• Tidak ada hasil yang ditemukan

Predice Score Sebagai Prediktor Mortalitas 90 Hari Pada Pasien Gagal Jantung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Predice Score Sebagai Prediktor Mortalitas 90 Hari Pada Pasien Gagal Jantung"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Gagal Jantung 2.1.1 Definisi

American college of cardiology foundation (ACCF)/American Heart Association (AHA) mendefinisikan gagal jantung sebagai suatu sindroma klinis yang kompleks yang terjadi akibat gangguan struktur atau fungsi dari pengisian ventrikel serta pemompaan darah, yang menyebabkan gejala klinis utama berupa sesak nafas, fatigue dan tanda – tanda gagal jantung berupa edema dan ronki pada pemeriksaan paru. Saat ini terminologi gagal jantung lebih dipilih dibandingkan terminologi gagal jantung kongestif, oleh karena banyak pasien gagal jantung tidak memiliki gejala serta tanda kelebihan cairan.4

2.1.2 Epidemiologi

Risiko untuk mengalami gagal jantung meningkat seiring dengan

pertambahan usia. Penduduk Amerika berusia > 40 tahun berisiko mengalami gagal jantung sebesar 20%. Di AS, insiden gagal jantung stabil dalam beberapa dekade terakhir dengan > 650.000 kasus gagal jantung baru terdiagnosis setiap tahunnya.13 Walaupun angka harapan hidup pasien-pasien gagal jantung semakin meningkat, namun tingkat mortalitas absolut untuk gagal jantung masih berkisar 50% dalam 5 tahun setelah terdiagnosis.14,15

(2)

7

2.1.3 Patofisiologi

Gagal jantung merupakan kelainan yang bersifat progresif, proses terjadinya gagal jantung dimulai setelah timbulnya suatu peristiwa/index event yang menyebabkan kerusakan pada otot jantung, terjadi pengurangan miosit yang berfungsi dalam jumlah besar atau di sisi lain menyebabkan gangguan pada kemampuan miokard untuk membentuk suatu gaya/kekuatan yang kemudian menyebabkan jantung tidak dapat berkontraksi dengan normal. Proses terjadinya peristiwa yang menginisiasi proses terjadinya gagal jantung dapat terjadi tiba – tiba seperti pada infark miokard, dapat terjadi perlahan dan tersembunyi seperti pada kasus – kasus peningkatan tekanan hemodinamik pada hipertensi dan

stenosis katup ataupun kelebihan cairan, atau dapat juga bersifat herediter seperti pada kasus – kasus kardiomiopati yang bersifat genetik. Namun apapun prosesnya, hal yang menjadi kesamaan dari semua proses – proses tersebut ialah keseluruhan peristiwa – peristiwa tersebut mempunyai pola yang sama yakni menyebabkan penurunan pada kapasitas pemompaan jantung. Pada mayoritas kasus pasien tetap tidak bergejala ataupun dapat mempunyai gejala minimal setelah penurunan awal kapasitas pemompaan jantung atau dapat menimbulkan gejala hanya setelah disfungsi yang terjadi timbul untuk waktu yang lama. 1,2,3,

(3)

8

mempengaruhi mekanisme kompensasi ini. Mekanisme kompensasi berperan dalam menjaga fungsi ventrikel kiri dalam rentang fisiologis/homeostasis sedemikian rupa sehingga kapasitas fungsional pada pasien dapat terjaga/preserved atau hanya menurun sedikit. Oleh karena itu pasien dapat dalam kondisi asimptomatik atau dapat memberi gejala yang ringan selama periode beberapa tahun. Namun pada satu titik pasien kemudian akhirnya menunjukkan gejala – gejala yang jelas, timbulnya kondisi ini kemudian turut menyebabkan peningkatan tingkat morbiditas dan mortalitas pada pasien – pasien gagal jantung.2,17

Mekanisme pasti yang bertanggung jawab dalam terjadinya masa peralihan tersebut belum diketahui. Proses peralihan ke kondisi gagal jantung yang bergejala

yang diiringi dengan terjadinya peningkatan aktivasi neurohormonal, sistem adrenergik dan sitokin yang menyebabkan berbagai perubahan adaptif pada miokardium dikenal dengan proses remodelling ventrikel kiri.2,17

Dibalik pemahaman mengenai patogenesis dari gagal jantung dengan rEF pemahaman mengenai mekanisme –mekanisme yang terjadi pada proses terjadinya gagal jantung dengan pEF masih terus berkembang. Walaupun disfungsi diastolik diyakini sebagai satu – satunya mekanisme yang bertanggung jawab dalam perkembangan gagal jantung dengan fraksi ejeksi yang masih terpelihara, berbagai studi menunjukkan bahwa mekanisme tambahan yang terjadi diluar jantung juga merupakan hal yang penting seperti peningkatan kekakuan pembuluh darah dan gangguan pada fungsi ginjal.2,3,17

