• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGENDALIAN HAMA THRIPS KACANG HIJAU DENGAN INSEKTISIDA KIMIA DAN NABATI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGENDALIAN HAMA THRIPS KACANG HIJAU DENGAN INSEKTISIDA KIMIA DAN NABATI"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

PENGENDALIAN HAMA THRIPS KACANG HIJAU

DENGAN INSEKTISIDA KIMIA DAN NABATI

S.W. Indiati

Balai Penelitian tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian Jalan Raya Kendalpayak km8 Telp. 0341-801468 e-mail: swindiati@yahoo.com

ABSTRAK

Thrips, Megalurothrips usitatus merupakan salah satu hama penting pada fase vegetatif tanaman kacang hijau. Serangan yang parah dapat menyebabkan kehilangan hasil antara

13−64%. Penelitian bertujuan untuk mendapatkan konsentrasi campuran bahan nabati

rimpang jahe dan minyak mimba (janeemoil) yang efektif mengendalikan hama thrips. Pene-litian menggunakan rancangan acak kelompok yang terdiri dari tiga ulangan dan tujuh perla-kuan yaitu: (1) kontrol, (2) pupuk cair 1 g/l, (3) Imidaklorprit 200 SL 1 ml/l, (4) Imidaklorprit 200 SL 2 ml/l, (5). fipronil +rimpang jahe 20 g/l+minyak mimba 5 ml/l+pupuk cair 1 g/l, (6) fipronil +rimpang jahe 30 g/l+minyak mimba 6 ml/l+pupuk cair 1 g/l, (7) fipronil +rimpang jahe 40 g/l+minyak mimba 7 ml/l+pupuk cair 1 g/l. Kacang hijau varietas Vima-1 ditanam

pada petak 20 x 3 m2 dengan jarak tanam 40 cm x 15 cm, 2 tanaman per rumpun. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa penggunaan fipronil +rimpang jahe 20 g/l+minyak mimba 5 ml/l+pupuk cair 1 g/l efektif mengendalikan thrips serta menghasilkan bobot biji kering 1,30 t/ha dan tidak berbeda nyata dengan perlakuan Imidaklorprit 200 SL 1 ml/l dan 2 ml/l. Serang-an thrips pada awal pertumbuhSerang-an kacSerang-ang hijau dapat mengakibatkSerang-an tSerang-anamSerang-an tumbuh kerdil, jumlah polong berkurang, dan kehilangan hasil biji kering hingga 35%.

Kata kunci: thrips, insektisida kimia, bahan nabati, kacang hijau. ABSTRACT

The controls of thrips on mungbean using chemical and botanical insecticides.

Thrips, Megalurothrips usitatus is one of the important pests on mungbean during vegetative phase. Severe attacks caused mungbean yield loss from 13 to 64%. Therefore, a field experiment to determine the effective concentrations of neemoil and ginger rhizome mixtures to control thrips was conducted. The experiment was arranged in randomized completely block design with three replicates and seven treatments (i.e. control, liquid fertilizer 1 g/l, Imidaklorprit 200 SL 1 and 2 ml/l, janeemol rhizomes with concentrations of 20, 30, and 40 g/l of water, respectively). Mungbean Vima-1 was planted in plots of 20 x 3 m2 with a spacing of 40 cm x 15 cm, two plants per hill. The results showed that the use of fipronil 2 ml/l at 7 day after planting (DAP) + Janeemol 20-5 was effective to control thrips and dry seed weight 1.29 t/ha. This result was not significantly different with Imidaklorprit 200 SL 1 ml/l and Imidaklorprit 200 SL 2 ml/l. The thrips attack at the early growth of mungbean resulted in stunted plants, reduced the number of pods, and dry bean yield loss of up to 35%.

Keywords: Thrips, chemical insecticide, botanical insecticide, mungbean. PENDAHULUAN

Hama utama tanaman kacang hijau adalah thrips, perusak daun dan perusak polong. Serangan hama thrips terjadi pada fase vegetatif sejak tanaman berumur 10 hari. Sera-ngan yang parah dapat menyebabkan kehilaSera-ngan hasil 13−64%, tergantung tingkat kerusakan, umur, kerentanan tanaman dan kondisi iklim setempat (Indiati 2000).

