• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kedudukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Sebagai Lembaga Kuasi Yudisial

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kedudukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Sebagai Lembaga Kuasi Yudisial"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

TUGAS DAN WEWENANG BPSK DALAM MENYELESAIKAN

SENGKETA KONSUMEN

A. Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia

1. Sejarah Perlindungan Konsumen di Indonesia

Perkembangan hukum konsumen di dunia bermula dari adanya gerakan

perlindungan konsumen (consumers movement).44 Perhatian terhadap

perlindungan konsumen, terutama Amerika Serikat (era 1960-an – 1970-an) mengalami perkembangan yang sangat signifikan dan menjadi objek kajian

bidang ekonomi, sosial, politik, dan hukum.45 Amerika Serikat merupakan Negara

yang paling banyak punya andil terhadap apa yang saat ini bergema sebagai

perlindugan konsumen.46 Secara historis, perlindungan konsumen diawali dengan

adanya gerakan-gerakan konsumen diawal abad ke-19 dimana pada Tahun 1891

terbentuk Liga Konsumen untuk pertama kalinya di New York, dan menyusul

pada Tahun 1898 dibentuk Liga Konsumen Nasional ( The National Consumer’s

League) yang pada kelanjutannya semakin bekembang pesat meliputi 20 negara

bagian.47

Di Tahun 1938, sesuai dengan tuntutan keadaan amandemen terhadap The

Food and Drugs Act yang melahirkan The Food, Drugs and Cosmetics Act. Pada

era 1960-an, sejarah gerakan perlindungan konsumen mengalami perubahan

penting ditandai pada saat Presiden AS, John F. Kennedy menyampaikan pidato

44

Az.Nasution, Konsumen dan Hukum : Tinjauan Sosial Ekonomi dan Hukum Pada Perlindungan Konsumen Indonesia (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,1995), hlm. 64-65.

45

Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.cit, hlm. 1.

46

Abdul Halim Barkatulah, Op.cit, hlm.13.

47

(2)

kenegaraan berjudul "A Special Message of Protection the Consumer Interest" di

hadapan Kongres Amerika Serikat dimana dikemukakan 4 (empat) pembagian

hak konsumen (dikenal juga sebagai consumer hill of rights) yang dapat diuraikan

sebagai berikut:48

a. The right to safety - to be protected against the marketing of goods that

are hazardous to health or life.

b. The right to be Informed - to be protected against fraudulent, deceitful,

or grossly, misleading information, advertising, labeling, and other

practices, and to be given the facts needed to make informed choices.

c. The right to choose - to be assured wherever possible, access to a

variety of products and services at competitive prices. And in those

industries in which competition is not workable and government

regulation is substitued there should be assurance of satisfactory

quality and services at fair prices.

d. The right to ke heard - to be assured that eonsumcr intercsts will

receivet full and sympatketic considtration m tke formulation of

govemment policy and fair and expeditious treatment m its

odministrative tribunals.

Resolusi Perserikatan Bangsa-bangsa Nomor 39/248 Tahun 1955 tentang

Perlindungan Konsumen (Guidelines for Consumer Protestion) juga merumuskan

berbagai kepentingan konsumen yang perlu dilindungi, yang meliputi:49

a. Perlindungan konsumen dari bahaya-bahaya terhadap kesehatan dan

keamanannya.

48

Ibid.hlm.14.

49

(3)

b. Promosi dan perlindungan kepentingan sosial ekonomi konsumen.

c. Tersedianya informasi yang memadai bagi konsumen untuk

memberikan kemampuan mereka dalam melakukan pilihan yang tepat

sesuai dengan kehendak dan kebutuhan pribadi.

d. Pendidikan konsumen.

e. Tersedianya upaya ganti rugi yang efektif.

f. Kebebasan untuk membentuk organisasi konsumen.

Pemikiran kearah pelindungan konsumen dilatar belakangi oleh

berkembangnya industri secara cepat dan menunjukkan kompleksitas yang tinggi

sehingga perlu ditampung salah satu akibat negatif industrialisasi yang

menimbulkan banyak korban karena memakai atau mengonsumsi produk-produk

industri.

Beberapa Undang-undang Perlindungan Konsumen Negara-negara di

dunia adalah sebagai berikut:50

a. Singapura: The Consumer Protestion (Trade Description and Safety

Requirement Act), tahun1975.

b. Thailand: Consumer Act, tahun 1979.

c. Jepang: The Consumer Protection Fundamental Act,tahun 1968.

d. Australia: Consumer Affairs Act, tahun 1978.

e. Irlandia: Consumer Information Act, tahun 1978.

f. Finlandia: Consumer Protection Act, tahun 1978.

g. Inggris: The Consumer Protection Act, tahun 1970, diamendir pada

tahun 1971.

50

(4)

h. Kanada: The Consumer Protection Act dan The Consumer Protection

Amendment Act, tabun 1971.

i. Amerika Serikat: The Uniform Trade Practicces and Consumer

Protection Act (UTPCP) tahun 1967, diamendir tahun 1969 dn 1970.

Kemudian Unfair Trade Practices and Consumer Protestion (Lousin)

Law, tahun 1973.

Di Indonesia masalah perlindungan konsumen baru mulai terdengar pada

Tahun 1970-an. Ini terutama ditandai dengan lahirnya Yayasan Lembaga

Konsumen Indonesia (YLKI) pada bulan Mei 1973. Secara historis, pada awalnya

yayasan ini berkaitan dengan rasa mawas diri terhadap promosi untuk

memperlancar barang-barang dalam negeri. Atas desakan suara-suara dari

masyarakat, kegiatan promosi ini harus diimbangi dengan langkah-langkah

pengawasan, agar masyarakat tidak dirugikan dan kualitasnya terjamin. Adanya

keinginan dan desakan masyarakat untuk melindungi dirinya dari barang yang

rendah mutunya telah memacu untuk memikirkan secara sungguh-sungguh usaha

untuk melindungi konsumen, dan mulailah gerakan untuk merealisasikan cita-cita

itu.

Setelah lahirnya YLKI, muncul beberapa organisasi yang berbasis

perlindungan konsumen. Pada februari 1988, berdiri Lembaga Pembinaan dan

Perlindungan Konsumen (LP2K) di Semarang dan bergabung sebagai anggota

Consumers International (CI) tahun 1990. Dukungan media massa nasional baik

(5)

membahas keluhan-keluhan konsumen, juga turut menggalakkan pergerakan

perlindungan konsumen di Indonesia.51

Demikian juga dalam pertemuan ilmiah dan pembahasan peraturan

perundang-undangan, YLKI dianggap sebagai mitra yang representatif.

Keberadaan YLKI juga sangat membantu dalam upaya peningkatan kesadaran

atas hak-hak konsumen . lembaga ini tidak sekedar melakukan pengujian atau

penelitian, penerbitan dan menerima pengaduan, tetapi sekaligus juga

mengadakan upaya advokasi langsung melalui jalur pengadilan.52

Tokoh-tokoh yang terlibat pada waktu itu mulai mengadakan temu wicara

dengan beberapa kedutaan asing, Departemen Perindustrian, DPB, dan tokoh-tokoh masyarakat lainnya. Puncaknya lahirlah “Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia” dengan moto yang telah menjadi landasan dan arah perjuangan YLKI, yaitu melindungi konsumen, menjaga martabat dan membantu pemerintah.53

Proses lahirnya suatu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen yang terdiri dari 15 bab dan 65 Pasal membutuhkan

waktu tidak kurang dari 25 tahun. Sejarah pembentukannya dimulai dari:54

a. Seminar Pusat Studi Hukum Dagang, Fakultas Hukum Universitas

Indonesia tentang masalah perlindungan konsumen, pada tanggal 15 – 16 Desember 1975.

b. Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman RI,

penelitian tentang perlindungan konsumen di Indonesia (proyek

Tahun 1979-1980).

51

Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen ( Jakarta: Kencana,2013) hlm.36

52

Ibid, hlm.36. 53

Ibid, hlm.37.

54

(6)

c. Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman, Naskah

Akademis Peraturan Perundang-undangan tentang perlindungan

konsumen (proyek Tahun 1980-1981).

d. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Perlindungan

konsumen Indonesia, suatu sumbangan pemikiran tentang rancangan

UUPK, pada Tahun 1981.

e. Departemen Perdagangan RI bekerja sama dengan Fakultas Hukum

Universitas Indonesia, Rancangan Undang-Undang tentang

perlindungan konsumen, Tahun 1997.

f. Dewan Perwakilan Rakyat RI, Rancangan Undang-Undang Usul

Inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat tentang UUPK, Desember 1998.