Gambar 2.1. Patogenesis terjadinya penurunan fraksi ejeksi pada gagal jantung

(4)

9

Informasi mengenai fisiologi seluruh organ telah dipahami dengan baik dalam 30 tahun terakhir dengan adanya berbagai penemuan mekanisme humoral dan seluler yang dijelaskan dengan teknik biologi molekuler. Pemahaman akan patofisiologi jantung turut mengalami perkembangan.2

Ada beberapa pola yang membantu dalam pemahaman akan terjadinya gagal jantung, yakni:,2,3

1. Model Hemodinamik

Pemahaan patofisiologi mengenai gagal jantung menggunakan model hemodinamik merupakan paradigma lama. Model hemodinamik berdasar pada pemahaman bahwa jantung diibaratkan suatu pompa.

Jantung memiliki kemampuan meningkatkan aliran darah setara dengan kebutuhan tubuh seperti pada konsidi latihan dimana terjadi peningkatan frekuensi jantung, isi sekuncup, atau keduanya. Peningkatan pre load menyebabkan peningkatan kontraktilitas, namun proses latihan serta volume yang berlebihan tidak akan menyebakan peningkatan kontraktilitas lebih lanjut (fase plateau) yang kemudian diikuti penurunan pada kekuatan kontraksi. Frank dan starling mengilustrasikan keadaan ini dengan studi hemodinamik dan terminologi hukum Starling pada jantung. Studi – studi berikutnya mengenai gagal jantung kronis mengkonfirmasi validitas dari hukum starling ini, namun lebih penting lagi menemukan suatu hubungan profil anatomi dan hemodinamik dengan kelebihan tekanan serta volume yang bersifat kronis.2,17

Model hemodinamik ini merupakan salah satu hal yang berperan dalam terjadinya remodelling dari ventrikel. Hemodinamik yang abnormal menyebabkan remodeling, yang kemudian menyebabkan abnormalitas hemodinamik lebih lanjut. Proses primer serta perubahan - perubahan yang terjadi akibat mekanisme kompensasi pada geometri dan performa bervariasi tergantung dari tipe gagal jantung. Contoh klasik ialah kondisi peningkatan tekanan berlebihan pada hipertensi dan stenosis katup menyebabkan hipertrofi pada ventrikel yang terkait , meningkatkan

(5)

10

dari ventrikel kiri. Kondisi – kondisi dimana terjadi kelebihan volume seperti pada regurgitasi mitral umumnya menyebabkan dilatasi ventrikel, peningkatan tekanan akhir diastolik dan menurunkan fungsi sistolik. Kondisi yang mempengaruhi kontraktilitas seperti infark miokard ataupun miopati primer menyebabkan terjadinya kelebihan tekanan serta volume. Penurunan fungsi sistolik menyebabkan peningkatan tekanan akhir diastolik ventrikel, dan menyebabkan dilatasi ventrikel juga peningkatan massa ventrikel. Hasil akhir dari proses remodeling patologis ini ialah penurunan curah jantung, sesak nafas dan edema yang timbul pada pasien gagal jantung terkait dengan peningkatan tekanan pengisian yang terjadi

secara kronis.2,17 2. Model Neurohormonal

Model neurohormonal merupakan paradigma baru yang membantu dalam pemahaman patofisiologi gagal jantung. Gagal jantung saat ini dianggap sebagai suatu penyakit sistemik yang melibatkan berbagai proses neurohormonal sehingga blokade proses neurohormonal ini merupakan bagian dalam tatalaksana gagal jantung dan diharapkan dapat mencegah progresifitas dari gagal jantung.2,17

(6)

11

Stimulasi simpatis di ginjal menyebabkan pelepasan renin yang kemudian mengakibatkan peningkatan kadar angiotensin (AT) II dan aldosterone yang bersirkulasi. Aktivasi dari renin-angiotensin-aldosterone memicu retensi garam dan air dan menyebabkan vasokonstriksi dari pembuluh darah perifer, hipertrofi miosit, kematian sel miosit, dan fibrosis miokardium. Walaupun mekanisme neurohormonal ini merupakan mekanisme adaptasi jangka pendek yang bertujuan untuk mempertahankan tekanan darah sehingga perfusi ke organ – organ vital tetap terjaga namun mekanisme neurohormonal ini diyakini turut berkontribusi terhadap perubahan pada jantung dan sirkulasi serta retensi garam dan air yang

berlebihan pada gagal jantung tahap lanjut.2,3,17

Gambar 2.2. Aktivasi sistem neurohormonal pada gagal jantung

(Dikutip dari : Nohria A, 2002)

2.1.4 Manifestasi Klinis

(7)