(2)

Penggunaan bahan kimia untuk mengendalikan hama dihadapkan pada mahalnya harga pestisida (insektisida dan fungisida) dan pencemaran lingkungan. Karena itu perlu dicari cara pengendalian yang lain, salah satu di antaranya penggunaan pestisida nabati.

Beberapa jenis insektisida nabati seperti serbuk biji mimba dengan senyawa utama azadiractin efektif menekan hama lalat kacang, dan thrips. Ekstrak daun aglaia (pacar cina) efektif menekan populasi hama perusak polong. Populasi dan serangan hama Thrips juga dapat ditekan dengan ekstrak umbi bawang putih, rimpang jahe, daun pepaya, dan campuran ekstrak dari cabai, jahe, dan bawang putih (Prakash dan Rao 1997; Sridhar et. al. 2002; Stoll 2000; Vijayalakshmi et al. 1999). Menurut Tanzubil (2000), ekstrak biji mimba 5% dan 10% efektif mengendalikan penggerek polong (Maruca testulalis), hama thrips (Megalurothripss sjostedti), dan pengisap polong (Clavigralla spp., Aspavia armigera dan Riptortus dentipes).

Penggunaan SBM, ekstrak bawang putih, rimpang jahe, daun pepaya, dan ekstrak campuran bawang putih, cabai dan jahe masing-masing dengan konsentrasi 50 g/l mem-punyai keefektifan yang setara dalam menekan populasi dan intensitas serangan thrips (Indiati 2011). Dibandingkan dengan insektisida kimia, insektisida nabati mempunyai keefektifan yang lebih rendah dalam menekan populasi dan intensitas serangan thrips. Tanpa pengendalian, bobot biji yang dihasilkan hanya 0,72 t/ha, terdapat pada petak kontrol (tanpa pengendalian), dari tanaman yang dikendalikan dengan insektisida nabati diperoleh hasil biji 0,88−1,04 t/ha, sedang dari tanaman yang dikendalikan secara kimiawi diperoleh hasil 1,46−1,98 t/ha. Adanya tindakan pengendalian secara tidak lang-sung meningkatkan hasil kacang hijau 0,16– 1,26 t/ha atau 22−175% dibandingkan dengan tanpa pengendalian (Indiati 2011).

Nderitu et al. (2010) menyatakan bahwa dari sisi perolehan hasil, tanaman buncis yang diperlakukan dengan chloropyrifos menghasilkan polong lebih tinggi dibandingkan dengan yang dikendalikan dengan pestisida botani. Agar mendapatkan hasil yang maksimal dan sehat, subtisusi penggunaan insektisida nabati yang tepat waktu dapat dianjurkan, guna mengurangi penggunaan dan dampak pencemaran insektisida sintetis. Kombinasi insektisida thiacloprid dan azadirachtin 0.15% efektif mengendalikan hama thrips pada tanaman buncis (Nderitu et al. 2008). Dhandapani et al. (2003) merekomendasikan bahwa pada tanaman yang panennya tidak serentak, pengendalian hama menjelang panen sebaiknya menggunakan insektisida nabati agar tidak membahayakan kesehatan.

Berdasarkan kandungan bahan aktifnya, jahe (Zingiber officinale) mengandung senyawa keton zingeron yang memiliki rasa dominan pedas, sehingga dapat membunuh serangga hama. Zingeron membuat tubuh serangga menjadi lebih panas, demam, dan mati (Duddy 2009).

Biji dan daun mimba mengandung azadirachtin sebagai senyawa aktif utama, meli-antriol, salanin, nimbidin dan nimbin, yang keseluruhannya merupakan hasil metabolit sekunder dari tanaman mimba (Mordue dan Nisbet 2000). Azadirachtin yang dikandung biji mimba berperan sebagai ecdyson blocker atau zat yang dapat menghambat kerja hormon ecdyson, yaitu hormon yang berfungsi dalam metamorfosa serangga. Senyawa ini mengakibatkan serangga terganggu dalam proses pergantian kulit, proses perubahan dari telur menjadi larva, dari larva menjadi kepompong, atau dari kepompong menjadi dewasa. Biasanya kegagalan proses ini mengakibatkan kematian serangga (Mordue et al. 1998). Senyawa salanin berperan sebagai penurun nafsu makan (antifeedant) yang meng-akibatkan daya rusak serangga menurun, walaupun serangganya sendiri tidak mati (Aerts dan Mordue 1997). Oleh karena itu, dalam penggunaan insektisida nabati mimba,

