• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Deskriptif dan Analitis Identitas Musikal Nias yang Terkandung Dalam “Zinunö BNKP”

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi Deskriptif dan Analitis Identitas Musikal Nias yang Terkandung Dalam “Zinunö BNKP”"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LATAR BELAKANG KEBUDAYAAN NIAS

Pada bab II akan dijelaskan secara singkat gambaran mengenai suku yang

menjadi bahan penelitian penulis. Penjelasan meliputi sejarah suku Nias, kontak

eksternal, masyarakat Nias di Medan, bahasa, dan sistem kekerabatan. Lebih jauh

akan dijelaskan sistem kepercayaan masyarakat setempat untuk mengetahui agama

leluhur dan masuknya agama-agama yang lain mengingat tulisan ini membahas

Zinunö yang digunakan oleh jemaat BNKP. Aspek-aspek lain yang penting dibahas

adalah kesenian lokal yang menjadi kebudayaan masyarakat setempat. Berikut adalah

uraian tersebut secara umum.

2.1 Sejarah Suku Nias

Suku Nias adalah kelompok dominan masyarakat yang mendiami Pulau Nias,

termasuk wilayah-wilayah Kota Gunungsitoli, Kabupaten Nias, Kabupaten Nias

Selatan, Kabupaten Nias Barat, dan Kabupaten Nias Utara, Sumatera Utara. Dalam

bahasa aslinya, orang Nias menamakan diri mereka "Ono Niha". „Ono‟ artinya„anak‟

atau „keturunan‟ dan„niha‟ artinya „manusia‟ dan Pulau Nias disebut sebagai "Tanö

Niha". „Tanö‟ adalah„tanah‟ dan „niha‟ adalah „manusia‟(Zebua, 2008:1).

Latar belakang sejarah orang Nias dapat dilihat dari dua perspektif: Non

ilmiah (kepercayaan lokal yang bersifat lisan) dan ilmiah (data-data sejarah/teoritis).

(2)

asal- usul mereka. Hal ini dapat diketahui dari cerita legenda, dan syair yang disebut

hoho. Hoho yang yang berkembang di Nias menyebutkan bahwa penguasa alam semesta adalah Lowalangi, atau sering disebut Langi Sagoro. Langi memiliki 2 orang istri yang pertama adalah Sirici yang kemudian melahirkan Bela, sedangkan istri kedua bernama Sinaria yang kemudian melahirkan Nadaoya. Suatu hari Langi Sagoro memerintahkan putrinya Bela untuk turun kebumi menggunakan liana laraga

yaitu sejenis tumbuhan yang biasa merambat dipohon. Onombela dikenal memiliki kulit yang sangat putih dan cantik parasnya. Karena kecantikan yang dimilikinya

membuat onombela khawatir akan keselamatannya dan memilih untuk bersembunyi di hutan dan digoa. Onombela memiliki kekuasaan atas hutan dan segala jenis

binatang yang ada. Onombela inilah yang kemudian menjadi leluhur ono niha. (Hammerle 2008:104-126). Namun demikian, legenda ini adalah sejarah lokal yang

tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Disisi lain, ada berbagai spekulasi teoritis mengenai asal- usul orang Nias

Dari perspektif ilmiah, banyak studi yang telah dilakukan untuk mengetahui asal-

usul Suku Nias, antara lain studi- studi yang dilakukan Sony Wibisono7, Herawati Sudoyo8, Prof. Harry Truman Simanjuntak9, dan Mannis van Oven10. Beberapa diantaranya berpendapat bahwa Pulau Nias sudah dihuni manusia sejak 12.000 tahun

silam; mereka bermigrasi dari daratan Asia ke Pulau Nias pada masa

7Penelitian Arkeologi Nasional

8

Deputi Direktur Lembaga Eijkman

9

Puslitbang Arkeologi Nasional dan LIPI Jakarta

10

(3)

paleolitik11.Prof. Simajuntak lebih jauh menegaskan akan adanya indikasi bahwa Pulau Nias sudah dihuni sejak 30.000 tahun lampau. Pada masa itu hanya budaya

Hoabinh12Vietnam yang sama dengan budaya yang ada di Pulau Nias, sehingga diduga kalau asal usul suku Nias berasal dari daratan Asia di sebuah daerah yang kini

menjadi negara yang disebut Vietnam13 (F. Zebua 2008:4). Penelitian genetika

terbaru menemukan bahwa masyarakat Nias, Sumatera Utara, berasal dari rumpun

bangsa Austronesia. Nenek moyang orang Nias diperkirakan datang dari Taiwan

melalui jalur Filipina 4.000-5.000 tahun lalu. Mannis van Oven, mahasiswa doktoral

dari Department of Forensic Molecular Biology, Erasmus MC-University Medical

Center Rotterdam beserta dengan tim meneliti 440 contoh darah warga di 11 desa di

Pulau Nias dan memaparkan bahwa dari semua populasi yang telah diteliti,

kromosom- Y dan mitokondria- DNA orang Nias sangat mirip dengan masyarakat

Taiwan dan Filipina14. (Oven 2000: 300 -349).

Zebua didalam bukunya, Kota Gunungsitoli: Sejarah Lahirnya dan P erkembangannya, mengungkapkan bahwa asal usul leluhur pertama Ono niha turun dari negeri asalnya Tetehöli Ana'a ( kira-kira dari Indocina-Vietnam sekarang) antara 2000-1000 BC. Mereka berjumlah 5 orang yang disebut Silima Börödanömö ( Lima Induk Puak) datang berurutan dalam selang waktu yang relatif singkat.

Ketika para leluhur pertama itu tiba di Tanö Niha, tidak seorang pun manusia yang

11

Paleolitik (palaeolithic) adalah sebuah terminologi didalam antropologi yang menegaskan sesuatu yang berhubungan dng penamaan tingkat tradisi kebudayaan atas dasar teknik pembuatan alat batu dari masa berburu dan mengumpulkan makanan (Kamus Antropologi, 2006:127)

(4)

mendahului mereka sehingga mereka dan keturunan mereka menjadi etnis pertama

dan penduduk asli di TanöNiha dan kepulauan sekitarnya. Keturunan dari masing-masing leluhur Silima Börödanömömemakai identitas. Mula-mula mereka memakai istilah ono (anak) atau iraono (jamak dari anak), misalnya ono Delau,ono Dohulu,

iraono Lase, iraono Huna dan sebagainya. Tetapi kemudian pada zaman pemerintahan Belanda (sewaktu dikeluarkan zirat Pas yaitu sejenis Kartu Penduduk)

mulai dipergunakan istilah mado (dari madou artinya cicit-piut, bani). Istilah mado

bukan hanya diambil dari nama leluhur pertama itu tetapi juga dari nama leluhur

berikutnya yang lebih terkenal jaya menurut mereka (menurut gelar karena pesta

adat"owasa15").

