• Tidak ada hasil yang ditemukan

Phenologi Pertumbuhan dan Produksi Gandum pada Lingkungan Tropika Basah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Phenologi Pertumbuhan dan Produksi Gandum pada Lingkungan Tropika Basah"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Pendahuluan

Gandum merupakan komoditas yang banyak dikembangkan di daerah subtropis, dimana siklus hidupnya membutuhkan suhu udara antara 4-13oC dengan suhu optimum rata-rata 20oC untuk tumbuh dan berproduksi dengan baik (Fisher 1980). Oleh karena itu, di Indonesia sebagai lingkungan tropis, gandum lebih sesuai dibudidayakan di dataran tinggi (>800 m dpl) dengan temperatur sekitar 22 – 24oC. Kondisi iklim yang demikian hanya dapat ditemukan di beberapa wilayah di Indonesia dan bila gandum dibudidayakan di daerah tersebut, maka akan bersaing dengan komoditas yang sering ditanam di dataran

tinggi seperti sayuran dan tanaman hortikul-tura lainnya yang memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi.

Perubahan lingkungan tumbuh dari lingkungan subtropis ke lingkungan tropis se-cara spontan dapat merubah fenologi pertum-buhan dan produksi gandum, khususnya jika mengalami suatu cekaman seperti suhu tinggi. Meurut Philips (1980), perubahan fenologi terjadi diduga merupakan sebuah respon dari tanaman terhadap faktor-faktor lingkungan pada suatu daerah yang mana merupakan manifestasi dari interaksi komponen struktur dan fungsi tanaman terhadap lingkungannya. Perbedaan dapat disebabkan karena kondisi cahaya, temperatur, substrat dan nutrisi.

Phenologi Pertumbuhan dan Produksi Gandum

pada Lingkungan Tropika Basah

Amin Nur1), Trikoesoemaningtyas1), Nurul Khumaida2) dan Sriani Sujiprihati2)

1)Pasca Sarjana IPB

2)Pengajar Agronomi dan Hortikultura IPB

Abstrak

Perubahan fenologi pertumbuhan dan produksi suatu tanaman merupakan fenomena yang su-dah lazim ketika terjadi perubahan lingkungan tumbuh yang sangat besar. Khusus tanaman gandum perubahan lingkungan tumbuh dari subtropis ke tropis merupakan perubahan lingkungan yang sa-ngat besar pengaruhnya terhadap perubahan fenologi dari seluruh fase pertumbuhan dan produksi, perubahan fenologi akan terjadi lebih besar lagi ketika di lingkungan tropis memiliki temperatur yang cukup tinggi. Penelitian ini melihat beberapa fenomena fenologi pertumbuhan dilingkungan tropika basah pada beberapa genotipe gandum. Sebanyak sepuluh genotipe gandum dan dua varie-tas pembanding Dewata dan Selayar diuji di dua lingkungan yaitu dataran tinggi (>1000 m dpl) Ci-panas dan dataran rendah (< 400 m dpl) Bogor, masing-masing disusun dalam Rancangan Acak Kelompok 3 ulangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perubahan lingkungan tumbuh dari data-ran tinggi ke datadata-ran rendah pada lingkungan tropika basah menyebabkan terjadinya penurunan daya berkecambah benih, penurunan tinggi tanaman, penurunan jumlah anakan produktif dari setiap genotipe. Hal ini terlihat pada tinggi tanaman dan jumlah anakan setiap genotipe di dataran tinggi tidak memperlihatkan pengaruh yang nyata, namun pada dataran rendah baik tinggi tanaman dan jumlah anakan setiap genotipe memberikan respon yang berbeda. Karakter komponen hasil pada dataran rendah semua peubah yang diamati memberikan respon yang berpengaruh nyata pada setiap genotipe, sedangkan di dataran tinggi terdapat beberapa peubah yang tidak memberikan res-pon seperti umur berbunga, panjang malai dan jumlah biji/malai.

(2)

Fenologi merupakan karakter yang paling penting yang terlibat dalam adaptasi ta-naman terhadap lingkungan tumbuh mereka (Sadras dan Tra'pani 1999). Baik panjang mu-sim dan durasi relatif phenophases merupa-kan kunci penting penentu hasil biji (Calvin et al., 2003; Kantolic Slafer 2005; Miralles et al., 2000; Slafer et al., 2001).

Upaya untuk meningkatkan nilai eko-nomi gandum di Indonesia perlu ada usaha ekstensifikasi dan lebih memasyarakatkan ta-naman gandum pada lingkungan di dataran < 400 m dpl. Kendala utama yang dihadapi ada-lah adaptasi tanaman gandum di dataran ren-dah < 400 mdpl adalah cekaman lingkungan yang sangat tinggi, khususnya cekaman suhu tinggi dan belum adanya varietas yang dihasil-kan untuk adaptasi dataran < 400 m dpl.