12

beraktivitas. Timbulnya sesak nafas pada gagal jantung kemungkinan bersifat multifaktorial. Mekanisme utama yang paling penting dalam menyebabkan keluhan ini ialah kongesti paru akibat akumulasi cairan intersisial dan intra alveolar, yang kemudian mengaktivasi reseptor J juksta kapiler yang menstimulasi timbulnya pernafasan cepat dan dalam. Faktor lain yang turut berkontribusi terhadap kejadian sesak nafas saat beraktivitas ialah penurunan kapasitas paru, peningkatan resistensi jalan nafas, kelelahan otot pernafasan dan diafragma serta anemia. 1,2

Pasien gagal jantung juga dapat memberikan gejala – gejala gastrointestinal. Anoreksia, mual, perasaan cepat kenyang dan nyeri perut serta terasa penuh dibagian perut kemungkinan terkait dengan edema pada dinding usus dan

kongesti hati. Gejala serebral seperti kebingungan, disorientasi dan mengantuk serta perubahan mood sering juga dijumpai pada pasien gagal jantung yang berat terutama pada pasien usia tua.2

2.1.5 Klasifikasi Gagal Jantung

Saat ini ada dua klasifikasi stadium gagal jantung yang dikenal, yakni klasifikasi berdasarkan ACCF/AHA dan klasifikasi kapasitas fungsional berdasarkan New York Heart Association (NYHA). Kedua klasifikasi ini memberikan informasi berguna dan saling melengkapi mengenai kondisi dan keparahan gagal jantung. Stadium gagal jantung berdasarkan ACCF/AHA menekankan perkembangan dan progresi penyakit dan dapat digunakan untuk mendeskripsikan baik individu maupun populasi, dimana klasifikasi berdasarkan NYHA memfokuskan pada kapasitas latihan dan gejala yang dijumpai.4

Pembagian fungsional NYHA sering digunakan untuk menentukan progresifitas gagal jantung. Sistim ini membagi pasien atas 4 kelas fungsional yang bergantung pada gejala yang muncul, yaitu asimptomatis (kelas I), gejala muncul pada aktifitas berat (kelas II), gejala muncul pada aktifitas ringan (kelas III), dan gejala muncul pada saat istirahat (kelas IV). Kelas fungsional pada penderita gagal jantung cenderung berubah-ubah. Bahkan perubahan ini dapat terjadi walaupun tanpa perubahan pengobatan, dan tanpa perubahan pada fungsi

(8)

13

ACCF/AHA membagi klasifikasi untuk perkembangan dan progresifitas gagal jantung atas 4 stadium yaitu stadium A adalah berisiko tinggi untuk menjadi gagal jantung tanpa ditemukan adanya disfungsi jantung, stadium B adalah adanya disfungsi jantung tanpa gejala, stadium C adalah adanya disfungsi jantung dengan gejala, stadium D adalah adanya gejala yang berat dan refrakter terhadap terapi maksimal. Pembagian ini mengutamakan pada keberadaan faktor risiko dan abnormalitas struktural jantung, pengenalan progresifitasnya, dan strategi pengobatan pada upaya preventif. Penderita gagal jantung akan mengalami perjalanan penyakitnya dari stadium A ke D namun tidak dapat kembali lagi ke stadium A, hal yang mana dapat terjadi bila menggunakan klasifikasi menurut

NYHA.4

2.1.6 Diagnosis

Diagnosis dibuat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, elektrokardiografi foto toraks, ekokardiografi-doppler, kateterisasi jantung dan uji latih. 1

Kriteria Framingham dapat dipakai untuk membantu diagnosis gagal jantung yaitu dengan terpenuhinya 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor. Adapun kriteria Framingham sebagai berikut:1

1. Kriteria mayor:

a. Paroksismal nokturnal dispnu b. Distensi vena leher

c. Ronki paru d. Kardiomegali e. Edema paru akut f. Gallop S3

g. Peninggian tekanan vena jugularis h. Refluks hepatojugular

2. Kriteria minor:

a. Edema ekstremitas b. Batuk malam hari

(9)

14

d. Hepatomegali e. Efusi pleura

f. Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal g. Takikardia (>120 x/menit)

3. Kriteria mayor atau minor: Penurunan BB 4,5 kg dalam 5 hari pengobatan.

Gagal jantung dapat disertai spektrum abnormalitas fungsi ventrikel yang luas, mulai dari ukuran ventrikel kiri dan fraksi ejeksi yang normal sampai dengan dilatasi berat dan/atau fraksi ejeksi yang sangat rendah.1

