• Tidak ada hasil yang ditemukan

this PDF file PENOLAKAN PERMOHONAN IZIN POLIGAMI DALAM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 12PUUV2007 | Khairani | Jurnal Justisia : Jurnal Ilmu Hukum, Perundangundangan dan Pranata Sosial 1 SM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "this PDF file PENOLAKAN PERMOHONAN IZIN POLIGAMI DALAM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 12PUUV2007 | Khairani | Jurnal Justisia : Jurnal Ilmu Hukum, Perundangundangan dan Pranata Sosial 1 SM"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

PENOLAKAN PERMOHONAN IZIN POLIGAMI DALAM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 12/PUU-V/2007

Khairani

Staf Pengajar Fakultas Syari'ah dan Hukum UIN Ar-Raniry Banda Aceh

ABSTRAK

Dalam bahwa dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 12/PUU-V/2007, secara jelas telah menolak permohonan uji materiil terkait beberapa ketentuan Pasal Undang-Undang Perkawinan yang dianggap menyalahi ketentuan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Secara keseluruhan, dipahami bahwa putusan tersebut menolak permohonan pemohon berdasarkan beberapa alasan dan pertimbangan seperti telah dikemukakan. Salah satu alasan yang menjadi pusat perhatian dan menjadi Mahkamah Konstitusi yang berkaitan dengan ketentuan dan penerapan hukum Islam, terhadap kemaslahatan atau Maṣ lāḥ ah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ketentuan hukum Islam, bahkan menjadi suatu tujuan utama dari ditetapkannya hukum, atau dalam istilah fikih disebut sebagai maqā şid al-syar’ iyyah). Terdapat banyak kaidah tentang kemaslahatan (Maṣ lāḥ ah), salah satunya yaitu dalam menetapkan dan mengambil suatu tindakan hukum harus sedapat mungkin menarik manfaat, kebaikan, dan sebaliknya kemudharatan atau kerusakan hendaknya dihilangkan. jika syarat adil tersebut tidak dapat dilakukan, (bahkan dalam surat an-Nisā’ ayat 129 menyatakan laki-laki memang tidak mampu untuk mewujudkan keadilan meski ia cenderung untuk ingin berbuat adil), maka poligami bukan lagi solusi untuk mendapatkan kemaslahatan, melainkan justru dapat menimbulkan kemudharatan atau kerusakan atas anak isteri. Dalam bagian ini, dapat dilihat pada dua sisi hukum. Sisi pertama, dalil kebolehan berpoligami telah ditegaskan secara ekplisit yang sifatnya tekstual, dan tekstual juga syarat pembolehannya, yaitu harus adil. Pada sisi lain, mengenai dampak dari tidak dapat berlaku adil dalam poligami, tentu dalilnya dilihat pada kenyataan di lapangan yang sifatnya kontekstual. Jika dampak tersebut sangat buruk, baik bagi isteri maupun anak bahkan seluruh keluarga besar pihak suami dan isteri, maka pelaksanaannya tidak diperbolehkan, karena syarat adil yang sifatnya tekstual tadi tidak dapat diterapkan dalam konteksual (dalam realita kehidupan suami isteri), dan ini terbukti adanya. Untuk itu, dalam kaitannya dengan putusan Hakim Konstitusi tersebut menurut penulis telah tepat. Artinya, Hakim konstitusi berusaha untuk menyeimbangkan berbagai konstruksi hukum, mulai dari konstruksi aturan hukum Islam, aturan hukum positis khususnya Pasal-Pasal yang dimohonkan oleh Pemohon (baik ketentuan Pasal Undang-Undang Pekawinan maupun Undang-Undang Dasar 1945), hingga pada kenyataan hukum yang ada dalam masyarakat.

I. PENDAHULUAN

Agama Islam tidak hanya mengatur permasalahan hukum publik yang sifatnya aturan terhadap

(2)

juga mengatur permasalahan-permasalahan hukum dalam lingkup kekeluargaan atau perkawinan, seperti tata cara pernikahan, perceraian, hak dan kewajiban suami isteri sebelum dan sesudah perkawinan, serta dalam masalah hukum seorang laki-laki yang ingin berpoligami. Terkait dengan aturan hukum poligami, Islam secara tegas menyatakan dalam beberapa sumber rujukan hukum, baik dalam al-Qur’an dan hadis berikut dengan rujukan dari pendapat-pendapat ulama, dimana seseorang dapat dan dibolehkan beristeri lebih satu orang.1 Sebagaimana dijelaskan dalam Firman Allah sebagai berikut:

yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu

senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka

(kawinilah) seorang saja” . (QS. an-Nisā’ :3).

Ayat tersebut di atas menjelaskan mengenai diperbolehkannya seorang laki-laki untuk beristeri

lebih dari satu orang dan menjadi dasar legitimasi poligami. Imam al-Bukhari meriwayatkan mengenai Sebab nuzul ayat tersebut, dimana Aisyah ra. menyatakan bahwa terdapat seorang wali ingin menikahi gadis yatim di bawah asuhannya, tanpa memberikan mahar yang layak, maka turunlah ayat tersebut.2

Dalam hukum poligami, syarat penting yang wajib dipenuhi adalah keadilan dalam memperlakukan isteri-isteri. Konsep adil dalam poligami kemudian dijelaskan dalam surat

an-Nisā’ ayat 129, yang menyatakan seorang laki-laki tidak mungkin dapat memenuhi keadilan terhadap isteri-isteri. Adapun bunyi ayatnya adalah sebagai berikut:



1Tihami & Sohari Sahrani, Fikih Munakahat; Kajian Fikih Nikah Lengkap, cet. 2, (Jakarta: Rajawali Pers,

2010), hlm. 357.

