Penelitian ini bertujuan menguji tiga hipotesis penelitian. Hipotesis pertama dan kedua ialah tentang faktor-faktor yang memengaruhi kinerja PKB dan dampaknya pada kinerja Kader KB. Dalam hal ini, data diambil dari kalangan PKB. Hipotesis ketiga ialah tentang faktor-faktor yang memengaruhi kinerja Kader KB yang datanya diambil dari kalangan Kader KB.
Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kinerja PKB dan Dampaknya pada Kinerja
Kader KB (Pandangan PKB)
Berikut ini dikaji faktor-faktor yang memengaruhi kinerja PKB dan dampaknya pada kinerja Kader KB menurut pandangan PKB yang dianalisis dengan model struktural. Kajian ini akan menghasilkan sebuah model yang menjelaskan prediksi atau hipotesis hubungan antara peubah penyebab dengan peubah akibatnya. Model hipotetik yang diajukan mencakup 35 indikator yang berasal dari tiga peubah bebas dan dua peubah terikat (Gambar 5).
Tahap pertama adalah melakukan uji kesesuaian model yang mensyaratkan bahwa sebuah model disebut fit dengan data apabila model tersebut mampu
menghasilkan nilai p-hitung ≥0,05, nilai RMSEA ≤0,08 serta nilai CFI dan GFI
≥0,90. Gambar 5 menunjukkan nilai p-hitung = 0.000 (yang berarti masih kurang dari 0.05), nilai RMSEA = 0.116 (≥0.08) dan nilai CFI = 0.85 (≤0.90). Jadi, model tersebut belum fit, dalam arti belum mampu mengestimasi matriks kovarian populasi, sehingga hasil estimasi parameter modelnya tidak berlaku pada populasi penelitian. Oleh karena itu, model tersebut perlu diperbaiki.
Revisi model (Gambar 6) dilakukan dengan mereduksi beberapa indikator dari masing-masing peubah, sehingga diperoleh nilai-nilai Chi-square (58,63), derajat bebas/df (47) dan p-value (0,11891) yang telah memenuhi syarat. Demikian pula ukuran lain seperti RMSEA, GFI dan CFI. Dengan demikian, model telah sesuai dengan data. Namun demikian, tampak bahwa tidak semua peubah bebas terbukti secara nyata memengaruhi kinerja PKB. Peubah motivasi kerja ikut membuat model menjadi fit, akan tetapi pengaruhnya tidak nyata pada kinerja PKB. Peubah yang berpengaruh secara nyata adalah kompetensi dan lingkungan PKB. Berikut ini ditampilkan gambarnya.
Pengell Org (X11 9) Profesionlm (X11 10) Dorng Kompts (X12.2) Dorng Afiliasi (X12 3) Dorng Pengaruh (X12 4) Aksi Sosial (X11 1) Keragmn Sos (X11 2) Penyus Prog (X11.3) Sbdy Lokal (X11 4) Kelola Info (X11 5) Relasi Intrpsnl (X11 6) Pengt Penyulh (X11 7) Kepemimpin (X11 8) Dorng Prestasi (X12 1) Bid Keahlian (X11 11) Dukngn Pemkab(X13 5) Lembg Diklat (X13 4) Org PKB (X14 3) Lingk Sos (X13 3) Lingk Fisik (X13 1) Lingkung an PKB (X13) Motivasi Kerja PKB (X12) 0,81 (13,26*) 0,80 (12,35*) 0,91(15,23*) 0,85 (13,51*) 0,81 (12,63*) 0,87 (13,91*) 0,86 (13,71*) 0,88 (14,30*) 0,84 (13,18*) 0,80 (12,25*) 0,87 (14,05*) 0,80 (12,36*) 0,92 (15,39*) 0,90 (14,64*) 0,93 (15,64*) 0,86 (13,64*) Lingk Sosial (X13 2) Pengell Org (Y11.9) Profesionlm (Y11.10) Aksi Sosial (Y11.1) Keragmn Sos (Y11.2) Penyus Prog (Y11.3) Sbdy Lokal (Y11.4) Pengell Info (Y11.5) Relasi Intrpsnl (Y11.6) Pengt Penyulh (Y11.7) Kepemimpinn (Y11.8) Bid Keahlian (Y11.11) Kinerja PKB (Y11) Kinerja Kader KB (Y12) Kompe-tensi PKB (X11) 0,91 (14,23*) 0,86 (13,08*) 0,95 (15,34*) 0,89 (13,86*) 0,72 (10,28*) 0,88(13,53*) 0,89 (13,88*) 0,91 (14,31*) 0,82 (12,33*) 0,89 (13,79*) 0,87 (13,40*) 0,8 (13,24*) 0,90 (13,51*) 0,93 (14,31*) 0,82 (11,93*) 0,27 (2,8*) 0,76 (8,67*)
Gambar 5. Estimasi parameter model struktural kinerja PKB dan dampaknya pada kinerja Kader KB Konseling (Y12.1) Pengemb “3 Bina”(Y12.2) Pendataan (Y11.3) Peneladanan (Y114)
Chi-Square= 1780,16 ; d,f = 553 ; p-value = 0,00000, RMSEA = 0.116; CFI = 0.85 0,92 (15,29*) 0,89 (14,40*) 0,90 (14,63*) 0,52 ( 6,98*) 0,09 (1,17) 0,53 (5,94*)
Keterangan:
*): nyata pada α = 0,05
Dari hasil tersebut, maka persamaan model pengukuran dan persamaan model strukturalnya adalah sebagai berikut:
(1) Persamaan model pengukuran:
(1.1) Muatan (loading) pada peubah kompetensi PKB (X11
X ): 11.8 (kepemimpinan) = 0,89 X X 11 11.10 (profesionalisme) = 0,80 X
(1.2) Muatan (loading) pada peubah motivasi kerja PKB (X
11 12 X ): 12.1 (dorongan berprestasi) = 0,95 X X 12 12.2 (dorongan kompetensi) = 0,88 X
(1.3) Muatan (loading) pada peubah lingkungan PKB (X
12 13 X ) 13.2 (lingkungan sosial) = 0,90 X X 13 13.5 (dukungan Pemkab/Pemkot) = 0,91 X13 Rangcangn Program Penyuluhn (Y113) Pemanfaatan sumberdaya lokal (Y114) Konseling (Y121) Peneladanan (Y124) Penyelenggaraan Penyuluhan (Y117) Pembentukan & pengemb “3 Bina” (Y122)
Gambar 6. Estimasi parameter dan statistik t-hitung model struktural kinerja PKB yang dibakukan (Standardized) Dorongan Kompetensi (X12.2) Kepemimpin- an (X11.8) Profesionalis me (X11.10) Dukungan Pemkab/ Pemkot (X13.5) Lingkungan Sosial (X13.2) Dorongan Prestasi (X12.1)
Chi-square:59,88; df:47; p-value: 0,09842; RMSEA: 0,041; CFI: 0,99 0,95 ( 14,32) 0,88 (12,87) 0,89 (13,35) 0,80 (11,65) 0,90 (14,08) 0,91 (14,44) Kompeten si PKB (X11) Lingkung- an PKB (X13) Motivasi Kerja PKB (X12) 0,50 (5,37*) 0,30 (2,82*) Kinerja PKB (Y11) (R2=0,64) Kinerja Kader KB (Y12) (R2=0,49) 0,70 (8,04*) 0,10 (1,44 0,90 (13,31) 0,92 (13,66) 0,78 (11,05) 0,98 (14,63) 0,92 (13,65) 0,85 (12,29) Pmbuatn. Program Penyulhan (Y11.3) Pemanfaatan sumberdaya lokal (Y11.4) Konseling (Y12.1) Penyelenggaraan Penyuluhan (Y11.7) Pembentukan & pengemb “3 Bina” (Y12.2) Pendataan (Y12.3)
(1.4) Muatan (loading) pada peubah kinerja PKB (Y11
Y
):
11.3 (pembuatan program penyuluhan) = 0,98 Y
Y
11 11.4 (pemanfaatan sumberdaya lokal) = 0,92 Y
Y
11 11.7 (pelaksanaan penyuluhan) = 0,85 Y
(1.5) Muatan (loading) pada peubah kinerja KaderKB (Y
11 12 Y ) 12.1 (konseling) = 0,90 Y Y 12
12.2 (pembentukan & pengembangan kelompok “3 Bina”) = 0,92Y
Y
12 12.4 (pendataan) = 0,78 Y
(2) Persamaan model struktural:
12
(2.1) Y11 = 0,30X11+ 0,10 X12 + 0,50 X
(2.2) Y
13 12 = 0,70 Y11
Pengaruh Kompetensi, Motivasi Kerja dan Lingkungan pada Kinerja PKB
Hipotesis 1 menyebutkan bahwa ”kompetensi, motivasi kerja dan lingkungan PKB berpengaruh pada kinerja mereka dalam melaksanakan tugas penyuluhan dan pelayanan KB.” Pengujian Hipotesis 1 dilakukan dengan membandingkan nilai t-hitung dan t-tabel untuk masing-masing peubah. Jika nilai
t-hitung peubah kompetensi, motivasi kerja dan lingkungan PKB lebih besar dari t-tabel pada taraf kesalahan 0,05 yaitu sebesar 1,96, maka Hipotesis 1 diterima.
Dari model yang sudah fit, tampak bahwa peubah motivasi kerja ternyata tidak berpengaruh nyata pada kinerja PKB karena memiliki t-value yang lebih rendah dari t-tabel pada taraf kesalahan 0,05. Besarnya koefisien dan t-hitung peubah-peubah tersebut ditampilkan pada Tabel 5.
Tabel 8. Koefisien dan t-hitung pengaruh kompetensi, motivasi kerja dan lingkungan pada kinerja PKB
Hubungan Antar-peubah Pengaruh
Langsung
t-hitung R2
Kompetensi PKB Kinerja PKB 0,30 3,17*
0,64
Motivasi kerja PKB Kinerja PKB 0,10 0,84
Lingkungan PKB Kinerja PKB 0,50 4,67*
Keterangan :
Tabel 8 menunjukkan besarnya pengaruh langsung peubah kompetensi, motivasi kerja dan lingkungan PKB pada kinerja mereka ialah sebesar 3,07; 0,10 dan 0,50. Koefisien pengaruh kompetensi dan lingkungan kerja PKB bersifat nyata pada α =0,05, sedangkan koefisien pengaruh motivasi tidak nyata. Jadi, secara matematis persamaan model strukturalnya ialah: Y11= 0,30X11 +0,10X12 +
0,50X13. Dalam hal ini Y11 ialah kinerja PKB, X11 ialah kompetensi PKB, X12
ialah motivasi kerja PKB dan X13
(1) peningkatan satu satuan kompetensi PKB, akan meningkatkan secara langsung kinerja mereka sebesar 0,30 satuan.
ialah lingkungan PKB. Adapun pengaruh bersama ketiga peubah tersebut pada PKB ialah sebesar 0,64 yang nyata pada α = 0,05. Hasil ini menunjukkan bahwa:
(2) peningkatan satu satuan motivasi kerja PKB, akan meningkatkan secara langsung kinerja mereka sebesar 0,10 satuan.
