Semua bentuk bisnis tersebut dilarang Islam karena dapat merusak esensi hubungan sosial yang justru harus dijaga dan diperhatikan secara cermat.

Ketigabelas, komoditi bisnis yang dijual adalah barang yang suci dan

halal, bukan barang yang haram, seperti babi, anjing, minuman keras, ekstasi, dsb.

Keempatbelas, bisnis dilakukan dengan suka rela, tanpa paksaan.

Kelimabelas, Segera melunasi kredit yang menjadi kewajibannya.

Keenambelas, Memberi tenggang waktu apabila pengutang (kreditor)

belum mampu membayar.

Ketujuhbelas, bahwa bisnis yang dilaksanakan bersih dari unsur riba.

(15)

BAB III

CONTOH KASUS

Menafsir Ulang Etika Produksi Gudeg

Rabu, 18 Juni 2008 | 10:04 WIB

Oleh Aris Rudianto

Salah satu makanan tradisional khas Yogyakarta yang telah mengalami transformasi kultural adalah gudeg. Makanan gudeg juga bisa ditemukan di kota lain, tetapi gudeg mempunyai cita rasa yang khas dan berbeda dengan gudeg yang ada di daerah lain.

Gudeg Yogyakarta punya rasa manis yang khas. Masakan gudeg ada dua macam, yaitu gudeg basah dan gudeg kering. Gudeg basah hanya satu kali dimasak dengan direbus hingga habis airnya, gudeg kering minimal dua kali memasak hingga benar-benar kering.

Gudeg sebagai kreativitas makanan ini memang cocok sebagai oleh-oleh, biasanya yang jenis gudeg kering karena tidak mudah basi dan mampu bertahan hingga tiga hari. Harganya pun variatif, mulai dari Rp 10.000 sampai Rp 50.000, tergantung lauk yang dipilih dan jenis kemasannya. Bahkan, ada yang menawarkan paket hemat Rp 5.000, dengan lauk tahu, tempe dan telur. Seperti kemasan gudeg-gudeg di tempat lain, oleh-oleh khas Yogyakarta ini dapat dikemas menarik dengan menggunakan besek (tempat dari anyaman bambu) atau kendil (guci dari tanah liat yang dibakar).

Yang lebih unik, beberapa penjual gudeg ada yang dengan senang hati akan memperlihatkan proses pembuatan gudegnya jika pengunjung menghendaki, misalnya oleh penjual gudeg di daerah Wijilan. Kalau kita coba kembali mengulur benang historis, kita akan mendapati fakta menarik bahwa gudeg tidak begitu saja muncul dan kemudian menjadi trade mark daerah Yogyakarta, tetapi merupakan proses transformasi budaya yang panjang.

Menyebut gudeg Yogyakarta otomatis ingatan kita akan tertuju pada sebuah kampung yang terletak di sebelah timur Alun-alun Utara Keraton Yogyakarta.

(16)

Dari kampung inilah, masakan khas yang berbahan dasar nangka mentah ini menjadi populer hingga seantero dunia.

Tak heran wisatawan yang berkunjung ke Yogyakarta rasanya kurang lengkap jika belum menyantap gudeg di tempat ini. Rasanya kita sangat perlu berterima kasih pada pencetus pertama kali gudeg. Eksistensi gudeg yang telah mengakar kuat di Yogyakarta ini kemudian menjadi krusial untuk dijaga stabilitas dan kualitasnya. Akan tetapi, realitas sepertinya tak selalu menghargai jerih payah sejarah. Kalau kita lebih teliti dalam mencermati perkembangan makanan ini, banyak sekali kasus di mana penjual gudeg mengganti bahan bakunya dengan selain nangka muda, tetapi misalnya sukun muda. Karena memang buah sukun mentah mempunyai morfologi yang mirip dengan nangka mentah, tetapi dalam hal kualitas rasa jelas dua buah ini tidak bisa bersifat subtitutif.

Penampilan setelah diolah pun akan berbeda. Lebih dari itu, pengolahan makanan yang mayoritas masih secara manual membuat aspek kebersihan dan kesehatan makanan kurang menjadi penetrasi oleh sebagian besar produsen gudeg. Deteriorasi dalam produksi makanan seolah merupakan pemandangan wajib dalam perjalanan produksi makanan kita. Ini merupakan strategi yang salah oleh produsen ketika harga bahan baku melonjak naik. Jika fenomena yang masih dalam skala kecil ini dibiarkan berlarut-larut, maka gudeg akan mengalami apa yang dalam ilmu manajemen industri disebut sebagai masa kedewasaan atau bahkan kemunduran, yaitu stabilitas preferensi konsumen akan goyah dan beralih ke barang subtitusi.