2

(3)

 

 

 

 



 

Artinya: “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat Berlaku adil di antara isteri-isteri(mu),

walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung

(kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu

Mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah

Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. An-Nisā’: 129)

Untuk itu, atas dasar ayat di atas kemudian ada pandangan dimana poligami dilarang sama sekali, salah satunya seperti yang dikemukakan oleh sebagian feminis muslim seperti Siti Musdah Mulia. Kalangan ini beranggapan bahwa berbuat adil dalam poligami sangat sulit untuk dilakukan. Lebih jauh menurutnya poligami dilarang atas dasar efek-efek negatif yang ditimbulkannya (harâm li gharih) karena al-Qur’an bertolak dari pengandaian syarat keadilan

terhadap para isteri yang tidak mungkin terwujud. Klaim ini didasarkan alQur’anal- Nisâ` ayat 129.3

Namun demikian, dalam fikih Islam ditetapkan bahwa ketika syarat adil dalam hal lahiriah dapat dipenuhi oleh pihak laki-laki (suami), maka laki-laki tersebut bisa saja melakukan poligami, hal ini tanpa adanya syarat dan ketentuan lain yan harus dipenuhinya. Seperti meminta izin kepada pihak lain, seperti izin pengadilan atau izin dari pihak isteri. Akan tetapi, syarat-syarat tersebut kemudian dirumuskan dalam regulasi perundangan-undang, baik dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Pekawinan maupun dalam rumusan hukum Kompilasi Hukum Islam. Intinya bahwa, di Indonesia khususnya menganut asas monogami.4

Umum dipahami bahwa semua persyaratan-persyaratan mengenai izin poligami seperti yang termuat dalam ketentuan Undang-Undang tersebut, pada prinsipnya tidak diatur dalam fikih. Namun, persyaratan tersebut ditetapkan agar suatu perkawinan dapat mencapai pada tujuan

sakīnah, mawaddah wa raḥ mah, serta terdapat tujuan lain yaitu demi mencapai kemaslahatan

manusia (Malaḥ ah ‘ ammah). Istilah Malaḥ ah pada dasarnya mempunyai makna yang sama

3Attan Navaron, Konsep Adil Dalam Poligami; Studi Analisis Pemikiran M. Quraish Shihab, dimuat dalam

http://library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/91/jtptiain-gdl-attannavar-4535-1-skripsi-_.pdf. diakses pada tanggal 14 Oktober 2016.

(4)

dengan istilah istiṣ lāḫ ī, yang merupakan derevasi dari kata ṣ alaha, secara harfiah mengandung arti “baik”, adapun masdarnya yaitu ṣ alāḥ un, yang berarti “manfaat” atau “terlepas dari

kerusakan”. Pengertian lain dari kataMaṣ laḥ ah itu adalah perbuatan-perbuatan yang mendorong

kepada kebaikan manusia. Dalam arti umumnya adalah segala sesuatu yang bermanfaat bagi manusia, baik dalam arti menarik atau menghasilkan keuntungan dan kesenangan, maupun dalam arti menolak atau menghindarkan, seperti menolak dan menghindari kemudaratan atau kerusakan. Intinya, setiap yang mengandung manfaat patut disebut dengan kemaslahatan.5

Dalam kaitannya dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 12/PUU-V/2007 tentang penolakan permohonan izin poligami, pada intinya pemohon, yakni M. Insa mengajukan permohonan pada tanggal 19 April 2007, dan ingin menguji ketentuan Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, tepatnya yang dimohonkan pemohon ada 6 (enam pasal), yaitu Pasal 3 Ayat (1) dan Ayat (2), Pasal 4 Ayat (1) dan Ayat (2), Pasal 5 Ayat (1), Pasal 9, Pasal 15, Pasal 24 Undang-Undang Perkawinan.6

Pada prinsipnya, menurut pemohon pasal-pasal tersebut telah mengurangi hak konstitusional dalam rangka kebebasan memeluk agama dan melakukan ibadah berdasarkan agama pemohon (Islam), serta mengurangi hak konstitusional dalam membentuk keluarga. Untuk itu, ketentuan yang terdapat pada keenam pasal tersebut tidak sesuai dengan beberapa Pasal Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, tepatnya pada Pasal 28B Ayat (1), Pasal 28E Ayat (1), Pasal 28I Ayat (1)

5Amir Syarifuddin, Usul Fiqih, jilid 2, cet. 6, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), hlm. 103. 6

(5)

dan Ayat (2), Pasal 29 Ayat (1) dan Ayat (2) UUD 1945.7 Inti dari kesemua pasal dari Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 tersebut menyatakan tentang perlindungan atas kebebasan beragama dan beribadah, kebebasan membentuk keluarga berdasarkan perkawinan yang sah, serta setiap orang bebas dari perlakuan deskriminatif, salah satunya deskriminatif dalam menjalankan ketentuan agama dalam masalah poligami.

Terkait dengan kedudukan hukum yang dinyatakan oleh pemohon, maka Hakim Mahkamah Konstitusi memutus perkara tersebut dengan ketentuan bahwa ketentuan yang tercantum dalam Undang-Undang Perkawinan yang menyatakan bahwa asas perkawinan adalah monogami, dan poligami diperbolehkan dengan alasan, syarat, dan prosedur tertentu tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Kemudian ketentuan-ketentuan tersebut tidak bertentangan dengan hak untuk

membentuk keluarga, hak untuk bebas memeluk agama, dan beribadat menurut agamanya, hak untuk bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif sebagaimana diatur dalam Pasal 28B Ayat (1), Pasal 28 E Ayat (1), Pasal 28I Ayat (1), dan Ayat (2), serta Pasal 29 Ayat (1) dan Ayat (2) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Serta, karena itu dalil-dalil yang dikemukakan oleh Pemohon tidak beralasan sehingga permohonan Pemohon harus dinyatakan ditolak. Untuk itu, dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan permohonan pemohon ditolak.8

