• Tidak ada hasil yang ditemukan

Oleh: Malik Ibrahim. Kata kunci: PTAI, lulusan PTAI, jurusan/prodi, peluang dan pasar kerja

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Oleh: Malik Ibrahim. Kata kunci: PTAI, lulusan PTAI, jurusan/prodi, peluang dan pasar kerja"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

pada Perguruan Tinggi Agama Islam terhadap Upaya Mengurangi Tingkat Pengangguran Sarjana (Suatu Pemikiran Awal)

Oleh: Malik Ibrahim∗

Abstrak

Tulisan ini berupaya melihat adanya problem dalam aspek peluang kerja dari para lulusan PTAI (Perguruan Tinggi Agama Islam), di samping kurang maksimalnya peran para pengelola PTAI dalam memaksimalkan peluang kerja para calon lulusan PTAI dalam merebut pangsa pasar kerja. Untuk itu, tulisan ini berupaya memaksimalkan potensi dari beberapa jurusan atau prodi yang ada di PTAI, serta memberikan gambaran upaya apa saja yang bisa dilakukan dalam rangka “menjual” para lulusan PTAI di pasar kerja.

Kata kunci: PTAI, lulusan PTAI, jurusan/prodi, peluang dan pasar kerja A. Pendahuluan

Tulisan ini dilatarbelakangi oleh minimal dua kegelisahan terhadap keberadaan para lulusan Perguruan Tinggi Agama Islam (untuk selanjutnya disingkat PTAI) di Indonesia. Pertama, walaupun PTAI merupakan lembaga pendidikan tinggi Islam, yang dalam ranah ideal seharusnya para lulusannya (out put) dapat berperan aktif dalam turut serta menyelesaikan problem-problem yang bersifat praktis keagamaan pada masyarakat (komunitas Muslim), namun ternyata kebanyakan justeru lulusannya kurang “dilirik” oleh masyarakat Muslim sendiri, masyarakat nampaknya lebih cenderung untuk melirik lulusan Pondok Pesantren ketimbang lulusan PTAI yang belum pernah nyantri di Pondok Pesantren, karena dalam kenyataannya masyarakat menilai bahwa lulusan Pondok Pesantren dipandang relatif lebih “fasih” (mampu) dalam memenuhi (menangani) kebutuhan praktis keagamaan yang dirasakan masyarakat, seperti memimpin ritual tahlilan, yasinan, merawat jenazah, mengisi pengajian, memimpin doa pada acara aqiqah, perkawinan, kematian dan lain sebagainya. Kedua, dari segi segmen pasar terkesan hanya Program Studi tertentu saja yang ada di PTAI yang out put lulusannya terserap oleh pasar kerja, baik dalam sektor pemerintah (pegawai negeri sipil) maupun swasta, seperti Jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI) di Fakultas Tarbiyah untuk formasi guru agama Islam, Program Studi Keuangan Islam

Dosen Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga

(2)

(KUI) untuk formasi Pengelola Baitul Mal Wa Tamwil (BMT), dan Perbankkan Syari’ah serta Lembaga Keuangan Umat, Jurusan Al-Ahwal Asy-Syakhsiyyah di Fakultas Syari’ah untuk formasi hakim agama dan advokat di Pengadilan Agama, Prodi Ilmu Perpustakaan di Fakultas Adab untuk formasi Pustakawan walaupun dari segi kuantitas sampai saat ini jumlah yang membutuhkan masih sangat terbatas dan belum tentu setiap tahun terdapat formasi. Jurusan atau prodi (Keilmuan Agama) lainnya (khususnya yang ada di PTAI), belum secara jelas dan pasti kemana pasar kerjanya.

Dari dua kegelisahan tersebut di atas, menurut penulis perlu segera dicarikan solusinya secara riil dan kongkrit, karena kalau tidak segera diberikan solusinya maka lembaga PTAI yang didalamnya dikelola oleh para sarjanawan S-1, S-2 dan S-3, baik dari lulusan dalam dan luar negeri, yang seharusnya dengan bekal keilmuannya mampu berperan memberikan kontribusi solusi terhadap permasalahan tersebut di atas, namun yang terjadi dalam realitas kini adalah sebaliknya, justeru lembaga PTAI pada umumnya merupakan part of the problem, yang hal itu nampak dengan semakin banyaknya angka pengangguran sarjana dan itu sangat disayangkan, karena potensi SDM (sumber daya manusia) sarjana dalam berbagai bidang dan jenjang yang jumlahnya cukup banyak yang seharusnya merupakan potensi pembangunan bagi masyarakat dan negara, namun yang terjadi justeru merupakan beban bagi masyarakat dan negara. Di samping itu, juga fenomena semakin bertambahnya jumlah angka kemiskinan di Indonesia sebagai dampak meningkatnya harga BBM (Bahan Bakar Minyak) dan harga BBG (Bahan Baker Gas) terhadap semakin rendahnya daya beli dan kesejahteraan masyarakat serta sulitnya tingkat kehidupan perlu untuk mendapatkan perhatian yang serius. Sebagai data awal, di wilayah DIY saja untuk tahun 2007, jumlah pengangguran untuk lulusan S-2 sebanyak 630 orang, untuk tingkat sarjana

S-1 sebanyak 120 ribu orang1. Untuk tingkat SLTA (Sekolah Lanjutan

Tingkat Atas) diperkirakan jumlah pengangguran lebih besar lagi. Oleh sebab itu, penulisan ini menjadi penting untuk ditindaklanjuti dalam rangka mencarikan solusi terhadap permasalahan tersebut.