Ekses riilnya gudeg akan bernasib sama dengan industri makanan lokal yang cenderung mereduksi kualitas outletnya seiring dengan bertambah mahalnya harga bahan baku. Implikasi jangka panjangnya, masyarakat akan mulai meninggalkan gudeg sebagai ikon budaya hingga akhirnya tidak mempunyai nilai tambah seperti makanan pada umumnya. Hal ini tidak hanya mengubah meski mungkin banyak kalangan tidak menyadarinya rasa khas dan penampilan fisik gudeg, tetapi lebih merupakan kecerobohan publik yang rentan berimplikasi pada terkontaminasinya khazanah produk budaya dan tercerabutnya gudeg di hati pelanggannya.

Kecenderungan produsen mereduksi kualitas produknya seiring naiknya harga bahan baku atau mutlak karena rakus ingin memperoleh pendapatan lebih banyak

(17)

ini bisa dijadikan indikator betapa buruknya paradigma siklus perekonomian masyarakat. Faktor-faktor yang sangat esensial dan prinsipil dalam koridor produksi seperti perbaikan kinerja atau kualitas produk, penciptaan diversifikasi produk, serta usaha mempertahankan segmen dan pangsa pasarnya tak lagi mendapat perhatian serius di benak produsen.

Ekonomi jangka panjang

Pemerintah sebaiknya segera turun tangan dengan semakin gencar memberikan penyuluhan dan komunikasi tentang etika produksi dan orientasi ekonomi jangka panjang. Pemahamann prinsip QFD (quality function development) juga harus ditanamkan sejak dini kepada masyarakat mengingat upaya pendampingan seperti inilah yang akan menumbuhkan rasa afiliasi masyarakat terhadap upaya dinamisasi ekonomi pemerintah. Konsep QFD dikembangkan untuk menjamin produk yang memasuki tahap produksi benar-benar akan dapat memuaskan kebutuhan pelanggan dengan jalan membentuk tingkat kualitas yang diperlukan dan dengan kesesuaian yang maksimum pada setiap tahap pengembangan produk. Produsen kita harus lebih berpandangan futuristik dan menerapkan teknologi tepat guna dengan berpijakan pada prinsip agroindustri bahwa keseluruhan bahan baku yang terlibat dalam transformasinya menjadi suatu produk adalah bisa dimanfaatkan dan tidak ada yang dibuang sia-sia. Misalnya dalam kasus proses pengolahan bahan baku gudeg, biasanya kulit nangka muda serta biji-biji nangka yang agak matang sehingga kurang baik jika diikutkan sebagai bahan utama gudeg, maka biji tersebut bisa digunakan sebagai bahan pembuatan roti atau bisa juga diolah dalam pembuatan bio-etanol (renewable energy yang ramah lingkungan).

Sementara kulit nangka bisa dikumpulkan untuk selanjutnya ditransformasikan menjadi bahan pakan ternak. Jadi, masyarakat harus mulai memberdayakan sistem produksi berkelanjutan (sustainability production system). Namun, dalam kenyataannya, pemanfaatan seperti ini tentu saja tak akan semudah membalik telapak tangan.

(18)

Pemerintah perlu menjadi jembatan penghubung antara potensi seperti ini dengan para pemilik agroindustri sehingga tercipta siklus ekonomi yang saling menguntungkan. Selama ini pemerintah belum pernah mengatur regulasi yang jelas terkait usaha menjaga eksistensi makanan tradisional ini. Khazanah- khazanah budaya lokal harus terus diberdayakan untuk meningkatkan perekonomian dan budaya masyarakat.

