• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Notaris Dalam Perjanjian Jual Beli Tanah dan Jaminan Perlindungan Hak Bagi Para Pihak Chapter III V

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Peran Notaris Dalam Perjanjian Jual Beli Tanah dan Jaminan Perlindungan Hak Bagi Para Pihak Chapter III V"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

PERAN NOTARIS DALAM MELAKUKAN PERALIHAN HAK ATAS TANAH

A. PROSES PERALIHAN HAK ATAS TANAH

Dilihat dari sudut pandang konsep kepemilikan, maka bagi pihak yang secara hukum memiliki hak atas tanah, baik yang telah didaftarkan maupun belum didaftarkan dapat mengalihkan hak atas tanah yang dimilikinya. Mengalihkan hak atas tanah, maksudnya memindahkan hak atas tanah yang dimiliki kepada pihak lain, dengan pemindahan dimaksud, maka haknya akan berpindah. Hak (right) yang dimaksud, adalah hubungan hukum yang melekat sebagai pihak yang berwenang atau berkuasa untuk melakukan tindakan hukum. Di dalam terminologi hukum kata-kata “right” diartikan hak yang legal, atau dasar untuk melakukan sesuatu tindakan secara hukum.29 Secara yuridis, peralihan hak atas tanah dapat dilakukan melalui beberapa proses, antara lain30

1. Jual beli;

:

2. Hibah;

3. Tukar menukar;

4. Pemisahan dan pembagian harta warisan; 5. Penyerahan hibah wasiat;

6. Hipotik;

29

I.P.M. Ranuhandoko, 2000, Terminologi Hukum Inggris-Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan Kedua, hal. 487

30

(2)

7. Credit verband.

Di dalam perkembangannya dapat terjadi karena adanya hak tanggungan dan wakaf. Menurut Peraturan Menteri Agraria No.14 Tahun 1961 pasal 1 menentukan, bahwa: “Pemindahan hak, ialah jual beli termasuk pelelangan di muka umum, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat, pemberian menurut adat dan perbuatan lain yang dimaksudkan untuk mengalihkan sesuatu hak atas tanah kepada pihak lain”.

Terkait dengan pemindahan atau peralihan hak atas tanah, dilihat dari karakteristik hak dan proses peralihan haknya, memiliki unsur hukum berbeda, terutama yang terkait dengan syarat formil dan materiil, prosedur, maupun mekanisme yang sangat ditentukan oleh sifat atau keadaan subjek dan objek hak. Namun demikian syarat utama adalah harus adanya alat bukti hak atas tanah, yakni bukti kepemilikan secara tertulis (formil) yang berupa “Sertifikat” (untuk tanah yang telah didaftarkan), maupun “bukti pendukung” (untuk tanah yang belum didaftarkan atau belum bersertifikat). Bukti yang dimaksud dapat berupa: akta jual beli, hibah, fatwa waris, surat keputusan pemberian hak atas tanah dan bangunan, dan lain-lain. Hal tersebut untuk memberikan kepastian dan kekuatan hukum atas kepemilikan tanah, sehingga peralihan hak atas tanah tersebut memenuhi syarat legalitas menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(3)

atas tanah sangat ditentukan oleh syarat formil maupun materiil, prosedur dan kewenangan bagi pihak-pihak terkait, baik kewenangan mengalihkan maupun kewenangan pejabat untuk bertindak. Prosedur hukum beralihnya suatu hak atas tanah dapat ditelusuri baik sebelum maupun setelah berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).

Di dalam pasal 19 PP No. 10 Tahun 1961 sebagai aturan pelaksanaan UUPA disebutkan, bahwa “Setiap perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah atau meminjam uang dengan hak atas tanah sebagai tanggungan, harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan dihadapan Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Agraria”. Menurut ketentuan tersebut terlihat jelas bahwa peralihan hak atas tanah harus dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah yang selanjutnya disingkat PPAT. Dengan demikian ada unsur absolute yang harus dipenuhi dalam mengalihkan hak atas tanah, yakni adanya akte peralihan hak atas tanah yang dibuat oleh PPAT.

B. WEWENANG NOTARIS DALAM PEMBUATAN AKTA JUAL BELI

Berdasarkan dari ketentuan yang termuat dalam Pasal 15 UU Nomor 2 Tahun

2014 tentang Jabatan Notaris, khususnya ayat (2) huruf f, secara yuridis formal

notaris berwenang untuk membuat akta jual beli tanah. Wewenang notaris dalam

membuat akta jual beli tanah tersebut memiliki kekuatan hukum yang kuat karena

wewenang tersebut adalah berdasarkan pada Undang-Undang.

Praktek sekarang ini, mayoritas notaris adalah PPAT, sehingga tidak ada

pengaruh mengenai kekuatan hukum akta yang dibuat oleh seorang notaris yang

(4)

memenuhi syarat sebagai suatu akta otentik yang ditentukan undang-undang.

Sehingga akta bersangkutan (dalam hal ini perjanjian pengikatan jual beli tanah)

dapat dipergunakan sebagai alas bukti otentik oleh para pihak apabila di kemudian

hari terjadi sengketa mengenai objek perjanjian. Sedangkan apabila syarat untuk

menjadi akta otentik tidak dipenuhi, maka tetap saja akta tidak menjadi akta

otentik melainkan menjadi akta di bawah tangan baik akta dibuat oleh notaris

maupun notaris merangkap PPAT sebagaimana yang diwacanakan oleh Pasal 15

ayat (2) huruf f UUJN.

Pembuatan Perjanjian Pengikatan untuk Jual Beli (PPJB) dalam perbuatan

hukum peralihan hak atas tanah mempunyai kepastian hukum dan perlindungan

hukum bagi para pihak yang akan melakukan transaksi jual beli yang belum

memenuhi syarat untuk dibuatkannya Akta Jual Beli sebagai instrumen hukum

guna melakukan proses balik nama pada Kantor Pertanahan, karena dengan

dibuatkannya Perjanjian Pengikatan untuk Jual Beli (PPJB) sebagai dokumen

otentik dihadapan pejabat yang berwenang, untuk itu yaitu Notaris, secara yuridis

telah terjadi hubungan hukum antara pihak calon penjual dan pihak calon pembeli

yang akan mengikat kedua belah pihak dan akan berakibat hukum apabila terjadi

pelanggaran atas isi perjanjian. Jadi dengan dibuatkannya Akta Pengikatan untuk

Jual Beli oleh Notaris, telah meletakkan hak dan kewajiban antara pihak calon

penjual dan pihak calon pembeli berdasarkan kesepakatan para pihak yang dimuat

dan diterangkan oleh notaries kedalam akta itu, dengan mengacu Pasal 1320

juncto Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Pertanggungjawaban Notaris terhadap kekeliruan akta Pengikatan Jual Beli

(5)

terlaksana apakah merupakan hal yang dapat dikategor ikan sebagai hal yang

merugikan kl ien, adalah tidak terlaksananya jual beli yang tentunya akan

merugikan klien yang beritikad baik, sehingga tidak terlaksananya jual beli

dikemudian hari dapat dikategorikan sebagai hal yang merugikan klien.