Sebutan “Nias” yang dikenal sekarang ini sebenarnya bukanlah merupakan

bahasa asli ono niha (orang Nias). Dalam bahasa Nias, orang Nias menyebut diri mereka sebagai ono niha (anakmanusia) dan tempat mereka berada sebagai Tanö niha

(tanah manusia). Istilah Niaskemungkinan merupakan istilah yang ditimbulkan

semasa penguasa bangsa barat, yangkarena faktor bahasa menyebutkan istilah niha

dengan nihas (Nias). Perubahan nama inijuga terjadi dalam menyebutkan nama-nama berbagai tempat di Nias, seperti KotaGunungsitoli yang dalam bahasa dahulu kala

disebut luaha. Nama Gunungsitoli kemungkinan berasal dari kata onozitoli yang merupakan nama suatu daerah di dekat Gunungsitoli sekarang ini.

15

(5)

Terlepas dari spekulasi-spekulasi yang sudah disampaikan baik secara ilmiah

maupun secara lisan, orang Nias sudah tinggal di pulau Nias sejak zaman dahulu.

Mereka berkembang tidak saja dalam hal agama dan kepercayaan tetapi juga dalam

hal pendidikan, ekonomi, teknologi, maupun politik. Sementara terkait asal- usul

leluhur orang Nias masih belum diketahui secara jelas dan pasti. Kendatipun

demikian dari manapun Ono Niha berasal, mereka telah membangun sistem kehidupannya baik organisasi sosial, sistem kepercayaan, kearifan lokal, maupun

bidang kesenian.

2.1.1 Kontak Dengan Ekternal

2.1.1.1 Kontak Dengan Orang Aceh

Pada tahun 1058 H atau 1639 AD, dari Preumbeue- Melaboh (Aceh Barat),

seorang Aceh bernama Lebai Pulit alias Tengku Polem membawa perahu seorang diri

terdampar di kuala sungai Laraga dekat Kampung Luahalaraga (Pusat Kerajaan Laraga). Karena dia dianggap "emali dawa Ace" (orang Aceh penculik dan perampok), penduduk menangkapnya dan dianiaya kemudian dihadapkan kepada

Raja Laraga, Tuhenori Balugu Samono Tuhabadano Zebua. Setelah melalui proses, ia

ditawan dan dikurung selama beberapa waktu.Kemudian baginda Harimao Harefa

dengan puteranya dari Onozitoli datang dan Luahalaraga menanyakan perihal Tengku

Polem. Setelah di mengerti maka mereka meminta kepada Raja Laraga untuk

menebusnya. Raja Laraga mengizinkannya, sehingga ia dibawa ke Onozitoli dan

(6)

Beberapa tahun kemudian, karena telah bekerja baik dan jujur, maka Tengku

Polem dikawinkan dengan Kabowo, anak perempuan Harimao Harefa (dengan sistim

Ono Yomo = menantu yang diangkat anak sementara). Dan perkawinan itu, mereka mendapat anak laki-laki: Simaoga (Simeugung) dan perempuan Siti (Siti Zohora).

Setelah baginda Harimao Harefa meninggal dunia, Tengku Polem bersama dengan

ipar-mertuanya Ko owa Kehemanu Harefa (dengan saudara Fagowa dan Kehomo)

pindah dari Onozitoli. Mula-mula mereka bermukim di Osalafakhe-Turewodo, lalu di

Tetehosi Miga, terus di Dahana„uwe (desa Lasara sekarang). Untuk sementara

Tengku Polem sekeluarga tinggal bersama ipar-mertuanya Ko owa Kahemanu.

Kemudian kepadanya diberikan tempat pemukimannya di Siwulu (desa Mudik

sekarang). Setelah bermukim di Siwulu, Tengku Polem menyuruh anaknya

Simeugang belajar Agama Islam di Meulaboh sampai belasan tahun di sana16.

2.1.1.2 Kontak Dengan Orang Minangkabau

Pada tahun 1109 H (1669 AD), sebuah perahu layar dari Minangkabau

menuju Aceh Barat diserang angin taufan, sehingga terdampar di Teluk Tolubalugu

(Teluk Belukar sekarang, 15 km dari Gunungsitoli). Setelah mendapat informasi dari

penduduk setempat, perahu tersebut kembali berlayar melalui pelabuhan Luahanou di

Gunungsitoli. Pemimpinnya ialah Datuk Ahmad Caniago bersama dengan Ahmad

Linto (Rinto), dan Datuk Kumango serta beberapa teman lain. Mereka berasal dari

Kampung Dalam, Negeri P ariaman, P adang P anjang, Luhak Tanah Datar,

16

(7)

Minangkabau. Mereka berlabuh di Luahanou. Tidak berapa lama kemudian mereka dapat menemukan Tengku Polem di Siwulu. Mereka itu disebut "Dawa Ndare" dan "Dawa Kumango"17.

2.1.1.2.1Kontak Dengan Etnis Melayu Lainnya

A. Etnis Melayu

Selain Etnis Aceh dan Minangkabau yang berdomisili di Mudik dan tim tersebut

di alas, masih ada etnis laindari Sumatera, yang datang dan tinggal menetap di Nias,

terutama sekitar Gunungsitoli. Mereka semua disebut "Dawa Melayu" (Etnis Asing Beragama Islam).

B. Akibat Kehadiran Orang Melayu / Dawa Melayu

Kehadiran mereka di Nias umumnya dan di Gunungsitoli khususnya membawa

kekacauan, bencana dan penderitaan penduduk, kehancuran Banua dan Ori. Tentang "Dawa Melayu" ini perlu disimak kembali tulisan Schroder:

"Dua bangsa mengeksploitasi keadaan ini untuk diri sendiri dan menghasut sebanyak mungkin permusuhan di antara mereka. Mereka itu adalah orang Aceh dan Melayu yang bermukim di sini. Dari semua daerah di Sumatera, terdapat orang Melayu yang berhimpun di sini, di antaranya pencari harta dan pelarian karena kejahatan".