(3) peningkatan satu satuan lingkungan PKB, akan meningkatk0an secara langsung kinerja mereka sebesar 0,50 satuan.
(4) pengaruh bersama ketiga peubah tersebut ialah sebesar 64 persen. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh peubah yang tidak diteliti pada kinerja PKB ialah 36 persen.
Pengaruh Kompetensi, Motivasi Kerja, Lingkungan dan Kinerja PKB pada Kinerja Kader KB
Hipotesis 2 menyatakan bahwa ”kompetensi, motivasi kerja, lingkungan dan kinerja PKB berpengaruh pada kinerja Kader KB dalam membantu tugas PKB menjalankan tugas penyuluhan dan pelayanan KB.” Pengujian Hipotesis 2 dilakukan dengan membandingkan nilai t-hitung dan t-tabel untuk masing-masing peubah. Jika nilai t-hitung peubah kompetensi, motivasi kerja, lingkungan dan kinerja PKB lebih besar dari t-tabel pada taraf kesalahan 0,05 yaitu sebesar 1,96, maka Hipotesis 2 diterima.
Dari model yang sudah fit tampak bahwa peubah kompetensi, motivasi kerja dan lingkungan telah memenuhi syarat untuk fit-nya model dengan pereduksian beberapa indikatornya. Koefisien peubah-peubah ini bersifat nyata pada α = 0,05, kecuali motivasi kerja. Tabel 9 menampilkan koefisien dan t-hitung pengaruh peubah-peubah tersebut pada kinerja Kader KB.
Tabel 9. Koefisien dan t-hitung pengaruh kinerja PKB pada kinerja Kader KB
Hubungan Antar-peubah Total Koefisien Pengaruh t-hitung R2
Langsung Tdk Langsung Kompetensi PKB Kinerja Kader KB - 0,26 3,14* 0,49 Motivasi Kerja PKB Kinerja Kader KB - 0,04 0,83 Lingkungan PKB Kinerja Kader KB - 0,32 4,44*
Kinerja PKB Kinerja Kader
KB 0,70 - 8,04*
Keterangan :
t 0,05 tabel = 1,96. *) nyata
Tabel 9 di atas menunjukkan besarnya pengaruh masing-masing peubah. Pengaruh peubah motivasi bersifat tidak langsung dan tidak nyata. Pengaruh peubah kompetensi dan lingkungan bersifat tidak langsung dan nyata, sedangkan pengaruh kinerja PKB bersifat langsung dan nyata. Dengan demikian, persamaan model strukturalnya adalah: Y12= 0,70Y11
(1) peningkatan satu satuan kompetensi PKB, secara tidak langsung akan meningkatkan kinerja Kader KB sebesar 0,26 satuan.
. Dari hasil ini dapat dijelaskan bahwa:
(2) peningkatan satu satuan motivasi kerja PKB, secara tidak langsung akan meningkatkan kinerja Kader KB sebesar 0,04 satuan.
(3) peningkatan satu satuan lingkungan PKB, secara tidak langsung akan meningkatkan kinerja Kader KB sebesar 0,32 satuan.
(4) peningkatan satu satuan kinerja PKB, secara langsung akan meningkatkan kinerja Kader KB sebesar 0,70 satuan.
(5) Besarnya koefisien determinasi pengaruh bersama semua peubah tersebut pada kinerja Kader KB (R2) adalah sebesar 49 persen. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh peubah yang tidak diteliti ialah sebesar 51 persen.
Faktor-faktor yang Memengaruhi Kinerja Kader KB (Pandangan Kader KB)
Gambar 7 berikut ini adalah uraian faktor-faktor yang memengaruhi kinerja Kader KB menurut pandangan Kader KB.
Model hipotetik Gambar 7 tersebut dibentuk dari 18 indikator yang berasal dari empat peubah bebas dan satu peubah terikat. Gambar tersebut memerlihatkan model yang belum memenuhi syarat. Untuk itu, indikator dan peubahnya diseleksi, sehingga diperoleh hasil pada Gambar 8 berikut ini:
Kompeten si Kader (X21) Lingkung an Kader (X23) Kinerja PKB (X24) Kinerja Kader (Y21) Lingkungan Fisik (X24.1) Lingkungan Sosial (X24.2) KIE/Konseling KB (X23.1) Pengemb. “3 Bina” (X23.2) Pendataan (X23.3) Dukngn Pemkab / Kota (X24. 3) Pemotivasian Kader (X25.1) Pemberian KIE (X25.2) Penggalangan dukungn(X25.3)
Chi-square=916,39; df=125; P-value=0,00000; RMSEA=0,196
Peneladanan (Y21.4) Pendataan (Y21.3) Pengembangan “3Bina” (Y21.2) Pelaksanaann Konseling (Y21.1)
Gambar 7. Estimasi parameter model struktural kinerja Kader KB
0,88(12,23*) 0,74(9,98*) 0,56(7,23*) Pendataan (X23.3) Motivasi Kader (X22) Dorongan Kompetisi (X22.2) Dorongan Afiliasi (X22.3) Dorongan Kekuasaan (X22.4) Dorongan Kekuasaan (X22.4) 0,80 (11,37*) 0,73 (10,07*) 0,87(12,67*) 0,26( 3,18*) 0,65(8,57*) 0,80(11,00*) 0,84(11,67*) -0,00 (0,59*) 1,01 (5,64*) -0,00 (-0,19) -0,00 (-0,46) 0,23 (2,79*) 0,51(4,99*) 0,24(3,25*) 0,99(5,85*) 0,32(4,27*) 0,22(2,93*) 0,52(7,00*) 0,99(17,90*)
Gambar 8 di atas merupakan hasil perbaikan yang menampilkan koefisien estimasi model keseluruhan (overall measurement model) yang distandarkan (standardized solution). Tampak bahwa koefisien bobot faktor yang distandarkan semuanya lebih besar dari yang disyaratkan yakni 0,40 atau 0,50. Ini berarti setiap indikator telah valid dan reliabel untuk mengukur peubah latennya. Revisi model juga menunjukkan nilai Chi-square = 18,68, derajat bebas (df) =11 dan p-value = 0,06705 yang sudah memenuhi syarat. Demikian pula ukuran lain seperti RMSEA, GFI dan CFI. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa model telah sesuai dengan data.
Gambar 8 juga menampilkan hasil t-value dari keseluruhan model yang lebih besar dari t-tabel pada taraf kesalahan 0,05 yakni sebesar 1,96 (angka di dalam kurung). Dengan demikian, peubah-peubah tersebut juga semuanya telah nyata pada α = 0,05. Jadi, persamaan model pengukuran dan persamaan model strukturalnya adalah sebagai berikut:
(1) Persamaan model pengukuran:
(1.1) Muatan (loading) pada peubah motivasi kerja Kader KB (X22):
Gambar 8. Estimasi parameter dan statistik t-hitung model struktural kinerja Kader KB yang dibakukan (Standardized)
Chi-Square:18,68; df:11; p-value:0,06705; RMSEA: 0,6705; CFI: 0,98 Dorongan Prestasi (X22.1) Dorongan Afiliasi (X22.3) Pemotivasian Kader (X25.1) Penggalangan dukungan (X25.3) Motivasi Kerja Kader (X22) Kinerja Kader KB (Y21) R2=0,17 0,91 (9,28*) 0,77 (8,30*) 0,55 (4,87*) 0,97 (5,90*) Kinerja PKB (X24) 0,21 (2,08*) 0,30 (2,93*) O,88 (8,31*) 0,76 (8,24*) 0,18 (2,15*) Peneladanan (Y21.4) Konseling (Y21.1) Pendataan KB (Y21.3)
X22.1 (dorongan berprestasi) = 0,91 X
X
22 22.3 (dorongan afiliasi) = 0,77 X
(1.2) Muatan (loading) pada peubah kinerja PKB (X
22 24 X ): 24.1 (pemotivasian kader) = 0,55X X 24 24.3 (penggalangan dukungan) = 0,97X
(1.3) Muatan (loading) pada peubah kinerja Kader KB (Y
24
21
Y
)
21.1 (pelaksanaan konseling) = 0,88Y
Y 21 21.3 (pendataan) = 0,76Y Y 21 21.4 (peneladanan) = 0,18Y
(3) Persamaan model struktural:
21
Y21 = 0,30X22 + 0,21X25
Pengaruh Motivasi Kerja Kader KB dan Kinerja PKB pada Kinerja Kader KB
Hipotesis 3 menyatakan bahwa ”kompetensi, motivasi kerja dan lingkungan Kader KB serta kinerja PKB berpengaruh pada kinerja Kader KB dalam membantu tugas PKB menjalankan tugas penyuluhan dan pelayanan KB.” Pengujian Hipotesis 3 dilakukan dengan membandingkan nilai t-hitung dan t-tabel untuk masing-masing peubah. Jika nilai t-hitung peubah kompetensi, motivasi dan lingkungan Kader serta kinerja PKB lebih besar dari t-tabel pada taraf kesalahan 0,05 yaitu sebesar 1,96, maka Hipotesis 3 diterima.
Dari model yang sudah fit tampak bahwa tidak semua peubah yang dihipotesiskan dapat terbukti. Peubah kompetensi dan lingkungan Kader KB tidak mampu membuat model fit. Peubah motivasi kerja Kader KB dan kinerja PKB yang telah fit masing-masing hanya diwakili oleh dua indikator, sedangkan peubah kinerja Kader KB diwakili tiga indikator. Motivasi kerja Kader KB diwakili indikator dorongan berprestasi dan dorongan kompetensi, kinerja PKB diwakili indikator pemotivasian kader dan penggalangan dukungan, adapun kinerja Kader KB diwakili indikator pelaksanaan konseling, pendataan dan peneladanan.
Tabel 10 berikut ini menampilkan koefisien dan t-hitung pengaruh peubah- peubah tersebut pada kinerja Kader KB.
Tabel 10. Koefisien dan t-hitung pengaruh motivasi kerja Kader KB dan kinerja PKB pada kinerja Kader KB
Hubungan Antar-peubah Pengaruh Langsung t-hitung R2
Motivasi kerja Kader KB Kinerja Kader KB 0,30 2,23*
0,17
Kinerja PKB Kinerja Kader KB 0,21 2,08*
Keterangan :
t 0,05 tabel = 1,96. *) nyata
Tabel 10 menunjukkan besarnya pengaruh langsung motivasi kerja Kader KB dan kinerja PKB pada kinerja Kader KB ialah 0,30 dan 0,21 yang nyata pada α=0,05. Jadi persamaan model strukturalnya ialah: Y21=0,30X22+0,21X24. Dalam
hal ini Y21 ialah kinerja Kader KB, X22 ialah motivasi kerja Kader KB dan X24
(1) peningkatan satu satuan motivasi kerja Kader KB, secara langsung akan meningkatkan kinerja Kader KB sebesar 0,30 satuan.
ialah kinerja PKB. Adapun pengaruh bersama kedua peubah tersebut sebesar 0,17 yang nyata pada α=0,05. Hasil ini menunjukkan bahwa:
(2) peningkatan satu satuan kinerja PKB, secara langsung akan meningkatkan kinerja Kader KB sebesar 0,21 satuan.
