• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau Menuju Pembangunan Kota Hijau (Studi Kasus di Kota Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau Menuju Pembangunan Kota Hijau (Studi Kasus di Kota Medan)"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

Dalam rangka mendukung penelitian mengenai model pengelolaan RTH menuju pembangunan kota hijau, ada empat area yang harus mendapatkan perhatian, yaitu: RTH dan manfaat ekologisnya; aplikasi sistem informasi geografis dan pemodelan sistem dinamis, serta kebijakan pembangunan kota hijau.

2.1. Ruang Terbuka Hijau

Menurut Fakuara (1987), RTH merupakan ruang yang terdapat tumbuhan atau vegetasi di wilayah perkotaan yang memberikan manfaat lingkungan yang sebesar-besarnya seperti proteksi, rekreasi, estetika dan kegunaan khusus lainnya. Menurut Nurisyah (1997), RTH adalah ruang terbuka yang ditanami dengan tanaman, mulai dari yang bersifat alami (rumput, jalur hijau, taman bermain dan taman lingkungan di daerah pemukiman). Shirvani (1985) mendefinisikan ruang terbuka sebagai keseluruhan lanskap, perkerasan (jalan dan trotoar), taman dan tempat rekreasi di dalam kota. Ruang terbuka tidak harus diisi oleh tumbuhan, atau didalamnya hanya memiliki sedikit tumbuhan. Ruang terbuka dapat berbentuk man made, yang terjadi akibat teknologi, koridor jalan, bangunan tunggal,bangunan majemuk, atau natural seperti hutan-hutan kota, aliran sungai, serta daerah alamiah lainnya yang memang telah ada sebelumnya (Hakim, 2002)

(2)

Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 5/PRT/M/2008, tentang penyediaan dan pemanfaatan RTH di kawasan perkotaan, ruang terbuka terdiri atas Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan Ruang Terbuka Non Hijau (RTNH). Dalam perencanaan ruang kota dikenal istilah ruang terbuka (open space), yaitu tempat terbuka di lingkungan perkotaan. Ruang terbuka (open space) berbeda dengan istilah ruangan luar (exterior space yang merupakan kebalikan dari interior space) yang ada di sekitar bangunan. Ruangan luar merupakan ruangan terbuka yang sengaja dirancang secara khusus untuk kegiatan tertentu, dan digunakan secara intensif, seperti lapangan parkir, lapangan basket, termasuk plaza (piazza) atau square, sedangkan ruang hijau (green space), yang dapat berbentuk jalur (path), seperti jalur hijau jalan, tepian air waduk atau danau, bantaran sungai, bantaran kereta api, saluran/jaringan listrik tegangan tinggi, dan berbentuk simpul (nodes), berupa taman rumah, taman lingkungan, taman kota, taman pemakaman, lahan pertanian kota, dan seterusnya, sebagai ruang terbuka hijau.

(3)

Berbagai referensi pengertian tentang eksistensi nyata sehari-hari, maka RTH : 1. Suatu lapangan yang ditumbuhi berbagai tetumbuhan, pada berbagai strata, mulai dari penutup tanah, semak, perdu dan pohon (tanaman tinggi berkayu); 2. Sebentang lahan terbuka tanpa bangunan yang mempunyai ukuran, bentuk, dan batas geografis tertentu dengan status penguasaan apapun, yang di dalamnya terdapat tetumbuhan hijau berkayu dan tahunan (perennial woody plants), dengan pepohonan sebagai tumbuhan penciri utama dan tumbuhan

lainnya (perdu, semak, rerumputan, dan tumbuhan penutup tanah lainnya), sebagai tumbuhan pelengkap, serta benda-benda lain yang juga sebagai pelengkap dan penunjang fungsi RTH yang bersangkutan (Direktorat Jenderal Penataan Ruang, Departemen Pekerjaan Umum, 2006). Adapun tipologi RTH dapat dilihat pada Gambar 2.1 dibawah ini.

Sumber : Permen PU No.05/PRT/M2008

Gambar 2.1 Tipologi ruang terbuka hijau

RTH memiliki fungsi dan peran khusus pada masing-masing kawasan yang ada pada setiap perencanaan tata ruang kabupaten/kota, yang direncanakan dalam bentuk penataan tumbuhan, tanaman, dan vegetasi, agar dapat berperan

Ruang Terbuka

Hijau

(RTH)

Fisik Fungsi Struktur Kepemilikan

(4)

memberi manfaat optimal bagi ekonomi dan kesejahteraan bagi masyarakat, sebagai berikut.

1. Fungsi bio-ekologis (fisik), yang memberi jaminan pengadaan RTH menjadi bagian dari sistem sirkulasi udara (paru-paru kota), pengatur iklim mikro, agar sistem sirkulasi udara dan air secara alami dapat berlangsung lancar, sebagai peneduh, produsen oksigen, penyerap (pengolah) polutan media udara, air dan tanah, serta penahan angin. Forman dan Godron (1986) mengemukakan bahwa kerapatan vegetasi berpengaruh terhadap kecepatan angin, semakin rapat semakin menghambat kecepatan dibandingkan dengan vegetasi yang longgar. Vegetasi dapat mengubah aliran udara di atas la han dan di sekeliling bangunan. Penempatan dekat bangunan harus selektif karena dapat menghalangi aliran udara ke dalam bangunan.

2. Fungsi sosial, RTH merupakan salah satu sarana bagi masyarakat untuk meningkatkan interaksi sosial baik diantara warga kota, maupun kepada lingkungan sekitarnya (Grey & Deneke 1986). Keberadaan RTH dapat dimanfaatkan sebagai sarana pendidikan, tempat berkumpul, sarana rekreasi, dan tempat ibadah pada waktu-waktu tertentu. Pada bentuk-bentuk yang lain, RTH dapat bermanfaat sebagai pelengkap keindahan, sarana pengaman, pengarah pengguna jalan dan sebagai identitas suatu kota. Tersedianya kawasan hijau, merupakan salah satu aspek yang penting dalam rangka pembangunan nilai-nilai sosial suatu kota (Nagtegaal & Nas 2000).

