19 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Teori Keagenan / Teori Agensi (Agency Theory)
Martantya dan Daljono (2013) menyatakan bahwa teori keagenan (Agency
theory) mendasarkan hubungan antara principal atau pemegang saham dengan
agent atau manajemen. Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa
hubungan keagenan adalah sebuah kontrak antara satu atau lebih pemegang saham
(principal) dengan pihak manajemen (agent) yang timbul pada saat pihak
principal memberikan wewenang kepada manajer untuk memberikan jasanya
dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kepentingan perusahaan.
Hubungan ini tercipta atas dasar saling membutuhkan antara kedua belah pihak
untuk memenuhi peran serta kepentingan yang berbeda-beda.
Teori keagenan menunjukkan bahwa pemisahan antara manajemen
perusahaan dan hubungan pemilik kepada manajer merupakan hal yang penting
untuk dilakukan. Pemisahan ini bertujuan untuk menciptakan efisiensi dan
efektivitas dengan menyewa pihak yang professional untuk mengelola
perusahaan, tetapi pemisahan ini ternyata menimbulkan permasalahan.
Permasalahan muncul ketika terjadi ketidaksamaan tujuan antara Prinsipal dan
Agen.
Eisenhardt (1989) mengasumsikan bahwa pada dasarnya manusia
memiliki tiga sifat dasar yaitu: (1) manusia pada umumnya mementingkan diri
20 masa mendatang (bounded rationality), dan (3) manusia selalu menghindari risiko
(risk averse). Berdasarkan asumsi sifat dasar manusia tersebut, manajer akan
bertindak berdasarkan sifat opportunistic (lebih mengutamakan kepentingan
pribadinya dibandingkan dengan kepentingan pemilik). Agen akan berusaha
mencari keuntungannya sendiri untuk mendapatkan bonus dari perusahaan dengan
berbagai cara termasuk memanipulasi angka-angka di dalam laporan keuangan.
Adanya perbedaan kepentingan (conflict of interest) antara antara pihak
pemilik (principals) dan manajemen (Agent) mengakibatkan kedua belah pihak
yang saling bertentangan ini berperilaku sesuai dengan kepentingannya
masing-masing yakni untuk memaksimalkan keuntungan bagi diri sendiri. Pihak Prinsipal
termotivasi mengadakan kontrak untuk menyejahterakan dirinya sendiri dengan
profitabilitas yang selalu meningkat. Mereka menginginkan laba yang tinggi dari
perusahaan agar investasi yang telah ditanamkan cepat kembali karena semakin
tinggi laba, maka harga saham akan semakin tinggi dan semakin besar pula
deviden yang akan diterimanya.
Di sisi lain, pihak Agen pun memiliki kepentingan sendiri yakni untuk
mendapatkan kompensasi/bonus/insentif/remunerasi yang besar atas kinerjanya.
Mereka termotivasi untuk memaksimalkan pemenuhan kebutuhan ekonomi dan
psikologisnya, antara lain memperoleh investasi, pinjaman, maupun kontrak
kompensasi. Prestasi Agen dinilai berdasarkan kemampuannya memperoleh laba
yang besar untuk dialokasikan pada pembagian deviden. Semakin tinggi laba,
maka harga saham dan deviden pun akan turut meningkat, dan Agen pun akan
21 Namun, apabila tidak ada pengawasan yang memadai, sang Agen dapat
memainkan beberapa kondisi perusahan agar seolah-olah target tercapai demi
memenuhi tuntutan Prinsipal agar mendapatkan kompensasi yang tinggi.
Permainan tersebut bisa terjadi atas prakarsa dari Prinsipal ataupun
inisiatif dari Agen sendiri. Maka terjadilah Creative Accounting yang menyalahi
aturan, misal: adanya piutang yang tidak mungkin tertagih yang tidak dihapuskan;
Kapitalisasi expense yang tidak semestinya; Pengakuan penjualan yang tidak
semestinya; yang kesemuanya berdampak pada besarnya nilai aktiva dalam
Laporan Posisi Keuangan yang “mempercantik” laporan keuangan walaupun
bukan nilai yang sebenarnya. Bisa juga dengan melakukan income smoothing
(membagi keuntungan ke periode lain) agar setiap tahun kelihatan perusahaan
meraih keuntungan, padahal kenyataannya merugi atau laba turun.
Perbedaan “kepentingan ekonomis” di antara pihak Agen dan Prinsipal
inilah yang mendorong terjadinya kesenjangan informasi (asymmetrical
information) di antara kedua belah pihak tersebut. Kesenjangan informasi
merupakan perbedaan informasi yang dimiliki oleh Agen dan Prinsipal karena
informasi tersebut tidak terdistribusi dengan merata. Agen memiliki informasi
tentang operasi dan kinerja perusahaan lebih banyak dibandingkan Prinsipal. Hal
ini timbul sebagai akibat dari tidak mungkinnya Prinsipal untuk mengamati secara
langsung segala usaha yang dilakukan oleh Agen. Hal ini yang menimbulkan
kesempatan bagi Agen untuk melakukan kecurangan.
Asymmetrical information terdiri dari dua tipe, yang pertama adalah
22 sedikit dibandingkan pihak lain tidak akan mau untuk melakukan perjanjian, dia
akan membatasi dengan kondisi yang sangat ketat dan biaya yang sangat tinggi.
Tipe yang kedua adalah moral hazard. Moral hazard ini terjadi pada saat Agen
melakukan suatu tindakan tanpa sepengetahuan pemilik demi keuntungan
pribadinya dimana tindakan tersebut sekaligus mengakibatkan turunnya
kesejahteraan pemilik.
Konflik kepentingan antara Agen dengan Prinsipal terjadi karena
kemungkinan Agen tidak selalu berbuat sesuai dengan kepentingan Prinsipal,
sehingga memicu munculnya biaya keagenan (Agency cost). Masalah keagenan
potensial terjadi apabila bagian kepemilikan manajer atas saham perusahaan
kurang dari seratus persen (Masdupi, 2005). Dengan proporsi kepemilikan yang
hanya sebagian dari perusahaan cenderung bertindak untuk kepentingan pribadi
dan bukan untuk memaksimumkan perusahaan. Inilah yang nantinya akan
menyebabkan biaya keagenan (Agency cost).
Jensen dan Meckling (1976) mendefinisikan Agency cost sebagai jumlah
dari biaya yang dikeluarkan Prinsipal untuk melakukan pengawasan Agen.
Hampir mustahil bagi perusahaan untuk memiliki zero Agency cost dalam rangka
menjamin manajer akan mengambil keputusan yang optimal dari pandangan
stakeholders karena adanya perbedaan kepentingan yang besar antara mereka.
Biaya keagenan ini merupakan bentuk paling mendasar sebagai indikator
terjadinya masalah keagenan, baik kaitannya dengan (1) biaya pemantuan
(monitoring cost), (2) biaya perikatan (bounding cost), (3) kerugian residual
23 2.2 Fraud
2.2.1 Konsep Fraud
Fraud atau kecurangan berasal dari kata “curang” yang
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti tidak jujur, tidak
lurus hati, tidak adil. Sedangkan menurut Albrecht et al. (2011),
fraud is a generic term, and embraces all the multivarious means which human ingenuity can devise, which are resorted to by one individual, to get an advantage over another by false representations. No definite and invariable rule can be laid down as a general proposition in defining Fraud, as it includes surprise, trickery, cunning and unfair ways by which another is cheated.The only boundaries defining it are those which limit human knavery.
Artinya, Fraud merupakan hal yang bersifat umum dan
memiliki banyak makna, yang terjadi karena kecerdikan manusia
dan ditujukan untuk satu pihak untuk memperoleh keuntungan lebih
dengan penyajian yang salah. Tidak ada aturan khusus yang dapat
dijadikan sebagai dasar dalam mengartikan Fraud yang terdiri dari
kejutan, kecurangan, kelicikan dan cara yang tidak wajar yang
digunakan sebagai cara untuk menipu orang lain. Satu-satunya cara
untuk menjelaskannya adalah bahwa Fraud adalah hal yang merusak
moral manusia.
Menurut Black Law Dictionary dalam Rahmanti (2013), definisi
fraud adalah :
24 tort arising from knowing misrepresentation, concealment of material fact, or reckless misrepresentation made to induce another to act to his or her detriment.
