BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1. Setting Penelitian
4.1.1 Persiapan dan Pelaksanaan Penelitian
Dalam suatu penelitian memerlukan persiapan dengan baik sehingga
penelitian ini boleh berjalan dengan lancar. Dalam penelitian ini, peneliti telah
mempersiapkan instrumen penelitian seperti pedoman wawancara dan surat
persetujuan penelitian dari dosen pembimbing. Dalam menyiapkan semua
administrasi yang diperlukan selama penelitian, seperti surat persetujuan
penelitian/informed consent, surat pengantar dari fakultas untuk melakukan
penelitian di Puskesmas Pabelan, Kabupaten Semarang. Persiapan berikutnya
yaitu melakukan pengecekan kembali data di bagian administrasi Puskesmas
Pabelan. Setelah itu peneliti mencari data alamat partisipan yang telah diberikan
Berikut ini adalah Peta wilayah Kecamatan Pabelan dan lokasi Puskesmas
Pabelan.
Gambar 1. Peta wilayah Kecamatan Pabelan. (Sumber: Google Map, 2016)
Wilayah kerja Puskesmas Pabelan terdiri dari 10 Desa. Akan tetapi Desa
yang menjadi tempat penelitian ada 4 Desa yaitu Desa Glawan, Desa Kauman
Lor, Desa Bejaten, dan Desa Padaan. Pemilihan partisipan pada keempat Desa ini
dikarenakan balita yang menderita Pneumonia terdapat di empat Desa ini.
Pada hari pertama peneliti mengalami kesulitan mendapatkan lokasi rumah
partisipan, tetapi peneliti kemudian mencari dan menemui kepala desa di balai
desa untuk mendapatkan informasi tentang partisipan dan peneliti langsung
mencari alamat rumah partisipan. Setelah itu hari kedua peneliti berhasil
melakukan kontrak waktu dengan partisipan, dan langsung melakukan wawancara
Penelitian dilakukan selama bulan April 2016. Wawancara dan observasi
dilakukan pada setiap partisipan yang berbeda antara partisipan satu dan yang
lainnya. Hal tersebut dilakukan karena menyesuaikan situasi dan kesediaan waktu
dari partisipan.
4.2. Gambaran Umum Wilayah Kerja Puskesmas Pabelan 4.2.1 Deskripsi Puskesmas
Nama : Puskesmas Pabelan
Alamat : Jl. Pemuda No.98, Pabelan, Kabupaten Semarang,
Jawa Tengah, 50771.
Luas Cakupan : 24.37 km2
Batas Wilayah
Utara : Kecamatan Bringin
Selatan : KecamatanTengaran, Kota Salatiga
Barat : Kecamatan Tuntang
Timur : Puskesmas Semowo, Kecamatan Pabelan,
Kecamatan Suruh.
4.2.2 Deskripsi partisipan
Penelitian ini memiliki empat partisipan. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan pada ibu dari 4 pasien anak, secara umum
identitas partisipan tersebut dapat ditunjukan dalam tabel 1 di bawah ini.
Tabel 1. Identitas Partisipan
No Nama
Partisipan
Kode Alamat Umur
1 Ny. S P1 Getas, Kauman Lor 44 thn
3 Ny. A P3 Padaan 42 thn
4 Ny. M P4 Glawan 41 thn
Sumber: diolah peneliti, 2016.
Berikut ini adalah gambaran umum masing-masing partisipan
dan anaknya:
1. Gambaran umum Partisipan 1
Nama orang tua ` : Ny.S
Umur : 44 tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : ibu rumah tangga
Nama bayi : An.A
Umur : 4,5 Tahun
Jenis kelamin : laki laki
Alamat : Getas, Kauman Lor
Ny. S merupakan seorang ibu rumah tangga dan memiliki dua
orang anak dari hasil pernikahannya dengan Tn.Y. An.A merupakan
anak pertama berjenis kelamin laki laki. Dia mengalami batuk batuk dan
demam selama dua minggu sehingga dibawa ke puskesmas sehingga
didiagnosa pneumonia. Sedangkan saudaranya tidak menderita
penyakit. Mereka tinggal bersama orangtua dan tantenya dalam satu
rumah yang berukuran sedang, memiliki dua kamar tidur dan satu ruang
keluarga, juga kondisi rumah yang masih sangat sederhana, tampak
kotor dan berdebu. Kira-kira selama 8 jam orang tua mendampingi An.A
dalam sehari, hal ini karena masih ada saudara lainnya dari An.A yang
masih kecil.
