• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prespektif keadilan dalam pembagian hart

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Prespektif keadilan dalam pembagian hart"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Proses pewarisan sangat terkait erat dengan beragamnya tafsir tentang keadilan dalam pembagian harta peninggalan. Oleh karena itu, ketentuan tentang pembagian harta waris pun menjadi beragam. Sebagian berorientasi atau mengacu pada hukum agama (Islam), sebagian yang lain mengacu pada ketentuan yang berlaku dalam adat-istiadat dari masingmasing etnis atau suku (hukum adat), dan ada pula yang mengacu pada hukum peninggalan kolonial (Hukum Burgerlijk Wetboek atau yang dikenal dengan sebutan Hukum BW). Jika dilihat dari faktor subyek hukum yang berhak mewaris dan besaran bagian yang diterima oleh ahli waris, maka ketiga jenis hukum waris di atas juga memiliki ketentuan yang berbeda. Menurut ketentuan dalam hukum Islam, ahli waris laki-laki memperoleh bagian waris dua kali lipat lebih banyak daripada perempuan (2:1), sementara dalam hukum adat, besaran bagian waris laki-laki dan perempuan sangat tergantung pada adat yang berlaku di wilayah atau sukunya masing-masing; adakalanya ahli waris laki-laki mendapatkan bagian warisan lebih banyak daripada yang didapat perempuan, dan sebaliknya, adakalanya perempuan mendapatkan harta warisan lebih banyak daripada laki-laki. Menurut hukum waris BW, baik ahli waris laki-laki maupun perempuan memiliki hak dan bagian yang sama. Oleh karena itu, masyarakat di Indonesia dapat memilih aturan hukum yang dikehendaki ketika hendak melakukan pembagian harta warisan.

(2)

dapat diwariskan ketika si pewaris telah meninggal dunia. Sebaliknya, hukum adat menganut sistem keturunan, sehingga dalam hukum ini, waris dapat dilakukan selagi pewaris masih hidup.

Dalam kehidupan sosial, pelaksanaan hukum waris pada dasarnya adalah untuk menjamin ketertiban dan keadilan perpindahan harta kekayaan dalam kehidupan masyarakat yang saling mewarisi antara sesama keluarga. Oleh karena itu, ketiga hukum waris yang berlaku di Indonesia tersebut telah menjamin rasa ketertiban dan keadilan dari masing-masing pihak yang menganutnya. Namun demikian, akan menjadi suatu problem yang rumit apabila suatu aturan hukum waris dipertentangkan atau dinilai dari sudut pandang aturan hukum waris yang lain dan hal ini sering terjadi di kalangan masyarakat. Oleh karena itu, penting untuk melakukan unifikasi sistem hukum waris di Indonesia.

Berangkat dari persoalan tersebut, tulisan ini berusaha mengkaji lebih lanjut dan membandingkan tentang konsep keadilan yang terkandung dalam hukum waris Islam dengan hukum waris adat.

B. Perumusan Masalah

Dari sedikit ulasan diatas dapat ditarik point pertanyaan yakni, Bagaimana prespektif keadilan dalam pembagian harta menurut hukum Islam dan hukum adat ?

C. Tujuan Penulisan

(3)

BAB II PEMBAHASAN

A. Azas dan Sistem Hukum Waris

Secara mendasar ada 3 unsur pokok dalam konsep hukum kewarisan yaitu: Adanya harta peninggalan atau kekayaan pewaris yang disebut warisan, adanya pewaris yaitu orang yang menguasai atau memiliki harta warisan, adanya ahli waris yaitu orang yang menerima pengalihan atau penerusan atau pembagian harta warisan.

Menurut undang-undang, ada 2 cara mendapatkan warisan, yaitu pertama sebagai ahli waris mennerut ketentuan undang-undang atau kedua karena ditunjuk dalam surat wasiat testament.(1)

Hukum kewarisan merupakan salah satu bagian dari hukum perorangan dan kekeluargaan, yang umumnya berpokok pangkal pada sistem menarik garis keturunan, yaitu matrilineal, patrilineal, dan bilateral atau parental.(2)

Dalam sistem matrilineal, hukum waris berpangkal pada pertalian keturunan menurut garis perempuan, sebagai contoh adalah masyarakat Minangkabau, Enggano, Timor, Kerinci (Jambi), Semendo (Sumatera Selatan). Menurut sistem patrilineal, hukum waris berpangkal pada pertalian keturunan menurut garis laki-laki, sebagai contoh adalah masyarakat Batak, Gayo, Nias, Lampung, Buru, Seram, Bali, Ambon. Sedangkan pada sistem Bilateral atau Parental, hukum waris berpangkal pada pertalian keturunan menurut garis ibu dan bapak, sebagai contoh adalah masyarakat Melayu, Bugis, Jawa, Kalimantan (Dayak).