Mahkamah Konstitusi menambahkan bahwa permohonan yang dilakukan oleh Ismail terkait dengan persoalan mengenai asas monogami, alasan dan syarat-syarat poligami, serta izin isteri dan pengadilan, itu semua tidak bertentangan dengan hak untuk membentuk keluarga, serta hak untuk bebas memeluk agama dan ajarannya. Alasan penolakan terhadap permohonan pemohon tersebut bahwa menurut Mahkamah Konstitusi poligami bukanlah merupakan kreasi atau hal baru yang diciptakan oleh ajaran Islam. Ajaran Islam justru berkehendak menertibkan poligami secara gradual (bertahap), yang bertujuan, antara lain, agar dalam pelaksanaannya tidak terjadi kesewenang-wenangan laki-laki, dan dalam rangka menjaga martabat kaum perempuan.9 Mahkamah Konstitusi memandang bahwa penolakan atas permohonan pemohon itu sebagai bentuk menciptakan kemaslahatan (atas dasar Malaḥ ah). Dimana, negara berkewajiban

menjamin terwujudnya keadilan berdasarkan kaidah bahwa pemerintah (negara) mengurus rakyatnya sesuai dengan kemaslahatannya. Oleh karena itu, menurut ajaran Islam, negara (ulil

7Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon, yang dimuat dalam Putusan MAHKAMAH

KONSTITUSI Nomor 12/PUU-V/2007 tentang Penolakan Permohonan Izin Poligami.

8

Konklusi (kesimpulan) dan Putusan MAHKAMAH KONSTITUSI Nomor 12/PUU-V/2007.

9

(6)

amri) berwenang menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh warga negaranya yang

ingin melakukan poligami demi kemaslahatan umum, khususnya dalam mencapai tujuan perkawinan, yaitu membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, yang identik dengan pengertian keluarga yang sakinah.10

II. PEMBAHASAN

A. Fungsi dan Peran Mahkamah Konstitusi

Fungsi dan peran utama Mahkamah Konstitusi adalah menjaga konstitusi guna tegaknya prinsip konstitusionalitas hukum. Dalam rangka menjaga konstitusi, fungsi pengujian Undang-Undang itu tidak dapat lagi dihindari penerapannya dalam ketatanegaraan Indonesia, sebab Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa anutan sistem bukan lagi supremasi parlemen melainkan

supremasi konstitusi. Bahkan, ini juga terjadi di negara-negara lain yang sebelumnya menganut sistem supremasi parlemen dan kemudian berubah menjadi negara demokrasi. Mahkamah Konstitusi dibentuk dengan fungsi untuk menjamin tidak akan ada lagi produk hukum yang keluar dari koridor konstitusi sehingga hak-hak konstitusional warga terjaga dan konstitusi itu sendiri terkawal konstitusionalitasnya untuk menguji apakah suatu undang-undang bertentangan atau tidak dengan konstitusi, mekanisme yang disepakati adalah judicial review yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi. Jika suatu Undang-Undang atau salah satu bagian dari padanya dinyatakan terbukti tidak selaras dengan konstitusi, maka produk hukum itu akan dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Sehingga semua produk hukum harus mengacu dan tak boleh bertentangan dengan konstitusi. Melalui kewenangan judicial review ini, Mahkamah Konstitusi menjalankan fungsinya mengawal agar tidak lagi terdapat ketentuan hukum yang keluar dari koridor konstitusi.

Fungsi lanjutan selain judicial review, yaitu memutus sengketa antar lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, dan memutus sengketa hasil pemilu. Fungsi lanjutan semacam itu memungkinkan tersedianya mekanisme untuk memutuskan berbagai persengketaan (antar lembaga negara) yang tidak dapat diselesaikan melalui proses peradilan biasa, seperti sengketa hasil pemilu, dan tuntutan pembubaran sesuatu partai politik. Perkara-perkara semacam itu erat dengan hak dan kebebasan para warga negara dalam dinamika sistem politik demokratis yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar. Karena itu, fungsi-fungsi penyelesaian atas hasil pemilihan umum dan pembubaran partai politik dikaitkan dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi

(7)

Fungsi dan peran Mahkamah Konstitusi di Indonesia telah dilembagakan dalam Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menentukan bahwa Mahkamah Konstitusi mempunyai empat kewenangan konstitusional (conctitutionally entrusted powers) dan satu kewajiban konstitusional (constitusional obligation). Ketentuan itu dipertegas dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a sampai dengan d Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, empat kewenangan Mahkamah Konstitusi, yaitu menguji undang-undang terhadap Mahkamah Konstitusi 1945, memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Mahkamah Konstitusi 1945, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilu.

Sementara, berdasarkan Pasal 7 ayat (1) sampai dengan (5) dan Pasal 24 C ayat (2)

Undang-Undang Dasar 1945 yang ditegaskan dalam Pasal 10 ayat (2) UU Nomor 24 Tahun 2003, kewajiban Mahkamah Konstitusi adalah memberi keputusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum, atau perbuatan tercela, atau tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945.11

Dari pemaparan mengenai sejarah, kedudukan dan fungsi Mahkamah Konstitusi, maka dapat disimpulkan bahwa lembaga Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga tertinggi di Indonesia, yang sejajar kedudukannya dengan Mahkamah Agung. Namun dalam kewenangannya, Mahkamah Konstitusi lebih memiliki peranan dalam menegakkan konstitusionalitas suatu produk hukum yang terbuat dalam bentuk Undang-Undang, sehingga jika suatu Undang-Undang tidak sesuai dengan prinsip dasar konstitusi yang dimuat dalam Undang-Undang Dasar tahun 1945, maka ketentuan Undang-Undang tersebut akan dibatalkan.

Sementara, berdasarkan Pasal 7 ayat (1) sampai dengan (5) dan Pasal 24 C ayat (2) UUD 1945 yang ditegaskan dalam Pasal 10 ayat (2) UU Nomor 24 Tahun 2003, kewajiban Mahkamah Konstitusi adalah memberi keputusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum, atau perbuatan tercela, atau tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.12 Terkait dengan pembahasan dalam tulisan ini, bahwa fungsi dan peran Mahkamah Konstitusi adalah berkenaan dengan fungsi kekeuasaan kehakiman untuk melakukan pengujian (yudisial

11

Janedjri M. Gaffar, Kedudukan, Fungsi dan Peran..., hlm. 13.