(3) pengaruh bersama kedua peubah tersebut adalah sebesar 17 persen. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh peubah yang tidak diteliti pada kinerja Kader KB ialah sebesar 83 persen.
Pembahasan
Faktor-faktor yang Memengaruhi Kinerja PKB (Pandangan PKB)
Hasil model yang fit pada Gambar 6 menunjukkan bahwa semua peubah yang dihipotesiskan dapat membuat model fit. Namun demikian, tampak bahwa hanya peubah kompetensi dan lingkungan yang berpengaruh nyata pada kinerja PKB. Adapun peubah motivasi kerja tidak berpengaruh nyata. Berikut ini penjelasannya.
Pengaruh Kompetensi pada Kinerja PKB
Gambar 6 dan Tabel 8 menunjukkan pengaruh langsung kompetensi pada kinerja PKB sebesar 0,30 yang nyata pada α= 0,05. Hal ini berarti kenaikan satu satuan kompetensi akan menaikkan kinerja PKB sebesar 0,30 satuan. Kompetensi PKB diwakili oleh indikator kemampuan kepemimpinan dan profesionalisme.
Kemampuan kepemimpinan dilihat dari kemampuan memimpin
pelaksanaan program KB di wilayahnya. Hal ini ditelusuri dari pelaksanaan koordinasi dengan semua instansi yang terkait (pemerintah desa, kecamatan, puskesmas, ulama dan sebagainya), pemberian arahan/directing kepada kader, pelibatan Kader untuk membantu tugas penyuluhan, pemotivasian Kader agar tetap aktif serta pengoptimalan sumber-sumberdaya setempat.
Kemampuan mengoordinasi adalah kemampuan mengoordinasi kegiatan penyuluhan dan pelayanan di tingkat desa. Pemberian arahan/directing dilihat dari kemampuan mengarahkan Kader dalam menjalankan tugas (merencanakan kegiatan, melakukan pendataan dan menumbuhkembangkan kelompok ”3 Bina” (BKB/BKR/BKL). Adapun kemampuan memotivasi Kader dilihat dari pelatihan/pembekalan materi, pemberian penghargaan (materi/non-materi) serta dorongan untuk menumbuhkembangkan ”3 Bina” di wilayah tersebut.
Jenis kemampuan lainnya yang terbukti valid dan handal yang menjadi
indikator adalah profesionalisme. Kompetensi profesional adalah demonstrasi/unjuk perilaku yang merefleksikan tingkat kinerja yang tinggi, etika
kerja yang kuat dan komitmen untuk meneruskan pendidikan serta mencapai misi, visi dan tujuan penyuluhan. Dengan demikian, penyuluh KB yang professional adalah mereka yang di samping menguasai bidang tugas penyuluhan
mereka yang spesifik, juga memiliki etos kerja dan komitmen yang kuat untuk terus berkembang menjalani profesinya.
Kompetensi di bidang keahlian merupakan kemampuan utama/inti selaku penyuluh KB. Kemampuan ini mencakup pemahaman dalam masalah kependudukan dan program KB secara umum dan kesehatan reproduksi, penggerakan dan pemotivasian kader, konseling, pelibatan laki-laki/suami dalam program KB, serta pengadvokasian. Berbagai kemampuan ini sangat perlu dimiliki, mengingat program KB memiliki tujuan, visi, misi, permasalahan dan tantangan yang spesifik dan kompleks. Dengan demikian, setiap penyuluh KB harus mengetahui, memahami dan menguasai permasalahan tersebut, sehingga dapat mendorong perubahan perilaku masyarakat agar dapat mandiri merencanakan keluarga berkualitas.
Kemampuan memahami masalah kependudukan dan program KB secara umum adalah kemampuan memahami masalah KB secara umum serta dampak makro dan mikro dari peningkatan jumlah penduduk. Kemampuan memahami masalah reproduksi adalah kemampuan memahami alat/organ-organ reproduksi perempuan dan laki-laki, hak reproduksi, permasalahan AKI dan AKB baik di tingkat nasional maupun lokal, tahapan perkembangan anak serta perbedaan jenis kelamin dan gender. Kemampuan menggerakkan/memotivasi Kader adalah kemampuan mendorong agar mereka tetap aktif membantu, makin memahami bidang tugas dan melakukan pendataan secara benar.
PKB juga dituntut memahami alat/obat/metode kontrasepsi, yakni mampu membedakan jenis-jenis alat/obat/metode kontrasepsi beserta kelebihan dan kekurangan masing-masing. Dengan demikian, mereka mampu memberikan gambaran yang lengkap dan jelas kepada calon akseptor KB (calon pengguna alat/obat/metode kontrasepsi), sehingga memudahkan mereka dapat memutuskan sendiri jenis alat kontrasepsi yang akan dipilih sesuai dengan kondisi fisik, psikis dan ekonomi mereka.
PKB juga harus mampu melibatkan laki-laki (kaum suami) dalam urusan KB. Hal ini terlihat dari kemampuan menyosialisasikan pentingnya ber-KB baik dalam skala mikro maupun makro, mendorong mereka agar terlibat aktif dalam urusan keluarga dan menjadi akseptor KB.
Keberhasilan program KB juga dipengaruhi oleh pihak-pihak lain yang terkait, baik dari jajaran pimpinan lembaga formal maupun tokoh-tokoh masyarakat. Untuk itulah, PKB harus mampu mengadvokasi mereka agar menjadi paham tentang isu, permasalahan dan tantangan program KB khususnya di wilayah mereka.
Di samping menguasai berbagai bidang keahlian di atas, seorang penyuluh KB yang profesional juga harus mampu menjalin komunikasi dengan para peneliti. Hal ini disebabkan pentingnya peran peneliti sebagai pihak penyedia inovasi informasi dan teknologi yang terkait dengan issue KB dan keluarga pada umumnya. Hasil kajian mereka akan sangat berguna bagi para penyuluh untuk meningkatkan penguasaan bidang tugas dan menambah wawasan yang terkait dengan topik aktual yang berkembang di masyarakat. Dengan demikian, akan meningkatkan tingkat keyakinan masyarakat/kelompok sasaran tentang informasi yang diberikan.
Keterkaitan antara penyuluh dengan peneliti ini juga terjadi di bidang penyuluhan pertanian di antaranya melalui program Progam pemberdayaan petani melalui teknologi dan informasi pertanian (P3TIP/FEATI). Salah satu program P3TIP adalah program perbaikan pengajian dan diseminasi teknologi pertanian yang di dalamnya termasuk kegiatan lokakarya yang bertujuan (1) untuk meningkatkan efektivitas hubungan peneliti – penyuluh, (2) ajang saling bertukar informasi tentang pengembangan dan penerapan teknologi, dan (3) membuat kesepakatan hubungan peneliti dan penyuluh agar mencapai kinerja yang optimal (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Utara, 2009).
Upaya lain untuk meningkatkan profesionalisme PKB adalah dengan “mendekatkan dan mempercepat” akses informasi melalui internet. Hal ini antara lain dilakukan di Kabupaten Kendal (Heri Sutoko, 2010). Upaya lainnya adalah dengan memudahkan dan mempercepat proses input dan penganalisisan data melalui penguasaan komputer. Hal ini antara lain dilakukan Badan Pemberdayaan Masyarakat, Perempuan dan Keluarga Berencana (Bapermas PKB) Kabupaten Banyumas yang memberikan pelatihan pengelolaan data on-line (Central Java, 2010).
Perlunya PKB memiliki kemampuan kepemimpinan dan profesionalisme yang ditemukan dari penelitian ini melengkapi hasil Notulen Video Conference (VICON) Layanan Informasi Program Pemberdayaan dan Pembelajaran Jarak Jauh bagi PKB/PLKB (VICON LIP4) tanggal 4 Februari 2010 (Burhan, 2010) yang menekankan tiga kemampuan yakni: kemampuan berkomunikasi tentang materi substansi/mission) melalui berbagai forum pertemuan, kemampuan bekerja dengan data (yakni mengumpulkan, mengolah, menyajikan dan memanfaatkan berbagai data kependudukan/keluarga/demografi/KB, dan kemampuan membangun jejaring/koordinasi dengan berbagai pihak yang terkait, baik langsung maupun tidak langsung.
Adanya pengaruh kompetensi profesionalisme pada kinerja juga ditemukan Dwiyantono (2010) melalui uji korelasi pearson terhadap PKB di Badan Kependudukan KB dan Catatan Sipil Kabupaten Jember. Beberapa penelitian lain juga mengungkapkan pengaruh kompetensi pada kinerja PKB. Alfikri (2009) misalnya, meneliti pengaruh motivasi kerja, kemampuan kerja dan bimbingan teknis pada kinerja PKB di DKI Jakarta. Temuan ini juga memerkuat beberapa penelitian di bidang penyuluhan pertanian (Teddy Rahmat Muliady, 2009; Lukman Effendy, 2009; Supriyanto, 2006). Demikian juga dengan temuan Khalil et al., (2008) di Iran dan Tiraieyari (2009) di Malaysia.
Pengaruh Motivasi Kerja pada Kinerja PKB
Gambar 6 dan Tabel 8 menunjukkan bahwa motivasi kerja berpengaruh
pada kinerja PKB dengan koefisien sebesar 0,10 yang tidak nyata pada α=0,05.
Jadi, kenaikan satu satuan motivasi kerja PKB mampu meningkatkan kinerja mereka sebesar 0,10 satuan meskipun pengaruhnya tidak nyata.
Dua indikator yang valid dan reliabel mengukur peubah motivasi kerja adalah: (1) dorongan berprestasi dan (2) dorongan berkompetensi. Dorongan berprestasi adalah keinginan mengatasi segala tantangan dan hambatan agar mencapai hasil kerja terbaik. Hal ini dapat dilihat dari keinginan mencapai prestasi unggul dalam bekerja, menjadi penyuluh KB yang berhasil serta memberikan yang terbaik bagi organisasi dan masyarakat. Dorongan berkompetensi adalah keinginan untuk mampu menguasai bidangnya. Hal ini
tampak dari keinginan untuk selalu belajar agar dapat menguasai bidangnya, meningkatkan keterampilan membantu memecahkan masalah KB di wilayah binaan dan selalu berinovasi dalam menjalankan tugas.
