• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ruh Pancasila dan Sikap Terhadap Radikal

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Ruh Pancasila dan Sikap Terhadap Radikal"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Ruh Pancasila dan Sikap terhadap Radikalisme Agama1

Oleh Mohammad Sahlan2

Radikalisme Agama di Indonesia

Pasca lengsernya Presiden Soeharto yang ditandai dengan berawalnya era reformasi Indonesia, rakyat Indonesia menghirup angin segar atas kebebasan berpendapat. Kabar baik ini dilegitimasikan oleh DPR dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum sekaligus menunjukkan komitmen negara sebagai penganut sistem demokrasi (Pancasila). Selain sebagai kabar baik, UU tersebut juga menjadi sebuah kabar buruk—ibarat dua belah mata pisau yang tajam ke depan dan belakang—bagi bangsa Indonesia, yakni terancam masuk dan berkembangnya ideologi non Pancasila dalam masyarakat. Perkembangan ideologi non-pancasila dalam konteks ini dianggap mengancam negara apabila dipahami secara radikal oleh penganutnya dan bertentangan dengan Pancasila sebagai dasar negara.

Ancaman fundamentalisme agama tidak hanya sekedar ancaman “penyakit nalar” seseorang dalam melihat sesuatu, akan tetapi lebih jauh dari itu. Di Jakarta pada tahun 1998 misalnya didirikan organisasi Laskar Pembela Islam (FPI) yang dipimpin oleh Muhammad Rizieq Shihab dan aktivitas utamanya adalah melakukan serangan secara fisik ke “tempat-tempat maksiat” menurut kacamata ideologi mereka. Tindakan main hakim sendiri ini dapat dinilai bahwa mereka telah melakukan kekerasan tanpa dasar hukum negara atas penegakan syariat Islam3. Terjadi

peristiwa mengenaskan juga, beberapa bom bunuh diri yang didalangi oleh kelompok JI (Jamaah Islamiyah)—yang merupakan organisasi fundamentalisme Islam—pada malam Natal tahun 2000 di Bali dan 2002 di hotel Marriot Jakarta memakan korban yang semuanya adalah non muslim4.

Kasus Bom bunuh diri ini juga terjadi lagi di tahun berikutnya: Bom Bali II 2005, Bom Tentena 2005, Bom Solo 2011 dan 2012, dan Bom Sarinah 2016 silam.

Di tahun 1982 bersamaan masih jayanya orde baru dibentuklah organisasi cabang Hizbut Tahrir Indonesia—yang merupakan organisasi pengusung sebuah negara dan masyarakat Islam global atau kekhalifahan universal, di tingkat internasional bernama Hizbut Tahrir Internasional— namun karena menolak demokrasi, organisasi ini baru dapat beroperasi lebih leluasa pasca jatuhnya rezim Soeharto5. Di tahun berikutnya (1998) didirikan juga oleh aktivis gerakan

tarbiyah yang berafiliasi dengan Ikhwanul Muslimin Mesir sebuah partai politik baru yang

1 Makalah ini dipresentasikan dalam FGD “Indeks Ketahanan Ideologi Pancasila” yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Pancasila UGM pada 10 Mei 2017.

2 Pengurus aktif Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Sleman.

3 M.C. Ricklef, Mengislamkan Jawa: Sejarah Islamisasi di Jawa dan Penentangnya dari 1930 sampai Sekarang, hal. 667. Dalam kasus FPI bagaimana penyimpanganya, lihat penjelasan Damayanti, dkk. Radikalisme Agama sebagai Salah Satu Bentuk Perilaku Menyimpang: Studi Kasus Front Pembela Islam. Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 3, No. 1, Juni 2003. Pdf.

4 Ibid, hlm. 652.

(2)

bernama Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan bertujuan untuk memperjuangkan Syariah Islam dengan jalur demokrasi. Kemudian di beberapa tahun terakhir (2004) partai ini bersifat lebih sedikit pragmatis agar memperoleh suara dalam pemilu, namun tidak meninggalkan unsur “Syariat Islam”nya6.