Suhu yang sangat tinggi, menyebabkan kerusakan parah dan bahkan kematian sel da-pat terjadi dalam beberapa menit (Schoffl et al., 1999). Cekaman suhu tinggi pada fase akhir pertumbuhan (terminal heat stress atau post-anthesis heat stress) sering menjadi faktor pembatas pada produksi gandum di beberapa negara (Yang et al., 2002). Pada suhu tinggi, laju perkembangan tanaman meningkat se-hingga mengurangi potensi akumulasi bio-mas. Secara umum, pengaruh suhu tinggi ter-hadap perkembangan bulir pada serealia me-liputi laju perkembangan bulir yang lebih ce-pat, penurunan bobot bulir, biji keriput, ber-kurangnya laju akumulasi pati dan perubahan komposisi lipid dan polipeptida (Stone, 2001). Suhu 35 – 36°C selama 3 atau 4 hari dapat merubah morfologi bulir dan mengurangi ukuran bulir pada gandum (Wardlaw dan Wrigley, 1994 dalam Maestri et al., 2002).

Setiap genotipe memiliki kemampuan yang berbeda dalam mengatasi stres suhu tinggi. Variasi yang sangat besar di dalam spesies memiliki potensi untuk perbaikan to-leransi terhadap cekaman suhu tinggi melalui materi genetik yang ada melalui pemuliaan tanaman (Ehlers, dan Hall 1998; Camejo et al., 2005).

Salah satu upaya awal yang perlu dila-kukan adalah mempelajari phenologi dan pro-duksi tanaman gandum pada dataran rendah, khususnya pada lingkungan tropika basah. Hal ini sangat perlu dilakukan untuk menge-tahui karakter yang berpengaruh terhadap peningkatan/penurunan produksi gandum. Tujuan penelitian ini adalah melihat pheno-logi pertumbuhan dan produksi beberapa ge-notipe gandum dilingkungan tropika basah.

Bahan dan Metode

Penelitian dilaksanakan di dua tempat ketinggian yaitu ketinggian >1000 mdpl di kebun Balithi, Cipanas dan Ketinggian <400 mdpl dikebun Seameo-Biotrop, Bogor. Peneli-tian dilaksanakan mulai bulan Mei – Septem-ber 2010.

Materi genetik yang digunakan pada penelitian ini adalah 10 gandum introduksi (OASIS/SKAUZ//4*BCN, HP 1744, LAJ/MO88, RABE/MO88, H-21, G-21, G-18, MENEMEN, BASRIBEY, ALIBEY) dan 2 varietas pemban-ding (Selayar dan Dewata). Penelitian setiap ketinggian dilaksanakan dengan mengguna-kan Rancangan Acak Kelompok dengan 3 ulangan, ukuran plot 1,5 x 5 m. Tiap nomor ditanam 6 baris sepanjang 5 m dengan jarak tanam antar baris 25 cm, benih dilarik dalam baris. Tanaman dipupuk dengan dosis 150 kg.ha-1 Urea, 200 kg.ha-1 SP36 dan KCl 100

(3)

kg.ha-1 pada umur 10 hst dan pemupukan kedua dengan dosis Urea 150 kg.ha-1 pada umur 30 hst. Sebelum ditanam benih diberi Carbofuran pada saat tanam pada lubang lari-kan.

Pengamatan dilakukan terhadap para-meter-parameter sebagai berikut:

1. Umur berbunga dihitung dari saat tana-man sampai 50% tanatana-man dalam plot telah berbunga

2. Tinggi tanaman setiap minggu, dihitung dari permukaan tanah sampai ujung malai tidak termasuk bulu selama 5 minggu, mulai umur 35 hst

3. Jumlah Anakan setiap minggu selama 5 minggu, mulai umur 35 hst

4. Umur panen, dihitung dari saat tanam sampai malai berisi penuh biji, biji keras, kadar air biji sekitar 25%

5. Jumlah biji/malai, diambil dari 10 contoh malai

6. Bobot biji/malai, diambil dari 10 tanaman sampel

7. Jumlah spiklet, diambil dari 10 contoh malai

8. Jumlah spiklet yang hampa, diambil dari 10 contoh malai

9. Bobot 1000 biji, biji diambil secara acak 10. Bobot biji/Petak

Hasil dan Pembahasan

Variasi Lingkungan dan Phenologi Tanaman Gandum

Fenologi merupakan karakter yang pa-ling penting dalam adaptasi suatu tanaman terhadap perubahan lingkungan tumbuh yang dapat terjadi secara alami atau dikondisikan pada lingkungan tertentu. Fenologi terkait dengan terjadinya perubahan fase-fase per-tumbuhan, perkembangan, pembungaan

hing-ga pematanhing-gan biji/buah tanaman. Berlang-sungnya fase-fase tersebut sangat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan sekitar, seperti ke-tinggian tempat, lamanya penyinaran, suhu dan kelembaban udara (Fewless, 2006).