Kutipan diatas dapat diterjemahkan, kecurangan adalah :
1. kesengajaan atas salah pernyataan terhadap suatu kebenaran atau
keadaan yang disembunyikan dari sebuah fakta material yang dapat
mempengaruhi orang lain untuk melakukan perbuatan atau tindakan
yang merugikannya, biasanya merupakan kesalahan namun dalam
beberapa kasus (khususnya dilakukan secara disengaja)
memungkinkan merupakan suatu kejahatan; 2. penyajian yang
salah/keliru (salah pernyataan) yang secara ceroboh/tanpa
perhitungan dan tanpa dapat dipercaya kebenarannya berakibat dapat
mempengaruhi atau menyebabkan orang lain bertindak atau berbuat;
3. suatu kerugian yang timbul sebagai akibat diketahui keterangan
atau penyajian yang salah (salah pernyataan), penyembunyian fakta
material, atau penyajian yang ceroboh/tanpa perhitungan yang
mempengaruhi orang lain untuk berbuat atau bertindak yang
merugikannya.
Kecurangan atau perbuatan curang hanyalah salah satu dari
berbagai tindak pidana. Biasanya kecurangan mencakup tiga
langkah yaitu:ku (1) tindakan/ the act, (2) Penyembunyian/ the
concealment dan (3) konversi/ the conversion. Kecurangan terjadi
25 dan adanya kekuasaan serta kesempatan untuk dapat melakukan
tindak kecurangan.
Albrecht et al., (2011) mengungkapkan bahwa Fraud
merupakan kecurangan yang terdiri dari beberapa elemen penting,
yaitu :
1. penyajian (a representation),
2. menyangkut hal-hal yang material (about a material point),
3. yang tidak benar/salah (which is false),
4. dan yang dilakukan dengan sengaja atau ceroboh (and
intentionally or recklessly so),
5. yang dipercayai (which is believed),
6. dan dilakukan pada korban (and acted upon by the victim),
7. untuk kerugian korbannya (to the victim’s damage).
Menurut Rahmanti (2013) secara umum, unsur-unsur dari
kecurangan adalah:
1. terdapat salah pernyataan (misrepresentation);
2. dari suatu masa lampau (past) atau sekarang (present);
3. fakta bersifat material (material fact);
4. dilakukan secara sengaja atau tanpa perhitungan (
make-knowingly or recklessly);
5. dengan maksud (intent) untuk menyebabkan suatu pihak
26 6. pihak yang dirugikan harus beraksi (acted) terhadap salah
pernyataan tersebut (misrepresentation);
7. yang merugikannya (detriment).
2.2.2 Klasifikasi Fraud
The Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) atau
Asosiasi Pemeriksa Kecurangan Bersertifikat, merupakan organisasi
professional bergerak di bidang pemeriksaan atas kecurangan yang
berkedudukan di Amerika Serikat. ACFE, Asosiasi yang bertujuan
untuk memberantas kecurangan, menggambarkan occupational
fraud dalam bentuk fraud tree. Pohon ini menggambarkan
cabang-cabang dari fraud dalam bentuk skema hubungan kerja, beserta
27 Sumber : Association of Certified Fraud Examiners (2014)
28 Sistem Klasifikasi Mengenai Hal-hal yang Ditimbulkan Sama Oleh
Kecurangan (Uniform Occupational Fraud Classification System),
mengklasifikasikan fraud (kecurangan) dalam 3 (tiga) jenis atau
tipologi berdasarkan perbuatan sebagai berikut:
1.Korupsi (Corruption)
Korupsi dalam konteks pembahasan ini adalah korupsi menurut
ACFE, bukannya pengertian korupsi menurut UU Pemberantasan
TPK di Indonesia. Korupsi merupakan jenis fraud yang paling sulit
dideteksi karena menyangkut kerja sama dengan pihak lain seperti
suap dan kolusi. Jenis fraud ini merupakan jenis yang terbanyak
terjadi di negara-negara berkembang yang penegakan hukumnya
lemah dan masih kurang kesadaran akan tata kelola yang baik
sehingga faktor integritasnya masih dipertanyakan. Fraud jenis ini
sering kali tidak dapat dideteksi karena para pihak yang bekerja
sama menikmati keuntungan (simbiosis mutualisme). Menurut
ACFE, korupsi terbagi ke dalam penyalahgunaan wewenang/konflik
kepentingan (conflict of interest), penyuapan (bribery), penerimaan
yang tidak sah/illegal (illegal gratuities), dan pemerasan secara
ekonomi (economic extortion) atau dikenal sebagai pungutan liar
atau upeti. Untuk mengungkap korupsi, auditor seharusnya memiliki
keterampilan dan pengalaman melakukan investigasi sebab porsi
teknik investigasi dalam mengungkap korupsi lebih dominan
29 2. Penyimpangan atas aset (Asset Misappropriation)
Asset misappropriation meliputi penyalahgunaan, penggelapan
atau pencurian aset atau harta perusahaan, skimming (pencurian
uang lewat peng-capture-an nomor rekening orang lain) oleh
pihak di dalam dan/atau pihak lain di luar perusahaan. Jenis fraud
ini merupakan fraud yang paling umum dan paling mudah
dideteksi karena sifatnya yang berwujud (tangible) atau dapat
diukur dan dihitung (defined value). Asset Misapproproation
seringkali diidentikkan sebagai employee fraud atau fraud yang
dilakukan oleh pegawai sebab mayoritas pelaku Asset
Missapropriation memang berada pada tingkat atau kedudukan
sebagai pegawai. Ada beberapa teknik yang bisa digunakan
untuk mendeteksi penyimpangan atas aset ini. Pengungkapan
Asset Misappropriation dilakukan dengan mengkombinasikan
teknik auditing dengan teknik investigasi. Namun, pemahaman
yang baik mengenai pengendalian internal dalam pos-pos adalah
teknik terbaik untuk mendeteksi kecurangan tipe ini.
3. Pelaporan yang yang dibuat salah/Kecurangan dalam Laporan Keuangan (Financial Statement Fraud)
Financial statement fraud meliputi tindakan yang dilakukan oleh
pejabat atau eksekutif suatu perusahaan atau instansi pemerintah
untuk menutupi kondisi keuangan yang sebenarnya dengan
30 mempercantik penyajian laporan keuangan untuk memperoleh
keuntungan atau manfaat pribadi mereka terkait dengan
kedudukan dan tanggung jawabnya. Fraud jenis ini ditandai
dengan kesengajaan untuk membuat laporan keuangan menjadi
salah saji atau kesalahan jumlah dalam pengungkapan pelaporan
keuangan, dengan maksud menipu pengguna laporan keuangan.
Lebih khusus, kecurangan dalam laporan melibatkan manipulasi,
pemalsuan, atau pengubahan catatan akuntansi atau dokumen
pendukung yang dipergunakan untuk pembuatan suatu laporan
keuangan. Selain bentuk tersebut, penyalahgunaan prinsip
akuntansi yang disengaja untuk memanipulasi hasil juga termasuk
kecurangan. Fraudulent Statement seringkali diidentikkan
sebagai management fraud atau fraud yang dilakukan oleh
manajemen sebab mayoritas pelaku memang berada pada tingkat
atau kedudukan di lini manajerial (pejabat atau eksekutif dan
manajer senior). Kecurangan ini dapat bersifat finansial atau
kecurangan non finansial. ACFE menekankan bahwa pelaporan
yang dibuat salah atau menipu bukan hanya pelaporan keuangan
sehingga pelaporan kinerja operasional, permohonan kredit,
prospektus atau pernyataan publik (press release) yang dibuat
untuk mengelabui orang lain guna memperoleh keuntungan atau
31 Menurut studi yang dilakukan oleh ACFE dalam Report to the
Nations on Occupational Fraud and Abuse (2014), diantara ketiga cabang
tersebut, asset misappropriation berada pada posisi pertama dengan
jumlah kasus 86,3% di tahun 2010; 86,7% di tahun 2012; dan 85,4% di
tahun 2014. Namun dengan median kerugian terendah yakni $135,000 di
tahun 2010; $120,000 di tahun 2012; dan $130,000 di tahun 2014.
Sementara corruption menduduki posisi kedua dengan jumlah kasus
32,8% di tahun 2010; 33,4% di tahun 2012; dan 36,8% di tahun 2014
dengan median kerugian $250,000 di tahun 2010; $250,000 di tahun
2012; dan $200,000 di tahun 2014. Financial statement fraud berada
pada posisi terakhir dengan jumlah kasus terendah yakni 4,8% di tahun
2010; 7,6% di tahun 2012; dan 9,0% di tahun 2014. Namun dengan
median kerugian tertinggi yakni $ 4,1 juta di tahun 2010; $1 juta di tahun
2012; dan $1 juta di tahun 2014.