(8)

review). Dalam hal ini, ketentuan yang dimohonkan pemohon diharapkan untuk dilakukan

pengujian (yudisial review) terhadap Undang-Undang Dasar 1945 atas ketentuan, khusunya permohonan Izin Poligami yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan apakah bertentang dengan Undang-Undang, sehingga permohonan yang diajukan dapat dikabulkan, atau bahkan ditolak sama sekali karena ketentuan tersebut tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar tahun 1945.

B. Duduk Perkara Pengajuan Permohonan Izin Poligami dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 12/PUU-V/2007.13

Permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, diajukan oleh Ismail, yang bekerja sebagai Wiraswasta, beralamat di Jalan Merpati 1 Nomor 17 Blok Q 2 Sektor 1 Bintaro Jaya, Jakarta Selatan. Surat permohonan tersebut diajukan pada tanggal 19 April tahun2007 yang diterima oleh Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia pada tanggal 20 April tahun 2007 dan diregistrasi dengan Nomor 12/PUU-V/2007 yang kemudian diperbaiki pada tanggal 24 Mei tahun 2007.

Terkait dengan perkara pengajuan pengujian ketentuan Undang-Undang Perkawinan, Ismail selaku pemohon adalah seorang warga negara Indonesia yang mempunyai hak/kewenangan konstitusional untuk mengajukan permohonan uji materiil atas Undang-Undang terhadap Undang Dasar. Dalam hal ini, Ismail mengajukan beberapa Pasal dalam Undang-Undang Dasar, di antaranya sebagaimana diatur dalam Pasal 28B Ayat (1) Undang-Undang-Undang-Undang Dasar tahun1945 yang menentukan, “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”. Kemudian Pasal 28E Ayat (1) Undang-Undang Dasar

tahun 1945 menentukan, “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya”. Kemudian Pasal 28I Ayat (1) Undang-Undang Dasar tahun1945 menentukan, “Hak

beragama adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”, Ayat

(2): "Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan

berhak perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”. Kemudian Pasal 29

Ayat (1) Undang-Undang Dasar tahun 1945 menentukan, Negara berdasar atas Ketuhanan Yang

13Keseluruhan penjelasan mengenai duduk perkara pengajuan permohonan uji materiil ini merujuk pada

(9)

Maha Esa”, Ayat (2): “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.

Adapun materi yang dikandung dalam beberaoa pasal Undang-Undang Dasar tahun 1945 di atas, Ismail dalam permohonannya mengajukan keberatan atas beberapa pasal yang termuat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, khusus Pasal 3 Ayat (1) dan Ayat (2), Pasal 4 Ayat (1) dan Ayat (2), Pasal 5 Ayat (1), Pasal 9, Pasal 15, Pasal 24. Dalam ketentuan tersebut, menurut Ismail bahwa ketentuan seperti tersebut dalam Undang-Undang Perkawinan tersebut telah mengambil hak Pemohon untuk mendapatkan hak kebebasan beragama yaitu memeluk agama dan beribadat menurut agama masing-masing termasuk berpoligami, dengan berpedoman pada Hukum Perkawinan Islam yang berlaku, sedangkan semua syarat-syarat yang

ada dalam pasal-pasal tersebut sama sekali bukan berasal dari ketentuan agama Islam, sehingga bertentangan dengan Pasal 29 Ayat (1) dan Ayat (2) Undang-Undang Dasar tahun 1945.

Selain itu, menurut Ismail, Undang-Undang dimaksud khusus pasal-pasal yang diajukan juga telah mengambil hak asasi manusia yaitu bertentangan dengan Pasal 28B Ayat (1), Pasal 28E Ayat (1), Pasal 28I Ayat (1) dan Ayat (2) Undang-Undang Dasar tahun 1945, dan merugikan hak konstitusionalnya, karena dengan adanya ketentuan bahwa isteri diberi wewenang untuk memberikan persetujuan, maka isterinya telah menolak dan tidak bersedia memberikan persetujuan ketika ia (Ismail) berniat merencanakan akan beribadah poligami. Dalam hal ini pula, Ismail sebelumnya telah mempelajari isi Undang-Undang Perkawinan khusus pasal-pasal mengenai syarat-syarat berpoligami, dan ia berkesimpulan tidak dapat memenuhi syarat-syarat tersebut.

Sebelum diajukannya permohonan kepada Mahkamah Konstitusi, Ismail datang ke Kantor Urusan Agama (KUA) Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, dan juga Kantor Kantor Urusan Agama (KUA) di sebuah kota di daerah Jawa Tengah, menyampaikan perihal ketentuan berpoligami sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Pekawinan. Dari jawaban-jawaban lisan pihak Kantor Urusan Agama (KUA) tersebut, Ismail menganggap tidak mungkin untuk melakukan poligami karena tidak memenuhi ketentuan Undang-Undang dimaksud, sekiranya ia mengajukan permohonan poligami kemungkinan akan ditolak.

Disamping itu, ia juga menulis surat ke Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia (DPR-RI) dan Presiden RI terkait Undang-Undang Perkawinan khusus pasal akan diajukan, tetapi hasilnya juga

(10)

Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan berbunyi: “Untuk dapat mengajukan

permohonan kepada pengadilan harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 1) adanya persetujuan dari isteri-isteri; 2) adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka; 3) adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka”, menurutnya bertentangan dengan Pasal 28B Ayat (1), Pasal 28E Ayat (1) dan Ayat (2), Pasal 28I Ayat (1) dan Ayat (2), Pasal 29 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah dikemukakan di atas.