Selain pembahasan-pembahasan di atas, masih terdapat berbagai

lokakarya, penyuluhan, seminar, di dalam dan luar negeri yang menelaah

mengenai perlindungan konsumen atau tentang produk konsumen tertentu dari

berbagai aspek, serta berbagai kegiatan perlindungan konsumen yang dilakukan

oleh masyarakat kalangan pelaku usaha dan pemerintah yang dijalankan oleh

YLKI. Pada akhirnya, dengan didukung oleh perkembangan politik dan ekonomi

di Indonesia, semua kegiatan tersebut berujung pada disetujuinya UUPK oleh

DPR RI dan disahkan oleh Presiden RI pada tanggal 20 April 1999 dan berlaku

efektif satu Tahun kemudian.55

Pembentukan UUPK juga didasari kedudukan konsumen yang berada pada

posisi yang dirugikan. Perkembangan dan pembangunan perekonomian telah

menghasilkan berbagai barang dan/atau jasa yang dapat dikonsumsi, globalisasi dan

perdagangan yang bebas didukung oleh perkembangan teknologi yang cukup pesat

55

(7)

telah memperluas ruang gerak arus transaksi barang dan/atau jasa melintasi

batas-batas suatu wilayah Negara. Kondisi dan fenomena tersebut mengakibatkan

kedudukan aantara pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang. Factor yang

menyebabkan konsumen berada pada posisi yang lemah dikarenakan rendahnya

kesadaran konsumen atas haknya. Oleh karena itu UUPK dimaksudkan menjadi

landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan lembaga perlindungn konsumen

swadaya masyarakat untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui

pembinaan dan pendidikan konsumen.

Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen ini dirumuskan dengan

mengacu pada filosofi pembangunan nasional bahwa pembangunan nasional

termasuk pembangunan hukum yang memberikan perlindungan terhadap konsumen

adalah dalam rangka membangun manusia Indonesia yang seutuhnya yang

berlandaskan pada falsafah kenegaraan Republik Indonesia, yaitu dasar Negara

Pancasila dan konstitusi Negara Undang-Undang Negara Dasar 1945.56

2. Tujuan Perlindungan Konsumen

Undang-Undang Perlindungan Konsumen dengan jelas menuliskan tujuan

dari perlindungan konsumen pada pasal yang ke 3, yakni:

a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian untuk

melindungi diri

b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara

menghindarkannya dari akses negatif pemakaian barang dan/atau jasa

c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan

dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen

56

(8)

d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur

kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses mendapatkan

informasi

e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya

perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan

bertanggung jawab dalam berusaha

f. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin

kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan,

kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen.

Pasal 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini, merupakan isi

pembangunan nasional sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 sebelumnya,

dimana isi dari Pasal 2 ialah perlindungan konsumen berasaskan manfaat,

keadilan, keseimbangan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum.

Karena tujuan perlindungan konsumen yang ada itu merupakan sasaran akhir yang

harus dicapai dalam pelaksanaan pembangunan dibidang hukum perlindungan

konsumen.57

Tujuan perlindungan konsumen yang telah disebutkan diatas dapat

dikelompokkan kedalam tiga tujuan hukum secara umum. Tujuan hukum untuk

mendapatkan keadilan dapat terlihat pada rumusan huruf c dan huruf e. Tujuan

hukum untuk memberikan kemanfaatan dapat dilihat pada rumusan huruf a, b,

termasuk huruf c, huruf d dan huruf f. Terakhir tujuan hukum yang memberikan

kepastian hukum dapat dilihat dalam rumusan huruf d. Pengelompokan ini tidak

57

(9)

belaku mutlak, karena rumusan yang ada pada huruf a sampai dengan huruf f

terdapat tujuan yang dapat dikualifikasikan sebagai tujuan ganda.58

3. Sumber Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia

Pada dasarnya sumber hukum dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu

sumber hukum materiil dan sumber hukum formal. Sumber hukum materiil ialah

tempat dari mana materi hukum itu diambil, yang merupakan faktor yang

membantu pembentukan hukum, misalnya hubungan sosial, kekuatan politik,

situasi sosial ekonomi, tradisi, hasil penelitian ilmiah, perkembangan nasional dan

keadaan geografis. Sedangkan sumber hukum formal adalah tempat diperolehnya

kekuatan hukum tersebut, hal ini berkaitan dengan bentuk atau cara yang

menyebabkan peraturan hukum formal tersebut berlaku. Yang diakui umum

sebagai sumber hukum formal adalah undang-undang, perjanjian internasional,

yurisprudensi dan kebiasaan.59

Landasan yuridis materil yuridis dari pembentukan UUPK ialah situasi

sosial ekonomi pada saat itu berkembang pesat, kemajuan teknologi mendukung

berkembannya globalisasi dan perdagangan bebas. Situasi tersebut mempunyai

manfaat bagi konsumen karena kebutuhan konsumen atas suatu barang dan/atau

jasa dapat terpenuhi. Namun disatu sisi kondisi seperti ini sering membuat

ketidaksimbangan terhadap hubungan pelaku usaha dan konsumen. konsumen

sering sekali berada posisi yang dirugikan. Atas dasar kondisi tersebut perlu

diadaannya upaya pemberdayaan konsumen melalui pembentukan undang-undang

58

Ibid, hlm.34.

59

(10)

yang dapat melindungi kepentingan konsumen secara integratif dan komprehensif

serta dapat diterapkan secara efektif di masyarakat.60

Sumber hukum utama dari upaya perlindungan konsumen di Indonesia

adalah Undang-undang Perlindungan Konsumen yang disahkan pada tanggal 20

April 2000. Namun, disamping itu terdapat berbagai peraturan

perundang-undangan yang berlaku yang membahas mengenai perlindungan konsumen.

Sekalipun peraturan perundang-undangan itu tidak khusus diterbitkan untuk

konsumen atau perlindungan konsumen, setidak-tidaknya ia merupakan sumber

juga dari hukum konsumen dan/atau hukum perlindungan konsumen.61

Menurut AZ Nasution, sumber hukum hukum konsumen di Indonesia

terdiri dari:62

a. Undang-Undang Dasar

Hukum konsumen mendapat landasan hukumnya pada pembukaan

Undang-Undang Dasar 1945 di Alinea ke-4 yang berbunyi:

Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia.”

Hal tersebut diatas dapat dijadikan sebagai salah satu sumber hukum

dari hukum konsumen di Indonesia adalah karena terdapat kata-kata

yang menekankan kepada melindungi segenap bangsa Indonesia yang

mana hal tersebut pasti juga mencakup kepada perlindungan terhadap

pengusaha/pelaku usaha dan konsumen di Indonesia.

Selain itu, landasan hukum lainnya terdapa pada ketentuan pasal 27

ayat (2), yang berbunyi:

60

Penjelasan Umum Undang-Undang Perlindungan Konsumen 61

AZ. Nasution, Op. Cit., hlm. 30.

62

(11)

Tiap warga Negara berhak atas peghidupan yang layak bagi kemanusiaan

Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 menurut penjelasan

autentiknya adalah memuat mengenai hak-hak warga Negara. Dan

salah satu hak mendasar bagi warga Negara adalah untuk memperoleh

perlindungan dari Negara, termasuk didalamnya adalah pelindungan

terhadap warga Negara yang berperan sebagai pelaku usaha atau

konsumen di Indonesia.

b. Hukum Konsumen dalam Hukum Perdata

Hukum Perdata dapat dijadikan sebagai salah satu sumber hukum

dari hukum konsumen karena dalam praktiknya di dunia pengadilan

masih terdapat beberapa putusan pengadilan tentang masalah

keperdataan yang berkaitan dengan perlindungan konsumen.