Hasil pengamatan beberapa hari sete-lah tanam hingga umur 55 Hst memperlihat-kan bahwa perkecambahan benih gandum di dataran rendah mengalami tekanan hingga beberapa hari dari kondisi normal dimana ha-rus berkecambah. Hingga umur 30 hst per-kembangan anakan pada dataran rendah me-ngalami tekanan, jika dibandingkan dengan perkembangan anakan di dataran tinggi. Ana-kan gandum di dataran rendah baru mulai berkembang pada umur 35 – 40 hst, hal ini juga sangat ditentukan oleh genotipe gandum itu sendiri. Tahap perkecambahan benih gan-dum 2 hingga 55 hst (gambar 1)

Variasi lingkungan merupakan kompo-nen utama yang mekompo-nentukan fenologi tana-man gandum. Variasi lingkungan selama pene-litian di lokasi penepene-litian memiliki variasi su-hu rata-rata 20OC, kelembaban 83%, curah hujan 12 mm dengan lama penyinaran 42% di Cipanas dengan ketinggian > 1000 m dpl se-dangkan di Bogor variasi suhu rata-rata 25,8OC, kelembaban 83,7, curah hujan 15,1 mm dengan lama penyinaran 64,2%. Hal ini dapat dilihat bahwa semakin rendah keting-gian suatu tempat variasi suhu semakin me-ningkat dan hal ini berpengaruh langsung ter-hadap pertumbuhan dan perkembangan ta-naman gandum. Kombinasi antara suhu de-ngan kelembaban, curah hujan dan lama pe-nyinaran yang tinggi menambah tingkat ceka-man terhadap pertumbuhan tanaceka-man gan-dum.

(4)

Pengaruh jangka panjang stres suhu tinggi pada pengembangan benih dapat men-cakup tertundanya perkecambahan atau kehi-langan vigor, pada akhirnya menyebabkan berkurangnya kemunculan dan pembentukan bibit. Di bawah suhu rata-rata harian, pertum-buhan koleoptil jagung berkurang pada 400C dan berhenti pada 450C (Weaich et al., 1996).

Berdasarkan Gambar 2, penampilan per-tumbuhan gandum pada umur 30 hst

mem-perlihatkan variasi yang cukup besar antara lingkungan di Bogor dan di Cipanas, begitu pula setelah memasuki fase generatif. Variasi tersebut diduga bahwa di lingkungan dataran rendah (Bogor) memiliki variasi suhu yang tinggi, kelembaban dan curah hujan yang cu-kup tinggi, sehingga cekaman lingkungan yang dihadapi oleh tanaman gandum pada lingku-ngan ini cukup besar dibanding lingkulingku-ngan tumbuh di Cipanas.

55 hst

10 hst

10 hst

30 hst

3 hst

2 hst

4 hst

3 hst

2 hst

30 hst

Dataran rendah (>400 mdpl

)

Gambar 1. Periode perkecambahan dan Pertumbuhan tanaman gandum pada umur 2 hst hingga 55 hst di dataran tinggi (>1000 mdpl) dan dataran rendah (<400 mdpl).

4 hst

55 hst

Dataran tinggi (>1000 mdpl)

Bogor, 30 HST Bogor, Fase Generatif

Cipanas, 30 HST Cipanas, Fase Generatif Gambar 2 Penampilan Tanaman gandum di Bogor dan Cipanas

(5)

Keragaan Karakter Agronomi Gandum

Berdasarkan hasil penelitian tanaman gandum (Tabel 1) pada dua lingkungan tum-buh memperlihatkan bahwa tinggi tanaman setiap minggu tidak memberikan respon yang nyata pada setiap genotipe yang diadaptasi-kan di dataran tinggi (>1000 m dpl), sedang-kan pada saat lingkungan tumbuh diturunsedang-kan ketinggiannya (< 400 m dpl) terjadi penurun-an tinggi tpenurun-anampenurun-an dibpenurun-andingkpenurun-an lingkungpenurun-an di dataran tinggi, hal ini juga mengakibatkan ter-jadi perubahan respon yang nyata dari setiap genotipe yang diadaptasikan. Besarnya respon genotipe di dataran rendah disebabkan karena perubahan lingkungan yang sangat besar, khu-susnya terhadap cekaman suhu, kelembaban dan deraan curah hujan yang tinggi.

Keren-tanan spesies dan kultivar terhadap suhu tinggi juga sangat bervariasi dan sangat di-pengaruhi oleh tahap perkembangan tanaman. Dengan demikian produksi tanaman di bawah suhu tinggi, sangat penting untuk mengetahui tahap-tahap perkembangan tanaman dan pro-ses yang paling sensitif terhadap cekaman su-hu tinggi (Wahid et al., 2007). Rata-rata tinggi tanaman dan analisis ragam tanaman gandum setiap minggu pada dataran tinggi (>1000 m dpl) dan dataran rendah (<400 m dpl) di ling-kungan tropika basah disajikan pada Tabel 1.