Implementasi Pasal 15 ayat (2) huruf f tentang Kewenangan Notaris membuat

akta dibidang pertanahan perlu dipikirkan bersama guna mencari solusi dalam

menyelesaikan permasalahannya. Meskipun dalam terminologi hukum bahwa

Pasal tersebut telah bersifat final yang tidak perlu mendapat penjelasan, terkecuali

hanya dilaksanakan sesuai diamanatkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014

tentang Jabatan Notaris. Berlakunya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014

tentang Jabatan Notaris, telah memunculkan berbagai macam tanggapan, baik

yang datang dari kalangan Notaris sendiri, maupun dari pihak lain yang merasa

Undang-Undang tersebut telah “memangkas” kewenangan yang selama ini

merupakan kewenangannya.

Seperti biasa, setiap diberlakukannya Undang-Undang baru, tentu akan

menimbulkan pro dan kontra. Untuk Undang-Undang Jabatan Notaris ini, polemic

terus bergulir, khususnya mengenai beberapa Pasal yang dapat menjadi sumber

keragu-raguan dalam pelaksanaannnya, pada hal seperti dinyatakan dalam

pembukaannya, Undang-Undang ini dibuat untuk menjamin kepastian, ketertiban,

dan perlindungan hukum, yang berintikan kebenaran dan keadilan. Sebelum

membahas lebih lanjut mengenai pelaksanaan kewenangan Notaris berdasarkan

Pasal 15 ayat (2) huruf f Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014. Tentang Jabatan

Notaris, maka perlu diuraikan terlebih dahulu mengenai masing masing jabatan

(6)

dan peranan Notaris dalam masyarakat khususnya dalam bidang hukum. Tidak

sedikit pula masyarakat yang menganggap bahwa notaris hanya “tukang stempel”

yang “kalah pintar” dari advokat/pengacara, sehingga mereka sering membawa

draft dari pengacara atau advokat mereka dan meminta notaris untuk menyalinnya

dalam bentuk akta otentik,

a) Kedudukan Seorang Notaris

Seorang notaris biasanya dianggap sebagai seorang pejabat tempat seseorang

dapat memperoleh nasihat yang boleh diandalkan. Segala sesuatu yang ditulis

serta ditetapkannya adalah benar, ia adalah pembuat dokumen yang kuat dalam

suatu proses hukum. Kedudukan seorang notaries sebagai suatu fungsionaris

dalam masyarakat yang disegani, namun saat ini kedudukannya agak

disalahmengerti oleh kebanyakan orang. Mungkin hal tersebut disebabkan oleh

tindakan dan perilaku para notaris itu sendiri. Pertama-tama yang perlu diketahui

bahwa notaris di Indonesia mempunyai fungsi yang berbeda dengan notaris di

Negara-negara Anglo- Saxon notary public seperti Singapura, Amerika dan

Australia, karena Indonesia menganut sistem hukum Latin/Continental. Notaris

Latin berkarakteristik utama dimana ia menjalankan suatu fungsi yang bersifat

publik. Diangkat oleh Pemerintah dan bertugas menjalankan fungsi pelayanan

public dalam bidang hukum, dengan demikian ia menjalankan salah satu bagian

dalam tugas negara. Seorang notaries diberikan kuasa oleh Undang-Undang untuk

membuat suatu akta memiliki suatu nilai pembuktian yang sempurna dan spesifik.

Oleh karena kedudukan notaris yang independent dan tidak memihak, maka akta

yang dihasilkannya merupakan simbol kepastian dan jaminan hukum yang pasti.

(7)

memperhatikan kepentingan semua pihak yang terlibat. Itu sebabnya seorang

notaris dalam menjalankan tugasnya tidak bisa didikte oleh kemauan salah satu

pihak sehingga mengabaikan kepentingan pihak lainnya (meskipun sungguh

sangat disesalkan bahwa sekarang banyak notaris yang mau didikte oleh

pelanggannya sekalipun harus bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan dan/atau kode etik profesi).

b) Fungsi Seorang Notaris

Setiap masyarakat membutuhkan seseorang (figur) yang

keteranganketerangannya dapat diandalkan, dapat dipercayai, yang

tandatangannya serta segelnya (capnya) memberi jaminan dan bukti kuat, seorang

ahli yang tidak memihak dan penasihat yang tidak ada cacatnya (onkreukbaar atau

unimpeachable), yang tutup mulut, dan membuat suatu perjanjian yang dapat

melindunginya di hari-hari yang akan datang. Selain itu terdapat karakter yuridis

Notaris yang ada, yaitu :

1) Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia nomor 702 K/Sip/1973,

tanggal 5 September 1973 :

Judex factie dalam amar putusannya membatalkan akta notaris, hal ini adalah

tidak dapat dibenarkan, karena notaris fungsinya hanya mencatatkan/menuliskan

apa-apa yang dikehendaki dan dikemukakan oleh para pihak yang menghadap

notaris tersebut. Tidak ada kewajiban bagi notaris untuk menyelidiki secara

materil apa-apa (hal-hal) yang dikemukakan oleh penghadap di hadapan Notaris

(8)

2) Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia nomor 3199 K/Pdt/1992,

tanggal 27 Oktober 1994 :

Akta otentik menurut ketentuan ex Pasal 165 HIR jo 265 Rbg jo 1868 BW

merupakan bukti yang sempurna bagi kedua belah pihak, para ahli warisnya dan

orang yang mendapat hak darinya.

3) Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia nomor 1140 K/Pdt/1996,

tanggal 30 Juni 1998 :

Suatu akta notaris sebagai akta otentik yang isinya memuat 2 (dua) perbuatan

hukum, yaitu :(1) Pengakuan hutang, dan (2) kuasa mutlak untuk menjual tanah,

maka akta notaris ini telah melanggar adagium. Bahwa satu akta otentik hanya

berisi satu perbuatan hukum saja. Akta Notaris yang demikian itu tidak memiliki

executorial titel ex Pasal 224 HIR dan tidak sah.

Berdasarkan yurisprudensi Mahkamah Agung tersebut, maka karakter yuridis

Notaris dan akta Notaris, yaitu :

1. Pembatalan akta Notaris oleh hakim tidak dapat dibenarkan, karena akta

tersebut merupakan kehendak para penghadap;

2. Fungsi Notaris hanya mencatatkan keinginan penghadap yang dikemukakan

di hadapan Notaris;

3. Notaris tidak mempunyai kewajiban materil atas hal-hal yang dikemukakan

di hadapan Notaris;

4. Akta Notaris mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna bagi para

pihak, para ahli warisnya dan siapa saja yang mendapat hak dari akta tersebut;

5. Tiap akta Notaris (atau satu akta Notaris) hanya memuat satu tindakan atau

(9)

hukum, maka akta tersebut tidak mempunyai kekuatan title eksekutorial dan tidak

sah.

C. KEKUATAN AKTA NOTARIS DALAM MENGIKAT PARA PIHAK

Apabila Kekuatan pembuktian Akta Otentik diatur dalam Pasal 1870

KUHPerdata yang mengatakan bahwa; Suatu akta otentik memberikan di antara

para pihak beserta ahli waris-ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak

dari mereka, suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat didalamnya.