Data terkini terkait ideologi negara yang diinginkan mahasiswa pernah dihasilkan dari penelitian aktivis Gerakan Mahasiswa dan Pemuda Indonesia (GMPI) tahun 2006 yang dimuat dalam Koran Kompas 4 Maret 2008 halaman 2. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa 4,5% mahasiswa tetap sepakat bahwa Pancasila sebagai ideologi bangsa. Dilanjutkan 80% mahasiswa berikutnya lebih menyetujui Syariah sebagai pandangan hidup berbangsa dan bernegara, dan 15,5 % sisanya memilih Sosialisme sebagai acuan hidup. Responden penelitian diambil dari 11 kampus besar di Indonesia, UI, UGM, ITB, IPB, Unair, Unibraw, Unpad, Unhas, Unand, Unsri, dan Unsyiah7.

Di tahun 2016 kemarin, Saidi dari LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) juga merilis hasil survey terhadap mahasiswa di kampus umum. Beberapa temuanya, 25% siswa dan 21% guru menyatakan Pancasila tidak relevan, sementara 84,8% siswa dan 76,2% guru menyatakan setuju dengan penerapan Syariat Islam. Sementara di tahun sebelumnya 4% penduduk Indonesia menyetujui Negara ISIS, dan 5% diantaranya adalah mahasiswa. Beberapa organisasi yang disebut menyebarkan ideologi ini adalah KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia), Salafi, dan HTI, dimana mereka juga disebut sebagai penguasa perpolitikan mahasiswa saat ini.8

Selain dalam tingkat mahasiswa, terdapat penelitian juga yang menyebutkan bahwa radikalisasi agama telah menjangkit masyarakat sejak dari siswa. Penelitian ini dilakukan oleh Rokhmad (2012) dengan menghasilkan beberapa kesimpulan. Pertama, paham radikal telah merasuk ke siswa yang memiliki pengetahuan agama minim melalui guru Pendidikan Agama Islam (PAI) yang telah berideologi Islam radikal. Kedua, Kegiatan mabit dan daurah dalam organisasi ekstra Kerohanian Islam (rohis) di sekolah sangat rentan menjadi sasaran kegiatan ideologisasi Islam radikal khususnya di sekolah umum. Ketiga, dalam buku paket dan LKS bermunculan berbagai pernyataan yang mendorong siswa untuk membenci atau anti terhadap agama atau bangsa lain.9

Data-data di atas menunjukkan bagaimana penyebaran dan ancaman radikalisme di Indonesia saat ini.

Paham radikalisme agama di Indonesia sebenarnya sudah mulai nampak sebelum negara Indonesia terbentuk. Kebijakan politik etis Kolonial Belanda terhadap masyarakat Hindia Belanda (Nusantara) memberi kesempatan pada haji-haji pribumi untuk melakukan ibadah haji ke Mekah. Dengan intensitas yang awalnya minim, kemudian mendekati awal abad 20 menjadi

6 Ibid, hlm, 682-690.

7 Lihat pernyataan Kompas berikut

http://nasional.kompas.com/read/2017/04/28/22095531/.kompas.tidak.pernah.menggelar.survei.soal.ideologi.mahas iswa diakses pada 04.03 WIB, 08,05,2017.

8 Lihat pernyataan Anas Saidi berikut http://www.cnnindonesia.com/nasional/20160218193025-12-111927/radikalisme-ideologi-menguasai-kampus/ yang diakses pada 05:37 WIB, 08,05,2017.

(3)

semakin bertambah, banyak orang Nusantara yang juga belajar agama di Mekah. Pada saat itu kondisi politik di Arab juga sedang mengalami pergolakan, yakni banyak munculnya gerakan pembaharuan Islam yang ditokohi oleh Al Afghani, Rasyid Rida, dan Muhammad Abduh. Gerakan ini mengangkat kembali ide pemurnian Islam atau puritanisme—yang secara arti berdekatan dengan radikalisme Islam—namun konteksnya adalah untuk melawan penjajahan (Eropa) masa itu. Hasil dari pendidikan orang Nusantara tadi melahirkan tokoh seperti Ahmad Dahlan (Muhamadiyah), Hamka, Tahir Tamaluddin, Surkati (Persis) dan beberapa tokoh lainya, yang kemudian menjadi tokoh pembaharu Islam (modernisme Islam) yang berbeda dengan Islam tradisional.10