Data menunjukkan bahwa tingkat dorongan untuk berprestasi responden sebagian besar berada pada tingkat sedang (71,52 persen) yang disusul dengan tinggi (15,15 persen) dan rendah (13,13 persen). Demikian halnya dengan dorongan meningkatkan kompetensi, sebagian besar berada pada kondisi sedang (60 persen) yang disusul rendah (31,15 persen) dan tinggi (8,85 persen).
Dari data tersebut tampak bahwa ketidakmampuan motivasi memengaruhi kinerja PKB bukan berarti disebabkan oleh kondisi rendahnya motivasi para responden, akan tetapi dimungkinkan karena kurang bervariasinya data di antara responden. Hal ini dimungkinkan terjadi karena status mereka yang sama yakni pegawai negeri sipil, sehingga kondisi perlakuan, insentif dan suasana kerja yang dirasakan relatif tidak berbeda. Akibatnya, pengaruh secara keseluruhan pada kinerja menjadi kurang terlihat.
Adanya pengaruh motivasi pada kinerja penyuluh ini (meskipun tidak nyata) sejalan dengan kajian Alfikri (2009) yang menemukan bahwa motivasi berpengaruh nyata pada kinerja penyuluh KB. Demikian halnya dengan beberapa temuan di bidang penyuluhan pertanian (Teddy Rahmat Muliady, 2009; Nani Suhanda, 2008; Bestina et al., 2006). Adapun Ajila dan Abiola (2004) yang mengaji 100 pekerja Bank Central Nigeria menyimpulkan tidak adanya hubungan nyata antara penghargaan intrinsik (misalnya: hadiah dan rekomendasi) yang diterima pegawai dengan kinerja mereka. Untuk motivasi ekstrinsik, terdapat hubungan nyata dengan kinerja. Artinya, peningkatan gaji, tunjangan dan sebagainya akan meningkatkan kinerja mereka.
Hasil kajian di atas menegaskan pentingnya atasan memahami jenis-jenis penghargaan yang dapat mereka gunakan untuk memengaruhi pekerja agar memiliki kinerja tinggi. Dengan kata lain, faktor motivasi tidak sekedar bertujuan memenuhi kebutuhan pekerja, melainkan demi kepentingan organisasi.
Pengaruh Lingkungan pada Kinerja PKB
Gambar 6 dan Tabel 8 menunjukkan pengaruh langsung lingkungan PKB terhadap kinerja mereka sebesar 0,50. Hal ini berarti kenaikan satu satuan lingkungan PKB akan meningkatkan kinerja mereka sebesar 0,50 satuan. Lingkungan PKB ini diwakili oleh indikator lingkungan sosial dan dukungan Pemkab/Pemkot.
Lingkungan sosial adalah dukungan yang diberikan berbagai kelompok dalam masyarakat yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan program KB. Mereka adalah tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh pemuda, media, kalangan PUS, kalangan remaja, kelompok laki-laki/suami, organisasi profesi, LSM hingga organisasi swasta/perusahaan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara memberi teladan penerapan nilai-nilai ber-KB serta terlibat aktif menyosialisasikan dan mengampanyekan program ini. Pentingnya pengaruh faktor eksternal/lingkungan dalam proses penyuluhan juga ditemukan Lukman Effendy (2009), yakni berupa persepsi positif masyarakat atas peran petani pemandu.
Salah satu unsur tokoh informal masyarakat terutama di wilayah pedesaan adalah para kader, disebabkan pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki serta kedekatan emosional yang dibangun dengan masyarakat setempat. Namun demikian, karena sifat pekerjaannya yang sukarela, maka keaktifan mereka sangat tergantung kepada dukungan PKB dan instansi yang menangani.
Hasil penelitian Herartri (2008) tentang peran Kader KB yang dikenal dengan sebutan PPKBD (Pembina Pos KB Desa) tahun 2008 di empat provinsi (NTB, Sulsel, Kaltim dan Sumut) menunjukkan belum seluruh PPKBD mampu melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan. Mereka hanya mengerjakan tugas yang diberikan PKB. Hal ini disebabkan minimnya fasilitasi dan dukungan operasional serta tidak adanya program pelatihan yang terstruktur bagi pengurus PPKBD yang membuat mereka tidak mempunyai gambaran utuh mengenai peran mereka selaku IMP (Institusi Masyarakat Pedesaan).
Kajian Dyah Retna Puspita (2000) menemukan bahwa dalam masa krisis ekonomi yang juga ikut memengaruhi perekonomian keluarga para Kader Posyandu dan KB, beban kerja mereka justru bertambah. Mereka semakin banyak ditugaskan untuk melakukan pendataan (misalnya tentang PUS yang berhak
mendapat bantuan makanan dan alat kontrasepsi gratis). Tugas lainnya adalah pendampingan warga miskin yang akan memanfaatkan operasi kontrasepsi (biasanya tubektomi) gratis di Rumah Sakit Pemerintah yang jaraknya biasanya cukup jauh dari rumah mereka. Dalam kondisi seperti itu, tampak bahwa hubungan kerja antara Kader dengan petugas Puskesmas dan PKB/PLKB lebih cenderung bersifat “hirarkhis” dengan Kader sebagai “bawahannya.” Kondisi inilah yang menjadi salah satu faktor pengganggu kinerja mereka yang sebetulnya memiliki jiwa sosial yang tinggi.
Kelompok masyarakat lainnya yang bisa menjadi motor penggerak pembangunan adalah para dalang. Menurut Ketua Persatuan Pedalangan Indonesia (PEPADI), wayang sebagai media tradisional merupakan salah satu media Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) yang masih efektif untuk digunakan dalam meningkatkan pemahaman berbagai issue program pembangunan karena masih banyak diminati oleh masyarakat pedesaan dan perkotaan (BKKBN online, 8 Juli 2010). Kesadaran yang sama juga muncul dari kalangan Kelompok Seni Peduli Keluarga Berencana (KSP-KB) Kabupaten Kulonprogo yang ikut aktif menyosialisasikan kembali program KB kepada masyarakat Kulonprogo (Mardiya, 2010).
Semakin meningkatnya kesadaran tentang masyarakat madani yang ditandai dengan bermunculannya kelompok-kelompok kepentingan dalam masyarakat merupakan peluang yang sangat bagus untuk meningkatkan dukungan publik terhadap program KB. Mereka dapat berupa kelompok Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), kelompok profesi, kelompok perusahaan maupun kelompok komunitas yang saat ini tumbuh subur di masyarakat dan di dunia maya/internet.
Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) merupakan salah satu contoh bentuk partisipasi masyarakat terhadap permasalahan KB. Bahkan kelompok inilah yang ikut menjadi cikal-bakal dalam proses terbentuknya BKKBN dan program KB di Indonesia. Dengan komitmennya yang kuat dalam upaya memersiapkan terwujudnya keluarga berkualitas (sehingga jenis kegiatannya tidak saja ditujukan kepada PUS, melainkan juga para remaja), seharusnya lembaga seperti ini perlu dihidupkan lagi. Di samping itu, juga perlu
didorong terbentuknya lembaga-lembaga baru dan menggiatkan lembaga-lembaga yang sudah ada.
Dukungan sosial lainnya juga dapat diberikan oleh lembaga-lembaga swasta/perusahaan yang juga memiliki tanggung jawab untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat/komunitas di lingkungan perusahaan tersebut. Program-program tanggung jawab sosial mereka dapat diarahkan untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan dalam perilaku ber-KB.
Sinergi berbagai kelompok masyarakat tersebut, akan memiliki kekuatan dan dampak yang jauh lebih besar dan lebih luas dalam menghidupkan nilai-nilai KB kepada masyarakat, tidak saja PUS melainkan juga remaja dan kelompok lain yang terkait. Untuk itulah, penyuluh KB harus jeli memanfaatkan berbagai kelompok yang ada untuk “menitipkan” misinya, karena memang PKB tidak bisa bekerja sendiri di tengah masyarakat.
Aspek lingkungan lainnya yang ikut mempengaruhi kinerja PKB adalah dukungan Pemkab/Pemkot. Dukungan Pemkab/Pemkot adalah dukungan yang diberikan pihak eksekutif dan legislatif di tingkat lokal terhadap pelaksanaan program KB di wilayah tersebut. Hal ini dapat dilihat dari seberapa jauh pemahaman kedua lembaga ini (melalui para pejabatnya) tentang permasalahan KB di wilayah mereka, kesadaran tentang pentingnya program KB di wilayah mereka, bentuk kelembagaan program KB yang dipilih, alokasi anggaran yang disediakan dan pemanfaatannya serta jumlah tenaga penyuluh yang disediakan.
Penelitian Rangkuti (2007) di Provinsi Sumatera Utara menunjukkan hal tersebut. Menurutnya, rendahnya wewenang para pelaksana program KB menunjukkan masih rendahnya dukungan komitment Pemerintah Kabupaten/Kota baik secara politis maupun operasional serta masih kurangnya koordinasi dan komunikasi antara aktor kebijakan yakni terutama antar instansi terkait sebagai pelaksana dengan seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) yang ada.
Alimoeso juga menemukan bahwa faktor kepemimpinan sangat menentukan berhasil atau tidaknya implementasi berbagai kebijakan program Keluarga Berencana (KB). Sejak program KB didesentralisasikan ke pemerintahan kabupaten/kota tahun 2004, cenderung menurun karena adanya perubahan dalam komitmen. Oleh karena itu untuk membangkitkan program KB
seperti sebelum era desentralisasi, dituntut pemimpin yang menguasai teknis, konsepsi dan kemampuan interpersonal agar dapat menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik (Gemari online, 14 November 2010).
Hal tersebut juga diakui Kepala BKKBN. Menurutnya, kepemimpinan yang baik di Pemda yang ditandai penguatan organisasi pengelolaan KB biasanya akan menghasilkan pelaksanaan program KB yang baik. Sebaliknya jika organisasinya jelek, maka pelaksanaan program KBnya juga buruk. Dalam kenyataannya, saat ini belum semua daerah menjadi implementor kebijakan nasional KB, sehingga masih perlu penguatan organisasi KB dan implementasi kebijakannya agar dapat mendorong peranserta masyarakat (Pelita, 5 Desember 2009).
Semenjak desentralisasi KB, kelembagaan KB mengalami beberapa kali perubahan. Pada saat awal urusan KB diserahkan ke kabupaten/kota (tahun 2002-an), bentuk kelembagaan KB menjadi bervariasi. BKKBN (2006a) menyebutkan enam variasi yakni: Dinas utuh, Dinas merger, Dinas insert (diintegrasikan ke Dinas lain), Badan merger serta Kantor utuh.