2. 2 Kematian pada Gagal Jantung

Walaupun angka harapan hidup pasien – pasien gagal jantung semakin meningkat sehubungan dengan berbagai kemajuan dalam terapi dan tatalaksana gagal jantung, namun angka mortalitas absolut pada pasien pasien gagal jantung masih berkisar 50- 70 % dalam 5 tahun sejak terdiagnosis.9,14 Berdasarkan studi ARIC (2008) case fatality rate 30 hari, 1 tahun dan 5 tahun pasca hospitalisasi pada pasien-pasien gagal jantung adalah 10.4%, 22% dan 42.3%.16 Dari studi oleh Bueno et al menunjukkan pola penurunan tingkat kematian selama perawatan namun justru dijumpai peningkatan tingkat mortalitas dalam 30 hari pasca perawatan dari 4.3% menjadi 6.4%.18 Kecenderungan ini terutama dijumpai pada pasien-pasien gagal jantung dengan rEF19 dan disfungsi ventrikel kiri didapati berkaitan dengan peningkatan risiko kejadian kematian mendadak pada pasien-pasien gagal jantung.20

Di AS, dari tiap 8 kasus kematian didapatkan 1 kasus mencantumkan gagal jantung sebagai salah satu diagnosis dalam sertifikat kematian, dan 20% dari kelompok tersebut memiliki diagnosis gagal jantung sebagai penyebab primer kematian.21 Risiko kematian meningkat secara stabil setelah pasien didiagnosis dengan gagal jantung. Studi Framingham (1993) menemukan, mortalitas 30 hari berkisar 10%, mortalitas 1 tahun 20-30%, dan mortalitas 5 tahun berkisar 45-60%.22 Riwayat rawat inap juga didapati berkaitan dengan prognosis yang semakin buruk. Dari suatu studi oleh Goldberg dkk (2007) di Massachusets didapati, angka kematian 5 tahun kebih dari 75% setelah episode pertama rawat

(10)

15

Gagal jantung yang mengalami perburukan berkaitan dengan peningkatan mortalitas baik selama perawatan di rumah sakit maupun pasca rawatan. Studi oleh Velavan dkk yang bertujuan mengidentifikasi factor-faktor yang berkaitan dengan mortalitas jangka pendek pada pasien-pasien gagal jantung menemukan angka kematian pada pasien-pasien gagal jantung yang dirawat inap dalam 12 minggu adalah sebesar 13%. Dan pada studi ini didapati peningkatan usia, hiponatremia, gangguan fungsi ginjal, hiperkalemia, anemia, mitral regurgitasi berat, disfungsi sistolik berat, pemanjangan kompleks QRS serta jenis kelamin berkitan dengan peningkatan risiko kematian pada pasien-pasien gagal jantung.24

Meskipun didapati perbaikan yang cepat dan signifikan dari gejala dan

tanda gagal jantung dengan menggunakan diuretik intravena dan vasodilator, kondisi pasca rawatan pada pasien-pasien yang dirawat karena gagal jantung masih tetap buruk. Didapati sekitar 25% pasien yang dirawat dengan gagal jantung akan kembali dirawat dalam 30 hari setelah pasien pulang, dan tingkat mortalitas selama periode ini berkisar sebesar 10%. Pada periode awal pasca rawatan ini pasien-pasien berisiko tinggi mengalami perburukan klinis, fase ini dikenal dengan istilah fase rentan. Secara sederhana fase rentan didefinisikan sebagai periode segera setelah pasien pulang dari perawatan. 6,25 Durasi pasti dari fase rentan sendiri masih pasti, namun berbagai studi menunjukkan fase rentan ini berlangsung berkisar 2 – 3 bulan.26,27,28

Secara umum pasien yang dirawat inap akibat gagal jantung, meninggal dan menjalani rehospitalisasi oleh karena berbagai penyebab, baik kardiak maupun non kardiak. Namun, dari suatu kelompok pasien – pasien gagal jantung dengan outcome yang buruk pasca perawatan, terutama yang menjalani rehospitalisasi, didapatkan perburukan terjadi terkait dengan kondisi patofisiologi yang mendasari yang secara khas berkaitan dengan peningkatan tekanan ventrikel kiri. Gejala dan tanda kongesti (seperti, sesak nafas, orthopnea, edema perifer) merupakan alasan tersering rawat inap pada pasien – pasien gagal jantung. Lebih dari 60% pasien didapati ronki paru dan edema perifer. Kongesti hemodinamik persisten pada saat pasien pulang tampaknya merupakan faktor penting pada patofisiologi yang mendasari tingginya

(11)

16

Studi oleh Gheorghidae M dkk (2012) yang bertujuan mencari gambaran karakteristik klinis, laboratorium, dan neurohormonal pada pasien gagal jantung baik pada saat dirawat inap maupun pasca perawatan yang dikaitkan dengan risiko kematian dan rehospitalisasi dalam 90 hari dari awal pasien dirawat mendapatkan kejadian mortalitas dini dan rehospitalisasi terkait kondisi kardiovaskular memiliki karakteristik usia yang lebih tua, memiliki riwayat rawat inap yang lebih banyak sebelumnya, dan memiliki jumlah komorbid yang lebih banyak seperti, riwayat infark miokard, penyakit katup mitral, penyakit ginjal kronis, dan penyakit paru obstruksi kronis yang berat. Pemeriksaan penunjang menunjukkan pasien dengan kejadian mortalitas dini dan rehospitalisasi memiliki fraksi ejeksi

yang lebih rendah, durasi kompleks QRS yang lebih panjang, kadar natrium serum yang lebih rendah, peninggian blood urea nitrogen (BUN) dan kreatinin

serta kadar albumin yang lebih rendah. Berdasarkan profil neurohormonal, didapati kelompok dengan kematian dini dan rehospitalisasi memilki kadar aldosteron dan peptida natriuretik yang lebih tinggi.28