Kekuatan yang melekat pada akta otentik yaitu; Sempurna (volledigbewijskracht)

dan Mengikat (bindende bewijskracht), yang berarti apabila alat bukti Akta

Otentik diajukan memenuhi syarat formil dan materil dan bukti lawan yang

dikemukakan tergugat tidak mengurangi keberadaanya, pada dirinya sekaligus

melekat kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat (volledig en bindende

bewijskracht), dengan demikian kebenaran isi dan pernyataan yang tercantum

didalamnya menjadi sempurna dan mengikat kepada para pihak mengenai apa

yang disebut dalam akta. Sempurna dan mengikat kepada hakim sehingga hakim

harus menjadikannya sebagai dasar fakta yang sempurna dan cukup untuk

mengambil putusan atas penyelesaianperkara yang disengketakan31

Akta otentik menurut Pasal 1868 KUHPerdata, yaitu suatu akta yang di

dalam bentuk yang ditetapkan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan

Pegawai Umum yang berkuasa untuk itu, di tempat di mana akta dibuatnya. Akta

otentik mempunyai tiga macam kekuatan, oleh karena itu dalam pembuatan suatu .

31

(10)

akta otentik oleh Notaris, hendaknya diperhatikan 3 (tiga) aspek, Akta Notaris

sebagai akta otentik mempunyai kekuatan nilai pembuktian yaitu :

1. Lahiriah (uitwendige bewijskracht)

Kemampuan lahiriah akta Notaris, merupakan kemampuan akta itu sendiri

untuk membuktikan keabsahannya, sebagai akta otentik (acta publica probant

seseipsa).Jika dilihat dari luar (lahirnya) sebagai akta otentik serta sesuai dengan

aturan hukum yang sudah ditentukan mengenai syarat akta otentik, artinya sampai

ada yang dapat membuktikan bahwa akta tersebut bukan akta otentik secara

lahiriah.Dalam hal ini beban pembuktian ada pihak yang menyangkalnya

keotentikan akta Notaris.

Parameter untuk menentukan akta Notaris sebagai akta otentik, yaitu

dengan adanya tanda tangan dari Notaris yang bersangkutan, baik yang ada pada

Minuta dan salinan dan adanya awal akta mulai dari judul sampai dengan akhir

akta32

Penyangkalan atau pengingkaran secara lahiriah akta Notaris sebagai akta

otentik, bukan akta otentik, maka penilaian pembuktiannya harus didasarkan pada

syarat-syarat akta Notaris sebagai akta otentik.Pembuktian semacam ini harus .

Nilai pembuktian akta Notaris dari aspek lahiriah, akta tersebut harus

dilihat apa adanya, bukan dilihat ada apa. Secara lahiriah tidak perlu

dipertentangkan dengan alat bukti lainnya. Jika ada yang menilai bhwa suatu akta

Notaris tidak memenuhi syarat sebagai akta, maka yang bersangkutan wajib

membuktikan bahwa akta tersebut secara lahiriah bukan akta otentik.

32

(11)

dilakukan melalui upaya gugatan ke pengadilan. Penggugat harus dapat

membuktikan bahwa secara lahiriah akta yang menjadi objek gugatan bukan akta

Notaris.33

Jika aspek formal dipermasalahkan oleh para pihak, maka harus dapat

dibuktikan dari formalitas dari akta, yaitu harus dapat membuktikan

ketidakbenaran hari, tanggal, bulan, tahun, dan pukul menghadap, membuktikan

ketidakbenaran mereka yang menghadap, membuktikan ketidakbenaran apa yang

dilihat, disaksikan dan didengar oleh Notaris, juga harus dapat membuktikan

ketidakbenaran pernyataan atau keterangan para pihak yang diberikan atau

disampaikan dihadapan Notaris, dan ketidakbenaran tanda-tangan para pihak,

saksi dan Notaris ataupun ada prosedur pembuatan akta yang tidak dilakukan. 2. Formal (formele bewijskracht)

Akta Notaris harus memberikan kepastian bahwa suatu kejadian dan fakta

tersebut dalam akta betul-betul dilakukan oleh Notaris atau diterangkan oleh pihak

pihak yang menghadap pada saat yang tercantum dalam akta sesuai dengan

prosedur yang sudah ditentukan dalam pembuatan akta. Secara formal untuk

membuktikan kebenaran dan kepastian tentang hari, tanggal, bulan, tahun, pukul

(waktu) menghadap, dan para pihak yang menghadap, paraf dan tanda tangan para

pihak atau penghadap, saksi dan Notaris, serta membuktikan apa yang dilihat,

disaksikan, didengar oleh Notaris, (pada akta pejabat/berita acara), dan

mencatatkan keterangan atau pernyataan para pihak atau penghadap (pada akta

pihak).

33

(12)

Pihak yang mempermasalahkan akta tersebut harus melakukan pembuktian

terbalik untuk menyangkal aspek formal dari akta Notaris. Jika tidak mampu

membuktikan ketidakbenaran tersebut, maka akta tersebut harus diterima oleh

siapa pun.

Tidak dilarang siapa pun untuk melakukan pengingkaran atau

penyangkalan atas aspek formal akta Notaris, jika yang bersangkutan merasa

dirugikan atas akta yang dibuat di hadapan atau oleh Notaris. Pengingkaran atau

penyangkalan tersebut harus dilakukan dengan suatu gugatan ke pengadilan

umum, dan penggugat harus dapat membuktikan bahwa ada aspek formal yang

dilanggar atau tidak sesuai dalam akta yang bersangkutan, misalnya, bahwa yang

bersangkutan tidak pernah merasa menghadap Notaris pada hari, tanggal, bulan,

tahun dan pukul yang tersebut dalam awal akta, atau merasa tanda-tangan dalam

akta bukan tanda-tangan dirinya. Jika hal ini terjadi bersangkutan atau penghadap

tersebut untuk menggugat Notaris, penggugat harus dapat membuktikan

ketidakbenaran aspek formal tersebut.34

Merupakan kepastian tentang meteri suatu akta, karena apa yang tersebut

dalam akta merupakan pembuktian yang sah terhadap pihak-pihak yang membuat

akta atau mereka yang mendapat hak dan berlaku untuk umum, kecuali ada

pembuktian sebaliknya. Keterangan atau pernyataan yang dituangkan atau dimuat

dalam akta pejabat atau akta berita acara, atau keterangan para pihak yang

diberikan atau disampaikan dihadapan Notaris akta pihak dan para pihak harus 3. Materil (meteriele bewijskracht)

34

(13)

dinilai berkata benar dan kemudian dituangkan atau dimuat dalam akta berlaku

sebagai yang benar atau setiap orang yang datang menghadap Notaris yang

kemudian keterangannya dituangkan atau dimuat dalam akta harus dinilai telah

berkata benar. Jika ternyata pernyataan atau keterangan para penghadap tersebut

menjadi tidak benar, maka hal tersebut menjadi tanggung jawab para pihak itu

sendiri.Notaris terlepas dari hal semacam itu, dengan demikian isi akta Notaris

mempunyai kepastian sebagai yang sebenarnya, dan menjadi bukti yang sah untuk

atau di antara para pihak dan para ahli waris serta para penerima hak mereka. Jika

akan membuktikan aspek materil dari akta, maka yang bersangkutan harus dapat

membuktikan bahwa Notaris tidak menerangkan atau menyatakan yang

sebenarnya dalam akta pejabat, atau para pihak yang telah berkata benar di

hadapan Notaris menjadi tidak benar dan harus dilakukan pembuktian terbalik

untuk menyangkal aspek materil dari akta Notaris.