B. Pembahasan

Perguruan tinggi termasuk didalamnya PTAI merupakan lembaga pendidikan yang mencetak para sarjana, baik S-1, S-2 dan S-3 serta Diploma, baik D-1, D-2 dan D-3. Artinya dari aspek ini tujuan

1 Harian Jogja, 3 Juni 2008, p. 7. kolom 2-5, lihat juga Mingguan “Minggu Pagi”,

(3)

didirikannya PTAI adalah mencetak para ilmuwan sarjana yang diharapkan ahli (kompeten) di bidang keilmuan agama Islam sesuai dengan prodi atau jurusannya masing-masing, sehingga dari sudut formal memang PTAI bertujuan untuk itu, bukan yang lain, dalam arti mendapatkan pekerjaan, karena memang PTAI bukan lembaga penampung tenaga kerja (PJTKI, Pengerah Jasa tenaga Kerja Indonesia). Namun, dalam perkembangannya tuntutan terhadap keberadaan PTAI atau lembaga pendidikan tinggi di Indonesia pada umumnya tidak hanya sekedar mencetak sarjana atau diploma yang ahli di bidang keilmuannya masing-masing, namun lebih dari itu, minimal terdapat dua tuntutan lain yang nampaknya kurang mendapatkan perhatian yang signifikan oleh para pengelola PTAI pada khususnya. Pertama, pengakuan masyarakat terhadap kapabilitas para lulusan PTAI menangani problem sosial keagamaan terutama dari segi kemampuan menangani problem-problem keagamaan yang bersifat praktis yang nampaknya kurang mendapatkan perhatian yang signifikan dari para pengelola PTAI. Artinya masyarakat nampaknya masih meragukan kemampuan lulusan PTAI, kecuali bagi mereka yang memang sejak kuliah sudah aktif bergelut menangani problem-problem sosial keagamaan tersebut. Dan kemampuan itupun pada umumnya didapatkan di luar bangku kuliah, seperti menjadi takmir masjid, aktif di organisasi dan lain sebagainya. Kedua, terkait pasar kerja baik pada sektor negeri maupun swasta, dari realitas yang ada selama ini nampaknya hanya prodi-prodi tertentu yang jelas pasar kerjanya sebagaimana tertulis di atas, dan prodi/jurusan tersebut pada setiap kali lembaga perguruan tinggi mengadakan penerimaan mahasiswa baru pada setiap tahun ajaran baru, dari segi jumlah peminat secara kuantitatif jumlahnya relatif banyak pendaftarnya dibandingkan dengan prodi atau jurusan yang lain. Artinya prodi atau jurusan yang kurang jelas atau sedikit kemungkinan pangsa pasar lulusannya perlu mendapatkan perhatian yang lebih atau ekstra.

Kedua tuntutan tersebut di atas menjadi signifikan khususnya

tuntutan yang nomor dua, mengingat bahwa baik orang tua maupun mahasiswa pada saat ini dalam mencari bangku kuliah tidak hanya sekedar untuk mencari ilmu saja, namun ada aspek lain yang tidak kalah penting untuk dipertimbangkan, yaitu pangsa pasar kerja, artinya setelah lulus kuliah out put lulusannya dapat berkerja di mana saja, dan berapa quota (jumlah) kebutuhan tenaga tersebut dalam setiap tahun, serta bagaimana prospek pangsa pasar kerja prodi atau jurusan tersebut ke depan. Perubahan cara pandang ini nampaknya kurang direspon secara signifikan (serius dan memadai) oleh para pengelola PTAI, para pengelola PTAI nampaknya masih cenderung mempertahankan romantisme dan kebanggaan masa lalu terhadap nama besar almamater yang dikelolanya

(4)

serta beberapa alumninya yang sudah pernah dan sedang menduduki posisi penting baik di sektor pemerintah maupun swasta. Selain itu, ada juga pola pikir bahwa yang namanya pekerjaan atau rezeki setiap manusia sudah ada yang mengatur dan sudah ada yang menentukan, yang penting mahasiswa selama kuliah hanya belajar saja, nanti dengan sendirinya pekerjaan atau rezeki akan datang tanpa perlu diusahakan secara sistemik. Menurut penulis, para pengelola PTAI kurang berupaya secara maksimal by design (terprogram dan tersistem) untuk mengupayakan agar para lulusan PTAI dari jurusan/prodi manapun dapat untuk mendapatkan pekerjaan baik di sektor negeri maupun swasta. Sementara kalau dilihat problem ketenagakerjaan di Indonesia dari waktu ke waktu nampak semakin kompleks di samping juga tingkat kompetisinya juga semakin ketat. Untuk itu diperlukan langkah-langkah strategis dan tersistem secara sistemik serta berkesinambungan untuk berupaya menyelesaikan problem tersebut, karena kalau hal tersebut dibiarkan, maka problem tersebut akan semakin rumit dan berat dalam menyelesaikannya, dan lebih celakanya lagi kemudian kalau dengan adanya problem tersebut tingkat kepercayaan masyarakat terhadap keberadaan PTAI semakin berkurang, yang hal tersebut ditandai salah satunya dengan semakin menurunnya jumlah pendaftar calon mahasiswa PTAI. Fenomena tersebut akan semakin menyulitkan keberadaan PTAI, karena selama ini jumlah terbesar pendapatan anggarannya adalah dari SPP para mahasiswanya, sehingga dengan semakin berkurangnya anggaran PTAI akan berdampak pula pada semakin minimnya atau terbatasnya kegiatan PTAI baik yang bernuansa akademik maupun yang non akademik. Untuk itu, fenomena tersebut perlu diantisipasi sejak awal agar tidak berdampak buruk terhadap keberadaan PTAI.

Dari pembahasan tersebut, dalam tulisan yang sederhana ini penulis menawarkan gagasan untuk memaksimalkan potensi profesi yang bisa digeluti oleh para alumnus PTAI dari beberapa jurusan atau prodi yang ada di PTAI dengan melihat beberapa peluang yang ada. Dalam tulisan singkat ini tidak mungkin semua jurusan atau prodi dapat tercover (dibahas) karena di samping terbatasnya kemampuan penulis juga terbatasnya jumlah halaman. Di antara jurusan atau prodi yang dapat dimaksimalkan dalam rangka untuk memperluas pangsa pasar kerja para lulusannya adalah sebagai berikut.