Uji Dunnet memperlihatkan bahwa ting-gi tanaman di Cipanas umur 35 hst, 42 hst, 49 hst dan 55 hst genotipe yang diuji tidak mem-perlihatkan perbedaan yang nyata dengan varietas pembanding Selayar, namun pada Tabel 1. Rata-rata tinggi tanaman dan analisis ragam tanaman gandum setiap minggu pada data

ran tinggi (>1000 mdpl) dan dataran rendah (<400 mdpl) dilingkungan tropika basah

Keterangan : TT = Tinggi Tanaman (cm); TTA = Tinggi tanaman akhir (cm); *,** : Berpengaruh nyata pada taraf 5% dan 1%, tn: Tidak berbeda nyata; s+/- = Berbeda nyata lebih atau kurang dibanding kontrol (Selayar) pada Uji

Entry

Bogor (< 400 m dpl) Cipanas (>1000 m dpl)

T35 T42 TT49 T55 TA T35 T42 T49 T55 TTA

Hari Setelah Tanam Hari Setelah Tanam

OASIS 32,7 36,9 40,2 49,2 63,4 33,6 39,9 47,5 59,9 65,57 HP 17 31,6 39,9 56,3 s+ 59,8 s+ 59,1 32,1 45,4 55,2 59,3 71,93 LAJ 32,6 35,5 37,2 43,1 57,5 33,2 40,9 47,2 66,1 69,77 RABE 31,8 34,9 40,4 47,2 59,4 33,4 41,9 49,3 57,3 63,30 H-21 36,4 41,4 44,0 s+ 56,0 73,8 s+ 35,9 45,2 51,3 62,5 73,30 G-21 38,0 41,4 46,2 s+ 49,0 74,4 s+ 34,2 43,4 51,1 59,0 77,33 G-18 34,7 39,6 41,5 51,9 70,9 33,9 43,5 49,5 57,2 66,30 s+ MENEMEN 31,2 35,4 37,7 47,5 56,6 32,6 40,9 48,0 59,6 65,87 BASRIBEY 32,7 35,9 38,4 43,3 55,9 32,7 40,9 48,5 56,8 70,80 ALIBEY 33,1 36,6 40,3 52,2 58,4 32,6 39,5 45,9 53,2 62,90 SELAYAR 31,2 33,5 35,1 45,1 58,5 33,3 40,2 46,8 65,2 56,07 DEWATA 34,5 37,7 39,9 46,4 50,8 36,2 45,3 51,5 54,6 65,57 Rata 33,36 37,4 41,4 49,2 61,6 33,7 42,3 49,3 59,3 67,39 Entry tn tn ** ** ** tn tn tn tn tn KK 10,4 9,6 8,4 9,7 9,8 8,1 6,7 8,0 11,2 11,64 Dunnet 0.05 2,99 2,99 2,99 2,99 2,99 2,99 2,99 2,99 2,99 2.99

(6)

tinggi tanaman akhir hanya genotipe G-18 yang memperlihatkan perbedaan yang nyata lebih tinggi dibanding varietas Selayar. Lain halnya di Bogor hanya umur 35 hst dan 42 hst tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata dengan varietas selayar. Mulai umur 49 hst, 55 hst dan tinggi tanaman akhir genotipe yang diuji memperlihatkan perbedaan yang nyata dengan varietas Selayar. Terjadinya perubah-an lingkungperubah-an yperubah-ang sperubah-angat besar variasinya menyebabkan terjadinya perubahan fenologi pertumbuhan tanaman. Menurut laporan Su-bagyo (2001) di dataran tinggi, tinggi tanaman gandum dapat mencapai 102 cm.

Hasil pengamatan jumlah anakan (Tabel 2) memperlihatkan bahwa jumlah anakan se-tiap minggu tidak memberikan pengaruh yang nyata pada setiap genotipe yang diadaptasi-kan di dataran tinggi (>1000 m dpl), sedang-kan pada saat lingkungan tumbuh diturunsedang-kan ketinggiannya (< 400 m dpl) jumlah anakan memperlihatkan respon yang nyata dari setiap genotipe yang diadaptasikan. Hingga umur 55 hst jumlah anakan pada dua lokasi tersebut tidak terdapat perbedaan yang begitu besar. Jumlah anakan yang produktif terjadi perbe-daan yang begitu besar antara dataran tinggi (>1000 m dpl) dengan dataran rendah (<400 m dpl). Hal ini disebabkan karena kondisi ling-Tabel 2. Rata-rata Jumlah anakan dan Anakan produktif serta analisis ragam tanaman gandum setiap minggu pada dataran tinggi (>1000 m dpl) dan dataran rendah (<400 m dpl) di lingkungan tropika basah

Keterangan : JA = Jumlah Anakan; AP = Anakan produktif. *,** : Berpengaruh nyata pada taraf 5% dan 1%, tn: Tidak ber-beda nyata; s+/- = Berbeda nyata lebih atau kurang dibanding kontrol (Selayar) pada Uji Dunnett taraf 5%

Entry

Bogor (< 400 m dpl) Cipanas (>1000 m dpl) JA35 JA42 JA49 JA55 AP JA35 JA42 JA49 JA55 AP