(5)

pemanfaatan kawasan sebagai objek wisata masyarakat. Potensi sumber daya alam sebagai aset kota dapat dijadikan paket ekowisata (hutan kota sebagai hutan tropis, hutan mangrove), dan pemukiman masyarakat lokal tepi sungai sebagai water front culture tourism, apabila kawasan tersebut dikelola dengan baik akan memberikan pendapatan kepada daerah. (Savage & Kong.2003) 4. Fungsi estetis, RTH meningkatkan kenyamanan, memperindah lingkungan

kota baik dari skala mikro (halaman rumah, lingkungan pemukiman) maupun makro (lansekap kota secara keseluruhan). Mampu menstimulasi kreativitas dan produktivitas warga kota. Juga bisa berekreasi secara aktif maupun pasif, seperti: bermain, berolahraga, atau kegiatan sosialisasi lain, yang sekaligus menghasilkan keseimbangan kehidupan fisik dan psikis. Selain itu, dapat tercipta suasana serasi, dan seimbang antara berbagai bangunan gedung, infrastruktur jalan dengan pepohonan hutan kota, taman kota, taman kota pertanian dan perhutanan, taman gedung, jalur hijau jalan, bantaran rel kereta api, serta jalur hijau bantaran sungai.

5. Ekosistem perkotaan : RTH sebagai produsen oksigen, tanaman berbunga, berbuah dan berdaun indah, serta bisa menjadi bagian dari usaha pertanian, kehutanan, dan lain-lain.

2.2. Konsep Kota Hijau (Green City)

(6)

ramah lingkungan dengan memanfaatkan secara efektif dan efisien sumberdaya air dan energi, mengurangi limbah, menerapkan sistem transportasi terpadu, menjamin kesehatan lingkungan, mensinergikan lingkungan alami dan buatan, berdasarkan perencanaan dan perancangan kota yang berpihak pada prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan.

Konsep ini sesuai dengan pendekatan-pendekatan yang disampaikan Ebenezer Howard (1965) tentang garden city. Konsep ini menjawab kebutuhan masyarakat akan kehidupan yang nyaman dan dapat berintegrasi dengan lingkungan alam. Oleh karena itu, konsep sangat relevan dengan konsep kota hijau berkelanjutan. Garden city merupakan wujud kota berkelanjutan dari empat fisik berikut ini :

1. Jalan layak huni dan lingkungan : elemen ini menggabungkan adanya integrasi antara pepohonan, taman, ruang terbuka, udara yang bersih dari polusi

2. Integrasi dari aktifitas masyarakat, seperti bekerja, bermukim, berbelanja, kegiatan rekreasi dan rohani yang ditempatkan dalam zoning yang mudah diakses.

3. Batasan kota digunakan sebagai sabuk hijau yang berfungsi untuk mencegah pemekaran kota

4. Jarak tempuh dan fasilitas pendukungnya, membuat suasana nyaman bagi orang berjalan dan juga mendukung prinsip transportasi untuk kota berkelanjutan.

(7)

pada kebutuhan terhadap rencana pengembangan kota dan kota-kota baru yang memperhatikan kondisi ekologis lokal dan meminimalkan dampak merugikan dari pengembangan kota, selanjutnya juga memastikan pengembangan kota yang dengan sendirinya menciptakan aset alami lokal.

Wildsmith (2009), green city (kota hijau) juga dapat disebut sustainable city (kota yang berkelanjutan) atau eco-city (kota berbasis ekologi), yaitu kota yang dalam melaksanakan pembangunan didesain dengan mempertimbangkan lingkungan sehingga fungsi dan manfaatnya dapat berkelanjutan. Green city dapat terwujud jika masyarakat yang tinggal di dalamnya melakukan penghematan (minimalisasi) pemanfaatan energi dan air. Selain itu juga melakukan minimisasi buangan penyebab panas, serta melakukan pencegahan pencemaran air dan udara. Selain elemen-elemen tersebut Wildsmith (2009) juga menambahkan elemen sosial dan budaya. Sehingga green city merupakan kota yang melakukan pembangunan berkelanjutan secara ekonomi, sosial, dan ekologi sehingga tercipta keseimbangan diantara manusia dan alam. (Rushayati, 2012).

(8)

dalam perkembangan dan pembangunannya mampu memenuhi kebutuhan masyarakat masa kini, mampu berkompetisi dalam ekonomi global dengan mempertahankan keserasian lingkungan tanpa mengabaikan kemampuan generasi mendatang dalam pemenuhan kebutuhan penduduknya (Agustina 2007).

Roseland (1997) mendefinisikan green city sebagai eco-city, yaitu kota yang berbasis ekologi dengan beberapa upaya yang dapat dilakukan sebagai berikut :

1. Merevisi penataan penggunaan lahan agar menjadi lebih memperhatikan kebutuhan akan ruang terbuka hijau dan kenyamanan di pusat-pusat permukiman dan area dekat transportasi,

2. Perlu memperhatikan kebutuhan transportasi ramah lingkungan,

3. Merehabilitasi lingkungan perkotaan yang rusak (sungai, pantai, lahan basah),

4. Mendukung kegiatan penghijauan, pertanian masyarakat lokal, 5. Sosialisasi daur ulang limbah, teknologi inovatif tepat guna,

6. Menciptakan keadilan sosial dengan memberikan kesempatan pada wanita dan orang cacat untuk berperan serta menikmati pembangunan,

7. Mendorong pertumbuhan ekonomi yang berbasis ekologi yaitu dengan menurunkan limbah dan polusi, serta menggunakan bahan baku yang tidak berbahaya bagi lingkungan,

8. Mensosialisasikan penghematan pemanfaatan sumberdaya alam,

(9)

Kriteria konsep kota hijau (green city) menurut (P2KH-Kementerian PU 2011) adalah

1. Pembangunan kota harus sesuai peraturan UU yang berlaku, seperti UU 24/2007: Penanggulangan Bencana (Kota hijau harus menjadi kota waspada bencana), UU 26/2007: Penataan Ruang, UU 32/2009: Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dll.

2. Konsep zero waste (Pengolahan sampah terpadu, tidak ada yang terbuang). 3. Konsep zero run-off (Semua air harus bisa diresapkan kembali ke dalam

tanah, konsep ekodrainase).

4. Infrastruktur hijau (tersedia jalur pejalan kaki dan jalur sepeda).

5. Transportasi hijau (penggunaan transportasi massal, ramah lingkungan berbahan bakar terbarukan, mendorong penggunaan transportasi bukan kendaraan bermotor - berjalan kaki, bersepeda, delman/dokar/andong, becak.

6. Ruang terbuka hijau seluas 30 persen dari luas kota (RTH publik 20 persen, RTH privat 10 persen)

7. Bangunan hijau

8. Partisispasi masyarakat (komunitas hijau) Dasar hukum perwujudan kota hijau :

1. UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (pasal 29) 30 persen dari wilayah kota berwujud ruang terbuka hijau (RTH), 20 persen RTH Publik dan 10 persen RTH Privat.

