“DISKURSUS AMANDEMEN KELIMA UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 DALAM TINJAUAN SOSIOLOGI HUKUM”
ABD. GAFUR SANGADJI NPM: 1306493796
UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS HUKUM
PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM PEMINATAN HUKUM KENEGARAAN
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perubahan besar atas naskah UUD 1945 yang semula hanya terdiri atas 16 bab, 37 pasal, 49 pasal Aturan Peralihan serta 2 ayat Aturan Tambahan melalui proses empat kali amandemen maka UUD 1945 terdiri atas 21 bab, 73 pasal, dan 170 ayat, 3 pasal Aturan Peralihan, serta 2 pasal Aturan Tambahan.1 Namun setelah empat kali perubahan tersebut2,
ada dorongan dari masyarakat untuk kembali melakukan perubahan kelima atas Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 agar kelemahan-kelemahan yang masih terdapat dalam UUD 1945 dapat diperbarui.
Hasil perubahan UUD 1945 secara keseluruhan yang terjadi pada awal reformasi dipandang belum sesuai dengan sistem ketatanegaraan ideal yang hendak diwujudkan, aspirasi bangsa, perkembangan zaman, dan kebutuhan bangsa sekarang dan ke depan. Oleh karena itu, muncul gagasan yang mendorong dan memperjuangkan terjadinya perubahan kelima UUD 1945 pada masa yang akan datang.3
Pada awalnya, ide perubahan kelima UUD 1945 adalah untuk menyempurnakan kewenangan struktur lembaga negara (DPD RI) yang diatur pada Pasal 22D UUD 19454
1 Lihat Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945:
Buku I Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002, Edisi Revisi, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010), hal. 4.
2 Secara substansial, Undang-Undang Dasar Negara 1945 mengalami perubahan mendasar sejak perubahan
pertama sampai perubahan keempat dalam kurun waktu 1999-2002. Perubahan-perubahan itu telah meliputi materi yang sangat banyak sehingga mencakup lebih dari tiga kali lipat jumlah muatan asli UUD 1945. Jika naskah asli UUD 1945 berisi 71 butir ketentuan, setelah empat kali perubahan, kini jumlah materi muatan UUD 1945 seluruhnya mencakup 199 butir ketentuan. Dengan demikian dapat dikatakan meskipun namanya tetap merupakan UUD 1945, tetapi dari sudut isinya dapat dikatakan merupakan konstitusi baru sama sekali dengan nama resmi “Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Lihat Jimly Asshiddiqie, Perihal Amandemen Konstitusi Indonesia, kata pengantar dalam Denny Indrayana, Amandemen UUD 1945: Antara Mitos dan Pembongkaran, (Bandung: Penerbit Mizan, cetakan kedua, 2007), hal. 31.
3 Lihat Eksistensi DPD RI 2009-2013: Untuk Daerah dan NKRI, (Jakarta: Kelompok DPD RI di MPR RI,
2013), hal. 45.
4 Menurut Pasal 22D UUD 1945 diatur bahwa: (1) Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan
karena kewenangan tersebut dinilai masih “terbatas”, tidak seimbang dengan kewenangan yang dimiliki DPR. Ide pembentukan Dewan Perwakilan Daerah semula dimaksudkan untuk mereformasi struktur parlemen Indonesia menjadi dua kamar (bikameral) yang terdiri atas DPR dan DPD. Dengan struktur bikameral itu diharapkan proses legislasi dapat diselenggarakan berdasarkan sistem double-check yang memungkinkan representasi basis sosial yang lebih luas. DPR merupakan representasi politik (political representation), sedangkan DPD mencerminkan prinsip representasi teritorial atau regional (regional representation).5
Meskipun pada awalnya ide perubahan kelima UUD 1945 dilatarbelakangi oleh upaya politik untuk memperkuat kewenangan DPD RI, namun dalam naskah komprehensif yang diusulkan DPD RI, substansi (materi) perubahan kelima UUD 1945 tidak hanya terbatas pada isu penguatan kewenangan DPD RI, tetapi menyangkut penyempurnaan secara komprehensif sistem ketatanegaraan yang harus diatur pada naskah konstitusi. Pokok-pokok usul perubahan kelima UUD 1945 adalah: 1) Penguatan Sistem Presidensial, 2) Penguatan Lembaga Perwakilan, 3) Penguatan Otonomi Daerah, 4) Calon Presiden Perseorangan, 5) Pemisahan Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal, 6) Foum Previlegiatum bagi Pejabat Publik, 7) Optimalisasi Peran Mahkamah Konstitus, 8) Penambahan Pasal Hak Asasi Manusia, 9) Komisi Negara, dan 10) Penajaman Bab tentang Pendidikan dan Perekonomian Nasional.6
Wacana perubahan kelima UUD 1945 juga didukung oleh masyarakat. Besarnya dukungan terhadap amandemen kelima UUD 1945 juga sejalan dengan hasil survei yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) dimana mayoritas responden mendukung penguatan DPD RI sebagaimana tercermin dalam hasil survei LSI pada bulan Desember 2011. Sebanyak 58,1% responden menyatakan dukungan terhadap penguatan fungsi legislasi DPD RI.7
Wacana perubahan kelima UUD 1945 berangkat dari sebuah pemikiran mendasar bahwa kelemahan dan ketidaksempurnaan konstitusi sebagai hasil karya manusia adalah suatu hal yang pasti.8 Bahkan kelemahan dan ketidaksempurnaan UUD 1945 telah dinyatakan
untuk ditindaklanjuti; dan (4) Anggota Dewan Perwakilan Daerah dapat diberhentikan dari jabatannya, yang syarat-syarat dan tata caranya diatur dalam undang-undang.
5 Lihat Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2010), hal. 119.
6 Lihat Pokok-Pokok Usul Perubahan Kelima Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
(Jakarta: Kelompok DPD RI di MPR RI, 2013), hal. 11-22.