Hari Setelah Tanam Hari Setelah Tanam

OASIS 2.2 4.0 5.5 7.1 2.3 2.5 4.0 5.5 6.5 6.7 HP 17 1.9 2.8 2.4 3.1 s- 1.6 2.9 4.3 4.9 5.8 5.8 LAJ 2.8 4.8 6.6 7.9 2.9 2.6 4.2 5.5 6.6 6.8 RABE 2.1 3.4 4.5 5.9 2.3 2.8 3.9 5.2 6.3 6.5 H-21 2.7 4.7 7.7 7.7 2.7 2.7 4.2 5.2 6.3 6.9 G-21 2.8 5.2 7.4 8.4 3.4 2.9 4.6 6.9 8.2 9.5s+ G-18 2.0 3.9 5.4 6.7 1.9 2.9 4.4 6.0 6.9 7.7 MENEMEN 1.9 3.5 4.7 5.9 2.7 2.8 4.6 6.3 7.6 8.9 BASRIBEY 1.9 2.6 3.9 6.7 2.5 2.6 4.2 5.4 6.5 7.4 ALIBEY 1.9 2.8 3.9 4.9 2.8 2.6 4.0 5.5 6.6 6.8 SELAYAR 2.8 4.2 5.3 6.4 3.7 2.5 4.2 5.2 6.1 6.1 DEWATA 2.9 5.6 7.9 8.8 - 3.0 4.1 5.2 6.6 7.3 Rata 2.3 3.9 5.4 6.6 2.6 2.7 4.2 5.6 6.7 7.2 Entry * ** ** ** tn tn tn tn tn tn KK 8.4 9.3 11.5 10.4 15.8 12.1 7.6 13.6 15.9 19.7 Dunnet 0.05 2.9 2.9 2.9 2.9 2.9 2.9 2.9 2.9 2.9 2.9

(7)

kungan di dataran rendah memiliki variasi yang sangat besar, utama suhu tinggi, kelem-baban tinggi dengan intensitas curah hujan yang tinggi. Hal ini berdampak terhadap per-kembangan cendawan/jamur yang tinggi, se-hingga anakan yang terbentuk pada umur 55 hst tidak sempat membentuk malai karena mati akibat dari serangan penyakit.

Perbedaan ketinggian tempat juga me-nyebabkan karakter umur berbunga dan umur panen berbeda. Di Bogor umur berbunga dan umur panen lebih cepat dibandingkan di Ci-panas, artinya semakin tinggi lokasi penana-man semakin lambat tanapenana-man berbunga dan panen. Uji Dunnett menunjukkan bahwa un-tuk umur berbunga di Bogor terdapat 9 geno-tipe yang tidak berbeda nyata dengan Selayar yaitu Oasis/Skauz//4*BCN Var-28, HP 1744, Laj/Mo88, Rabe/Mo88, H-21, G-21, G-18, Me-nemen,dan Basribey. Di lain pihak untuk umur panen terdapat 2 genotipe yang tidak berbeda nyata dengan Selayar yaitu Laj/Mo88 dan H-21.

Umur berbunga di Bogor berkisar 43 - 72 hst lebih cepat dibandingkan di Cipanas dengan kisaran 59 – 68 hst. Genotipe yang pa-ling cepat berbunga di Bogor adalah HP 1744 (43 hst) sedangkan yang paling lambat adalah G-21 (72 hst). Penelitian di beberapa daerah lainnya di Indonesia membuktikan bahwa gandum dataran rendah (tropis) dapat ber-bunga lebih cepat yaitu 35 – 51 hst diban-dingkan dengan gandum dataran tinggi yaitu 55 – 60 HST (Aqil et al., 2011).

Hasil pengujian menunjukkan karakter panjang malai tidak nyata di Cipanas sedangkan di Bogor karakter panjang malai, jumlah spikelet, dan spikelet hampa berbeda nyata (Tabel 3). Panjang malai di Cipanas berkisar 7,98 – 11,92 cm, dimana genotipe yang tertinggi adalah HP

1744 (11,92 cm) dan terendah Laj/Mo88 (7,98 cm), sedangkan di Bogor berkisar 6.69 – 8.66 cm, dimana genotipe tertinggi adalah H-21 (8.66 cm) dan terendah Laj/Mo88 (6,69 cm). Berdasarkan uji Dunnett dari karakter panjang malai, jumlah spikelet, dan spikelet hampa semua genotipe ti-dak berbeda nyata dengan Selayar di Cipanas sedangkan di Bogor, untuk karakter panjang malai terdapat 6 genotipe yang tidak berbeda nyata dengan Selayar yaitu Oasis/Skauz//4*BCN Var-18, HP 1744, Laj/Mo88, Rabe/Mo88, Mene-men, Basribey, dan Alibey. Genotipe Oasis/ Skauz//4*BCN Var-18, HP 1744, Rabe/MO88, dan Alibey tidak berbeda nyata dengan Selayar untuk karakter jumlah spikelet.