(10)

3. UU No. 6 Tahun 1994 tentang pengesahan United Nations Framework Convention on Climate Change (konvensi kerangka kerja perserikatan bangsa-bangsa mengenai perubahan iklim)

4. PP No. 15 tahun 2010 tentang penyelenggaraan penataan ruang (Pasal 36) 5. Perpres No. 61 tahun 2011 tentang RAN GRK (penurunan emisi)

Beberapa pendekatan kota hijau yang dapat diterapkan dalam manajemen pengembangan kota adalah :

Pendekatan pertama adalah smart green city planning. Pendekatan ini terdiri atas 5 konsep utama yaitu konsep kawasan berkeseimbangan ekologis yang bisa dilakukan dengan upaya penyeimbangan air, CO2, dan energi.

1. Konsep desa ekologis yang terdiri atas penentuan letak kawasan, arsitektur, dan transportasi dengan contoh penerapan antara lain: kesesuaian dengan topografi, koridor angin, sirkulasi air untuk mengontrol klimat mikro, efisiensi bahan bakar, serta transportasi umum.

2. Konsep kawasan perumahan berkoridor angin (wind corridor housing complex), dengan strategi pengurangan dampak pemanasan. Caranya,

dengan pembangunan RTH, pengontrolan sirkulasi udara, serta menciptakan kota hijau.

3. Konsep kawasan pensirkulasian air (water circulating complex). Strategi yang dilakukan adalah daur ulang air hujan untuk menjadi air baku.

4. Konsep taman tadah hujan (rain garden).

(11)

yang menerus dalam hubungan urban dan rural serta merupakan landscape productive.

Pendekatan ketiga adalah integrated tropical city. Konsep ini intinya adalah memiliki perhatian khusus pada aspek iklim, seperti perlindungan terhadap cuaca, penghutanan kota dengan memperbanyak vegetasi. Kelebihan dari konsep kota hijau adalah dapat memenuhi kebutuhan keberadaan RTH di suatu kawasan, sehingga dapat mengurangi bahkan memecahkan masalah lingkungan, bencana alam, polusi udara rendah, bebas banjir, rendah kebisingan dan permasalahan lingkugan lainnya.

2.3. Strategi Penyediaan RTH di Perkotaan

2.3.1. Strategi Penyediaan RTH Berdasarkan Luas Wilayah

Penyediaan RTH berdasarkan luas wilayah di perkotaan adalah sebagai berikut: ruang terbuka hijau di perkotaan terdiri dari RTH publik dan RTH privat; proporsi RTH pada wilayah perkotaan adalah sebesar minimal 30 persen yang terdiri dari 20 persen ruang terbuka hijau publik dan 10 persen terdiri dari ruang terbuka hijau privat; apabila luas RTH baik publik maupun privat di kota yang bersangkutan telah memiliki total luas lebih besar dari peraturan atau perundangan yang berlaku, maka proporsi tersebut harus tetap dipertahankan keberadaannya.

(12)

2.3.2. Strategi Penyediaan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk

Untuk menentukan luas RTH berdasarkan jumlah penduduk, dilakukan dengan mengalikan antara jumlah penduduk yang dilayani dengan standar luas RTH perkapita sesuai peraturan yang berlaku.

Tabel 2.1. Penyediaan RTH berdasarkan jumlah penduduk

No Unit

Pemakaman disesuaikan 1,2 tersebar

5 480.000

jiwa

Taman kota 144.000 0,3 di pusat wilayah/ kota

Hutan kota disesuaikan 4,0 di dalam/ kawasan

pinggiran

(13)

2.4. Arahan Penyediaan RTH Pada Bangunan/Perumahan 2.4.1. RTH Pekarangan

Pekarangan adalah lahan di luar bangunan, yang berfungsi untuk berbagai aktivitas. Luas pekarangan disesuaikan dengan ketentuan koefisien dasar bangunan (KDB) di kawasan perkotaan, seperti tertuang di dalam PERDA mengenai RTRW di masing-masing kota. Untuk memudahkan di dalam pengklasifikasian pekarangan maka ditentukan kategori pekarangan sebagai: 2.4.2. Pekarangan Rumah Besar

Ketentuan penyediaan RTH untuk pekarangan rumah besar adalah sebagai berikut:

1. Kategori yang termasuk rumah besar adalah rumah dengan luas lahan di atas 500 m2

2. Ruang terbuka hijau minimum yang diharuskan adalah luas lahan dikurangi luas dasar bangunan sesuai peraturan daerah setempat;

3. Jumlah pohon pelindung yang harus disediakan minimal 3 (tiga) pohon pelindung ditambah dengan perdu dan semak serta penutup tanah dan atau rumput.

2.4.3. Pekarangan Rumah Sedang

Ketentuan penyediaan RTH untuk pekarangan rumah sedang adalah sebagai berikut:

1. Kategori yang termasuk rumah sedang adalah rumah dengan luas lahan antara 200 m2 sampai dengan 500 m2

(14)

3. Jumlah pohon pelindung yang harus disediakan minimal 2 (dua) pohon pelindung ditambah dengan tanaman semak dan perdu, serta penutup tanah dan atau rumput.

2.4.4. Pekarangan Rumah Kecil

Ketentuan penyediaan RTH untuk pekarangan rumah kecil adalah sebagai berikut:

1. Kategori yang termasuk rumah kecil adalah rumah dengan luas lahan dibawah 200 m2

2. RTH minimum yang diharuskan adalah luas lahan dikurangi luas dasar bangunan sesuai peraturan daerah setempat;

3. Jumlah pohon pelindung yang harus disediakan minimal 1 (satu) pohon pelindung ditambah tanaman semak dan perdu, serta penutup tanah dan atau rumput.Keterbatasan luas halaman denganjalan lingkungan yang sempit, tidak menutup kemungkinan untuk mewujudkan RTH melaluipenanaman dengan menggunakan pot atau media tanam lainnya. 2.4.5 RTH Halaman Perkantoran, Pertokoan, dan Tempat Usaha

RTH halaman perkantoran, pertokoan,dan tempat usaha umumnya berupa jalur trotoar dan area parkir terbuka. Penyediaan RTH pada kawasan ini adalah sebagai berikut:

1. Tingkat KDB 70 persen - 90 persen perlu menambahkan tanaman dalam pot;

(15)

3. Persyaratan penanaman pohon pada perkantoran, pertokoan dantempat usaha dengan KDB dibawah 70 persen, berlaku seperti persyaratan pada RTH pekarangan rumah, dan ditanam pada area diluar KDB yang telah ditentukan.

2.4.6. RTH Dalam Bentuk Taman Atap Bangunan (Roof Garden)

Pada kondisi luas lahan terbuka terbatas, maka untuk RTH dapat memanfaatkan ruang terbuka non hijau,seperti atap gedung, teras rumah, teras-teras bangunan bertingkat dan disamping bangunan, dan lain-lain.