Masalah keperdataan yang menyangkut hukum konsumen pada

dasarnya membahas mengenai hubungan dan masalah hukum antra

pelaku usaha penyedia barang dan/atau jasa penyelenggara jasa

dengan konsumen. Dan kaidah-kaidah hukum keperdataan yang

membahas mengenai hubungan hukum seperti disebutkan diatas

adalah KUH Perdata, terutama dalam buku kedua, ketiga dan

keempat; KUH Dagang, dalam buku kesatu dan buku kedua; dan

dalam berbagai peraturan perundang-undangan lain yang memuat

kaidah-kaidah hukum bersifat perdata tentang subjek-subjek hukum,

hubungan hukum dan masalah antara penyedia barang atau

(12)

Pasal yang ada dalam KUHPerdata yang memiliki kaitan dengan

hukum konsumen diantaranya ialah pasal 1365 KUHPerdata, dalam

pasal ini dituliskan bahwa tiap orang yang melanggar hukum dan

membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang

menimbulkan kerugian kerugia itu karena kesalahannya untuk

menggantikan kerugian tersebut. Artinya dalam pasal tersebut pihak

yang telah melakukan suatu perbuatan melawan hukum yang

menyebabkan kerugian harus mengganti kerugian tersebut. Pasal

lainnya 1481 KUHPerdata terkait tentang kewajiban-kewajiban

penjual, dalam pasal tersebut dituliskan bahwa barang yang

bersangkutan harus diserahkan dalam keadaan seperti pada waktu

penjualan. Sejak saat penyerahan, segala hasil menjadi kepunyaan

pembeli. Dalam pasal tersebut dapat dipahami adanya hubungan

antara pelaku usaha dengan konsumen, dimana pelaku usaha harus

memenuhi kewajibannya dengan memberikan barang yang sesuai

dari yang dijual dan yang diserahkan, kemudian konsumen memiliki

hak kepunyaan atas barang tersebut setelah membelinya. Selanjutnya

dapat dilihat dalam Bab II Buku Kedua KUHD tentang

Pengusaha-Pengusaha Kapal Dan Pengusaha-Pengusaha-Pengusaha-Pengusaha Perkapalan pada Pasal

321, dimana dalam pasal tersebut diterangkan bahwa pengusaha

kapal terikat oleh perbuatan hukum, yang dilakukan oleh mereka

yang bekerja tetap atau sementara pada kapal itu, Pengusaha kapal

bertanggung jawab atas kerugian yang diterima oleh pihak ketiga

(13)

tersebut. Ringkasnya pengusaha kapal bertanggung jawab atas

kerugian-kerugian yang dialami oleh pihak yang menjadi konsumen

dari kapal tersebut.

c. Hukum Konsumen dalam Hukum Publik

Hukum publik yang dimaksudkan disini adalah hukum yang mengatur

hubungan antara Negara dan alat-alat perlengkapannya atau hubungan

antara Negara dengan perorangan. Termasuk hukum publik dan

terutama dalam kerangka hukum konsumen dan/atau hukum

perlindungan konsumen, adalah hukum administrasi Negara, hukum

pidana, hukum acara perdata dan/atau hukum acara pidana dan hukum

internasional khususnya hukum hukum perdata internasional. Salah

satu contoh bentuk perlindungan konsumen dalam hukum publik

adalah dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu

Lintas dan Angkutan Jalan yang membahas mengenai pengguna jasa

angkutan yang dilakukan oleh pelaku usaha atau oleh konsumen.

Didalam undang-undang ini ditentukan dengan jelas yang menjadi

hak-hak konsumen (pasal 4) dan kewajiban-kewajibannya (pasal 5),

dan mengenai hak-hak dan kewajiban pelaku usaha (pengusaha) diatur

dalam pasal 6 dan 7. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun

1992 tersebut terlihat jelas bahwa hukum konsumen juga bersumber

dari hukum publik walaupun dalam pembentukannya, hukum publik

tersebut tidak dimaksudkan secara khusus untuk mengatur mengenai

perlindungan terhadap pelaku usaha dan konsumen di Indonesia.

(14)

Tentang Kesehatan. Pada bagian keempat undang-undang tersebut

diatur mengenai pengamanan makanan dan minuman, tepatnya pada

Pasal 21 ayat (2) dituliskan kewajiban untuk setiap makanan dan

minuman yang dikemas harus berisi : bahan yang dipakai, komposisi

setiap bahan, tanggal, bulan serta tahun kadaluwarsa dan juga

ketentuan lainnya. Peraturan tersebut menjadi dasar bagi pelaku usaha

yang ingin memproduksi makanan ataupun minuman. Dalam

KUHPidana pasal 382 juga dituliskan seorang penjual yang berbuat

curang terhadap pembeli dapat diancam hukuman penjara paling lama

satu tahun empat bulan. Selanjutnya pada Undang-Undang No 16

Tahun 1985 Tentang Rumah Susun pada Pasal 4 Ayat (1) dan Pasal 20

Ayat (1) juga dapat dilihat pemerintah melakukan tindakan

administratif berupa pengawasan dan pembinaan terhadap pelaku

usaha dengan perilaku tertentu dalam menjalankan undang-undang

tersebut.

B. Perlindungan Konsumen Berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun

1999 Tentang Perlindungan Konsumen

1. Hak-Hak Dasar Dan Kewajiban Konsumen

Istilah “perlindungan konsumen” berkaitan dengan perlindungan hukum. Oleh karena itu, perlindungan konsumen mengandung aspek hukum. Adapun

materi yang mendapatkan perlindungan itu bukan sekadar fisik, melainkan

(15)

konsumen sesungguhya identik dengan perlindungan yang diberikan hukum

terhadap hak-hak konsumen.63

Secara universal hak dasar konsumen dituang dalam empat poin, yaitu:

a. Hak untuk mendapatkan keamanan (the right to safety);

b. Hak untuk mendapatkan informasi (the right to be informed );

c. Hak untuk memilih (the right to choose);

d. Hak untuk didengar (the right to be heard).64

Empat hak dasar ini diakui secara internasional. Dalam perkembangannya,

organisasi-organisasi konsumen yang tergabung dalam The International

Organization of Consumer Union (IOCU) menambahkan lagi beberapa hak,

seperti hak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, hak

mendapatkan pendidikan konsumen, serta hak mendapatkan ganti kerugian.65

Namun tidak semua organisasi konsumen menerima penambahan hak-hak

tersebut. Mereka bebas untuk menerima semua atau sebagian. Yayasan Lembaga

Konsumen Indonesia (YLKI) misalnya, memutuskan untuk menambahkan satu

hak lagi sebagai pelengkap empat hak dasar konsumen, yaitu hak mendapatkan

lingkungan hidup yang baik dan sehat.66

Dalam UUPK, empat hak dasar tersebut juga diakomodasikan. Hak

konsumen untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, tidak

dimasukkan dalam UUPK ini karena UUPK secara khusus mengecualikan

hak-hak atas kekayaan intelektual (HAKI) dan dibidang pengelolaan lingkungan.

63

Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta:Grasindo, 2000), hlm. 19.

64

Yusuf Shofie, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta:Kencana,2013), hlm. 47

65

Shidarta, op.cit., hlm.20

66

(16)

Tidak jelas mengapa hanya dua bidang ini saja yang dikecualikan secara khusus,

mengingat sebagai undang-undang payung (Umbrella Act), UUPK seharusnya

dapat mengatur hak-hak konsumen itu secara lebih komprehensif.67

Hak konsumen sebagaimana tertuang dalam Pasal 4 UU No. 8 Tahun 1999

adalah sebagai berikut:

a. Hak atas kenyamanan dan keselamatan dalam mengonsumsi barang

dan/atau jasa;

b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang

dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta

jaminan yang dijanjikan;

c. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan

jaminan barang dan/atau jasa;

d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau

jasa yang digunakan;

e. Hak untuk mendapatkan advokasi perlindungan dan upaya

penyelesaian sengketa perlindungan konsuen secara patut;

f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta

tidak diskriminatif;

h. Hak untuk mendapatkan kompensasi ganti rugi dan/atau penggantian,

apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan

perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

67

(17)

i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan

lainnya.

Selain hak-hak yang disebutkan itu, ada juga hak untuk dilindungi dari

akibat negatif persaingan curang. Hal ini berangkat dari pertimbangan ,kegiatan

bisnis yang dilakukan pengusaha sering dilakukan tidak secara jujur, yang dalam hukum dikenal dengan terminologi “persaingan curang” (unfair competition). Maka jika hak-hak dasar yang telah disebutkan tadi disusun kembali secara

sistematis, akan diperoleh urutan sebagai berikut.68

a. Hak Konsumen Mendapatkan Keamanan

Hak untuk memperoleh keamanan ini penting ditempatkan pada

kedudukan yang utama karena selama berabad-abad berkembang

suatu falsafah berpikir bahwa konsumen adalah pihak yang wajib

berhati-hati, bukan pelaku usaha. Falsafah yang disebut caveat emptor

(let the buyer beware) ini, mencapai puncaknya pada abad ke-19

seiring dengan berkembangnya paham rasional-individualisme di

Amerika Serikat.