Nama orang tua ` : Ny.K
Umur : 42 tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : ibu rumah tangga
Nama bayi : An.Y
Umur : 2,8 tahun
Jenis kelamin : laki laki
Alamat : Desa Padaan, Kecamatan Pabelan
Ny.K merupakan seorang ibu rumah tangga yang memiliki suami
bernama Tn.x bekerja sebagai petani dan dari hasil pernikahannya
memiliki dua orang anak, yaitu An.Y, yang mana adalah anak kedua,
dan ia yang menderita pneumonia, tetapi adapun kakaknya yang sudah
kelas lima SD, tidak menderita sakit dan mereka tinggal dalam satu
rumah. Kira-kira selama 12 jam orang tua mendampingi An.Y dalam
sehari.
3. Gambaran umum Partisipan 3
Nama orang tua ` : Ny.A
Umur : 42 tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : ibu rumah tangga
Nama bayi : An.O
Umur : 2,5 tahun
Jenis kelamin : laki laki
Ny.A merupakan seorang ibu rumah tangga yang bekerja
sebagai petani dan memiliki dua orang anak yaitu seorang anak laki dan
seorang nya lagi anak perempuan, dari hasil perkawinannya dgn Tn.
B.anak laki lakinya itu ialah An.O, yaitu anaknya yang menderita
pneumonia. Setiap harinya An.O bermain bersama kakaknya, karena
kedua orang tua sibuk ke ladang. Kira-kira selama 8 jam orang tua
mendampingi An.O dalam sehari.
4. Gambaran umum Partisipan 4
Nama orang tua : Ny.M
Umur : 41 tahun
Agama : islam
Pekerjaan : ibu rumah tangga
Nama bayi : An.D
Umur : 5 tahun
Jenis kelamin : laki laki
Alamat : Desa Glawan, Kecamatan Pabelan
Ny. M adalah seorang ibu rumah tangga yang tinggal di Desa
Glawan dan merupakan salah satu kader posyandu, dan rumahnya
dijadikan tempat posyandu dan puskesmas keliling. Ny. M memiliki
seorang anak bernama An.D ,dari hasil pernikahannnya dengan Tn. S
yang menjabat sebagai ketua RW di dusun itu. Setiap harinya An.D
diasuh oleh ibunya. Kira-kira selama 18 jam orang tua mendampingi
4.3. Hasil Penelitian
Dalam menyusun hasil penelitian, peneliti menggunakan metode menurut
Miles & Huberman (dalam Sugiyono, 2010) untuk menganalisis data wawancara
lapangan yang jumlahnya cukup banyak. Langkah pertama yang dilakukan adalah
mereduksi data. Dalam mereduksi data peneliti memilah-milah data kedalam
beberapa kategori yang nantinya akan diambil temanya. Kategori dan tema
ditentukan dari verbatim hasil wawancara dengan partisipan. Proses
pengelompokkan tema dapat terlihat dalam lampiran 2.
Dari hasil reduksi data yang dilakukan peneliti, maka dapat terlihat 3 tema
yang menjadi hal pokok dari hasil penelitian ini, yaitu : (1) karakteristik balita
(status gizi, status imunisasi), (2) sumber polutan (kebiasaan merokok, pemakaian
racun nyamuk, bahan bakar memasak), (3) kondisi lingkungan rumah (ventilasi,
kepadatan penghuni, suhu dan kelembaban).
1. Karakteristik Balita
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan pada ibu dari 4 pasien
anak, maka kategorisasi karakteristik balita dapat ditunjukan dalam tabel 2 di
bawah ini.
Tabel 2. Kategorisasi Karakteristik Balita
Kode Kata Kunci Kategori/sub
2. P1 B85, P2 B80, P3 B85, P4 B50.
a. Status Gizi
Penilaian status gizi berdasarkan antropometri disajikan dalam bentuk
indeks, peneliti menggunakan berat badan menurut umur (BB/U) untuk
menentukan kategori status gizi berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan
Nomor 1995/MENKES/SK/XII/2010 tentang Standar Antropometri Penilaian
Status Gizi.