(3)

seringkali hamanya tidak mati seketika setelah diaplikasi, namun memerlukan beberapa hari untuk mati (biasanya 4–5 hari). Serangga hama yang terkena serbuk biji mimba menjadi lesu dan daya rusaknya menurun karena sakit (Suharsono dkk. 2007). Melia-nantriol berperan sebagai penghalau serangga hama (repellent) yang mengakibatkan hama serangga enggan mendekati tanaman. Dengan demikian, tanaman yang telah disemprot dengan ekstrak biji mimba tidak akan didekati oleh serangga hama sehingga tanaman selamat dari hama (Suharsono dkk. 2007). Nimbin dan nimbidin berperan sebagai antimikro organisme seperti antivirus, antibakteri, dan antifungi, sehingga sangat baik untuk mengendalikan penyakit tanaman (Schmutterer 1985).

Dengan didapatkannya jenis, konsentrasi, dan frekuensi aplikasi, serta interval aplikasi insektisida kimia, agensia hayati dan pestisida nabati yang efektif, komponen pengen-dalian tersebut dapat digunakan secara mandiri atau dipadukan dengan komponen pengendalian lain, sehingga diperoleh hasil yang maksimal.

Tujuan penelitian adalah mendapatkan konsentrasi campuran efektif bahan nabati rimpang jahe dan neemoil untuk mengendalikan hama thrips pada tanaman kacang hijau.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilakukan di KP Muneng pada MK 2011 (ditanam bulan Juli), menggunakan rancangan acak kelompok yang terdiri dari tiga ulangan dan 7 perlakuan (kontrol, pupuk cair 1 g/l, imidaklorprit 200 SL 1 dan 2 ml/l, rimpang janeemol masing-masing dengan konsentrasi 20, 30, dan 40 g/l air). Kacang hijau varietas Vima-1 ditanam pada petak 20 x 3 m2/perlakuan dengan jarak tanam 40 cm x 15 cm, 2 tanaman rumpun. Pupuk 45 kg Urea + 45 kg SP36 + 50 kg KCl/ha diberikan pada saat tanam dalam larikan. Penyiangan dan pengairan disesuaikan dengan rekomendasi setempat. Aplikasi pestisida dilakukan sebagai berikut:

• Fungisida heksakonazol 50g/l (1 ml/l) diaplikasikan pada semua perlakuan termasuk kontrol untuk menghindari terjadinya penularan penyakit embun tepung; difeno-konazol 0,5 ml/l untuk bercak daun.

• Penyemprotan insektisida kimia atau nabati pada perlakuan pengendalian hama thrips dilakukan pada umur 7, 14, 21, 28, dan 35 HST. Pada 42 HST sampai menjelang panen dengan interval 1 minggu, semua perlakuan termasuk kontrol disemprot lamdasihalotren 2ml/l atau profenofos 500 g/l (1−2 ml/l), untuk pengisap polong digunakan deltametrin 2 ml/l atau tiametoksam (0,1 g/l).

• Penyiapan bahan nabati dilakukan secara sederhana dengan melarutkan bahan-bahan nabati yang telah disebutkan di atas dalam air (b/v) sesuai dengan konsentrasi masing-masing, setelah itu disaring dan siap diaplikasikan.

Pengamatan dilakukan terhadap populasi thrips, intensitas serangan thrips, hasil, dan komponen hasil tanaman.

• Populasi imago thrips per tiga daun trifoliet pucuk yang diambil dari 5 tanaman contoh 1 HSA, diamati pada umur 2, 3, 4, 5, dan 6 MST.

• Intensitas serangan thrips per luasan 2 m x 2 m yang diamati pada umur 2, 3, 4, 5, dan 6 MST yang dihitung dengan rumus I = P/N x 100 %.