Ketiga aspek tersebut diatas merupakan kesempurnaan akta Notaris

sebagai akta otentik dan siapa pun terikat oleh akta tersebut.Jika dapat dibuktikan

dalam suatu persidangan pengadilan, bahwa ada salah satu aspek tersebut tidak

benar, maka akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian

sebagai akta di bawah tangan atau akta tersebut didegradasikan dalam kekuatan

pembuktiannya hanya sebagai akta yang mempunyai kekuatan pembuktian

sebagai akta dibawah tangan.35

35

Ibid, hlm, 21

Apabila memperhatikan uraian diatas dapat dijelaskan bahwa antara akta

otentik dengan akta dibawah tangan terdapat suatu perbedaan yang prinsip, letak

(14)

1. Akta otentik mempunyai tanggal yang pasti, Pasal 15 ayat (1) UUJN,

sedangkan mengenai tanggal pembuatan akta dibawah tangan tidak ada jaminan

tanggal pembuatannya.

2. Grosse dari akta otentik untuk pengakuan hutang dengan frasa dikepala akta

demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, mempunyai kekuatan

eksekutorial seperti halnya keputusan Hakim, Pasal 1 angka 11 UUJN, sedangkan

akta yang dibuat di bawah tangan tidak mempunyai kekuatan eksekutorial.36

4. Akta otentik adalah alat bukti yang sempurna tentang yang termuat didalamnya

(volledig bewijs), Pasl 1870 KUHPerdata artinya apabila satu pihak mengajukan

suatu akta otentik, Hakim harus menerimanya dan menanggap apa yang dituliskan

didalam akta tersebut sungguh telah terjadi sesuatu yang besar, sehingga Hakim

tidak boleh memerintahkan menambah bukti yang lain. Sedangkan akta dibawah

tangan dalam hal ini perjanjian, apabila pihak yang menandatangani tidak

menyangkal atau mengakui tanda tangannya, maka akta dibawah tangan tersebut

memperoleh kekuatan pembuktian yang sama dengan akta otentik yaitu sebagai

bukti yang sempurna. Pasal 1875 KUHPerdata. Tetapi apabila tanda tangan

tersebut disangkal, maka pihak yang mengajukan perjanjian tersebut wajib 3. Minuta akta otentik adalah merupakan arsip Negara, Pasal 15 ayat (1) UUJN,

kewenangan Notaris menyimpan akta, karena akta Notaris adalah arsip Negara,

maka tidak boleh hilang, sedangkan akta dibawah tangan kemungkinan hilang

sangat besar.

36

(15)

membuktikan kebenaran tanda tangan tersebut, hal tersebut merupakan sebaliknya

dari yang berlaku pada akta otentik.37

Nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada akta otentik, apabila

terpenuh syarat formil dan materil maka pada akta tersebut langsung mencukupi

batas minimal pembuktian tanpa bantuan alat bukti lain. Langsung sah sebagai

alat bukti akta otentik, pada Akta tersebut langsung melekat nilai kekuatan

pembuktian yaitu sempurna (volledig) dan mengikat (bindende).38

Apabila terhadapnya diajukan bukti lawan maka, derajat kualitasnya

merosot menjadi bukti permulaan tulisan (begin van schriftelijke), dalam keadaan

yang demikian, tidak dapat berdiri sendiri mencukupi batas minimal pembuktian,

oleh karena itu harus dibantu dengan salah satu alat bukti yang lain.

Hakim wajib dan terikat menganggap akta otentik tersebut benar dan

sempurna, harus menganggap apa yang didalilkan atau dikemukakan cukup

terbukti. Hakim terikat atas kebenaran yang dibuktikan akta tersebut, sehingga

harus dijadikan dasar pertimbangan mengambil putusan penyelesaian sengketa.

Kualitas kekuatan pembuktian Akta Otentik tidak bersifat memaksa

(dwingend) atau menentukan (beslissend) dan terhadapnya dapat diajukan bukti

lawan.Seperti yang dijelaskan, derajat kekuatan pembuktiannya hanya sampai

pada tingkat sempurna dan mengikat, tetapi tidak memaksa dan menentukan.Oleh

karena itu, sifat nilai kekuatan pembuktiannya tidak bersifat imperatife. Dapat

(16)

D. LARANGAN NOTARIS DALAM MEMBUAT AKTA TERTENTU

Pada dasarnya, semua jenis akta yang terletak dalam bidang perdata boleh

dibuat oleh notaris. Namun, dalam hal tertentu ada larangan khusus bagi notaris

untuk membuat akta bagi orang orang tertentu. Larangan tersebut diatur dalam

pasal 20 ayat 1 P.J.N yang berbunyi :

“Notaris tidak boleh membuat akta dalam mana ia sendiri, istrinya,

keluarga sedarahnya atau keluarga semendanya dalam garis lurus tanpa

pembatasan derajat dan dalam garis kesamping sampai dengan derajat ketiga

baik untuk dirinya sendiri maupun melalui kuasa adalah merupakan pihak”.

Jikalau pasal tersebut kita perinci maka dapat dikatakan bahwa larangan

itu berlaku jika dalam suatu akta ternyata bahwa :

1. Notaris itu sendiri,

2. Istri notaris itu,

3.Keluarga sedarah dan keluarga semenda notaris itu, dalam garis lurus

tanpa pembatasan derajat, dalam garis kesamping sampai dengan derajat ketiga,

adalah:

a.merupakan pihak karena dirinya sendiri atau

b. merupakan pihak melalui seseorang yang dikuasakannya (door gemachtigde).

Perlu diperhatikan bahwa perkataan “istri notaris” dewasa ini harus

ditafsirkan berbunyi “istri atau suami notaris” mengingat bahwa sekarang ini

bukan hanya pria tapi juga wanita dapat diangkat menjadi notaris. Jadi berbeda

(17)

pasal yang mengatur tentang persyaratan pengangkatan notaris menetapkan bahwa

yang boleh diangkat menjadi notaris (hanyalah) pria.

1. Menjadi Pihak Karena Dirinya Sendiri.

Yang dimaksud dengan menjadi pihak karena dirinya sendiri ialah jika hak

dan kewajiban yang timbul dari akta tersebut adalah untuk dan atas tanggungan

diri pribadi penghadap itu sendiri.

2. Menjadi Pihak Melalui Orang Yang Dikuasakan

Menjadi pihak dalam akta melalui seseorang yang dikuasakan artinya ialah

bahwa si penghadap bertindak bukan untuk kepentingannya sendiri melainkan

untuk dan atas tanggungan orang lain yang diwakilinya berdasarkan pemberian

kuasa. Segala akibat hukum perbuatan dari yang diberi kuasa bertalian dengan

akta untuk mana ia menghadap adalah untuk dan atas tanggungan pihak yang

memberi kuasa. Bukan menjadi hak dan kewajiban orang yang diberi kuasa (yang

menghadap)

Sebagai contoh ialah si A memberi kuasa kepada si B untuk

mempersewakan rumah kepunyaan si A kepada si C. Maka untuk keperluan

pembuatan akta sewa menyewa, yang menghadap kepada notaris adalah si B yang

bertindak sebagai kuasa si A juga menghadap si C. Dalam hal ini yang menjadi

pihak perjanjian sewa menyewa ialah si A sebagai pihak melalui kuasanya yang

bernama B, sedangkan si C juga merupakan pihak kareana dirinya sendiri.