Menurut penyelidikan Zebua, mereka berasal dari Mukomuko, Priaman,

17

(8)

Priangan (dekat Padang Panjang), Surabaya, Tarusan, Teloksemawe. Sedangkan

kebanyakan etnis asing yang lain itu diketahui berasal dari Aceh, Bugis, Melayu atau

Arab. Dengan nada serupa, majalah Tijdschr N.I.,berkata: "P elabuhan-pelabuhan ini (utara) menjadi tempat pelarian untuk orang-orang demikian dan daerah-daerah lain yang mencoba mengingkari pemerintahan gubernemen". Sumber lain mengatakan: "mereka bersikap angkuh terhadap orang-orang Nias, mengikatnya dalam dagang dan mencari keuntungan dengan segala cara yang memungkinkan dengan mengorbankan orang Nias. Beberapa orang berhasil mengangkat dirinya sebagai Kepala Kampung atau Kepala Negeri-negeri kecil dan berlindung di belakang sejenis pertahanan Gubernemen Belanda... Rupa -rupanya mereka terlalu lemah atau tak acuh untuk melindungi penduduk dengan kekerasan atas keberanian orang-orang asing itu"18.

2.1.1.3 Kontak Dengan Orang Belanda

A. Kedatangan Orang Belanda

Bangsa atau Orang Belanda dipanggil oleh Ono Niha sebagai “Dawa (Naha) Balanda" sedang Orang Inggris disebut "Dawa / Niha Hagori”. Orang Belanda yang datang di Nias berstatus dua, yaitu: mula-mula (1669-1840) selaku pedagang, dengan

nama organisasinya "Vereniging de Oost Indische Compagnie" alias VOC (=

Perserikatan Dagang Hindia Timur). Dari istilah Compagnie (Kompeni), timbul

istilah rakyat "komboni" (gomboni) Balanda; kemudian dengan status Pemerintah

18

(9)

dengan status Pemerintah Penjajah, yang disebut Gouvernement Nederland Oost

Indie (= Pemerintah Hindia Timur Belanda). Karena rakyat telah biasa menyebut

Belanda Pedagang adalah Komboni, maka Pemerintah Penjajah pun disebut saja

Komboni, walaupun sebenarnya manurut bahasa Melayu, Gubernemen adalah

Pemerintah (dari Gouverment), yang kemudian dibahasaniaskan oleh rakyat dengan

kata "famareta".

Orang Belanda yang pertama kali datang di Tanö Niha ialah Davidson, Kepala Cabang VOC di Baros, untuk meneliti keadaan di Tanö Niha. Belai mencari kemungkinan diadakannya hubungan dagang, dengan mengunjungi

pelabuhan-pelabuhan sekeliling Tanö Niha pada tahun 1665. Di samping tujuan utama ini, ia juga melaporkan bahwa ia telah melihat adanya pergaulan orang Nias dengan orang

Melayu dan Agama Islam telah berpengaruh terhadap kehidupan kebudayaan dan

kepercayaan Nias.

1.1.1.4Kontak dengan Orang Inggris

Pada tahun 1756, orang Inggeris yang disebut "Dawa Hagori" merebut Tanö Niha bagian Utara dari VOC Belanda, termasuk Gunungsitoli. Sebagai tanda daerah yang telah dikuasai mereka memancangkan tiang bendera yang terbuat dari besi.

Tiang itu disebut "mandrera, masih terdapat di pinggir sungai Nou sebelah utara (sebentang desa Dahana, kira-kira 4 km dari Kota Gunungsitoli). Bukti ini

menandakan bahwa Kota Gunungsitoli pernah diduduki Inggris. Sungguhpun

demikian, kenyataannya menunjukkan bahwa aktivitas Inggeris di daerah ini tidak

(10)

tersebut. Jadi baik-buruknya, manis-pahitnya kekuasaan Inggeris di daerah ini atau di

kota Gunungsitoli hingga tahun 1825, tak ada dalam catatan sejarah.

2.1.1.5 Kontak dengan Orang Jepang

Pada masa perang Dunia II di Asia, Jepang menaklukkan Negara-negara

jajahan Hindia Belanda secara serempak. Jepang menyerang Belanda di Indonesia

pada Tanggal 8 maret 1942. Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang di

Kalijati-Jawa Barat. Sejak Itu, Jepang yang berkuasa di Indonesia, termasuk di daerah

Nias. Dalam bulan Maret 1942, tentara dan pemerintah (Dai Nippon) jepang tiba di

Gunungsitoli, tanpa perlawanan Belanda dan Rakyat. Bahkan Orang Belanda, baik

sipil maupun militer telah lebih dahulu dibekuk dan ditawan oleh barisan pejuang

Putera Nias, sebagai pejuang kemerdekaan, sehingga kedatangan Jepang disambut

dengan hangat dan akrab, dengan lebih dahulu di utus pemandu ke Sibolga. Bangsa

Jepang dinamai Ono Niha “Nifo” atau “Zafa”.

2.1.1.6 Kontak dengan Misionaris R.M.G. Jerman

Ono Nihamenyebut orang Jerman dengan sebutan “Dawa/NIha Geremani”.

Orang Jerman datang di Tano Niha atas permintaan pemerintah Belanda di Nias dan Sumatera Barat kepada pemerintah di Batavia dan di Nederland, untuk mengajar dan

mengembangkan agama Kristan di Tano Niha. Padahal latar belakang politisnya adalah untuk melemahkan dan mematikan jiwa patriotis-herois Ono Niha yang menentang Belanda.Sebenarnya, sebelum misionaris Jerman datang, misionaris

(11)

Malaya-Malaysia), yaitu Pastor Vallon (Maret 1832). Beliau tinggal diNoord Nias berada di

Gunungsitoli dan District Zuid Nias berada di Teluk Dalam19.

Namun kemudian pada tanggal 27 september 1865, misionaris Jerman utusan

RMG (Rheinische Missionaris Gesellschaft) Barmen-Jerman bernama Ernst Ludwig Dennginger tiba dan menetap di Gunungsitoli. (Ia datang dari Padang setelah 6 tahun

di situ dan dapat berbahasa Nias yang dipelajarinya dari Ono Niha yang tinggal di Padang). Lalu beliau terus menyebarkan agama Kristen Protestan di Gunungsitoli dan

kampung sekitarnya. Kemudian pendeta-pendeta Jerman penggantinya menyebarkan

agama Protestan ke seluruh Tanö Niha, dengan berpusat di Gunungsitoli.

