• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penggunaan Obat Yang Rasional

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Penggunaan Obat Yang Rasional"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

PENGGUNAAN OBAT YANG RASIONAL

1. Standard Operating Procedure (SOP)

- Anamnesis - Pemeriksaan

- Penegakan Diagnosis

- Pemilihan Intervensi Pengobatan - Penulisan Resep

- Pemberian Informasi - Tindak Lanjut Pengobatan 2. Penggunaan Obat Yang Rasional

Memenuhi kriteria :

 Sesuai dengan Indikasi penyakit  Diberikan dengan dosis yang tepat  Interval waktu pemberian yang tepat  Lama Pemberian yang tepat

 Obat yang diberikan harus efektif, dengan mutu terjamin dan aman.  Tersedia setiap saat dengan harga yang terjangkau.

Haruslah Mencakup : 1. Tepat Diagnosis

Contoh → Penyakit diare disertai lendir, darah serta gejala tenesmus diagnosis amoehiasis → R / metronidazol

Penanya ada darah dalam fase → jika tidak ditanyakan bisa khole, → tetrasiklin.

2. Tepat Indikasi

(2)

Misal : Pada infeksi saluran nafas, adanya Sputum mucapuralen atau banyi kurang dari 2 bulan, dengan kecepatan respirasi > 60 x/menit.

3. Tepat Pemilihan Obat

Contoh → Demam ← kasus Infeksi, inflamasi Parasetamol (paling aman)

Asam mefenamat, ibuprofen (anti imflamasin non steroid) → demam yang terjadi akibat proses peradangan / inflamasi

4. Tepat dosis, cara dan lama pemberian

→ pemberian dosis >>> untuk obat yang bersifat narrow therapeuric margin (rentang terapi yang sempit (mis : teofilin, digitalis, aminoklosida) → berisiko timbulnya efek samping.

Sebaliknya dosis terlalu < → tidak menajin terapi yang diinginkan. 5. Pasien Patuh

Ketidaktaatan minum obat terjadi pada keadaan :  Jenis/jumlah obat yang diberikan terlalu banyak  Frekuensi pemberian obat perhari terlalu sering

 Jenis sediaan obat terlalu beragam (mis : sirup, tablet dan lain-lain)  Pemberian obat dalam jangka panjang (mis : DM, hipertensi)

 Pasien tidak mendapatkan penjelasan cukup cara minum dan lain-lain.  Timbul efek samping (mis : ruam kulit, nyeri lambung) atau ikutan (urin

menjadi nerah karena minum rifampisin) Nasional → TBC tanpa supervise → gagal 6. Tepat penilaian terhadap kondisi pasien

Respon terhadap efek obat sangat beragam → teofilin dan aminoglikosida pada kelainan ginjal pemberian aminoglokosida → hindarkan → nefrotoksik meningkat.

(3)

 ß-blocker (mis : propanol) → tidak diberikan pada hipertensi yang mempunyai riwayat asma → bronkospasmus

 Anti inflamasi non steroid sebaiknya dihindarai pada penderita asma → mencetuskan serangan asma.

 Simetidin, klorpropamid, aminoglikosida, alopurinal pada usia lanjut ekstra hati-hati oleh karena waktu paruh memanjang secara bermakna → efek toksik meningkat pada pemberian secara berulang.

 Peresapan kunilon (mis : siproloksaksin, afloksasin, tetrasiklin, doksisiklin dan metronidazol pada ibu hamil → dihindari (efek buruk pada janin yang dikandungnya)

7. Tepat pemberian informasi

→ Rifampison → urin berwarna merah

Antibiotika → harus diminum sampai habis (1 course of treatmen) 8. Tepat dalam melakukan upaya tindak lanjut

Contoh :

 Teofilin sering gejala tahikardi, jika terjadi dosis tinjau ulang/obatnya diganti

 Syok anafilaksis pemberian injeksi adrenali yang kedua perlu segera dilakukan , jika yang pertama respons sirkulasi kardiovaculer belum seperti yang diharapkan.

Istilah rasional dalam pengobatan adalah jika pengobatan dilakukan secara tepat (medically appropriate) yang tepat diagnosis, tepat indikasi, tepat jenis obat, tepat dosis, cara dan lama pemberian, tepat penilaian terhadap kondisi pasien, tepat informasi dan tepat tindak lanjutnya.

(4)

3. Penggunaan Obat Yang Tidak Rasional

Sering dijumpai dalam praktek sehari-hari, tanpa indikasi yang jelas, penentuan dosis, cara dan lama pemberian yang keliru serta harga yang mahal → contoh ketidakrasionalan peresepan.