Demikian juga konteks sejarah muncul wacana radikalisme/fundamentalisme Islam yang kemudian dicap teroris—selain dari runtuhnya orde baru jika di Indonesia— oleh Barat adalah paska peristiwa ditabraknya WTC pada 11 September 2001 oleh milisi Taliban. Peristiwa ini memberikan sebuah pukulan besar bagi Amerika, karena menewaskan banyak warganya. Atas dasar ini, mereka mencap Islam sebagai teroris. Pelabelan ini, bahkan tidak hanya ditujukan pada kaum fundamental Islam, tetapi semua umat Islam di dunia. Ketegangan ini juga mengakibatkan wacana dunia internasional tentang radikalisme agama (Islam) dan terorisme menjadi perhatian utama di abad 21. Hubungan antara Amerika dengan fundamentalis Taliban awalnya terjadi karena misi penguasaan minyak di Asia Tengah oleh Amerika. Meskipun akhirnya Taliban membelot dan malah menyerang WTC. Peristiwa ini dapat dilihat bahwa berkembangnya paham radikal berkaitan erat juga dengan geopolitik-ekonomi dunia.11 Sehingga tidak menutup

kemungkinan juga dengan di Indonesia, bahwa gerakan radikalisme Islam juga memiliki keterkaitan yang sama dengan ekonomi-politik yang ada di Indonesia sendiri maupun di dunia.

Bahaya Radikalisme Agama terhadap Ketahanan Pancasila

Sebelum lebih jauh membahas radikalisasi tentunya penting diterangkan istilah radikalisasi secara singkat terlebih dahulu. Menurut Afif Muhammad, radikal berasal dari kata radic yang berarti akar, dan radikal sendiri adalah sesuatu yang mendasar atau hingga sampai ke akar-akarnya. Penyusunan predikat “radikal” dapat dikenakan pada pemikiran, yang kemudian ada istilah “pemikiran radikal”, dapat juga pada gerakan, yang kemudian disebut “gerakan radikal”.12

Dalam Tesaurus Bahasa Indonesia, radikal diartikan sebagai (a) fundamental, mendasar, primer, esensial, kardinal, vital, drastis; (b) ekstrim, fanatik, keras, militant, revolusioner; (c) liberal, maju, progresif, reformis, terbuka; (d) (kaum, orang) ekstrimis, reaksioner, revolusioner.13

Dengan demikian radikalisme dapat diartikan sebagai sebuah paham atau aliran keras yang ingin melakukan sebuah perubahan sosial atau politik dengan cara cepat, drastis, keras, dan ekstrem.

10 Untuk melihat konteks sejarah munculnya gerakan pembaharuan Islam di Indonesia lihat Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, hlm. 225-260.

11 Tentang bagaimana Amerika sebagai dalang dalam pembentukan diskursus Terorisme lihat Ahmad Baso, Islam Pascakolonial: Perselingkuhan Agama, Kolonialisme, dan Liberalisme, 2016, hlm. 15-25.

12 Damayanti, dkk. Radikalisme Agama sebagai Salah Satu Bentuk Perilaku Menyimpang: Studi Kasus Front Pembela Islam. Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 3, No. 1, Juni 2003, hlm. 45-46.

(4)

Dalam konteks radikalisme Islam, adalah upaya orang atau sekelompok orang Islam tertentu yang ingin menerapkan ideologi (Syariat Islam) dengan cara cepat, keras, dan ekstrem tanpa melihat atau menerima ide-ide lain dengan berdalih agama. Hal ini bisa menjadi bencana besar bagi ketentraman manusia, jika ditilik kembali tentang definisi kebenaran menurut kelompok radikal. Pemahaman kebenaran dalam agama adalah berasal dari Tuhan. Sedangkan firman Tuhan ada dalam kitab suci. Kemudian, apabila kitab suci mempunyai beberapa tafsir yang berbeda, maka bagi radikalisme agama, paham kelompoknya-lah yang dianggap paling benar. Dengan demikian, jikalau terdapat beberapa kelompok orang yang berpaham agama secara radikal, kemungkinan berikutnya adalah terjadi sebuah clash atau benturan fisik yang mengakibatkan kekerasan dan perang saudara. Hal ini akan mengakibatkan zaman jahiliah terulang kembali oleh peperangan dan pembunuhan.