Aris Rudianto Mahasiswa Fakultas Teknologi Pertanian Jurusan Teknologi

(19)

BAB IV

PEMBAHASAN

Etika bisnis tidak terbatas hanya mengetengahkan kaidah-kaidah berbisnis yang baik (standar moral) dalam pengertian transaksi jual beli produk saja. Etika juga menyangkut kaidah yang terkait dengan hubungan manajemen dan karyawan. Apa karakteristik yang lebih rinci dari masalah deviasi etika bisnis seperti itu di dalam perusahaan? Yang paling nyata terlihat adalah terjadinya konflik atasan dan bawahan. Hal ini timbul antara lain akibat ketidakadilan dalam penilaian kinerja, manajemen karir, manajemen kompensasi dan sistem pengawasan serta pengembangan SDM yang diskriminatif. Semakin diskriminatif perlakuan manajemen terhadap karyawannya semakin jauh perusahaan menerapkan etika bisnis yang sebenarnya. Pada gilirannya akan menggangu proses dan kinerja bisnis perusahaan. Namun dalam prakteknya pembatasan sesuatu keputusan manajemen itu etis atau tidak selalu menjadi konflik baru. Hal ini karena lemahnya pemahaman tentang apa itu yang disebut etika bisnis, masalah etika, dan lingkup serta pendekatan pemecahannya.

Wujud dari masalah etika bisnis dapat dicirikan oleh adanya faktor-faktor: (1) berkaitan dengan hati nurani, standar moral atau nilai terdalam dari manusia, (2) karena masalahnya rumit, maka cenderung akan timbul perbedaan persepsi tentang sesuatu yang buruk atau tidak buruk; membahagiakan atau menjengkelkan,

(3) menghadapi pilihan yang serba salah, contoh kandungan formalin dalam produk makanan; pilihannya kalau mau dapat untung maka biarkan saja tetapi harus siap dengan citra buruk atau menarik produk dari pasar namun bakal merugi dan

(4) kemajemukan faktor-faktor yang harus dipertimbangkan; misalnya apakah perusahaan perlu menggunakan teknologi padat modal namun dilakukan PHK atau padat karya tetapi proses produknya akan kurang efisien.

Bentuk akibat penyimpangan etika bisnis internal perusahaan antara lain terjadinya ketegangan diametris hubungan atasan dengan bawahan. Seperti diungkapkan di atas hal ini terjadi karena ketimpangan antara lain dalam proses

(20)

penilaian kinerja, standar penilaian dan perbedaan persepsi atasan-bawahan tentang hasil penilaian kinerja. Selain itu ukuran atau standar tentang karir sering tidak jelas. Dalam hal ini pihak manajemen memberlakukan tindakan yang tidak adil. Mereka menetapkan nilai sikap, gaya hubungan kepada atasan dan loyalitas kepada atasan yang tinggi lebih besar ketimbang nilai kinerja faktual karyawannya. Kasus lainnya adalah diterapkannya model nepotisme dalam penyeleksian karyawan baru. Pertimbangan-pertimbangan rasional diabaikan. Termasuk dalam proses rekrutmen internal. Jelas saja mereka yang potensial tersisihkan. Pada gilirannya akan terjadi kekecewaan karyawan yang unggul dan kemudian keluar dari perusahaan.

Dari contoh-contoh di atas maka tampak pihak perusahaan lebih mengutamakan kepentingan meraih keuntungan ketimbangan menciptakan kepentingan karyawan secara adil. Untuk memperkecil terjadi penyimpangan penerapan etika bisnis maka perusahaan perlu:

(a) mengenali respon orang terhadap suatu masalah ketika dihadapkan pada sesuatu yang dilematis dan ketidak-konsistenan dan

(b) melihat etika bisnis dari resiko yang dihadapi seseorang apakah dengan keputusan personal ataukah keputusan sebagian besar orang lain ataukah pertimbangan keputusan berbasis kepentingan perusahaan yang lebih besar secara keseluruhan.

Ada etika ada pula estetika. Keduanya punya sisi perbedaan tipis. Etika bicara tentang moral seseorang; apakah berperilaku salah atau benar; apakah baik atau buruk. Sementara estetika bicara tentang keindahan akan sesuatu. Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas, disebutkan bahwa Estetika secara sederhana adalah ilmu yang membahas keindahan, bagaimana ia bisa terbentuk, dan bagaimana seseorang bisa merasakannya. Pembahasan lebih lanjut mengenai estetika adalah sebuah filosofi yang mempelajari nilai-nilai sensoris, yang kadang dianggap sebagai penilaian terhadap sentimen dan rasa. Estetika merupakan cabang yang sangat dekat dengan filosofi seni. Kalau begitu apakah istilah estetika bisa pas untuk digunakan dalam fenomena bisnis?