7 Eksistensi DPD RI 2009-2013, Op.Cit., hal. 59.
8 Lihat Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum yang Demokratis, (Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer, 2009),
oleh Soekarno pada rapat pertama PPKI tanggal 18 Agustus 1945.9 Karena itu, wacana
perubahan kelima dilakukan agar UUD 1945 terus menjadi living and working constitution. 10
Seiring dengan dinamisnya praktik sistem ketatanegaraan tentu konstitusi harus dapat menyesuaikan dengan kekinian dan masa depan. Amandemen konstitusi dipandang tidak cukup hanya dengan perubahan yang parsial, namun hendaknya merupakan sebuah konsep perbaikan yang lebih komprehensif dan berorientasi masa depan.11
Wacana perubahan kelima UUD 1945 sangat terkait juga dengan konsep sosiologi hukum dimana hukum dalam perspektif sosiologi hukum dilihat sebagai alat untuk mengubah masyarakat. Pemikiran ini berangkat dari gagasan Roscoe Pound tentang hukum sebagai
social engineering.12 Hukum sebagai social ngineering berkaitan dengan fungsi dan
keberadaan hukum sebagai pengatur dan penggerak perubahan masyarakat. Karena itu, menurut Roscoe Pound, hak-hak bagaimana yang harus diatur oleh hukum dan hak-hak seperti apa yang yang dapat dituntut oleh individu dalam kehidupan bermasyarakat. Pound mengemukakan bahwa yang merupakan hak adalah kepentingan atau tuntutan-tuntutan yang diakui, diharuskan, dan dibolehkan secara hukum, sehingga tercapai suatu keseimbangan dan terwujudnya apa yang dimaksud dengan ketertiban umum. 13
Bila hukum merupakan suatu social control dan sekaligus dapat dijadikan agent of change, maka hubungan menurut prinsip, konsep, atau aturan, standar tingkah laku, doktrin-doktrin, dan etika profesi, serta semua yang dilakoni oleh “individu” dalam usaha memuaskan kebutuhan atau kepentingan harus dijamin dalam aturan hukum.
Menurut Selo Soemarjan tentang perubahan sosial bahwa perubahan-perubahan sosial adalah segala perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap-sikap, dan pola-pola perilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat.Hukum harus berperan sebagai perubahan sosial karena pada dasarnya di dunia ini tidak terlepas dari perubahan
9 Dalam pidatonya Soekarno menyatakan: “tuan-tuan semuanya tentu mengerti bahwa undang-undang dasar
yang (kita) buat sekarang ini adalah undang-undang dasar sementara. Kalau saya memakai perkataan: “ini adalah undang-undang dasar kilat”. Nanti kalau kita telah bernegara di dalam suasana yang lebih tentram, kita tentu akan mengumpulkan kembali majelis perwakilan rakyat yang dapat membuat undang-undang dasar yang lebih lengkap dan lebih sempurna.” Lihat Muhammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jilid Pertama, (Jakarta: Yayasan Prapanca, 1959), hal. 410.
10 Lihat Naskah Akademik Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
(Jakarta: Kelompok DPD RI di MPR RI, 2011), hal. 1.
11 Ibid.
terhadap suatu lingkungan, baik lingkungan fisik, lingkungan biologis, maupun lingkungan sosial manusia. 14
Jika dilihat dari muatan materi yang menjadi usul amandemen kelima UUD 1945, maka materi perubahan kelima UUD 1945 tidak hanya menyangkut perubahan pada institusi-institusi negara terkait dengan fungsi dan kewenangannya, tetapi juga berkaitan dengan jaminan atas hak-hak masyarakat. Karena itu, perubahan konstitusi merupakan sebuah keniscayaan untuk mendorong hukum sebagai alat pengubah masyarakat.
B. Rumusan Masalah
Dalam makalah ini, permasalahan yang diurai adalah bagaimana perspektif sosiologi hukum dalam wacana perubahan kelima UUD 1945. Apakah perubahan kelima UUD 1945 mengandung semangat untuk menjadikan hukum sebagai alat pengubah masyarakat? Apakah muatan materi perubahan kelima UUD 1945 juga mengandopsi materi-materi yang terkait dengan hak-hak sosial masyarakat?
C. Kerangka Teori 1. Negara Hukum
Dari sejarah perkembangan ide-ide negara hukum, gagasan tentang negara hukum makin menemukan ciri-cirinya seperti yang kita kenal sekarang sejak abad ke-19. Di Eropa Daratan (Kontinental) yang menganut tradisi civil law, hal itu ditandai dengan diterimanya gagasan Rechtsstaat serta Rule of Law di negara-negara Anglo-Saxon, khususnya Inggris yang menganut tradisi common law. 15
Konsep Rechtsstaat secara longgar sering diterjemahkan sebagai law state, rule of law, atau “a state governed by law”. Namun menurut Bockenforde bahwa negara hukum mengandung pengertian lebih daripada sekadar tentang suatu pemerintahan menurut hukum, melainkan juga menekankan pada kebebasan, persamaan, dan otonomi dari tiap-tiap individu di dalam kerangka suatu tertib hukum yang ditentukan oleh undang-undang dan dijalankan oleh pengadilan yang independen.16
14 Lihat Soerjono Soekanto, Bebeberapa Permasalahan Hukum dalam Kerangka Pembangunan di Indonesia,
(Jakarta: UI Press, 1983), hal. 12.
15 Lihat I Gede Palguna, Pengaduan Konstitusional (Constitutional Complaint), (Jakarta: Sinar Grafika, 2013),
hal. 79-80.
16 Lihat Ernst-Wolfgang Bockenforde dalam Donald P. Kommers, The Constitutional Jurisprudence of the
Tujuan utama Rechtsstaats adalah untuk melindungi kebebasan individu warga negara dari kekuasaan negara. Ini merupakan konsepsi Rechtsstaat yang liberal, yang menurut Carls Shmitt dinberi batasan dan pengertian khusus yang sekaligus merupakan ciri-cirinya, yaitu: 17
1. Suatu negara dianggap sebagai Rechtsstaat jika campur tangan terhadap kemerdekaan individu dilakukan semata-mata atas dasar undang-undang.
2. Suatu negara dianggap sebagai Rechtsstaat jika seluruh aktivitasnya sepenuhnya tercakup dalam sekumpulan kewenangan yang batas-batasnya ditentukan secara pasti. Di sini yang menjadi prinsip fundamentalnya adalah pembagian dan pemisahan kekuasaan.