1. Profesi Advokad, khususnya di Pengadilan Agama (PA)

Profesi advokat merupakan salah satu peluang karir bagi lulusan Fakultas Syari’ah non Prodi KUI, selain sebagai hakim Pengadilan Agama juga pegawai PA dan Kantor Urusan Agama (KUA). Namun, selama ini peluang tersebut masih sangat jarang dilirik oleh para alumni Fakultas

(5)

Syari’ah. Terkesan para alumni merasa kurang percaya diri (PD) bila bersaing dengan para lulusan dari Fakultas Hukum yang bergelar SH. Di samping menurut penulis adalah relatif rendahnya penguasaan para alumni Fakultas Syari’ah terhadap Hukum Acara pada umumnya serta Hukum Acara PA (Perdata Islam) pada khususnya serta kemampuan dalam menyusun suatu gugatan serta permohonan perkara. Untuk itu, para pengelola fakultas diharapkan dapat lebih membekali para mahasiswanya dengan kemampuan tersebut di atas, di samping perlu adanya pelatihan-pelatihan yang difasilitasi oleh fakultas dalam rangka mempersiapkan para calon alumninya agar setelah lulus nanti benar-benar siap berkarir sebagai advokat.

Alasan penulis mengapa profesi ini perlu dikejar oleh para calon alumni Fakultas Syari’ah adalah sebagai berikut:

a. Dari segi peluang kerja masih sangat terbuka lebar, baik dari segi

jumlah yang dibutuhkan maupun lokasi penempatan. Tidak sebagaimana profesi hakim, pegawai PA dan KUA yang jumlahnya sangat terbatas, dan itupun belum tentu setiap tahun ada rekruitmen. Hal itu mengingat profesi–profesi tersebut terkait dengan kemampuan finansial negara dalam rangka menggaji aparatnya, sehingga wajar kalau ada pembatasan atau keterbatasan alokasi. Sementara profesi advokat karena tidak terkait dengan sistem penggajian oleh negara, maka berapapun jumlahnya tidak begitu menjadi masalah, karena dalam hal ini yang berlaku adalah hukum pasar yaitu adanya permintaan dan penawaran.

b. Dari segi fee atau perolehan dari hasil profesi yang ditekuni, ke depan

karena semakin modernnya masyarakat, maka akan semakin kompleks permasalahan yang dihadapi, sehingga berdampak dengan semakin banyaknya perkara yang muncul. Itu belum termasuk kewenangan PA di bidang sengketa ekonomi syari’ah dengan diberlakukannya UU No. 4 tahun 2006 tentang Peradilan Agama, yang ke depan diprediksi akan semakin bermunculan.

c. Dari segi materi perkara yang dihadapi di PA, maka relatif lebih

familier dengan latar belakang keilmuan para alumnus Fakultas Syari’ah, sehingga diharapkan tidak terlalu jauh dalam penguasaan materi.

2. Profesi Konselor Keluarga Muslim

Ada suatu fenomena yang menarik terkait angka perceraian di Indonesia, yaitu bahwa Indonesia berada di peringkat tertinggi memiliki angka perceraian setiap tahunnya dibandingkan dengan negara-negara Muslim lainnya di dunia. Hal tersebut diungkapkan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama (Dirjen Bimas Islam

(6)

Depag) Nazaruddin Umar dalam acara Pembukaan dan Pemilihan Keluarga Sakinah dan Pemilihan Kepala KUA Teladan Tingkat Nasional,

di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta pada tanggal 14 Agustus 2007.2

Menurutnya, gejolak peningkatan angka perceraian semakin meningkat dalam tiga tahun terakhir. Setiap tahun terdapat dua juta angka perkawinan, namun yang menyedihkan perceraian meningkat dua kali lipat, setiap 100 orang menikah terdapat 10 pasangan bercerai, dan umumnya adalah mereka yang baru berumahtangga. Dirjen menyatakan bahwa bila angka perceraian terus bertambah ini menjadi bukti kegagalan dari kerja BP-4 (Badan Penasehatan Penyuluhan dan Pembinaan Perkawinan). Dirjen menyatakan di negara-negara Eropa nasehat sebelum menikah diberikan pada pasangan yang hendak menikah setara dengan kuliah satu semester, sementara di Indonesia hanya sekitar tujuh menit saat berhadapan dengan penghulu. Dirjen juga menyatakan bahwa salah satu penyebab meningkatnya angka perceraian adalah tayangan infotainment yang menampilkan figur artis yang dengan bangga mengungkap kasus

perceraian.3 Pernyataan Dirjen tersebut diperkuat oleh pernyataan Humas

PA (Pengadilan Agama) Bantul tentang semakin meningkatnya jumlah angka perceraian terutama cerai gugat di wilayah Bantul, yang jumlahnya dari tahun ke tahun semakin meningkat. Sebagai contoh pada tahun 2006 jumlah cerai gugat 384, cerai talak 193, tahun 2007 cerai gugat 461, cerai talak 238. Sedangkan tahun 2008 sampai dengan bulan April, cerai gugat sebanyak 198, sedangkan cerai talak sebanyak 99. Tingginya angka perceraian tersebut menurut Humas PA Bantul, penyebab terbanyak adalah masalah ekonomi, menyusul masalah akhlak atau perselingkuhan dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) termasuk pengaruh tayangan infotainment dalam televisi turut berpengaruh terhadap tingginya angka

perceraian.4 Penyebab lain dari perceraian misalnya euphoria pelaksanaan

demokrasi, seperti Pilkada tahun 2005 juga menyumbang angka perceraian sebanyak 157 pasangan, hanya karena antara suami isteri perbeda bendera

partai politiknya atau calon yang didukung.5

Dari pernyataan Nazarudin Umar serta data di atas nampak bahwa selama ini peran BP- 4 belum nampak maksimal, ini terbukti dari semakin tingginya angka perceraian di Indonesia. Artinya diperlukan adanya SDM (sumber daya manusia) yang memadai serta proaktif jemput bola untuk dapat mengurangi atau menekan angka perceraian di Indonesia, tidak

2 Majalah Departemen Agama, Ikhlas Beramal, No. 46 Tahun X, Jakarta: 2007, p.

14.