Hasil analisis ragam komponen hasil genotipe gandum (Tabel 4) menunjukkan bah-wa hanya karakter jumlah biji per malai di Ci-panas yang tidak berpengaruh nyata untuk semua genotipe sedangkan di Bogor terdapat 7 genotipe yang tidak berbeda nyata dengan Selayar yaitu Oasis/Skauz//4*BCN Var-28, H-21, G-H-21, G-18, Menemen, Basribey, dan Ali-bey. Karakter bobot biji per malai pada Oasis/ Skauz//4*BCN Var-28, HP 1744, H-21, G-21, Menemen, Basribey, dan Alibey tidak berbeda nyata dengan Selayar di Cipanas sedangkan di Bogor hanya HP 1744 dan Rabe/Mo88 yang berbeda nyata lebih rendah dari Selayar. Se-mua genotipe di Cipanas untuk karakter bobot 1000 biji tidak berbeda nyata dengan Selayar, dilain pihak Menemen dan Basribey berbeda nyata lebih rendah dari Selayar di Bogor. Oa-sis/Skauz//4*BCN Var-28, H-21, G-18, Bas-ribey, dan Alibey tidak berbeda nyata dengan Selayar untuk karakter bobot biji per petak di kedua lokasi.

Kisaran jumlah biji per malai (13,40-32,70 g), bobot biji per malai (0,31-1,11g), dan bobot 1000 biji (21,91- 31,02 g). Bobot

(8)

1000 biji tertinggi pada genotipe Laj/Mo88 yaitu 31,02 g di Cipanas dan terendah Bas-ribey 21,92 g di Bogor. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian gandum di Merauke dimana bobot 1000 biji pada Oasis/Skauz//4*BCN Var -28 mencapai 31,40 g (Balitsereal 2009).

Kesimpulan dan Saran

Kesimpulan

1. Variasi lingkungan pada dua ketinggian mempengaruhi phenologi beberapa geno-tipe tanaman gandum.

Tabel 3. Rata-rata karakter agronomi genotipe gandum pada dataran tinggi (>1000 m dpl) dan dataran rendah (<400 m dpl) di lingkungan tropika basah

Keterangan : UB:Umur berbunga (hst), UP:Umur panen (hst)PM:Panjang malai (cm), JSP:Jumlah spikelet, SHM: Spikelet hampa, *,** : Berpengaruh nyata pada taraf 5% dan 1%, tn: Tidak berbeda nyata; s+/- = Berbeda nyata lebih

atau kurang dibanding kontrol (Selayar) pada Uji Dunnett taraf 5%

Cipanas Bogor Genotipe UB UP PM JSP SHM UB UP PM JSP SHM OASIS/SKAU 62 99 9.00 20,83 9,88 62 93 7,63 14,40 4,77 HP 1744 64 98 11,92 19,40 10,16 43 80 7,21 12,73 7,83 LAJ/MO88 64 97 7,98 18,00 8,46 68 101 6,69s- 12,98 6,46 RABE/MO88 59 94 8,18 18,20 8,32 70 94 6,98 13,04 6,34 H-21 62 99 8,38 18,60 8,82 69 101 8,66 s+ 17,39 s+ 9,53 G-21 66 100 9,20 19,97 8,91 72 100 8,64s+ 16,31 s+ 7,57 G-18 61 105 9,75 21,30 10,41 69 100 8,32s+ 16,09 s+ 5,28 MENEMEN 68 105 9,25 21,20 10,51 67 96 7,74 14,74 4,74 BASRIBEY 62 99 8,93 20,57 8,96 67 90 7,45 16,56 s+ 5,71 ALIBEY 64 96 8,17 19,10 9,49 57 86 7,58 14,50 4,56 SELAYAR 66 100 8,32 19,77 10,16 68 108 7,32 13,58 5,69 DEWATA 64 99 8,90 20,97 10,62 - - - - - Rata-rata 63 99 9,00 19,83 9,56 65 95 7,66 14,76 6,22 Genotipe tn ** tn ** ** ** ** ** ** ** KK (%) 6,7 3,1 17,5 5,4 13,6 4,9 3,3 3,0 5,1 16,6 Dunnett 0.05 2,9 2,9 2,9 2,9 2,9 2,9 2,9 2,9 2,9 2,9

(9)

2. Penurunan ketinggian tempat < 400 mdpl mempengaruhi tinggi tanaman pada umur 49 hst, 55 hst dan Tinggi Tanaman Tera-khir serta jumlah anakan yang terbentuk 3. Penurunan ketinggian tempat <400 mdpl

mempengaruhi semua karakter agronomi setiap genotipe yang diamati, sedang ke-tinggian tempat >1000 m dpl karakter umur berbunga, panjang malai dan jumlah biji/malai tidak berpengaruh nyata.

4. Panjang malai dan jumlah spiklet pada genotipe H-21, G-21 dan G-18 di dataran rendah nyata lebih tinggi dibanding varie-tas Selayar.