• Hasil biji kering diperoleh dari panen ubinan 2 m x 2 m dengan populasi tanaman panen yang sama

• Komponen hasil diamati pada lima tanaman contoh

(4)

dihitung dengan rumus:

I = x100%

NxV nxv

I = intensitas serangan; N = jumlah daun total; V = nilai skor tertinggi (dalam hal ini 5); n = jumlah daun dalam setiap kategori skor; v = kategori skor ( 0 sampai 5)

skor 0 = daun tidak terserang (sehat); 1 = daun terserang 1−20%, 2 = daun terserang 21−40%m 3 = daun terserang 41−60%m 4 = daun terserang 61−80 %, dan 5 = daun terserang 81−100%.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Daya tumbuh tanaman kacang hijau Vima-1 hampir mencapai 100%, vigor tanaman saat berumur 6 hari cukup baik, tinggi tanaman merata, daun tunggal tumbuh normal dan membuka penuh (sempurna/tidak mengkerut).

Pada tanaman berumur 2 MST, populasi thrips 2 ekor/tanaman terdapat pada petak kontrol, sedang pada perlakuan yang lain lebih rendah dan berbeda nyata dengan kontrol. Pada 4 MST, populasi thrips semakin banyak, dengan kisaran 2−5 ekor/tanaman, populasi tertinggi terdapat pada petak kontrol dan terendah pada perlakuan Imidaklorprit 200 SL 2 ml/l. Peningkatan populasi disebabkan oleh peningkatan jumlah daun kacang hijau sebagai habitat thrips sejalan dengan bertambahnya umur tanaman. Pada 5 MST, populasi thrips pada semua perlakuan mulai menurun, namun populasi tertinggi masih tetap pada perlakuan kontrol. Pada 6 MST, populasi meningkat kembali karena bunga yang merupakan habitat thrips telah bermunculan. Secara umum populasi thrips terendah terdapat pada perlakuan imidaklorprit 200 SL 2 ml/l, dan tidak berbeda nyata dengan imidaklorprit 200 SL 1 ml/l, dan perlakuan 5 (F + Pupuk cair + Janeemol 20-5), sedang populasi tertinggi terdapat pada kontrol dan berbeda nyata dengan perlakuan yang lain (Tabel 1).

Tabel 1. Rata-rata populasi hama thrips pada beberapa cara pengendalian. KP. Muneng, MK. 2011.

Populasi thrips (ekor/tanaman) Perlakuan

2 MST 3 MST 4 MST 5 MST 6 MST

Kontrol 1,9 a 3,0 a 5,1 a 4,6a 5,6 a

Pupuk cair + Janeemol 40-7 1,6 a 2,6 ab 3,2 bcd 2,2 bc 4,8 ab Imidaklorprit 200 SL 1 ml/l 0,8 bc 1,5 d 2,2 cd 0,8 cd 4,9 ab Imidaklorprit 200 SL 2 ml/l 0,46 cd 1,5 d 1,9 d 0,6 d 4,1 b F+ Pupuk cair + Janeemol 20-5 0,26 d 2,0 cd 2,5 bcd 1,4 bcd 5,6 a F+ Pupuk cair + Janeemol 30-6 0,6 bcd 2,3 bc 3,8 abc 2,7 b 4,9 ab F+ Pupuk cair + Janeemol 40-7 1,0 b 2,6 abc 3,9 ab 2,2 bc 4,8 ab LSD 5 % 0,4501 0,634 1,1751 1,508 1,279

KK (%) 26,6 15,9 27,1 39,9 14,4

F = fipronil 2 ml/l diaplikasi sekali pada 7 HST.

Pada saat tanaman berumur 2 MST, pertumbuhan abnormal mulai terjadi, yang merupakan indikator gejala serangan thrips pada tanaman kacang hijau. Pada perlakuan

(5)

kontrol, daun trifoliet pucuk tidak membuka secara sempurna, tetapi mengkerut dan melengkung ke arah luar. Pada perlakuan Janeemol, tanaman juga menunjukkan gejala yang hampir sama, yaitu daun trifoliet pucuk tidak membuka secara sempurna, tetapi tingkat kerutannya tidak separah pada perlakuan kontrol. Pada perlakuan imidaklorprit 200 SL 1 dan 2 ml/l, gejala serangan thrips tidak tampak karena daun trifoliet pucuk mem-buka secara sempurna, lebar, dan tidak mengkerut. Perbedaan di antara kedua perlakuan tersebut terletak pada penampilan tanaman. Tanaman lebih tinggi dan lebih baik vigornya pada perlakuan imidaklorprit konsentrasi 2ml/l.