Tabel 3. Tabel Status Gizi Anak
Anak Dari
Berdasarkan tabel di atas, status gizi Anak P1, P2 dan P4 berada pada
kategori baik. Sedangkan status gizi anak P3 berada pada kategori kurang,
hal tersebut dikarenakan pada saat penimbangan terakhir, anak tersebut
sedang mengalami demam.
b. Status Imunisasi
Status Imunisasi anak partisipan dalam penelitian ini sudah lengkap. Hal
tersebut sebagaimana dinyatakan oleh tiap partisipan.
“Sudah lengkap semua mas, anak saya sudah ikut imunisasi.” (P1)
“Pokoknya sudah lengkap semua mas, ada lima jenis, ada polio, BCG,
campak.” (P2)
“Sudah lengkap mas, imunisasi terakhir polio di posyandu.” (P4)
Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa status
imunisasi tiap anak partisipan sudah lengkap.
2. Sumber Polutan
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan pada ibu dari 4 pasien
anak, maka kategorisasi sumber polutan dapat ditunjukan dalam tabel 4 di
bawah ini.
Tabel 4. Kategorisasi Sumber Polutan
Kode Kata Kunci Kategori/sub
Tema
Berdasarkan hasil penelitian, bapak dari anak partisipan memiliki
kebiasaan merokok. Berikut pernyataan masing-masing partisipan terkait
hal tersebut:
“Ayahnya merokok, juga keluarga yang lain merokok mas... biasanya
merokok dimana saja mas, juga paling sering ya di dalam rumah mas.” (P1)
“Wah itu bapaknya rajanya mas kalau merokok,...Biasanya di ruangan tamu mas, tapi kalau di kamar nggak pernah mas.” (P2)
“Bapaknya sendiri juga merokok mas,.... biasanya merokok di sembarang
tempat mas.” (P3)
Kebiasaan merokok tersebut juga terjadi ketika sedang menggendong
atau berdekatan dengan anak. Berikut pernyataan masing-masing
partisipan terkait hal tersebut:
“Jika ayahnya merokok juga sering sambil gendong adek axel mas, yah pas lagi ada tamu juga taulah namanya juga anak anak datang minta gendong
sama bapaknya.” (P1)
“Biasanya sambil pangku adeknya mas kalo pas merokok.” (P2)
“Yah kadang-kadang pas digendong sambil merokok mas.” (P3)
“Seringkali sih dekat dengan anaknya ketika merokok... bapaknya sering
menggendong anaknya sambil merokok.” (P4)
Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat dilihat bahwa kebiasaan
kepala keluarga yang merokok di dalam rumah dapat menyebabkan
kejadian penyakit pneumonia pada balita.
b. Pemakaian racun nyamuk
Berdasarkan hasil penelitian, partisipan memakai racun nyamuk bakar
dan atau serabut kelapa yang dibakar untuk mengusir nyamuk. Berikut
pernyataan masing-masing partisipan terkait hal tersebut:
“Sering makainya obat nyamuk bakar yang biasa dibeli di warung mas.” (P1)
“Seringnya pakai obat nyamuk baygon.” (P2)
“Saya pakai sabut kelapa, saya bakar nanti selang beberapa menit
nyamuknya lari.” (P3)
“Saya biasanya pakai obat nyamuk bakar.” (P4)
Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat dilihat bahwa kebiasaan
keluarga partisipan memakai racun nyamuk bakar dan atau serabut kelapa
yang dibakar untuk mengusir nyamuk dapat menyebabkan kejadian
penyakit pneumonia pada balita.
Berdasarkan hasil penelitian, partisipan masih menggunakan bahan
bakar yaitu kayu bakar dalam rumah tangga untuk beberapa keperluan
seperti memasak. Berikut pernyataan masing-masing partisipan terkait hal
tersebut:
“Kalau saya seringnya pakai kayu bakar mas, soalnya beli gas mahal
mas,lebih murah pakai kayu juga mas, untuk biaya hidup saja susah juga
mas.” (P1)
“Masaknya pakai gas mas, kalau untuk masak air minum saya masak pakai
kayu bakar mas, tapi tempatnya di belakang rumah mas.” (P2)
“Memasak pakainya kayu bakar mas, diambil dari kebun.” (P3) “Di sini masak biasanya pakainya kayu bakar mas.” (P4)
Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat dilihat bahwa kebiasaan
partisipan masih menggunakan bahan bakar yaitu kayu bakar dalam rumah
tangga untuk beberapa keperluan seperti memasak sangat berpengaruh
terhadap faktor risiko pneumonia pada balita.