Ismail menyebutkan dalam permohonannya bahwa semestinya tiap-tiap penduduk bisa bebas melaksanakan semua bentuk perkawinan apakah perkawinan biasa atau poligami sepanjang sesuai dengan aturan agama, yang dianut oleh masing-masing para pelaku, karena Tuhan tidak

mewajibkan adanya izin isteri pertama sebagai syarat untuk beribadah poligami.14

Oleh karena itu Pemohon berkeyakinan bahwa selama ketentuan dalam pasal-pasal dimaksud, yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan masih diberlakukan, maka Pemohon sebagai warga negara Indonesia yang beragama Islam merasa dirugikan. Maka agar hak kebebasan beragama serta hak asasi manusia Pemohon untuk bisa beribadah seluas-luasnya, termasuk beribadah dalam bentuk perkawinan poligami, sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dapat berlangsung dengan baik, serta demi tercapainya hak dan kewajiban serta perlindungan yang objektif terhadap Pemohon dan semua warga negara Indonesia, maka ketentuan Pasal 3 Ayat (1) dan Ayat (2), Pasal 4 Ayat (1) dan Ayat (2), Pasal 5 Ayat (1), Pasal 9, Pasal 15, Pasal 24 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, dan Mahkamah Konstitusi harus menyatakan pasal-pasal tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat Penolakan Permohonan Izin Poligami dalam Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 12/PUU-V/2007

C. Isi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 12/PUU-V/2007

Bertalian dengan penjelasan sebelumnya, yaitu mengenai duduk perkara pemohon hingga mengajukan permohonan uji materiil terkait dengan beberapa pasal yang oleh pemohon mengurangi hak-haknya untuk menjalankan perintah agama dan hak untuk berkeluarga, maka dengan memperhatikan penafsiran yang didalilkan oleh Pemohon dan ahli yang diajukan oleh

14

(11)

Pemohon, tentang perkawinan dan poligami berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, Mahkamah Konstitusi menetapkan dengan pendapat sebagai berikut:

1. Ketentuan yang tercantum dalam Undang-Undang Perkawinan menyatakan bahwa asas perkawinan adalah monogami, namun melakukan poligami diperbolehkan dengan alasan, syarat, dan prosedur tertentu tidak bertentangan dengan ajaran Islam.

2. Ketentuan-ketentuan yang terdapat pada pasal yang dimohonkan oleh pemohon tidak bertentangan dengan hak untuk membentuk keluarga, hak untuk bebas memeluk agama, dan beribadat menurut agamanya, hak untuk bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif sebagaimana diatur dalam beberapa pasal Undang-Undang Dasar 1945 sebagai bandingan pasal yang dimohonkan.

3. Dalil-dalil yang dikemukakan oleh Pemohon tidak beralasan sehingga permohonan Pemohon harus dinyatakan ditolak.15

Konklusi atau kesimpulan akhir, Mahkamah Konstitusi menyatakan permohonan pemohon ditolak. Putusan tersebut diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim yang dihadiri oleh sembilan Hakim Konstitusi pada hari Selasa, tanggal 2 Oktober tahun 2007 dan diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Rabu, tanggal 3 Oktober tahun 2007, yaitu oleh Jimly Asshiddiqie, selaku Ketua merangkap Anggota, H. Achmad Roestandi, H.M. Laica Marzuki, Maruarar Siahaan, Abdul Mukthie Fadjar, H.A.S. Natabaya, Harjono, I Dewa Gede Palguna, dan Soedarsono, masing-masing sebagai Anggota, dengan dibantu oleh Wiryanto sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh Pemohon, Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia.16

C. Dalil dan Pertimbangan Hukum yang Digunakan Mahkamah Konstitusi

Setiap putusan, hakim tentunya memiliki dalil pertimbangan hukum yang dijadikan dasar putusannya. Fungsinya yaitu agar putusan tersebut bersifat argumentatif dan memiliki kekuatan hukum. Sama halnya dengan para hakim di setiap Pengadilan (baik Pengadilan Negeri maupun

Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah), hakim konstitusi juga memiliki dasar hukum dalam

menetapkan putusan permohonan uji materiil yang dilakukan oleh seseorang.

Bertalian dengan putusan Mahkamah konstitusi Nomor 12/PUU-V/2007 tentang penolakan izin poligami, dapat dipahami bahwa Mahkamah Konstitusi memiliki beberapa dalil dan

15Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 12/PUU-V/2007, dimuat dalamwww.mahkamah

konstitusi.go.id/index.php?page=download.Putusan&id=207. Diakses pada tanggal 25 Januari 2017.

(12)

pertimbangan hukum. Dalil dan pertimbangan hukum tersebut dapat dibagi ke dalam dua bentuk, yaitu dasar dan pertimbangan hukum Mahkamah konstitusi dalam kaitannya dengan pengaturan tentang perkawinan dan poligami menurut ajaran Islam, dan pertimbangan konstitusionalitas ketentuan-ketentuan Undang-Undang Perkawinan yang dimohonkan.

D. Dalil dan Pertimbangan Hukum Berdasarkan Ketentuan Hukum Islam.

Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa telah menjadi pengetahuan umum dan juga telah diuraikan oleh para ahli dari Pemerintah, ketika Islam diturunkan melalui Nabi Muhammad SAW, poligami atau perkawinan antara seorang laki-laki dengan beberapa orang perempuan telah dipraktikkan. Bahkan, poligami dikenal oleh hampir semua bangsa di dunia sejak ribuan

tahun yang silam. Bangsa Persia, Romawi, Mesir, Babilon, India, Asy-Syiria, dan Yunani mengenal poligami. Para nabi sebelum Nabi Muhammad SAW, seperti Nabi Ibrahim, Nabi Sulaiman, dan Nabi Daud, mengenal dan mempraktikkan poligami. Nabi Musa juga tidak melarang umatnya berpoligami. Pada masa sebelum Nabi Muhammad diangkat sebagai Rasul, yang disebut sebagai masa Jahiliyah, poligami bukan saja telah dikenal oleh bangsa Arab tetapi telah merupakan kebiasaan. Praktik poligami di zaman Jahiliyah sangat merendahkan derajat kaum perempuan. Laki-laki dapat mengawini atau menceraikan perempuan sesuka hatinya, dan berapa pun jumlahnya.17

Perempuan pada zaman jahiliyah diperlakukan hampir tidak berbeda dengan barang. Misalnya, janda-janda dari seorang ayah yang meninggal, dapat diwariskan kepada anak-anaknya untuk diperisteri. Dengan demikian poligami bukanlah merupakan kreasi atau hal baru yang diciptakan oleh ajaran Islam. Ajaran Islam justru berkehendak menertibkan poligami secara gradual, yang bertujuan, antara lain, agar dalam pelaksanaannya tidak terjadi kesewenang-wenangan laki-laki, dan dalam rangka menjaga martabat kaum perempuan.