Disamping itu, bila dilihat dari sistem pewarisanya, ada pula yang dapat dikelompokkan menjadi:

1. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Intemasa, 1985), hlm. 95.

2. H.M. Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam Dengan Kewarisan Kitab

(4)

1. Sistem Pewarisan Individual. Misalnya: Pada susunan kekeluargaan bilateral (Jawa), patrilineal (Batak).

2. Sistem Pewarisan Kolektif. Misalnya: Harta pusaka tinggi di Minangkabau, Tanah Dati di Ambon.

3. Sistem Pewarisan Mayorat. Misalnya: di Bali, Lampung, dan lain-lain.

Dalam hukum waris berlaku azas bahwa hanyalah hak-hak dan kewajiban dalam lapangan hukum kekayaan harta benda saja yang dapat diwariskan. Dengan kata lain hanyalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang dapat dinilai dengan uang. Oleh karena itu, hak-hak dan kewajiban dalam lapangan hukum kekeluargaan atau pada umumnya hak-hak dan kewajiban-kewajiban kepribadian, misalnya hak-hak dan kewajiban-kewajiban-kewajiban-kewajiban sebagai seorang ayah tidak dapat diwariskan, begitu pula hak-hak dan kewajiban-kewajiban seseorang sebagai anggota suatu perkumpulan.(3)

B. Hukum Kewarisan Adat

Hukum adat adalah sistem hukum yang dikenal dalam lingkungan kehidupan sosial di Indonesia dan negara-negara Asia lainya seperti Jepang, India dan Cina. Sumbernya adalah peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Karena peraturan-peraturan ini tidak tertulis dan tumbuh kembang, maka hukum adat memiliki kemampuan menyesuaikan diri dengan perkembangan yang terjadi di masyarakat lebih cepat dibandingkan dengan Hukum Positif. Sehingga ada yang mengatakan bahwa Hukum Adat lebih elastis dari pada Hukum Positif.

Istilah Hukum Adat di Indonesia pertama kali diperkenalkan oleh C. Snouck Hurgronje, kemudian pada tahun 1893, C. Snouck Hurgronje dalam bukunya yang berjudul “De Atjehers”. Beliau menyebutkan istilah hukum adat sebagai “adat reacht” untuk memberi nama pada satu sistem pengendalian sosial (social control) yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Apa yang telah

(5)

dirintis oleh C. Snouck Hurgronje dilanjutkan oleh Cornelis van Vollenhoven yang kemudian dikenal sebagai pakar Hukum Adat Hindia Belanda.

Menurut Cornelis van Vollenhoven untuk daerah di Nusantara, hukum adat bisa dibagi menjadi 23 lingkungan adat sebagai berikut: (1) Aceh, (2) Gayo dan Batak, (3) Nias dan sekitarnya, (4) Minangkabau, (5) Mentawai, (6) Sumatra Selatan, (7) Enggano, (8) Melayu, (9) Bangka dan Belitung, (10) Kalimantan (Dayak), (11) Sangihe Talaud, (12) Gorontalo, (13) Toraja, (14) Sulawesi Selatan (Bugis/Makassar), (15) Maluku Utara, (16) Maluku Ambon, (17) Maluku Tenggara, (18) Papua, (19) Nusa Tenggara dan Timor, (20) Bali dan Lombok, (21) Jawa dan Madura, (22) Jawa Mataraman, (23) Jawa Barat (Sunda).