Estetika juga bisa digunakan dalam konteks bisnis. Misalnya saja ketika kalangan arsitek hendak membuat bangunan perkantoran bertingkat pasti

(21)

dikaitkan dengan aspek-aspek untuk peruntukan apa; dan bagaimana dengan situasi lingkungan, apakah mengganggu keindahan atau malah merusak lingkungan. Yang pasti estetika suatu rancang bangun seharusnya didasarkan pada strategi bisnis perusahaan dan pertimbangan lingkungan. Masih tergambar dalam ingatan kita ketika sebagian masyarakat menolak keberadaan landmark di Perempatan Gumawang, Wiradesa, Pekalongan yang dinilai berbahaya dan mengurangi estetika penataan ruang. Apalagi, di sekitar tempat itu akan dibangun objek wisata baru yaitu kampung batik.

Contoh lainnya yang dinilai relevan dengan penggunaan istilah estetika adalah dalam penerapan gaya kepemimpinan. Disamping menggunakan etika dan etiket atau tatacara pergaulan maka ada estetika. Disitu ada proses komunikasi antara pemimpin atau manajer dengan para sub-ordinasinya. Ketika berinteraksi maka akan betapa indahnya kalau manajer memperlakukan sub-ordinasinya dengan cara-cara manusiawi. Betapa bahagianya seorang karyawan menerima tegur sapa yang akrab dari atasannya; betapa indahnya suasana dialog ketika seorang pemimpin mau mendengar dan merespon positif pendapat subordinasinya; dan betapa agungnya seorang pemimpin mau mengakui kesalahannya di hadapan rekan dan sub-ordinasinya.

Begitu juga ketika dunia bisnis semakin berkembang global maka pergaulan bisnis internasional tak mungkin dihindari. Interaksi multibudaya internasional sudah merupakan keharusan.Ketika itu terjadi maka muncullah beragam budaya bahasa, budaya busana, budaya cara bicara, budaya makan, budaya pengambilan keputusan, dsb. Misalnya ketika negosiasi atau resepsi makan malam maka tampaklah ragam keindahan dalam berucap dan berbusana dengan bahasa tubuh warna warni.Semuanya diupayakan serba indah dan penuh pesona agar negosiasi dapat berjalan mulus.

Ketika perusahaan ingin menggapai keunggulan kompetetif maka salah satu unsur yang ingin dicapainya adalah pengembangan loyalitas konsumen. Untuk itu perusahaan harus mampu memberi produk bermutu dan layanan yang terbaik kepada konsumen. Secara pengembangan nilai lalu dibangun suatu jembatan emosional antara perusahaan dengan konsumen. Bentuknya adalah tanggung jawab mutu dengan estetika tinggi, pelayanan ramah dan tepat waktu

(22)

dan konsumen diperlakukan secara aman dan nyaman secara berkelanjutan. Pada gilirannya konsumen akan selalu merindukan untuk kembali membeli produk perusahaan tersebut.

Menurut Richard De George, bila perusahaan ingin sukses/berhasil memerlukan 3 hal pokok yaitu:

1. Produk yang baik 2. Managemen yang baik 3. Memiliki Etika

Selama perusahaan memiliki produk yang berkualitas dan berguna untuk masyarakat disamping itu dikelola dengan manajemen yang tepat dibidang produksi, finansial, sumberdaya manusia dan lain-lain tetapi tidak mempunyai etika, maka kekurangan ini cepat atau lambat akan menjadi batu sandungan bagi perusahaan tsb.

Bisnis merupakan suatu unsur mutlak perlu dalam masyarakat modern. Tetapi kalau merupakan fenomena sosial yang begitu hakiki, bisnis tidak dapat dilepaskan dari aturan-aturan main yang selalu harus diterima dalam pergaulan sosial, termasuk juga aturan-aturan moral.

Mengapa bisnis harus berlaku etis, sebetulnya sama dengan bertanya mengapa manusia pada umumnya harus berlaku etis. Bisnis disini hanya merupakan suatu bidang khusus dari kondisi manusia yang umum. Jawabannya yaitu:

Tuhan melalui agama/kepercayaan yang dianut, diharapkan setiap pebisnis akan dibimbing oleh iman kepercayaannya, dan menjadi tugas agama mengajak para pemeluknya untuk tetap berpegang pada motivasi moral.