Satu hal yang sering dilupakan dalam kaitan dengan hak untuk

mendapatkan keamanan adalah penyedian fasilitas umum yang

memenuhi syarat yang ditetapkan di Indonesia, sebagian fasilitas

umum seperti pusat pemberlanjaan, hiburan, rumah sakit, dan

perpustakaan belum cukup akomodatif untuk menopang keselamataan

pengunjungnya.

68

(18)

b. Hak untuk mendapatkan informasi yang benar

Dalam perdagangan, setiap produk yang ditawarkan kepada konsumen

harus disertai dengan informasi yang benar. Informasi ini dapat

disampaikan dengan berbagai cara, seperti secara lisan kepada

konsumen, melalu iklan diberbagai media, atau mencantumkan dalam

kemasan produk (barang). Setiap informasi harus dibagikan secara

sama kepada setiap kosumen (tidak diskriminatif).

Melihat penggunaan teknologi tinggi dan mekanisme produksi barang

dan/atau jasa akan menyebabkan makin banyaknya informasi yang

harus dikuasai oleh masyarakat konsumen. Hal ini menyebabkan

setiap konsumen tidak mendapatkan infomasi yang sama. Karena

ketidakmampuan konsumen menerima kemajuan teknologi dan

keragaman produk yang dipasarkan. Keadaan yang seperti ini yang

dapat saja dimanfaatkan secara tidak wajar oleh pelaku usaha. Itulah

sebabnya hukum perlindungan konsumen memberikan hak konsumen

atas informasi yang benar, yang didalamnya tercakup juga hak atas

informasi yang proporsional dan diberikan secara tidak diskriminatif.

c. Hak untuk didengar

Hak mendapatkan informasi yang benar erat kaitannya dengan hak

untuk didengar. Untuk setiap informasi yang disampaikan kepada

konsumen, konsumenpun berhak untuk mengajukan permintaan

informasi lebih lanjut..

(19)

Untuk mengkonsumsi suatu produk, konsumen diberikan kebebasan

produk manakah yang akan dipilih. Konsumen tidak boleh

mendapatkan tekanan dari pihak luar sehingga ia tidak lagi bebas

untuk membeli atau tidak membeli.

e. Hak untuk mendapatkan produk barang dan/atau jasa sesuai dengan

nilai tukar yang diberikan

Setiap konsumen harus dilindungi dari permainan harga yang tidak

wajar. Artinya, kuantitas dan kualitas barang dan/atau jasa yang

dikonsumsi harus sesuai dengan nilai uang yang dibayar sebagai

penggantinya.

Dalam ketidakbebasan pasar, pelaku usaha dapat mendikte pasar

dengan menaikan harga, sehingga konsumen dihadapkan pada kondisi

take it or leave it. Kondisi tersebut biasanya maembuatkonsumen

terpaksa mencari alternative lain yang mungkin dengan kualitas yang

lebih buruk. Praktik yang seperti ini juga sering dikenal dengan istilah

externalities.

f. Hak untuk mendapatkan ganti kerugian

Jika konsumen merasakan kuantitas dan kualitas barang dan/atau jasa

yang dikonsumsinya tidak sesuai dengan nilai yang diberikannya,

konsumen berhak mendapatkan ganti kerugian yang pantas, jenis dan

jumlah anti kerugian itu tentu saja harus sesuai dengan ketentuan yang

(20)

g. Hak untuk mendapatkan penyelesaian hukum

Konsumen berhak menuntut pertanggungjawaban hukum dari pihak

yang dianggap merugikan karena mengkonsumsi produk tersebut. Hak

ini memiliki hubungan dengan hak mendapatkan ganti kerugian,

namun tdak dapat dikatakan identik. Untuk mendapatkan ganti

kerugian konsumen tidak harus melalui jalur hukum lebih dahulu.

Sebaliknya, setiap upaya hukum pada hakikatnya berikan tentang

tuntutan memperoleh ganti kerugian oleh salah satu pihak. Tentunya

ada beberapa karakteristik tuntutan yang tidak bolehkan tuntutan ganti

kerugian ini, seperti dalam upaya legal standing LSM yang dibuka

kemungkinannya dalam pasal 46 Ayat (1) Huruf (c) UUPK.

h. Hak untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat

Hak ini merupakan hak yang diterima sebagai salah satu hak dasar

konsumen oleh berbagai organisasi konsumen di dunia. Lingkungan

hidup yang baik dan sehat berarti sangat luas, dan setiap makhluk

hidup adalah konsumen atas lingkungan hidupnya. Lingkungan hidup

meliputi lingkungan hidup dalam arti fisik dan lingkungan nonfisik.

i. Hak untuk dilindungi dari akibat negatif persaingan curang

Persaingan curang dapat terjadi jika seorang pengusaha berusaha

menarik langganan atau klien pengusaha lain untuk memajukan

usahanya atau memperluas pemasarannya dengan menggunakan alat

atau sarana yang bertentangan dengan itikad baik dan kejujuran dalam

pergaulan perekonomian. Kecurangan dalam dunia usaha seperti ini

(21)

korban dalam kecurangan tersebut adalah konsumen. Kerugian

tersebut mungkin tidak dirasakan dalam jangka pendek, namun cepat

atau lambat pasti terjadi.

j. Hak untuk mendapatkan pendidikan konsumen

Banyak konsumen yang belum memahami sepenuhnya tentang

hak-hak yang dimiliki mereka. Kata pendidikan dalam hak-hak ini tidak harus

diartikan sebagai proses formal yang dilembagakan. Bentuk informasi

yang lebih komprehensif dengan tidak semata-mata menonjolkan

unsur komersial sebenarnya suah merupakan bagian pendidikan bagi

konsumen.

Selain memperoleh hak-hak tersebut, dalam pasal 5 UUPK juga

menuliskan kewajiban dari konsumen, yaitu:69

a. Membaca atau mengikuti petunjuk infomasi dan prosedur pemakaian

atau pemanfaatan barang dan/atau jasa , demi keamanan dan

keselamatan;

b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau

jasa;

c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang telah disepakati;

d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan

konsumen secara patut.

Kewajiban konsumen yang tertuang pada Pasal 5 UUPK point a menjadi

penting karena sering pelaku usaha telah menyampaikan peringatan secara jelas

69

(22)

pada label suatu produk, namun konsumen tidak membaca peringatan yang telah

diberikan tersebut. Dengan adanya pemberian kewajiban ini membuat hilangnya

tanggungjawab pelaku usaha, jika konsumen yang bersangkutan menderita

kerugian akibat mengabaikan kewajiban tersebut.70

Kewajiban konsumen untuk beritikad baik hanya tertuju pada transaksi

pembelian barang dan/atau jasa. Tentu hal ini disebabkan karena bagi konsumen,

kemungkinan untuk dapat merugikan produsen mulai pada saat melakukan

transaksi dngan produsen. Berbeda dengan pelaku usaha yang kemungkinan

terjadinya kerugian bagi konsumen dimulai sejak barang dirancang/diproduksi

oleh pelaku usaha.

Kewajiban konsumen mengikuti upaya penyelesaian sengketa

perlindungan konsumen secara patut dianggap sebagai suatu hal yang baru. Sebab

sebelum diundangkannya UUPK hamper tidak dirasakan adanya kewajiban secara

khusus seperti ini didalam perkara perdata. Aadanya kewajiban seperti ini dalam

UUPK dianggap tepat, karena kewajiban ini adalah untuk mengimbangi hak

konsumen untuk mendapatkan upaya penyelesaian sengketa perlindungan

konsumen secara patut.71

2. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha

Undang-undang Perlindungan Konsumen dalam Pasal 6 menetapan ada

lima hal yang menjadi hak dari pelaku usaha, diantaranya ialah:72

70

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, op.cit.,hlm. 48.

71

Ibid,hlm.49.

72

(23)

a. Hak menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai

kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan

b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen

yang beritikad tidak baik

c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam

penyelesaian hukum sengketa konsumen

d. Hak untuk rehabilitasi nama bak apabila terbukti secara hukum bahwa

kerugian konsumen tiak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang

diperdagangkan

e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan

lainnya.

Hak pelaku usaha yang tertuang dalam huruf a menunjukkan bahwa

pelaku usaha tidak dapat menuntut lebih banyak jika kondisi barang dan/atau jasa

yang diberika kepada konsumen tidak atau kurang memadai menurut harga yang

berlaku pada umumnya atas barang dan/atau jasa yang sama.73Mengenai hak

pelaku usaha yang terdapat pad huruf b, c, dan d merupakan hak-hak yang lebih

banyak berhubungan dengan pihak aparat perintah dan/atau Badan Penyelesaian

Sengketa Konsumen/Pegadilan dalam tugasnya melakukan penyelesaian sengketa.