Tabel 2. Rata-rata intensitas serangan hama thrips pada beberapa cara pengendalian. KP. Muneng, MK. 2011.

Intensitas serangan thrips (%) Perlakuan

2 MST 3 MST 4 MST 5 MST 6 MST Kontrol 97,2 a 93,6a 61,6 a 42,7a 27,6a Pupuk cair + Janeemol 40-7 97,6 a 92,8a 61,4 a 11,7 b 7,7 b Imidaklorprit 200 SL 1 ml/l 47,8 b 14,7 d 5,46 b 1,33 b 0,2 b Imidaklorprit 200 SL 2 ml/l 13,9 c 14,4 d 7,43 b 3,33 b 0,0 b F+ Pupuk cair + Janeemol 20-5 48,8 b 41,1 c 20,6 b 11,9 b 6,6 b F+ Pupuk cair + Janeemol 30-6 66,3 ab 65,2 b 44,2 a 14,6 b 6,4 b F+ Pupuk cair + Janeemol 40-7 83,6 a 76,0ab 42,5 a 14,0 b 7,6 b

LSD 5 % 32,02 18,6 21,7 15,6 16,1

KK (%) 27,6 18,3 35,2 31 32,3

F = fipronil 2 ml/l diaplikasi sekali pada 7 HST

Intensitas serangan thrips pada 2 MST relatif tinggi, berkisar 14−97%, intensitas serangan terendah terdapat pada perlakuan imidaklorprit konsentrasi 2ml/l, dan berbeda nyata dengan perlakuan yang lain (Tabel 2). Walaupun pada 2 MST rata-rata populasi thrips hanya 2 ekor/tanaman (Tabel 1), namun dapat menyebabkan gejala serangan yang parah dengan intensitas tinggi (sampai 97%). Hal ini disebabkan karena pada umur 2 SMT tanaman masih sangat, jaringannya masih lunak, sehingga rentan terhadap serangan thrips. Tanaman berumur 2 minggu paling rentan terhadap serangan thrips, yang merupakan periode kritis. Pada 3 MST, intensitas serangan sedikit menurun. Pada 4 MST, intensitas serangan semakin menurun, berkisar antara 5−61%. Serangan terendah terdapat pada perlakuan imidaklorprit 200 SL 1 ml/l, dan tidak berbeda nyata dengan imidaklorprit 200 SL 2 ml/l dan perlakuan 5 (F + Pupuk cair + Janeemol 20-5), sedang serangan tertinggi terdapat pada perlakuan kontrol dan tidak berbeda nyata dengan ketiga perlakuan yang lain. Gejala serangan akan terus berlangsung sampai tanaman berumur 5−6 minggu (sebelum berbunga), semakin tua tanaman semakin menurun tingkat serangannya, sehingga pada 6 MST serangan tertinggi 27% terdapat pada kontrol dan berbeda nyata dengan perlakuan yang lain (Tabel 2).

Menurunnya intensitas serangan disebabkan karena thrips lebih suka menyerang daun trifoliet pucuk tanaman yang masih muda. Setelah tanaman berbunga dan kondisi lingkungan masih sesuai untuk perkembangannya, thrips akan lebih memilih untuk hidup dan berkembangbiak di dalam bunga, oleh karena itu daun trifoliet pucuk yang tumbuh

(6)

setelah tanaman berbunga tidak akan diserangnya, hal ini disebabkan karena jaringan mesofil daun semakin keras sehingga kurang disukai sebagai pakan.