Di Kabupaten Bogor misalnya, program KB awalnya digabung dengan urusan Kependudukan dengan nomenklatur ”Dinas Kependudukan, Catatan Sipil dan KB.” Jadi, urusan KB hanya menjadi salah satu bagian dari tiga bagian yang ada. Hal ini memerkecil tingkat kewenangan dan dukungan dana. Di samping itu, PKB juga mendapat tugas tambahan, yakni sosialisasi akta kelahiran. Tidak sedikit PKB yang kemudian sekaligus menguruskan Akta Kelahiran, karena mendapat ”tambahan penghasilan.” Kondisi ini menyebabkan konsentrasi kerja utama mereka terganggu. Di Kota Depok, urusan KB pada awalnya digabung ke dalam Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Kesejahteraan Masyarakat (BPMKS). Adapun di Kabupaten Cianjur, tetap bernama BKKBN.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38 Tahun 2007, urusan bidang KB dan KS (Keluarga Sejahtera) menjadi urusan wajib di Provinsi dan Kabupaten. Hal ini dikuatkan dengan PP No. 41 Tahun 2007 mengenai Organisasi Perangkat Daerah yang kelembagaan KB digabung dengan Pemberdayaan Perempuan, sehingga urusan KB digabung dengan urusan PP (Pemberdayaan
Perempuan) dalam bentuk Badan (Harian Umum Pelita, 14 November 2010). Jadi, nomenklaturnya sekarang relatif sama yakni BPPKB atau BKBPP.
Perubahan kelembagaan juga terjadi di tingkat kecamatan. Jika pada awalnya di tingkat kecamatan ada Pengawas PLKB (PPLKB) yang menjadi pimpinan sejumlah PKB di sesuatu kecamatan, sekarang jabatan itu tidak ada lagi. Di Kabupaten Bogor, sekarang yang ada adalah Koordinator yang bukan merupakan jabatan struktural (sehingga tidak mendapat tunjangan struktural). Koordinator dapat berasal dari PKB maupun bukan. Jika bukan PKB, maka dia tidak memiliki desa binaan dan hanya menjadi koordinator kegiatan KB di kecamatan tersebut. Adapun jika PKB, maka selain memiliki kewajiban sebagai penyuluh di desa (atau beberapa desa) binaannya, dia juga bertugas mengoordinasi pelaksanaan KB di kecamatan tersebut. Hal ini tentu saja menambah beban kerja, sehingga mempengaruhi kinerjanya selaku penyuluh.
Menurut Suroso Dasar yang merupakan seorang pemerhati KB Provinsi Jawa Barat, setiap Kepala Keluarga (KK) di Jawa Barat hanya mendapat dana Rp 15.705,- per tahun yang berasal dari alokasi APBD Jawa Barat sebesar Rp 6.765,- dan APBN sebesar Rp 8.940,-. Padahal idealnya, per KK per tahun mendapat anggaran sekitar Rp 600.000,- Dana ini sangat tidak sebanding dengan biaya pelantikan anggota DPR sebesar Rp 50,1 miliar untuk 640-an orang yang hanya 1 hari (Yulianti, 10 September 2009).
Rendahnya komitmen Pemerintah kabupaten/kota terhadap program KB menyebabkan lemahnya pelaksanaan penyuluhan KB. Akibatnya, tingkat kesertaan ber-KB masyarakat menurun. Di Kabupaten Bogor dan Cianjur serta Kota Depok, dalam lima tahun terakhir, persentase peserta KB aktif (Current
User) dibandingkan PUS (CU/PUS) selalu lebih rendah dibandingkan angka
Provinsi Jawa Barat. Jika untuk Provinsi Jawa Barat selama tahun 2001-2007 angka rata-ratanya berkisar antara 72,30 – 74,67 dan mulai tahun 2005 angkanya terus meningkat, maka untuk ketiga kabupaten/kota tersebut angkanya selalu di bawah rata-rata angka provinsi tersebut. Data ini telah dimuat pada Tabel 1.
Kondisi tersebut berdampak pada jumlah anak yang dimiliki. Data tingkat kesuburan perempuan usia subur (Total Fertility Rate/TFR) di Provinsi Jawa Barat tahun 2006 dan 2007 berdasarkan Suseda dan hasil Pendataan Keluarga adalah
sebesar 2,42 dan 2,34. Adapun TFR di Kabupaten Bogor adalah sebesar 2,69 dan 2,51, di Kota Depok sebesar 2,42 dan 2,34, sedangkan di Kabupaten Cianjur sebesar 2,07 dan 2,25. Data ini telah dimuat pada Tabel 2.
Kurang gencarnya penyuluhan KB juga dapat dilihat dari usia kawin pertama wanita (UKPW). Di Provinsi Jawa Barat usia rata-rata tahun 2004 adalah 17,85 dan meningkat menjadi 17,87 pada tahun 2005, akan tetapi turun menjadi 17,83 di tahun 2006. Di Kabupaten Bogor, usianya selalu di bawah rata-rata usia Provinsi yakni 17,60, 17,51 dan 17,170. Demikian halnya di Kabupaten Cianjur, angkanya selalu lebih rendah dari angka Provinsi yakni: 17,06, 17,02 dan 17,17, sedangkan di Kota Depok, angkanya sudah di atas angka Provinsi yakni, 19,27, 19,33 dan 19,27 (Sumber: BPS, Hasil Sensus Penduduk 1990, 2000 dan SUSEDA 2004-2006).
Di Kabupaten Cianjur, berdasarkan Susenas 2005, dari sejumlah 593.334 pasangan, mayoritas dari mereka (30,88 persen atau 183.226 pasangan) masih berusia di bawah 15 tahun, disusul usia 16 tahun (11,31 persen atau 67.082 pasangan. Adapun yang berusia 17-18 tahun sebesar 27,77 persen (164.764 pasangan) dan yang berusia 25 tahun ke atas sebanyak 2,70 persen (16.048 pasangan. Untuk mencegah pernikahan muda, di Desa Sukalaksana, Kecamatan Sukanegara yang berjarak 80 km dari pusat kota Cianjur telah membuat Peraturan Desa (Perdes) Nomor 1/2004 yang melarang pernikahan dini. Jika melanggar, yakni pasangan perempuannya di bawah 16 tahun, akan didenda Rp 1.000.000,00. Denda ini akan dialokasikan untuk pendidikan anak keluarga miskin (Harian Pikiran Rakyat-Pakuan, 30 Desember 2008).
KB juga berhubungan dengan tingkat kemiskinan. Sebagaimana dikemukakan Suroso (2010) dan Tampubolon (2009), terdapat hubungan antara jumlah anak yang dilahirkan dengan tingkat kemiskinan. Kondisi ini pun terjadi di wilayah penelitian.
Di Kabupaten Bogor, meskipun APBDnya tertinggi ketiga di Provinsi Jawa Barat yakni sebesar Rp2,2 triliun, akan tetapi penduduknya adalah yang paling miskin di Jawa Barat, yakni 1.105.156 jiwa dari total pendududk 4.477.246 jiwa. Berdasarkan hasil pendataan program perlindungan sosial (PPLS) BPS tahun 2006, jumlah rumah tangga miskin di Kabupaten Bogor sebanyak 257.013 atau
1.105.156 jiwa. Adapun hasil pendataan rumah tangga miskin tahun 2008 jumlahnya 256.782. Jumlah ini merupakan angka tertinggi di Jawa Barat (Pos Kota, 2 Juli 2010). Jumlah keluarga yang termasuk kategori Pra Sejahtera dan Keluarga Sejahtera (KS) I hasil pendataan tahun 2008 adalah sebanyak 508.939 keluarga (48.37 persen dari total keluarga sebanyak 1.052.146 keluarga) (BKKBN Jabar online. 29 Desember 2009).
Di Kabupaten Cianjur, jumlah keluarga miskin (kategori Pra S dan KS I) pada tahun 2008 adalah sebanyak 303.298 keluarga atau 49,69 persen dari 610.349 keluarga yang ada. Jika dibanding data 2007, ada peningkatan sebesar 3,58 persen (BKKBN Jabar online, 29 Desember 2009).
Di Kota Depok, meskipun rata-rata jumlah anak untuk tiap keluarga sudah berada di bawah rata-rata Provinsi, akan tetapi kemiskinan masih menjadi masalah. Jumlah keluarga yang teridentifikasi sebagai Pra S dan KS I tahun 2008 meningkat sebanyak 5489 keluarga dibandingkan tahun 2007. Jumlah mereka adalah sebanyak 60.248 keluarga (18,15% dari total keluarga yang terdata sebanyak 331.911 keluarga) (BKKBN Jabar online, 29 Desember 2009). Hal ini pun disampaikan Walikota dalam Pidato HUT RI tahun 2009 (Situs Pemerintah Kota Depok, 3 September 2009).
Salah satu dampak dari banyak anak di kalangan penduduk miskin adalah kekurangan gizi pada balita. Di Kabupaten Bogor, data Dinas Kesehatan tahun 2006 menunjukkan 4.313 balita dinyatakan menderita gizi buruk. Jumlah ini belum termasuk 50.043 balita lain yang mengalami gizi kurang (Republika, 21 Desember 2005).
Di Kabupaten Cianjur, sedikitnya 3.924 balita di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, menderita gizi buruk. Adapun balita yang mengalami kekurangan gizi mencapai 24.458 anak.(Metropolitan, 30 April 2011).
Penderita gizi buruk di Kota Depok meningkat menjadi 460 balita pada Mei 2009 dari jumlah 441 balita pada Oktober 2008. Menurut Kepala Bidang Bina Kesehatan Keluarga (Binkesga) Dinas Kesehatan, selain kurangnya asupan gizi, hal ini juga disebabkan oleh lingkungan atau sanitasi yang buruk dan tidak sehat di sekitar tempat tinggal (Tv-One, 19 Mei 2009).
Uraian di atas menunjukkan bahwa rendahnya kesertaan dalam ber-KB (sebagai bentuk perencanaan menuju keluarga berkualitas), berdampak negatif pada berbagai aspek kehidupan lainnya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam kondisi keterbatasan tingkat pengetahuan, pendidikan, ekonomi, maka sudah seharusnya Pemerintah memberikan komitmen yang tinggi agar mereka dapat memeroleh berbagai akses yang akan membuat mereka secara mandiri mau dan mampu merencanakan kehidupan keluarga guna membentuk keluarga berkualitas.
Pengaruh Bersama Kompetensi, Motivasi Kerja dan Lingkungan pada Kinerja PKB
Gambar 6 dan Tabel 8 menunjukkan pengaruh bersama secara positif dari peubah kompetensi, motivasi kerja dan lingkungan pada kinerja PKB dengan koefisien determinasi (R2
Beberapa hasil penelitian sebelumnya (Teddy Rachmat Muliady, 2009; Lukman Effendy, 2009) juga menemukan adanya pengaruh bersama ini. Pada Teddy Rachmat Muliady (2009), besarnya koefisien determinasi (R
) sebesar 0,64. Hal ini berarti bahwa ketiga peubah tersebut secara bersama-sama memengaruhi kinerja PKB sebesar 64 persen, sedangkan pengaruh peubah yang tidak diteliti hanya sebesar 36 persen. Untuk itu, ketiga peubah ini (terutama kompetensi dan lingkungan yang berpengaruh nyata) perlu ditingkatkan agar kinerja PKB dapat terjaga dan ditingkatkan.