Di samping agama, para Misionaris itu mengembangkan sekolah (Sikola

Ndraono = sekolah dasar yang dimulaidi Gunungsitoli pada Tahun 1866 oleh E. Dennginger baru kemudian menyebar ke seluruh Tanö Niha). Sekolah tersebut

disebut sekolah Zending20 (berkelas III, VI, V); selain itu ada sekolah guru Seminari dan sekolah Pendeta di Ombolata-Gunungsitoli, dan beberapa sekolah Injil (Sikola Zinenge). Mereka juga mengembangkan kesehatan dengan mendirikan beberapa poliklinik, Rumah Sakit penolong dan Rumah Sakit Besar di Gunungsitoli (1934). Di

bidang Ekonomi mereka mendirikan Toko Henneman di Gunungsitoli (1908), dan

pabrik Kopra (1913).

2.1.1.6.1 Kerjasama Jerman dengan Belanda

19

Op.cit, hal 99

20

(12)

Dalam usaha mengembangkan agama dan bidang-bidang lain tersebut di atas,

pendeta misionaris Jerman menjalin kerjasama dengan pemerintah Belanda dan saling

menjadi ujung tombak dan perisai untuk menghadapi Ono Niha sesuai dengan kondisi dan situasi. Pendeta Misionaris melemahkan dan mematikan perlawanan

rakyat melalui pengajaran agama, mendamaikan dan mengampuni para pemimpin

peperangan (seperti balugu Balohalu Waruwu pemimpin perlawanan dari daerah

Ma‟u, beliau diampuni oleh Pendeta DR. W. H. sunderman di Lolowa‟u tahun 1901).

Pejabat pemerintah Belanda, menggerakkan pembangunan gereja, sekolah, rumah

sakit, rumah guru, dsb, dengan menghukum rakyat pembangkang atau yang malas

bergereja atau yang malas bersekolah. Pendeta Jerman yang dianggap fasih dalam

bahasa Nias juga sering dipanggil oleh pemerintah Belanda dalam perkara-perkara

rakyat. Dengan menjadi juru bahasa, banyak terbuka kedok dari juru bahasa orang

melayu yang sengaja berkhianat dalam menerjemahkan ucapan setiap pihak dalam

persidangan pengadilan, demi mencari keuntungan material dan politik mereka 21.

2.1 Masyarakat Nias di Medan

Tafonao menegaskan bahwa migrasi besar orang Nias diperkirakan sudah

terjadi sejak abad ke-17 yaitu pada waktu terjadinya interaksi perdagangan dengan

Arab dan bangsa Cina serta Hindia, pada saat berlangsungnya jalur perdagangan

21

(13)

menuju Barus22. Tanö Niha menjadi lumbung tempat penyimpanan bahan-bahan untuk kebutuhan selama berlangsungnya perdagangan di Baros. Nias merupakan

daerah terdekat menuju Baros yang ramai dikunjungi kapal-kapal dagang dari

berbagai daerah sehingga orang Nias mempunyai peran penting dalam kelangsungan

perdagangan waktu itu seperti menyediakan tenaga kerja yang kuat dan mudah

dihimpun, karena karakter orang Nias ialah menghormati dan patuh pada

pemimpinnya. ( Tafonao, 2012:26)

Masyarakat suku Nias yang tinggal di Kota Medan (dahulunya Sumatera

Timur) diperkirakan dimulai sejak dibukanya onderneming23perkebunan tembakau danperkebunan karet yang dikenal dengan HVA. Banyak orang Nias bekerja

diperkebunan yang pada waktu itu karet menjadi “primadona” bagi orang

Belanda(Tafonao, 2012:30). Inilah awal dan sejarahnya masyarakat suku Nias tinggal

dan menetap di Kota Medan. Factor lain yang menyebabkan terjadinya imigrasi

adalah untuk mendapat kehidupan yang lebih baik dan layak serta mencari ilmu yang

setinggi- tingginya, khususnya bagi para muda- mudi yang baru selesai menamatkan

sekolahnya.Beberapa daerah yang ditempati orang Nias di Medan adalah Helvetia,

Mandala, Kampung Susuk, Simalingkar, Padang Bulan, Sunggal, dan hampir disetiap

daerah kita dapat menjumpai masyarakat Nias. Beberapa organisasi yang dibentuk di

Medan adalah; STM Sehati, STM Faomakhöda, STM Kasih Karunia, STM Saradödö.

Ada juga organisasi lain yang bersifat kepemudaan, gerejawi, pendidikan dan

22Tafo ao, Agus.

Analisis Musik Vokal Pada Pertunjukan Maena DalamPesta Adat Falöwa (Perkawinan) MasyarakatNias Di Kota Medan “kripsi. Meda : Fakultas Il u Buda a, Universitas Sumatera Utara.

23

(14)

pembangunan juga berdiri di Kota Medan, seperti Gerakan Mahasiswa Nias (GMN),

Generasi Muda Nias (Gema Nias), Forum Mahasiswa Nias Peduli Nias

(FORMANISPE), Komisi pemuda BNKP Hilisawatö

2.2 Bahasa

Masyarakat Nias mempunyai bahasa ibu yang disebut Li Niha. Dahulu Sebelum ndrawa (orang yang bukan berasal dari suku Nias) datang ke Nias, semua orang di Niasmenggunakan Li Niha . Setelah terjadinya hubungan dengan orang asing, kemudian sebagian masyarakat Nias (khususnya di Gunungsitoli) mulai

mengerti dan menggunakan bahasa Melayu (sekarang bahasa Indonesia) dan Belanda

(khususnya pada masa penjajahan). Namun demikian, sampai sekarang masih ada

masyarakat Nias yang masih belum mengerti bahasa Indonesia, khususnya pada

masyarakat di pedalaman pulau Nias. Hal ini dibenarkan oleh pendapat Man Harefa

selaku tokoh masyarakat, mengatakan bahwa masih banyak masyarakat Nias yang

belum mengetahui bahasa Indonesia, terutama didaerah terpencil seperti pedalaman

di daerah Nias Selatan (Gomo), maupun di tempat lainnya(Harefa, dalam Harefa 2012:42).