(18)

- Kuasa lisan

Artinya kuasa itu diberikan secara lisan atau dengan omongan saja tanpa

didukung satu tulisan atau surat.

- Kuasa dibawah tangan

Kuasa ini diberikan dengan satu tulisan atau akta akan tetapi pembuatan

akta itu dilakukan tanpa campur tangan atau bantuan pejabat umum melainkan

dibuat oleh hanya yang berkepentingan saja (pasal 1874 KUH Perdata)

Ada kalanya pembuatan surat kuasa ini terjadi dengan melibatkan pejabat

umum secara terbatas yakni yang membuat surat kuasa itu adalah orang yang

bersangkutan saja akan tetapi penandatangannya dilakukan dihadapan pejabat

umum. Dengan perkataan lain penandatangannya disaksikan oleh pejabat umum.

Surat kuasa demikian dinamakan surat kuasa dibawah tangan yang dilegalisir.

- Kuasa otentik

Kuasa otentik adalah kuasa yang diberikan dengan akta yang diperbuat

dalam bentuk yang ditentukan oleh undang undang oleh pejabat umum yang

berwenang seperti yang diuraikan lebih jelas dalam pasal 1868 KUH Perdata.

Pada umumnya pejabat umum yang bertindak dalam pembuatan akta otentik itu

adalah notaris karena itu jika tidak ternyata sebaliknya maka akta otentik sama

dengan akta notaris.

Sebagai kesimpulan dapat kita katakan bahwa dalam tiga jenis kuasa yang

tersebut diatas si notaris tidak boleh membuat suatu akta dimana salah satu pihak

adalah orang yang mempunyai hubungan keluarga yang dekat dengan notaris

(termasuk dalam derajat larangan), meskipun yang menghadap bukanlah

(19)

dengan notaris. Sebab dalam hal ini keluarganya itulah yang menjadi pihak

melalui kuasa.

- Menjadi Pihak Melalui Wakil Yang Bertindak Dalam Kedudukan (

In Hoedanigheid).

Menjadi pihak melalui yang diberi kuasa (door gemachtigde) maknanya

adalah menjadi pihak melalui seorang wakil. Si wakil mewakili melalui lembaga

kuasa. Seseorang mungkin pula mewakili orang lain bukan melalui lembaga kuasa

akan tetapi melalui lembaga (institusi) lain yaitu lembaga kedudukan atau

lembaga jabatan (in hoedanigheid).

Kedudukan sebagai wali mengandung arti bahwa si wali berhak, bahkan

dalam hal tertentu berkewajiban, mewakili anak dibawah umur yang berada

dibawah perwaliannya melakukan suatu perbuatan hukum. Dalam hal ini jika

dibuatkan aktanya dimuka notaris maka yang menghadap adalah si wali, bukan si

anak namun yang menjadi pihak yang terikat pada perjanjian itu adalah si anak.

Jika dalam pembuatan suatu akta seorang penghadap itu bertindak dalam

kedudukannya sebagai wali dari seorang anak dibawah umur maka yang terikat

mengenai isi akta bukanlah si wali melainkan si anak dibawah umur. Seandainya

orang tadi bertindak dalam kedudukannya sebagai kurator (pengampu) maka yang

terikat bukanlah pengampu itu tapi kurandus (yang terampu).

Pasal 20 P.J.N tersebut tidak ada mengatur prihal seseorang yang

bertindak dalam kedudukan dalam pembuatan dalam suatu akta. Apakah larangan

pasal 20 P.J.N itu juga berlaku jika seandainya yang menjadi pihak dalam akta

(20)

- Larangan Tidak Berlaku.

Larangan tersebut diatas tidak berlaku dalam hal hal yang diuraikan dalam

pasal 20 ayat 2.

- Sanksi

Pelanggaran terhadap larangan pembuatan akta akta yang tersebut diatas

diatur dalam pasal 20 ayat 3 P.J.N yang menentukan :

“Akta itu hanya mempunyai kekuatan sebagai akta dibawah tangan asal

saja akta itu ditandatangani oleh para penghadap dan notaris pembuat akta itu

berkewajiban membayar ongkos, kerugian dan bunga kepada yang

berkepentingan”.

Akibat hukum dari sanksi tersebut berbeda-beda tergantung dari jenis

perbuatan atau perjanjian yang dimuat dalam akta tersebut yakni :

Jika perbuatan itu adalah perbuatan yang bebas bentuk (vormvrij) dalam

arti kata adanya akta notaris bukan merupakan keharusan maka perbuatan itu tetap

sah secara yuridis namun kekuatan pembuktian akta tersebut meskipun dibuat

dihadapan notaris hanya kekuatan pembuktian akta dibawah tangan.

Jika perbuatan itu adalah perbuatan hukum yang mana eksistensinya harus

melalui akta notaries maka dengan terjadinya pelanggaran pasal 20 ayat 1 P.J.N

(21)

BAB IV

JAMINAN PERLINDUNGAN HAK BAGI PARA PIHAK DALAM

PERALIHAN HAK ATAS TANAH MELALUI JUAL BELI

A. SIFAT JUAL BELI MENURUT HUKUM TANAH NASIONAL

Penggunaan istilah jual beli tanah adalah untuk keperluan praktis, tetapi

sebenarnya diperjualbelikan atau yang menjadi objek jual beli adalah hak atas

tanah bukan tanahnya. Tujuan jual beli hak atas tanah adalah agar supaya pembeli

dapat secara sah menguasai dan menggunakan hak atas tanah tersebut.

Dalam perkembangannya, yang diperjualbelikan tidak hanya hak atas

tanah, tetapi juga Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun. Hal ini terkait dengan

adanya hak milik yang terletak di atas tanah pihak lain, baik berupa hak milik, hak

guna bangunan, hak pakai, hak pengelolaan maupun hak milik negara atau lazim

disebut tanah negara. Perkembangan lain jual beli hak atas tanah saat ini juga

meliputi bangunan yang ada di atasnya serta tanaman atau pepohonan yang ada/

tumbuh di atas tanah tersebut.