Memastikan penyebab kematian pada gagal jantung merupakan suatu tantangan. Di masyarakat, kematian akibat kardiovaskular lebih jarang pada kelompok dengan preserved fraksi ejeksi. Temuan serupa juga didapatkan dari

studi di Olmsted, Minnesota dari 1063 penderita gagal jantung didapati penyebab kematian utama pada kelompok dengan preserved fraksi ejeksi adalah non

(12)

17

2.3 PREDICE Score

PREDICE score adalah suatu model prediksi klinis yang dapat digunakan

dalam menilai prognosis pada pasien-pasien gagal jantung kronis yang dirawat

inap. Komponen dalam PREDICE score melibatkan faktor biologis dan

nonbiologis. Adapun faktor biologis terdiri dari usia, bersihan kreatinin, kadar natrium pada saat awal masuk RS serta diagnosis patofisiologis yang dinilai berdasarkan fraksi ejeksi. Sedangkan faktor non biologiknya adalah status fungsional yang dinilai menggunakan indeks Barthel. Kelima variabel ini memiliki nilai masing-masing yang kemudian akan diakumulasikan.11

2.3.1 Hubungan Usia dengan Mortalitas pada Gagal Jantung

Usia merupakan faktor terpenting yang menentukan kondisi kesehatan kardiovaskular individu. Pada tahun 2030 ada sekitar 20% populasi akan berusia 65 tahun atau lebih. Pada kelompok usia ini, tingkat kematian akibat penyakit kardiovaskular adalah sebesar 40% dari seluruh penyebab kematian dan merupakan penyebab mortalitas terbanyak.8,32

Penuaan berkaitan dengan penurunan progresif sejumlah proses fisiologis, yang menyebabkan peningkatan risiko penyakit serta berbagai komplikasi. Efek penuaaan pada sistem kardiovaskular menyebabkan berbagai perubahan patologis termasuk hipertrofi, perubahan pada fungsi diastolik ventrikel kiri, dan mengurangi kapasitas sistolik ventrikel kiri, meningkatkan kekakuan arteri serta menggangu fungsi endotel. Peningkatan kekakuan arteri kemudian akan diikuti mekanisme kompensasi oleh miokardium termasuk hipertrofi ventrikel kiri serta proliferasi dari fibroblast, yang kemudian menyebabkan penurunan curah jantung dan peningkatan jaringan fibrotik.33,34

Seiring peningkatan usia, tingkat pengisian pada fase diastolik ventrikel kiri mulai mengalami penurunan, yang dikompensasi dengan peningkatan kontraksi atrial untuk menyokong isi sekuncup dan beban kerja jantung sehingga fraksi ejeksi tetap terjaga baik. Namun akibat penuaan, kontraktilitas ventrikel kiri dan fraksi ejeksi, demikian juga dengan modulasi aktivitas simpatis pada

(13)

18

penurunan. Pengurangan curah jantung oleh karena penurunan fungsi akibat penuaan mestimulasi miokardium melakukan kompensasi dengan meningkatkan massa otot melalui hipertrofi jantung, dengan mekanisme ini curah jantung dapat ditingkatkan untuk sementara waktu namun efek jangka panjang dari hipertrofi menyebabkan penurunan fungsi jantung. Disamping itu terjadi juga gangguan pada sistem konduksi jantung.32

Efek penuaan pada pembuluh darah menyebabkan peningkatan ketebalan dan kekakuan pembuluh darah serta disfungsi endotel. Disfungsi vaskular akibat penuaan menyebabkan berbagai perubahan patologis yang memicu terjadinya iskemia, hipertensi dan degenerasi makular terkait usia.32

Keseluruhan proses diatas menjadi faktor yang mendasari adanya pola eksponensial prevalensi gagal jantung yang meningkat seiring pertambahan usia. Disamping itu akibat proses menua, terjadi kemunduran struktur anatomi dan fungsional secara menyeluruh akibat proses degenerasi. Kerapuhan serta adanya penyakit komorbid menjadi ciri khas pada kelompok usia ini, dan berkontribusi pada kejadian – kejadian tidak diharapkan pada saat rawatan maupun pasca rawatan. 32