Selaras dengan studi yang dilakukan oleh ACFE sebelumnya,
menurut studi yang dilakukan oleh ACFE dikutip dalam Wind (2014),
juga disampaikan bahwa kecurangan dalam laporan keuangan, jika
dibandingkan dengan bentuk kecurangan lain yang dilakukan karyawan
perusahaan, biasanya memiliki dampak kerugian aset yang lebih tinggi
pada perusahaan yang menjadi korban. Selain itu juga akan membawa
dampak negatif bagi pemegang saham dan investasi secara umum.
Menurut Hutomo (2012), ada empat jenis atau kategori fraud yang
32 dunia. Yang pertama adalah pencurian data (data fraud) para pelaku
pencurian data biasanya mengarah ke data-data yang lebih bersifat
sensitif, misalnya data yang terkait dengan kartu kredit pelanggan. Kedua
adalah penggelapan (embezzlement) ini terjadi ketika para pelaku
penggelapan (biasanya pegawai) dengan sengaja menjadikan perusahaan
tempatnya bekerja sebagai sasaran untuk maksud memperkaya diri
sendiri. Ketiga adalah penipuan atas jasa perbankan online (online
banking), bank untuk semua skala rentan mengalami penipuan. Keempat
adalah penipuan atau penggelapan atas cek, hal ini terjadi ketika para
pelaku memanipulasi cek untuk mencuri dana dari rekening perusahaan.
Menurut Albrecth dan Albrecth (2003, 8) dikutip oleh Nguyen
(2008), fraud diklasifikasikan menjadi lima jenis:
Tabel 2.1 Jenis-jenis Fraud
No. Jenis Fraud Korban Pelaku Penjelasan
1. Embezzlement employee atau occupational fraud
Pimpinan Karyawan Karyawan baik
secara pihak lain yang
33 3. Investment
scams
Investor Individu Individu yang
menipu 4. Vendor fraud Organisasi atau
perusahaan yang untuk barang dan
jasa atau tidak adanya pengiriman barang walaupun pembayaran telah
dilakukan. 5. Customer fraud Organisasi yang
menjual barang atau jasa
Pelanggan Pelanggan menipu
penjual agar mereka mendapatkan sesuatu yang lebih
dari seharusnya. Sumber: Albrecht dan Albrecth (2003, 8) dalam Nguyen (2008)
2.2.3 Faktor Pemicu Fraud
Setelah dikaji, terdapat empat (4) faktor pendorong seseorang
untuk melakukan fraud yang disebut dengan teori GONE,
dikemukakan dalam Sihombing (2014), yaitu :
1. Greed (keserakahan)
2. Opportunity (kesempatan)
3. Need (kebutuhan)
4. Exposure (pengungkapan)
Faktor greed dan need merupakan faktor intern (individu)
34 Opportunity dan exposure merupakan faktor generik (umum) yang
berhubungan dengan organisasi sebagai korban dari perbuatan
fraud.
1. Faktor Generik
Kesempatan untuk melakukan fraud selalu ada pada setiap
kedudukan. Risiko terjadinya fraud bergantung pada
kedudukan pelaku dengan objek fraud. Secara umum,
manajemen perusahaan mempunyai kesempatan yang lebih
besar untuk melakukan fraud daripada karyawan.
2. Faktor Individu
Faktor ini melekat dalam diri seseorang dan terdiri dari
kebutuhan (need), dan keserakahan (greed). Kebutuhan (need)
yang sifatnya mendesak, terkadang membuat manusia rela
melakukan segala cara untuk dapat memenuhi kebutuhan
tersebut, sedangkan keserakahan (greed) membuat manusia
bernafsu untuk memperoleh lebih dari apa yang sudah
dimilikinya dengan cara yang ilegal dan tidak benar.
2.2.4 Pelaku Fraud
Fraud dapat terdiri dari berbagai bentuk kejahatan atau
tindak pidana. Dahulu, kecurangan banyak dilakukan oleh
orang-orang kelas pekerja atau yang sering disebut kejahatan kerah biru
35 besar dan sangat mudah diidentifikasi. Seiring berjalannya waktu,
ternyata kecurangan juga menjadi hobi bagi kalangan atas, dengan
kerugian yang lebih besar dan sulit diidentifikasi. Kejahatan kelas
atas ini umum disebut dengan kejahatan kerah putih (white collar
crime). Kejahatan kerah putih menurut Rezaee (2002) antara lain
terdiri dari pencurian, penggelapan asset, penggelapan informasi,
penggelapan kewajiban, penghilangan atau penyembunyian fakta,
rekayasa fakta termasuk korupsi.
2.3 Teori Fraud Triangle
Teori Fraud Triangle yang dicetuskan oleh Cressey (1953) diperkenalkan
dalam literatur pofesioanal pada SAS No. 99, Consideration of Fraud in a
Financial Statement Audit, menggantikan SAS No. 82. Menurut teori ini, kondisi
yang umumnya hadir pada saat fraud terjadi yaitu tekanan atau pressure,
kesempatan atau opportunity, dan rasionalisasi atau rationalization. Fraud
triangle biasanya digunakan untuk mengidentifikasi dan menilai risiko
kecurangan. SAS No. 99 mengharuskan auditor untuk menerapkan prosedur baru
yang bertujuan untuk mengetahui lingkungan perusahaan dan untuk mengevaluasi
jumlah luas informasi baru dalam upaya untuk mengidentifikasi fakta dan keadaan
yang mengindikasikan adanya tekanan, kesempatan, dan rasionalisasi (Skousen et
36 2.3.1 Konsep Fraud Triangle
Fraud Triangle merupakan konsep pencegahan dan
pendeteksian fraud yang dicetuskan oleh Donald R. Cressey pada
tahun 1953 dan disebut juga Cressey’s Theory. Konsep dari fraud
triangle ini diperkenalkan dalam literatur profesional pada Statement
of Auditing Standard (SAS 99), Consideration of Fraud in a
Financial Statement Audit, diprakarsai penelitian Cressey yang
berjudul Other People’s Money; A Study in the Social Psychology of
Emblezzment. Penelitian Cressey ini secara umum menjelaskan
alasan mengapa orang-orang melakukan fraud. Melalui serangkaian
wawancara dengan 113 orang yang telah di hukum karena
melakukan penggelapan uang perusahaan, yang disebutnya “trust
violators” atau “pelanggar kepercayaan”.
Cressey (1953) dalam Gagola (2011) menyimpulkan bahwa :
Orang yang dipercaya menjadi pelanggar kepercayaan ketika ia melihat dirinya sendiri sebagai orang yang mempunyai masalah keuangan yang tidak dapat diceritakannya kepada orang lain, sadar bahwa masalah ini secara diam-diam dapat diatasinya dengan menyalahgunakan kewenangannya sebagai pemegang kepercayaan di bidang keuangan, dan tindak-tanduk sehari-hari memungkinkannya menyesuaikan pandangan mengenai dirinya sebagai seseorang yang bisa dipercaya dalam menggunakan dana atau kekayaan yang dipercayakan.
Cressey menyimpulkan terdapat 3 kondisi yang selalu hadir dalam
kegiatan kecurangan perusahaan yakni tekanan atau pressure, kesempatan
atau opportunity, dan rasionalisasi atau rationalization.
37 2.3.2 Elemen Fraud Triangle
Fraud triangle menjelaskan terdapat tiga faktor yang hadir
dalam setiap situasi fraud:
1. Tekanan (Pressure)
Tekanan(Pressure) adalah insentif/dorongan/kebutuhan yang
mendorong orang untuk melakukan fraud. Menurut Wind
(2014), tekanan datang dari harapan yang tidak realistis dari
investor, bank, atau sumber keuangan lainnya. Tekanan dapat
mencakup hampir semua hal, baik yang bersifat finansial
maupun non finansial. Tekanan yang bersifat finansial muncul
karena adanya tuntutan gaya hidup, tuntutan ekonomi, perilaku
gambling. Sedangkan tekanan yang bersifat non finansial
muncul karena adanya dorongan untuk menutupi kinerja yang
buruk sementara tuntutan pekerjaan adalah untuk mendapatkan
hasil yang terbaik. Menurut SAS No. 99, terdapat empat jenis
kondisi yang umum terjadi pada pressure yang dapat
mengakibatkan kecurangan. Kondisi tersebut adalah financial
stability, external pressure, personal financial need, dan
financial targets.