Ada beberapa faktor yang menyebabkan Hukum Adat berbeda-beda di tiap daerah yaitu:

a) Agama: Hindu, Budha, Islam, Kristen dan sebagainya. Misalnya: di Pulau Jawa dan Bali dipengaruhi agama Hindu, di Aceh dipengaruhi Agama Islam, di Ambon dan Maluku dipengaruhi agama Kristen.

b) Kerajaan seperti antara lain: Sriwijaya, Airlangga, Majapahit. c) Masuknya bangsa-bangsa Arab,china, Eropa.(4)

Disamping itu, Sistem Hukum Kewarisan Adat yang beraneka ragam terjadi pula karena dipengaruhi juga oleh bentuk etnis diberbagai daerah lingkungan Hukum Adat. Misalnya, sistem matrilineal di Minangkabau, patrilineal di Batak, bilateral di Jawa, alterneren unilateral (sistem unilateral yang beralih-alih) seperti di Rejang Lebong atau Lampung Papadon, yang diperlukan kepada orang-orang Indonesia yang masih erat hubunganya dengan masyarakat hukum adat yang bersangkutan.

C. Hukum Kewarisan Islam

Hukum Kewarisan Islam juga dipengaruhi oleh adanya pluralisme ajaran, seperti ajaran Kewarisan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, ajaran syi’ah.

(6)

ajaran Hazairin. Yang paling dominan dianut adalah ajaran Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Mazhab Syafi’i, Hanafi, Maliki, Hambali). Akan tetapi, yang paling dominan penganutnya di Indonesia diantara empat mazhab tersebut adalah mazhab Syafi’i disamping ajaran Hazairin yang mulai berpengaruh di Indonesia sejak tahun 1950, sebagai bentuk ijtihad untuk menguraikan hukum kewarisan dalam Al-Qur’an secara bilateral.(5)

Hukum kewarisan ini berlaku bagi orang-orang Indonesia yang beragama Islam berdasarkan Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 dan Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Sistem Tata Hukum Warisan yang diperlakukan kepada golongan rakyat yang beragama Islam, yaitu adalah Hukum Waris Islam.

D. Perbedaan Pembagian Harta Waris Menurut Hukum Islam dan Hukum Adat Dilihat Dari Konsep Keadilanya

A. Konsep-konsep Keadilan

Keadilan adalah kondisi kebenaran ideal secara moral mengenai sesuatu hal, baik menyangkut benda atau orang. Banyaknya jumlah dan variasi teori-teori tentang keadilan memberikan pemikiran bahwa tidak jelas apa yang dituntut dari keadilan dan realita ketidakadilan, karena definisi apakah keadilan itu sendiri tidak jelas. Keadilan intinya adalah meletakkan segala sesuatu pada tempatnya.(6)

Mengingat sulitnya merumuskan tentang apa itu keadilan karena beragamnya nilai-nilai yang mendasarinya, maka paling tidak ada 2 kriteria sentral ketika kita berwacana tentang keadilan secara universal, yaitu: Nilai persamaan dan nilai perbedaan. Artinya, ada yang berpendapat bila sesuatu itu disebut adil maka setiap orang haruslah mendapatkan bagian yang sama, tetapi adapula yang mengatakan bahwa adil itu haruslah berbeda antara satu orang dengan orang lain karena didasarkan pada kontribusinya.

5. H.M. Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam Dengan Kewarisan Kitab

(7)

Kedua nilai tersebut dapat kita telusuri dari pandangan Aris Toteles mengenai teori-teori keadilan yang dikemukakanya, yaitu: Teori Keadilan Distributif dan Teori Keadilan Komutatif.

Keadilan Distributif adalah keadilan yang diperoleh seseorang berdasarkan jasa-jasanya sehingga wajar saja apabila muncul perbedaan antara satu orang dengan orang lainya. Bila jasa orang tersebut besar, maka ia akan memperoleh bagian yang banyak, tetapi bila jasanya kecil maka ia berhak atas bagian yang sedikit dan manakala jasanya tidak ada maka orang tersebut tidak berhak mendapatkan sesuatu.

Berbeda dengan Keadilan Distributif, Keadilan Komutatif menyatakan bahwa adil itu apabila semua orang akan mendapat bagian yang sama tanpa melihat jasa-jasanya. Karena itu, teori keadilan ini lebih mengedepankan persamaan, sedangkan Keadilan Distributif lebih mengedepankan perbedaan. Itulah sebabnya, Teori Keadilan Distributif mendasari konsep individual justice

sedangkan Teori Keadilan Komutatif mendasari konsep social justice.