Dampak yang ditimbulkan dari serangan thrips adalah tanaman menjadi lebih pendek (kerdil), jumlah polong berkurang, dan hasil menurun (Indiati 2004). Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa tanaman yang tidak dikendalikan (terserang berat) tingginya hanya 32 cm, tanaman yang dikendalikan secara kimiawi mempunyai tinggi 45–46 cm, sedang tanaman yang dikendalikan dengan insektisida nabati tingginya antara 39–45 cm. Tinggi tanaman berbeda nyata antarperlakuan. Serangan thrips juga berpengaruh terhadap jumlah polong. Hal ini disebabkan karena di samping menyerang daun pada fase vegetatif, thrips juga menyerang bunga yang mengakibatkan kerontokan. Dengan rontoknya bunga, maka polong tidak terbentuk sehingga jumlah polong menurun dan akhirnya berpengaruh terhadap hasil biji. Jumlah polong berkisar antara 15−24 polong/tanaman. Tanaman yang tidak dikendalikan rata-rata hanya memiliki 15 polong/tanaman, polong yang dihasilkan umumnya kecil dan pendek. Tanaman yang dikendalikan secara kimiawi menghasilkan 22–24 polong/tanaman, vigor polong panjang dan bernas, sedang tanaman yang dikendalikan dengan insektisida nabati menghasilkan 19–21 polong/tanaman, vigor polong hampir sama dengan yang diperlakukan dengan insektisida kimia (Tabel 3), semua perlakuan yang diuji berbeda nyata dengan kontrol.

Selama pertumbuhan, tanaman juga terserang hama perusak daun dengan intensitas 5−8% dan perusak polong dengan intensitas 12−20%, dan penggerek polong 16−21% (Tabel 3).

Tabel 3. Rata-rata tinggi tanaman, jumlah polong, intensitas serangan perusak daun, jumlah polong, dan intensitas serangan perusak polong menurut perlakukan pengendalian. KP Muneng, MK. 2011.

Int serangan (%) Perlakuan Tinggi tan (cm) daun (%) Ser prsk jml plg/ tan

pengisap penggerek Kontrol 32,1 d 7,2 15,4 c 19,8 a 21,4 Pupuk cair + Janeemol 40-7 40,5 bc 7,8 21,4ab 14,2 b 16,7 Imidaklorprit 200 SL 1 ml/l 46,8 a 6,4 23,8a 15,0 b 18,9 Imidaklorprit 200 SL 2 ml/l 45,6 ab 5,1 22,6ab 12,8 b 18,6 F+ Pupuk cair + Janeemol 20-5 41,8 abc 7,2 20,2ab 14,7 b 20,4 F+ Pupuk cair + Janeemol 30-6 38,6 c 7,5 18,9 bc 15,6 b 17,9 F+ Pupuk cair + Janeemol 40-7 45,4 ab 7,3 20,8ab 15,3 b 17,1

LSD 5 % 5,91 ns 4,47 3,5 ns

KK (%) 7,99 21,7 12,26 12,8 16,2

F = fipronil 2 ml/l diaplikasi sekali pada 7 HST

Bobot biji kering/tanaman dan bobot biji kering/petak berhubungan dengan jumlah polong, sehingga perolehan hasil tanaman berbanding lurus dengan kuantitas dan kualitas polong. Tanaman yang tidak dikendalikan memberikan bobot biji kering 23,7 g/5 tanaman atau 5,54 kg/60 m2 (0,923 t/ha) dan berbeda nyata dengan semua perlakuan. Tanaman yang dikendalikan secara kimiawi menghasilkan biji 43–48 g/5 tanaman atau 7,84–8,52 kg/60 m2 (1,311,42 t/ha); sedang tanaman yang dikendalikan dengan insektisida nabati

(7)

menghasilkan biji 43,9 g/5 tanaman atau 7,53 kg/60 m2 (1,26 t/ha). Penggunaan insektisida nabati janeemol 20-5 untuk pengendalian hama thrips memberikan hasil relatif rendah dibandingkan dengan aplikasi imidaklorpit, namun di antara perlakuan pestisida nabati dan kimia tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (Tabel 4).

Tabel 4. Rata-rata bobot biji kering 5 tanaman contoh, bobot biji kering/petak, perkiraan hasil kacang hijau yang dapat diselamatkan, dan kehilangan hasil kacang hijau akibat serangan thrips. KP Muneng, MK. 2010.