Tentang hak yang tertuang pada huruf e memberikan maksud bahwa

hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Perbankan, Undang-Undang Pangan dan

undang-undang lainnya harus mengingat Undang-Undang Perlindungan

73

(24)

Konsumen. Hal ini disebabkan karena UUPK merupakan payung bagi semua

peraturan lainnya yang berkenaan dengan perlindungan konsumen.74

Sementara itu, kewajiban daripada pelaku usaha yang tertuang dalam pasal

7 dalam UPPK berisikan 7 poin, yakni:75

a. Beritikad baik dalam kegiatan usahanya

b. Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi

dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan,

penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan

c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta

tidak diskriminatif

d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau

diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau

jasa yang berlaku

e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau

mencoba barang dan/atau jasa yang dibuat dan/atau yang

diperdagangkan

f. Memberi kompensasi ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian

akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan atau jasa

yang diperdagangkan

g. Memberi konpensasi ganti rugi dan/atau penggantian bila barang

dan/atau jasa yang dterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan

perjanjian

74

Ibid,hlm.51.

75

(25)

Pada pelaku usaha diberikan kewajiban beritikad baik dalam melakukan

kegiatan usahanya, sedangkan pada konsumen adanya kewajiban beritikad baik

dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa. Terlihat bahwa

UUPK lebih menekankan mengenai itikad baik kepada pelaku usaha karena

meliputi semua tahapan dalam melakukan kegiatan usahanya. Dapat diartikan

bahwa kewajiban pelaku usaha beritikad baik dimulai dari barang dirancang,

diproduksi dan sampai pada tahap penjualan. Hal ini tentu disebabkan karena

kemungkinan terjadinya kerugian bagi konsumen dimulai sejak barang di rancang

oleh pelaku usaha.76

3. Lembaga-lembaga yang Terkait dengan Perlindungan Konsumen

Terkait kelembagaan, UUPK mengamanatkan tidak kurang dari tiga

macam kelembagaan yang dapat berperan dalam perlindungan konsumen. Ketiga

lembaga tersebut ialah Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat

(LPKSM), Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), dan Badan

Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).77

a. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM)

Pasal 1 angka 9 UUPK memberikan pengertian Lembaga

Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat yang selanjutnya

disebut LPKSM adalah lembaga non-Pemerintah yang terdaftar dan

diakui oleh Pemerintah yang mempunyai kegiatan menangani

perlindungan konsumen.

76

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, op.cit.,hlm. 55.

77

(26)

LPKSM harus terdaftar pada pemerintah kabupaten/kota dan bergerak

di bidang perlindungan konsumen sebagaimana tercantum dalam

anggaran dasarnya. Pendaftaran tersebut hanya dimaksudkan sebagai

pencatatan dan bukan merupakan perizinan. Bagi LPKSM yang

membuka kantor perwakilan atau cabang di daerah lain, cukup

melaporkan kantor perwakilan atau cabang tersebut kepada

pemerintah kabupaten/kota setempat dan tidak perlu melakukan

pendaftaran di tempat kedudukan kantor perwakilan cabang tersebut.78

Dalam implementasi perlindungan konsumen, UUPK mengatur tugas

dan wewenang LPKSM yang tertuang dalam pasal 44, yakni sebagai

berikut:79

1) Pemerintah mengakui lembaga perlindungan konsumen swadaya

masyarakat yang memenuhi syarat.

2) Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat memiliki

kesempatan untuk berperan aktif dalam mewujudkan perlindungan

konsumen.

3) Tugas lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat

meliputi kegiatan :

a) Menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan

kesadaran atas hak dan kewajiban dan kehati-hatian konsumen

dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa;

b) Memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukannya;

78

Zulham,Op.cit, hlm.138.

79

(27)

c) Bekerja sama dengn instansi terkait dalam upaya mewujudkan

perlindungan konsumen;

d) Membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya,

termasuk menerima keluhan atau pengaduan konsumenn;

e) Melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat

terhadap pelaksanaan perlindungan konsumen.

Ketentuan Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2001

tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat,

menyatakan bahwa LPKSM dapat bekerja sama dengan organisasi

atau lembaga lainnya, baik yang bersifat nasional maupun

internasional. Di samping itu LPKSM juga dibebani kewajiban untu

melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada pemerintah kabupaten/kota

setiap tahun. Pemerintah dapat membatalkan pendaftaran LPKSM,

apabila LPKSM tersebut tidak lagi menjalankan kegiatan

perlindungan konsumen, atau terbukti melakukan kegiatan

pelanggaran ketentuan UUPK dan Peraturan Pelaksanaannya.80

b. Badan Perlindungan Konsumen Nasional

Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), dibentuk dalam

rangka mengembangkan upaya perlindungan konsumen, yang

berkedudukan di Ibu Kota Negara Republik Indonesia dan

bertanggung jawab kepada presiden. BPKN mempunyai fungsi

80

(28)

memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam upaya

mengembangkan perlindungan konsumen di Indonesia.81

BPKN terdiri atas 15 orang sampai 25 orang anggota yang mewakili

unsur Pemerintah, Pelaku Usaha, Lembaga Perlindugan Konsumen

Swadaya Masyarakat, Akademisi, dan Tenaga Ahli. Masa jabatan

mereka adalah tiga tahun, dan dapat diangkat kembali untuk satu kali

masa jabatan berikutnya.82

Pengembangan upaya perlindungan konsumen dimaksud paling tidak

menunjukkan bahwa, BPKN dibentuk sebagai pengembangan upaya

perlindungan konsumen dalam hal:83

1) Pengaturan hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha

2) Pengaturan larangan-larangan bagi pelaku usaha

3) Pengaturan tanggung jawab pelaku usaha

4) Pengaturan penyelesaian sengketa konsumen

Guna menjalankan fungsinya dalam memberikan saran dan

pertimbangan kepada pemerintah, UUPK pada pasanya yang ke 34

menuliskan tugas dari BPKN, yakni:84

1) Memberikan saran dan rekomendasi kepada Pemerintah dalam

rangka penyusunan kebijaksanaan di bidang perlindungan

konsumen;

81

Ibid.hlm.134.

82

Celina Tri Siwi Kristiyanti,Op.cit, hlm.118

83

Zulham Op.cit, hlm. 135.

84

(29)

2) Melakukan penelitian dan pengkajian terhadap peraturan

perundang-undangan yang berlaku dibidang perlindungan

konsumen;

3) Melakukan penelitian terhaaap barang dan/atau jasa yang

menyangkut keselamatan konsumen;

4) Mendorong berkembangnya lembaga perlindungan konsumen

swadaya masyarakat;

5) Menyebarluaskan informasi melalui media mengenai perlindungan

konsumen dan memasyarakatkan sikap keberpihakan kepada

konsumen;

6) Menerima pengaduan tentang perlindungan konsumen dari

masyarakat, lembga perlindungan konsumen swadaya masyarakat,

atau pelaku usaha;

7) Melakukan survei yang menyangkut kebutuhan konsumen

Untuk melaksanakan tugas-tugasnya, BPKN dibantu oleh suatu

sekretariat yang dipimpin oleh seorang secretariat yang dipimpin oleh

seorang sekretaris yang diangkat oleh Ketua BPKN. Secretariat ini

paling tidak terdiri atas lima bidang, yaitu:85

1) Administrasi dan keuangan

2) Penelitian, pengkajian, dan pengembangan

3) Pengaduan

4) Pelayanan informasi

5) Kerja sama internasional

85

(30)

Pasal 29 dan 30 UUPK mengamanatkan Menteri yang membidangi

perdangangan memiliki tugas untuk mengkoordinasikan pembinaan

dan pengawasan perlindungan konsumen secara nasional. Menteri

yang membidangi perdagangan itu berwenang membentuk tim

koordinasi pengawasan barang dan/atau jasa yang beredar di pasar.