3. Perlunya independensi atau kemerdekaan hakim.
Secara sempit, definisi negara hukum (rule of law) mengandung arti harfiah bahwa masyarakat harus taat pada hukum dan diatur oleh hukum. Sementara secara luas, mengutip pemikiran Thomas Carothers bahwa rule of law didefinisikan sebuah sistem dimana hukum-hukum dipahami oleh publik, jernih maknanya, dan diterapkan secara sama pada semua orang. Hukum menjaga dan menyokong kebebasan sipil dan politik yang telah memperoleh status sebagai hak-hak asasi manusia universal. Karena itu, siapapun yang disangka atas suatu kejahatan memiliki hak atas perlakuan yang adil (prompt hearing) dan praduga tidak bersalah sampai dinyatakan bersalah. Lembaga-lembaga utama dari sistem hukum, termasuk pengadilan, kejaksaan, dan kepolisian harus berlaku adil, kompeten, dan efisien. Para hakim harus bersikap imparsial dan independen, tidak dipengaruhi atau dimanipulasi oleh politik. Yang terpenting juga, pemerintah menyatu dalam suatu kerangka hukum yang menyeluruh, para pejabatnya menerima bahwa hukum akan diterapkan pada perilaku mereka sendiri, dan pemerintah harus taat pada hukum.18
Sementara itu, menurut Kleinfeld, terdapat dua tujuan negara hukum. Pertama,
membatasi kesewenang-wenangan dan penggunaan yang tidak semestinya dari kekuasaan negara. Dimana negara hukum adalah konsep payung bagi beberapa instrumen hukum dan kelembagaan demi melindungi warga negara dari kekuasaan negara. Fungsi kedua,
melindungi kepemilikan dan keselamatan warga dari pelanggaran dan serangan warga lainnya.19
17 Lihat Carl Schmitt, Constitutional Theory (translated and edited by Jeffresy Seitzer), (Durham and London:
Duke University Press, 2008), hal. 173-175 sebagaimana dikutip oleh I Gede Palguna, Ibid., hal. 81.
18 Lihat Adriaan W. Bedner, Suatu Pendekatan Elementer terhadap Negara Hukum, dalam Sulistyowati dkk,
Kajian Sosio Legal, (Denpasar: Pustaka Larasan, Universitas Indonesia, Universitas Leiden, Universitas Groningen, 2012), hal. 53.
19 Lihat Kleinfeld, Competing Definitions of Rule of Law, dalam T. Caronthers (ed.), Promoting the Rule of Law
Unsur-unsur negara hukum menurut Kleinfeld terdiri dari tiga elemen penting dari sebuah negara hukum: elemen prosedur, elemen substantif, dan elemen mekanisme kontrol (lembaga-lembaga pengawal negara hukum).20 Kategori pertama, elemen prosedur, yang
terdiri dari:
Pemerintahan dengan hukum (rule by law), yakni negara memerintah dengan hukum. Pemerintah dengan hukum umumnya dilawan dengan pemerintah oleh orang-orang (rule by men). Sementara di sisi lain, pemerintahan dengan hukum sering juga disandingkan dengan negara hukum (rule of law). Namun demikian rule of law memiliki makna yang lebih vital.
Tindakan negara tunduk pada hukum. Pemerinthan dengan hukum adalah mensyaratkan landasan hukum untuk tiap tindak-tanduk negara yang biasa disebut dengan prinsip legalitas yakni pembentukan hukum memerlukan landasan hukum dan pemerintah harus patuh pada aturannya sendiri.
Legalitas formal. Dalam arti hukum harus jelas dan pasti muatannya, mudah diakses dan bisa diprediksi pokok perkaranya, serta diterapkan pada semua orang.
Demokrasi. Demokrasi merujuk pada makna persetujuan menentukan atau mempengaruhi muatan dan tindakan hukum. Secara teoritis, hukum akan adil apabila dibentuk dengan persetujuan umum. Ada juga pemikiran untuk tidak memasukan demokrasi ke dalam konsep negara hukum karena demokrasi memiliki medan penelitian yang berbeda. Dalam studi ilmu politik dan pembangunan, demokrasi memiliki tempat yang tersendiri. Walaupun begitu, cara-cara demokrasi bukan merupakan sesuatu cara hukum, melainkan sebagai cara-cara politis – meskipun aturan-aturan demokratis dapat juga dimasukkan ke dalam hukum.21
Kategori kedua, elemen-elemen substantif, yang terdiri dari:
Subordinasi semua hukum dan interpretasinya terhdap prinsip-prinsip fundamental dan keadilan. Elemen penting dari negara hukum adalah keadilan dan proses peradilan yang baik (due process).
Perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan perorangan. Pemajuan hak asasi sosial.
20 Pembahasan lebih lanjut dari unsur-unsur negara hukum menurut Kleinfeld dapat dibaca pada Adriaan W.
Bedner, Ibid., hal. 55-76.
21 Menurut Jimly Asshiddiqie, perbedaaan antara demokrasi dan negara hukum dapat dilihat dari ciri utama
Perlindungan hak kelompok.
Kategori ketiga, mekanisme kontrol (lembaga-lembaga pengawal negara hukum): Lembaga peradilan yang independen. Dimana independensi peradilan pada umunya
dikenal sebagai elemen formal dari negara hukum. Namun, independensi peradilan memiliki makna lebih dari sebuah elemen formal. Peradilan adalah aktor, yang memiliki tugas untuk menjamin pemerintah dan warga negaranya mematuhi batasan-batasan yang ditentukan.
Lembaga-lembaga pengawal negara hukum lainnya. Pentingnya lembaga-lembaga pengawal negara hukum lainnya didasarkan pada pemikiran bahwa semakin kompleksnya organisasi negara yang mengarah pada meningkatnya spesialisasi dalam menjalankan fungsi negara, maka perlunya lembaga-lembaga kontrol lainnya dalam menegakan hukum dan hak asasi manusia, misalnya saja, lembaga seperti Ombudsman, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi Pemberantasan Korupsi, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, dan sebagainya.