Tidak rasional → dampak negatif yang diterima oleh pasien >> dari manfaatnya. Dampak negatif (efek samping dan resistensi kuman) dampak ekonomi (biaya tidak terjangkau) dampak social (ketergantungan pasien terhadap intervensi obat).

Penggunaan obat yang tidak rasional dikategorikan (cirri-ciri) : 1. Peresepan berlebih (over prescribing)

Yaitu memberikan obat yang sebenarnya tidak diperlukan untuk penyakit yang bersangkutan. Contoh :

 Pemberian antibiotik pada ISPA non pneumonia (umumnya disebabkan oleh virus).

 Pemberian obat dengan dosis >> dari yang dianjurkan.

 Jumlah obat yang diberikan lebih dari yang diperlukan untuk pengobatan penyakit tersebut.

2. Peresepan kurang (under prescribing)

Yaitu jika pemberian obat kurang dari yang seharusnya diperlukan, baik dosis, jumlah maupun lama pemberian. Contoh :

o Pemberian antibiotika obat selama 3 hari untuk ISPA Pneumonia o Tidak memberikan oralit pada anak yang jelas menderita diare 3. Peresepan majemuk (multiple prescribing)

Yaitu jika memberikan beberapa obat untuk suatu indikasi penyakit yang sama, pemberian lebih dari satu obat untuk penyakit yang diketahui dapat disembuhkan dengan satu jenis obat.

Contoh : pemberian puyer pada anak dengan batuk pilek, berisi : a. Amoksilin,

(5)

c. GG

d. Deksametason, e. CTM, dan f. Luminal

4. Peresepan salah (incorrect prescribing)

Pemberian obat untuk indikasi yang keliru, resiko efek samping >>. Contoh : Pemberian antibiotic golongan kuinolon (mis: Siprofloksasin dan

Ofloksasin) untuk wanita hamil.

Meresepkan Asam Mefenamat untuk demam pada anak < 2 tahun.

Contoh lain ketidakrasionalan penggunaan obat dalam praktek sehari-hari: 1. Pemberian obat untuk penderita yang tidak memerlukan terapi obat

Contoh : Pemberian Robaransia untuk perangsang nafsu makan pada anak interverensi gizi jauh lebih bermanfaat

2. Penggunaan obat yang tidak sesuai dengan indikasi penyakit. Contoh : Pemberian Injeksi vitamin B12 untuk keluhan pegel linu 3. Pemberian obat yang tidak sesuai dengan aturan

Contoh : - Pemberian Ampisilin setelah makan

- Frekuensi Pemberian Amoksilin 4 x sehari, bukannya 3 x 4. Penggunaan obat yang memiliki potensi toksisitas >> sementara obat lain

dengan mamfaat yang sama tetapi jauh lebih aman tersedia.

Contoh : Pemakaian antibiotik golongan Aminoglikosida pada penderita usia lanjut → resiko ototolsik dan nefrotoksik, sementara antibiotik lain yang aman tersedia.

5. Penggunaan obat yang harganya mahal, sementara obat sejenis dengan mutu yang sama dan harga lebih murah tersedia

Contoh : Peresepan obat paten relative mahal, padahal ada obat generik murah, manfaat sama

6. Penggunaan obat yang belum terbukti secara ilmiah kemanfaatan dan keamanannya

(6)

Contoh : Obat baru yang belum teruji manfaat, keamanannya sementara obat lain telah teruji tersedia.

7. Penggunaan obat yang jelas-jelas akan mempengaruhi kebiasaan/persepsi yang keliiru dari masyarakat terhadap hasil pengobatan

Contoh : Kebiasaan pemberian infeksi Roboransia → penderita dewasa akan mendorong selalu meminta diinjeksi jika datang dengan keluhan yang sama.

4. Dampak Penggunaan Obat Yang Tidak Rasional

Dampak negative beragam dan bervariasi (efek samping dan biaya mahal) yang lebih luas (resistensi kuman terhadap antibiotik terterntu ), mutu pelayanan secara umum.