2.5. Arahan Penyediaan RTH Pada Lingkungan/Permukiman 2.5.1. RTH Taman Rukun Tetangga

Taman Rukun Tetangga (RT) adalah taman yang ditujukan untuk melayani penduduk dalam lingkup 1 (satu) RT, khususnya untuk melayani kegiatan sosial di lingkungan RT tersebut. Luas taman ini adalah minimal 1 m2 per penduduk RT, dengan luas minimal 250 m2. Lokasi taman berada pada radius kurang dari 300 m dari rumah-rumah penduduk yang dilayani. Luas area yang ditanami tanaman (ruang hijau) minimal seluas 70 persen – 80 persen dari luas taman. Pada taman ini selain ditanami dengan berbagai tanaman,juga terdapat minimal 3 (tiga) pohon pelindung dari jenis pohon kecil atau sedang.

2.5.2. RTH Taman Rukun Warga

(16)

rumah-rumah penduduk yang dilayaninya. Luas area yang ditanami tanaman (ruang hijau) minimal seluas 70 persen – 80 persen dari luas taman, sisanya dapat berupa pelataran yang diperkeras sebagai tempat melakukan berbagai aktivitas. Pada taman ini selain ditanami dengan berbagai tanaman sesuai keperluan, juga terdapat minimal 10 (sepuluh) pohon pelindung dari jenis pohon kecil atau sedang.

2.5.3 RTH Kelurahan

RTH kelurahan dapat disediakan dalam bentuk taman yang ditujukan untukmelayani penduduk satu kelurahan. Luas taman ini minimal 0,30 m2 per penduduk kelurahan, denganluas minimal taman 9.000 m2.. Lokasi taman berada pada wilayah kelurahan yang bersangkutan.Luas area yang ditanami tanaman (ruang hijau) minimal seluas 80 persen – 90 persen dari luas taman, sisanya dapat berupa pelataran yang diperkeras sebagai tempat melakukan berbagai aktivitas. Pada taman ini selain ditanamidengan berbagai tanaman sesuai keperluan, juga terdapat minimal 25 (duapuluh lima) pohon pelindung dari jenis pohon kecil atau sedang untuk jenis taman aktif dan minimal 50 (limapuluh) pohon pelindung dari jenis pohon kecil atau sedang untuk jenis taman pasif.

2.5.4. RTH Kecamatan

(17)

Pada taman ini selain ditanami dengan berbagai tanaman sesuai keperluan, juga terdapat minimal 50 (lima puluh) pohon pelindung dari jenis pohon kecil atau sedang untuk taman aktif dan minimal 100 (seratus) pohon tahunan dari jenis pohon kecil atau sedang untuk jenis taman pasif.

2.6. Arahan penyediaan RTH pada kawasan kota/perkotaan 2.6.1 RTH Taman Kota

RTH Taman kota adalah taman yang ditujukan untuk melayani penduduk satu kota atau bagian wilayah kota. Taman ini melayani minimal 480.000 penduduk dengan standar minimal 0,3 m2 per penduduk kota, dengan luas taman minimal 144.000 m2. Taman ini dapat berbentuk sebagai RTH (lapangan hijau), yang dilengkapi dengan fasilitas rekreasi dan olah raga, dan kompleks olah raga dengan minimal RTH 80 persen – 90 persen. Semua fasilitas tersebut terbuka untuk umum. Jenis vegetasi yang dipilih berupapohon tahunan, perdu, dan semak ditanam secara berkelompok atau menyebar berfungsi sebagai pohon pencipta iklim mikro atau sebagai pembatas antar kegiatan.

2.6.2 Hutan Kota

Hutan kota (urban forest) ialah ruang terbuka yang ditumbuhi vegetasi berkayu di wilayah perkotaan yang memberikan manfaat lingkungan sebesar-besarnya keapada penduduk perkotaan dalam kegunaan-kegunaan proteksi, estetika, rekreasi dan kegunaan khusus lainnya. Tujuan penyelenggaraan hutan kota adalah sebagai peyangga lingkungan kota yang berfungsi untuk:

a. Memperbaiki dan menjaga iklim mikro dan nilai estetika; b. Meresapkan air;

(18)

d. Mendukung pelestarian dan perlindungan keanekaragaman hayati Indonesia.

Hutan kota dapat berbentuk begerombol, menyebar dan jalur :

a. Bergerombol atau menumpuk: hutan kota dengan komunitas vegetasi terkonsentrasi pada satu areal, dengan jumlah vegetasi minimal 100 pohon dengan jarak tanam rapat tidak beraturan;

b. Menyebar: hutan kota yang tidak mempunyai pola bentuk tertentu, dengan luas minimal 250 m2. Komunitas vegetasi tumbuh menyebar terpencar-pencar dalam bentuk rumpun atau gerombol-gerombol kecil;

c. Luas area yang ditanami tanaman (ruang hijau) seluas 90 persen – 100 persen dari luas hutan kota;

d. Berbentuk jalur: hutan kota pada lahan-lahan berbentuk jalur mengikuti bentuk sungai, jalan, pantai, dan saluran. Lebar minimal hutan kota bentuk jalur adalah 30 m.

2.6.3. Sabuk Hijau

Sabuk hijau merupakan RTH yang berfungsi sebagai daerah penyangga dan untuk membatasi perkembangan suatu penggunaan lahan (batas kota, pemisah kawasan, dan lain-lain) atau membatasi aktivitas satu dengan aktivitas lainnya agar tidak saling mengganggu, serta pengamanan dari faktor lingkungan sekitarnya. Sabuk hijau dapat berbentuk:

(19)

2. Hutan kota; kebun campuran, perkebunan, pesawahan, yang telah ada sebelumnya (eksisting) dan melalui peraturan yang berketetapan hukum, dipertahankan keberadaannya.

Fungsi lingkungan sabuk hijau:

1. Peredam kebisingan; mengurangi efek pemanasan yang diakibatkan oleh radiasi energi matahari; penapis cahaya silau; mengatasi penggenangan; daerah rendah dengan drainase yang kurang baik sering tergenang air hujan yang dapat mengganggu aktivitas kota serta menjadi sarang nyamuk. 2. Penahan angin; untuk membangun sabuk hijau yang berfungsi sebagai

penahan angin perlu diperhitungkan beberapa faktor yang meliputi panjang jalur, lebar jalur.

3. Mengatasi intrusi air laut; RTH hijau di dalam kota akan meningkatkanresapan air, sehingga akan meningkatkan jumlah air tanah yang akan menahan perembesan air laut ke daratan.