Kontrak Sosial, umat manusia seolah-olah pernah mengadakan kontrak yang mewajibkan setiap anggotanya untuk berpegang pada norma-norma moral, dan kontrak ini mengikat kita sebagai manusia, sehingga tidak ada seorangpun yang bisa melepaskan diri daripadanya.

Keutamaan, menurut Plato dan Aristoteles, manusia harus melakukan yang baik, justru karena hal itu baik. Yang baik mempunyai nilai intrinsik, artinya, yang baik adalah baik karena dirinya sendiri. Keutamaan sebagai

(23)

disposisi tetap untuk melakukan yang baik, adalah penyempurnaan tertinggi dari kodrat manusia. Manusia yang berlaku etis adalah baik begitu saja, baik secara menyeluruh, bukan menurut aspek tertentu saja. Kode Etik Perusahaan

Kode Etik (Patrick Murphy) atau kadang-kadang disebut code of conduct atau code of ethical conduct ini, menyangkut kebijakan etis perusahaan berhubungan dengan kesulitan yang bisa timbul (mungkin pernah timbul dimasa lalu), seperti konflik kepentingan, hubungan dengan pesaing dan pemasok, menerima hadiah, sumbangan dan sebagainya.

Latar belakang pembuatan Kode Etik adalah sebagai cara ampuh untuk melembagakan etika dalam struktur dan kegiatan perusahaan. Bila Perusahaan memiliki Kode Etik sendiri, otomatis mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan perusahaan yang tidak memilikinya.

Manfaat Kode Etik Perusahaan:

1. Kode Etik dapat meningkatkan kredibilitas suatu perusahaan, karena etika telah dijadikan sebagai corporate culture. Hal ini terutama penting bagi perusahaan besar yang karyawannya tidak semuanya saling mengenal satu sama lainnya. Dengan adanya kode etik, secara intern semua karyawan terikat dengan standar etis yang sama, sehingga akan mengambil kebijakan/keputusan yang sama terhadap kasus sejenis yang timbul.

2. Kode Etik, dapat membantu menghilangkan grey area (kawasan kelabu) dibidang etika (penerimaan komisi, penggunaan tenaga kerja anak, kewajiban perusahaan dalam melindungi lingkungan hidup).

3. Kode Etik menjelaskan bagaimana perusahaan menilai tanggung jawab sosialnya.

4. Kode Etik, menyediakan bagi perusahaan dan dunia bisnis pada umumnya, kemungkinan untuk mengatur diri sendiri (self regulation).

(24)

BAB IV

PENUTUP

Kesimpulan

Dari uraian singkat di atas, antara etika (akhlak, moral), etiket (tatacara pergaulan) dan estetika (keindahan) tak dapat dipisah-pisahkan. Ketiganya menyatu. Dengan demikian ketika perusahaan dalam menyusun strategi bisnisnya maka harus mulai ada kesatuan pemahaman tentang sisi visi, misi, tujuan dan strateginya. Setiap strategi untuk memenangkan persaingan harus tergambarkan pada kesatuan antara gagasan (moral dan tanggung jawab), bentuknya (estetika) dan pendekatannya (tekniknya).

Saran

Dengan demikian, tidak ada alasan untuk menolak etika dalam dunia bisnis, bahkan kepatuhan kepada etika bisnis, sesungguhnya, bersifat kondusif terhadap upaya meningkatkan keuntungan pengusaha atau pemilik modal. Misalnya, para pengusaha sekarang, percaya bahwa kesenjangan gaji yang tidak terlalu besar antara penerima gaji tertinggi dan terendah dan fasilitas-fasilitas yang diterima oleh kedua kelompok karyawan ini, akan mendorong peningkatan kinerja perusahaan secara menyeluruh. Karyawan yang dulu cendrung dianggap sebagai sekrup dalam mesin besar perusahaan, kini diberdayakan. Perempuan yang selama ini sering menjadi korban tuntutan efisiensi, sekarang mendapatkan perhatian yang layak.

Perusahaan-perusahaan besar kinipun berlomba-lomba menampilkan citra diri yang sadar lingkungan, bukan saja lingkungan fisik tetapi juga lingkungan sosial dan budaya. Jika di sarang kapitalisme sendiri, (Amerika dan Eropa) telah mulai berkembang trend baru bagi dunia bisnis, yaitu keniscayaan etika, (meskipun mungkin belum sempurna), tentu kemunculannya lebih mungkin dan lebih dapat subur di negeri kita yang dikenal agamis ini.