2. Kesempatan (Opportunity)
Kesempatan(Opportunity) adalah situasi yang memungkinkan
terjadinya fraud. Kesempatan untuk melakukan fraud muncul
38 mereka tidak akan terdeteksi. Bahkan jika aksinya diketahui,
maka tidak ada tindakan serius yang akan diambil (impunitas).
Kesempatan dapat terjadi karena pengendalian internal yang
tidak ada atau lemah, manajemen pengawasan yang kurang
baik, dan atau penyalahgunaan posisi atau otoritas. Kegagalan
untuk menetapkan prosedur yang memadai untuk mendeteksi
aktivitas fraud juga meningkatkan kesempatan terjadinya
kecurangan. Ketiga elemen fraud triangle, opportunity
memerlukan pengawasan struktur organisasi mulai dari atas.
Organisasi harus membangun adanya proses, prosedur dan
pengendalian yang bermanfaat dan menempatkan karyawan
dalam posisi tertentu agar mereka tidak dapat melakukan
kecurangan dan efektif dalam mendeteksi kecurangan seperti
yang dinyatakan dalam SAS No. 99. Dengan demikian,
kesempatan melakukan fraud dapat diminimalisir dan fraud
dapat terdeteksi sedini mungkin. Menurut SAS No. 99,
terdapat tiga jenis kondisi yang umum terjadi pada opportunity
yang dapat mengakibatkan kecurangan, yaitu Nature of
Industry, Ineffective Monitoring, dan Organizational Structure.
3. Rasionalisasi (Rationalization)
Rasionalisasi (Rationaization) merupakan pembenaran atas
perbuatan/tindakan yang dilakukan. Rasionalisasi merupakan
39 al., 2008). Sikap atau karakter adalah apa yang menyebabkan
satu atau lebih individu untuk secara rasional melakukan fraud.
Para pelaku fraud biasanya mencari berbagai alasan secara
rasional untuk menjustifikasi tindakan mereka. Rasionalisasi
bisa sangat sederhana, bahkan untuk kejahatan keuangan yang
kompleks. Rasionalisasi atau sikap (attitude) yang paling
banyak digunakan adalah meminjam (borrowing) aset yang
dicuri dengan alasan bahwa tindakannya dilakukan untuk
membahagiakan orang-orang yang dicintainya (Rini, 2012).
2.4 Fraudulent Financial Reporting
2.4.1 Konsep Fraudulent Financial Reporting
National Commission on Fraudulent Financial Reporting
(1987) mendefinisikan kecurangan pelaporan keuangan sebagai
perilaku yang disengaja atau ceroboh, baik berupa tindakan atau
kelalaian, yang menghasilkan laporan keuangan yang secara material
menyesatkan (bias). Pernyataan diatas sejalan dengan pendapat
Tuanakotta (2010) yang mengatakan bahwa kecurangan dalam
pelaporan keuangan (fraudulent financial reporting) diartikan
sebagai kesengajaan atau kecerobohan dalam melakukan sesuatu
atau tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan, yang
menyebabkan laporan keuangan menjadi menyesatkan secara
40 faktor dan dalam berbagai bentuk. Ini mungkin memerlukan
penyimpangan/distorsi kotor yang disengaja atas catatan perusahaan,
seperti kartu jumlah persediaan atau pemasuan transaksi, seperti
penjualan atau pesanan fiktif. Karyawan perusahaan pada tingkat
manapun mungkin terlibat, dari manajemen tingkat atas, menengah
sampai bawah. Jika perilaku tersebut disengaja, atau begitu ceroboh
itu sama dengan perilaku yang disengaja secara hukum, dan hasil
kecurangan laporan keuangan tercakup dalam definisi operasional
Komisi dalam bentuk kecurangan pelaporan keuangan
Menurut National Commission on Fraudulent Financial
Reporting (1987), Kecurangan pelaporan keuangan (FFR) berbeda
dengan penyebab lain dari laporan keuangan yang secara material
menyesatkan, seperti kesalahan yang tidak disengaja. Komisi ini
juga membedakan kecurangan pelaporan keuangan dari kejanggalan
perusahaan lainnya, seperti penggelapan karyawan, pelanggaran
peraturan keamanan lingkungan atau produk, dan kecurangan pajak,
yang tidak selalu menyebabkan laporan keuangan menjadi tidak
akurat secara material.
ACFE (2008) dalam National Commission on Fraudulent
Financial Reporting (1987) mendefinisikan FFR sebagai
penghilangan fakta material atau data akuntansi atau salah saji yang
sengaja dilakukan dengan hati-hati, untuk menyesatkan dan, bila
41 menyebabkan pembaca mengubah penilaiannya dalam membuat
keputusan, biasanya berkaitan dengan investasi. Definisi ini penting
karena ACFE menekankan pada proses pengambilan keputusan
investor yang bergantung pada laporan keuangan yang disediakan.
Dalam prakteknya, penipuan keuangan terutama terdiri dari
memalsukan laporan keuangan yang mencakup unsur-unsur
manipulasi yang melebih-lebihkan aset, penjualan dan laba, atau
mengecilkan kewajiban, biaya, atau kerugian. (Dalnial, 2014).
Dalam Statement on Auditing Standards (SAS) No.99 (AU
Section 316), yang berjudul Consideration of Fraud in a Financial
Statement Audit, yang diterbitkan oleh Auditing Standard Board
(ASB) dibawah naungan American Institute of Public Accountant
(AICPA) pada Oktober 2002, fraudulent financial reporting
merupakan salah satu dari dua jenis kesengajaan penyalahsajian
yang relevan dengan audit atas laporan keuangan dan pertimbangan
auditor atas terjadinya fraud. Fraudulent financial reporting
diartikan sebagai saji yang timbul dari kecurangan pelaporan
keuangan adalah salah saji yang disengaja atau kelalaian dalam
jumlah atau pengungkapan dalam laporan keuangan yang didesain
untuk untuk menipu pengguna laporan keuangan di mana efeknya
menyebabkan laporan keuangan tidak disajikan, dalam semua hal
yang material, sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum
42 2.4.2 Faktor Pemicu Fraudulent Financial Reporting
Menurut SAS No. 99, terdapat tiga hal penyebab kecurangan
pelaporan keuangan, yaitu:
a. manipulasi, falsifikasi/pemalsuan, atau alterasi/perubahan atas
catatan akuntansi dan dokumen pendukung dari laporan
keuangan yang disusun,
b. kesalahan penyajian (misrepresentation) atau kelalaian yang
disengaja dalam peristiwa, transaksi, atau informasi penting
lainnya yang signifikan terhadap laporan keuangan,
c. melakukan secara sengaja salah penerapan (misapplication)
prinsip-prinsip akuntansi yang berhubungan dengan jumlah,
klasifikasi, penyajian, dan pengungkapan.
Penyebab FFR menurut Darmawati & Mediaty (2014) adalah
1) keserakahan, dalam kasus Enron dan banyak kasus di Indonesia.
2) adanya tekanan yang dirasakan oleh manajemen untuk
menunjukkan prestasi. Misalnya ketika perusahaan mengalami
penurunan pangsa pasar dan sudah terlanjur berjanji di awal tahun
mengenai sasaran Earning per share (EPS) tentu saja akan berusaha
berada pada janjinya itu walaupun dengan jalan fraudulent financial
reporting.
Studi yang dilakukan National Commission on Fraudulent
Financial Reporting (1987), menyatakan bahwa FFR umumnya
43 dan kesempatan. Adanya tekanan dan kesempatan menambah
tekanan dan insentif yang mendorong individu dan perusahaan untuk
melakukan FFR dan hadir pada berbagai level perusahaan. Jika
campuran dari tekanan dan kesempatan hadir, FFR dapat terjadi.
Insentif untuk melakukan FFR dalam meningkatkan tampilan
keuangan perusahaan umumnya adalah keinginan untuk
mendapatkan harga saham atau penawaran hutang yang lebih tinggi
atau untuk memenuhi harapan investor. Insentif lain mungkin
keinginan untuk menunda berurusan dengan kesulitan keuangan dan
dengan demikian menghindari, misalnya, melanggar perjanjian
hutang ketat. Kali lain insentif adalah keuntungan pribadi:
kompensasi tambahan, promosi, atau melarikan diri dari hukuman
untuk kinerja yang buruk.