Putusan terhadap pertimbangannya, Mahkamah Konstitusi mengutip beberapa dalil Alquran yang berkaitan dengan perkawinan dan poligami, di antaranya yaitu surat ar-Rūm ayat 21

 

 

 

 



 

 

17

(13)



Artinya:“ Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan

dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu

benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. ar-Rūm ayat 21)

Di samping itu, Mahkamah Konstitusi juga merujuk pada surat an-Nisā’ ayat 1, 3, dan ayat 129.

Adapun bunyi dari masing-masing ayat tersebut adalah sebagai berikut: Surat an-Nisā’ ayat1:

Artinya: “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu

dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah

memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah

yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan

(peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi

(14)



yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu

senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka

(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih

dekat kepada tidak berbuat aniaya”. (QS.an-Nisā’: 3).

Surat an-Nisā’ ayat 129:

Artinya: “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat Berlaku adil di antara isteri-isteri(mu),

walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung

(kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu

Mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah

Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS.an-Nisā’: 129).

Untuk menjelaskan ketentuan yang terdapat dalam ke empat ayat tersebut, Mahkamah Konstitusi juga merujuk pada pendapat ahli, yaitu Prof. Dr. M. Quraish Shihab dan Prof. Dr. Hj. Huzaemah

T. Yanggo. Menurut Mahkamah Konstitusi, kesimpulan dari keterangan kedua pendapat ahli tersebut adalah sebagai berikut:

a. Tujuan perkawinan adalah mewujudkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Terkait dengan ayat poligami, bahwa diperoleh hukum asal poligami itu adalah mubah atau

halal, yakni merupakan suatu hal yang dibolehkan. Namun kebolehan itu harus dipenuhi

(15)

pelaku, waktu, dan keadaan yang melatarbelakanginya. Dengan demikian, sebenarnya asas perkawinan yang dianut oleh ajaran Islam sebagaimana pendapat Ahli Prof. Dr. M. Quraish Shihab tersebut di atas adalah asas monogami. Artinya, poligami merupakan kekecualian yang dapat ditempuh dalam keadaan tertentu, baik yang secara objektif terkait dengan waktu dan tempat, maupun secara subjektif terkait dengan pihak-pihak (pelaku) dalam perkawinan tersebut.

b. Salah satu syarat poligami yang terpenting adalah adil. Walaupun kata “adil“ tersebut dalam arti ideal yakni mencintai isteri-isteri dan anak-anaknya secara seimbang atau sama memang tidak mungkin dapat dicapai oleh manusia, meskipun ia telah bersungguh-sungguh untuk mencapainya, sesuai dengan Firman Allah dalam surah an-Nisā’Ayat 129 sebagaimana telah

dikutip di atas. Oleh karena itu, kata “adil“ sebagai syarat berpoligami mengandung

pengertian membagi (al-qisth), yang terkait dengan kemampuan dalam memberikan nafkah atau biaya hidup bagi isteri dan/atau calon isteri serta anak-anak yang telah ada dan yang kelak akan lahir dari perkawinan poligami tersebut. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan perosedur poligami, negara berwenang mengatur (bevoeg te regel), dan berkewajiban mengatur (verplicht te regel) dalam rangka menjamin terwujudnya keadilan tersebut melalui instrumen peraturan perundang-undangan yang menjadi wewenangnya dan menegakkannya melalui peradilan. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqh yaitu: “Pemerintah (negara) mengurus rakyatnya sesuai dengan kemaslahatannya”. Oleh karena itu, menurut ajaran Islam, negara (ulil amri) berwenang menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh warga negaranya yang ingin melakukan poligami demi kemaslahatan umum, khususnya dalam mencapai tujuan perkawinan, yaitu membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia, sakinah, mawaddah dan rahmah.

c. Terhadap dalil pemohon yang mengatakan poligami sebagai suatu ibadah, maka menurut Mahkamah Konstitusi yang merujuk pada pendapat ahli bahwa poligami bukan merupakan ibadah dalam arti khusus (ibadah mahdah), tetapi ibadah ghairu mahdah, maka perlu diatur syarat-syarat pelaksanaannya. Untuk itu, pengaturan tentang persyaratan untuk poligami sebagaimana yang terdapat dalam beberapa pasal yang dimohonkan pemohon tidak bertentangan dengan ajaran Islam.

d. Terhadap dalil pemohon yang menyatakan pembatasan poligami menyebabkan besarnya

(16)

seks komersial (PSK), maka Mahkamah Kontitusi menganggap dalil tersebut merupakan hipotesis Pemohon yang tidak dibuktikan secara benar. Oleh karena hasil-hasil penelitian yang dilakukan oleh beberapa lembaga, menunjukkan hal sebaliknya, yaitu bahwa persentase perceraian yang disebabkan oleh poligami justru lebih banyak dibandingkan dengan perceraian dengan alasan lainnya. Demikian juga dalil Pemohon yang menyatakan bahwa pembatasan poligami menyuburkan perzinaan, juga belum diteliti apakah di antara mereka yang berzina itu, justru terdapat pula suami-suami yang mempunyai lebih dari seorang isteri. e. Terhadap dalil Pemohon yang menyatakan bahwa poligami diperlukan karena jumlah kaum

perempuan lebih banyak dari jumlah laki-laki, maka Mahkamah Konstitusi menimbang dan berpendapat, sekiranya benar demikian, maka hal itu tidak dapat diartikan bahwa untuk

berpoligami tidak diperlukan syarat-syarat tertentu. Pasal-pasal yang dimohonkan menyatakan bahwa poligami tidak dilarang. Namun, untuk menjamin terwujudnya tujuan perkawinan, syarat-syarat berpoligami tetap diperlukan.18