Satu keunikan dari bahasa Nias, yaitu huruf konsonan pada akhir kata tidak

ada. Jadi apabila masyarakat Nias zaman dahulu jika berbicara dengan memakai

bahasa Indonesia akan terlihat unik, contohnya kata „makan, minum, lem, dan

rumpu‟, ono Niha pasti akan berkata „maka, minu, le, da rupu. Hal ini disebabkan

karena struktur bahasa Nias yang tidak mempunyai huruf konsonan pada akhir kata.

(15)

dengan huruf ö24. Jadi bahasa Nias mempunyai 27 huruf. Masing- masing huruf dibentuk menjadi sebuah kata dan setiap kata berakhir dengan huruf vokal.

Kita mengetahui struktur bahasa Indonesia adalah „S-P-O-K‟, maka struktur

bahasa Nias berbeda. Menurut bapak Yas Harefa (2012) struktur bahasa Nias dimulai

dari predikat subjek- objek- keterangan. Contoh perbedaan bahasa Nias dan

Indonesia yaitu :

Bahasa Nias mempunyai logat dan intonasi yang berbeda-beda sesuai dengan

daerah yang terbagi 3, yaitu utara, tengah dan selatan. Selain itu masyarakat Nias

Utara dan tengah mempunyai perbedaan kosa kata dengan Nias Selatan. Masyarakat

Nias dapat mengetahui orang tersebut apakah berasal dari Nias bagian utara, tengah

atau selatan dari cara mereka berbicara dan intonasinya. Berikut contoh transkripsi

bahasa Nias bagian utara, tengah dan Selatan (Harefa, dalam Harefa 2012:43).

Nias Utara : hezo möi’ö : kemana kamu pergi

Nias Tengah : hezo möi’ö : kemana kamu pergi

Nias Selatan : Haega hö möi : kemana kamu pergi

Pada masa penyebaran ajaran Kristen di Nias, para missionaris juga berusaha

untuk melakukan pendekatan melalui li niha. Selama proses ini berlangsung, para

24Me urut Bpk Bu’ulölö. Huruf ö a g ada dala siste ahasa Nias erupaka pe garuh

(16)

missionaris banyak mengganti bahasa Nias dengan makna dan pemahaman yang baru

untuk mempermudah ono niha memahami konsep ajaran Kristen. Beberapa diantaranya adalah:

1. Lowalangi sebagai Allah

Ono niha memiliki keyakinan bahwa Lowalangi adalah adu/dewa atau Tuhan yang tertinggi, Pencipta alam semesta dan berurusan dengan hidup dan mati. Ono

niha sangat menghormati Lowalangi, sehingga dalam berbagai ritual mereka

menggunakan jasa seorang ere 25 sebagai mediator kepada Lowalangi. Para missionaris menggunakan kata lowalangi sebagai nama Allah (Ellohim). Sehingga ketika ono niha memanggil nama lowalangi, mereka tidak lagi berfokus kepada adu

tetapi kepada Ellohim (Tuhan).

2. Yesu Keriso sebagai Yesus Kristus

Penerjemahan ini disesuaikan dengan ejaan lokal karena li niha tidak menggunakan huruf konsonan pada setiap kata, sehingga Yesus diganti mengganti

Yesu, dan Kristus diganti dengan Keriso. Oleh karena itu Yesu Keriso merupakan

sebuah bahasa yang baru yang sama sekali tidak mengandung unsur agama primal

sebelumnya.

3. Eheha Ni‟amoni‟ö sebagai nama Roh Kudus.

Pada zaman dahulu orang Nias percaya bahwa eheha dapat didapatkan oleh

seorang anak muda tertua dalam keluarga sebelum ayahnya nyaris meninggal dengan

25

(17)

mendekatkan mulut si anak dengan mulut si ayah sebelum menghembuskan nafas

terakhirnya untuk mendapatkan eheha, jika seorang anak tidak kuat untuk menerima eheha tersebut maka si anak dapat pingsan. Bagi ono niha eheha merupakan sebuah roh yang diturunkan mengandung kharisma, hikmat, kebijaksanaan, kekuatan dan

keterampilan terutama dalam hal kepemimpinan. Eheha ini kemudian digunakan oleh missionaris untuk menggambarkan roh kudus yang memberi hikmat, ketentraman,

dan kebijaksanaan. Ono niha tidak mengalami kesulitan untuk memahami hal ini dan

langsung memberi respon yang positif terlebih para bangsawan.

Bahasa Nias juga mempunyai kata-kata yang artinya sama dengan suku lain

(bahasa serapan). Contoh bahasa tersebut seperti asu, manga (mangan dalam bahasa Batak Toba), dan sebagainya. Bahasa serapan tersebut bisa ada dalam Li Niha

diakibatkan karena kontak budaya, mungkin dahulu ada sesuatu benda yang namanya

tidak terdapat dalam kosa kata bahasa Nias sehingga Ono Niha memakai bahasa tersebut. Bahasa Nias juga digunakan dalam ibadah gereja kesukuan seperti Amin (

Angowuloa Masehi Indonesia) dan BNKP.

2.4. Sistem Kekerabatan

(18)

keturunannya tidak menjadi masalah lagi. Hanya saja persyaratan harus dipenuhi

yakni dengan memisahkanatianaduketurunan tersebut dari kumpulanatianadu nenek moyang dan membayar pemisahan itu dengan memotong babi sebesar 4 alisi. Babi tersebut diberikan oleh pihak laki-laki. Jadi dengan terjadinya perkawinan ini berarti

kawin dalam lingkungan marga atau mado yang sama. Itulah sebabnya di daerah Nias kita jumpai suami/istri yang marganya sama. Sistemkekerabatan yang ada di

pulau Nias adalah sebagai berikut:

1. Ibu : Ina

2. Bapak : Ama

3. Nenek : Gawe

4. Kakek : Dua

5. Paman : Zibaya

6. Istri dari paman : Ina sakhi

7. Saudara/i tertua dari bapak/ibu : Ama sa‟a/ ina sa‟a

8. Saudara/i tengah dari bapak/ibu : Ama talu/ ina talu

9. Saudara/i dari bapak/ibu : Ama sakhi/ ina sakhi

10. Anak dari saudari dari ibu : Gasiwa

11. Anak dari saudara ayah : Ga‟a

Sistem kekerabatan juga berlaku bagi kedua belah pihak keluarga yang

(19)

tertinggi dalam pesta adat. . Selain itu keluarga yang memberi istri bagi anak

laki-laki sangambatö merupakan satu kekerabatan yang disebut sitenga bö’ö. Kelompok ini diundang apabila sangambatö mengawinkan anaknya, mengaadakan pesta kematian atau pesta adat lainnya.