Pengertian jual beli tanah menurut UUPA didasarkan pada konsep dan

pengertian jual beli menurut hukum adat. Dalam hukum adat tentang jual beli

tanah dikenal tiga macam yaitu :

a. Adol Plas (Jual Lepas)

Pada adol plas, pemilik tanah menyerahkan tanahnya untuk

selama-lamanya kepada pihak lain (pembeli) dengan pembayaran sejumlah

uang yang besarnya ditentukan atas dasar kesepakatan antara pemilik

(22)

b. Adol Gadai (Jual Gadai)

Pada adol gadai, pemilik tanah pertanian (pembeli gadai)

menyerahkan tanahnya untuk digarap kepada pihak lain (pemegang gadai)

dengan menerima sejumlah uang dari pihak lain (pemegang gadai) sebagai

uang gadai dan tanah dapat kembali kepada pemiliknya apabila pemilik

tanah menebus uang gadai.

c. Adol Tahunan (Jual Tahunan)

Pada adol tahunan, pemilik tanah pertanian menyerahkan tanahnya

untuk digarap dalam beberapa kali masa panen kepada pihak lain

(pembeli) dengan pembayaran sejumlah uang yang besarnya ditentukan

atas dasar kesepakatan antar pemilik tanah dengan pembeli. Setelah

beberapa kali masa panen sesuai kesepakatan kedua belah pihak, tanah

pertanian diserahkan kembali oleh pembeli kepada pemilik tanah.40

Menurut Boedi Hars Harsono pengertian jual beli tanah adalah perbuatan

hukum yang berupa penyerahan hak milik (penyerahan tanah untuk

selama-lamanya) oleh penjual kepada pembeli, yang pada saat itu juga pembeli membayar

harganya kepada penjual. Jual beli yang mengakibatkan beralihnya hak milik atas

tanah dari penjual kepada pembeli itu masuk dalam hukum agrarian atau hukum

tanah.41

40

Urip Santoso, 2009, Pendaftaran dan Peralihan Hak atas Tanah, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal 359‐360.

41

Boedi Harsono 11, Op.Cit, hal.135.

Ruang lingkup pengertian jual beli tanah objeknya terbatas hanya pada

hak milik atas tanah. Dalam hukum positif yang mengatur hak-hak atas tanah,

(23)

namun juga Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, maupun Hak

Milik Atas Satuan Rumah Susun.

Sifat jual beli tanah berdasarkan konsep Hukum Adat menurut Effendi

Perangin, adalah:42

Terang, artinya jual beli tanah tersebut dilakukan di hadapan kepala desa

(kepala adat) yang tidak hanya bertindak sebagai saksi tetapi juga dalam

kedudukannya sebagai pihak yang menanggung bahwa jual beli tanah tersebut

tidak melanggar hukum yang berlaku. Jual beli tanah yang dilakukan di hadapan

kepala desa menjadi “terang” dan bukan perbuatan hukum yang “gelap”. Artinya

pembeli mendapatkan pengakuan dari masyarakat yang bersangkutan sebagai

pemilik tanah yang baru dan mendapatkan perlindungan hukum jika pada a. Contant atau Tunai

Contant atau tunai, artinya harga tanah yang dibayar itu seluruhnya, tetapi

bisa juga sebagian. Akan tetapi biarpun dibayar sebagian, menurut hukum

dianggap telah dibayar penuh. Pembayaran harga dan penyerahan haknya

dilakukan pada saat yang bersamaan. Pada saat itu, jual beli menurut hukum telah

selesai. Sisa harga yang belum dibayar dianggap sebagai utang pembeli kepada

bekas pembeli tanah (penjual). Hal ini berarti, jika kemudian pembeli tidak

membayar sisa harganya, maka bekas pemilik tanah tidak dapat membatalkan jual

beli tanah tersebut. Penyelesaian pembayaran sisa harga tersebut dilakukan

menurut hukum perjanjian utang piutang.

b. Terang

42

(24)

kemudian hari ada gugatan terhadapnya dari pihak yang menggangap jual beli

tanah tersebut tidak sah.

Sebagai perbandingan, berikut ini diuraikan tentang jual beli tanah

menurut Burgerlijk Wetboek (BW). Pengertian jual beli dimuat dalam Pasal 1457

BW, yaitu suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya

untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga

yang telah diperjanjikan. Selanjutnya, dalam Pasal menurut 1458 BW, dinyatakan

bahwa jual beli dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, seketika

setelahnya para pihak mencapai sepakat tentang kebendaan tersebut dan harganya

meskipun kebendaan itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar.

Khusus jual beli tanah pada masa berlakunya Hukum Agraria Kolonial

diatur dalam Overschrijving Ordonnantie Stb. 1934 Nomor 27. Dalam perjanjian

jual beli tanah menurut ketentuan tersebut terdapat dua perbuatan hukum, yaitu :

a. Perjanjian jual beli tanah yang dibuat dengan akta notaris atau akta di bawah

tangan. Mengenai perjanjian jual beli pengaturannya termasuk hukum perjanjian

yang merupakan bagian dari Hukum Perikatan dalam Buku III BW. Pada saat

dilakukan perjanjian jual beli belum terjadi pemindahan hak atas tanah dari

penjual kepada pembeli.

b. Penyerahan yuridis (juridische levering) yang diselenggarakan dengan

pembuatan akta balik nama yang dibuat oleh atau di hadapan Kepala Kantor

Pendaftaran Tanah selaku Overschrijvings Ambtenaar. Pemindahan hak milik atas

tanah yang diperjualbelikan dari penjual kepada pembeli terjadi setelah dilakukan

(25)

Berbeda dengan konsep jual beli menurut BW dan Overschrijving

Ordonnantie Staatsblad Tahun 1934 Nomor 27, pada jual beli tanah menurut

hukum adat terdapat satu perbuatan hukum, yaitu hak atas tanah berpindah dari

penjual kepada pembeli pada saat dibayarnya harga tanah secara tunai oleh

pembeli kepada penjual. Menurut Hukum Adat jual beli tanah bukan merupakan

perjanjian sebagaimana dimaksud Pasal 1457 BW, melainkan suatu perbuatan

hukum yang bertujuan untuk memindahkan hak atas tanah dari pemegang hak

(penjual) kepada pihak lain (pembeli) dengan pembayaran sejumlah uang secara

tunai dan dilakukan di hadapan kepala desa/ kepala adat setempat sehingga

bersifat terang.

Dengan mengadopsi pengertian jual beli menurut Hukum Adat, maka

dalam Hukum Tanah Nasional (vide UUPA) dinyatakan bahwa jual beli hak atas

tanah adalah merupakan suatu perbuatan hukum berupa penyerahan hak atas tanah

untuk selama-lamanya oleh pemegang haknya sebagai penjual kepada pihak lain

sebagai pembeli, dan secara bersamaan pihak pembeli menyerahkan sejumlah

uang yang disepakati oleh kedua belah pihak sebagai harga kepada penjual.

Pengertian ini adalah sesuai dengan unsur kontan yang terdapat dalam Hukum

Adat. Sedangkan jika pada proses jual beli tersebut ternyata pihak pembeli belum

membayar lunas seluruh harga tanah, maka kekurangannya dianggap sebagai

hutang yang tunduk pada hukum hutang piutang.

B. OBJEK DAN SYARAT-SYARAT JUAL BELI HAK ATAS TANAH

Hak atas tanah yang dapat dijadikan objek jual beli adalah Hak Milik, Hak

(26)

pejabat yang berwenang, dan Hak Milik atas Satuan Rumah Susun sebagaimana

diatur dalam Undang Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun.

Tidak semua hak atas tanah dapat dijadikan objek jual beli. Hak atas tanah yang

tidak dapat diperjualbelikan adalah hak pakai atas tanah negara yang diberikan

untuk waktu yang tidak ditentukan selama tanahnya digunakan untuk keperluan

tertentu. Misalnya, Hak Pakai yang dimiliki oleh lembaga/ instansi Pemerintah,

Perwakilan Negara Asing atau Badan/ Organisasi Internasional, dan Badan Sosial

(Penjelasan Pasal 45 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996).