2. Konstitusionalisme dan Konstitusi
Konstitusionalisme secara luas telah diakui sebagai prasyarat baik bagi negara demokrasi maupun yang negara hukum dan telah diterima sebagai keniscayaan dalam pemahaman modern. Konstitusionalisme disandarkan pada tiga elemen kesepakatan (consensus) yaitu: 1) kesepakatan tentang tujuan atau cita-cita bersama (the general goals of society or general accaptance of the philosophy of government); 2) kesepakatan tentang rule of law sebagai landasan pemerintahan atau penyelenggaraan negara (the basic of governement’; dan 3) kesepakatan tentang bentuk institusi-institusi dan prosedur-prosedur ketatanegaraan (the form of institusions and procedures). Karena itu, konstitusionalisme berisikan pokok bahasan yang jauh lebih luas dan lebih kompleks dari pokok bahasan yang terlihat tentang konstitusi itu sendiri. 22
Menurut Ismail Suny, paham konstitusionalisme adalah suatu pemerintahan yang dibatasi oleh ketentuan-ketentuan yang termuat dalam konstitusi. Pemerintahan yang berdasarkan pada sistem konstitusi (hukum dasar) berarti negara tidak berdasarkan pada absolutisme (kekuatan yang tidak terbatas). Dengan demikian, suatu konstitusi atau sistem konstitusional adalah fondasi negara, yang mengatur pemerintahan, membagi kekuasaan secara spesifik, dan mengatur tindakan pemimpin. Dalam negara yang bersifat konstitusional, kedudukan konstitusi lebih fundamental daripada ketentuan-ketentuan lain. Konstitusi harus
benar-benar merupakan a written fundamental law yang mengatur struktur pemerintahan, merumuskan kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif dan melindungi hak-hak warga negara. Dalam negara yang bersifat konstitusional, UUD tidak boleh mengalah pada kemauan partai/golongan atau satu partai golongan atau pada kehendak seorang pemimpin atau pemimpin-pemimpin yang berkuasa.23
Menurut Hakim Konstitusi Abdul Muktie Fadjar,24 dasar yang paling tepat dan kokoh
bagi sebuah negara demokrasi adalah sebuah negara konstitusional (constitusional state) yang bersandar kepada sebuah konstitusi yang kokoh. Konstitusi yang kokoh hanyalah konstitusi yang jelas faham konstitusinya atau konstitusionalismenya, yaitu yang mengatur secara rinci batas-batas kewenangan dan kekuasaan lembaga legislatif, eksekutif, dan yudisial secara seimbang dan mengawasi (checks and balances), serta memberikan jaminan yang cukup luas dalam arti penghormatan (to respect), perlindungan (to protect), dan pemenuhan (to fulfill) hak warga negara dan hak asasi manusia. Atau dengan kata lain konstitusionalisme adalah faham mengenai pembatasan kekuasaan dan jaminan hak-hak rakyat melalui konstitusi.25
Secara lebih luas, paham konstitusionalisme tidak hanya berkaitan dengan pembatasan kekuasaan pemerintah, namun dalam perkembangannya paham konstitusionalisme mengalami perkembangan konsepsi yang bervariasi yang dikaitkan dengan gagasan rule of law, separation of power¸ recognizes individual rights, judicial review, pengisian jabatan publik, pemilihan umum, dan sebagainya. Konstitusionalisme memuat baik aspek prosedural atau formil maupun substansi atau materiil dari konstitusi. Aspek prosedural/formil berkaitan dengan prosedur pembuatan dan prosedur perubahan konstitusi. Sedangkan aspek substansial/materiil berkaitan dengan isi konstitusi yang meliputi isu-isu: bentuk negara, bentuk pemerintahan (republik atau federal), sistem pemerintahan (presidensial atau parlementer), sistem perwakilan (unikameral atau bikameral), sistem pembagian kekuasaan, kekuasaan kehakiman, hubungan negara dengan rakyat (hak warga negara/HAM), serta berbagai sistem kehidupan bernegara (ekonomi, pendidikan, pertahanan keamanan, agama, dan sebagainya).26
Menurut CF. Strong, konstitusi bisa berupa sebuah catatan tertulis dimana konstitusi dapat ditemukan dalam bentuk dokumen yang bisa diubah atau diamandemen menurut
23 Lihat Pidato Ismail Suny, Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di hadapan
Seminar Persahi (Persatuan Sarjana Hukum Indonesia) dalam Hendra Nurjahjo, Op.Cit., hal. 67-66.
24 Abdul Mukthie Fadjar adalah seorang Hakim konstitusi yang menjadi Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi
(MK) mendampingi Ketua MK Mohammad Mahfud MD, untuk periode masa jabatan tahun 2008-2011.
25 Lihat Abdul Muktie Fadjar, Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2006), hal. 34-35.
kebutuhan atau perkembangan zaman, atau konstitusi dapat juga berwujud sekumpulan hukum terpisah dan memiliki otoritas khusus sebagai hukum konstitusi. Atau bisa pula dasar-dasar konstitusi tersebut ditetapkan dalam satu dua undang-undang dasar-dasar sedangkan selebihnya bergantung pada otoritas kekuatan adat istiadat atau kebiasaan. 27
Sementara itu, dalam pandangan Jimly Asshiddiqie membedakan secara prinsipil antara konstitusi tertulis (written constitution) dan konstitusi tidak tertulis (unwritten constitution) sebenarnya kurang tepat. Sebutan konstitusi tidak tertulis hanya dipakai untuk dilawankan dengan konstitusi modern yang lazimnya ditulis dalam suatu naskah atau beberapa naskah. Dimana timbulnya konstitusi tertulis disebabkan oleh pengaruh aliran kodifikasi. Salah satu negara yang mempunyai konstitusi yang tidak tertulis adalah negara Inggris. Namun prinsip-prinsip yang dicantumkan dalam konstitusi di Inggris dicantumkan dalam Undang-Undang biasa, seperti Bill of Rights. Dengan demikian suatu konstitusi disebut tertulis apabila ditulis dalam suatu naskah atau beberapa naskah, sedangkan suatu konstitusi disebut tidak tertulis karena ketentuan-ketentuan yang mengatur suatu pemerintahan tidak tertulis dalam suatu naskah tertentu, melainkan dalam banyak hal diatur dalam kovensi-konvensi atau undang-undang biasa.28
Dalam pandangan Carl Schmitt, dengan merujuk praktik di Eropa Barat dan Amerika Utara sejak abad ke-18, konstitusi baru dapat disebut sebagai konstitusi apabila bersesuaian dengan tuntutan akan kebebasan sipil dan berisikan jaminan yang pasti terhadap kebebasan sipil tersebut.29 Sementara dalam pandangan Friedrich, esensi dari konstitusionalisme adalah
pembagian kekuasaan yang dengan cara itu tercipta sistem pembatasan kekuasaan yang efektif.30
BAB II PEMBAHASAN
A. Pendekatan Sosiologi Hukum dalam Amandemen Kelima UUD 1945: Analisis atas Aspek-Aspek Kunci Perubahan Konstitusi
Dalam mengkaji perubahan konstitusi sebagai alat pengubah masyarakat, maka perlu digunakan pendekatan Denny Indrayana tentang lima aspek utama dalam proses perubahan konstitusi: (i) kapan perubahan konstitusi harus dilakukan, (ii) bagaimana perubahan
27 Lihat C.F. Strong, Op.Cit., hal. 15.
28 Lihat Jimly Asshiddiqi, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), hal. 148 29 Lihat I Dewa Gede Palguna, Op.Cit., 103.
konstitusi harus dilakukan, (iii) siapa yang harus menjadi lembaga pengubah konstitusi, (iv)
partisipasi masyarakat seperti apa yang harus digalang, dan (v) materi apa yang semestinya dikandung dalam sebuah konstitusi.31
Aspek pertama yang berkaitan dengan pertanyaan kapan perubahan konstitusi harus dilakukan merupakan pertanyaan yang sangat penting. Karena sejak perubahan pertama hingga perubahan keempat dari tahun 1999-2002, usul perubahan kelima sudah diusulkan oleh DPD RI pada tahun 2007 pada masa kepemimpinan Ginandjar Kartasasmita. Setelah periode Pemilu 2009, wacana perubahan kelima kembali mengemuka di bawah kepemimpinan Irman Gusman sebagai Ketua DPD periode 2009-2014. Namun hinga saat ini, usul perubahan kelima belum mendapat dukungan oleh mayoritas anggota parlemen sebagaimana mekanisme perubahan UUD 1945 yang diatur pada Pasal 37 UUD 1945.