3. Kondisi Lingkungan Rumah
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan pada ibu dari 4 pasien
anak, maka kategorisasi kondisi lingkungan rumah dapat ditunjukan dalam
tabel 5 di bawah ini.
Tabel 5. Kategorisasi Kondisi Lingkungan Rumah
Kode Kata Kunci Kategori/sub
3. P1 B300, P2
Berdasarkan hasil penelitian, kamar tidur partisipan tidak berjendela,
sehingga tidak ada ventilasi untuk memungkinkan pergantian udara secara
lancar dalam ruang kamar tidur. Berikut pernyataan masing-masing
partisipan terkait hal tersebut:
“Belum ada jendela mas di kamar, jendela cuma di ruangan tamu saja.” (P1)
“Saat ini di tiap kamar belum ada jendela mas.” (P2)
“Belum dibuat jendelanya mas, sementara masih tertutup, nanti baru dibobol
terus dibuatkan jendela.” (P3)
“Kamar belum ada jendelanya mas.” (P4)
Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat dilihat bahwa kamar tidur
partisipan tidak berjendela sehingga tidak ada ventilasi untuk
memungkinkan pergantian udara secara lancar , hal tersebut dapat
menyebabkan risiko kejadian penyakit pneumonia pada balita.
b. Kepadatan penghuni
Berdasarkan hasil penelitian, kepadatan penghuni rumah partisipan
dapat dilihat dari banyaknya penghuni rumah di bandingkan dengan luas
rumah. Hal tersebut dinyatakan oleh masing-masing partisipan:
“Anggota keluarga yang tinggal dalam rumah ada enam orang mas, itu sama keponakannya juga kan tinggal bersama dalam rumah ini mas.” (P1)
“Jumlah anggota keluarga ada empat yaitu anak dua sama bapak ibu.” (P2)
“Ada empat orang mas, anak dua sama bapak ibu.” (P3)
Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat dilihat bahwa kepadatan
penghuni rumah partisipan dapat menyebabkan risiko kejadian penyakit
pneumonia pada balita.
c. Suhu dan kelembaban
Berdasarkan hasil penelitian, didapati kamar tidur partisipan selalu
terbuka, karena tidak berpintu. Hal tersebut tentunya dapat mempengaruhi
suhu dan kelembaban ruangan kamar.Berikut pernyataan masing-masing
partisipan:
“Kalau kamar tidur selalu terbuka, kalau ruang tamu jendela kadang kadang saja mas baru dibuka.” (P1)
“Ya mas kamar tidur selalu terbuka, maklum mas keadaannya masih kayak gini, sebenarnya belum layak huni.” (P2)
“Ya kamar tidur selalu terbuka mas soalnya pintunya aja belum ada mas, apalagi jendelanya juga belum ada juga.” (P3)
“Kamar tidur memang terbuka mas, maklum soalnya rumahnya sangat
sederhana, jadi belum ada pintu di tiap kamar.” (P4)
Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa kamar
tidur partisipan tidak berpintu dan selalu terbuka, hal tersebut berpotensi
menyebabkan risiko kejadian penyakit pneumonia pada balita.
4.4. Pembahasan
1. Karakteristik Balita a. Status Gizi
Hasil penelitian ini menemukan bahwa status gizi anak P1, P2 dan P4
tidak mengalami gizi kurang. Sedangkan status gizi anak P3 berada pada
kategori kurang karena sedang mengalami demam saat penimbangan
wawancara). Hal ini menunjukkan bahwa anak P3 dinyatakan mengalami
kurang gizi berdasarkan Standar Antropometri Penilaian Status Gizi yang
menggunakan berat badan menurut umur (BB/U). Anak balita dengan status
gizi kurang mempunyai risiko menderita pneumonia 3,3 kali dibandingkan
dengan balita dengan status gizi baik (Nuryanto, 2012). Menurut Nuryanto
(2012) status gizi masyarakat biasanya digambarkan dengan masalah gizi
yang dialami oleh golongan masyarakat rawan gizi. Status gizi balita
dipengaruhi oleh pola asuh anak yang tidak memadai, karena kurangnya
pengetahuan, ketrampilan ibu mengenai gizi serta imunisasi dan pelayanan
kesehatan dasar yang tidak memadai (Nuryanto, 2012). Balita dengan
keadaan gizi buruk dan gizi kurang (malnutrisi) lebih mudah terkena infeksi
dibandingkan dengan balita dengan gizi baik, hal ini disebabkan kurangnya
daya tahan tubuh balita (Fitriyah dan Sulistyawati, 2013).