3 Ibid.

4 Harian Jogja, 26 Juni 2008, p. 17 kolom 2-5.

(7)

hanya sekedar menunggu adanya aduan dari klien tentang problem keluarga yang sedang dialaminya sebagaimana selama ini yang dilakukan oleh BP-4. Di samping itu, dari segi fee yang diterima oleh petugas BP-4 terkesan hanya sekedar “ikhlas beramal”, serta bukan merupakan profesi yang pokok (sampingan) yang hasilnya diharapkan dapat untuk memenuhi kebutuhan keluarga, sehingga dari fenomena tersebut di atas terdapat celah, yaitu diperlukan adanya tenaga (profesi) yang mampu untuk mengakurkan kembali konflik antara suami isteri dalam keluarga. Sehingga posisinya tidak hanya sebagai lawyer atau pengacara sebagaimana kini yang terkesan hanya mengikuti “pesanan atau order” dari klien sebagai pihak yang membayarnya. Yang kebanyakan hanya sekedar untuk mewakili klien di persidangan untuk mempercepat proses perceraian saja, tanpa melihat bagaimana kondisi psikologi anak atau keluarga dari kedua belah pihak. Untuk itu, penulis mengusulkan adanya tenaga Konseling Keluarga Muslim yang betul-betul mumpuni, baik dari segi hukum perkawinan di Indonesia, psikologi keluarga, serta memiliki kapabilitas komunikasi yang memadai. Dan ini merupakan peluang bagi lulusan dari jurusan AS (Al-Ahwal Asy-Syakhsiyyah yang dahulu bernama jurusan Peradilan Agama atau Qadha di Fakultas Syari’ah, serta jurusan BK (Bimbingan Konseling) di Fakultas Dakwah). Bahkan dimungkinkan alumnus kedua jurusan tersebut dapat begabung untuk mendirikan suatu kantor konseling keluarga Muslim, yang selain berupaya aktif mendamaikan pihak-pihak (suami isteri) yang sedang dilanda konflik, juga bisa melakukan pembinaan dalam rangka mewujudkan keluarga sakinah. Dimungkinkan ke depan problem-problem keluarga akan semakin meningkat seiring dengan semakin kompleksnya problem yang dihadapi oleh keluarga, serta semakin sulitnya tingkat kehidupan masyarakat Indonesia. Artinya terdapat peluang profesi yang cukup menjanjikan yang dapat diharapkan di masa mendatang, khususnya oleh alumnus jurusan AS dan BK. Karena pihak-pihak yang sedang mengalami konflik tidak hanya memerlukan profesi advokat yang cenderung hanya berbicara dalam konteks hukum saja yang cenderung hanya “hitam putih” formalitas semata. Namun, ke depan juga diperlukan profesi konselor keluarga muslim yang diharapkan akan mampu mendamaikan pihak-pihak yang berkonflik tersebut, mengingat begitu besarnya dampak yang ditimbulkan dari suatu perceraian, terutama dari aspek anak-anak sebagai korban perceraian orang tuanya. Di samping itu, profesi tersebut diharapkan dapat lebih meningkatkan kualitas keharmonisan keluarga. Artinya job dari profesi tersebut tidak hanya semata mendamaikan pihak-pihak yang dilanda konflik keluarga.

(8)

3. Manajer Masjid

Penggunaan istilah manajer masjid bukan manajemen masjid karena terkait langsung dengan out put lulusannya yang diharapkan dapat berperan sebagai manajer masjid secara profesional. Peran sebagai manajer ini diharapkan tidak hanya sekedar istilah lain dari takmir masjid saja yang kegiatannya hanya sebagai pelaksana harian kegiatan masjid yang berkaitan dengan ibadah mahdhah seperti shalat berjamaah, khutbah jum’at, qurban, juga pengajian rutin dan lain sebagainya. Namun, dengan menggunakan istilah manajer ini diharapkan cakupannya lebih luas, mencakup upaya pembinaan dan pengembangan masjid, baik yang terkait dengan aspek ibadah maupun muamalah, sehingga ke depan usaha dan upaya yang dilakukan masjid memiliki jangkauan luas baik terkait aspek ibadah maupun muamalah, tidak mustahil manajer masjid merupakan profesi tersendiri yang cukup menjanjikan. Hal tersebut mengingat salah satu hal yang menyebabkan mengapa masjid selama ini terkesan sulit untuk maju dan berkembang adalah karena SDM pengelolanya yang rendah di samping para pengelolanya dalam memanaj terkesan hanya merupakan kegiatan sosial keagamaan atau kegiatan sambilan atau sampingan saja, sehingga wajar kalau kemudian tidak fokus dan tidak maksimal, di samping seolah bahwa masjid terkesan steril dari profit oriented serta bukan merupakan profesi yang bisa ditekuni secara profesional.

Di samping hal tersebut di atas, semestinya masjid tidak hanya difungsikan untuk penyelenggaraan ibadah dalam arti sempit saja (mahdhah), namun lebih dari itu seharusnya masjid dapat dimanfaatkan untuk kegiatan sosial, ekonomi dan budaya. Bahkan lebih dari itu masjid dapat diupayakan menjadi “profit center” untuk meningkatkan pemberdayaan ekonomi umat dan masyarakat. Apalagi di saat jumlah angka kemiskinan dan pengangguran di Indonesia semakin meningkat. Maka sudah seharusnya masjid dapat memberikan kontribusi yang signifikan untuk memberikan solusi riil, sehingga konsep bahwa Islam sebagai rahmatan lil alamin diharapkan dapat terwujud dalam kehidupan nyata.