Gagasan tentang kapan sebaiknya perubahan konstitusi dilakukan, sebetulnya sudah mengemuka sejak ide perubahan konstitusi muncul di awal-awal reformasi. Setidaknya ada dua masalah yang bertalian dengan waktu perubahan konstitusi muncul di Indonesia.
Pertama, apakah masa transisi dari rezim otoriter Soeharto kondusif untuk melakukan perubahan, dan kedua, apakah diperlukan satu jadwal spesifik untuk mengubah konstitusi.32
Menurut Robert A. Goldwin dan Art Kaufman, bahwa perubahan konstitusi hanya mungkin dilakukan pada “momentum luar biasa” dalam suatu sejarah bangsa.33 Sementara
itu, menurut Von Savigny, momentum semacam itu terjadi ketika suatu bangsa telah “sepenuhnya” mencapai kematangan politik atau hukumnya”. Namun faktanya, momentum bagi perubahan konstitusi justru kerap terjadi dalam masa-masa sulit dan penuh gejolak. Bahkan kerap kali konstitusi ditulis dan diubah di “saat-saat krisis yang membutuhkan tindakan-tindakan yang luar biasa dan dramatis”.34
Dari aspek pertama ini dapat dikemukan bahwa usul perubahan kelima UUD 1945 belum mendapat dukungan luas dari anggota MPR karena mungkin dirasakan bahwa waktunya belum terasa mendesak, belum terjadi suatu kondisi sosial politik yang mengemuka secara kritis dan dramatis sehingga belum dirasakan adanya kebutuhan yang juga mendesak untuk menyempurnakan UUD 1945.
Aspek kedua adalah bagaimana perubahan konstitusi harus dilakukan secara demokratis. Menurut Julius Ihonvbere, bahwa sebuah proses pembuatan (perubahan)
31 Lihat Denny Indrayana dalam Amandemen UUD 1945: Antara Mitos dan Pembongkaran, (Penerbit: Mizan,
Media Utama, 2007), hal. 78.
32 Ibid., hal. 79.
33 Lihat Robert A. Goldwin and Art Kaufman (editor), Constitution Makers and Constitution Making: The
Experience of Eight Nations, (Washington, DC: American Enterprise Institute, 1988), hal, 1.
konstitusi yang dilakukan secara demokratis merupakan suatu hal yang sangat penting sifatnya bagi kekuatan, akseptabilitas, dan legitimasi produk finalnya. Cara yang diusulkan adalah melalui konsensus (kesepakatan).35 Mengenai pemikiran tentang konstitusi yang
demokratis, menurut Robert Dahl pentingnya merancang konstitusi yang demokratis karena akan menentukan kelagsungan lembaga-lembaga demokrasi. Konstitusi yang tidak dirancang dengan baik akan menyumbang pada kemandegan lembaga-lembaga demokrasi. Lembaga-lembaga demokrasi itu adalah para pejabat yang dipilih, pemilihan umum yang bebas, adil, dan berkala, kebebasan berpendepat, sumber informasi alternatif, otonomi asosional, dan hak kewarganegaraan yang inklusif.36
Konstitusi yang demokratis menurut Dahl mengandung beberapa unsur antara lain, pernyataan hak-hak asasi manusia, pernyataan hak-hak sosial dan ekonomi, bentuk negara kesatuan atau federal, lembaga legislatif dengan satu kamar atau dua kamar, pengaturan kekuasaan yudikatif, sistem pemerintahan presidensial atau parlementer, pengaturan mengenai amandemen konstitusi dan referendum, serta pengaturan sistem pemilihan umum.37
Dahl menekankan pentingnya konstitusi yang berkualitas, dan pentingnya konstitusi disusun oleh tenaga-tenaga terbaik yang dimiliki suatu bangsa.38
Aspek yang ketiga adalah siapa yang harus menjadi pengubah konstitusi. Aspek ini terkait dengan kewenangan mereka yang memiliki hak untuk mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar. Menurut UUD 1945, kewenangan perubahan konstitusi terletak di tangan MPR. Pasal 3 ayat (1) UUD 1945 mengatur bahwa Majelis Permusyawaratan Berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar.
Setelah perubahan UUD 1945 yang dilakukan sebanyak empat kali, maka ketentuan tentang perubahan UUD 1945 dalam Pasal 37 UUD 1945 telah mengalami perubahan. Dimana usul perubahan diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah Anggota MPR, setiap usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar diajuman secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya, sidang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR, dan putusan untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu dari seluruh anggota MPR.
35 Julius Ihonvbere, How to Make an Undemocratic Constitution: The Nigerian Example, Third World
Quarterly, 2000, hal. 346.
36 Lihat Robert Dahl, On Democracy, edisi terjemahan Bahasa Indonesia, Perihal Demokrasi, (Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 2001), hal. 118-119.
Aspek keempat adalah partisipasi masyarakat dalam perubahan konstitusi. Partisipasi publik sangatlah penting dalam membuat sebuah konstitusi yang demokratis karena mampu memperkuat rasa memiliki di pihak rakyat terhadap konstitusi yang bersangkutan. Kekuasaan untuk membuat dan mengubah konstitusi sebuah negara tidak boleh terlalu bergantung kepada lembaga pembuat konstitusi.Di sinilah pentingnya konsultasi publik secara aktif dan inklusif. Agar menjadi satu kontribusi aktif, konsultasi publik harus dimulai sebelum aspek-aspek konstitusi yang baru ditetapkan secara efektif. Kegiatan konstultasi atau musyawarah harus beranjak lebih dari sekadar mendidik publik yang pasif, dan harus melakukan segala usaha untuk bisa secara lebih aktif melibatkan rakyat dalam proses perubahan konstitusi. Dimana kegiatan partisipasi harus interaktif dan memberdayakan, mendorong rakyat untuk memberikan kontribusi yang konstruktif bagi proses tersebut.39
Aspek yang kelima adalah substansi (materi) dari suatu perubahan Undang-Undang Dasar yang akan dilakukan. Pada aspek kelima ini maka apa yang menjadi prinsip negara hukum harus diletakkan secara substantif dalam perubahan kelima UUD 1945. Karena hanya dengan memasukkan prinsip-prinsip negara hukum dalam konstitusi, maka konstitusi akan sesuai dengan apa yang menjadi tuntutan masyarakat.