Karena salah satu tujuan dari hukum (termasuk hukum waris) adalah mewujudkan keadilan selain kepastian hukum dan kemanfaatan, maka teori-teori keadilan tersebut juga berpengaruh terhadap konsep keadilan yang mendasari pembagian harta warisan, baik menurut Hukum Islam dan Hukum Adat.

B. Pengertian Hukum Kewarisan Islam dan Adat di Indonesia

Seperti uraian diatas, hukum waris di Indonesia masih beraneka warna coraknya, dimana tiap-tiap golongan penduduk tunduk pada hukumnya masing-masing. Misalnya, golongan masyarakat yang beragama Islam diberlakukan Hukum Waris Islam. Untuk golongan masyarakat non muslim, mereka tunduk kepada hukum adatnya masing-masing dan disatu sisi dipengaruhi oleh unsur-unsur agama dan kepercayaan.

(8)

pegangan yang berlaku untuk seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun demikian semua pihak sependapat jika berbicara mengenai hukum waris, ada 3 unsur pokok yang menjadi pusat perhatian: (1) Adanya harta peninggalan (warisan), (2) Adanya pewaris, (3) Adanya ahli waris.

Menurut hukum kewarisan Islam (faraidh), pengertian hukum waris menurut bahasa adalah taqdir (kadar/ketentuan), sedangkan menurut syara’ adalah bagian-bagian yang ditentukan bagi waris. Dengan demikian faraidh adalah khusus mengenai bagian ahli waris yang telah ditentukan besar kecilnya oleh syara’.(7)

Kemudian ditinjau dari Hukum Adat, pengertian hukum waris adalah: “Aturan-aturan yang mengenai cara bagaimana dari abad ke abad penerusan dan peralihan dari harta kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari generasi pada generasi”.(8)

C. Deskripsi Hukum Waris Islam

Agama Islam datang dengan aturan-aturan yang adil, tidak membedakan antara ahli waris laki-laki dan perempuan, kecil ataupun besar semua mendapat bagian. Untuk itu Allah menurunkan Al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 7 yang artinya: “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan Ibu Bapa dan kerabatnya , dan bagi orang wanita ada hak bagian pula dari harta peninggalan Ibu Bapa dan kerabatnya, baik sedikit ataupun banyak menurut bagian yang telah ditetapkan”.

Berapa bagian harta peninggalan sipewaris yang akan dinikmati oleh para ahli waris baik anak laki maupun anak perempuan ditetapkan oleh Allah SWT di dalam Al-qur’an Surat An-Nisa’ ayat 11-12 yang artinya: “Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka) untuk anak anakmu, yaitu bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan, dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua

7. Abdul Ghani Abdillah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum

Indonesia, (Jakarta: Gema Insani Press, 1994), hlm. 4.

8. Hilman Hadi Kusuma, Hukum Waris Adat, (Bandung: PT. Citra Aditnya Bakti, 1993),

(9)
(10)

Selanjutnya menurut ketentuan Pasal 171 huruf A Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyatakan: “Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak milik harta peninggalan pewaris, menentukan siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagianya masing-masing”.

Kemudian Pasal 176 Bab III KHI menjelaskan tentang: “Anak perempuan bila hanya seorang ia mendapat separoh (1/2) bagian, bila dua orang atau lebih mereka bersama-sama mendapat dua pertiga (2/3) bagian, dan apabila anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki, maka bagian anak laki-laki adalah dua berbanding satu (2:1) dengan anak perempuan. Dan Pasal 183 KHI menyatakan: “Para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelah masing-masing menyadari bagiannya”.

Dari uraian diatas, nampak bahwa antara apa yang telah ditetapkan didalam ayat Al-Qur’an dengan yang terdapat dalam KHI khususnya mengenai besarnya bagian antara anak laki-laki dengan anak perempuan dalam pembagian harta warisan yang ditinggalkan oleh si pewaris adalah sama yakni 2 berbanding 1.

Uraian diatas memperjelas bahwa Hukum Kewarisan Islam menganut prinsip kewarisan individual bilateral, bukan kolektif maupun mayorat. Artinya, Hukum Islam tidak membatasi pewaris itu dari pihak bapak ataupun pihak ibu saja dan para ahli warispun demikian tidak pula terbatas pada pihak laki-laki ataupun pihak perempuan saja.