2.5 Sistem Kepercayaan

2.5.1 Agama Leluhur

Zaman dulu sebelum agama masuk ke Nias, masyarakat Nias menganut

kepercayaan yang disebut sanömba adu. Yang secara harafiah dapat diterjemahkan

sanömba berarti menyembah, adu berarti patung ukiran yang terbuat dari kayu atau batu. Jadi, sanömba adu berarti kepercayaan kepada patung-patung buatan manusia baik berupa kayu maupun batu-batu besar (owe). Adu ditempatkan di osali börönadu

yaitu bangunan sebagai tempat ibadah religi sanömba adu. (Hammerle, 1995:56). Masyarakat Nias sejak menghuni Tanö Niha memiliki kepercayaan bahwa arwah-arwah para leluhur orang Nias memiliki kekuatan yang dapat melindung serta

menolong mereka, sehingga mereka menyediakan tempat atau medium untuk para

leluhur itu dengan membuat patung-patung dari batu. Masyarakat Nias juga percaya

akan tempat-tempat tertentu adalah tempat yang keramat, dimana terdapat roh-roh

yang bisa berbuat sesuatu terhadap kehidupan mereka. Sebagai ungkapan rasa

hormat mereka terhadap hal tersebut, mereka melakukan sembahyang pada

waktu-waktu tertentu dengan memberikan persembahan-persembahan atau sesajian.

Demikianlah kepercayaan masyarakat Nias sebelum agama Kristen masuk di tanah

(20)

Dalam acara pemujaan dewa-dewa tersebut, mereka menggunakan berbagai

sarana. Misalnya dukun atau pemimpin agama kuno (ere) sebagai perantara dalam menyampaikan permohonan selalu memukul fondrahi (tambur) pada saat menyampaikan permohonan dalam bentuk syair-syair kuno (hoho) atau mantera-mantera. Selain itu, para ere juga mempersiapkan sesajen, misalnya: sirih dan

makanan lainnya untuk dipersembahkan kepada para dewa agar apa yang dimohon

dapat dikabulkan. Sesajen dalam bentuk makanan (babi, ayam, telur) disertai

kepingan emas juga diberikan supaya upacara pemberhalaan itu sempurna dan

permohonan dikabulkan. Persembahaan dalam bentuk korban makanan dapat

dibagi-bagi kepada orang yang hadir, akan tetapi setelah upacara penyembahan selesai, emas

sering kali menjadi porsi ere pada akhirnya. Banyak benda-benda mati yang dipercayai seolah-olah hidup dan memiliki kekuatan supernatural (sakti) sehingga

dijadikan jimat sebagai sumber dan penambah kekuatan/kekebalan. Dari bebatuan,

misalnya: Sikhöri Lafau, KaraZi’ugu-ugu, Kara Mboli, Öri Zökha, dan sebagainya.

Sesama manusia juga di“Ilah”kan (Telaumbanua, 2012:33). Hal ini tergambar dari

ungkapan seperti: sibaya ba sadono Lowalani(Lowalangi) ba guli danö. Artinya paman (saudara laki-laki sekandung dari ibu) dan orang tua merupakan jelmaan

Tuhan yang hadir di bumi. Maka tidak heran kalau dalam tradisi kuno sebelum agama

baru masuk di Nias, patung leluhur (AduZatua) selalu dibuat untuk kemudian diberhalakan.

Sejak masyarakat Nias menghuni pulau Nias mereka memiliki pandangan

bahwa masih ada dewa lain atau kekuatan lain di luar tubuh manusia yang berbentuk

(21)

meninggal dunia, memiliki kekuatan yang dapat melindungi serta menolong mereka.

Sehingga mereka membuat tempat atau benda-benda seperti patung-patung yang

terbuat dari batul. Mereka juga percaya akan tempat-tempat tertentu adalah tempat

keramat,yang mana terdapat roh yang bisa berbuat sesuatu terhadap mereka. Untuk

menghormati roh-roh tersebut mereka melakukan ritual berdoa atau sembahyang pada

waktu-waktu tertentu dengan memberikan persembahan persembahan atau sesajian

dan melakukan ritual dengan cara mengelilingi pohon-pohon besar atau batu besar.

Beberapa adu yang sangat terkenal adalah Adu Saembu, adu Giwaho, Adu Nono Gilewe, Adu ba Nomo, Adu Mbumbu Nomo, Adu Gehomo Mbumbu, Adu ba Mbakholo, Adu Handro Bato, Adu Ba Lawa - lawa, Adu Zobou, Adu Siraha Na Mokhokho ndraono, Adu Mbawaulu Horo, Adu Fondrako, Adu Ni’omasi’o Gere, Adu

Sarambia, Adu Mbawi Nadu(Hammerle, 1995:60). Hal ini dapat dibuktikan dengan peninggalan sejarah baik dari gowe (patung yang tebuat dari batu), ataupun dari

rumah adat Nias yang didalamnya banyak banyak terdapat ukiran- ukiran dan hiasan

rumah yang bernuansa mistis.

2.5.2 Agama Negara

Agama Kristen masuk ke Nias dibawa oleh Denninger pada tahun1865,

tepatnya di Kota Gunungsitoli dimana sebelumnya ia telah belajar banyak tentang

Nias juga termasuk bahasa Nias dengan masyarakat Nias perantau di Padang

sehingga ketika dia sampai di Nias, ia tidak asing lagi dan semua telah mengetahui

tentang Nias termasuk bahasanya. Dari merekalah Denninger mempelajari

(22)

ke Nias, mengajarkan agama Kristen ternyata berhasil dan kemudian dilanjutkan oleh

Thomas yang datang tahun 1873. Masa penting dalam pengembangan agama Kristen

adalah antara tahun 1815-1930, antara tahun ini disebut sebagai masa pertobatan

massal(fangesadödö sebua). Pada masa inilah mulai terjadi perubahan sikap, patung-patung mulai dibakar dan dihancurkan, poligami, sangsi-sangsi hukum adat dengan

hukuman badan, penyembahan patung, penyembahan penyakit melalui fo’ere (dukun)

dan sejenisnya sudah makin berkurang. Hingga kini sebagian besar orang Nias

memeluk agama Kristen26.