b. Status Imunisasi
Penelitian ini menemukan bahwa status imunisasi anak partisipan sudah
lengkap. Melalui pemberian 5 imunisasi dasar pada bayinya, ibu
mengharapkan imunisasi tersebut dapat memberikan manfaat dalam
memberikan perlindungan terhadap beberapa jenis penyakit infeksi seperti
polio, TBC, difteri, pertusis, tetanus, hepatitis B dan Campak. Imunisasi
merupakan suatu program yang dengan sengaja memasukkan antigen
lemah agar merangsang antibodi keluar sehingga tubuh dapat resisten
terhadap penyakit tertentu (Mulyani & Rinawata, 2013). Tujuan Imunisasi: 1)
Memberikan kekebalan pada bayi agar dapat mencegah penyakit dan
kematian bayi serta anak yang disebabkan oleh penyakit yang sering
penyakit sehingga dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas serta
dapat mengurangi kecacatan akibat penyakit yang dapat dicegah dengan
imunisasi (Hidayat, 2005). Kemenkes RI (dalam Suparyanto, 2014),
menyebutkan bahwa imunisasi merupakan suatu upaya yang dilakukan
untuk mencegah terjadinya suatu penyakit dengan cara memberikan
mikroorganisme bibit penyakit berbahaya yang telah dilemahkan (vaksin)
kedalam tubuh sehingga merangsang sistem kekebalan tubuh terhadap
jenis antigen itu di masa yang akan datang.
2. Sumber Polutan a. Kebiasaan Merokok
Pada penelitian ini menemukan bahwa kebiasaan kepala keluarga yang
merokok di dalam rumah dapat berdampak negatif bagi anggota keluarga
khususnya balita. Rokok merupakan benda beracun yang memberi efek
yang sangat membahayakan pada perokok ataupun perokok pasif, terutama
pada balita yang tidak sengaja terkontak asap rokok. Nikotin dengan ribuan
bahaya beracun asap rokok lainnya masuk ke saluran pernapasan bayi
yang dapat menyebabkan Infeksi pada saluran pernapasan (Hidayat, 2005).
Akibat gangguan asap rokok pada bayi antara lain adalah muntah,
diare, kolik (gangguan pada saluran pencernaan bayi), denyut jantung
meningkat, gangguan pernapasan pada bayi, infeksi paru-paru dan telinga,
gangguan pertumbuhan (Hidayat, 2005). Gas berbahaya dalam asap rokok
merangsang pembentukan lendir, debu dan bakteri yang tertumpuk tidak
dapat dikeluarkan, menyebabkan bronchitis kronis, lumpuhnya serat elastin
di jaringan paru yang mengakibatkan daya pompa paru berkurang, udara
(Wardani, 2015). Paparan asap rokok berpengaruh terhadap kejadian ISPA
pada balita, dimana balita yang terpapar asap rokok berisiko lebih besar
untuk terkena ISPA dibanding balita yang tidak terpapar asap rokok
(Hidayat, 2005). Menurut Agussalim (2012) terdapat seorang perokok atau
lebih dalam rumah akan memperbesar risiko anggota keluarga menderita
gangguan pernafasan, memperburuk asma serta dapat meningkatkan risiko
untuk mendapat serangan ISPA khususnya pada balita.
b. Pemakaian Racun Nyamuk
Penelitian ini mengidentifikasi pemakaian obat nyamuk bakar pada
partisipan. Beberapa studi yang dilakukan pada anak-anak di Malaysia
terdapat peningkatan prevalensi ISPA pada rumah yang menggunakan obat
nyamuk bakar. Hal ini sejalan dengan penelitian Pascawati (2011)
menyatakan kejadian ISPA pada balita sebesar 1,85 kali dibandingkan
dengan rumah yang tidak menggunakan obat nyamuk bakar.