Untuk itu, diperlukan SDM yang benar-benar handal dan mumpuni di bidang manajemen masjid, terutama dalam rangka mencari cara agar masjid dapat menjadi markas besar umat Islam dalam satu komunitas tertentu di wilayah tertentu. Karena selama ini terkesan masjid hanya sebagai tempat shalat berjamaah, itupun jumlah jamaahnya sangat minim. Terkesan bahwa masyarakat muslim kurang merasa memiliki (handarbeni/sense of belonging) terhadap masjid yang ada di sekitarnya. Di samping memang selama ini program kegiatan masjid masih sangat kurang menyentuh problem-problem (apa yang dibutuhkan) para jamaahnya.

(9)

Paradigma ini harus diubah agar setiap masjid dapat benar-benar menyatu dengan kebutuhan para jamaah, dari mulai seorang lahir di dunia sampai nanti akhir hayatnya. Baik dari aspek pendidikan (keagamaan) , ekonomi, sosial, budaya dan lain sebagainya, dan untuk itu diperlukan tenaga atau profesi manager masjid yang handal dan mumpuni, sehingga layak kalau profesi tersebut digaji dari pendapatan masjid. Tenaga manajer masjid bisa

diambilkan dari alumni Jurusan Manajemen Dakwah Fakultas Dakwah.6

4. Bisnis Islami

Paling tidak ada dua perbedaan antara prodi Bisnis Islami dengan Prodi KUI, (a) kalau Prodi KUI lebih menitikberatkan pada aspek manajemen dan analisis keuangan suatu perusahaan, sedangkan prodi bisnis Islami lebih pada analisis potensi peluang bisnis dan (b) cara (kiat-kiat) mengembangkan suatu bisnis. Ada beberapa alasan mengapa prodi ini menjadi perlu dimunculkan:

a. Bahwa umat Islam di Indonesia merupakan mayoritas dari segi jumlah

dibanding umat dari pemeluk agama lain, dan sebagaimana manusia pada umumnya tentu saja memiliki kebutuhan yang perlu untuk dipenuhi, baik primer, sekunder dan tersier. Tetapi selama ini keuntungan (profit) dari belanja umat Islam Indonesia, tidak kembali pada umat Islam, sebagai contoh pada bulan Ramadhan dan Idhul Fitri, umat Islam pada bulan tersebut banyak berbelanja dari mulai kebutuhan konsumsi, atribut alat ibadah, transportasi untuk mudik, pulsa HP (hand phone) untuk halal bihalal dan lain sebagainya, namun ironisnya keuntungan dari belanja umat Islam tersebut tidak ada yang dikembalikan pada umat Islam (semacam SHU, sisa hasil usaha) dalam rangka pengembangan dan pembinaan umat Islam dalam berbagai macam bentuknya. Ini belum lagi belanja umat Islam pada bulan Idhul Adha untuk membeli ternak kurban dan ibadah haji. Dari fenomena tersebut nampak bahwa sebetulnya potensi ekonomi umat Islam Indonesia sangat luar biasa, namun selama ini potensi tersebut kurang mendapat perhatian yang semestinya dalam rangka pembinaan umat. Untuk itu, menjadi perlu adanya sumber daya insani yang memadai di bidang bisnis. Peluang ini tidak ada batasan quotanya, karena sepanjang manusia masih memiliki kebutuhan baik primer, sekunder maupun tersier maka selama itu pula profesi businessman masih dibutuhkan dalam rangka memenuhi kebutuhan tersebut. Apalagi di era modern

6 Sofyan Safri Harahap, Pedoman Manajemen masjid, cet. ke-2, (Jakarta: Pustaka

Quantun Prima, 2004), lihat juga Supardi dan Teuku Amiruddin, "Manajemen Masjid" dalam Pembangunan Masyarakat, Optimalisasi Peran dan Fungsi Masjid, (Yogyakarta: UII Press 2001), lihat juga Agussalim Sitompul (editor), Fungsi Masjid, (Yogyakarta: BPPM IAIN Sunan Kalijaga, 1993).

(10)

yang serba kompleks ini tingkat kebutuhan manusia semakin kompleks dan beragam, artinya semakin banyak diperlukan tenaga bisnisman yang handal.

b. Bahwa dari segi jumlah peluang kerja, formasi job di sektor negeri

(PNS) akan sangat terbatas, ini belum lagi jumlah calon pencari kerja di sektor tersebut yang semakin banyak seiring dengan semakin banyaknya jumlah penduduk di Indonesia dari waktu ke waktu. Untuk itu, perlu dibuka peluang kerja yang tidak dibatasi oleh jumlah formasi yang ada di sektor negeri.

c. Membuka kepekaan bisnis (sense of bisnis). Bahwa sebetulnya peluang

bisnis ada pada setiap aspek kebutuhan manusia dari sejak manusia dilahirkan sampai dengan akhir hayatnya. Namun, untuk dapat “membaca” peluang tersebut diperlukan kemampuan tersendiri, yang perlu untuk terus menerus diasah secara berkesinambungan tanpa mengenal menyerah (putus asa), dengan proses tersebut diharapkan akan dapat menumbuhkan jiwa enterpreunership.

d. Dengan semakin terbukanya hubungan antar negara dalam era

globalisasi di seluruh penjuru dunia, serta semakin terbukanya era pasar bebas, maka berakibat akan semakin banyak produk-produk dari manca negara yang masuk ke Indonesia, dan untuk itu diperlukan sumber daya manusia yang mumpuni di bidang marketing. Artinya disini terdapat peluang di bidang direct selling produk-produk impor.

e. Untuk mengembalikan etos bisnis dan mengembalikan sentra-sentra

bisnis di kantong-kantong komunitas Muslim sebagaimana masa lalu di Indonesia, seperti Laweyan (Solo), Karangkajen (Yogyakarta) dan Pekajangan (Pekalongan) dengan batiknya. Kota Gede (Yogyakarta) dengan peraknya, Ceper (Klaten) dan Tegal dengan industri logamnya. Serta Tasikmalaya, Bandung dan Mojokerto dengan industri kulitnya, dan lain sebagainya.