D. Deskripsi Hukum Waris Adat

Menurut Ter Haar, 1950, “Hukum Waris Adat sesungguhnya adalah hukum penerusan harta kekayaan dari suatu generasi kepada keturunanya, yang pada intinya adalah aturan-aturan hukum yang mengenai cara bagaimana dari abad ke abad penerusan dan peralihan dari harta kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari generasi pada generasi”.(9) Dengan

9. Ter Haar, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat , terjemahan R. Surbakti Presponoto,

(11)

demikian, hukum waris itu memuat ketentuan-ketentuan yang mengatur cara penerusan dan peralihan harta kekayaan dari pewaris kepada para ahli warisnya. Cara penerusan dan peralihan harta tersebut dapat berlaku sejak pewaris masih hidup atau setelah pewaris meninggal dunia. Bentuk peralihannya dapat dengan cara penunjukkan, penyerahan kekuasaan, atau penyerahan pemilikan atas bendanya oleh pewaris kepada ahli warisnya.

Dalam hukum adat untuk terjadinya pewarisan haruslah memenuhi 4 unsur pokok, yaitu : (1) Adanya Pewaris, (2) Adanya Harta Waris, (3) Adanya ahli Waris, dan (4) Penerusan dan Pengoperan harta waris.

Adapun sifat Hukum Waris Adat secara global dapat diperbandingkan dengan sifat atau prinsip hukum waris yang berlaku di Indonesia, di antaranya adalah :

1. Harta warisan dalam sistem Hukum Adat tidak merupakan kesatuan yang dapat dinilai harganya, tetapi merupakan kesatuan yang tidak dapat terbagi atau dapat terbagi tetapi menurut jenis macamnya dan kepentingan para ahli waris; sedangkan menurut sistem hukum barat dan hukum Islam harta warisan dihitung sebagai kesatuan yang dapat dinilai dengan uang.

2. Dalam Hukum Waris Adat tidak mengenal asas legitieme portie atau bagian mutlak, sebagaimana diatur dalam hukum waris barat dan hukum waris Islam.

3. Hukum Waris Adat tidak mengenal adanya hak bagi ahli waris untuk sewaktu-waktu menuntut agar harta warisan segera dibagikan.

(12)

anggota waris berkumpul. Kalau harta warisan akan dibagi, maka yang menjadi juru bagi dapat ditentukan antara lain :

(1) Orang lain yang masih hidup ( janda atau duda dari pewaris ) atau (2) Anak laki-laki tertua atau perempuan

(3) Anggota keluarga tertua yang dipandang jujur, adil dan bijaksana

(4) Anggota kerabat tetangga, pemuka masyarakat adat atau pemuka agama yang minta, ditunjuk dan dipilih oleh para ahli waris.

Dalam masyarakat terutama masyarakat pedesaan sistem keturunan dan kekerabatan adat masih tetap dipertahankan dengan kuat. Hazairin mengatakan bahwa: “…hukum waris adat mempunyai corak tersendiri dari alam pikiran masyarakat yang tradisional dengan bentuk kekerabatan yang sistem keturunannya patrilineal, matrilineal, parental atau bilateral”.(10)

Menurut ketentuan Hukum Adat secara garis besar dapat dikataakan bahwa sistem hukum waris adat terdiri dari tiga sistem, antara lain :

1. Sistem Keturunan

Dilihat dari segi garis keturuan maka perbedaan lingkungan hukum adat itu dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu :

a. Sistem Patrilineal (kelompok garis ayah) Sistem keturunan yang ditarik menurut garis bapak, contohnya: Gayo, Alas, Batak, Nias, Lampung, Seram, Nusa Tenggara.

b. Sistem Matrilineal (kelompok garis ibu) Sistem keturunan yang ditarik menurut garis ibu, dimana kedudukan wanita lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan pria dalam pewarisan. Contohnya, Minangkabau dan Enggano.

c. Sistem Parental atau bilateral (kelompok garis ibu dan bapak) Sistem yang ditarik menurut garis orang tua (ibu dan bapak) dimana kedudukan

(13)

pria dan wanita tidak dibedakan dalam pewarisan. Contohnya: Jawa, Sunda, Madura, dan Melayu.(11)

2. Sistem kolektif

Menurut sistem ini ahli waris menerima penerusan dan pengalihan harta warisan sebagai satu kesatuan yang tidak terbaik dan tiap ahli waris hanya mempunyai hak untuk menggunakan atau mendapat hasil dari harta tersebut. Contohnya seperti di Minangkabau, Ambon, dan Minahasa.