Tekanan situasional pada perusahaan atau manajer individual
juga dapat menyebabkan FFR. Contoh dari tekanan situasional ini
meliputi:
• pendapatan atau pangsa pasar mengalami penurunan
mendadak. Sebuah perusahaan tunggal atau seluruh industri
dapat mengalami penurunan ini,
• tekanan anggaran yang tidak realistis, terutama untuk hasil
jangka pendek. Tekanan ini dapat terjadi ketika pimpinan
sewenang-wenang menentukan target dan anggaran laba tanpa
44 • tekanan keuangan yang dihasilkan dari rencana bonus yang
bergantung pada kinerja ekonomi jangka pendek. Tekanan ini
sangat akut ketika bonus adalah komponen yang signifikan
dari jumlah kompensasi individu.
Kesempatan untuk FFR hadir saat kecurangan lebih mudah
untuk dilakukan dan kemungkinan dideteksi kurang. Kesempatan
tersebut sering muncul dari:
• tidak adanya dewan direksi atau komite audit yang waspada
mengawasi proses pelaporan keuangan;
• pengendalian akuntansi internal yang lemah atau tidak ada.
Situasi ini dapat terjadi, misalnya, ketika sistem pendapatan
perusahaan kelebihan beban dari ekspansi yang cepat dari
penjualan, akuisisi divisi baru, atau masuk ke dalam lini bisnis
baru yang asing;
• transaksi yang tidak biasa atau kompleks. Contohnya
termasuk konsolidasi dua perusahaan, divestasi atau penutupan
operasi tertentu, dan perjanjian untuk membeli atau menjual
sekuritas pemerintah dengan janji dibeli kembali;
• perkiraan akuntansi membutuhkan penilaian subjektif
signifikan oleh manajemen perusahaan. Contohnya termasuk
cadangan untuk kerugian pinjaman dan provisi tahunan untuk
45 • staf audit internal tidak efektif. Situasi ini mungkin akibat dari
ukuran staf yang tidak memadai dan ruang lingkup audit
sangat terbatas .
Sebuah iklim etika perusahaan yang lemah memperburuk
situasi ini. Kesempatan untuk FFR juga meningkat secara dramatis
ketika prinsip akuntansi untuk transaksi yang tidak ada, berkembang,
atau tunduk pada penafsiran yang berbeda-beda.
2.4.3 Pelaku dan Sarana yang digunakan
Menurut National Commission on Fraudulent Financial
Reporting (1987), individu dengan peran yang berbeda dalam
perusahaan - perwakilan penjualan, manajer operasi, akuntan, dan
eksekutif - telah melakukan kecurangan pelaporan keuangan. Dalam
sebagian besar kasus, bagaimanapun, manajemen puncak
perusahaan, seperti CEO, presiden, dan CFO, adalah pelaku. Dalam
beberapa kasus, perusahaan membuat kekeliruan yang disengaja
untuk akuntan publik independen, kadang-kadang dengan
memalsukan dokumen dan catatan.
Selanjutnya, National Commission on Fraudulent Financial
Reporting (1987) mengungkapkan bahwa, sementara pelaku
penipuan menggunakan pelaporan keuangan dengan banyak cara
yang berbeda, efek dari tindakan mereka hampir selalu untuk
46 perusahaan. Selain itu, kecurangan pelaporan keuangan biasanya
tidak tidak dimulai dengan tindakan yang disengaja terbuka untuk
mendistorsi laporan keuangan. Dalam banyak kasus, kecurangan
pelaporan keuangan adalah puncak dari serangkaian aksi yang
dirancang untuk merespon kesulitan operasional. Awalnya, kegiatan
mungkin tidak kecurangan, tetapi seiring waktu mereka bisa menjadi
semakin dipertanyakan, hasil akhirnya mungkin kecurangan laporan
keuangan.
Skenario ini menggambarkan bagaimana kecurangan
pelaporan keuangan dapat terjadi: CEO, di bawah tekanan untuk
terus meningkatkan penjualan, memiliki departemen pengiriman
dengan jam bekerja lebih panjang di hari menjelang akhir kuartal.
Seperti tumpukan tekanan, ia meramu situasi dengan menunda
pengakuan retur penjualan, menginstruksikan perwakilan penjualan
untuk "membuat kartu penjualan." Akhirnya, ia melakukan sebuah
tindakan kecurangan, dengan mengakui pendapatan dari persediaan
yang dikirim ke pelanggan tanpa otorisasi atau dari persediaan
dikirim ke gudang publik. Dia mungkin juga melebih-lebihkan
penjualan dengan mengakui pendapatan dari pengakuan penjualan
bahwa tidak terwujud karena kondisi material tidak puas; mengakui
pendapatan dari penjualan kuartal keempat diklaim meskipun
47 tidak sesuai memperlakukan pengiriman konsinyasi kepada
salesman sebagai penjualan.
Metode yang digunakan untuk menunda beban periode lancar
atau melebih-lebihkan aset sama beragamnya. Hal itu termasuk
mengeluarkan permintaan pembelian palsu untuk vendor, yang
kemudian mengirimkan faktur palsu yang secara curang menurunkan
biaya suku cadang rutin dan meningkatkan biaya kapitalisasi
peralatan, gagal menghapus aset yang telah dibatalkan atau tidak
bisa ditempatkan, dengan tidak sesuai mengubah umur depresiasi
aset tetap perusahaan, gagal membuat cadangan yang memadai
untuk kerugian yang diketahui pada persediaan usang atau pinjaman
tunggakan, dan pencatatan aset tidak ada dengan memalsukan kartu
hitung persediaan.
2.5 Earning Management
2.5.1 Konsep Earning Management
Manajemen laba merupakan sebuah fenomena umum yang
terjadi di sejumlah perusahaan. Praktik yang dilakukan untuk
mempengaruhi angka laba dapat terjadi secara legal maupun tidak
legal. Praktik legal dalam manajemen laba berarti usaha untuk
mempengaruhi angka laba tidak bertentangan dengan aturan
pelaporan keuangan yakni sesuai Prinsip-Prinsip Akuntansi yang
48 cara memanfaatkan kesempatan untuk membuat estimasi akuntansi,
melakukan perubahan metode akuntansi, dan menggeser periode
pendapatan atau biaya. Adapun manajemen laba yang dilakukan
secara illegal (disebut juga dengan financial fraud), dilakukan
dengan cara-cara yang tidak diperbolehkan oleh Prinsip-Prinsip
Akuntansi yang Berlaku Umum, yaitu dengan cara melaporkan
transaksi-transaksi pendapatan atau biaya secara fiktif dengan cara
menambah (mark up) atau mengurangi (mark down) nilai transaksi,
atau mungkin dengan tidak melaporkan sejumlah transaksi, sehingga
akan menghasilkan laba pada nilai/tingkat tertentu yang dikehendaki.
Schipper (1997) dalam Rezaee (2002) mendefinisikan
manajemen laba sebagai suatu intervensi terhadap proses pelaporan
keuangan eksternal untuk memperoleh beberapa keuntungan pribadi.
Menurut Primanita & Setiono (2006), manajemen laba (earning
management) adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh manajemen
perusahaan untuk mempengaruhi laba (income) yang dilaporkan
yang dapat memberikan informasi mengenai keuntungan ekonomis
(economic advantage) yang sesungguhnya tidak dialami perusahaan
dalam jangka panjang bahkan merugikan perusahaan.
Menurut Scott (2006) dalam Noviana (2011), pengelolaan laba
(earning management) adalah pemilihan kebijakan akuntansi oleh
manajemen untuk dapat mencapai beberapa tujuan tertentu.
49 efisiensi maupun oportunistik. Pengelolaan laba bersifat efisien
apabila manajemen perusahaan berusaha untuk menambah tingkat
transparansi laba dalam mengkomunikasikan hal yang bersifat
informasi internal perusahaan. Pengelolaan laba bersifat
oportunistik apabila manajemen perusahaan berusaha untuk
memaksimalkan keuntungan bagi dirinya sendiri.
Sebagaimana yang telah diungkapkan sebelumnya pada latar
belakang penelitian ini, kasus earning management secara ilegal
telah terjadi pada perusahaan berskala besar seperti Enron, Xerox
Corporation, WorldCom, Walt Disney Company, dan mayoritas
perusahaan lain di Amerika Serikat. Di Indonesia, praktik earning
management terjadi pada PT. Lippo Tbk dan PT. Kimia Farma Tbk.