Sekitar 50% kematian dan rehospitalisasi dalam 60 hari pada pasien – pasien gagal jantung yang dirawat inap merupakan kejadian sekunder disamping adanya perburukan dari kondisi gagal jantung. Dari penelitian yang dilakukan Gustafsson dkk (2004) yang meneliti efek usia terhadap mortalitas jangka pendek dan jangka panjang pada pasien – pasien gagal jantung yang dirawat inap didapatkan dari 5419 pasien dengan gagal jantung usia rata – rata adalah 71.7 ± 10.2 tahun, dengan distribusi usia: 13% berusia <61 tahun, 27% antara 61 – 70 tahun, 40% antara 71 – 80 tahun, dan 20% berusia ≥ 81 tahun. Penilaian mortalitas jangka pendek dilakukan dalam 30 hari dan jangka panjang dalam 5 tahun. Dari studi ini didapati bahwa usia adalah prediktor independen mortalitas jangka pendek dengan risk ratio (RR) meningkat 1.23% setiap peningkatan usia 10 tahun (95% CI 1.04 – 1,47). Peningkatan usia juga secara signifikan meningkatkan mortalitas jangka panjang (RR 1.55 CI 1.50 – 1.61) pada pasien –

(14)

19

berbagai faktor lain telah terkontrol dan merupakan faktor penting dalam kejadian mortalitas jangka pendek dan jangka panjang pada pasien - pasien gagal jantung.35

Suwaidi dkk (2012) juga melaporkan temuan serupa mengenai pengaruh usia terhadap outcome pada pasien – pasien gagal jantung yang dirawat inap. Dari 7066 pasien gagal jantung yang dirawat inap dari tahun 1991 -2010 didapatkan tingkat mortalitas sebanyak 7% pada kelompok usia <50 tahun, 7.2% pada kelompok usia 51 – 70 tahun dan 10.6% pada kelompok usia >70 tahun dengan p value 0.001.36

2.3.2 Hubungan Klirens Kreatinin Serum dengan Mortalitas Gagal Jantung Disfungsi ginjal merupakan hal yang sering dijumpai pada pasien dengan gagal jantung dan berkaitan dengan morbiditas serta mortalitas yang tinggi. Disfungsi jantung dan ginjal dapat mengalami perburukan melalui berbagai mekanisme seperti kelebihan cairan dan peningkatan tekanan vena, hipoperfusi, aktivasi neurohormonal dan inflamasi, serta dipengaruhi juga akan penggunaan obat – obatan. Interaksi antara disfungsi jantung dan ginjal merupakan hal yang penting dalam perkembangan penyakit serta prognosis. 37

(15)

20

Disfungsi ginjal secara konvensional didefinisikan dengan penurunan dari laju filtrasi glomerulus (LFG) yang dikalkulasi dari kadar kreatinin serum. Evaluasi fungsi ginjal pada pasien – pasien gagal jantung merupakan hal yang penting karena dapat merefleksikan status hemodinamik serta membantu dalam menentukan prognosis dan pemberian terapi yang efektif.37

Penurunan fungsi ginjal merupakan faktor risiko independen terhadap outcome penyakit–penyakit kardiovaskular dan berkaitan dengan all cause mortality pada pasien – pasien kardiovaskular, termasuk mereka dengan disfungsi sistolik ventrikel kiri dan gagal jantung kronis. Dari studi oleh Hillege dkk (2000) yang melibatkan 1906 pasien dengan gagal jantung kronis didapatkan gangguan

fungsi ginjal merupakan prediktor mortalitas yang lebih kuat daripada disfungsi ventrikel dan kapasitas fungsional berdasarkan NYHA. Pada studi ini LFG yang didapat berdasarkan penilaian klirens kreatinin menggunakan formula cokcroft gault. Dari studi ini didapatkan pasien dengan LFG < 44 ml/menit memiliki risiko kematian 3 kali lebih besar dibandingkan pasien dengan LFG > 76 ml/menit (risiko relatif 2.85; p< 0.001).38

Peningkatan kreatinin serum dijumpai pada 20 – 40% pasien yang dirawat inap oleh karena gagal jantung. Peningkatan ini secara umum didefinisikan sebagai perburukan fungsi ginjal, umumnya berkaitan dengan jenis kelamin pria, usia tua, riwayat gagal jantung, penyakit ginjal kronis, diabetes, anemia, hipertensi, penurunan tekanan darah serta dosis tinggi diuretik. Kadar kreatinin yang lebih tinggi dan peningkatan kreatinin serum dalam jumlah besar berkaitan dengan masa perawatan yang lebih lama, peningkatan mortalitas di RS dan mortalitas jangka panjang serta tingkat rehospitalisasi yang lebih tinggi. Namun beberapa studi tidak menemukan hubungan independen antara peningkatan kreatinin serum dan outcome pada pasien – pasien gagal jantung.34 Adanya penurunan curah jantung yang disebabkan oleh berkurangnya fraksi ejeksi akan menimbulkan penurunan fungsi ginjal. Namun dari berbagai penelitan didapatkan bahwa tidak semua pasien yang mengalami penurunan fungsi ginjal, mempunyai penurunan curah jantung (pasien tersebut masih mempunyai fraksi ejeksi > 40%). Berbagai penelitian menunjukkan