Selain agama Kristen, orang Nias juga memeluk agama Islam. Agama Islam

dibawa oleh orang Aceh, Arab, dan Melayu yang datang untuk berdagang ke Tanö

Niha. Kawasan yang mereka kuasai adalah pelabuhan dan pesisir pantai. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila sebagian besar penganut agama Islam adalah

masyarakat- pesisir yang tinggal di daerah pelabuhan dan pinggir pantai. Masyarakat

muslim Nias, umumnya berintegrasi dengan pemukiman-pemukiman enkapulsari

umat Islam, namun demikian mereka tetap memelihara hubungan budaya dengan

masyarakat Nias pada umumnya. Masyarakat muslim Nias ini juga giat melakukan

kegiatan ibadah Islam seperti Shalat, zakat, puasa, wirid yasin, memperingati isra

mi’raj Nabi Muhammad27.

Berdasarkan pengamatan penulis dilapangan, Agama Buddha juga menjadi

salah satu agama di Nias yang dianut khususnya oleh kaum gehai(Chinese). Bahkan

26

Op.cit, hal. 84

27

(23)

tidak sedikit juga orang Nias yang menganut agama ini karena perkawinan yang

terjadi diatara kedua etnis ini.

2.6 Kesenian

Aktifitas kesenian dan kebudayaan mengandung peranan penting sebagai

cerminan kehidupan masyarakat Nias. Kesenian hadir sebagai jati diri masyarakat

yang tercipta dan terus mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Beberapa

kesenian Nias yang masih dapat dikenali meliputi; seni musik, seni tari, seni lukis,

seni kerajinan tangan dan seni pahat. Salah satu kesenian yang paling terkenal dan

unik di Nias adalah Hombo Batu/fahombo (lompat batu). Hombo Batu merupakan sebuah aktitas tantangan melompati sebuah batu yang tersusun dengan ketinggian

sekitar 2,5 m yang diperuntukkan kepada pemuda yang beranjak dewasa sebagai

simbol bahwa kedewasaan sudah ada dalam dirinya.

Tradisi fahombo diwariskan turun-termurun di setiap keluarga dari ayah kepada anak lelakinya. Akan tetapi, tidak semua pemuda Nias sanggup

melakukannya meskipun sudah berlatih sedari kecil. Masyarakat Nias percaya bahwa

selain latihan, ada unsur magis dari roh leluhur dimana seseorang dapat berhasil

melompati batu dengan sempurna. Lompat batu di Pulau Nias awalnya merupakan

tradisi yang lahir dari kebiasaan berperang antardesa suku-suku di Pulau Nias.

Masyarakat Nias memiliki karakter keras dan kuat diwarisi dari budaya pejuang

perang. Dahulu suku-suku di pulau ini sering berperang karena terprovokasi oleh rasa

dendam, perbatasan tanah, atau masalah perbudakan. Masing-masing desa kemudian

(24)

itu, tradisi lompat batu pun lahir dan dilakukan sebagai sebuah persiapan

sebelumberperang.Saat itu, desa-desa di Pulau Nias yang dipimpin para bangsawan

dari strata balugu akan menentukan pantas tidaknya seorang pria Nias menjadi prajurit untuk berperang. Selain memiliki fisik yang kuat, menguasai bela diri dan

ilmu-ilmu hitam, mereka juga harus dapat melompati sebuah batu bersusun setinggi

2,5 meter tanpa menyentuh permukaannya sedikitpun sebagai tes akhir.Kini tradisi

lompat batu bukan lagi untuk persiapan perang antarsuku atau antardesa tetapi

sebagai ritual dan simbol budaya Nias. Pemuda Nias yang berhasil melakukan tradisi

ini akan dianggap dewasa dan matang secara fisik28.

Tarian tradisional Nias masih banyak yang dapat dipertahankan meskipun

beberapa diantaranya sudah merupakan kombinasi dari tari kreasi, meskipun

demikian tarian tradisional Nias masih tetap eksis sampai sekarang, beberapa

diantaranya adalah:

1. F aluaya29(tari perang), terdapat diseluruh daerah Nias. Di bagian utara namanya

Baluse. Tarian tersebut ditarikan minimal 12 orang pria, dan bila lebih maka akan lebih baik. Pada umumnya lebih 100 orang, gerakannya sangat kuat. Maluaya ini

di Pulau-pulau Batu berbeda dengan daerah Nias lainnya, di Pulau-pulau Batu para

wanita juga turut menari. Para wanita menari dengan langkah kecil yang lemah

gemulai. Tarian Maluaya ditarikan pada upacara pernikahan untuk

masyarakatkelas atas, penguburan, dan pesta untuk menyambut pendatang baru30.

28

Lih. Gambar 2.2

30

(25)

2. F oere adalah tarian yang menampilkan lebih dari 12 penari wanita, diiringi dengan seorang penyanyi. Tarian ini merupakan bentuk dari penyembahan untuk

berakhirnya kematian dan bencana.

3. F anarimoyo (tarian elang) adalah sebuah tarian yang ditarikan di Nias Selatan dan Utara oleh 20 penari wanita. Kadang-kadang di dalam lingkaran ditarikan oleh

penari pria. Di bagian utara tarian ini dinamakan Moyo. Tarian ini dimulai dengan gerakan seperti elang terbang dan ditampilkan untuk acara hiburan. Tarian ini

menggambarkan seorang gadis yang harus menikahi pria yang tidak dicintainya.

Dia berdoa supaya menjadi seekor elang yang dapat terbang.

4. Maena adalah sebuah tarian khas dari Nias Utara yang ditarikan oleh wanita dan pria, biasanya ditarikan pada upacara pernikahan.

5. F ogaile adalah sebuah tarian khas Nias Selatan yang ditarikan oleh wanita untuk mengekspresikan rasa hormat dan untuk menyambut tamu khusus dan

memberikan mereka sirih tradisional. Di bagian Utara dinamakan Mogaele dan dapat ditarikan oleh wanita dan pria.

6. Tari Tuwu adalah tarian yang menampilkan seorang penari wanita/pria diatas sebuah meja batu, dengan tujuan untuk menghormati para pemimpin.