2
Secara teoritis, hasil penelitian ini menguatkan teori tentang adanya pengaruh kompetensi, motivasi dan lingkungan pada kinerja. Sebagaimana dikemukakan Answort et al. (2000:4) dan Atmosoeprapto (2001: 41), faktor-faktor yang berpengaruh adalah kemampuan dan motivasi, sedangkan Gibson et
al. (1996:70) menambahkan dengan lingkungan kerja. Adapun Robbin (Rivai,
2004) menambahkan pengaruhnya dengan kesempatan (kinerja= f (AxMxO). Siagian (2002:40) menambahkannya dengan peubah tugas yang tepat.
) sebesar 0,45, sedangkan pada Lukman Efendy (2009), besarnya 0,60.
Faktor-faktor yang Memengaruhi Kinerja Kader KB (Pandangan PKB)
Pengujian Hipotesis 2 menunjukkan pengaruh nyata yang bersifat langsung dan tidak langsung pada kinerja Kader KB. Gambar 6 dan Tabel 9 menunjukkan bahwa kinerja Kader KB dipengaruhi secara langsung oleh kinerja PKB dengan koefisien sebesar 0,70 yang nyata pada α = 0,05. Ini berarti, peningkatan satu satuan PKB akan meningkatkan kinerja Kader KB sebesar 0,70 satuan. Adapun peubah kompetensi, motivasi kerja dan lingkungan PKB berpengaruh secara tidak langsung pada kinerja Kader KB. Koefisien determinasi (R2
)nya sebesar 0,49 yang berarti pengaruh bersama keempat peubah tersebut adalah sebesar 49 persen, sedangkan pengaruh peubah lain adalah sebesar 51 persen. Perubahan kinerja Kader KB ini terlihat dari perubahan pada tiga indikatornya yakni: penerapan konseling KB, penumbuhkembangan “3 Bina” (Bina Keluarga Balita/BKB, Bina Keluarga Remaja/BKR dan Bina Keluarga Lansia/BKL), serta pendataan KB.
Pengaruh Kinerja PKB pada Kinerja Kader KB
Kinerja PKB memengaruhi kinerja Kader KB secara langsung dengan koefisien sebesar 0,70. Tingginya tingkat ketergantungan Kader KB pada PKB ini sejalan dengan tugas pokok PKB yakni membina Kader KB agar mampu membantu tugas penyuluhan dan pelayanan KB. Semakin baik PKB memotivasi Kader agar tetap aktif, melibatkan mereka dalam proses perencanaan program dan memberi pembekalan materi tentang alat/obat/metode kontrasepsi, KIE KB dan pendataan, maka akan semakin baik pula kinerja kader. Hal ini diharapkan dapat semakin mendorong perilaku masyarakat (terutama keluarga miskin) untuk secara sadar dan mandiri melakukan perencanaan keluarga demi kebahagiaan, kesehatan dan kesejahteraan mereka sendiri.
Keterkaitan erat PKB dengan Kader KB dapat ditelusuri dari perjalanan program KB. Menurut Haryono Suyono et al., (Herartri, 2008), Program KB nasional yang dimulai tahun 1970 menggunakan pendekatan community-based
service delivery dalam rangka mendekatkan pelayanan KB kepada masyarakat di
dilakukan oleh masyarakat di bawah pengawasan PLKB dan Puskesmas. Tempat pelayanan ulang tersebut diberi nama Pos KB. Berawal dari pendekatan berbasis komunitas (community-based) tersebut, program KB kemudian menjadikan partisipasi komunitas (community participation) atau peran-serta masyarakat sebagai kebijakan utama. Kebijakan peranserta masyarakat ditegaskan dalam UU no. 10 tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera.
Kajian tahun 1997-1998 di Provinsi Jawa Tengah dan DI Yogyakarta juga menunjukkan besarnya peran kader. Mereka bertugas mempromosikan KB, mengadakan pertemuan, menyediakan informasi, mengorganisasi pengumpulan dana, membantu tabungan dan kredit, mengumpulkan data serta membantu aktivitas sosial lainnya (Utomo et al., 2006).
Besarnya keterkaitan PKB dan Kader KB juga sesuai dengan hasil kajian Puslitbang Keluarga Sejahtera dan Peningkatan Kualitas Perempuan (PUSRA) BKKBN di lima provinsi tahun 2004 (PUSRA-BKKBN, 2005). Kajian ini menyebutkan bahwa berkurangnya jumlah petugas lapangan KB (setelah era desentralisasi KB) telah menyebabkan pelayanan program KB yang masih dilaksanakan hanya pelayanan kontrasepsi, sedangkan pelayanan program lainnya hampir tidak ada karena kurangnya petugas lapangan KB dan Kader di lini lapangan. Dengan demikian terbukti bahwa berkurangnya jumlah tenaga lapangan memengaruhi kinerja dan mekanisme operasional program KB di lapangan.
Mengantisipasi berkurangnya jumlah PKB tersebut, hasil kajian PUSRA- BKKBN (2005) di tiga provinsi kemudian menunjukkan perlunya sosok yang bisa mengganti peran PLKB/PKB. Hasil diskusi dengan berbagai pihak menyepakati bahwa sosok tersebut seharusnya adalah mereka yang mempunyai minat/motivasi yang tinggi untuk terlibat dalam kegiatan program KB, berpendidikan cukup (SLTA), serta sudah berpengalaman mengikuti kegiatan program KB. Dengan demikian, kader-Kader KB yang berpendidikan SLTA yang selama ini sudah aktif membantu PLKB/PKB, memiliki peluang untuk menduduki peran tersebut.
Pengaruh Kompetensi, Motivasi Kerja dan Lingkungan PKB pada Kinerja Kader KB
Di samping pengaruh langsung dari kinerja PKB, kinerja Kader KB juga ditentukan secara tidak langsung oleh tiga peubah yang terkait dengan eksistensi PKB, yakni: kompetensi, motivasi kerja dan lingkungan PKB (Gambar 6 dan Tabel 9). Besar koefisiennya adalah 0,26 (kompetensi), 0,04 (motivasi kerja) dan 0,32 (lingkungan). Hal ini berarti bahwa peningkatan satu satuan kompetensi PKB akan secara tidak langsung meningkatkan kinerja PKB sebesar 0,26 satuan. Demikian halnya dengan peningkatan motivasi kerja dan lingkungan PKB, secara tidak langsung akan meningkatkan kinerja PKB sebesar 0,04 dan 0,32 satuan.
Dua indikator pengukur kompetensi PKB adalah kepemimpinan dan profesionalisme. Dua indikator pengukur motivasi PKB adalah dorongan berprestasi dan dorongan berkompentensi. Adapun lingkungan PKB diwakili oleh indikator lingkungan sosial dan dukungan Pemkab/ Pemkot. Dengan demikian, untuk meningkatkan kinerja Kader KB, maka semua indikator ini (termasuk yang berpengaruh tidak langsung) perlu diperhatikan.
Kajian Puspasari (2002) tentang kinerja Kader Posyandu menunjukkan bahwa kinerja Kader Posyandu dipengaruhi oleh sejumlah faktor seperti: rendahnya tingkat partisipasi pengguna posyandu, terbatasnya dana untuk makanan tambahan bagi balita yang ditimbang, terbatasnya sarana dan prasarana, tidak adanya imbalan serta kurangnya supervisi dari petugas kelurahan dan kecamatan.
Faktor-faktor yang Memengaruhi Kinerja Kader KB (Pandangan Kader KB)
Setelah membahas temuan yang diambil dari sudut pandang PKB, berikut ini dibahas faktor-faktor yang memengaruhi kinerja Kader KB menurut pandangan mereka sendiri. Hasil pembuktian ketiga (Gambar 8 dan Tabel 10) menunjukkan kinerja Kader KB dipengaruhi secara nyata (pada α = 0,05) oleh dua faktor yakni: (1) motivasi Kader KB dengan koefisien pengaruh sebesar 0,30, dan (2) kinerja PKB sebesar 0,21. Dengan demikian, peningkatan satu satuan motivasi Kader KB, akan meningkatkan kinerja mereka sebesar 0,30 dan meningkatkan satu satuan kinerja PKB akan meningkatkan kinerja Kader KB sebesar 0,21.
Peningkatan kinerja Kader tersebut tampak dari semakin baiknya penerapan konseling, pelaksanaan tugas pendataan dan peneladanan. Konseling adalah kegiatan percakapan tatap muka dua arah antara klien (dalam hal ini calon peserta KB/akseptor) dengan penyuluh agar terjadi perubahan perilaku ber-KB. Biasanya kegiatan ini ditujukan bagi calon akseptor KB (peserta baru). Konseling bertujuan memampukan mereka untuk mengambil keputusan sendiri dalam ber-KB. Dengan demikian, sebagai konselor, Kader KB harus menguasai isi pesan, menguasai teknik berkomunikasi dan sebagainya.
Peran konseling semakin dibutuhkan terutama di wilayah-wilayah yang informasi KBnya masih terbatas yang menyebabkan perilaku ber-KB mereka juga rendah. Hal ini antara lain dilihat dari banyaknya anak yang dimiliki yang lahir dengan jarak umur dekat (kurang dari tiga tahun) serta banyaknya kehamilan pada perempuan dengan usia yang masih terlalu muda dan sudah terlalu tua. Di sinilah tugas PKB untuk memberikan penyuluhan.
Tugas pendataan menjadi urusan Sub Bidang Sistem Informasi Manajemen Program Keluarga Berencana Nasional BKKBN untuk menyediakan data mikro keluarga. Aspeknya mencakup aspek demografi, keluarga berencana (KB), dan keluarga sejahtera (KS). Pendataan keluarga secara keseluruhan maupun individu ini dilakukan dengan cara mengunjungi dari rumah ke rumah oleh petugas atau pelaksana pengumpul data. Tujuannya adalah untuk memperoleh data base keluarga dan individu (BKKBN online, 17 April 2004).
Karena tujuan pendataannya luas, maka data yang diambil sangat banyak, sehingga format formulirnya pun menjadi rumit. Untuk itu, sangat perlu ketelitian dan kecermatan penggalian data dan pengisian formulirnya. Hasil pendataan inilah yang selanjutnya dirangkum menjadi Data Keluarga Sejahtera yang antara lain memberikan informasi kondisi kesejahteraan keluarga di wilayah itu (jumlah keluarga yang termasuk kategori Pra Sejahtera, Keluarga Sejahtera/KS I, II hingga III). Data ini sangat berperan sebagai acuan awal berbagai kebijakan KB dan berbagai progam pengentasan kemiskinan lainnya, dari tingkat desa hingga nasional. Di sinilah Kader KB berperan penting menjadi pengumpul datanya.