(16)

21

aldosterone, angiotensin II, sitokin – sitokin dan endotelin yang berperan dalam pathogenesis penyakit ginjal dan jantung. Aktivasi faktor- faktor ini mempunyai peran dalam perkembangan penyakit jantung dan dalam waktu bersamaan juga dapat menimbulkan gangguan fungsi ginjal.34

Studi oleh Shamagian dkk (2006) menemukan selama masa follow up 2 tahun yang melibatkan 526 pasien, didapatkan tingkat mortalitas sebesar 53.5% pasien dengan gagal ginjal berat (GFR < 30 ml/menit/1.73), 23.7% pasien dalam

kelompok gagal ginjal moderat (GFR 30-60 mL/min/1.73 m2), dan 15.6% pasien

dalam kelompok gagal ginjal ringan/tanpa gagal ginjal. 12 pasien meninggal selama

rawatan, dimana tingkat mortalitas ini 5 kali lebih tinggi pada pasien dengan gagal

ginjal berat dibandingkan kelompok dengan gagal ginjal ringan/tanpa gagal ginjal.39

2.3.3 Hubungan Kondisi Patofisiologi dan Kematian pada Gagal Jantung Dalam klasifikasi lebih lanjut dari gagal jantung, dibutuhkan pemahaman mengenai parameter fungsi ventrikel kiri. Dengan mengetahui fraksi ejeksi ventrikel kiri, memungkinkan untuk mengklasifikasikan gagal jantung ke dalam kelompok preserved atau reduced fraksi ejeksi. Ada berbagai nilai cut off fraksi ejeksi berbeda yang direkomendasikan dalam pengklasifikasian gagal jantung, kesemuanya berdasarkan variasi dari studi – studi yang ada. Nilai ambang 55% direkomendasikan oleh American Society of Echocardiography guidelines. The Organized Program to Initiate Lifesaving Treatment in Hospitalized Patients with Heart Failure (OPTIMIZE-HF) dan Acute Decompensated Heart Failure National Registry (ADHERE) menggunakan nilai ambang 40% sebagai cut off. Meskipun dengan berbagai variasi yang ada, hampir separuh dari keseluruhan gagal jantung dikomunitas adalah dengan pEF.40,41

Studi oleh de la Camara dkk (2012) yang bertujuan mengidentifikasi

factor-faktor yang dapat berperan sebagai prediktor mortalitas dalam 1 tahun pada

pasien gagal jantung, menemukan disfungsi sistolik lebih sering dijumpai pada

kelompok pasien gagal jantung yang meninggal dibandingkan kelompok yang

(17)

22

terdiagnosis gagal jantung adalah 2,67 kali lebih tinggi pada kelompok dengan

disfungsi sistolik (Left ventricular ejection fraction (LVEF) <40%, OR 2,67, 95%

Confidence interval (CI) 1,36 – 5,23).11

Dari studi lain juga didapatkan adanya disfungsi ventrikel meningkatkan

mortalitas selama rawatan di rumah sakit,38 mortalitas jangka pendek (30 hari)39

dan mortalitas jangka panjang (1 tahun).42,43,44

Pada studi The Candesartan in Heart Failure: Assessment of Reduction in Mortality and morbidity (CHARM), didapatkan lebih seperempat populasi studi

memiliki fraksi ejeksi >50%. Didapatkan fraksi ejeksi merupakan prediktor kuat

terhadap outcome yakni mortalitas jangka pendek maupun jangka panjang.

Hubungan antara perburukan outcome dengan rendahnya nilai fraksi ejeksi

terlihat jelas pada fraksi ejeksi < 45%, dengan peningkatan risiko mortalitas

jangka pendek dan jangka panjang untuk setiap penurunan 5% fraksi ejeksi.42

2.3.4 Hubungan Kadar Natrium Serum dan Kematian pada Gagal Jantung Hiponatremia telah diyakini sebagai prediktor penting outcome pasien gagal jantung baik rawat jalan maupun rawat inap. Analisis dari berbagai uji acak terkontrol mengaitkan keadaan hiponatremia dengan kejadian peningkatan

mortalitas saat perawatan di rumah sakit maupun mortalitas jangka pendek serta rehospitalisasi.45,46

(18)