Fungsi tim inipun hanya sebatas memberikan rekomendasi kepada

menteri untuk melakukan tindakan konkret, seperti penghentiaan

produksi atau peredaran barang/jasa yang dinilai melanggar peraturan

yang berlaku.86

c. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen

Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) adalah pengadilan

khusus konsumen yang sangat diharapkan dapat menjawab tuntutan

masyarakat agar proses berperkara berjalan cepat, sederhana dan

murah. Pemeriksaan dilakukan oleh hakim tunggal dan kehadiran

penuh pihak ketiga (pengacara) sebagai wakil pihak yang bersengketa

tidak diperkenankan.87

Badan ini dibentuk di setiap daerah Tingkat II , dan Badan ini

mempunyai anggota-angota dari unsur pmerintah, konsumen dan

pelaku usaha. Setiap unsur tersebut berjumlah tiga orang atau

sebanyak-banyaknya lima orang, yang kesemuanya diangkat dan

diberhentikan oleh Menteri (Perindustrian dan Perdagangan).

Keanggotaan Badan terdiri atas ketua merangkap anggota, wkil ketua

merangkap anggota, dan anggota dengn dibntu oleh sebuah

86

Ibid.hlm.120.

87

(31)

secretariat.88 Untuk dapat diangkat menjadi anggota BPSK, seorang

harus memenuhi syarat umum sebaga berikut:89

1) Warga Negara Republik Indonesia

2) Berbadan sehat

3) Berkelakuan baik

4) Tidak pernah dihukum karena kejahatan

5) Memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang perlindungan

konsumen

6) Berusia sekurang-kurangnya 30 tahun

Adapun syarat khusus untuk menjadi anggota BPSK adalah sebagai

berikut:

1) Diutamakan calon yang bertempat tinggal di daerah kabupaten/kota

setempat.

2) Diutamakan calon yang berpendidikan serendah-rendahnya Strata 1

atau sederajat dari lembaga pendidikan yang telah diakreditasi oleh

Departemen Pendidikan Nasional..

3) Berpengalaman dan/atau berpengetahuan di bidang industri,

perdagangan, kesehatan, pertambangan, pertanian, kehutanan,

perhubungan dan keuangan.

4) Anggota BPSK yang berasal dari unsur pemerintah

serendah-rendahnya berpangkat Pembina atau golongan IV/a.

5) Calon anggota BPSK dari unsur konsumen tidak berasal dari kantor

cabang atau perwakilan LPKSM.

88

Ibid.hlm.127

89

(32)

4. Penyelesaian Sengketa Konsumen

Undang-undang No. 8 Tahun 1999 membagi penyelesaian sengketa

konsumen menjadi 2 bagian, yaitu:

a. Penyelesaian sengketa diluar pengadilan

1) Penyelesaian sengketa secara damai oleh para pihak sendiri

Penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana yang dimaksud

pada pasal 45 ayat (2) UUPK tidak menutup kemungkinan

dilakukannya penyelesaian sengketa secara damai oleh para pihak

yang bersengketa, tanpa melalui pengadilan atau badan

penyelesaian sengketa konsumen, dan sepanjang tidak bertentangan

dengan UUPK.90 Dengan penyelesaian sengketa secara damai

dimaksudkan penyelesaian sengketa antar para pihak, dengan atau

tanpa kuasa/pendamping bagi masing-masing pihak, melalu

cara-cara damai. Perundingan secara-cara musyawaarah dan atau mufakat

antar para pihak yang bersangkutan.91

Dari penjelasan Pasal 45 Ayat (2) UUPK dapat diketahui bahwa

UUPK mengkehendaki agar penyelesaiannya secara damai,

merupakan upaya hukum yang justru harus terlebih dahulu

diusahakan oleh para pihak yang bersengketa, sebelum para pihak

memilih menyelesaiakan sengketa mereka melalui BPSK atau

badan peradilan.92

90

Susanti Adi Nugroho,Op.cit,hlm.99.

91

Az Nasution,Hukum Perlindungan Konsumen,(Diadit Media:Jakarta,2002),hlm.225.

92

(33)

2) Penyelesaian sengketa melalui lembaga yang berwenang

Penyelesaian sengketa konsumen diluar pengadilan diselengarakan

untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti

rugi atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan

terulangnya kembali kerugian yang diderita konsumen.

Penyelesaian sengketa diluar pengadilan juga diharap dapat

memimalisir penumpukan perkara yang ada di pengadilan. 93

Lembaga yang bertugas menyelesaiakan sengketa antara konsumen

dan pelaku usaha di luar pengadilan menurut UUPK adalah Badan

Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).

Dengan adanya BPSK maka penyelesaian sengketa konsumen

dapat dilakukan secara cepat, mudah dan murah. Cepat karena

undang-undang menentukan dalam tenggang waktu 21 hari kerja,

BPSK wajib memberikan putusannya. Mudah karena prosedur

administratif dan proses pengambilan putusan yang sangat

sederhana. Murah terletak pada biaya perkara yang terjangkau.94

Setiap konsumen yang merasa dirugikan oleh pelaku usaha dapat

mengadukan masalahnya kepada BPSK, baik secara langsung,

diwakili kuasanya maupun oleh ahli warisnya. Pengaduan yang

disampaikan oleh kuasa ataupun ahli warisnya hanya dapat

dilakukan apabila konsumen yang bersangkutan dalam keadaan

sakit, meninggal dunia, lanjut usia, belum dewasa atau warga

93

Abdul Halim Barkatulah, Op.cit, hlm. 121.

94

(34)

negara asing. Pengaduan tersebut dapat disampaikan secara lisan

atau tulisan kepada secretariat BPSK di kota/kabupaten temapt

domisili konsumen atau yang terdekat dengan keberadaan domisili

konsumen.95

Penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK dapat dilakukan

melalui tiga cara yakni, konsiliasi, mediasi dan arbitrase.

Penyelesaian sengketa melalui konsiliasi dilakukan inisiatif salah

satu pihak membawa sengketa konsumen kepada BPSK ditangani

majelis BPSK yang bersikap pasif dalam persidangan dengan cara

konsiliasi. Prinsip tata cara penyelesaian sengketa konsumen

dengan cara konsiliasi ada dua. Pertama, proses penyelesaian

sengketa konsumen menyangkut bentuk maupun jumlah ganti rugi

diserahkan sepenuhnya kepada parapihak, sedangkan majelis

BPSK bertindak pasif sebgai konsiliator. Kedua, hasil musyawarah

konsumen dan pelaku usaha dikeluarkan dalam bentuk keputusan

BPSK.

Dengan cara mediasi ditempuh atas inisiatif salah satu pihak atau

para pihak, sama halnya dengan konsiliasi. Keaktifan majelis

BPSK sebagai pemerata dan penasihat. Prinsip tata cara

penyelesaian konsumen dengan cara mediasi ini pun juga terbagi

atas dua. Yang pertama penyelesaian konsumen menyangkut

bentuk maupun jumlah ganti rugi diserahkan sepenuhnya kepada

95

(35)

para pihak. Kedua, hasil musyawarah konsumen dan pelaku usaha

dikeluarkan dalam bentuk BPSK.

Persidangan dengan cara arbitrase sepenuhnya para pihak

menyerahkan kepada BPSK untuk memutus dan menyelesaikan

sengketa konsumen yang terjadi. Penyelesaian melalui arbitrase ini

ditempuh melalui dua tahap. Pertama, para pihak memilih arbiter

dari anggota BPSK yang berasal dari unsur pelaku usaha dan

konsumen sebgai anggota majelies BPSK. Kedua, arbiter yang

dipilih para pihak tersebut kemudian memilih arbiter ketiga dari

anggota BPSK dari unsur pemerintah sebagai Ketua Majelis

BPSK.96

b. Penyelesaian sengketa konsumen melalui proses litigasi

Masuknya suatu sengketa/perdata kedepan pengadilan bukanlah

keinnginan sang hakim melainkan karena inisiatif dari pihak yang

bersengketa. Pengadilan memberikan pemecahan atas hukum perdata

yang tidak bekerja diantara para phak secara sukarela.97

Dalam kasus perdata di Pengadilan Negeri, pihak konsumen yang

diberikan hak mengajukan gugatan menurut pasal 46 UUPK ialah:98

1) Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang

bersangkutan.

2) Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama.

96

Celina Tri Siwi Kristiyanti,Op.cit, hlm.199. 97

Ibid, hlm.175.