Indikator kinerja Kader KB lainnya adalah peneladanan, yakni bahwa Kader menerapkan perilaku ber-KB terlebih dahulu agar dapat dicontoh para PUS di sekitarnya. Peneladanan ini diharapkan tampak dari umur saat menikah, perencanaan jumlah dan jarak kelahiran anak serta cara pengasuhan anak. Semakin banyak nilai-nilai yang diteladankan, semakin tinggi kemungkinan PUS mengikuti jejaknya Pentingnya peneladanan ini juga dijumpai di kalangan Kader di Kaduna State, Nigeria (Onwuhafua et al., 2005).
Berdasarkan gambaran responden Kader yang semuanya perempuan dan sudah menikah, tampak bahwa umur mereka saat ini berkisar antara 24-61 tahun. Sebagian besar dari mereka (93 orang atau 54,55 persen) berumur sekitar 37-49 tahun, disusul 40 persen (66 orang) yang berumur sekitar 24-36 tahun dan sisanya (6 orang atau 3,64 persen) berumur sekitar 50-62 tahun.
Jumlah anak mereka berkisar antara 1-7 orang dengan jumlah terbanyak (85 orang atau 51,52 persen) memiliki 1-2 anak yang diikuti 3-4 anak (73 orang atau 44,24 persen). Kader yang memiliki 5-6 anak sebanyak enam orang (0,36 persen) dan satu orang lainnya (0,06 persen) memiliki tujuh anak. Dari data ini tampak masih cukup banyak responden yang mempunyai anak lebih dari dua orang.
Dilihat dari kelompok umur, Kader yang memiliki 1-2 anak kebanyakan adalah mereka yang termasuk kelompok umur 24-36 tahun ( 46 orang atau 27,88 persen), disusul kelompok 37-49 tahun (35 orang atau 21,21 persen) dan 50-62 tahun (4 orang atau 0,24 persen). Yang memiliki 3-4 anak kebanyakan berumur 37-49 tahun (53 orang atau 32,12 persen), disusul kelompok 24-36 tahun (20 orang atau 12,12 persen). Dari enam orang Kader yang memiliki anak banyak (5-6 anak), hampir semuanya (5 orang) adalah mereka yang berumur 37-49 tahun, sedangkan satu orang yang mempunyai tujuh anak adalah berumur 50-62 tahun.
Dari data di atas tampak bahwa Kader yang memiliki anak sedikit adalah mereka yang masih termasuk usia subur. Hal ini berarti bahwa mereka masih memiliki kemungkinan untuk hamil lagi. Dengan fakta bahwa mayoritas jenis alat kontrasepsi yang digunakan adalah suntik dan pil yang berjangka waktu pendek, maka jika pemakaiannya tidak disiplin, mereka dapat mengalami ”gagal KB” karena hamil.
Tingkat penggunaan alat kontrasepsi jangka panjang seperti implant dan
IUD masih rendah. Hal ini antara lain disebabkan rasa takut dan malu jika yang
memasang adalah petugas laki-laki (terutama untuk IUD) serta masih adanya anggapan bahwa metode tersebut dilarang oleh agama.
Dari gambaran indikator peneladanan tersebut dapat disimpulkan bahwa mayoritas responden Kader telah cukup memberi teladan penerapan nilai-nilai ber-KB. Namun demikian, dengan masih sedikitnya pengguna alat-alat kontrasepsi jangka panjang di kalangan Kader sendiri, berarti PKB masih harus bekerja keras memberikan informasi secara lengkap dan tepat tentang manfaat dan kelebihan serta kekurangan dari alat/metode kontrasepsi jangka panjang. Penggunaan alat/metode ini diharapkan dapat mengurangi jumlah anak di kalangan keluarga miskin agar tidak menambah beban hidup mereka.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penerapan konseling KB, pendataan serta peneladanan ber-KB menjadi indikator kunci dari peningkatan kinerja Kader KB, sehingga untuk itu perlu ditingkatkan.
Pengaruh Motivasi Kerja pada Kinerja Kader KB
Dari sudut pandang kader, motivasi kerja memengaruhi kinerja mereka sebesar 0,24 satuan. Motivasi ikut menjadi faktor penentu karena Kader adalah pekerjaan sosial yang bersifat sukarela. Mereka tidak digaji, sangat jarang mendapatkan insentif dan bahkan tidak jarang justru mereka yang harus mengeluarkan dana pribadi untuk melaksanakan tugas. Untuk itulah motivasi kerja mereka sangat menentukan.
Peubah motivasi dicirikan oleh dorongan berprestasi dan dorongan afiliasi. Dorongan berprestasi adalah dorongan berbuat yang terbaik, sedangkan dorongan afiliasi adalah dorongan membina hubungan secara sosial. Dorongan berafiliasi ini sangat dibutuhkan, karena dalam kenyataannya merekalah yang menjadi ujung tombak penyuluhan KB.
Hasil penelitian Dyah Retna Puspita (2000) di desa Cipayung- Ciputat menunjukkan bahwa Kader yang bekerja dengan motif/niat untuk bermanfaat bagi masyarakat dan beribadah, lebih bertahan aktif sekalipun terkena dampak krisis ekonomi (tahun 1998-an) dan mengalami penambahan beban tugas berupa
pendataan untuk program penanggulangi krisis. Hal ini menunjukkan motivasi internal mereka yang kuat.
Widiastuti (2006) menyimpulkan tidak adanya hubungan antara sejumlah peubah (pengetahuan Kader tentang posyandu, lama kerja menjadi kader, jam kerja kader, pemberian insentif, jumlah kader, ketersediaan alat dan bahan, seleksi, pembinaan, ketersediaan alat dan bahan serta frekuensi pertemuan kader) dengan partisipasi mereka dalam kegiatan Posyandu. Herartri (2008) menyimpulkan bahwa belum seluruh Pos Pembantu KB Desa (PPKBD) mampu melaksanakan enam peran seperti yang tercantum dalam pedoman, yaitu: pengorganisasian, pertemuan rutin, KIE/konseling, pencatatan dan pendataan, pelayanan kegiatan, dan upaya kemandirian. Faktor penghambat utamanya adalah minimnya fasilitasi dan dukungan operasional. Tidak ada program pelatihan yang terstruktur, sehingga mereka tidak mempunyai gambaran utuh mengenai peran Institusi Masyarakat Pedesaan (IMP). Peran yang dilaksanakan hanya sebatas yang diperintahkan oleh PLKB.
Dari sejumlah hasil penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya semangat kesukarelaan warga (yang selama ini didominasi perempuan) untuk menjadi Kader KB dapat ditumbuhkan, sepanjang didukung pendekatan yang tepat. Upaya yang dapat dilakukan antara lain adalah dengan memberikan pengakuan/recognition atas peran mereka. Bentuknya dapat berupa pemberian pelatihan/pembekalan materi secara berkala, penyediaan biaya operasional (misalnya untuk pendampingan klien ke Rumah Sakit, rapat koordinasi dan pendataan) dan penyediaan sarana penunjang (misal: alat peraga dan alat tulis). Upaya yang tidak kalah pentingnya dilakukan adalah dengan memerlakukan mereka sebagai mitra kerja yang setara dan saling membutuhkan dan bukan sebagai “bawahan” yang dapat bisa diperlakukan seenaknya.
Pengaruh Kinerja PKB pada Kinerja Kader KB
Peubah kedua yang memengaruhi kinerja Kader KB dari perspektif Kader KB adalah peubah kinerja PKB. Besar koefisien pengaruhnya adalah 0,21, yang berarti kenaikan kinerja PKB sebesar satu satuan, akan secara langsung meningkatkan kinerja Kader KB sebesar 0,21 satuan.
Ketergantungan Kader KB terhadap PKB ini menguatkan hipotesis sebelumnya yang diambil dari perspektif PKB. Hal ini sejalan dengan tugas pokok PKB sebagai pembina Kader KB agar mereka mampu dan terampil membantu tugas penyuluhan dan pelayanan KB. Semakin baik PKB memotivasi kader, melibatkan mereka dalam proses perencanaan program dan memberi pembekalan materi tentang berbagai hal, semakin tinggi kinerja kader. Hal ini akan mencegah terjadinya DO kader.
Strategi Peningkatan Kinerja PKB dan Kinerja Kader KB
Tujuan utama program KB adalah terjadinya perubahan perilaku PUS yang ditunjukkan dari meningkatnya pengetahuan, sikap dan keterampilan mereka dalam menerapkan ide-ide yang terdapat dalam program KB. Dari hasil penelitian yang digali dari pandangan PKB dan dilengkapi dengan pandangan Kader KB ini terdapat sejumlah hal yang dapat ditindaklanjuti.
Upaya Meningkatkan Kinerja PKB
Hasil kajian dari perspektif PKB menunjukkan bahwa kinerja PKB dipengaruhi secara nyata oleh dua peubah yakni kompetensi dan lingkungan kerja serta dipengaruhi secara tidak nyata oleh motivasi kerja mereka. Tingkat pengaruh bersama ketiga peubah ini cukup kuat yakni 65 persen, sehingga sangat perlu diperhatikan. Kinerja PKB ini dicirikan dari tiga indikator yakni: merancang program penyuluhan, memanfaatkan sumberdaya lokal serta menyelenggarakan penyuluhan.
Peningkatan ketiga indikator kinerja PKB tersebut dapat dicapai melalui peningkatan peubah-peubah yang secara nyata memengaruhinya. Kompetensi diwakili oleh indikator kepemimpinan dan bidang keahlian, sedangkan lingkungan diwakili oleh indikator dukungan lingkungan sosial dan dukungan Pemkab/ Pemkot.
Kemampuan di bidang kepemimpinan menjadi perlu dan penting dimiliki, mengingat PKB adalah pengelola dan ”manager” pelaksanaan program KB di tingkat desa. Dengan demikian, mereka harus mampu mengelola dan
mengarahkan segala sumberdaya yang ada (manusia, sistem sosial, sarana dan prasarana dan sebagainya) di wilayah tersebut. Termasuk dalam hal ini adalah memotivasi para Kader KB yang membantu tugas penyuluhan dan pelayanan KB.
Kemampuan lainnya yang perlu dimiliki adalah kemampuan profesional selaku penyuluh KB. Hal ini menjadi hal yang urgen, karena tantangan KB dan kependudukan semakin kompleks, sehingga membutuhkan figur penyuluh yang tidak saja menguasai bidang tugasnya, melainkan juga memiliki komitmen dan etos kerja yang kuat dalam menjalani profesinya.