Perlakuan Bobot biji 5 tan (g)

Bobot biji

(kg/60 m2) Bobot biji t/ha (B) diselamatkan Hasil yg *) hasil (%)Kehilangan **)

Kontrol (K) 23,73 b 5,540 b 0,923 b 0 35,0 Pupuk cair + Janeemol 40-7 43,87 a 7,527 a 1,255 a 36,0 11,6 Imidaklorprit 200 SL 1 ml/l 48,20 a 7,840 a 1,306 a 41,5 8,0 Imidaklorprit 200 SL 2 ml/l (M) 47,77 a 8,520 a 1,42 a 53,8 0 F+ Pupuk cair + Janeemol 20-5 37,80 a 7,780 a 1,296 a 40,4 8,7 F+ Pupuk cair + Janeemol 30-6 36,83 a 6,777 ab 1,13 ab 22,4 20,4 F+ Pupuk cair + Janeemol 40-7 40,17 a 7,553 a 1,259 a 36,4 11,3

LSD 5 % 11,39 1,809 0,299

KK (%) 16,1 13,79 13,79

F = fipronil 2 ml/l diaplikasi sekali pada 7 HST *) dihitung berdasarkan rumus : x100%

BK BK

Bn− ; **) dihitung berdasarkan rumus = x100%

BM Bn

BM

Pengendalian secara tidak langsung meningkatkan hasil kacang hijau 22−53% diban-dingkan dengan tanpa pengendalian (Tabel 4). Nilai tersebut merupakan nilai estimasi hasil kacang hijau yang dapat diselamatkan dengan adanya tindakan pengendalian dengan beberapa insektisida kimia maupun nabati. Tanpa pengendalian, kehilangan hasil kacang hijau akibat serangan hama thrips mencapai 35%. Dari tingkat kehilangan hasil tersebut maka thrips merupakan hama penting pada musim kemarau, sehingga pengendalian tepat waktu, tepat dosis, dan tepat sasaran sangat diperlukan.

KESIMPULAN

• Penggunaan fipronil 2 ml/l sekali pada 7 HST dilanjutkan dengan aplikasi Janeemol 20-5 efektif mengendalikan hama thrips dan menghasilkan bobot biji kering yang setara dengan aplikasi imidaklorprit 200 SL 1 ml/l dan 2 ml/l.

• Serangan thrips pada awal pertumbuhan kacang hijau mengakibatkan tanaman tumbuh kerdil, jumlah polong berkurang, dan kehilangan hasil biji mencapai 35%.

PUSTAKA

Aerts, R.J. and A.J. Mordue (Luntz). 1997. Feeding deterrence and toxicity of neem triterpenoids. J.

Chem Ecol. 23: 2117 −2133.

Dhandapani N., U.R. Shelkar, M. Murugan. 2003. Bio-intensive pest management (BIPM) in major

(8)

Duddy. 2009. Jahe dan Manfaatnya. (Online), http: www.google.com. Diakses tanggal 17 Juni 2009.

Indiati, S.W. 2000. Pengendalian kimiawi dan penggunaan MLG 716 sebagai galur tahan thrips untuk menekan kehilangan hasil kacang hijau. Komponen Teknologi Untuk Meningkatkan Produktivitas Kacang-Kacangan dan Umbi-Umbian. Edisi Khusus Balitkabi No. 16-2000.

Hlm.160−168.

Indiati, S.W. 2004. Penyaringan dan mekanisme ketahanan kacang hijau MLG 716 terhadap hama

thrips. Jurnal Litbang Pertanian 23(3) : 100−107.

Indiati, S.W. 2011. Pengaruh insektisida nabati dan kimia terhadap hama thrip (megalurothrip

usitatus) dan hasil kacang hijau. 16 hlm. (dalam proses penerbitan)

Mordue (Luntz) A. J. and A. J. Nisbet. 2000. Azadirachtin from the Neem Tree Azadirachta indica: its

Action Against Insects. An. Soc. Entomol. Brasil 29 (4):615−632.

Mordue (Luntz), A.J., M.S.J. Simmonds, S.V. Ley, W.M. Blaney, W. mordue, M. Nasiruddin & A.J. Nisbet. 1998. Actions of azadirachtin, a plant allelochemical, against insects. Pestic. Sci. 54:

277−284.

Nderitu J, Kasina J, Waturu C, Nyamasyo G, Aura J. 2008. Management of thripss (Thysanoptera:

Thripsidae) on French beans (Fabaceae) in Kenya: Economics of insecticide applications. J.

Entomology. 5(3): 148−155.