f. Bahwa dari segi historis Pergerakan Nasional di Indonesia pada dekade

awal abad ke-20 tidak lepas dari peran serta para pedagang (businessman) Muslim, seperti Serikat Dagang Islam (SDI) yang dipimpin H.O.S. Cokroaminoto, termasuk Persyarikatan Muhammadiyah yang pada masa awal berdirinya juga didukung oleh para kaum pedagang Muslim, yang sekarang nampaknya sudah bergeser lebih banyak didukung oleh para PNS (pegawai negeri sipil), ke depan perlu dikembangkan kembali etos bisnis bagi para anggota ormas-ormas Islam, karena dengan etos bisnis yang kuat diharapkan akan dapat mendukung dari segi pembiayaan bagi ormas tersebut, sehingga diharapkan dalam menggerakkan/menjalankan roda organisasi tidak terlalu tergantung atau menggantungkan diri dari pihak luar. Bukankah pada awal dakwah

(11)

Islam juga banyak didukung oleh para saudagar atau businessman, seperti

Siti Khatijah, Abu Bakar ash-Shiddiq dan Usman bin Affan.7

Menurut penulis, pengetahuan dan kemampuan bisnis serta etos bisnis selain secara formal perlu diberikan pada jurusan atau prodi bisnis Islami, juga perlu diberikan pada semua jurusan atau prodi yang ada di PTAI, hal tersebut dalam rangka untuk mengantisipasi seandainya para lulusan PTAI dari semua jurusan atau prodi pada akhirnya tidak bisa masuk pada formasi formal (baik negeri maupun swasta) masih ada peluang kerja yang bisa diharapkan.

C. Upaya lain yang Bisa Dilakukan

Selain upaya memaksimalkan jurusan atau prodi di atas, terdapat pula upaya lain dalam rangka mengurangi tingkat pengangguran sarjana di PTAI adalah sebagai berikut:

1. Memaksimalkan penggunaan DPP (Dana Penunjang Pendidikan) Di samping program-program tersebut di atas, terdapat upaya lain yang menurut penulis bisa diaplikasikan dalam rangka untuk mengurangi angka pengangguran, yaitu memaksimalkan penggunaan DPP.

Sebagaimana diketahui sebagai contoh bahwa bagi mahasiswa baru di UIN Sunan Kalijaga pada khususnya yang mungkin juga diterapkan pada PTAI lainnya di Indonesia, selain mereka diharuskan membayar SPP setiap semester, maka juga ada kewajiban untuk membayar DPP (Dana penunjang Pendidikan). Dana DPP tersebut selama ini digunakan untuk membiayai kegiatan mahasiswa di luar kegiatan perkuliahan, seperti pelatihan komputer, pelatihan penelitian bagi mahasiswa, pelatihan ESQ dan lain sebagainya. Kegiatan tersebut sangat positif dalam rangka menunjang perkuliahan para mahasiswa. Namun, menurut penulis terkesan bahwa kegiatan tersebut selama ini kurang maksimal, dan terkesan pula hanya sekedar mengejar sertifikat sebagai syarat untuk mengikuti munaqosyah (pendadaran tugas akhir) dan menghabiskan anggaran. Padahal seandainya kegiatan yang dibiayai dari dana DPP tersebut didesaian secara maksimal, maka diharapkan dapat bermanfaat bagi mahasiswa sebagai sarana untuk menumbuhkembangkan soft skill bagi mahasiswa, yang diharapkan dari soft skill tersebut dapat bermanfaat untuk mendapatkan perkerjaan atau bahkan menciptakan lapangan pekerjaan, seandainya pekerjaan yang sesuai dengan latar belakang prodi/jurusan ternyata karena satu dan lain hal tidak dapat tercapai. Bahkan tidak menutup kemungkinan dengan kemampuan soft skill yang memadai dari

7 Badroni Yuzirman, Akselerasi Bisnis Dengan Jamaah, dalam Majalah Ekonomi

(12)

mahasiswa tersebut tidak mustahil justeru mahasiswa yang bersangkutan dapat menciptakan lapangan pekerjaan yang diharapkan dapat menyerap angkatan kerja yang relatif banyak.

Mekanisme untuk memaksimalkan penggunaan DPP bagi kegiatan mahasiswa menurut penulis adalah dengan memanfaatkan waktu “kosong” (jeda) yang relatif lama, yaitu antara waktu setelah akhir semester genap menuju semester gasal atau ganjil. Di mana ada “waktu kosong” sekitar satu setengah bulan selama empat kali (dengan asumsi mahasiswa tersebut selesai semester delapan atau empat tahun). Selama ini jeda waktu tersebut bagi mahasiswa yang mengambil kuliah SP (semester pendek) digunakan untuk memperbaiki nilai-nilai mata kuliah yang dirasa masih kurang maksimal. Namun, ada juga yang sama sekali tidak mengambil SP, sehingga selama jeda waktu tersebut sama sekali tidak ada kegiatan di kampus. Menurut penulis akan lebih baik kalau waktu jeda tersebut digunakan untuk meningkatkan soft skill para mahasiswa, baik yang mengambil SP maupun yang tidak mengambil SP. Dengan catatan ada satu bidang soft skill yang benar-benar akan didalami secara serius selama para mahasiswa kuliah di PTAI, sehingga diharapkan setelah mereka lulus dari PTAI memiliki keahlian soft skill yang benar-benar mumpuni dan siap untuk bekerja, baik bekerja pada orang lain maupun membuka usaha mandiri. Sehingga setelah mereka lulus dari PTAI seandainyapun tidak ada formasi pekerjaan yang sesuai dengan latar belakang prodi atau jurusan mereka masing-masing, maka diharapkan mereka tidak menganggur, karena sudah ada bekal lain untuk berkarir di luar bidang keilmuan yang digelutinya sewaktu mereka kuliah di PTAI.