Dari pemaparan fakta-fakta radikalisme di Indonesia saat ini menunjukkan bagaimana bangsa Indonesia telah mengalami ancaman besar dari sisi pemuda, yang digadang-gadang sebagai “tulang punggung bangsa”. Merebaknya fenomena radikalisasi Islam di kalangan pemuda terutama terjadi di kampus-kampus besar merupakan sebuah kecolongan besar bagi masa depan bangsa, di mana mereka adalah calon-calon pemimpin masa depan. Jika hal ini terus terjadi kemungkinan besar Pancasila sebagai Philosophische Grondslag atau Dasar Negara akan segera tergantikan oleh Syariat Islam atau Khilafah melalui pemimpin-pemimpin yang berpaham fundamental. Dan kemungkinan buruk selanjutnya sesuai premis awal tentang radikalisme, Indonesia akan mengalami beberapa peperangan, benturan fisik, dan pembunuhan antar agama yang ada. Hal ini bisa terjadi karena kondisi masyarakat Indonesia yang beragam, banyak agama juga aliranya.

Pentingnya Semangat Pancasila sebagai Kontinuitas Pembangunan Bangsa

Seorang ahli sosial Indonesia, Ignas Kleden menyatakan bahwa kebudayaan adalah dialektika antara ketenangan dan kegelisahan, antara penemuan dan pencarian, antara integrasi dan disintegrasi, antara tradisi dan reformasi, yang dengan kata lain kedua hal tersebut akan selalu diperlukan. Misalkan jika tanpa tradisi atau integrasi, suatu kebudayaan akan menjadi tanpa identitas, sedangkan tanpa suatu reformasi atau disintegrasi suatu kebudayaan akan kehilangan kemungkinan berkembang dalam merespon jaman dan paksaan perubahan sosial.14

Sebuah negara tidak akan menjadi lebih baik, lebih matang, dan lebih kuat dalam hal kebudayaan apabila setiap hasil kebudayaan yang ada atau kebudayaan masa lalu selalu diganti dengan sebuah kebudayaan baru dengan terus menerus. Kondisi ini telah dan masih terjadi di Indonesia seperti yang diungkapkan oleh Kleden, mengapa sejarah kebudayaan Indonesia modern pada hakikatnya adalah sejarah tanpa kontinuitas. Penyebabnya adalah setiap generasi selalu berusaha membangun sebuah tradisi baru dari nol (awal) dan bukan melakukan dilektika terhadap tradisi sebelumnya.15 Sikap (1) penolakan terhadap tradisi kebudayaan yang ada atau masa lalu atas

dasar semangat modern dapat dilihat dari beberapa kasus misalnya, sering dikutipkanya

14 Ignas Kleden, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan, hlm. 214.

(5)

pemikiran tokoh ekonom Barat daripada Hatta, sering dikutipnya pemikiran nasionalisme ahli Barat daripada Soekarno, sering dikutipnya pemikiran Islam trans nasional daripada kiai-kiai yang ada di Indonesia, sering dikutipnya pemikiran kebudayaan Barat daripada (misalnya) pemikiran Ignas Kleden ini, dan masih banyak kasus-kasus penolakan tradisi lainya.

Sikap (2) konservatif alias selalu mempertahankan tradisi kebudayaan masa lalu, dapat dilihat dalam masyarakat yang tidak mau menerima semangat modern: materialis, rasional, dan individual yang memang perlu diserap di era saat ini. Konservatif terhadap tradisi akan berakibat juga dalam tersingkirnya masyarakat tertentu dari pertarungan global. Yang menjadi sebuah catatan dan poin penting adalah sikap masyarakat Indonesia seharusnya bisa berada dalam posisi moderat, dengan melanjutkan tradisi yang sudah ada, melakukan kritik terhadapnya, juga berinovasi.