Pada peubah lingkungan PKB, terdapat dua komponen penentu kinerja mereka yakni lingkungan sosial dan dukungan kebijakan Pemkab/ Pemkot. Dukungan sosial (tokoh-tokoh masyarakat, tokoh agama hingga kelompok-kelompok sasaran program ini) sangat diperlukan, mengingat program KB tidak berada dalam ”ruang hampa,” namun dalam kondisi masyarakat yang sarat dengan sistem nilai dan dinamika kehidupan. Untuk itu, program KB hanya dapat ”hidup” apabila nilai-nilai yang ada di dalamnya dapat diterima oleh masyarakat dan kemudian dapat diterapkan secara mandiri dan rasional. Oleh karenanya, dukungan para tokoh agama, tokoh masyarakat serta kelompok-kelompok lainnya sangat diperlukan.
Mereka diharapkan dapat membantu menyosialisasikan manfaat program KB khususnya kepada masyarakat dengan status sosial ekonomi rendah yang sangat rentan memiliki banyak anak tanpa perencanaan yang baik. Berbagai forum sosial yang hidup di masyarakat (misalnya forum pengajian, arisan, posyandu, resepsi perkawinan dan sebagainya) dapat digunakan sebagai sarananya.
Peranserta para tokoh agama dan masyarakat tersebut perlu diimbangi dengan peranserta dari kalangan pembuat kebijakan di tingkat lokal (kabupaten/kota), baik dari unsur eksekutif maupun legislatif. Hal ini disebabkan dalam era desentralisasi, merekalah yang menjadi penentu kebijakan pembangunan beserta alokasi anggarannya. Untuk itulah, para pemegang amanah rakyat ini harus memahami permasalahan KB dan kependudukan di wilayah mereka, sehingga dapat merancang program-program pembangunan yang ”pro program KB.”
Upaya Meningkatkan Kinerja Kader KB
Kajian dari pandangan PKB menunjukkan bahwa kinerja Kader KB dipengaruhi secara langsung oleh kinerja PKB melalui dua indikatornya yakni kepemimpinan dan bidang profesionalisme. Kinerja Kader KB juga dipengaruhi secara tidak langsung oleh peubah motivasi PKB, kompetensi dan lingkungan kerja mereka.
Dari pandangan Kader KB, kinerja mereka di samping ditentukan secara langsung oleh kinerja PKB, juga oleh motivasi kerja mereka sendiri. Kinerja PKB dicirikan oleh indikator pemberian KIE/konseling dan penggalangan dukungan masyarakat. Adapun motivasi Kader KB ditentukan oleh indikator dorongan berprestasi dan dorongan afiliasi.
Dari temuan ini tampak bahwa baik dari perspektif PKB maupun dari perspektif Kader KB terdapat kesamaan pandangan bahwa kinerja PKB menjadi salah satu faktor penentu untuk meningkatkan kinerja Kader KB. Hal ini relevan dengan tugas pokok PKB selama ini yakni selaku pembina Kader KB. PKB memegang peran manajerial sebagai “pemegang tombak,” adapun tombaknya adalah para Kader KB. Dengan demikian, para PKB harus mampu membina kader-kadernya agar handal dan kompeten dalam memberikan konseling KB kepada kelompok sasaran (PUS), mengembangkan “3 Bina” (BKB/BKR/BKL) serta melakukan pendataan keluarga secara akurat.
Peningkatan kinerja Kader KB juga dilakukan dengan meningkatkan motivasi kerja mereka, yakni melalui dorongan berprestasi dan berafiliasi. Hal ini juga sangat relevan, mengingat Kader KB adalah jenis pekerjaan sosial dan sukarela yang tidak dibayar dan tidak mempunyai jenjang karir, yang membuat mereka sangat rentan DO. Untuk itulah, motivasi mereka perlu terus dipertahankan dengan cara menjaga semangat berprestasi dan berafiliasi.
Karena tidak ada pos anggaran berupa gaji untuk Kader KB, maka caranya adalah meningkatkan pos anggaran untuk operasional kegiatan. Banyaknya Kader yang tetap bertahan karena alasan sosial (ingin bermanfaat bagi masyarakat) dan alasan agama (ingin mendapatkan pahala dari Tuhan yang Maha Esa) tidak menjadi alasan bagi Pemerintah untuk tidak memperhatikan mereka. Hal ini disebabkan tidak sedikit dari mereka juga termasuk keluarga dengan ekonomi
sedang. Untuk itulah, kesediaan mereka untuk menyisihkan waktu, tenaga, pikiran dan seringkali juga “sumberdaya pribadi,” perlu diimbangi dengan fasilitas kerja yang memadai.
Kebanyakan Kader (terutama yang menjadi pengurus) sering menyebut diri mereka sebagai “Kader gembol,” yakni Kader yang mengerjakan berbagai macam tugas, yang semuanya bernilai sosial. Mereka tidak hanya mengerjakan tugas dari PKB saja, melainkan juga dari pihak-pihak lain seperti Puskesmas, PKK, Desa hingga RT dan RW di lingkungan tempat tinggalnya. Hal ini disebabkan jiwa sosial mereka yang tinggi, sehingga sangat dibutuhkan banyak pihak. Padahal, untuk menjalankan semua itu mereka pun tidak mendapatkan gaji. Hanya sesekali mereka menerima uang transport yang jumlahnya juga tidak besar yakni sekitar Rp10.000-Rp 30.000,-. Bahkan untuk tugas pendataan yang menuntut mereka harus keliling ke rumah-rumah di sekitar lingkungannya untuk mendata dan selanjutnya merekap ke dalam formulir yang sangat rumit (apalagi bagi mereka yang pendidikannya rata-rata hanya SMP-SMA), mereka hanya menerima Rp 30.000-Rp 50.000. Itupun baru diberikan cukup lama setelah tugas selesai dikerjakan.
Untuk itu, PKB harus benar-benar mampu merangkul/mendampingi mereka dengan menunjukkan sikap kerja yang “sejajar,” dan bukan selaku “atasan,” karena secara formal hubungan kerja mereka bukanlah hubungan hirarkhis. Di samping itu, mereka harus mampu meyakinkan para pembuat kebijakan KB di wilayahnya (BKBPP) untuk selalu memberikan perhatian kepada para Kader dengan cara mengalokasikan anggaran untuk biaya operasional mereka dengan besar nominal yang memadai. Misalnya, biaya transportasi, pembelian alat tulis, biaya fotocopy, biaya pendataan dan sebagainya.
Agar dapat meningkatkan anggaran BKBPP ( khususnya untuk kegiatan Kader), diperlukan sosok pimpinan lembaga BKBPP yang handal, yang mampu meyakinkan pihak pembuat kebijakan anggaran (baik di pihak lembaga legislatif maupun eksekutif/DPRD Kabupaten/Kota) tentang perlunya alokasi tersebut. Salah satu caranya adalah dengan mampu meyakinkan para pimpinan di kedua lembaga tersebut tentang besarnya manfaat program KB bagi pembangunan kabupaten/kota tersebut, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Misalnya,
besarnya subsidi di bidang kesehatan, pendidikan, sosial dan sebagainya yang mampu dihemat apabila program KB berhasil. Dengan demikian, membuat kajian tentang analisis biaya dan manfaat merupakan salah satu upaya yang perlu dilakukan, mengingat hasil penyuluhan KB bersifat jangka panjang.
Hasil kajian Ascobat Gani mampu menunjukkan keuntungan penghematan biaya pendidikan dasar dan kesehatan dasar yang diperoleh Pemda DKI Jakarta dari keberhasilannya melaksanakan program selama tahun 1990-2000 (Kesrepro.info, 2007), merupakan salah satu contohnya. Hal ini sekaligus merupakan tantangan bagi para peneliti untuk memperbanyak kajian pelaksanaan program KB di tingkat kabupaten/kota dari aspek ekonomi. Diharapkan hal ini akan semakin menggugah kesadaran para pembuat kebijakan di tingkat kabupaten/kota tentang pentingnya program ini.
Berdasarkan uraian di atas, maka tahapan strategi yang perlu dijalankan untuk meningkatkan kinerja PKB dan Kader KB adalah dengan memerhatikan semua peubah yang ditemukan dalam penelitian ini, beserta indikator-indikatornya. Secara lebih rinci, tahapan strateginya adalah sebagai berikut:
(1) Dalam upaya meningkatkan kinerja PKB, maka langkah pertama yang perlu dibenahi adalah meningkatkan dukungan lingkungan Pemkab/Pemkot. Upaya ini dilakukan dengan cara memperdalam pemahaman dan penguasaan para pembuat kebijakan (baik eksekutif maupun legislatif) tentang permasalahan, tantangan dan manfaat pelaksanaan program KB bagi daerah tersebut. Peningkatan pemahaman dan penguasaan para pembuat kebijakan Pemkab/Pemkot ini diharapkan akan meningkatkan komitmen dan dukungan mereka terhadap program KB.
(2) Implementasi peningkatan komitmen dan dukungan tersebut diwujudkan melalui pembuatan kebijakan dan program kerja yang ditujukan untuk meningkatkan pemahaman dan dukungan para tokoh agama dan tokoh masyarakat terhadap program KB. Mereka “dititipi” pesan untuk sebanyak-banyaknya dan sesering-seringnya menyosialisasikan materi KB kepada para pengikut mereka.
(3) Perwujudan komitmen dan dukungan Pemkab/Pemkot lainnya adalah berupa kebijakan peningkatan kompetensi PKB, khususnya yang terkait dengan bidang kepemimpinan dan profesionalisme.
Upaya-upaya tersebut akan dapat meningkatkan kinerja PKB yang tercermin dari kinerja mereka dalam merencanakan program, memanfaatkan sumberdaya lokal, menyelenggarakan penyuluhan, memotivasi kader serta menggalang dukungan berbagai komponen yang berpengaruh.
(4) Dengan keterkaitan yang erat antara PKB dengan Kader KB, maka peningkatan kinerja PKB tersebut akan meningkatkan kinerja Kader KB yang tampak dari penerapan teknik pelaksanaan pemberian konseling, upaya membentuk dan mengembangkan kelompok (“3 Bina”), melakukan pendataan dan memberikan contoh berperilaku KB.
(5) Untuk mempercepat peningkatan kinerja Kader, perlu dipenuhi pula kebutuhan mereka akan dorongan berprestasi dan berafiliasi.
Berbagai upaya ini akan dapat meningkatkan perilaku ber-KB dari PUS, sehingga akan terwujud keluarga yang berkualitas.
Secara keseluruhan, tahapan strateginya tampak pada Gambar 9.
LINGKUNGAN (Dukungan Pemkab/Pemkot) KOMPETENSI -Kepemimpinan - Profesionalisme
KINERJA PKB
- Perencanaan program - Pemotivasian kader
- Pemanfaatn SD lokal - Penggalangan dukungan
-Penyelenggaraan penyuluhan
KINERJA KADER KB
-Konseling - Pengembangan “3 Bina” - Pendataan - Peneladanan MOTIVASI KADER -Dorongan prestasi - Dorongan afiliasiGambar 9. Strategi komprehensif peningkatan kinerja PKB dan Kader KB
LINGKUNGAN
Dukungan sosial/masyarakat