Minimal menurut penulis secara umum terdapat dua profesi yang bisa digeluti dengan melihat prospek ke depan, yaitu pengadaan dan service komputer dan handphone (HP). Dengan catatan lokasinya tidak terpusat di kota-kota besar saja, namun justeru kalau bisa menyebar ke daerah-daerah yang memang masih sangat kurang SDM di bidang tersebut. 2.Penguasaan Komputer Baik Soft ware maupun Hard Ware

Di era modern ini peran sarana teknologi informasi (TI) menjadi sangat sigifikan dalam kehidupan manusia, artinya kehidupan manusia tidak bisa lepas dari sarana teknologi informasi tersebut. Dari mulai rumah tangga sampai dengan perkantoran atau perusahaan keberadaannya tidak bisa lepas dari peran komputer. Kalau di zaman dahulu kemajuan suatu peradaban tidak bisa lepas dari air, karena air merupakan kebutuhan pokok manusia di samping air merupakan sarana perhubungan (transportasi) antar tempat yang berbeda, sekaligus merupakan sarana perekonomian karena dengan perhubungan yang lancar maka otomatis akan memperlancar perekonomian suatu masyarakat. Dengan demikian,

(13)

bisa dipahami bila suatu komunitas (masyarakat/bangsa) peradabannya akan maju kalau menguasai air dan perairan, karena keduanya memiliki peran yang penting dalam kehidupan suatu masyarakat. Namun, di era modern ini kemajuan suatu peradaban adalah bila suatu komunitas atau masyarakat menguasai informasi serta teknologi informasi. Artinya peluang kerja di bidang komputer baik aspek software maupun hardwarenya masih sangat terbuka lebar .

3. Penguasaan HP (Hand Phone), baik Soft Ware maupun Hard Ware. Pada era modern ini keberadaan HP bukan lagi merupakan barang mewah, namun merupakan suatu kebutuhan penting dalam rangka menjalin komunikasi antara manusia di seluruh penjuru dunia. Bahkan tidak sedikit satu orang memiliki lebih dari satu HP. Karena HP merupakan barang elektronik maka membutuhkan perawatan baik dari aspek software maupun hardwarenya, belum lagi kalau mengalami kerusakan, baik ringan maupun berat. Artinya terbuka adanya peluang profesi sebagai mekanik HP (jasa reparasi HP), terutama untuk daerah-daerah di luar perkotaan nampaknya peluangnya masih terbuka luas, untuk itu peluang tersebut perlu disambut dengan adanya pelatihan-pelatihan yang difasilitasi oleh PTAI bagi para calon alumnusnya.

D. Rekomendasi dan Saran-saran

Selain upaya mengurangi tingkat pengangguran para alumnus PTAI sebagaimana telah dipaparkan di atas, menurut penulis perlu kiranya diperhatikan hal-hal sebagai berikut:

1. Bahwa di era modern yang semakin kompleks, dan motivasi mencari

ilmu (thalabul ilmi) dari para calon mahasiswa atau orangtua (untuk mengkuliahkan anaknya di PTAI) tidak hanya berdiri sendiri hanya aspek penguasaan keilmuan semata terlepas dari aspek pasar kerja dari out put lulusannya (graduate). Artinya antara lembaga pendidikan di satu sisi yang bertugas mencetak sumber daya manusia yang berkualitas, tidak bisa lepas dengan lembaga yang akan menampung sumber daya manusia lulusannya tersebut. Hal tersebut mengingat semakin banyaknya jumlah lulusan dari lembaga pendidikan tinggi, belum lagi jumlah lulusan angkatan sebelumnya yang belum tertampung mendapatkan pekerjaan. Dengan demikian, keduanya (lembaga pendidikan tinggi dan lembaga penampung tenaga kerja, baik negeri maupun swasta) saling terkait satu sama lain dan tidak bisa berdiri sendiri-sendiri. Oleh sebab itu, memperkuat jaringan kerjasama antara kedua lembaga tersebut (lembaga pendidikan tinggi dan lembaga

penampung lulusan lembaga pendidikan) merupakan suatu

(14)

swasta) dengan lembaga penampung lulusan lembaga pendidikan (baik negeri maupun swasta). Bahkan kalau melihat jumlah lulusan lembaga pendidikan yang masih belum dapat terserap di pasar kerja terutama di sektor formal, dan memang kalau melihat jumlah lembaga formal yang sangat terbatas maka seharusnya kerjasama dengan sektor non formal harus lebih banyak dilakukan.

2. Perlu adanya pemetaan tentang jumlah kebutuhan riil dari

masing-masing prodi atau jurusan yang ada di PTAI dalam kurun waktu tertentu, baik dalam skala kabupaten/kotamadya, propinsi dan nasional serta internasional. Dengan adanya pemetaan tersebut diharapkan jumlah kebutuhan suatu profesi tertentu dalam setiap tahun atau kurun waktu tertentu akan dapat diketahui, dengan jumlah yang relatif pasti atau mendekati angka riil tersebut maka diharapkan akan diketahui mana profesi yang sudah sangat jenuh, jenuh dan kurang jenuh, serta mana profesi yang peluang kerjanya sangat banyak, cukup banyak serta kurang banyak, sehingga dari data tersebut dapat ditetapkan quota kebutuhan dalam kurun waktu tertentu. Sehingga dari data tersebut diharapkan masing lembaga pendidikan (khususnya PTAI) akan dapat mengetahui jumlah profesi yang masih dibutuhkan bagi alumni jurusan atau prodi tertentu, sehingga dalam menerima jumlah mahasiswa baru diharapkan tidak melebihi dari quota tersebut.