2.5.2 Pola Earning Management
Menurut Scott (2003), bentuk-bentuk manajemen laba yang
dilakukan oleh manajer antara lain: (a) taking a bath, dilakukan
ketika keadaan buruk yang tidak menguntungkan tidak bisa dihindari
pada periode berjalan, dengan cara mengakui biaya-biaya pada
periode-periode yang akan datang dan kerugian periode berjalan; (b)
income minimization, dilakukan saat perusahaan memperoleh
profitabilitas yang tinggi dengan tujuan agar tidak mendapat
perhatian secara politis. Kebijakan yang diambil bisa berupa
50 dan sebagainya. Cara ini mirip dengan taking a bath namun tidak
terlalu ekstrim; (c) income maximization, yaitu memaksimalkan laba
agar memperoleh bonus yang lebih besar. Demikian pula dengan
perusahaan yang mendekati suatu pelanggaran kontrak hutang
jangka panjang, manajer perusahaan tersebut akan cenderung untuk
memaksimalkan laba; (d) income smoothing, merupakan bentuk
manajemen laba yang paling sering dilakukan dan paling populer.
Melalui ncome smoothing, manajer menaikkan atau menurunkan
laba untuk mengurangi fluktuasi laba yang dilaporkan sehingga
perusahaan terlihat stabil dan tidak berisiko tinggi.
2.5.3 Faktor Pemicu Earning Management
Perilaku manajemen laba dapat dijelaskan melalui Positive
Accounting Theory dan Agency Theory. Watts dan Zimmerman
(1986) dalam Watts dan Zimmerman (1990) mengusulkan tiga
hipotesis yang dapat dijadikan dasar tindakan manajemen laba yaitu
sebagai berikut:
(1) hipotesis program bonus (bonus plan hypotesis). Hipotesis ini
menyatakan bahwa manajer pada perusahaan yang menerapkan
rencana pemberian bonus lebih cenderung untuk menggunakan
metode atau prosedur-prosedur akuntansi yang dapat menggeser laba
periode mendatang ke periode berjalan sehingga dapat menaikkan
51 Hipotesis ini menyatakan bahwa perusahaan yang mempunyai rasio
Debt/Equity tinggi atau menghadapi kesulitan hutang, maka manajer
perusahaan akan cenderung menggunakan metode akuntansi yang
dapat meningkatkan laba; (3) hipotesis biaya politis (political cost
hypotesis). Hipotesis ini menyatakan bahwa manajer perusahaan
berskala besar dengan biaya politik yang tinggi cenderung memilih
metode akuntansi yang dapat menangguhkan laba yang dilaporkan
dari periode sekarang ke periode masa mendatang. Biaya politik
muncul disebabkan profitabilitas perusahaan yang tinggi dapat
menarik perhatian media dan konsumen.
Secara umum, metode yang digunakan untuk melakukan
manajemen laba yaitu: 1. manajemen accrual; 2. manajemen waktu
dalam mengadopsi kebijakan akuntansi; 3. perubahan akuntansi
yang bersifat voluntary. Adapun caranya adalah dengan
memanipulasi variabel artificial (akuntansi) melalui pemilihan
metode akuntansi yang diperbolehkan/diijinkan ataupun melalui
variabel riil (transaksional) dengan memanipulasi pendapatan, biaya
atau aktivitas perusahaan yang tidak normal. Manajemen laba
melalui variabel artificial misalnya dengan pemilihan teknik
akuntansi yang biasa untuk menaikkan atau menurunkan laba tahun
berjalan, misalnya: pemilihan metode depresiasi, tahun amortisasi,
metode pencatatan persediaan, pengakuan gain and losses, dan
52 (transaksional) dilakukan dengan cara memanipulasi penjualan dan
biaya-biaya, misalnya: mempercepat atau menunda penjualan akhir
tahun dan pencatatan biaya (Primanita & Setiono, 2006).
Dasar penyusunan laporan keuangan yang telah disepakati
ialah dasar akrual. Pemilihan basis akrual sebagai dasar penyusunan
laporan keuangan bertujuan untuk menjadikan laporan keuangan
lebih informatif yaitu laporan keuangan yang mencerminkan kondisi
yang sebenarnya. Earnings management tidak dapat secara langsung
diamati. Sehingga dibutuhkan suatu proksi untuk dapat
mengindikasi terjadinya manajemen laba.
Secara umum ada 3 kelompok model empiris manajemen laba
yang diklasifikasikan atas dasar basis pengukuran yang digunakan,
yaitu (Sulistyanto, 2008) :
a. model berbasis akrual merupakan model yang menggunakan
discretionary accruals sebagai proksi manajemen laba. Model
manajemen laba ini dikembangkan oleh Healy (1985), De
Angelo (1986), Jones (1991), serta Dechow, Sloan dan
Sweeney (1995);
b. model yang berbasis specific accruals, yaitu pendekatan yang
menghitung akrual sebagai proksi manajemen laba dengan
menggunakan item laporan keuangan tertentu dari industri
53 Wilson (1988) Petroni (1992), Beaver dan Engel (1996),
Beneish (1997), serta Beaver dan Mc Nichols (1998);
c. model distribution of earnings dikembangkan oleh Burgatler
dan Dichey (1997), Degeorge, Patel, dan Zechauser (1999),
serta Myers dan Skinner (1999).
Sejauh ini hanya model berbasis agregate accruals yang
diterima secara umum sebagai model yang memberikan hasil paling
kuat dalam mendeteksi manajemen laba. Model berbasis aggregate
accruals yang digunakan adalah Modified Jones Model. Model
tersebut dikembangkan oleh Dechow, Sloan, dan Sweeney (1995).
Komponen total accruals dalam Modified Jones Model dapat
dipisahkan menjadi 2, yaitu discretionary accruals dan non
discretionary accruals. Discretionary accruals merupakan
komponen total accruals yang berasal dari rekayasa manajerial
dengan memanfaatkan kebebasan dan fleksibilitas dalam
menentukan nilai estimasi pada metode akuntansi.
2.6 Penelitian Terdahulu
Hingga hari ini telah banyak penelitian yang dilakukan terkait kecurangan
pelaporan keuangan (fraudulent financial reporting). Penelitian tentang
fraudulent financial reporting yang dilakukan berkenaan dengan pendeteksian
dan pengujian faktor risiko fraud triangle. Pada Tabel 2.2 berikut ini disajikan
54 Tabel 2.2
Review Penelitian Terdahulu
No.
Independen Hasil Penelitian 1. Persons
(1995)
Fraudulent Financial Reporting
Financial Leverage, Profitability, Asset Composition,
Liquidity, Capital Turnover, Firm Size, Overall Financial Position
Financial leverage, Asset Composition, Capital Turnover, Firm
size berpengaruh
signifikan terhadap Fraudulent Financial Reporting. Sedangkan variabellainnya tidak. 2. Lou dan Arus Kas Negatif dari Aktivitas Operasi, Leverage,
Pledging, Rasio Investasi, Transaksi Pihak Istimewa, CEO, Auditor Internal, Deviation In
Control Away From Cash Flow Rights, Penyajian Ulang, Pergantian Auditor, Ukuran Perusahaan
Kecurangan pelaporan berkaitan dengan salah satu kondisi berikut: Tekanan Keuangan dari sebuah perusahaan atau Supervisor perusahaan, Rasio yang lebih tinggi dari suatu transaksi yang kompleks,
dipertanyakannya
integritas dari manajer perusahaan, atau lebih memburuknya hubungan Turnover, Firm Size dan Profitability
Capital Turnover dan Profitability memiliki
pengaruh negatif
terhadap Fraudulent
Financial Reporting. Sementara, Financial
Distress, Earning Management, Liquidity, Financial Leverage dan Firm Size tidak berpengaruh terhadap
Keahlian Komite Audit
55
Keuangan. Leverage
berhubungan positif dan signifikan terhadap terjadinya Kecurangan Pelaporan Keuangan. Sedangkan Kepemilikan Manajerial dan Ukuran
Perusahaan tidak (Cash ratio, Debt to
Total Asset, Inventory turnover,
Quick ratio, Receivable Turnover,
ROI, Gross Profit Margin, EPS, PER, ROA),
Ukuran Perusahaan (Firm Size),
Profit Growth
Cash ratio, return on invesment berpengaruh
signifikan dalam mendeteksi Kecurangan
Pelaporan Keuangan. Sementara quick ratio, inventory turnover, debt to total asset, receivable turnover, gross profit margin, EPS, PER, ROA
terbukti tidak berpengaruh signifikan
dalam mendeteksi
Kecurangan Pelaporan
Aset, Financial
Distress, dan Umur Perusahaan) dan Karakteristik Auditor Ekternal (Audit Firm Tenure dan Status KAP)
Leverage, ROA, Perubahan Total Aset, Financial Distress, dan Umur Perusahaan tidak berpengaruh signifikan terhadap Kecurangan Pelaporan Keuangan. Audit Firm Tenure dan Status KAP sebagai variabel moderating juga tidak dapat memoderasi Leverage, ROA, Perubahan Total Aset, Financial Distress, dan
Umur Perusahaan
Financial leverage, Profitability, Asset
Rasio Finansial seperti
56 Reporting Composition,
Liquidity, Capital Turnover, Size
Financial leverage) dan REC/REV (proksi Capital Turnover) merupakan prediktor yang signifikan untuk mendeteksi Kecurangan Direksi dan Pergantian Auditor memiliki pengaruh signifikan
terhadap Kecurangan
Pelaporan Keuangan. Kepemilikan Asing,
Leverage, Target
Keuangan, Efektivitas Pengawasan, Transaksi Pihak Istimewa tidak berpengaruh signifikan yang Tidak Efektif
Stabilitas Finansial, Target Finansial dan Pengawasan yang Tidak Efektif berpengaruh terhadap Kecurangan Pelaporan Keuangan. Sedangkan Tekanan Eksternal, Kebutuhan Finansial Personal dan Karakteristik Industri Audit dan Efektivitas Audit Internal
57
signifikan terhadap kemungkinan
Kecurangan dalam Pelaporan Keuangan.