Terkait dengan dasar konstitusionalitas yang diajukan oleh Ismail, maka Mahkamah Konstitusi kemudian melakukan pengujian dan memberikan beberapa pertimbangan hukum. Dalam hal Pemohon mendalilkan bahwa pasal-pasal yang terdapat dalam Undang-Undang Perkawinan yang berkaitan dengan poligami, yaitu sebagai berikut:

Pasal 3: “(1) Pada asasnya seorang pria hanya boleh memiliki seorang isteri. Seorang wanita

hanya boleh memiliki seorang suami. (2) Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan”.

Pasal 4: “(1) Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut

dalam pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan ke Pengadilan di daerah tempat tinggalnya. (2) Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberi izin kepada suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila: a. istri tidak dapat memnjalankan kewajibannya sebagai isteri; b. istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; c. istri tidak dapat melahirkan keturunan”.

Pasal 5: “(1) Untuk dapat mengajukan permohonan ke Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam

pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini harus memenuhi syarat-syarat berikut: a. adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri; b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan

18

(17)

hidup isteriisteri dan anak-anak mereka; c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka”.

Pasal 9: “Seorang yang terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) dan dalam Pasal 4 Undang-undang ini”.

Pasal 15: “Barang siapa yang karena perkawinan dirinya masih terikat dengan salah satu dari

kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan, dapat mencegah perkawinan yang baru dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 Undang-undang ini”.

Pasal 24: “Barang siapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu dari kedua

belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini”.

Menurut Pemohon, ketentuan-ketentuan tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, yaitu terkait dengan pasal di bawah ini:

Pasal 28B: “Ayat (1), Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”.

Pasal 28E: “Ayat (1), Setiap orang berhak memeluk agama dan beribadat menurut agamanya,

memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih

tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali”.

Pasal 281: “Ayat (1), Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak

asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”.

Pasal 29: “Ayat (1), Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Dan ayat (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.

(18)

agama yang dianutnya.19 Demikian juga Undang-Undang Dasar 1945 hanya memuat prinsip-prinsip yang menjamin kebebasan menjalankan ibadah menurut agamanya. Undang-Undang Perkawinan yang mengatur tentang alasan, syarat, dan prosedur poligami dimaksud sama sekali tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip tersebut di atas.

Undang-Undang Perkawinan menurut Mahkamah Konstitusi justru memperkuat jaminan tersebut sebagaimana dengan tegas diuraikan dalam Penjelasan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang

Perkawinan yang berbunyi, “Dengan rumusan pada Pasal 2 Ayat (1), tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang- Undang Dasar 1945. Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan

kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam

undang-undang ini“.20

E. Alasan Dasar Penolakan Izin Poligami oleh Mahkamah Konstitusi

Sub bahasan ini tentunya tidak terlepas dari kajian materi sub bahasan sebelumnya, yaitu mengenai dalil dan pertimbangan Mahkamah Kontitusi dalam mengeluarkan putusan Nomor 12/PUU-V/2007. Dalam menguji pemohonan uji materiil yang diajukan oleh Ismail, Mahkamah Konstitusi memandang bahwa ketentuan-ketentuan mengenai syarat poligami tidak terlepas dari upaya menciptakan kemaslahatan umum (mashlahah al-‘ ammah). Artinya, pemerintah dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam membuat suatu ketentuan Undang-Undang harus mengupayakan aturan yang dibuat sesuai dengan kemaslahatan umum.21

Mahkamah Konstitusi, juga merujuk pada beberapa keterangan para ahli (seperti Quraish Shihab dan Huzaemah sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya) yang menyatakan bahwa pemerintah berwenang dalam menciptakan kemaslahatan umat. Mahkamah Konstitusi dalam hal ini nampaknya merujuk pada satu kaidah umum yang ada dalam hukum Islam, yaitu:

“Pemerintah (negara) mengurus rakyatnya sesuai dengan kemaslahatannya”. Untuk itu, syarat-syarat poligami dalam Undang-Undang Perkawinan yang dianggap pemohon bertentangan deng

19

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 12/PUU-V/2007, dimuat dalamwww.mahkamah konstitusi.go.id/index.php?page=download.Putusan&id=207. Diakses pada tanggal 25 Januari 2017.

20Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 12/PUU-V/2007, dimuat dalamwww.mahkamah

konstitusi.go.id/index.php?page=download.Putusan&id=207. Diakses pada tanggal 25 Januari 2017.

21

(19)

1945, menurut Mahkamah Konstitusi tidak menyalahi hukum Islam dan Hukum yang dimuat dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