Ditarik dalam konteks tema ini, Pancasila adalah sebuah hasil pemikiran tokoh pendiri Indonesia dalam merumuskan dasar negara dan pandangan hidup yang juga bisa disebut hasil kebudayaan bangsa Indonesia. Lebih dari itu Pancasila diciptakan sebagai dasar negara yang dimaksud sebagai fondasi negara yang kuat (ideologi), agar rumah kebangsaan yang bernama negara Indonesia dapat kokoh dan abadi, serta melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Kemudian dalam membangun negara dan peradaban tanpa didasari dengan semangat transendental (ketuhanan) dan prinsip-prinsip ruhiah yang kuat adalah ibarat membangun bangunan istana yang rapuh.16 Sehingga Pancasila merupakan sesuatu yang jelas

pokok dan sakral, tidak bisa diubah dalam kondisi apapun. Oleh sebab itu upaya mengganti sebuah dasar negara dengan dasar yang lain sama saja menghancurkan negara Indonesia.

Dari sisi sejarah, pembentukan Pancasila melalui perdebatan cukup menegangkan. Perumusan Pancasila mengalami beberapa ketegangan antara tokoh dari umat muslim dan non muslim dalam menetapkan sila pertama Piagam Jakarta (cikal bakal Pancasila), yakni “ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”. Akhirnya dengan usaha keras persuasi Soekarno terhadap perwakilan tokoh Islam di detik-detik awal kemerdekaan Indonesia, tujuh kata di belakang ketuhanan dihapus demi persatuan dan kesatuan mengingat Indonesia baru merdeka.17 Usaha ini juga jelas menggarisbawahi bahwa Indonesia bukan hanya terdiri dari

warga muslim—meskipun Islam adalah mayoritas—bahwa ada penganut agama-agama lain yang hidup di Indonesia. Mereka semua sebagai warga negara harus memiliki hak yang sama. Upaya untuk mengganti Pancasila dengan Khilafah misalnya, adalah upaya untuk mendiskreditkan pemeluk agama lain atau kelompok lain dalam negara baru yang dicita-citakan oleh kelompok tertentu.

Kembali lagi pada gagasan yang diangkat oleh Kleden tentang kontinuitas tradisi, dengan melakukan kritik terhadap tradisi yang sudah ada, kemudian melakukan reformasi tradisi agar lebih baru dan maju merupakan sebuah upaya positif dalam urun pembangunan. Konsep ini memiliki kesamaan dengan usul fiqih yang menjadi doktrin organisasi kegamaan Islam Nahdlatuh Ulama (NU), mukhafadhatu ala-alqadimisshalih wa-alakhdu bil jadidi al-aslah yang artinya memelihara yang lama yang baik dan mengadopsi yang baru dan baik.

16 Anas dkk, Pancasila dalam Diskursus: Sejarah, Jalan Tengah, dan Filosofi Bangsa, 2017, hlm. 39.

(6)

Konsep “menjaga yang baik” di sini bisa disamakan dengan tetap bertradisi dengan mengkritik tradisi yang tidak kontekstual tentunya bentuk atau kemasanya saja, dan “mengambil yang lebih baik” di sini bisa disamakan dengan melakukan upaya perubahan mencari dan menemukan inovasi baru agar tetap eksis dalam perubahan zaman.