(25)

Dari paparan di atas, dapat disimpulkan, bahwa eksistensi etika dalam wacana bisnis merupakan keharusan yang tak terbantahkan. Dalam situasi dunia bisnis membutuhkan etika, Islam sejak lebih 14 abad yang lalu, telah menyerukan urgensi etika bagi aktivitas bisnis.

Pemerintah sebaiknya segera turun tangan dengan semakin gencar memberikan penyuluhan dan komunikasi tentang etika produksi dan orientasi ekonomi jangka panjang. Pemahaman prinsip QFD (quality function development) juga harus ditanamkan sejak dini kepada masyarakat mengingat upaya pendampingan seperti inilah yang akan menumbuhkan rasa afiliasi masyarakat terhadap upaya dinamisasi ekonomi pemerintah. Konsep QFD dikembangkan untuk menjamin produk yang memasuki tahap produksi benar-benar akan dapat memuaskan kebutuhan pelanggan dengan jalan membentuk tingkat kualitas yang diperlukan dan dengan kesesuaian yang maksimum pada setiap tahap pengembangan produk.

Produsen kita harus lebih berpandangan futuristik dan menerapkan teknologi tepat guna dengan berpijakan pada prinsip agroindustri bahwa keseluruhan bahan baku yang terlibat dalam transformasinya menjadi suatu produk adalah bisa dimanfaatkan dan tidak ada yang dibuang sia-sia. Jadi, masyarakat harus mulai memberdayakan sistem produksi berkelanjutan (sustainability production system).

Pemerintah perlu menjadi jembatan penghubung antara potensi seperti ini dengan para pemilik agroindustri sehingga tercipta siklus ekonomi yang saling menguntungkan. Selama ini pemerintah belum pernah mengatur regulasi yang jelas terkait usaha menjaga eksistensi makanan tradisional ini. Khazanah- khazanah budaya lokal harus terus diberdayakan untuk meningkatkan perekonomian dan budaya masyarakat.

(26)

DAFTAR PUSTAKA

A. Sonny Keraf dan Robert Haryono Imam, Etika Bisnis : Membangun Citra Bisnis Sebagai Profesi Luhur, (Yogyakarta; Kanisius, 1995)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/06/18/10042420/function.session-start http://www.deshion.com/artikel/bisnis/129-etika-bisnis-dalam-islam.html http://idotobing.blogspot.com/2009/04/pengantar-manajemen.html http://ronawajah.wordpress.com/2007/08/09/bisnis-kotorkembali-ke-khitah/ http://ronawajah.wordpress.com/2007/10/06/beretika-bisnismudahkah/ http://ronawajah.wordpress.com/2007/12/26/penyimpangan-etika-bisnis-internal/ http://ronawajah.wordpress.com/2008/04/03/estetika-bisnis/

K.Bertens, Pengantar Etika Bisnis, (Yogyakarta : Kanisius, 2000) Mustaq Ahmad, Etika Bisnis Dalam Islam, (Jakarta: Al-Kaustar, 2000)

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui pola kerjasama pemerintah dengan swasta apa saja dalam penyediaan Air Baku serta Pola Kerjasama apa yang akan diambil, sesuai dengan

(2005) juga menunjukkan bahwa setiap tahunnya 5-10% dari siswa baru di lingkungan asrama Assalam Surakarta mengalami masalah dalam melakukan proses penyesuaian diri,

Dari hasil penelitian diketahui bahwa ketersediaan pada lahan publik sangat kurang seperti tidak adanya ruang hijau sebagai barrier jalan dan ruang hijau untuk

Berdasarkan hasil pembahasan dan analisis yang telah dilakukan maka diambil kesimpulan antara lain; (1) Terdapat hubungan yang kuat antara motivasi dan

Dibiayai oleh anggaran Penerimaan dan Belanja Universitas Muria Kudus Th.. Judul Penelitian : Model Bimbingan Karir Berbasis Life Skills untuk Meningkatkan Kematangan

kewajiban untuk melaksanakan peraturan-peraturan yang ruang lingkup wewenangnya bercirikan tiga hal berikut. 1) Materi yang dilaksanakan tidak termasuk rumah

Iklan Baris Iklan Baris Mobil Dijual TOYOTA TIMOR SUZUKI. SUZUKI SWIFT 08 ST Manual Mer- ah Istimewa An Sendiri KTP Nempel Harapan Indah