Sumber: Data sekunder, diolah
Persons (1995) melakukan penelitian untuk menjawab keprihatinan publik
dan pengambil keputusan dengan mengidentifikasi sepuluh rasio laporan
keuangan yang berhubungan dengan kecurangan pelaporan keuangan.
Penelitian Persons menggunakan sampel perusahaan fraud dan nonfraud. Untuk
mengukur variabel financial leverage digunakan rasio TLTA (Total
Liabilities/Total Assets). Profitability diukur menggunakan rasio NITA (Net
Income/Total Assets) dan RETA (Retained Earnings/Total Assets). Asset
Composition diukur menggunakan rasio CATA (Current Assets/Total Assets),
RVTA (Receivables/Total Assets), dan IVTA (Inventory/Total Assets).
Liquidity diukur menggunakan rasio WCTA (Working Capital/Total Assets).
Capital Turnover diukur menggunakan rasio SATA (Sales/Total Assets). Size
diukur menggunakan rasio LOGTA (natural logarithm of book value of total
assets at the end of the fiscal year). Overall Financial Position diukur
menggunakan Z-Score. Sampel penelitian yang digunakan adalah perusahaan
fraud dan nonfraud. Hasil penelitian dari model parsimonous stepwise-logistic
menunjukkan bahwa financial leverge, capital turnover, asset composition dan
firm size merupakan faktor yang signifikan mempengaruhi perilaku kecurangan
58 Lou dan Wang (2009) melakukan penelitian untuk menguji faktor risiko
dari fraud triangle. Sama seperti Persons, Lou dan Wang juga menggunakan
sampel perusahaan fraud dan nonfraud. Hasil penelitiannya mengindikasikan
bahwa kecurangan pelaporan berhubungan dengan salah satu kondisi berikut:
tekanan keuangan dari suatu perusahaan atau supervisor perusahaan, persentase
yang lebih tinggi dari transaksi yang kompleks suatu perusahaan, lebih
dipertanyakannya integritas manajer sebuah perusahaan, atau memburuknya
hubungan antara perusahaan dengan auditornya. Sebuah model logistik
sederhana berdasarkan contoh faktor risiko kecurangan ISA 240 dan SAS 99
mengukur kemungkinan kecurangan pelaporan keuangan dan dapat
menguntungkan praktisi.
Di Indonesia, Anisa (2012) meneliti fraudulent financial reporting dengan
menggunakan faktor penelitian: keahlian keuangan komite audit, kepemilikan
saham manajerial, ukuran perusahaan, dan tingkat leverage. Penelitian Anisa
menggunakan paired sample (matched-pairs sample) antara perusahaan yang
melakukan kecurangan pelaporan keuangan dengan perusahaan yang tidak
melakukan kecurangan pelaporan keuangan. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa keahlian komite audit secara signifikan berpengaruh negatif dengan
terjadinya kecurangan pelaporan keuangan. Leverage juga menunjukkan
hubungan yang positif dan signifikan terhadap terjadinya kecurangan pelaporan
keuangan. Sedangkan dua faktor lain yaitu kepemilikan manajerial dan ukuran
59 Hutomo (2012) untuk menguji secara empiris pengaruh rasio-rasio finansial
(Cash ratio, Debt to total asset, Inventory turnover, Quick ratio, Receivable
turnover, ROI, Gross profit margin, EPS, PER, ROA), ukuran perusahaan (firm
size), profit growth untuk mendeteksi kecurangan dalam pelaporan keuangan
(fraudulent financial reporting). Analisis data yang digunakan meliputi statistik
deskriptif, multikolonieritas, dan logistik regresi. Berdasarkan hasil penelitian
diketahui bahwa cash ratio, return on invesment berpengaruh signifikan dalam
mendeteksi kecurangan dalam pelaporan keuangan (fraudulent financial
reporting). Sementara quick ratio, inventory turnover, debt to total asset,
receivable turnover, gross profit margin, EPS, PER, ROA terbukti tidak
berpengaruh signifikan dalam mendeteksi kecurangan dalam pelaporan keuangan
(fraudulent financial reporting).
Subroto (2012) meneliti untuk menguji pengaruh karakteristik perusahaan
(leverage, ROA, dan perubahan total aset, financial distress, dan umur
perusahaan) dan karakteristik auditor ekternal (audit firm tenure dan status KAP)
terhadap kecurangan pelaporan keuangan. Karakteristik KAP digunakan sebagai
variabel pemoderasi dalam penelitian tersebut. Sampel yang digunakan
mencakup perusahaan yang melakukan fraud dan yang tidak. Metode yang
digunakan adalah regresi logistik. Hasil penelitian menemukan bahwa leverage,
ROA, perubahan total aset, financial distress, dan umur perusahaan tidak
berpengaruh signifikan terhadap kecurangan pelaporan keuangan. Hasil
penelitian ini juga menunjukkan bahwa audit firm tenure dan status KAP sebagai
60 perubahan total aset, financial distress, dan umur perusahaan terhadap kecurangan
pelaporan keuangan.
Dalnial (2014) meneliti untuk menguji kecurangan pelaporan keuangan
dengan menggunakan analisis laporan keuangan. Sampel yang digunakan 130
buah dari Bursa Efek Malaysia yang terdiri dari 65 sampel perusahaan yang
melakukan kecurangan dan 65 yang tidak. Variabel yang digunakan: financial
leverage diukur dengan Total Debt/Total Equity (TD/TE) dan Total Debt/Total
Asset (TD/TA). Profitability diukur dengan Net Profit/Revenue (NP/REV). Asset
composition diukur dengan Current Assets/Total Assets (CA/TA),
Receivable/Revenue (REC/REV) dan Inventory/Total Assets (INV/TA). Liquidity
diukur dengan Working Capital/Total Assets (WC/TA). Capital turnover diukur
dengan Revenue/Total Asset (REV/TA). Size sebagai variabel kontrol diukur
menggunakan Logaritma natural dari nilai buku per total aset di akhir tahun fiskal.
Hasil penelitian menunjukkan sebagian rasio finansial seperti TD/TA, dan
REC/REV merupakan prediktor yang signifikan untuk mendeteksi kecurangan
pelaporan keuangan.
Rachmawati dan Marsono (2014) menganalisis faktor segitiga kecurangan
untuk mendeteksi kecurangan pelaporan keuangan. Variabel yang digunakan
untuk faktor tekanan antara lain: Personal Financial Need diproksikan dengan
kepemilikan asing (FOROWN), External Pressure diproksikan dengan
kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajibannya (LEV), Financial
Targets diproksikan dengan target keuangan (ROA). Variabel yang digunakan
61 efektivitas pengawasan (IND), Organizational Structure diproksikan dengan
multijabatan dewan direksi (CROSSDIR), Nature of Industry diproksikan dengan
transaksi pihak istimewa (RPT). Variabel rasionalisasi diproksikan dengan
pergantian auditor (CPA). Hasil penelitian menyimpulkan bahwa multijabatan
dewan direksi dan pergantian auditor berpengaruh terhadap kecurangan pelaporan
keuangan. Sedangkan variabel lainnya, yaitu kepemilikan asing, kemampuan
perusahaan dalam memenuhi kewajibannnya, target keuangan, efektivitas
pengawasan, dan transaksi pihak istimewa terbukti tidak berpengaruh terhadap
kecurangan pelaporan keuangan.