7. F adabu adalah sebuah upacara untuk mempertunjukkan kekebalan seseorang. Sebuah pertunjukkan yang menikam dirinya sendiri dengan benda tajam. Di dalam

bahasa Indonesia namanya dabus dan banyak dijumpai di Indonesia seperti di

Nanggroe Aceh Darussalam, Jakarta, Banten, kawasan-kawasan budaya Melayu,

(26)

8. F atabo adalah sebuah peristiwa unik di Pulau-pulau Batu. F atabo walaupun berunsur tari, namun bukan sebuah tarian, hanya sebuah carauntuk menangkap

ikan diair yang dangkal. Dua baris orang yangmasing-masing di bawah pimpinan,

berjalan meninggalkan air tersebutdan membawa sebuah kotak. Pemimpin tersebut

meminta agar dibuatsuara keras dan memukul air tersebut dengan tongkat,

kemudian merekaberjalan di atas tanah, menyembunyikan kotak tersebut, dan

menyimpanikan tersebut di antara mereka dan pantai. Di pantai lain barisan pria

bergerak melemparkan jaringan untuk menangkap ikan. Keseluruhanperistiwa ini

adalah sebuah nilai seni yang mempunyai irama musik dankeributan. F atabo

sangat populer di Pulau Sigata, Desa Wawa, danTanah Masa. Sekarang sangat

jarang dijumpai di Nias.

9. Tari Ya’ahowu merupakan sebuah tari kreasi baru yang biasanya di pertunjukan

pada acara penyambutan tamu adat, pesta-pesta adat seperti pernikahan,

penyambutan tamu pemerintahan atau daerah. Tarian ini merupakan tari kreasi

baru dan sudah disahkan menjadi salah satu tarian kesenian Nias. Dan tarian ini

selalu di pertunjukan setiap kali ada penyambutan tamu di pulau Nias.

Adapun alat-alat musik Nias yang masih dipertahankan sampai sekarang

adalah: (a) Göndra alat musik membranofon yang dipukul dengan alat pemukul dari rotan. Alat pemukul ini disebut famo göndra. Alat musik ini selalu digunakan dalam pesta pernikahan dan juga dipakai sebagai alat musik mengiringi tarian atau lagu. (b)

(27)

hanya saja ukurannya lebih kecil. Untuk alat musik tradisional yang lain akan

dijelaskan lebih detail pada bab V.

Nias memiliki rumah adat yang sangat menarik31. Rumah tradisional yang tertua dan terluas yang dinamakan Omo Sebua, yang merupakan rumah asli dan suku yang suka perang terdapat di desa Bawomatulou atau“Sunhill”. Omo sebua adalah jenis rumah adat atau rumah tradisional dari Pulau Nias. Omo sebua adalah rumah yang khusus dibangun untuk kepala adat desa dengan tiang-tiang besar dari kayu besi

dan atap yang tinggi. Omo sebua didesain secara khusus untuk melindungi penghuninya dari serangan pada saat terjadinya perang suku pada zaman dahulu.

Akses masuk ke rumah hanyalah tangga kecil yang dilengkapi pintu jebakan. Bentuk

atap rumah yang sangat curam dapat mencapai tinggi 16 meter. Selain digunakan

untuk berlindung dari serangan musuh, omo sebua pun diketahui tahan terhadap

goncangan gempa bumi. Rumah ini tingginya mencapai 22 m dan beberapa tiangnya

lebih tebal dari 1 m. Rumah ini masih dimiliki dan ditempati oleh keluarga kerajaan.

Arsitektur dari bangunan ini sangat unik dan mempunyai ukuran dinding yang

menarik untuk menghormati upacara pesta yang terkenal dan hiasan perabotnya,

seperti meja dan kursi beratnya masing-masing mencapai 18 ton dan juga seni lukis

dan pahat yang menghiasi rumah ini.

2.7 Kebudayaan Masa Pada Masa Sekarang

Seiring dengan perkembangan zaman, kebudayaan Nias juga sudah berubah

dan tidak sama lagi seperti ratus tahun silam. Budaya ono niha yang dulu sangat

31

(28)

dijunjung tinggi, sekarang semakin tidak berpengaruh bahkan banyak generasi muda

yang tidak begitu mengetahui adat istiadat nenek moyangnya.Pewarisan kebudayaan

yang seharusnya dilakukan secara turun temurun tidak lagi menjadi sebuah

keharusan. Sekarang, Nias sudah menyerap dan mengalami percampuran kebudayaan

yang membawa perubahan dalam masyarakat. Berbagai perubahan yang terjadi

melingkupi aspek pendidikan, teknologi, sosial, ekonomi, dan politik. Hal ini juga

membawa perubahan pikiran dalam masyarakat terlebih- lebih di bidang pendidikan.

Ada banyak generasi muda Nias yang menimba ilmu di luar Nias. Masyarakat Nias

juga sudah banyak tersebar di luar pulau Nias terutama di Sumatera Utara bahkan

membangun komunitas- komunitas dan berbaur dengan masyarakat lokal sehingga

mereka bukan lagi orang baru di Medan. Zinuno BNKP juga merupakan refleksi

bahwa orang Nias tidak lagi terkungkung di Nias saja, karna didalamnya sudah

banyak lagu- lagu yang mungkin saja alirannya berbeda dari himne- himne tradisional

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini menegaskan bahwa baik faktor diri khususnya strategi pengaturan diri dalam belajar dan juga faktor keluarga dalam bentuk gaya pengasuhan yang

Bahan tambahan pangan adalah bahan yang biasanya tidak digunakan sebagai bahan makanan dan biasanya bukan merupakan komponen khas makanan, mempunyai atau tidak

Konstruksi dengan Kondisi Tapak dan

Keuntungan (kerugian) dari perubahan nilai aset keuangan dalam kelompok tersedia untuk dijual -c. Pajak penghasilan terkait pos-pos yang akan direklasifikasi ke laba rugi

Praktik pengalaman Lapangan (PPL) adalah kegiatan kurikuler yang harus dilakukan oleh mahasiswa praktikan, sebagai pelatihan untuk menerapkan teori yang diperoleh

Oleh karenaperusahaan adalah pekerjaan tetap, sedangkan tidak setiap pekerjaan tetapadalah perusahaan dalam arti mengejar keuntungan pribadi,

respon perilaku yang bertahan lama terhadap individu atau objek tertentu.  Memiliki

bagi para pedagang dari adanya pengembangan pariwisata di destinasi wisata. taman Diponegoro ini adalah Pengembangan dan pembukaan lapangan