98

(36)

Undang-undang ini mengakui adanya gugatan kelompok atau dapat

juga disebut class action.99Class action adalah pranata hukum yang

berasal dari sistem Common Law, namun walaupun semikian,

dibanyak Negara penganut Civil Law, prinsip tersebut diadopsi

termasuk dalam UUPK Indonesia.100 Gugatan kelompok adalah

suatu tata cara pengajuan gugatan untuk diri atau diri mereka sendiri

sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak, yang

memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok

dan anggota kelompok dimaksud. 101 Umumnya class action wajib

memenuhi empat syarat, yakni:102

a) Numerosity ( jumlah orang yang mengajukan harus

sedemikian banyaknya ). Persyaratan ini mengharuskan kelas

yang diwakili (class members) sedemikian besar jumlahnya

karena apabila gugatan diajukan satu demi satu (individual)

sangat tidak praktis dan tidak efisien.

b) Commonality (kesamaan) artinya harus ada kesamaan fakta

maupun question of law antara pihak yang mewakili dan

pihak yang diwakili.

c) Typicality, artinya tuntutan bagi penggugat maupun

pembelaan bagi tergugat pada class action haruslah sejenis.

d) Adequacy of Respresentation (kelayakan perwakilan), artinya

mewajibkan perwakilan kelas (class representatives) untuk

99

Penjelasan Umum Pasal 46 Huruf b Undang-Undang Perlindungan Konsumen

100

Shidarta, Op.cit. hlm.52.

101

Celina Tri Siwi Kristiyanti,Op.cit, hlm.192.

102

(37)

menjamin secara jujur dan adil serta mampu melindungi

kepentingan pihak yang diwakili.

Tujuan dan kegunaan dari class action secara mendasar dapat dilihat

dari segi efisiensi perkara, proses berperkara yang ekonomis,

menghindari putusan yang berulang-ulang yang dapat beresiko

adanya putusan inkonsistensi dalam perkara yang sama. Dengan

adanya class action akan memberi kemudahan bagi konsumen.

karena gugatan seorang akan dapat diterima sebagai class action

bagi pihak lain yang merasa mendapat kerugian yang sama dan

sejenis. Artinya, tidak perlu setiap orang yang dirugikan ikut

menuntut, tetapi dapat dilakukan atas nama seluruh konsumen yang

mendapat kerugian yang sama. 103

3) Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang

memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang

dalam angaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan

didirikannya organisasi itu adalah untuk kepentingan perlindungan

konsumen dan melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran

dasarnya.

Selain daripada gugatan kelompok atau class action, UUPK juga

menerima kemungkinan yang dilakukan oleh lembaga tertentu yang

mempunyai legal standing. Hak yang dimiliki lembaga demikian dikenal dengan hak gugat LSM (NGO’s standing). Dalam definisi LPKSM yang diberikan UUPK dalam Pasal 1 angka 9 dinyatakan

103

(38)

bahwa setiap lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat

itu diwajibkan terdaftar dan diakui oleh pemerintah. Tanpa

pendaftaan dan pengakuan itu, ia tidak dapat menyandang hak

sebagai para pihak dalam proses beracara di pengadilan.104

Terminologi legal standing terkait dengan konsep locus standi atau

prinsip persona standi in judicio. Dimana maksudnya ialah

seseorang yang mengajukan gugatan harus mempunyai hak dan

kualitas sebagai penggugat. Untuk memiliki legal standing dan dapat

mengajukan gugatan, LPKSM harus memenuhi syarat, yaitu

terdaftar dan berbentuk badan hukum yang dalam akta pendiriannya

memuat kegiatannya adalah dibidang perlindungan konsumen.105

4) Pemerintah dan/atau istansi terkait jika barang dan/atau jasa yang

dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang

besar dan/atau korban yang tidak sedikit

Tak banyak pihak yang memilih jalur pengadilan negeri untuk

melakukan penyelesaian sengketa konsumen. Minimnya

masalah-masalah konsumen di pengadilan mungkin disebabkan keengganan

konsumen yang bersifat yuridis, politis, sosiologis.106

104

Ibid,hlm.195.

105

Susanti Adi Nugroho, Op.cit. hlm.296. 106

(39)

C. Tugas dan Wewenang BPSK dalam Menyelesaikan Sengketa Konsumen

1. Latar Belakang Terbentuknya BPSK

Perkembangan masyarakat di bidang bisnis dan bidang ekonomi ternyata

membawa implikasi yang cukup mendasar terhadap pranata dan lembaga hukum

di Indonesia. Implikasi terhadap pranata hukum disebabkan kurang memadainya

perangkat norma untuk mendukung kegiatan bisnis dan ekonomi yang demikian

pesatnya.107 Adapun implikasi dari kegiatan bisnis terhadap lembaga hukum, juga

berakibat terhadap lembaga pengadilan yang dianggap tidak profesional dalam

menangani sengketa bisnis. Akibatnya, lembaga pengadilan dianggap tidak efektif

dan efisien dalam memeriksa, mengadili, serta menyelesaikan sengketa bisnis

yang diajukan.108

Perselisihan atau sengketa yang ditimbulkan dari hubungan antara pelaku

usaha dengan konsumen, selama ini diselesaikan melalui gugatan dipengadilan.

Namun pada kenyataannya, tidak dapat dipungkiri bahwa lembaga pengadilan

tidak akomodatif untuk menampung sengketa konsumen karena proses perkara

yng terlalu lama dan birokratis.109 Yahya Harahap mengemukakan beberapa

kritikan terhadap penyelesaian sengketa melalui jlaur pengadilan, yaitu:110

a. Penyelesaian sengketa melalui pengadilan sangat lambat diakibatkan

oleh pemeriksaan yang sangat formalistik dan sangat teknis. Disamping

itu, arus perkara yang sangat deras mengakibatkan pengadilan dibebani

dengan beban yang terlalu banyak.

107

Zulham,Op.cit, hlm.140.

108

Eman Suparman, Pilihan Foum Arbitrase dalam Sengketa Komersial untuk Penegakan Keadilan,(Jakarta:Tatanusa,2004), hlm.3.

109

Celina Tri Siwi Kristiyanti,Op.cit, hlm.126.

110

(40)

b. Biaya perkara mahal. Biaya perkara dalam proses penyelesaian

sengketa melalui pengadilan dirasakan sangat mahal dikarenakan

lamanya penyelesaian sengketa. Karena semakin lama penyelesaian

sengketa, maka semakin banyak pula biaya yang harus dikeluarkan.

Biaya ini juga semakin bertambah jika diperhitungkan biaya pengacara

yang juga tidak sedikit.

c. Pengadilan pada umumnya tidak responsif. Tidak responsifnya

pengadilan dapat dilihat dari kurang tanggapnya pengadilan dalam

membela dan melindungi kepentingan umum. Demikian pula

pengadilan sering dianggap berlaku tidak adil karena hanya memberi pelayanan dan keleluasaan kepada “lembaga besar” atau “orang kaya”. d. Putusan pengadilan sering dianggap tidak dapat meneyelesaiakan

masalah, bahkan dianggap semakin memperumit masalah karena secara

objektif putusan pengadilan tidak mampu memberikan kedamaian dan

ketentraman pada par pihak.

e. Kemampuan para hakim yang bersifat generalis. Para hakim dianggap

mempunyai keterbatasan terutama dalam abad iptek dan globalisasi

sekarang karena pengetahuan yang dimiliki hanya dibidang hukum

sedangkan di uar itu pengetahuannya bersifat umum, bahkan awam.

Dengan demikan sangat mustahil mampu menyelesaikan sengketa yang

mengandung kompleksitas di segala bidang.

Berdasarkan pasal 45 UUPK, setiap konsumen yang dirugikan dapat

menggugat pelaku usaha melalui pengadilan atau di luar pengadilan. UUPK

(41)

pelaku usaha diluar peradilan, dengan membentuk Badan Penyelesaian Sengketa

Konsumen (BPSK).111

Pembentukan BPSK sendiri didasarkan pada adanya kecenderungan

masyarakat yang segan untuk beracara di pengadilan karena posisi konsumen

yang secara sosial dan finansial tidak seimbang dengan pelaku usaha.

Terbentuknya lembaga BPSK, maka penyelesaian sengketa konsumen dapat

dilakukan secara cepat, mudah dan murah. Proses penyelesaian sengketa di BPSK

adalah sangat sederhana karena di BPSK haya dikenal surat pengaduan konsumen

dan jawaban pelaku usaha , kecuali untuk sengketa yang diselesaikan dengan cara

arbitrase pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk mengajukan pembuktian.

Keberadaan BPSK juga diharapkan akan mengurangi beban tumpukan perkara di

pengadilan.112

2. Kedudukan BPSK Dalam Sistem Penyelesaian Sengketa Konsumen

UUPK pada pasal yang ke 47 menjelaskan bahwa penyelesaian sengketa

diluar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk

dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin

tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita

oleh konsumen. Untuk melengkapi hal tersebut, pemerintah membentuk Badan

Penyelesaian Sengketa Konsumen di daerah tingkat II kabupaten/kotamadya.