5. Berat biji/malai genotipe LAJ/M088, Rabe/M088 dan G-18 nyata lebih tinggi di-banding varietas Selayar di dataran tinggi, sedangkan di dataran rendah tidak terda-pat genotipe yang lebih baik dibanding varietas selayar untuk karakter jumlah biji/malai, bobot biji/malai, bobot 1000 biji dan bobot biji/petak.

Tabel 4. Rata-rata komponen hasil genotipe gandum rata-rata karakter agronomi genotipe gan-dum pada dataran tinggi (>1000 m dpl) dan dataran rendah (<400 m dpl) di lingkungan tropika basah

Keterangan: JBM: Jumlah biji per malai, BBM: Bobot biji per malai (g), B1B: Bobot 1000 biji (g), BPT: Bobot biji per petak (g)(data ditransformasi Arc sin), *,** : Berpengaruh nyata pada taraf 5% dan 1%, tn: Tidak ber-beda nyata; s+/- = Berbeda nyata lebih atau kurang dibanding kontrol (Selayar) pada Uji Dunnett taraf

5%

Genotipe Cipanas Bogor

JBM BBM B1B BPT JBM BBM B1B BPT OASIS/SKAUZ 22,40 0,77 24,75 904,70 28,90 0,50 27,91 429,67 HP 1744 24,80 0,89 26,83 1290,37 s- 13,40 s- 0,31 s- 2585 227,99 s- LAJ/MO88 24,10 0,81 s+ 31,02 1149,05 s- 19,50 s- 0,63 25,93 220,09 s- RABE/MO88 29,60 1,09 s+ 30,37 1251,11 s- 20,10 s- 0,41 s- 2422 255,51 s- H-21 29,30 1,11 29,43 1344,31 22,00 0,58 29,00 344,90 G-21 31,70 1,07 28,17 1063,45 s- 23,40 0,56 25,63 214,05 s- G-18 32,70 1,09 s+ 29,28 758,47 32,50 0,82 29,44 367,53 MENEMEN 32,10 0,97 22,32 1293,79 s- 30,00 0,60 23,08 s- 317,00 BASRIBEY 29,60 1,05 24,10 1116,25 32,60 0,67 21,91 s- 367,91 ALIBEY 29,70 0,92 25,96 1368,09 29,80 0,50 24,66 391,39 SELAYAR 28,80 0,75 23,24 1382,58 27,20 0,65 30,66 490,02 DEWATA 20,60 0,63 22,05 904,70 - - - - Rata-rata 27,90 0,93 26,46 1174,74 25,40 0,56 26,21 329,64 Genotipe tn * * ** ** ** * ** KK (%) 19,2 19,8 14,0 14,7 10,6 14,6 10,3 10 Dunnett 0.05 2,9 2,9 2,9 2,9 2,9 2,9 2,9 2,9

(10)

Saran

 Perlu pengujian lebih lanjut untuk melihat stabilitas hasil gandum, khususnya di da-taran rendah

 Perlu peningkatan keragaman genetik me-lalui persilangan dan mutasi untuk mem-perbaiki adaptasi tanaman gandum pada dataran rendah

Daftar Pustaka

Aqil M, Marcia BP, dan Muslimah H. 2011. Ino-vasi Gandum Adaptif Dataran Rendah. Sinar Tani Edisi 26 Januari-1 Februari 2011 No.3390 Tahun XLI.

Balitsereal. 2009. Highlight Balitsereal. [Tersedia Berkala]. http://balitsereal. litbang. dep-tan. go.id. html [20 Mei 2011].

Camejo D, Rodr´ıguez P, Morales MA, Dell’a mico JM, Torrecillas A, Alarc´on JJ. 2005. High temperature effects on photosynthetic activity of two tomato cultivars with different heat suscepti-bility. J. Plant Physiol. 162, 281–289. Calvin˜o PA, Sadras VO, Andrade FH. 2003.

Development, growth and yield of late -sown soybean in the southern Pam-pas. Eur. J. Agron. 19, 265–275. Ehlers JD, Hall AE. 1998. Heat tolerance of

con-trasting cowpea lines in short and long days. Field Crops Res. 55, 11–21. Fewless G. 2006. Phenology. hhtp://www.

uwgb.edu/biodiversity/phenology/ index.htm. (Diakses 19 September 2010)

Fischer RA. 1980. Wheat. Paper Presented at The Symposium on Potential Pro-ductivity of Field Crops Under Dif-ferent Environments. IRRI.

Guerena A, Ruiz-Ramos M, Diaz-Ambrona CH, Conde JR, Minguez MI. 2001. Assess-ment of Climate Change and Agricul-ture in Spain Using Climate Models. Agron. J. 93, 237–249.

Kantolic AG, Slafer GA. 2005. Reproductive development and yield components in indeterminate soybean as affected by post-flowering photoperiod. Field Crops Res. 93, 212–222.