4. Penyerap dan penepis bau; mengamankan pantai dan membentuk daratan 2.6.4. RTH Jalur Hijau Jalan

RTH jalur hijau jalan disediakan dengan penempatan tanaman antara 20 persen – 30 persen dari ruang milik jalan (rumija) sesuai dengan klas jalan.Untuk menentukan pemilihan jenis tanaman, perlu memperhatikan 2 (dua) hal, yaitu fungsi tanaman dan persyaratan penempatannya. Disarankan agar dipilih jenis tanaman khas daerah setempat, yang disukai oleh burung-burung, serta tingkat evapotranspirasi rendah.

(20)

pemisah yang membagi jalan menjadi dua lajur atau lebih. Median atau pulau jalan dapat berupa taman atau non taman.

2.7. Sistem Informasi Geografis

Badan Informasi Geospasial (BIG) menjabarkan SIG sebagai suatu sistem yang saling terkait antara satu dengan yang lain. SIG sebagai kumpulan yang terorganisir dari perangkat keras komputer, perangkat lunak, data geografi dan personel yang didesain untuk memperoleh, menyimpan, memperbaiki, memanipulasi, menganalisis, serta menampilkan semua bentuk informasi yang bereferensi geografi. Prahasta (2002) mendefinisikan SIG sebagai alat bantu yang sangat esensial dalam menyimpan, memanipulasi, menganalisis dan menampilkan kembali kondisi-kondisi alam dengan bantuan data atribut dan spasial. Dengan demikian, SIG merupakan sistem komputer yang memiliki empat kemampuan berikut dalam menangani data yang bereferensi geografi a) masukan, b) manajemen, c) analisis dan manipulasi data serta d) keluaran (Aronoff, 1989).

(21)

Data yang diolah pada SIG ada 2 (dua) macam yaitu data Geografis (data spasial dan data non-spasial). Data spasial adalah data yang berhubungan dengan kondisi geografi misalnya sungai, wilayah administrasi, gedung, jalan raya dan sebagainya. Data spasial didapatkan dari peta, foto udara, citra satelit, data statistik dan lain-lain. Hingga saat ini secara umum persepsi manusia mengenai bentuk representasi entity spasial adalah konsep raster dan vector. Sedangkan data non-spasial adalah selain data spasial yaitu data yang berupa text atau angka, biasanya disebut dengan atribut.

Data non-spasial ini akan menerangkan data spasial atau sebagai dasar untuk menggambarkan data spasial. Dari data non-spasial ini nantinya dapat dibentuk data spasial. Misalnya jika ingin menggambarkan peta penyebaran penduduk maka diperlukan data jumlah penduduk dari masing-masing daerah (data non-spasial), dari data tersebut nantinya kita dapat menggambarkan pola penyeberan penduduk untuk masing–masing daerah.

Secara konseptual sebuah teknologi SIG harus mempunyai kemampuan sebagai berikut:

a. Lokasi, SIG harus mampu menunjukkan lokasi keberadaan suatu objek berdasarkan gambar yang disajikan pada peta. Lokasi objek didiskripsikan sebagai cara untuk mencapainya, misalnya nama tempat, kode pos, atau dapat pula menggunakan kedudukan objek secara geografis seperti garis lintang dan garis bujur.

(22)

c. SIG mampu menunjukkan perubahan yang terjadi pada objek tertentu, setelah selang beberapa waktu.

d. Pola, SIG harus mampu memberi informasi tentang pola suatu objek pada daerah tertentu, misalnya pencemaran pada daerah industri, kesibukan lalu lintas dan sebagainya.

e. Pemodelan, SIG harus mampu membuat suatu pemodelan untuk mengembangkan sistem, misalnya: apa yang terjadi jika dilakukan penambahan jaringan jalan. (Prahasta, 2001).

2.8. Penginderaan Jauh

Penginderaan jauh/remote sensing adalah ilmu dan untuk memperoleh informasi suatu objek, daerah atau fenomena untuk melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah atau fenomena yang dikaji. Dengan menggunakan berbagai sensor kita mengumpulkan data dari jarak jauhmyang dapat dianalisis untuk mendapatkan informasi tentang objek, daerah atau fenomena yang diteliti (Lillesand dan Kiefer, 1979).

Data penginderaan jauh dapat berupa citra dan data numerik. Data tersebut dapat dianalisis untuk mendapatkan informasi tentang objek, daerah atau fenomena yang diteliti. Analisis data penginderaan jauh memerlukan rujukan seperti peta tematik, data statistik dan data lapang. Informasi yang diperoleh dapat dimanfaatkan untuk pengambilan keputusan (F. Sri Hardiyanti, 2001). Data hasil penginderaan jauh merupakan salah satu bentuk data yang digunakan dalam Sistem Informasi Geografis.

(23)

rekaman suatu objek (biasanya berupa gambaran pada foto) yang dihasilkan dengan cara optik, elektro optik, optik mekanik atau elektronik. Menurut Lillesand dan Kiefer (1979) di dalam penginderaan jauh istilah ”foto” diperuntukan secara esklusif bagi citra yang dideteksi dan direkam pada film.

Citra satelit ikonos adalah citra satelit resolusi tinggi yang diluncurkan tanggal 24 September 1999. Satelit ini merupakan satelit sipil pertama yang menggunakan sensor dengan resolusi spasial tinggi, yaitu 4 meter multispektral (XS) dan 1 meter pankromatik (PAN).

Citra satelit Ikonos sangat sesuai untuk aplikasi yang meminta tingkat detail dan akurasi yang tinggi. Salah satu unsur yang digambarkan dalam peta tematik tersebut adalah unsur tumbuhan seperti sawah, kebun / perkebunan, hutan, semak belukar, ladang, tanah kosong, dan lahan reklamasi. Kamera satelit dapat membedakan obyek-obyek pada permukaan bumi hingga ukuran 1 mx 1 m, tetapi tidak dapat melihat individu manusia. (Giada S.2003).

(24)

2.9. Pendekatan Sistem Dinamik 2.9.1. Defenisi

Sistem dinamik pertama kali diperkenalkan oleh Jay W. Forrester di Massachussetts Institute of Technology (MIT) pada tahun 1950-an, merupakan suatu metode pemecahan masalah-masalah kompleks yang timbul karena adanya kecenderungan sebab-akibat dari berbagai macam variabel di dalam sistem. Metode sistem dinamik pertama kali diterapkan pada permasalahan manajemen seperti fluktuasi inventori, ketidakstabilan tenaga kerja, dan penurunan pangsa pasar suatu perusahaan. Hingga saat ini aplikasi metode sistem dinamik terus berkembang semenjak pemanfaatannya dalam bidang-bidang sosial dan ilmu-ilmu fisik.