Obat nyamuk bakar biasanya digunakan untuk mengendalikan nyamuk
dari dalam rumah tetapi di sisi lain asap obat nyamuk dapat menjadi sumber
pencemaran udara dalam rumah, yang sangat membahayakan kesehatan
yaitu gangguan saluran pernapasan. Obat nyamuk berbahaya buat manusia
karena kandungan bahan aktif yang termasuk golongan organofosfat.
Bahan aktif ini adalah Dichiorovynil dirnethyl phosfat (DDVP), Propoxur (Karbamat) dan Diethyltoluamide, yang merupakan jenis insektisida
pembunuh serangga (Dahniar, 2011). Obat nyamuk yang masuk melalui
saluran pernafasan dalam waktu yang lama akan terjadi
perubahan-perubahan atau kerusakan dari jaringan penyusun saluran pernafasan,
terganggu. Balita sangat substansial untuk terpapar oleh polusi udara akibat
obat nyamuk dan dampak ditimbulkan lebih besar dari pada orang dewasa
(Dahniar, 2011).
c. Bahan Bakar Memasak
Dari hasil penelitian menunjukan partisipan pada umumnya
menggunakan bahan bakar kayu api dimana bahan bakar tersebut mudah
untuk didapat. Penggunaan bahan bakar untuk memasak di rumah tangga
sangat berpengaruh terhadap faktor risiko kejadian ISPA yang dimana
bahan bakarnya banyak mengeluarkan asap dan konstruksi rumah yang
tidak memiliki ventilasi di dapur yang menyebabkan asap lama tinggal di
dapur maupun perilaku partisipan membawa anak ke dapur sehingga anak
yang berada bersama partisipan tersebut sering terpapar asap yang juga
mengakibatkan gangguan pernapasan pada balita.
Asap hasil pembakaran bahan bakar untuk memasak dengan
konsentrasi tinggi dapat merusak mekanisme pertahanan paru sehingga
akan memudahkan timbulnya ISPA pada balita. Bahan bakar kayu api yang
digunakan untuk memasak sehari-hari dapat menyebabkan kualitas udara
menjadi rusak, karena pemakaian bahan bakar tradisional seperti kayu
bakar, sering menghasilkan pembakaran kurang sempurna sehingga
banyak menimbulkan sisa pembakaran yang dapat mempengaruhi
kesehatan (Rosdiana, 2015).
Efek pencemaran udara terhadap saluran pernapasan dapat
menyebabkan pergerakan silia hidung menjadi lambat dan kaku bahkan
dapat berhenti sehingga tidak dapat membersihkan saluran pernapasan
meningkat sehingga menyebabkan penyempitan saluran pernapasan dan
rusaknya sel pembunuh bakteri di saluran pernapasan (Asriati, 2014).
Kesulitan bernapas akibat benda asing tertarik dan bakteri lain tidak dapat
dikeluarkan dari saluran pernapasan. Keadaan tersebut akan memudahkan
terjadinya infeksi saluran pernapasan (Asriati, 2014). Hal ini dapat terjadi
pada rumah yang ventilasinya kurang dan dapur terletak di dalam rumah,
bersatu dengan kamar tidur, ruang tempat bayi dan balita bermain
(Ningrum, 2014).
3 Kondisi Lingkungan Rumah a. Ventilasi
Berdasarkan hasil penelitian, kamar tidur partisipan tidak berjendela,
sehingga tidak ada ventilasi untuk memungkinkan pergantian udara secara
lancar dalam ruang kamar tidur. Penelitian Afrida (2007) menemukan
bahwa prevalens rate ISPA pada bayi yang memiliki ventilasi kamar tidur yang tidak memenuhi syarat kesehatan sebesar 69,9%, sedangkan untuk
yang memenuhi syarat kesehatan sebesar 30,1%. Ventilasi yang baik
dengan ukuran 10-20% dari luas lantai dapat mempertahankan suhu
optimum 22-24˚C dan kelembaban 60% (Winardi, 2015). Kondisi ventilasi
rumah yang tidak memenuhi syarat akan menyebabkan kurangnya sirkulasi
udara di dalam rumah, akibatnya rumah akan menjadi pengap, rumah yang
tidak mempunyai jendela dan lubang angin menyebabkan udara dalam
rumah yang tercemar tidak dapat ke luar dan menyebabkan kejadian
pneumonia pada balita (Yulianti, 2012).