3. Sistem Mayorat Menurut sistem ini harta warisan dialihkan sebagai satu kesatuan yang tidak terbagi dengan hak penguasaan yang dilimpahkan kepada anak tertentu saja, misalnya anak laki-laki tertua (contohnya di Bali, Lampung, Teluk Yos Sudarso), atau perempuan tertua (di Sumendo, Sumatera Selatan), anak laki-laki termuda (di masyarakat Batak) atau perempuan termuda atau anak laki-laki saja.

4. Sistem individual

Menurut sistem ini, maka setiap ahli waris mendapatkan atau memiliki harta warisan menurut bagiannya masing-masing. Pada umumnya, sistem ini dijalankan di masyarakat yang menganut sistem parental.

E. Perbandingan Hukum Waris Islam dan Hukum Waris Adat

Untuk membandingkan antara hukum waris adat dengan hukum kewarisan Islam, berikut ini dapat dilihat beberapa perbedaan antara lain:

1. Harta warisan adat tidak boleh dijual sebagai kesatuan dan uang penjualan itu lalu dibagi-bagikan kepada ahli waris menurut ketentuan yang berlaku.

2. Hukum waris Islam telah menetapkan hak-hak dan bagian para ahli waris atas harta peninggalan pewaris sebagaimana yang telah ditentukan Al-Qur’an Surah An-Nisa’.

3. Hukum waris adat tidak mengenal adanya hak bagi ahli waris untuk sewaktu-waktu menuntut agar harta warisan dibagikan kepada ahli waris.

(14)

Jika ahli waris mempunyai kebutuhan atau kepentingan, sedangkan ia berhak mendapat warisan, maka ia dapat saja mengajukan permintaan untuk dapat cara bermusyawarah dan mufakat para ahli waris lainnya.

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Dengan karakteristik masyarakat yang majemuk dan pluraristik sangatlah sulit ditentukan untuk meninjau konsep-konsep keadilan sistem pewarisan manakah dari kedua sistem kewarisan tersebut yang dianggap sesuai dengan rasa keadilan masyarakat karena masing-masing golongan masyarakat memiliki acuan yang berbeda tentang keadilan, ada yang mengacu ke Hukum Islam dan Hukum Adat.

2. Konsep keadilan dalam hukum adat lebih sulit ditentukan karena sebagai misal untuk adat Minangkabau, anak perempuan yang diutamakan sedang dalam hukum adat bata, hak waris anak laki-laki memang lebih besar dibandingkan anak perempuan. Hanya saja ketentuan seberapa besar bagian dari masing-masing (anak laki-laki dan perempuan) tidak disebutkan secara jelas.

Referensi

Dokumen terkait

Guru TIK mempunyai dua tugas penting pada peserta didik, yaitu membantu peserta didik dalam pemanfaatan TIK dalam pembelajaran dan penyaluran bakat minat. Pemanfaatan

Subsistem pertama ada- lah iklim yang mencakup berbagai faktor cuaca yang mempengaruhi kehidupan vektor meliputi curah hujan, suhu, kelembaban, dan CO2 yang berperan memberi

〔最高裁民訴事例研究一〇七〕株式会社に対しその整理開始前に負

Perlakuan jerami dengan NaOH 2% dengan waktu pendiaman 1 jam menunjukkan aktivitas penjerapan Cd yang paling tinggi, tetapi dengan peningkatan konsentrasi jerami dari 1% ke

Tugas Akhir ini disusun sebagai syarat untuk memenuhi salah satu persyaratan mencapai derajad ahli madya keuangan perbankan yang diajukan pada Program Studi D-III

Untuk bembuat daftar isi secara otomatis kita akan memanggil file file page number beserta judul dalam halaman tersebut untuk mengatur semua pokok bahasan yan

Analisis cluster dengan tingkat kemiripan 80 % yang melibatkan ke empat komponen utama dari peubah kuantitatif (tinggi tanaman, jumlah gabah isi per malai, jumlah total gabah per