Berikut ini pengertian sistem dinamik adalah sebagai berikut :

a. Sistem dinamik adalah suatu metode analisis permasalahan dimana waktu merupakan salah satu faktor penting, dan meliputi pemahaman bagaimana suatu sistem dapat dipertahankan dari gangguan di luar sistem, atau dibuat sesuai dengan tujuan dari pemodelan sistem yang akan dibuat (Coyle, 1996).

b. Sistem dinamik adalah metodologi untuk memahami suatu masalah yang kompleks. Metodologi ini dititikberatkan pada kebijakan dan bagaimana kebijakan tersebut menentukan tingkah laku masalah-masalah yang dapat dimodelkan oleh sistem dinamik (Richardson dan Pugh, 1986).

(25)

pemodelan kuantitatif dan analisis kebijakan dari struktur sistem dan kontrol (Wolstenholme, 1989).

d. Sistem dinamik adalah suatu bidang untuk memahami bagaimana sesuatu berubah menurut waktu. Sistem ini dibentuk oleh persamaan-persamaan diferensial. Persamaan diferensial digunakan untuk masalah-masalah biofisik yang diformulasikan sebagai keadaan di masa datang yang tergantung dari keadaan sekarang (Forrester, 1999).

2.9.2. Pemodelan Dinamik

Pemodelan merupakan alat bantu dalam pengambilan keputusan. Model didefinisikan sebagai suatu penggambaran dari suatu sistem yang telah dibatasi. Sistem yang dibatasi ini merupakan sistem yang meliputi semua konsep dan variabel yang saling berhubungan dengan permasalahan dinamik (dynamic problem) yang ditentukan (Rhichardson dan Pugh, 1986). Model yang dikembangkan dengan sistem dinamik mempunyai karakteristik sebagai berikut :

a. Menggambarkan hubungan sebab akibat dari sistem b. Sederhana dalam mathematical nature

c. Sinonim dengan terminologi dunia industri, ekonomi, dan sosial dalam tatanama

d. Dapat melibatkan banyak variabel

e. Dapat menghasilkan perubahan yang tidak kontinyu jika dalam keputusan memang dibutuhkan (Forrester, 1999).

(26)

dalam asumsi-asumsi yang dibuat sehingga kesepakatan atas asumsi-asumsi dapat diperoleh. Model dinamik menekankan pada proses perubahan dari satu kondisi ke kondisi lainnya. Karena perubahan memakan waktu, delay menjadi hal penting dalam pemodelan dinamik. Apabila dalam model statis tingkat variabel keadaan dan kelakuan sistem yang lalu menentukan tingkat stok dan kelakuan sistem sekarang, maka dalam model sistem dinamik hubungan temporal hanya berlaku untuk tingkat stok saja dan tidak untuk kelakuan sistem. Kelakuan sistem pada saat sekarang tidak dapat diterangkan oleh kelakuannya pada waktu yang lalu, melainkan oleh mekanisme interaksi struktur mikro dalam sistem (Tasrif, 2004).

Dalam menyusun model dinamik terdapat tiga bentuk alternatifn yang dapat digunakan (Muhammadi et al., 2001), yaitu :

a. Verbal

Model verbal adalah model sistem yang dinyatakan dalam bentuk kata-kata. b. Visual (analog model kualitatif)

Deskripsi visual dinyatakan secara diagram dan menunjukkan hubungan sebab akibat banyak variabel dalam keadaan sederhana dan jelas. Analisis deskripsi visual dilakukan secara kualitatif.

c. Matematis

Model visual dapat direpresentasikan ke dalam bentuk matematis yang merupakan perhitungan-perhitungan terhadap suatu sistem. Semua bentuk perhitungannya bersifat ekuivalen, yang mana setiap bentuk berperan sebagai alat bantu untuk dimengerti bagi yang awam.

2.9.3. Pendekatan Sistem Dinamik

(27)

pengaruh dari luar namun dianggap disebabkan oleh struktur internal sistem. Tujuan metodologi sistem dinamik berdasarkan filosofi kausal (sebab akibat) adalah mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang tata cara kerja suatu sistem (Asyiawati, 2002). Tahapan dalam pendekatan sistem dinamik adalah : a. Identifikasi dan definisi masalah

b. Konseptualisasi sistem c. Formulasi model d. Simulasi model e. Analisa kebijakan f. Implementasi kebijakan

Tahapan dalam pendekatan sistem dinamik ini diawali dan diakhiri dengan pemahaman sistem dan permasalahannya sehingga membentuk suatu lingkaran tertutup. Proses dari pendekatan sistem dinamik dapat dilihat pada gambar 2.3.

(28)

Implementasi model

Pemahaman sistem Analisa

Identifikasi masalah kebijakan

Simulasi Konseptualisasi

model sistem

Formulasi model

Gambar 2.2. Tahapan pendekatan sistem dinamik (Widayani, 1999)

Selanjutnya, konseptualisasi model dilakukan atas dasar permasalahan yang didefinisikan. Ini dimulai dengan identifikasi komponen atau variabel yang terlibat dalam pemodelan. Variabel-variabel tersebut kemudian dicari interrelasinya satu sama lain dengan menggunakan ragam metode seperti diagram sebab akibat (causal), diagram kotak panah (stock and flow), dan diagram sekuens (aliran). Konseptualisasi model ini memberikan kemudahan bagi pembaca agar dapat mengikuti pola pikir yang tertuang dalam model sehingga menimbulkan pemahaman yang lebih mendalam atas sistem (Purnomo, 2003).

(29)

persamaan matematik (Purnomo, 2003).

Pada prinsipnya, model sistem dinamik dapat dinyatakan dan dipecahkan secara numerik dalam sebuah bahasa pemrograman. Perangkat lunak khusus untuk sistem dinamik telah banyak tersedia seperti Dynamo, Stella, Powersim, Vensim, Ithink, dan lain-lain. Pemilihan Powersim sebagai perangkat lunak untuk simulasi model adalah karena kemudahan dan kecanggihannya yang terus berkembang. Dalam powersim, model kualitatif disajikan dalam bentuk grafik dari satu atau lebih variabel terhadap waktu. Pada model yang telah dibuat, data kuantitatif berupa data, informasi dimasukkan dengan mengklik variabel-variabel yang tersedia seperti level, rate, auxiliary, dan konstanta dan kemudian nilai/formula dimasukkan ke dalam variabel-variabel tersebut. Selanjutnya, metode numerik dan time step dapat dipilih untuk mengkalkulasi model (Muhammadi et al., 2001).