Secara ringkas dampak negative meliputi : 1. Dampak pada mutu pengobatan dan pelayanan 2. Dampak terhadap biaya pengobatan

3. Dampak terhadap kemungkinan efek samping dan efek lain yang tidak diharapkan.

4. Dampak terhadap mutu ketersediaan obat 5. Dampak psikosisial

1. Dampak pada mutu pengobatan dan pelayanan

Menghambat upaya penurunan angka morboditas dan mortalitas penyakit

Contoh penggunaan obat yang tidak rasional

 Pemberian injeksi B12 untuk keluhan pegel linu

 Pemberian puyer berisi campuran antibiotic dan obat simtomatik

 Pemberian ampisilin 3 x sehari, sesudah makan  Pemberian antibiotic untuk ISPA non pneumonia

(7)

Contoh : Penyakit diare akut non spesifik umumnya mendapat antibiotik dan obat injeksi sementara → pemberian oralit (yang lebih dianjurkan) → kurang banyak dilakukan resiko terjadinya dehidrasi pada anak → membahayakan keselamatan.

ISPA non pneumonia pada anak umumnya mendapat antibiotik yang sebenarnya tidak perlu.

Tidak mengherankan angka kematian banyi dan balita akibat ISPA dan diare masih cukup tinggi di Indonesia.

2. Dampak terhadap biaya pengobatan

o Pemakaian obat tanpa indikasi yang jelas

o Pemakaian obat sama sekali → tidak memerlukan terapi obat, merupakan pemborosan dan membebani pasien.

o Peresepan obat mahal, ada murah → antibiotik. Contoh : ISPA non pneumonia → antibiotic.

3. Dampak terhadap kemungkinan Efek Samping dan efek lain yang tidak diharapkan

Contoh : - Resiko terjadinya penularan penyakit (misal:hepatitis dan HIV) meningkat pada penggunaan injeksi yang tidak lege artis (mis : 1 jarum suntik digunakan untuk >> dari 1 pasien)

- Kebiasaan memberikan injeksi → meningkatkan syok anafilaksis

- Resiko efek samping meningkat secara konsisten → banyaknya jenis obat yang diberikan pasien → nyata pada usia lanjut. Kelompok usia ini → 1 diantara 6 penderita.

- Terjadi resistensi kuman → antibiotic berlebih (over prescribing), kurang (under prescribing), pemberian yang bukan indikasi (missal : oleh virus)

(8)

4. Dampak terhadap mutu ketersediaan obat

Dari studi dasar yang dilakukan oleh bagian farmakologi FK UGM bekerja sama dengan Dirjen POM Depkes RI 1997 – 1998 >> 80 % keluhan demam, batuk dan pilek → antibiotik rata-rata 3 hari pemberian → keluhan puskesmas tidak cukup ketersediaan antibiotic, akibatnya pasien menderita infeksi bakteri → antibiotik sudah tidak tersedia. Selanjutnya yang terjadi pasien → antibiotik yang bukan menjadi “drug of choice” dari infeksi tersebut.

Terdapat 2 masalah utama

a. Seolah-olah mutu ketersediaan obat sangat jauh dari memadai. Padahal yang terjadi → antibiotic telah dibagi rata kesemua pasien yang sebenarnya tidak memerlukan.

b. Dengan mengganti jenis antibiotik → tidak sembuh pasien (karean antibiotik yang diberikan mungkin tidak memiliki spektrum anti bakteri untuk penyakit tersebut (missal : Pneumonia → metronidazole) atau penyakit → parah → meninggal.

Ketidakrasionalan pemberian obat → berpengaruh buruk bagi pasien. Pengaruh buruk dapat berupa :

Ketergantungan terhadap intervensi obat maupun persepsi yang keliru terhadap pengobatan

Contoh yang banyak dijumpai sehari-hari :

 Kebiasaan dokter/petugas kesehatan → injeksi → memuaskan pasien → dikaji ulang → oral lebih aman dari injeksi. Resiko >> pemberian tidak lege artis (menggunakan satu jarum secara berulang-ulang).

 Tentunya kenyakinan pada masyarakat → injeksi pengobatan terbaik yang selalu dianjurkan/ditawarkan oleh dokter atau petugas.

 Memberikan Roboransi pada anak → merangsang nafsu makan → keliru, motivasi orang tua → makan bergizi apalagi anak sakit.