Menurut Carl Friedrich, konstitusi yang demokratis disusun dengan mengacu pada faham konstitusionalisme yaitu gagasan bahwa pemerintahan merupakan kumpulan kegiatan yang diselenggarakan oleh dan atas nama rakyat, dengan beberapa pembatasan yang bertujuan agar kekuasaan yang diperoleh dari rakyat tidak disalahgunakan oleh yang memerintah.40 Carl Friedrich juga mengatakan negara yang memiliki tatanan konseptual yang
jelas mengenai supremasi hukum, pembagian kekuasaan, dan hak-hak warga negara (civic rights) disebut sebagai negara demokrasi konstitusional.41
B. Metode Perubahan Konstitusi
Edward McWhinney berpendapat, seperti halnya sebuah konstitusi, konstitusionalisme adalah konsep yang juga dinamis.42 Hubungan antara konstitusionalisme
dan pemerintah terus-menerus berubah, di mana konstitusi itu sendiri adalah bukti paling gamblang dari perubahan itu. Lebih jauh McWhinney menggarisbawahi bahwa tugas dan tanggung jawab utama elite-elite politik dalam sebuah pemerintahan yang konstitusional
39 Denny Indrayana, Op.Cit., hal. 110-111.
40 Lihat Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 1991), hal. 52.
41 Lihat Valina Singka Subekti, Menyusun Konstitusi Transisi: Pergulatan Kepentingan dan Pemikiran dalam
Proses Perubahan UUD 1945, (Jakarta: Rajawali Press, 2008), hal. 21.
42 Lihat Edward McWhinney, Constitution-Making: Principles, Process, Practices (Toronto: University
adalah mengantisipasi, mengoreksi, dan mengubah substansi-substansi sebuah konstitusi demi memastikan bahwa konstitusi itu berada di jalan yang sama ke arah sebuah proses menuju demokrasi.43
Perubahan suatu Undang-Undang Dasar atau konstitusi dapat diamati dari dua sisi yang penting, pertama, perubahan secara material dan kedua, perubahan secara forma. Perubahan secara material dapat berlangsung menurut berbagai bentuk, antara lain penafsiran, perkembangan tingkat fluktuasi kekuasaan lembaga-lembaga negara, dan konvensi ketatanegaraan. Sedangkan perubahan melalui prosedur formal lazim ditentukan di dalam konstitusi itu sendiri.44
Setelah melakukan penelitian terhadap seratus Undang-Undang Dasar Taufiqurrohman mengkualifikasi istilah “perubahan” menjadi tujuh istilah dalam bahasa Inggris, yaitu: 45
a) Amandment (perubahan), b) Revision (perbaikan), c) Alteration (perubahan), d) Reform (perbaikan), e) Change (pergantian), f) Modified (modifikasi), g) Review (tinjauan).
Sungguhpun istilah-istilah perubahan tersebut tidak sama, namun dalam aplikasinya mengandung maksud yang sama yaitu mencakup pencabutan (repeal), tambahan (addition), dan penggantian (replacement). 46
Wheeler membedakan antara amendemen (amendment) konstitusi dan revisi (revision) konstitusi.47 Dia mendefinisikan sebuah ‘amendemen’ sebagai “perubahan dalam
lingkup yang terbatas, yang mencakup satu atau sejumlah terbatas aturan-aturan dalam sebuah konstitusi”; sedangkan ‘revisi’ didefinisikannya sebagai “menimbang-ulang (reconsideration) keseluruhan atau sebagian besar dari sebuah konstitusi”.
43 Ibid.
44 Budiman N.P.D. Sinaga, Hukum Tata Negara: Perubahan Undang-Undang Dasar, (Jakarta: PT Tatanusa,
2009), hal. 117.
45 Lihat Taufiqurrohman, Prosedur Perubahan Konstitusi: Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan Perbandingan dengan Negara Lain, Disertasi, (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003), hal. 102.
46 Ibid., hal. 105.
47 Lihat John P. Wheeler, Jr. (1961), Changing the Fundamental Law dalam John P. Wheeler, Jr. (ed), Salient
Istilah amandemen berasal dari bahasa Latin amandare yang merupakan gabungan dari dua perkataan e yang berarti dicoret dan mendum yang berarti a mistake (kesalahan). Jadi mengamandemen berarti mengoreksi atau memperbaiki kesalahan. Maka amandemen Undang-Undang Dasar bukan berarti merombak UUD 1945 dan menggantinya dengan Undang-Undang Dasar yang baru.48
Istilah amandemen merupakan serapan dari istilah to amend dalam bahasa Inggris. Adapun yang dimaksud dengan amandement adalah:49
1) A change made or proposed on the floor of a legislative body or in committee by adding to, striking out, or altering the wording of any part of a bill or resolution. Legislative rules usually require that the amandement be germane to the subject matter, but violation are not uncommon.
2) An Addition to, or a change of, a constitution or an organic act which is appended to the document rather than intercalated in the text.
Dalam Blacks’s Law Dictionary disebutkan pengertian Amend: 1) To Make right, to correct or rectify (amend the order to fix a clerical error). 2) To change the wording of, specific, to alter (statue, constituion, etc) formally by adding or deleting a provision or by modifying the wording (amend the legislative bill).50 Kata Amend diartikan sebagai membuat
benar, memperbaiki, mengganti kata, khusus dalam Undang-Undang dan Undang-Undang Dasar merupakan perubahan formal dengan menambah atau menghapus ketentuan atau mengganti kata.
Sementara itu dalam Encyclopaedia Britannica, amendement diartikan sebagai a change of some document or written or oral statement, by substitution, omission or addition, or by a combination of these methods of change. The change or proposed change may intend improvement or correction by the one proposing the amendement, but improvement or correction are not essential element.51
Berdasarkan pengertian di atas dapat diketahui bahwa amandemen adalah perubahan dari berbagai dokumen atau tulisan atau pernyataan lisan melalui penggantian, penghapusan, atau penambahan atau gabungan dari metode-metode perubahan ini. Perubahan atau usul
48 Budiman N.P.D. Sinaga, Op.Cit., hal. 118.
49 Lihat Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi: Sebelum dan Sesudah Perubahan UUD
1945), Mochamad Isnaeni Ramadhan (editor), (Bandung: Alumni, 2006), hal. 268-269.
perubahan yang dimaksudkan untuk memperbaiki atau mengoreksi, maka catatan mengenai perubahan atau koreksi merupakan unsur utama.