Nderitu J., F. Mwangi, G. Nyamasyo, M. Kasina. 2010. Utilization of synthetic and botanical

insecticides to manage thripss (thysan.: thrips.) on snap beans (fabaceae) in Kenya. Int. J.

Sustain. Crop Prod. 5(1), 1−4.

Prakash, A. and J. Rao. 1997. Botanical pesticides in agriculture. Lewis Publishers. Baco Raton, New York. London. Tokyo. 460 hlm.

Schmutterer, H. (Ed) 1985. The neem tree Azadirachtia indica A. Juss and other meliaceous plants:

Sources of unique natural products for integrated pest management, medicine, industry and other purposes. VCH, Weinheim, Germany, 696p.

Sridhar, S., S. Arumugasamy, H. Saraswathy, and K. Vijayalakshmi. 2002. Organic vegetable

gardening. Center for Indian Knowledge Systems. Chennai. India. 53p.

Stoll, G. 2000. Natural protection in the tropics. Margraf Verlag, Weikersheim, German. 376p. Suharsono, Muji Rahayu, Sri Hardaningsih, Wedanimbi Tengkano, Sri Wahyuni Indiati, Marwoto,

Sumartini, Bedjo, dan Yuliantoro Baliadi. 2007. Perbaikan komponen teknologi pengendalian hama/penyakit terpadu (PHPT) pada tanaman kedelai. Laporan Akhir Tahun 2007. Balai Penelitian Tanaman Kacang-Kacangan dan Umbi-Umbian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Depar-temen Pertanian.

Tanzubil, P. B. 2000. Field evaluation of neem (Azadirachta indica) extracts for control of insect pests

of cowpea in Northern Ghana. J. Tropical Forest Products 6(2): 165−172.

Vijayalakshmi, K., B. Subhashini, and S. Koul. 1999. Plants used in Pest Control: Garlic and onion. Centre for Indian Knowledge Systems, Chennai, India. 79p.

Gambar

Tabel 1.   Rata-rata populasi hama thrips pada beberapa cara pengendalian. KP. Muneng, MK
Tabel 2.   Rata-rata intensitas serangan hama thrips pada beberapa cara pengendalian. KP
Tabel 3.   Rata-rata tinggi tanaman, jumlah polong, intensitas serangan perusak daun, jumlah  polong, dan intensitas serangan perusak polong menurut perlakukan pengendalian
Tabel 4.   Rata-rata bobot biji kering 5 tanaman contoh, bobot biji kering/petak, perkiraan hasil  kacang hijau yang dapat diselamatkan, dan kehilangan hasil kacang hijau akibat  serangan thrips

Referensi

Dokumen terkait

Pada bulan pertama, susut bobot beras tanpa perlakuan insektisida nabati tidak berbeda nyata dengan dringo, tetapi berbeda nyata dengan cabe rawit, cabe keriting, bawang

Serangan hama thrips pada tanaman kacang hijau yang tidak dikendalikan relatif tinggi dibanding perlakuan yang lain, tinggi tanaman yang diamati pada saat panen hanya 31 cm,

daun kenikir efektif mengurangi dan mengendalikan populasi hama thrips pada tanaman cabai merah dimana dosis yang terbaik adalah 60 ml/liter air.Disarankan agar

Serangan hama thrips pada tanaman kacang hijau yang tidak dikendalikan relatif tinggi dibanding perlakuan yang lain, tinggi tanaman yang diamati pada saat panen hanya 31 cm,

Aplikasi pestisida nabati dari asap cair tempurung kelapa pada dosis dosis 500 ml per tangki pada tanaman cabe sangat efektif mengendalikan hama Thrips &

Konsentrasi pupuk Lemna minor sebanyak 0,75 ml/l dengan jumlah populasi Dunaliella salina sebanyak 36,18x104 sel/ml yang berbeda nyata dengan penggunaan pupuk walne 1

Menunjukkan bahwa perlakuan pupuk cair green tonik berbeda sangat nyata terhadap variabel diameter buah.Pada uji jarak berganda Duncan menunjukkan bahwa semua perlakuan antara G1 Tanpa

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian pestisida nabati kombinasi serai dan kenikir terhadap hama thrips pada pertumbuhan vegetatif tanaman kacang hijau serta