(9)

Diare → oralit (benar → tidak dianjurkan)

Diare akukt non spesifik → injeksi, antibiotic (tidak diperlukan) Jika penggunaan obat tidak rasional

1. Pemborosan biaya dan anggaran masyarakat 2. Resiko efek samping dan resistensi

3. Mutu ketesediaan obat kurang terjamin

4. Mutu pengobatan dan pelayanan kesehatan buruk

5. Memberikan persepsi yang keliru tentang pengobatan pada masyarakat 5. Upanya Mengatasi Masalah Penggunaan Obat Yang Tidak Rasional

Dikelompokkan dalam beberapa hal

1. Upaya pendidikan (educational strategies)  Pendidikan selama masa kuliah (pre-service)

 Sesudah menjalankan prkatek kepropesian (past-service)  Pendidikan past-service antara lain :

 Pendidikan berkelanjutan (contining-medical education)

 Informasi pengobatan (academic based detailing)

 Seminar-seminar, buletin dan lain-lain

 Sarana pendidikan yang dapat digunakan untuk intervensi :

 Materi cetak buletin, pedoman pengobatan

 Pendidikan tatap muka (face to face education) : kuliah penyegaran, seminar.

 Media lain : televise, video dan lain-lain.

2. Upaya peningkatan pengelolaan (managerial strategies)

 Pengendalian kecukupan obat → system informasi manajemen obat → LP – LPO

(10)

 Pembatasan system peresepan dan dispensing obat → buku pedoman penggunaan obat, dan lain-lain.

3. Intervensi regulasi (regulatory strategies)

Sifatnya mengikat secara formal serta memiliki kekuatan hukum.

Contoh : Obat yang beredar harus teregistrasi, keharusan pemakaian obat jenerik dan lain-lain.

4. Informasi / sumber-sumber informasi Upaya informasi

- Intervensi informasi bagi dokter.

Informasi ilmiah → menunjang praktek keprofesian bebas dari pengaruh promosi industry farmasi.

- Intervensi apoteker → mengenai obat

- Intervensi informasi bagi pasien / masyarakat → mentaati upaya pengobatan

Informasi yang disampaikan ke pasien antara lain : 1. Penyakit yang diderita

2. Jenis dan peran obat yang diberikan dalam proses penyembuhan 3. Informasi mengenai cara, frekuensi, lama pemberian obat 4. Kemungkinan resiko efek samping

5. Cara penanggulangan efek samping

6. Apa yang harus dilakukan, jika dalam periode tertentu belum memberikan hasil yang diharapkan

7. Informasi yang harus dilakukan, selain pengobatan yang diberikan seperti : banyak minum bagi penderita demam, istirahat dan makan minum secukupnya → common cold.

Jangan memberikan injeksi bila : 1. Tanpa indikasi yang jelas

(11)

2. Tidak dapat menyediakan satu jarum untuk satu pasien

3. Tidak dapat menyediakan adrenalin dan cartison di samping obat suntik yang ada

4. Tidak mengetahui cara penangaaanan syok anafilaksis.

6. Pedoman Pengobatan

a. Yaitu suatu perangkat ilmiah yang dapat digunakan sebagai pedoman dalam melakukan pengobatan. Pedoman pengobatan hanya memuat pilihan utama dan alternatif yang telah terbukti memberikan mamfaat yang maksimal bagi pasien dengan risiko yang minimal.

b. Pedoman pengobatan sangat diperlukan sebagai salah satu pegangan dalam pengambilan keputusan terapetika, karena pedoman pengobatan pada dasarnya menganjurkan pilihan terapi utama dan altrnartif yang sudah terbukti kemanfaatan (efficacy) dan keamanannya (safety) untuk masing-masing kondisi penyakit.

c. Dengan menggunakan pedoman pengobatan maka :

a. Pasien hanya akan menerima pilihan obat yang baik (paling bermanfaat, aman, ekonomik dan rasional serta tersedia setiap saat diperlukan).

b. Pelaksanaan pengobatan mencerminkan standard keprofesian yang tinggi. c. Kesediaan setiap obat lebih terjamin.

d. Pelaksanaan program pengobatan lebih efisien.

e. Secara formal memberi pengamanan hukum bagi dokter.

7. Pemantauan dan Evaluasi Penggunaan Obat Yang Rasional 1. Tujuan Pemantauan Penggunaan Obat yang Rasional

Untuk menilai apakah kenyataan praktek penggunaan obat yang dilakukan telah sesuai dengan pedoman yang disepakati

(12)

2. Manfaat Pemantauan

- Dengan pemantauan ini dapat dideteksi adanya kemungkinan pemakaian obat yang berlebih (over prescribing), kurang (under prescribing), boros (extravagant prescribing), maupun tidak tepat incorrect prescribing).