C. Materi Perubahan Kelima UUD 1945 untuk Penguatan Struktur Kelembagaan dan Penjaminan Hak-Hak Warga Negara
Dilihat dari aspek substansi, maka perubahan materi UUD 1945 tidak hanya berkenaan dengan perubahan struktur dan kelembagaan-kelembagaan negara, tetapi juga menyangkut penguatan hak-hak sosial masyarakat yang belum terjamin dalam konstitusi sebelumnya.
Dari kajian tentang aspek-aspek kunci perubahan suatu Undang-Undang Dasar, maka salah satu aspek kunci penting yang patut mendapat perhatian adalah tentang usul materi amandemen kelima UUD 1945. Pembahasan khusus tentang aspek ini penting karena dari sinilah akan terlihat suatu benang merah antara gagasan untuk menyempurnakan UUD 1945 dengan prinsip-prinsip pokok negara hukum yang sudah diuraikan secara teoritis pada pembahasan-pembahasan sebelumnya.
Pertama, penguatan sistem presidensial. Prinsip dalam penguatan sistem presidensial adalah tidak memperkuat kedudukan Presiden melainkan kepada sistem pemerintahannya. Demi efektivitas pelaksanaan sistem presidensial, pengambilan keputusan yang selama ini dilakukan oleh DPR RI bersama Presiden selaku pemegang kekuasaan eksekutif sebaiknya disempurnakan. Pengambilan keputusan dalam fungsi legislasi yang semula dilakukan oleh DPR (legislatif) dan Presiden (eksekutif) dikembalikan kepada pemegang fungsi legislasi yakni DPR dan DPD. Dengan demikian, Presiden selaku pemegang kekuasaan eksekutif dapat lebih memfokuskan pada pelaksanaan peraturan perundang-undangan. Eksekutif ditempatkan sebagai lembaga negara yang tidak terlibat dalam proses pembuatan RUU, walaupun tetap mempunyai hak untuk mengajukan RUU.52
Melalui pemisahan secara tegas antara kewenangan eksekutif dan legislatif, akan menjadikan mekanisme checks and balances dalam sistem ketatanegaraan berjalan dengan baik. Namun demikian, walaupun tidak terlibat dalam pengambilan keputusan atas usul RUU, Presiden mempunyai hak veto atas usul RUU yang telah disetujui bersama antara DPR dan DPD. Hal veto ini dapat dibatalkan apabila disetujui oleh 2/3 anggota DPR dan 2/3 anggota DPD. 53
Kedua, penguatan lembaga perwakilan. UUD 1945 dipandang belum memberikan kedudukan yang memadai kepada DPD sebagai lembaga perwakilan dalam kerangka pelaksanaan sistem parlemen dua kamar. Keterbatasan kewenangan DPD berdasarkan konstruksi yang dibangun dalam konstitusi membawa konsekuensi kurang optimalnya peran DPD dalam memperjuangkan kepentingan daerah dan masyarakat di level kebijakan nasional. Untuk mewujudkan penyelenggaraan sistem bikameral yang berimbang dan efektif (balance and effective bicameralism), maka diperlukan peran DPD. Melalui peningkatan peran ini, diharapkan tata hubungan dalam sistem parlemen bikameral dapat lebih ideal dan efektf. Artinya DPD dapat secara otpimal menyerap, mengakomodasi, mengidentifikasi, memformulasi, dan mengartikulasikan serta menindaklanjuti aspirasi masyarakat.54
Menciptakan sistem bikameral yang efektif akan secara otomatis melibatkan MPR sebagai lembaga negara yang mewadai DPR maupun DPD. Namun sejalan dengan kebutuhan akan penyelenggaraan sistem bikameral yang efektif, idealnya MPR dikonstruksikan tidak lagi berfungsi sebagai wadah bagi keanggotaan DPR dan DPD melainkan menaungi DPR dan DPD sebagai lembaga perwakilan. Perubahan ini akan membawa konsekuensi pada mekanisme pengambilan keputusan oleh MPR, khususnya dalam pemakzulan Presiden serta perubahan terhadap UUD 1945, dimana kuorum tidak lagi merupakan gabungan jumlah anggota DPR dan DPD melainkan di masing-masing kamar (representasi lembaga dalam MPR).55
Ketiga, penguatan otonomi daerah. Salah satu usul penting terkait dengan penguatan otonomi daerah adalah meletakkan otonomi secara bertingkat yakni antara pusat dengan provinsi dan antara provinsi dengan kabupaten/kota. Hal ini dilakukan untuk menghindari sentralisasi otonomi yang selama ini terjadi. Dalam beberapa hal, pola komunikasi dari kabupaten/kota secara langsung ke pusat dengan melangkahi peran provinsi dipandang sudah tidak terlalu efektif.56
Untuk memperkuat peran daerah melalui otonomi bertingkat, perlu dilakukan pemisahan secara tegas kedudukan Kepada Daerah (Gubernur, Bupati/Walikota) dan DPRD. Pemegang kekuasaan pemerintahan daerah tidak lagi oleh kepala daerah dan DPRD melainkan murni oleh kepala daerah. DPRD berkedudukan sebagai parlemen daerah. Penguatan DPRD sebagai parlemen daerah dimaksudkan untuk memberikan ruang bagi
pemerintah daerah dalam menentukan kebijakan-kebijakannya melalui peraturan daerah, yang secara otomatis mengefektifkan proses legislasi daerah.57
Keempat, pemisahan Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal. Pemisahan Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal secara teknis dimaksudkan agar penyelenggaraan Pemilu lebih sederhana. Pemilu Nasional diselenggarakan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, Anggota DPR, dan Anggota DPD. Sedangkan Pemilu Lokal diselenggarakan untuk memilih Gubernur, Bupati/Walikota, Anggota DPRD Provinsi, dan Anggota DPRD Kabupaten/Kota.58
Kelima, optimalisasi peran Mahkamah Konstitusi. Disamping kewenangan yang
sudah ada, kewenangan MK harus diperkuat untuk memutus pengaduan konstitusional yakni pengaduan ketika terjadi pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara terhadap warga negara.59
Keenam, penambahan Pasal Hak Asasi Manusia (HAM). Perlu dimasukkan beberapa isu HAM yang penting diantaranya hak-hak kaum perempuan, hak para pekerja, serta jaminan terhadap kebebesan pers.60
Ketujuh, penajaman Bab tentang Pendidikan dan Perekonomian Nasional. Perlu
adanya penajaman tentang pendidikan, karena warga negara tidak hanya berhak atas pendidikan, tetapi juga pelatihan sehingga akan tercipta kecerdasan serta ketrampilan setiap anak didik. Selain itu, di bidang ekonomi, ada usul untuk penajaman soal perlindungan potensi sumber daya alam yang dimiliki oleh bangsa Indonesia.