Peralihan hak atas tanah dalam bentuk jual beli harus memenuhi beberapa

syarat yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Apabila syarat-syarat yang telah ditentukan tidak terpenuhi maka akan membawa

konsekuensi pada legalitas jual beli hak atas tanah tersebut. Di samping itu apabila

suatu perbuatan jual beli hak atas tanah tidak memenuhi syarat, juga dapat

berkonsekuensi tidak dapat didaftarkannya peralihan hak atas tanah melalui jual

beli tersebut. Syarat-syarat jual beli hak atas tanah ada yang merupakan syarat

materiil dan syarat formil.

1. Syarat Materiil

Syarat Materiil jual beli hak atas tanah adalah tertuju pada subjek dan

objek hak yang akan diperjualbelikan. Pemegang hak atas tanah harus mempunyai

hak dan berwenang untuk menjual hak atas tanah. Di samping itu pembeli juga

(27)

menjadi objek jual beli. Uraian tentang syarat materiil dalam jual beli hak atas

tanah adalah sebagai berikut :

1. Syarat Penjual

Untuk dapat melakukan transaksi jual beli hak atas tanah maka penjual

harus mempunyai hak dan wewenang untuk menjual hak atas tanah dengan

ketentuan sebagai berikut :

a. Penjual adalah orang yang namanya tercantum dalam sertifikat atau alat

bukti lain selain sertifikat.

b. Penjual harus sudah dewasa menurut ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

c. Apabila penjual masih belum dewasa atau masih berada di bawah umur

(minderjarig) maka untuk melakukan jual beli harus diwakili oleh

walinya.

d. Apabila penjual berada di dalam pengampuan (curatale), maka untuk

melakukan transaksi jual beli harus diwakili oleh pengampu atau

kuratornya.

e. Apabila penjual diwakili oleh orang lain sebagian penerima kuasa, maka

penerima kuasa menunjukan surat kuasa notariil atau surat kuasa otentik

(28)

f. Apabila hak atas tanah yang akan dijual merupakan harta bersama dalam

perkawinan maka penjual harus mendapatkan persetujuan terlebih dahulu

dari suami/istri yang dituangkan dalam akta jual beli.

2. Syarat Pembeli

Selaku calon pemegang hak baru, maka pembeli hak atas tanah harus

memenuhi syarat syarat sebagai subjek hak atas tanah dengan ketentuan sebagai

berikut :

a. Apabila objek jual beli tersebut merupakan tanah Hak Milik, maka

subjek yang dapat membeli tanah adalah perseorangan warga negara

Indonesia, bank pemerintah, badan keagamaan, dan badan sosial.

b. Apabila objek jual beli tersebut merupakan tanah Hak Guna Usaha,

maka subjek yang dapat membeli tanah adalah perseorangan warga negara

Indonesia, dan badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan

berkedudukan di Indonesia.

c. Apabila objek jual beli tanah tersebut merupakan tanah Hak Guna

Bangunan, maka subjek yang dapat membeli tanah adalah perseorangan

warga negara Indonesia, dan badan hukum yang didirikan menurut hukum

Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.

d. Apabila objek jual beli tanah tersebut adalah merupakan Hak Pakai,

maka pihak yang dapat membeli tanah adalah subjek Hak Pakai yang

bersifat privat, yaitu perseorangan warga negara Indonesia, perseorangan

(29)

didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia, dan

badan hukum asing yang mempuyai perwakilan di Indonesia.

2. Syarat Formil

Syarat formil dalam jual beli hak atas tanah adalah meliputi formalitas

transaksi jual beli tersebut. Formalitas tersebut meliputi akta yang menjadi bukti

perjanjian jual beli serta pejabat yang berwenang membuat akta tersebut. Dalam

rangka pendaftaran pemindahan hak, maka syarat formil jual beli hak atas tanah

harus dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh dan dihadapan Pejabat Pembuat

Akta Tanah (PPAT). Akta yang dibuat oleh PPAT tersebut merupakan atau

dikualifikasikan sebagai akta otentik.

Syarat bahwa jual beli harus dibuktikan dengan akta PPAT ditegaskan

dalam Pasal 37 Ayat (1) Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997, yang

menyatakan: “Peralihan hak atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun

melalui jual beli, tukar-menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan

perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui

lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh

PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang

berlaku”.

Syarat formil dalam jual beli hak atas tanah tidak mutlak harus dibuktikan

dengan akta PPAT, Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kota dapat mendaftar

pemindahan haknya meskipun tidak dibuktikan dengan akta PPAT. Hal ini

ditegaskan dalam Pasal 37 Ayat (2) Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997 yang

(30)

menteri, Kepala Kantor Pertanahan dapat mendaftarkan pemindahan hak atas

bidang tanah Hak Milik, yang dilakukan di antara perorangan warga negara

Indonesia yang dibuktikan dengan akta yang tidak dibuat oleh PPAT, tetapi yang

menurut Kepala Kantor Pertanahan tersebut kadar kebenarannya dianggap

cukup untuk mendaftar pemindahan hak yang bersangkutan”.

Atas dasar ketentuan Pasal 37 Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997

menunjukkan bahwa untuk kepentingan pemindahan kepada Kantor Pertanahan,

jual beli hak atas tanah harus dibuktikan dengan akta PPAT. Namun dalam

keadaan tertentu, Kepala Kantor Pertanahan dapat mendaftar pemindahan hak atas

tanah bidang tanah Hak Milik, jika para pihaknya (penjual dan pembeli)

perseorangan warga negara Indonesia yang dibuktikan dengan akta yang tidak

dibuat oleh PPAT, tetapi kebenarannya dianggap cukup untuk mendaftar

pemindahan hak yang bersangkutan.

C. KEPASTIAN HUKUM DALAM PERLINDUNGAN HAK PARA PIHAK

Untuk menjamin kepastian dan ketertiban hukum dalam jual beli hak atas

tanah diperlukan adanya persyaratan formil bagi penjual atau pemilik hak atas

tanah. Syarat formil terhadap objek jual beli hak atas tanah berupa bukti

kepemilikan tanah yang terkait dengan hak atas tanah, dan juga terkait dengan

prosedur peralihan hak atas tanah tersebut. Prosedur jual beli hak atas tanah telah

ditetapkan menurut ketentuan yang berlaku, yakni Undang-Undang No.5 Tahun

1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Tahun

1960 No. 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043) dan Peraturan

(31)

Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor

59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3696).

Menurut ketentuan tersebut, jual beli tanah harus dibuktikan dengan suatu

akta yang dibuat oleh dan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah atau PPAT.

Untuk menjamin kepastian dan ketertiban hukum dalam jual beli tanah, proses

jual beli tanah hanya dapat dilakukan di atas tanah yang dimiliki berdasarkan

hak-hak atas tanah, artinya objek tanah yang disahkan dengan bukti kepemilikan hak-hak

atas tanah. Dengan demikian dapat diketahui bahwa penjual adalah sebagai orang

atau pihak yang berhak dan sah menurut hukum untuk menjual.