Hasil penelitian ini mengidentifikasi kepadatan penghuni rumah
partisipan dapat dilihat dari banyaknya penghuni rumah. Menurut Gani
(2004) dalam penelitiannya di Sumatera Selatan menemukan proses
kejadian pneumonia pada anak balita lebih besar pada anak yang tinggal di
rumah yang padat dibandingkan dengan anak yang tinggal di rumah yang
tidak padat. Rumah dikatakan padat penghuninya apabila perbandingan
luas lantai seluruh ruangan rumah dengan jumlah penghuni kecil lebih dari
10m2/orang, sedangkan ukuran yang dipakai untuk luas lantai ruang tidur
minimal 3 m2 per orang dan untuk mencegah penularan penyakit (misalnya
penyakit pernapasan) jarak antara tepi tempat tidur yang satu dengan yang
lain minimum 90 cm (Lindawaty, 2010).
c. Suhu dan Kelembaban
Hasil penelitian ini mengidentifikasi kamar tidur partisipan selalu terbuka,
karena tidak berpintu. Hal tersebut tentunya dapat mempengaruhi suhu dan
kelembaban ruangan kamar. Pengaturan kelembaban sangat penting
dalam ruangan. Kelembaban yang tinggi dan debu dapat menyebabkan
berkembangbiaknya organisme pathogen maupun organisme yang bersifat
allergen serta pelepasan formaldehida dari material bangunan. Formaldehida adalah zat tidak berwarna, mudah terbakar, bahan kimia berbau tajam yang digunakan dalam bahan bangunan dan untuk
menghasilkan banyak produk rumah tangga. Formalin ini digunakan dalam
produk kayu pres, seperti papan partikel, kayu lapis, dan papan serat; lem
dan perekat; pelapis produk kertas; dan bahan isolasi tertentu. Kualitas
bangunan, struktur bangunan, bahan pelapis untuk furniture serta interior
(Fahimah, 2014).
Tingkat kelembaban yang terlalu rendah dapat menyebabkan
kekeringan/iritasi pada membran mukosa, iritasi mata dan gangguan sinus.
Menurut Kepmenkes RI No.826/MenKes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan
Rumah Sehat bahwa suhu udara nyaman berkisar 18 °C sampai 30 °C
(Gunarni, Supriyono & Mujiono, 2012). Suhu udara sangat tergantung pada
musim. Suh u udara yang terlalu tinggi dapat menyebabkan rumah menjadi
panas sehingga memungkinkan penghuni tidak betah tinggal berlama-lama
di dalam rumah, sedangkan suhu terlalu rendah menyebabkan lembab dan
dingin yang memungkinkan berkembang biaknya kuman atau bakteri
penyebab penyakit. Rumah dengan suhu yang tidak sesuai dapat
mengakibatkan kejadian ISPA pada balita (Gunarni, Supriyono & Mujiono,
2012). Menurut Kepmenkes RI No. 826/MenKes/SK/VII/1999 tentang
Persyaratan Rumah Sehat bahwa kelembaban udara berkisar 40% - 70%
(Gunarni, Supriyono & Mujiono, 2012). Rumah yang lembab
memungkinkan untuk tikus dan kecoa membawa bakteri dan virus yang
dapat memicu terjadinya penyakit pernapasan dan dapat berkembang biak
dalam rumah (Krieger dan Higgins, dalam Gunarni, Supriyono & Mujiono,
2012)
4.5. Keterbatasan Penelitian
Peneliti menyadari bahwa penelitian ini memiliki keterbatasan. Waktu yang
partisipan yang diperoleh juga terbatas yaitu 4 partisipan. Hal ini karena kasus
pneumonia adalah spesifik dan partisipan yang memiliki kejadian penyakit
pneumonia sangat sedikit.
Selain itu, manfaat penelitian ini hanya peneliti diskusikan dengan orang
tua dari anak yang merupakan partisipan dari penelitian ini dan tidak mencakup
pada orang tua anak lainnya di wilayah kerja Puskesmas Pabelan. Perlu diteliti
lebih dalam lagi faktor-faktor lain yang menyebabkan kejadian penyakit pneumonia
pada balita, variabel yang tidak diteliti pada penelitian ini, yaitu: usia, jenis kelamin