(30)

2.10. Proses Hierarki Analitik

Proses hierarki analitik lebih dikenal dengan istilah Analytical Hierarchy Process (AHP), diperkenalkan oleh Thomas L Saaty dalam bukunya "The Analytic Hierarchy Process" (1990). AHP merupakan salah satu dari beberapa

model pendakatan Multi-Attribute Decision Modelling (MADM). AHP adalah prosedur yang berbasis matematis yang sangat baik dan sesuai untuk kondisi evaluasi atribut-atribut kualitatif. Atribut-atribut tersebut secara matematikdikuantitatifkan dalam satu set perbandingan berpasangan.

Kelebihan AHP dibandingkan dengan yang lain karena adanya struktur yang berhierarki, sebagai konsekuensi dari kriteria yang dipilih, sampai kepada sub-sub kriteria yang paling mendetil. Prosedur ini memperhitungkan validitas sampai dengan batas toleransi inkonsistensi berbagai kriteria dan alternatif yang dipilih oleh para pengambil keputusan. Karena menggunakan input persepsi manusia, model ini dapat mengolah data yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif. Sehingga kompleksitas permasalahan yang ada disekitar kita dapat didekati dengan baik oleh model AHP ini. Selain itu, AHP memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah yang multi-objektif atau multi-kriteria yang didasarkan pada perbandingan preferensi dari tiap elemen dalam hierarki. Jadi model ini merupakan suatu model pengambilan keputusan yang komprehensif.

(31)

sehingga akhirnya terdapat elemen-elemen yang spesifik atau elemen-elemen yang dapat dikendalikan dicapai dalam situasi konflik.

Dalam menyelesaikan persoalan dengan AHP ada prinsip-prinsip AHP yang harus dipahami, diantaranya adalah: decomposition, comparatif judgement, syntesis of priority, dan logical consistency.

1. Decomposition. Setelah persoalan didefinisikan, maka perlu didekomposisi, yaitu dengan cara memecah persoalan yang utuh menjadi unsur-unsurnya. Jika ingin mendapatkan hasil yang akurat, pemecahan juga dilakukan terhadap unsur-unsur sampai tidak mungkin dilakukan pemecahan lebih lanjut, sehingga didapatkan beberapa tingkatan persoalan. Karena alasan ini, maka proses analisis ini dinamakan hierarki (hierarchy).

2. Comparative judgment. Prinsip ini berarti membuat penilaian tentang kepentingan relatif dua elemen pada suatu tingkatan tertentu dalam kaitannya dengan tingkatan diatasnya. Penilaian ini merupakan inti dari AHP, karena ia akan berpengaruh terhadap prioritas elemen-elemen. Hasil penilaian ini akan lebih mudah disajikan dalam bentuk matriks pairwise comparison. Agar diperoleh skala yang bermanfaat, ketika membandingkan dua elemen seseorang yang akan memberi jawaban perlu memiliki pengertian yang menyeluruh tentang elemen-elemen yang dibandingkan dan relevansinya terhadap kriteria atau tujuan yang dipelajari.

(32)

pairwise comparison terdapat pada setiap tingkat, maka untuk mendapatkan global priority harus dilakukan sintesa diantara local priority. Prosedur melakukan sintesa akan berbeda-beda menurut bentuk

hierarki. Pengurutan elemenelemen menurut kepentingan relatif melalui prosedur sintesa, yang dinamakan priority setting.

4. Logical consistency. Konsistensi memiliki dua makna. Pertama adalah bahwa objek-objek yang serupa dapat dikelompokkan sesuai dengan keseragaman dan relevansi (misalnya, anggur dan kelereng dapat dikelompokkan dalam himpunan yang seragam jika bulat adalah kriterianya). Kedua adalah menyangkut tingkat hubungan antar objek-objek yang didasarkan pada kriteria tertentu; misalnya, jika A>B dan B>C, maka seharusnya A>C.

2.11. Tinjauan Studi-studi Terdahulu Tentang Kajian Ruang Terbuka Hijau Batasan RTH pada kawasan perkotaan menjadi persoalan yang perlu disikapi secara arif dengan lahirnya Permendagri No.69 Tahun 2007 tentang Kerja Sama Pembangunan Perkotaan. Pendefinisian kawasan perkotaan dalam Permendagri tersebut adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat pemukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.

(33)

kawasan perkotaan atau dikenal dengan urban green open space (UGOS). Hasil penelitian terdahulu membahas persoalan dampak yang disebabkan perubahan penggunaan lahan khususnya ketersediaan RTH.

William dan Joan (1995) tentang taman kota : green spaces atau green walls menyatakan taman sebagai fitur lansekap kota memiliki banyak fungsi yaitu

sebagai penyedia rekreasi pasif dan aktif, manfaat lingkungan, dan habitat satwa liar. Penelitian ini mengeksplorasi konsep bahwa taman kota juga dapat berfungsi sebagai lansekap batas memisahkan lingkungan dari karakteristik sosial-ekonomi yang berbeda. Empat taman di lingkungan Boston's Roxbury dan North Dorchester sebagai lokasi penelitian untuk mengevaluasi hipotesis bahwa taman yang terletak di antara lingkungan yang berbeda sosioekonomi berfungsi sebagai lanskap batas.

Aji (2000) pada penelitiannya mengenai pengelolaan ruang terbuka hijau menyebutkan bahwa pengelolaan RTH pada dasarnya ditopang oleh tiga pilar utama, yaitu instrumen produk rencana tata ruang yang mengakomodasi keberadaan RTH; instrumen peraturan perundangan yang mendukung keberadaan RTH; dan praktek pengelolaan RTH yang dikembangkan

(34)

berlanjut belum cukup memadai, terutama jika dikaitkan dengan penataan ruang wilayah kota. Namun permasalahannya terletak pada pembuatan dan pelaksanaan peraturan tersebut, karena masih kurang tegasnya pemerintah dalam menanggulangi dan menyelamatkan RTH yang ada di perkotaan. Berbagai program yang direncanakan oleh lembaga yang berwenang berpotensi untuk mewujudkan RTH binaan tersebut terutama pemilihan tananam langka lokal sebagai tanaman penghijauan. Selain itu, yang turut menyukseskan RTH binaan adalah kesatuan visi dan misi serta peningkatan koordinasi diantara lembagalembaga terkait. Rendahnya penegakan peraturan oleh pemerintah dan masyarakat menyebabkan banyaknya kasus alih fungsi RTH sementara proses refungsionalisasinya tidak mudah, misalnya karena alih fungsi itu terjadi secara legal dan menyangkut kepentingan umum (Kumar, 2002).