57 Ibid.
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian makalah ini, dapat dikemukan beberapa kesimpulan penting:
1) Wacana perubahan kelima UUD 1945 merupakan ide yang berkembang seiring dengan tuntutan masyarakat luas untuk menyempurnakan konstitusi agar konstitusi tetap menjadi the living constitution dimana konstitusi terbuka pada perubahan zaman dan perubahan kepentingan masyarakat yang terus berkembang.
2) Dalam perspektif sosiologi hukum, wacana perubahan kelima adalah suatu upaya untuk menjadikan hukum sebagai alat rekayasa sosial atau agen perubahan masyarakat. Karena dilihat dari aspek muatan materi yang terkandung di dalam wacana perubahan kelima UUD 1945 tidak hanya terkait dengan penguatan kelembagaan-kelembagaan negara, tetapi juga mengandung unsur penguatan pada penjaminan hak-hak sosial kemasyarakatan.
3) Semua aspek kunci mulai dari kapan perubahan konstitusi harus dilakukan,
materi apa yang semestinya dikandung dalam sebuah konstitusi, sebetulnya harus dirumuskan secara lebih tepat sehingga usaha untuk memperjuangkan amandemen kelima UUD 1945 tidak mendapat pertentangan dan pertanyaan dari berbagai kalangan masyarakat. Aspek-aspek kunci tersebut juga harus disosialisasikan kepada masyarakat luas sehingga masyarakat sadar dan mengetahui apa saja yang menjadi target dan agenda perubahan kelima UUD 1945 tersebut.
B. Saran
Dari kajian sosiologi hukum tentang wacana perubahan kelima UUD 1945 yang sampai sejauh ini masih menuai hambatan, maka ada beberapa saran yang penulis sampaikan, yakni:
1) Agenda perubahan kelima UUD 1945 adalah sebuah kebutuhan dan keniscayaan zaman dalam memperkuat negara hukum serta membuat konstitusi dapat menangkap perkembangan aspirasi masyarakat yang berkemnbang. Karena itu, perlu dilakukan kajian yang mendalam dan komprehensif atas usul amandemen kelima UUD 1945 agar setiap tahapan yang dilalui dapat sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh rakyat sebagai pemilik kedaulatan.
2) Perlu dibentuk semacam Komisi Konstitusi yang tugasnya adalah menyiapkan tahapan-tahapan agenda perubahan kelima UUD 1945 agar amandemen kelima tidak dilakukan secara terburu-buru tanpa fokus dan arah yang jelas. Komisi ini nantinya bertugas untuk melakukan sosialisasi kepada masyarakat, melakukan inventarisasi atas materi-materi perubahan konstitusi, dan memberikan masukan kepada MPR.
DAFTAR PUSTAKA
Asshiddiqie, Jimly. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi.
Jakarta: Sinar Grafika, 2010.
Asshiddiqie, Jimly. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi. Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer, 2007.
Asshiddiqie, Jimly. Menuju Negara Hukum yang Demokratis. Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer, 2009.
Asshiddiqie, Jimly. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: Konstitusi Press, 2006.
Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia, 1991.
Dahl, Robert. On Democracy, edisi terjemahan Bahasa Indonesia, Perihal Demokrasi.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001.
Eksistensi DPD RI 2009-2013: Untuk Daerah dan NKRI. Jakarta: Kelompok DPD RI di MPR RI, 2013.
Encyclopaedia Britannica Volume 1. Chicago: William Benton Publisher, 1960.
Fadjar, Abdul Muktie. Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2006.
Garner, Bryan A. (editor). Blacks’s Law Dictionary. St.Paul, Minn: West Publisihing Co., 1999.
Goldwin, Robert A. and Art Kaufman (editor). Constitution Makers and Constitution Making: The Experience of Eight Nations. Washington, DC: American Enterprise Institute, 1988.
Guru Pinandita: Sumbangsih untuk Prof. Djokosoetono, S.H. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2006.
Ihonvbere, Julius. How to Make an Undemocratic Constitution: The Nigerian Example. Third World Quarterly, 2000.
Indrayana, Denny. Amandemen UUD 1945: Antara Mitos dan Pembongkaran. Bandung: Penerbit Mizan, cetakan kedua, 2007.
Kommers, Donald P. The Constitutional Jurisprudence of the Federal Republic of Germany.
Durham and London: Duke University Press, 1989.
Mahfud MD, Moh. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: Rajawali Press, Edisi Revisi Cetak 2, 2009.
McWhinney, Edward. Constitution-Making: Principles, Process, Practices. Toronto: University of Toronto Press, 1981.
Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Buku I Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002. Edisi Revisi. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010.
Naskah Akademik Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jakarta: Kelompok DPD RI di MPR RI, 2011.
Nonet, Philippe dan Philip Selznick. Law and Society in Transition: Toward Responsive Law.
Harper & Row, 1978.
Palguna, I Gede, Pengaduan Konstitusional (Constitutional Complaint). Jakarta: Sinar Grafika, 2013.
Pokok-Pokok Usul Perubahan Kelima Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jakarta: Kelompok DPD RI di MPR RI, 2013.
Schmitt, Carl. Constitutional Theory (translated and edited by Jeffresy Seitzer). Durham and London: Duke University Press, 2008.
Soemantri, Sri. Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi: Sebelum dan Sesudah Perubahan UUD 1945). Mochamad Isnaeni Ramadhan (editor). Bandung: Alumni, 2006.
Subekti, Valina Singka. Menyusun Konstitusi Transisi: Pergulatan Kepentingan dan Pemikiran dalam Proses Perubahan UUD 1945, (Jakarta: Rajawali Press, 2008.
Sulistyowati dkk. Kajian Sosio Legal. Denpasar: Pustaka Larasan, Universitas Indonesia, Universitas Leiden, Universitas Groningen, 2012.
Taufiqurrohman. Prosedur Perubahan Konstitusi: Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Perbandingan dengan Negara Lain.
Disertasi. Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003.
Wheeler, Jr, John P. Changing the Fundamental Law dalam John P. Wheeler, Jr. (ed), Salient Issues of Constitutional Revision, 1961.