- Perencanaan obat

3. Cara Melakukan Pemantauan Penggunaan Obat

Secara langsung → anamnesis → sampai penyerahan obat. 4. Apa yang Dipantau

- Kecocokan antara gejala/tanda-tanda (symstoms/sings), diagnosis dan pengobatan yang diberikan

- Kesesuaian pengobatan yang diberikan dengan pengobatan yang ada - Pemakaian obat tanpa indikasi yang jelas (antibiotic untuk ISPA non

peneumonia)

- Praktek polyfarmasi - Ketepatan indikasi

- Ketepatan jenis, jumlah, cara dan lama pemberian.

- Kesesuaian obat dengan kondisi pasien (misalnya ditemukan pemberian injeksi pada diare).

5. Pencatatan/Pelaporan a. Status Pasien b. Register harian 6. Supervisi

- Pengawasan dan pengendalian terhadap mutu penggunaan obat, pencatatan serta pelaporan

- Membina dan membimbing pelaksana pengobatan agar senantiasa meningkatkan kemapuan dan keterampilan mereka dalam rangka pemakaian obat tradisional

(13)

7. Monitoring dan Evaluasi a. Indikator Peresepan

Empat parameter utam ayang akan dinilai dalam monitoring dan evaluasi penggunaan obat yang rasional adalah :

- Penggunaan standar pengobatan - Proses pengobatan (Penerapan SOP) - Ketepatan diasnostik

- Ketepatan pemilihan intervensi pengobatan

Keempat parameter tersebut dijabarkan dalam indicator penggunaan obat :

- Rata-rata jenis obat per kasus

- Presentase penggunaan obat antibiotik - Presentase penggunaan injeksi.

b. Pengumpulan Data Peresepan c. Cara Pengisian

d. Pengolahan/Penyajian Data e. Pengiriman Laporan

Indikator Penggunaan Obat (WHO)

Dalam melakukan idetifiaksi masalah maupun melakukan monitoring dan evaluasi FOR, WHO menyusun indikator sebagai berikut :

1. Indikator inti

a. Indikator peresepan

- Rerata jumlah item dalam tiap resep - Persentase peresepan dengan nama jenerik - Persentase peresepan dengan antibiotic - Persentase peresepan dengan suntikan

(14)

b. Indikator Pelayanan

- Rerata waktu konsultasi - Rerata waktu penyerahan obat

- Persentase obat yang sesungguhnya diserahkan - Persentase obat yang di label secara adekuat. c. Indikator Fasilitas

- Pengetahuan pasien mengenai dosis yang benar - Ketersediaan DOEN

- Ketersediaan key drugs. 2. Indikator Tamabahan

Indikator ini tidak kurang pentingnya dibanfdingkan dengan inti, namuan sedring kali dapat diperguanakan sulit diperoleh atau interpretasi terhadap data tersebut mungkin syarat muatan local :

- Persentase pasien yang diterapi tanpa obat - Rerata biaya obat tanpa peresepan

- Persentase biaya utnuk antibiotik - Persentase biaya untuk suntikan

- Persentase sesuai dengan pedoman pengobatan

- Persentase pasien yang puas dengan pelanyanan yang diberikan

- Persentase fasilitas persiapan yang mempunyai akses kepada informasi yang obyektif

(15)
(16)
(17)

Referensi

Dokumen terkait

Pada tahap kedua yaitu observasi lapangan untuk mendapatkan metode pelaksanaan pekerjaan struktur yang dilakukan pada proyek tersebut guna mengetuhi pola serta budaya

Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini yaitu upah minimum provinsi berpengaruh negatif dan signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja di Indonesia, indeks pembangunan manusia

Logo Dragon Bomb menggambarkan gambar minuman yaitu Dragon Bomb itu sendiri di gelas nya terdapat gambar naga yang sedang tersenyum yang artinya bahwa Dragon

tanah yang tidak diterbitkan sertifikat adalah Hak Guna Bangunan atas4. tanah Hak Milik, Hak Pakai atas tanah Hak Milik, dan Hak Sewa

Satu wilayah di mana hak-hak pembayar pajak lebih homogen di negara- negara hukum umum (dan jelas dibuktikan pada Lampiran B) dari hukum perdata negara adalah

Sumber data yang digunakan yakni menggunakan data primer dan sekunder, sementara itu teknik pengumpulan data yakni menggunakan reduksi data, penyajian data, penyimpulan

Hasil penelitian ini ditemukan bahwa pada ekstrak daun kelor terdapat senyawa flavonoid, tannin, terpenoid, alkaloid, dan saponin.. Indonesia is a country that has

37) jasa adalah kegiatan ekonomi yang ditawarkan oleh salah satu pihak kepada pihak lain. Seringkali berdasarkan waktu, dan kinerja untuk memberikan hasil yang