BPSK berkedudukan sebagai lembaga yang dapat memeriksa dan

memutus sengketa konsumen, yang bekerja seolah-olah sebagai sebuah

pengadilan. Karena itu BPSK dapat disebut sebagai kuasi peradilan atau kuasi

111

Celina Tri Siwi Kristiyanti,Op.cit, hlm.126

112

(42)

yudisial.113 BPSK menyelesaikan perkara-perkara kecil, atau sengketa konsumen

yang berskala kecil dan bersifat sederhana.114

Badan penyelesaian sengketa konsumen wajib mengeluarkan putusan

paling lambat 21 hari kerja setelah gugatan di terima, hal ini tertulis dalam pasal

55 UUPK. Dalam waktu paling lambat 7 hari kerja semenjak menerima putusan

dari badan penyelesaian sengketa konsumen pelaku usaha wajib melaksanakan

putusan tersebut.

Berdasarkan Peraturan Menteri Perindustrian dan Perdagangan

Nomor:350/MPP/Kep/12/2001 Tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK

dinyatakan bahwa BPSK sebagai lembaga penyelesaian sengketa konsumen diluar

pengadilan menyelesaiakan penyelesaian sengketa dengan cara konsiliasi,

mediasi, atau arbitrase. Penyelesaian sengketa konsumen di BPSK melalui cara

konsiliasi dilakukan sendiri oleh para pihak yang bersengketa didampingi oleh

Majelis yang bertindak sebagai konsiliator. Penyelesaian sengketa konsumen oleh

BPSK dengan cara Mediasi dilakukan sendiri oleh para pihak yang bersengketa

dan didampingi oleh majelis yang bertindak sebagai mediator. Penyelesaian

sengketa konsumen melalui arbitrase dilakukan seenuhnya dan diputuskan oleh

Majelis yang bertindak sebagai arbiter.

Dalam menyelesaiakan sengketa konsumen BPSK membentuk majelis.

Pada pasal 54 ayat yang ke (3) UUPK menyatakan bahwa putusan yang

dikeluarkan oleh majelis bersifat final dan mengikat.

113

Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2014) hlm. 184.

114

(43)

3. Tugas, Fungsi dan Wewenang BPSK

Berdasarkan Pasal 1 angka 11 Undang-undang Perlindungan Konsumen,

BPSK ialah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antar

pelaku usaha dan konsumen. Sengketa yang umumnya yang diselesaikan oleh

BPSK adalah sengketa konsumen yang berskala kecil dan sederhana. BPSK dapat

menyelesaiakan sengketa konsumen yang apa bila dalam sengketa tersebut

terdapat hak-hak konsumen atau pelau usaha yang ditetapkan oleh undang-undang

terlanggar. Pada pasal 45 ayat (1) UUPK meyatakan bahwa setiap konsumen yang

dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas

menyelesaiakan sengketa konsumen. dalam hal ini UUPK membentuk BPSK

sebagai lembaga yang menyelesaiakan konsumen.

Mengenai kerugian yang dialami oleh konsumen, Janus Sidabalok

emberikan klasifikasi peristiwa yang dapat menimbulkan kerugian pada

konsumen, diantaranya :115

a. Perbuatan yang merugikan konsumen sebagai perbuatan wanprestasi.

Pelaku usaha dan konsumen sering mengikatkan diri dalam perjanjian

jual beli, yang dibuat berdasarkan ketentuan pasal 1320 KUHPerdata.

Dalam perjanjian tersebut tertuang mengenai hak dan kewajiban oleh

pelaku usaha maupun konsumen yang dibuat berdasarkan

undang-undang. Perlu diperhatikan mengenai kewajiban-kewajiban pelaku

usaha sebagaimana yang tertuang dalam perjanjian ataupun yang

tertuang dalam undang-undang. Apabila terdapat kewajiban-kewajiban

yang tidak dipenuhi oleh pelaku usaha maka telah terjadinya

115

(44)

wanprestasi yang menyebabkan kerugian terhadap konsumen. Atas

kerugian tersebut, konsumen dapat menggugat pelaku usaha.

b. Perbuatan yang merugikan sebagai perbuatan melawan hukum.

Perbuatan melawan hukum yang dimaksud adalah apabila adanya

perbuatan pelaku usaha yang melanggar hukum. Diantaranya berupa

pelanggaran terhadap hak-hak konsumen, atau pelaku usaha telah

melakukan melakukan perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban

hukumnya sendiri, melanggar kesusilan, ataupun telah melakukan

sesuatu yang bertentangan dengan kepatutan kehidupan masyarakat

dalam menjalankan usahanya, khususnya kepatutan dalam hal

berproduksi dan mengedarkan produknya.

Berdasarkan ketentuan pasal 45 dan melihat klasifikasi penyebab kerugian

terhadap konsumen yang dikemukakan oleh Janus Sidabalok, maka konsumen

dapat juga menggugat pelaku usaha ke BPSK apabila atas wanprestasi yang

dilakukan oleh salah satu pihak telah menyebabkan hilangnya hak-hak yang ada

pada para pihak sebagaimana yang datur pada undang-undang perlindungan

konsumen.

Penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK dilakukan oleh majelis

yang dipilih oleh ketua Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dan dibantu oleh

panitera. Susunan majelis BPSK harus ganjil dengan ketentuan minimal 3 orang

yang mewakili semua unsur sebagai mana yang dimaksud dalam Pasal 54 Ayat

(2) UUPK, yaitu unsur pemerintah, konsumen, dan pelaku usaha.116

116

(45)

Dalam penyelesaian sengketa konsumen dengan cara konsiliasi atau

mediasi, maka yang berwenang untuk menetapkan siapa yang menjadi

personilnya baik sebagai ketua majelis yang berasal dari unsur pemerintah

maupun anggota majelis yang berasal dari unsur konsummen dan unsur pelaku

usaha adalah ketua BPSK. Berbeda dengan arbitrase, ketua BPSK tidak

berwenang untuk menentukan siapa yang akan menjadi ketua majelis dan anggota

majelis. Yang berwenang menentukan siapa yang duduk sebgai majelis adalah

pihak yang bersengketa, para pihak dapat memilih arbiter yang mewakili

kepentingannya.117

Untuk memperlancar tugasnya, BPSK dibantu oleh seretariat yang

dipimpin oleh seorang kepala secretariat dan beberapa anggota secretariat. Kepala

dan anggota sekretariat diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Perindustrian dan

Perdagangan.118

Panitera BPSK berasal dari anggota sekretaariat yang ditetapkan oleh

ketua BPSK. Tugas paintera terdiri dari:119

a. Mencatat jalannya proses penyelesaian sengketa konsumen

b. Menyimpan berkas laporan

c. Menjaga barang bukti

d. Membantu majelis menyusun putusan

e. Membantu penyampaian putusan kepada konsumen dan pelaku usaha

f. Membuat berita acara persidangan

g. Membantu majelis dalam tugas-tugas penyelesaian sengketa

117

Ibid.hlm.81.

118

Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2014) hlm. 185

119

Referensi

Dokumen terkait

Pihak tertentu yang mendukung pembela jaran dengan aneka permainan bahasaberar- gumentasi, bahwa belajar dalam konteks ser bajenaka akan membuahkan hasil lebih sig- nifikan

Simple Additive Weighting berdasarkan sub gejala yang dirasakan oleh pasien untuk mencari nilai preferensi (V) yang diperoleh dari penjumlahan dari perkalian

The information communicated in this presentation contains certain statements that are or maybe forwardlooking. These statements typically contain words such as

Baik batang kayu utuh (balok) maupun batang kayu yang dibelah serta kayu irisan. Rumah ibadat utama Kulawi yang disebut lobo itu kalau di daerah lain, yaitu di

[r]

Statika sederhana berisi tentang: Pengertian istilah (tumpuan, jenis konstruksi, gaya normal dan bidang gaya normal, gaya melintang dan bidang gaya melintang, momen dan

syari‟at. Allah dan Rasul-Nya mengajarkan suatu cara untuk keluar dari kesulitan tersebut, baik dengan cara merubah bentuk taklif , berpindah kepada perbuatan lain atau

Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada yang terhormat Bapak Drs. Muhammad Takari, M.Hum, Ph.D, sebagai Ketua