Pemahaman seperti Kleden dan NU tentang kebudayaan di atas dapat menjadi semangat positif dalam melanjutkan tradisi yang sudah ada (Pancasila). Mestinya dengan melakukan kritik dan tafsir ulang untuk disesuaikan dengan permasalahan yang ada. Bentuk konkrit sikap ini, misalnya adalah melanjutkan pemikiran-pemikiran yang telah digagas, semisal Ekonomi Kerakyatan oleh Hatta, Dawam Raharjo, Mobyarto, dsb; Kebudayaan oleh STA, Kleden, Pram, Rendra, Ronggowarsito (Jawa) dsb; Pendidikan oleh Ki Hajar Dewantara, Dr Soetomo, dsb; Filsafat oleh Suryomentaram (Jawa) dsb; Islam oleh Hasyim Asyari, A. Dahlan, Mustofa Bisri, dsb; dan bidang-bidang sosial lainya di mana sesuai dengan konteks sosial budaya Indonesia itu sendiri. Oleh sebab itu, semangat Pancasila menjadi penting sebagai usaha warga negara dalam memajukan bangsa dan menolak gerakan radikalisme agama. Gerakan radikalisme dalam beberapa kasus juga ingin menyuarakan permasalahan sosial bangsa yang sudah sangat pelik. Lalu, mereka memberi solusi dengan ikut bergabung dalam gerakanya. Dan puncaknya adalah penerapan khilafah atau syariat Islam di dalam negara sebagai solusi atas tidak becusnya sistem demokrasi dan ideologi Pancasila. Namun, apakah sistem baru yang ditawarkan sudah teruji atau diterapkan dengan hasil sebuah kemakmuran bangsa? Tentunya, biaya “peperangan antar suku, agama, aliran” belum juga kegagalan yang diakibatkan, kepentingan global yang mendompleng dibaliknya, lebih baik dialihkan pada usaha kongkrit dalam mengembangkan tradisi yang sudah ada. Terakhir, sebagai negara yang sudah berusia 72 tahun, Indonesia haruslah sudah mandiri di segala bidang. Untuk itu, berusaha berdikari dengan Pancasila adalah suatu keharusan.

“Kita mesti berhenti membeli rumus-rumus asing. Diktat-diktat hanya boleh memberi metode, tetapi kita sendiri musti merumuskan keadaan” (Rendra, Sajak Sebatang Lisong).

Referensi: Buku.

Anas, dkk. 2017. Pancasila dalam Diskursus: Sejarah, Jalan Tengah, dan Filosofi Bangsa. Yogyakarta: Ifada Publishing.

Kleden, Ignas. 1987. Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan. Jakarta: LP3ES.

Ricklefs, M.C. 2013. Mengislamkan Jawa: Sejarah Islamisasi di Jawa dan Penentangnya dari 1930 sampai Sekarang. Jakarta: Serambi.

Endarmoko, Eko. 2006. Tesaurus Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

(7)

Ricklefs, MC. 2011. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Jurnal.

Abu Rokhmad, Radikalisme Islam dan Upaya Deradikalisasi Paham Radikal, Jurnal Walisongo Vol. 20, No.1, Mei 2012, versi Pdf

Damayanti, dkk. Radikalisme Agama sebagai Salah Satu Bentuk Perilaku Menyimpang: Studi Kasus Front Pembela Islam. Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 3, No. 1, Juni 2003. Pdf.

Internet.

http://nasional.kompas.com/read/2017/04/28/22095531/.kompas.tidak.pernah.menggelar.survei. soal.ideologi.mahasiswa diakses pada 04.03 WIB, 08,05,2017.

Referensi

Dokumen terkait

Meminta izin kepada Bapak/Ibu Dosen Pengajar bahwa pada hari Rabu, 9 Juni 2019, saya tidak dapat mengikuti jam perkuliahan dikarenakan saya sedang ada keperluan mengurus SIM

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan:(1)Torsi pengereman yang dihasilkan bahan bahan bakar LPG mengalami penurunan 9,9% untuk rata rata tiap putaran

PEMANFAATAN KITOSAN CANGKANG PUPA LALAT TENTARA HITAM Hermetia illucens) SEBAGAI BIOSORBEN LIMBAH CAIR PROSES.. ETCHING PRINT CIRCUIT BOARD

Kemungkinan penerapan teori mengenai permasalahan dominan pad a perpustakaan ini adalah penggunaan sirkulasi campuran dan fleksibilitas ruang berdasarkan

Industri tempe menempati peringkat pertama sebagai industri pengolahan kedelai skala rumah tangga yang memiliki potensi paling besar jika dibandingkan dengan

Analisis regresi berganda digunakan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh faktor yang digunakan dalam model penelitian yaitu variabel kesadaran membayar pajak (X1),

Akhirnya dengan segala kerendahan hati izinkanlah kami untuk menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah

Berdasarkan pada keahlian yang diharapkan, ditunjukkan bahwa mayoritas responden mengharapkan fokus pada mengelola teknologi informasi dan komunikasi pendidikan yakni