(35)

menghindari konflik dengan bidang hijau. Pada skala kota, tiga jalur hijau utama, termasuk city-wall circular greenway, Inner-Qinhuai River greenway, and canopy-road greenway, yang dirancang sebagai kerangka untuk mengarahkan

lokasi ruang hijau baru, konfigurasi dan kontinuitas, dan untuk menghubungkan taman yang ada RTH ini dilengkapi dengan sistem jejak yang komprehensif untuk mendorong gerakan jalan kaki dan bersepeda yang lebih disukai masyarakat dan pemerintah. Pada skala lingkungan, sebuah organisasi ruang hijau, terdiri dari ruang terbuka publik perumahan, trotoar teduh dan strip riparian, sesuai dengan geometri jaringan. Sebagai badan penghubung yang baik, daerah ini memberikan kesempatan bagi warga untuk memiliki kontak sehari-hari dengan alam. Secara keseluruhan, the three-tiered green space system menyediakan modus alternatif bagi pengembangan perkotaan dengan didominasi transportasi konvensional, untuk mengantarkan peningkatan substansial dalam kualitas lanskap lingkungan dan untuk menambah gagasan kota yang berkelanjutan

(36)

pendekatanpendekatan model dinamika perkotaan ditinjau dari teori dan sudut pandang praktis.

Nurisjah (2005) dalam penelitiannya mengungkapkan kapasitas fisik dan kualitas lingkungan yang dibutuhkan untuk mewujudkan konsep sistem kota yang berkelanjutan menentukan ketersediaan bentuk, fungsi, serta pola distribusi dan konfigurasi RTH yang sesuai dengan dan mendukung kondisi fisik kota tersebut.

Radnawati (2005) melakukan evaluasi RTH kota secara spasial sebagai kawasan konservasi air dengan melalui pendekatan model konservasi air dan revegetasi yang menunjang kawasan konservasi air. Pada penelitian tersebut dilakukan beberapa tahapan diantaranya adalah tahap menganalisis hubungan antara penggunaan lahan dan kawasan konservasi air permukaan menggunakan model aplikasi konservasi air. Terakhir, hasil analisis tersebut digunakan untuk memberikan arahan revegetasi dan membuat zonasi kawasan kota yang dapat meningkatkan kemampuan kawasan sebagai daerah resapan air.

(37)

PSS MedAction. Hasil penelitian ini juga berpendapat bahwa aspek teknis dan ilmiah sistem pendukung kebijakan (PSS) bukan satu-satunya elemen yang menentukan dalam praktek penggunaannya.

Penelitian analisis spasial nilai kenyamanan dari ruang terbuka hijau oleh Cho et al. (2008) bertujuan untuk menentukan variasi spasial dalam nilai kenyamanan bagi kuantitas dan kualitas ruang terbuka hijau di industri perumahan. Variabel yang berhubungan dengan ukuran, kedekatan, konfigurasi spasial, dan komposisi jenis ruang terbuka adalah faktor dari dalam pada model global dan lokal dalam kerangka hedonic price. Bukti empiris menunjukkan bahwa kenyamanan dari variasi fitur ruang terbuka berdasarkan pada tingkat urbanisasi. Bermacam-macam landskap dengan hutan di beberapa tempat, hutan alam, hutan buatan lebih dihargai di daerah pedesaan. Sebaliknya, hutan gugur dan hutan campuran , kawasan hutan, hutan buatan yang sering dipangkas lebih dihargai di daerah perkotaan. Nilai kenyamanan dari berbagai variasi spasial berbeda antar daerah metropolitan, kebutuhan pengelolaan penggunaan lahan untuk lokasi spesifik sesuai karakteristik lokal.

(38)

hijau yang sebenarnya relevan dalam tujuan. Pendekatan A mixed logit digunakan untuk menunjukkan efek dari nilai-nilai yang mendasari preferensi.

Tulisan Seth et al. (2008) tentang penilaian manfaat hutan kota dengan pendekatan hedonic tata ruang adalah mengukur manfaat dari hutan kota dengan memeriksa dampaknya pada harga perumahan. Sebuah sistem informasi geografis digunakan untuk mengembangkan ukuran dari hutan kota, the Normalised Difference Vegetation Index, dari citra satelit dan untuk membangun variabel lain

dari berbagai sumber serta memperhitungkan spasial model harga hedonik perumahan untuk daerah Indianapolis/County Marion. Hasil model menunjukkan bahwa vegetasi hijau di sekitar properti memiliki efek positif yang signifikan pada harga perumahan. Temuan ini menunjukkan bahwa pemilik properti yang memiliki ruang terbuka hijau, setidaknya sebagian, mereka mau membayar lebih untuk hidup di lingkungan yang lebih hijau dengan vegetasi yang lebih padat. Temuan ini juga menunjukkan bahwa tindakan masyarakat untuk mempertahankan dan meningkatkan hutan kota dapat dibenarkan.

(39)

Indung (2012), hasil dari penelitian ini adalah bahwa perubahan tutupan lahan kota yang cenderung didominasi permukaan kedap air, dan menurunkan tutupan lahan bervegetasi (RTH) berpengaruh nyata terhadap penurunan kapasitas tanah menahan air limpasan yang berpotensi meningkatkan kejadian banjir, selain itu berkurangnya tutupan lahan dengan vegetasi/pohon (RTH) kota telah menurunkan kapasitas ekosistem kota dalam mengatasi semakin memburuknya. Kualitas udara kota karena polutan dan pesatnya laju peningkatan emisi CO2

Gambar

Gambar 2.1  dibawah ini.
Tabel 2.1. Penyediaan RTH berdasarkan jumlah penduduk
Gambar 2.2. Tahapan pendekatan sistem dinamik (Widayani, 1999)

Referensi

Dokumen terkait

In addition, the existing hierarchy of effect model is not completely accommodate the phenomenon of today’s information technology that gave birth to many new social media

glukosa darah setelah pemberian madu, gula putih, dan gula merah pada orang.. Universitas

The goal of this essay, based on the case study of the Bardon Grange Allotment Project (BGAP) that was initiated by Leeds Student Un- ion (LSU) in January 2009, is to understand

Pelacakan pergerakan wajah dengan wire frame 3 dimensi ini menggunakkan model wire frame wajah yang merupakan kumpulan titik koordinat dalam 3 dimensi untuk mengestimasi pose dari

pattern yang salah. Tabel 5.22 terlihat hasil pencocokkan string pada Aplikasi Istilah Akuntansi menggunakan Algoritma Reverse Colussi.. Gambar 6 Form menu Utama. Pada

Alat ini terdiri dari Rangkaian Pengatur Arus Konstan untuk menghasilkan arus yang sesuai dengan kapasitas baterai dan relatif tidak berubah sehingga mampu digunakan sebagai alat

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa intensitas aset tetap dan pertumbuhan perusahaan merupakan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pemilihan model revaluasi

Contoh dari dictionary based coding adalah Lempel Ziv Welch dan contoh dari statistical based coding adalah Huffman Coding dan Arithmetic Coding yang merupakan