3. Bagi para mahasiswa prodi ilmu-ilmu keagamaan di PTAI, perlu sejak

semester awal merencanakan karir setelah lulus. Dengan perencanaan karir yang matang sejak awal, diharapkan dapat mempersiapkan kemampuan (skill) yang diperlukan untuk menuju jenjang karir yang diminati secara matang dan berkesinambungan. Di samping itu, juga perlunya lembaga pendidikan tinggi (PTAI khususnya) sejak semester awal memetakan profesi yang akan digeluti oleh para mahasiswanya setelah lulus nanti, serta peta peluang dan tantangan pekerjaan yang dimungkinkan dapat digeluti. Dengan pemetaan tersebut diharapkan dapat digunakan sebagai acuan dalam rangka menyusun program kegiatan dalam rangka membekali para peserta didik dalam menyiapkan kemampuan yang diperlukan untuk mencapai pekerjaan yang diharapkan.

4. Bagi prodi atau jurusan di lingkungan PTAI yang diprediksi lulusannya

sulit atau sedikit dapat ditampung di ranah formal maupun non formal peluang kerja, maka dalam komposisi mata kuliah perlu ditambah mata kuliah yang diharapkan akan mengasah ketrampilan hidup (life skill) seperti kewirausahaan, dan keterampilan serta kemampuan soft skill lainnya, baik yang langsung ataupun tidak langsung terkait dengan profesi yang akan digeluti setelah lulus dari lembaga pendidikan.

(15)

5. Bagi pengelola PTAI diharapkan dalam menelorkan suatu prodi atau jurusan tidak cukup hanya sekedar melihat aspek keilmuan semata (obyek formal dan obyek material), namun yang tidak kalah penting adalah pasar kerja lulusannya. Hal tersebut mengingat semakin banyaknya angka pengangguran di Indonesia, di samping dengan semakin banyak lulusan suatu lembaga pendidikan yang terserap mendapatkan pekerjaan (karena by desig/terencana atau terprogram secara sistemik), maka hal tersebut juga diharapkan akan semakin meningkatkan nilai jual lembaga pendidikan itu sendiri, sehingga hal tersebut sekaligus sebagai ajang promosi lembaga pendidikan yang bersangkutan tanpa harus terlalu banyak menjelaskan pada masyarakat serta para stakeholder-nya. Karena di saat ini pilihan masyarakat terhadap lembaga pendidikan nampaknya semakin riil atau kongkrit, tidak hanya sekedar bidang keilmuan yang diajarkan oleh lembaga tersebut, namun nilai jual serta ketersediaan lapangan kerja dari para lulusannya.

6. Perlu adanya divisi khusus di setiap PTAI yang memikirkan dan

mengelola serta mencarikan solusi terhadap problem pengangguran para calon lulusannya yang dikelola secara profesional, efektif dan maksimal. Termasuk melakukan pendataan bagi calon alumni dan alumnusnya, serta melakukan kerjasama dengan lembaga di luar PTAI dalam rangka memberikan pelatihan dan penempatan kerja secara sistemik dan berkesinambungan.

Demikianlah sekedar paparan tawaran awal dalam rangka memaksimalkan peran PTAI untuk mengurangi tingkat pengangguran dari lulusannya. Tiada gading yang tak retak, semoga tulisan yang sederhana ini ada manfaatnya.

(16)

Daftar Pustaka

Harahap, Sofyan Syafri (editor), Pedoman Manajemen Masjid, cet. ke-2, Jakarta: Pustaka Quantum Prima, 2004.

Harian Jogja, 26 Juni 2008. Harian Jogja, 3 Juni 2008.

Minggu Pagi, Minggu Pertama Agustus 2008.

Sitompul, Agussalim (editor), Fungsi Masjid, Yogyakarta: BPPM, 1993. Supardi dan Teuku Amiruddin, Manajemen Masjid dalam Pembangunan

Masyarakat, Optimalisasi Peran dan Fungsi Masjid, Yogyakarta: UII Press, 2001.

Tim Redaksi Ikhlas Beramal, “Angka Perceraian di Indonesia Tertinggi, Dibanding Negara Islam Lain”, Bulletin Depag Ikhlas Beramal, Nomor 46 Tahun X 2007, Jakarta: Depag, 2007.

Yuzirman, Badroni, Akselerasi Bisnis Dengan Jamaah, dalam Majalah Ekonomi Syari’ah, Volume 6 No. 26 2008/1429 H.

Referensi

Dokumen terkait

Mendapat informasi itu, Kasat Reskrim Polres Kebumen AKP Koliq Salis Hirmawan, SH beserta jajarannya dan Polsek Puring Polres Kebumen melakukan penangkapan terhadap tersangka

Dok je Tu đ man svoju strategiju za ostvarivanje hrvatske nezavisnosti i me đ u- narodnog priznanja temeljio na zaboravu grozota iz Drugog svjetskog rata (iako je donekle

Dalam hal ini terapi rendam kaki air hangat dapat menurunkan tekanan darah karena dengan rendam kaki air hangat dapat merangsang syaraf yang ada pada telapak kaki

Dalam Putusan MA RI No. 3210.K/PDT/1984 tanggal 30 Januari 1986 atau yang dikenal dengan yurisprudensi “Kandaga Shopping Centre”, MA RI menyatakan bahwa berdasarkan Pasal

Kredit Usaha Rakyat yang disalurkan oleh Bank Rakyat Indonesia harus benar-benar digunakan untuk peningkatan atau penambahan modal pengusaha Usaha Mikro dan Kecil

Ini dikarenakan buku ajar memuat banyak informasi, uraian materi, dan evaluasi (Fendy Hardian Permana, 2015; Pangastuti, Amin, & Indriwati, 2016).. Pada penelitian ini

Berdasarkan hasil analisis data dapat diinterpretasikan bahwa: (1) bentuk perilaku agresif anak terdiri dari agresi fisik, agresi meledak, agresi lisan, dan agresi tidak langsung;

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat srategi dakwah dalam meningkatkan kinerja Madrasah Babul Ilmy Strategi yang diterapkan pada Madrasah Babul Ilmy adalah