Maestri E, Klueva N, Perrotta C, Gulli M, Nguyen HT, Marmiroli N. 2002. Mo-lecular genetics of heat tolerance and heat shock proteins in cereals.Plant Mol. Biol. 48, 667–681.

Miralles DJ, Richards RA, Slafer GA. 2000. Du-ration of the stem elongation period influences the number of fertile florets in wheat and barley. Aust. J. Plant Physiol. 27, 931–940.

Philips RC 1980. Phenology and taxonomy of seagrasses. In : Handbook of seagrass biology : an ecosystem perpective (R.-C> Philips and CP McRoy, eds). Gar-land STPM Press, New York : 29-40. Sadras VO, Tra´pani N, 1999. Leaf expansion

and phenologic development: key de-terminants of sunflower plasticity, growth and yield. In: Smith, D.L., Hamel, C. (Eds.), Physiological control of growth and yield in field crops. Springer-Verlag, Berlin, pp. 205–232. Slafer GA, Abeledo LG, Miralles DJ, Gonzalez

FG, Whitechurch EM. 2001. Photope-riod sensitivity during stem elonga-tion as an avenue to raise potential yield in wheat. Euphytica 119, 191– 197

Schoffl F, Prandl R, Reindl A. 1999. Molecular responses to heat stress. In: Shinozaki, K., Yamaguchi-Shinozaki, K. (Eds.), Mo-lecular Responses to Cold, Drought, Heat and Salt Stress in Higher Plants. R.G. Landes Co.,Austin, Texas, pp. 81– 98.

Subagyo. 2001. Uji adaptasi atau persiapan pelepasan dan gandum di Jawa Ten-gah. Seminar Nasional. Balai Penga-was dan Sertifikasi Benih. Semarang: Tanaman Pangan dan Hortikultura II. Stone P. 2001. The effects of heat stress on

(11)

(Ed.), Crop Responses and Adaptation to Temperature Stress. Food Products Press, Binghamton, NY, pp. 243–291. Yang, J., R.G. Sears, B.S. Gill, G.M. Paulsen. 2002.

Growth and senescence characteris-tics associated with tolerance of wheat-alien amphiploids to high temperature under controlled condi-tions. Euphytica 126: 185–193. Vollenweider P, Gunthardt-Goerg MS. 2005.

Diagnosis of abiotic and biotic stress

factors using the visible symptoms in foliage. Environ. Pollut. 137, 455–465. Wahid A. Gelani S., Ashraf M. Foolad MR. 2007.

Heat tolerance is plants an overview. Emiron Exp Bot 61:199-223.

Weaich, K., Briston KL., Cass A. 1006. Modeling preemergent maize shoot growth II. High temperature stress conditions Agric. J. 88:398-403.

Gambar

Gambar 1.   Periode perkecambahan dan Pertumbuhan tanaman gandum pada umur 2 hst hingga                         55 hst di dataran tinggi (&gt;1000 mdpl) dan dataran rendah (&lt;400 mdpl)
Tabel 1.  Rata-rata tinggi tanaman dan analisis ragam tanaman gandum setiap minggu pada data  ran tinggi (&gt;1000 mdpl) dan dataran rendah (&lt;400 mdpl) dilingkungan tropika basah
Tabel 3.  Rata-rata karakter agronomi genotipe gandum pada dataran tinggi (&gt;1000 m dpl) dan  dataran rendah (&lt;400 m dpl) di lingkungan tropika basah
Tabel 4.  Rata-rata komponen hasil genotipe gandum rata-rata karakter agronomi genotipe gan- gan-dum pada dataran tinggi (&gt;1000 m dpl) dan dataran rendah (&lt;400 m dpl) di lingkungan  tropika basah

Referensi

Dokumen terkait

Bertambahnya siswa yang mendaftarkan diri, maka pihak sekolah pun berusaha memberikan pelayanan yang lebih baik khususnya dalam proses penerimaan siswa baru,

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri adalah data sekunder berupa data time series (deret waktu) berupa data harga beras di tingkat grosir/pasar penampung

Berdasarkan kesimpulan yang telah diuraikan di atas, maka saran yang dapat diberikan adalah : 1) Lampung Post dapat dan mengembangkan strategi pemasaran khususnya dalam

Model bermain peran mendorong peserta didik untuk turut aktif dalam pemecahan masalah sambil menyimak secara seksama bagaimana orang lain berbicara mengenai masalah

Masuklah ke dalam kasih dengan Tuhan, maka anda akan mengasihi satu sama lain, maka anda akan mengasihi gereja, anda akan mengasihi Tujuan itu, anda akan mengasihi semua yang

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh sistem rotasi terhadap penimbunan bahan organik dalam tanah, pertumbuhan dan hasil produksi tanaman jagung, jenis gulma

Dari data yang diperoleh, dapat diketahui bahwa jumlah masyarakat Desa Sedati yang selalu menjadikan Al Quran Sebagai Pedoman dalam kehidupannya sebesar 58%, hal ini