Proses jual beli hak atas tanah yang telah didaftarkan atau telah

bersertifikat memiliki resiko hukum yang rendah, karena hak kepemilikan dan

subjek hukum penjual telah jelas dan terang, namun demikian bagi tanah yang

belum didaftarkan hak kepemilikannya atau belum bersertifikat, memiliki resiko

hukum dan kerawanan yang lebih tinggi. Oleh karena itu terhadap objek jual beli

hak atas tanah yang belum didaftarkan atau belum bersertifikat lebih menekankan

kejelian dan kehati-hatian, agar jelas dan terang penjual adalah sebagai pihak yang

sah dan berhak untuk menjual. Hal ini dapat dicermati dari

persyaratan-persyaratan formil yang melekat sebagai alas hak. Di sisi lain mekanisme dan

prosedur jual beli tanah juga berbeda dengan hak atas tanah yang telah didaftarkan

atau yang memiliki sertifikat.

Peralihan hak atas tanah dengan cara jual beli dapat dikuasakan kepada

orang lain dengan cara pemberian kuasa untuk menjual.43

43

Pemberian Kuasa yang dimaksud adalah suatu persetujuan dengan mana seseorang memberikan kekuasaan kepada seorang lain yang menerimanya untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan (vide: pasal 1792 KUH Perdata (Burgerlijk Wetboek)).

(32)

pemberian kuasa diberikan secara formil sesuai dengan ketentuan yang tunduk

pada hukum perdata, baik yang dibuat oleh dan atau dihadapan Notaris maupun di

bawah tangan, sebagaimana dirumuskan dalam pasal 1793 KUH Perdata

(Burgerlijk Wetboek) yang substansinya menyatakan bahwa : “Kuasa dapat

diberikan dan diterima dalam suatu akta umum, dalam suatu tulisan di bawah

tangan, bahkan dalam sepucuk surat maupun dengan lisan”.

Di sini antara pemberi dan penerima kuasa terbentuk suatu ikatan dan

hubungan hukum, sehingga penerima kuasa bertindak untuk mewakili pemberi

kuasa, namun demikian hak pemberi kuasa tidak beralih secara mutlak, karena

kuasa yang diberikan dapat dicabut atau ditarik kembali oleh pemberi kuasa.

Selama pemberian kuasa berlangsung, maka penerima kuasa berhak untuk

bertindak atau berbuat atas nama pemberi kuasa yang terbatas pada substansi yang

dikuasakan.

Di dalam konsep peralihan hak atas tanah dengan cara jual beli, pihak

penjual dapat menguasakan kepada pihak lain. Berdasar pada kuasa tersebut,

maka penerima kuasa dapat bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa guna

menjual hak atas tanahnya. Terhadap jual beli hak atas tanah yang belum

didaftarkan atau belum bersertifikat dan dengan cara pemberian kuasa untuk

menjual, maka timbul suatu penyelundupan hukum yang sangat strategis dan

terselubung. Hal ini dapat membawa risiko dan konsekuensi hukum yang pada

puncaknya dapat menimbulkan beban tanggung jawab, baik bagi penjual atau

pemberi kuasa maupun bagi penerima kuasa atau pihak ketiga yang

(33)

Untuk menjamin kepastian hukum, ketertiban hukum dan memberikan

perlindungan hukum bagi para pihak, maka perlu adanya kajian tentang jual beli

tanah yang belum didaftarkan atau belum bersertifikat dengan kuasa menjual.

Pemikiran secara teoritis kritis perlu dilakukan guna mengantisipasi dan

mencegah terjadinya penyelundupan hukum dalam praktek peralihan hak atas

tanah dengan cara jual beli, utamanya hak atas tanah yang belum didaftarkan atau

belum bersertifikat, sehingga jual beli hak atas tanah yang belum bersertifikat ada

(34)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Dari uraian di atas, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Konsep dasar Peran Notaris adalah berbagai hak dan kewajiban notaris

sebagai pihak tengah dalam hubungan hukum antara dua pihak yang terikat dalam

suatu perjanjian. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004

yang kemudian diperbaharui menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014

tentang Jabatan Notaris.

2. Peran notaris dalam melakukan peralihan hak atas tanah adalah

penjelasan-penjelasan bagaimana fungsi seorang notaris dalam melakukan

pemindahan hak atas tanah dari pihak satu ke pihak lainnya serta dijelaskan pula

kewenangan notaris dalam membuat akta jual beli dan kekuatan hukum yang

dibuatnya, sesuai dengan Pasal 15 ayat 2 huruf f Undang-Undang Nomor 2 Tahun

2014 dan Pasal 19 PP No. 10 Tahun 1961

3. Jaminan perlindungan hak bagi para pihak dalam peralihan hak atas

tanah melalui jual beli adalah penjelasan-penjelasan mengenai kepastian hukum

yang didapat oleh pihak penjual dan pembeli setelah melakukan peralihan hak atas

tanah, sesuai dengan Pasal 26 Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang

(35)

B. SARAN

1. Dikarenakan notaris merupakan pihak tengah dalam suatu perjanjian,

hendaknya ia bersifat netral dengan tidak memihak kepada salah satu pihak dan

melaksanakan tugasnya dengan baik sesuai dengan akhlak dan martabatnya.

2. Walaupun notaris berwenang membuat akta dibawah tangan, namun

penulis dalam hal ini tidak menyarankan hal tersebut, dikarenakan pada zaman

sekarang banyak terjadi kasus-kasus penipuan yang tidak sesuai dengan

perjanjian.

3. Notaris yang hendak melakukan peralihan hak atas tanah melalui jual

beli hendaknya senantiasa jeli dan kritis dalam menganalisa

problematika-problematika hukum jual beli tanah agar tidak terjadi sengketa di kemudian hari.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam pembelajaran fisika dengan mengunakan alat batu pembelajaran Flash CS 4 dirasakan akan lebih efektif dan berhasil dari pada menggunakan metode

DAFTAR LAMPIRAN ... Latar Belakang Masalah ... Rumusan Masalah ... Tujuan Penelitian ... Manfaat Penelitian ... Hakikat Fisika ... Konsep Diri ... Pengertian Konsep Diri

(2008: 154) juga menyatakan bahwa pembelajaran yang melibatkan aktivitas Problem Posing dapat menimbulkan ketertarikan peserta didik terhadap matematika, meningkatkan

Penguat (amplifier) adalah peralatan elektronika yang berfungsi menguatkan sinyal input yang amplitudonya relatif kecil menjadi sinyal output yang amplitudonya lebih besar

sehat, konsumsi unggas sakit/mati, konsumsi telur setengah matang, konsumsi telur mentah, penanganan terhadap kotoran unggas tanpa menggunakan sarung tangan, memberi makan

Hal ini diperkuat oleh penelitian Mindo (2008), yang menunjukkan bahwa ada korelasi positif yang signifikan antara dukungan sosial orang tua dengan prestasi belajar

3) Mengintegrasikan pembelajaran dengan situasi yang realistik dan relevan dengan melibatkan pengalaman konkrit, misalnya untuk memahami suatu konsep melalui

Berdasarkan teknik analisis data statistik inferensial yang dilakukan untuk mengetahui sejauh mana peranan guru mata pelajaran aqidah akhlak dalam mengembangkan