III. KESIMPULAN

Pertimbangan hakim kontitusi dalam menolak permohonan uji materil tentang izin poligami ada dua pertimbangan. Pertama, yaitu pertimbangan menurut hukum Islam. Di mana menurut MK poligami dalam Islam bukanlah kreasi atau hal baru dalam ajaran Islam, karena poligami telah dipraktekkan oleh masyarakat sebelum Islam. Islam berkehendak menertibkan poligami secara gradual, yang bertujuan, antara lain, agar dalam pelaksanaannya tidak terjadi kesewenang-wenangan laki-laki, dan dalam rangka menjaga martabat kaum perempuan. Untuk itu, dalam

menjaga kesewenang-wenangan tersebut, dalam Islam ditetapkan hukum poligami dengan syarat adil sebagaimana dimuat dalam surat an-Nisā’ ayat 129. Kebolehan poligami dalam Islam bukan disebabkan karena substansinya, melainkan karena kondisi pelaku, waktu, dan keadaan yang melatarbelakanginya. Dengan demikian, sebenarnya asas perkawinan yang dianut oleh ajaran Islam. Kedua, yaitu pertimbangan konstitusiona pasal-pasal yang dimohonkan. Menurut MK, Negara wajib mengatur ketertiban perkawinan. Undang-Undang Perkawinan yang memuat alasan, syarat, dan prosedur poligami, sesungguhnya semata-mata sebagai upaya untuk menjamin dapat dipenuhinya hak-hak isteri dan calon isteri yang menjadi kewajiban suami yang berpoligami dalam rangka mewujudkan tujuan perkawinan. Dengan demikian, hal dimaksud tidak dapat diartikan meniadakan ketentuan yang memperbolehkan perkawinan poligami.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Majid Mahmud Mathlub, Al-Wajiz fi Ahkam al-Usrah al-Islamiyah, ed. In, Panduan

Hukum Keluarga Sakinah, Surakarta: Era Intermedia, 2005.

Al Yasa’ Abu Bakar,Ahli Waris Sepertalian Darah; Kajian Perbandingan Terhadap Penalaran Hazairin dan Penalaran Fikih Mazhab, Jakarta: INIS, 1998.

Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 2000.

Amir Syarifuddin, Usul Fiqih, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011.

(20)

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003.

Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, Jakarta: Amzah, 2004.

Abdul Wahhab Khallaf, al-‘ Ilmu al-Ushulul Fiqh, ed. In, Kaidah-Kaidah Hukum Islam; Ilmu Ushulul Fiqh, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.

Abdurrahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2003.

Abdul Manan, Refoemasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006.

Fauzi, Teori Hak dan Istislahi dalam Fiqh Kontemporer; Sebuah Aplikasi pada Kasus Hak

Cipta, Banda Aceh: Arraniry Press, 2012.

Ghufran Ajib Mas’adi, Pemikiran Fazlul Rahman tentang Metodologi Pembaharuan Hukum Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997.

Hasbi as-Shiddieqi, Falsafah Hukum Islam, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001.

Hamid Sarong, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Banda Aceh: Yayasan PeNA, 2005.

Hartono Ahmad Jaiz, Wanita; antara Jodoh, Poligami dan Perselingkuhan, Jakarta: Pustaka al-Kausar, 2007.

Jamaluddin dan Nanda Amalia, Buku Ajar Hukum Perkawinan, Lhokseumawe: Unimal Press, 2016.

Kementerian Agama RI, Hukum, Keadilan dan Hak Asasi Manusia; Tafsir Alquran Tematik, Jakarta: Aku Bisa, 2012.

Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005.

Masyfuk Zuhdi, Masāil Fiqhiyyah, dalam Abdur Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006.

Mustafa Hasan, Pengantar Hukum Keluarga, Bandung: Pustaka Setia, 2011.

Saifuddin Anwar, Metode Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.

Supardi Musalin, Menolak Poligami; Studi tentang UU Perkawinan dan Hukum Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.

(21)

Tihami & Sohari Sahrani, Fikih Munakahat; Kajian Fikih Nikah Lengkap, Jakarta: Rajawali Pers, 2010.

Tim Pustaka Phoenix, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Pustaka Phoenix, 2012.

Taufiqurrahman Syahuri, Legislasi Hukum Perkawinan Di Indonesia; Pro-Kontra

Pembentukannya Hingga Putusan Mahkamah Konstitusi, Jakarta: Kencana Prenada Media

Group, 2013.

Umi Sumbulah, dalam Warkum Sumitro, dkk, Konfigurasi Fiqih Poligini Kontemporer; Kritik

tehadap Paham Ortodoksi Perkawinan Poligini di Indonesia, Malang: Universitas Brawijaya

Press, 2014.

Wael B Hallaq, A History of Islamic Legal Theories, ed. In, Sejarah Teori Hukum Islam;

Pengantar untuk Ushul Fiqh Mazhab Sunni, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001.

Wahbah Zuhaili, Al-Fiqhu al-Islām wa Adillatuhu, ed. In, Fiqih Islam; Pernikahan, Talak,

Khulu’ Meng-Ila’ Isteri, Li’ an, Zhihar, Masa Iddah, Jakarta: Gema Insani, 2011.

Warkum Sumitro, dkk, Konfigurasi Fiqih Poligini Kontemporer; Kritik tehadap Paham

Referensi

Dokumen terkait

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007;

Kadangkala, wasir internal ini dapat menonjol keluar dari anus sehingga anda dapat merasakannya sebagai suatu tonjolan kulit yang basah yang tampak lebih merah

Karena peneliti menemukan satu perkawinan Samin Kudus yang tanpa melalui proses ngendek sebagaimana dilakukan pasangan Agus Gunawan (putra Bpk. Wargono, Ibu Niti Rahayu)

sehingga variabel kondisi drainase menjadi variabel yang paling signifikan berpengaruh terhadap tingginya.. kerentanan wilayah terhadap banjir di Kecamatan Manggala.

Salah satu kemampuan berpikir tingkat tinggi yaitu kemampuan pembuatan keputusan ( decision-making ). Pembuatan keputusan merupakan suatu bentuk penyelesaian akhir dari

Dari semua orang yang membantu mengembangkannya, salah satu orang yang harus kita ucapkan terima kasih adalah Lawrence Robert dan tim ilmuan komputer yang bekerja.. di

Dari hasil penelitian ini didapatkan bahwa temperatur solution treatment tidak mempengaruhi fasa yang terbentuk pada copperized- AISI 1006, yaitu tetap berupa α -ferit..

Struktur baja dapat dibagi menjadi tiga kategori umum, yaitu : (a) struktur rangka (framed structure), di mana elemen-elemennya kemungkinan terdiri dari batang-batang tarik,