Rosita (2014) untuk menganalis dan mengetahui apakah terdapat hubungan
antara variabel antara stabilitas finansial, tekanan eksternal, kebutuhan finansial
personal, target finansial, karakteristik industri, dan pengawasan yang tidak efektif
terhadap terjadinya kecurangan pelaporan keuangan. Dengan menggunakan
regresi logistik, maka diperoleh hasil bahwa variabel stabilitas finansial, target
finansial dan pengawasan yang tidak efektif berpengaruh terhadap kecurangan
pelaporan keuangan. Sedangkan tekanan eksternal, kebutuhan finansial personal
dan karakteristik industri tidak berpengaruh terhadap kecurangan pelaporan
keuangan.
Wicaksono dan Chariri (2015) melakukan penelitian untuk memperoleh
bukti empiris dan menganalisis pengaruh mekanisme corporate governance yang
terdiri dari ukuran dewan komisaris, komposisi dewan komisaris independen,
komite audit, dan efektivitas audit internal terhadap kemungkinan kecurangan
62 variabel kontrol dalam penelitiannya. Analisis data dilakukan dengan analisis
statistik deskriptif, uji multikolonieritas, dan pengujian hipotesis dengan analisis
regresi logistik. Hasil analisis penelitiannya menunjukkan bahwa komite audit
dan efektivitas audit internal berpengaruh negatif secara signifikan terhadap
kemungkinan kecurangan dalam pelaporan keuangan, sedangkan ukuran dewan
komisaris dan komposisi dewan komisaris independen tidak berpengaruh secara
signifikan terhadap kemungkinan kecurangan dalam pelaporan keuangan.
Penelitian-penelitian terdahulu tersebut menggunakan variabel independen
yang berbeda-beda dan hasil penelitian yang diperoleh pun berbeda pula.
Perbedaan hasil penelitian tersebut menggerakkan hasrat peneliti untuk
mengangkat kembali topik fraudulent financial reporting.
2.7 Kerangka Konseptual
Berdasarkan uraian tinjauan pustaka di atas, maka kerangka konseptual
penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:
Tekanan
Kesempatan
Gambar 2.2 Kerangka Konseptual Profitabilitas (ROA)
(X1)
Tingkat Leverage (LEV) (X2)
Kecurangan
Pelaporan
Keuangan
(Fraudulent
Financial
Reporting)
(Y) Efektivitas Pengawasan (IND)
63 2.7.1 Pengaruh Profitabilitas terhadap Kecurangan Pelaporan
Keuangan (Fraudulent Financial Reporting)
Profitabilitas sebuah perusahaan menunjukkan kesuksesan
perusahaan tersebut dalam menghasilkan laba. Manajemen seringkali
mendapat tekanan untuk menunjukkan bahwa aktiva perusahaan
telah mampu dikelola dengan baik. Selain karena kinerjanya dinilai
melalui banyaknya laba yang dihasilkan yang pada akhirnya akan
meningkatkan bonus yang diterimanya, tingginya laba suatu
perusahaan juga akan menghasilkan return yang tinggi pula bagi
para investor sekaligus menjadi daya tarik bagi calon investor.
Sebaliknya, semakin kecil laba perusahaan, maka perusahaan
dianggap tidak mampu beroperasi dengan baik. Sebab, laba yang
kecil atau bahkan negatif menandakan kondisi keuangan perusahaan
yang buruk. Untuk menampilkan performa perusahaan yang
meningkat, manajemen kerap kali berupaya menutupi kondisi
keuangan yang buruk dengan menyajikan laporan keuangan yang
telah dipercantik agar tampak meyakinkan untuk menarik para
investor. Jadi, ketika kondisi keuangan perusahaan buruk, maka
kemungkinan manajemen akan melakukan tindak kecurangan
semakin tinggi.
Hal ini didukung oleh Persons (1995) yang menyatakan bahwa
laba yang rendah memicu manajer untuk melebihsajikan pendapatan
64 Persons 1995 juga menemukan bahwa perusahaan yang memiliki
masalah profitabilitas secara signifikan lebih banyak melakukan
kesalahan dalam laporan keuangannya.
2.7.2 Pengaruh Tingkat Leverage terhadap Kecurangan Pelaporan Keuangan (Fraudulent Financial Reporting)
Leverage merupakan hutang yang digunakan oleh perusahaan
untuk membiayai asetnya dalam rangka menjalankan aktivitas
operasionalnya. Tekanan yang kerapkali dialami manajemen
perusahaan adalah kebutuhan untuk mendapatkan tambahan hutang
atau sumber pembiayaan eksternal agar tetap kompetitif, termasuk
pembiayaan riset dan pengeluaran pembangunan atau modal. Untuk
mendapatkan pinjaman dari pihak eksternal, perusahaan harus
diyakini mampu mengembalikan pinjaman yang telah diperolehnya.
Namun, apabila perusahaan memiliki tingkat leverage yang
tinggi atau hutang yang besar dan risiko kredit yang tinggi, maka
terdapat kekhawatiran bahwa nantinya perusahaan tidak mampu
mengembalikan pinjaman yang telah diberikan. Karena itu, semakin
tinggi tingkat leverage, maka perusahaan akan cenderung
melaporkan profitabilitas yang tinggi pula. Disamping itu, semakin
tinggi tingkat leverage semakin besar kemungkinan perusahaan
melanggar perjanjian kredit sehingga perusahaan akan berusaha
65 Dengan demikian, perusahaan tetap dianggap mampu untuk
mengembalikan pinjaman. Hal inilah yang dapat mendorong
perusahaan melakukan manipulasi atau kecurangan pada laporan
keuangan.
Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan Persons (1995),
leverage yang tinggi berhubungan dengan pelanggaran perjanjian
hutang dan kurangnya kemampuan mendapatkan modal melalui
pinjaman. Rudyawan dan Badera (2008) dalam Subroto (2012)
berpendapat bahwa Rasio leverage yang tinggi dapat berdampak
buruk bagi kondisi keuangan perusahaan dan dapat menimbulkan
ketidakpastian mengenai kelangsungan hidup perusahaan. George
(2009) dalam Subroto (2012) menyatakan bahwa Leverage
digunakan untuk mengukur efek risiko keuangan pada indikator
kecurangan. Leverage ditemukan sangat signifikan dalam mengukur
perilaku fraud (dalam Dalnial 2014).
2.7.3 Pengaruh Efektivitas Pengawasan terhadap Kecurangan Pelaporan Keuangan (Fraudulent Financial Reporting)
Terjadinya kecurangan merupakan akibat dari pengawasan
yang lemah dan tidak efektif sehingga memberi kesempatan bagi
oknum tertentu untuk berperilaku menyimpang. Adanya asimetri
informasi antara prinsipal dan agen merupakan salah satu hal yang
66 tersebut membuat pihak manajemen merasa bahwa dirinya tidak
diawasi sehingga ia semakin leluasa mencari cara untuk
memaksimalkan kesempatan yang ada untuk keuntungan pribadinya.
Untuk menghindari atau paling tidak meminimalisasi
terjadinya praktik fraud dalam perusahaan, dibutuhkan mekanisme
pengawasan yang baik dan unit pengawas yang mampu memonitor
jalannya perusahaan. Menurut Gunarsih dan Hartadi (2002) dalam
Norbarani (2012), dewan komisaris independen dipercaya mampu
memainkan peranan penting khususnya dalam memonitor
manajemen tingkat atas. Dengan diperkerjakannya dewan komisaris
independen, yang tidak memiliki hubungan dengan pemegang
saham, direktur, manajemen ataupun pihak internal lainnya,
diharapkan praktik kecurangan atau fraud dapat diminimalisir sebab
ia akan melakukan pengawasan dengan lebih independen.
Dechow et al. (1996) dan Dunn (2004) dalam Skousen et. al.,
2008 yang meneliti hubungan antara komposisi dewan komisaris
dengan kecurangan laporan keuangan dan memperoleh hasil bahwa
perusahaan yang melakukan fraud memiliki anggota di luar Board of
Director (BOD) yang lebih sedikit jika dibandingkan dengan
perusahaan yang tidak melakukan fraud. Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa kecurangan lebih sering terjadi pada perusahaan
67 2.8 Hipotesis
Berdasarkan konseptual yang telah dipaparkan sebelumnya, maka disusun
hipotesis sebagai berikut.
H1 : Profitabilitas, tingkat Leverage dan efektivitas pengawasan
berpengaruh terhadap Kecurangan Pelaporan Keuangan
(Fraudulent Financial Reporting) baik secara simultan maupun