23

tekanan onkotik yang kemudian meningkatkan reabsorbsi natrium.45

Studi metaanalisis oleh Rusinaru dkk (2012) menemukan dari 22 studi

dengan 14.766 pasien gagal jantung menemukan pasien dengan hiponatremia

memiliki kapasitas fungsional berdasarkan NYHA yang lebih tinggi serta tekanan

darah yang lebih rendah. Pada follow up didapatkan 335 (21%) kematian pada

kelompok dengan hiponatremia (Natrium < 135 mmol/L) dan 2128 (16%)

kematian dari 13148 pasien tanpa hiponatremia. Didapati risiko kematian 3 tahun

meningkat secara linier dengan kadar natrium < 140 mmol/L.45

2.3.5 Hubungan Status Fungsional dan Kematian pada Gagal Jantung

Gagal jantung berpengaruh dalam menurunkan kualitas hidup penderitanya dan menyebabkan kemunduran dalam kemampuan melakukan aktivitas fisik harian. Rendahnya status fungsional yang dinilai dari kemampuan melakukan aktivitas harian berkaitan dengan mortalitas dan rehospitalisasi pada pasien – pasien gagal jantung yang dirawat inap. Oleh karena itu berbagai studi mencoba mencari hubungan antara disabilitas fungsional dengan outcome pada pasien – pasien gagal jantung. 12,47

Indeks Barthel (IB) merupakan alat bantu yang umum digunakan dalam mengukur kemandirian seseorang dalam hal perawatan diri dan mobilitas melalui penilaian kemampuan dalam melakukan kegiatan dasar harian. Dengan cara ini dapat dinilai status fungsional dari seorang individu.48

IB terdiri dari 10 item yang diberi skor 0,5,10 dengan nilai total maksimum 100 poin. Interpretasi skor total IB adalah : 0-20 = Dependen Total; 21-60=Dependen Berat; 61-90 = Dependen Sedang, 91-99 = Dependen Ringan, 100=Independen / Mandiri.48

Studi oleh Dunlay dkk (2015) menemukan bahwa kesulitan dalam melakukan aktivitas harian merupakan hal yang umum dijumpai pada pasien – pasien dengan gagal jantung, dan bersifat progresif dari waktu ke waktu. Dan adanya kesulitan melakukan aktivitas harian merupakan penanda prognosis yang buruk pada pasien – pasien gagal jantung. Mortalitas meningkat sejalan dengan

(19)

24

kematian adalah 1.49% (95% CI, 1.22 – 1.82) pada kelompok dengan tingkat disabilitas fungsional sedang dan hazard ratio (HR) 2.26 (95% CI, 1.79 – 2.86) pada kelompok dengan disabilitas berat.12

Beban miokard/Index of event/underlying heart disease

Mekanisme kompensasi

Hipertrofi remodelling, Apoptosis, disfungsi ventrikel

Gagal Jantung Penuaan

Penurunan cardiac output Keterbatasan aktivitas fisik (Indeks Barthel) Disfungsi diastolik/sistolik

Aktivasi simpatoadrenal, Renin angiotensin aldosteron system

(RAAS), Endotelin, Arginin vasopressin, sitokin

Vasokonstriksi, retensi natrium dan cairan, hipertrofi miosit, kematian

sel miosit, fibrosis miokard

Gangguan Keseimbangan Natrium

Penurunan fungsi ginjal

Mortalitas

Gambar

Gambar 2.1. Patogenesis terjadinya penurunan fraksi ejeksi pada gagal jantung (Dikutip dari : D Mann et al, 1999)
Gambar 2.2. Aktivasi sistem neurohormonal pada gagal jantung  (Dikutip dari : Nohria  A, 2002)
Gambar 2.3. Mekanisme perburukan fungsi ginjal pada gagal jantung(Dikutip dari: Metra M,2012)
Gambar 2.4. Kerangka Teori penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Rancangan penelitian ini digunakan untuk mencapai tujuan penilitian yaitu untuk memahami perancangan Kwala Bekala Convention Hall di kawasan TOD yang dapat digunakan

Bersama ini kami sampaikan jadwal assessment dan wawancara bagi para Peserta yang telah lulus administrasi Seleksi Terbuka Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama Badan

Penerapan strategi-strategi dalam guided discovery yang menggunakan media LKS yang bersifat open ended , ditambah dengan pemberian reward, pemberian kesempatan yang sama

Dalam penelitian ini penulis mencari data dengan cara datang langsung ke objek penelitian mengamati dan melihat bagaimana peranan remaja masjd jami’ Baitul Khoir dalam

Hasil Penelitian menunjukkan bahwa penerapan PBL dengan stimulus handout pedoman merancang eksperimen IPA SD dapat meningkatkan kreativitas mahasiswa dalam merancang eksperimen IPA

Temuan dalam penelitian ini menunjukkan terdapat pengaruh kemampuan komunikasi matematika siswa kelas VIII MTs Al-Washliyah Tembung yang diajar dengan pendekatan

Dari hasil wawancara dari ketiganya yaitu Bapak K.H Kalimi, Bapak Rian Sulistyohadi, M.Pd.I dan Saudari Tiara Cahya Megawati, S.Pd, peneliti dapat menganalisa tentang

guru fiqh dalam mengatasi gangguan komunikasi pembelajaran