• Tidak ada hasil yang ditemukan

Budaya Bunuh Diri Di Jepang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Budaya Bunuh Diri Di Jepang"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

FENOMENA BUNUH DIRI DI JEPANG

2.1 Pandangan Hidup dan Mati Bagi Masyarakat Jepang A. Pandangan Hidup Bagi Masyarakat Jepang

(2)

Ruth Benedict (1989:223) juga menambahkan bahwa rasa malu adalah suatu reaksi terhadap kritk orang lain. Dalam kasus manapun, malu merupakan sanksi yang berat. Namun malu mengharuskan adanya kehadiran orang lain dan penilaian dari orang lain. Bagi masyarakat Jepang rasa malu tertinggi adalah ketidakmampuan seseorang membalas jasa baik orang lain yang telah diterima. Bagi seorang Jepang jasa baik orang lain merupakan hutang yang harus wajib dibayar. Ketidakmampuan seseorang membalas jasa baik orang lain merupakan pandangan negative yang akan diterima dari lingkungan masyarakatnya. Banyak ekspresi yang dilakukan seorang Jepang dalam mengungkapkan rasa ketidakmampuan tersebut salah satunya adalah melakukan tindakan bunuh diri. Ruth Benedict juga menambahkan bahwa konsep dosa tidak dikenal di dalam masyarakat Jepang. Berbeda dengan masyarakat Amerika, bahwa melanggar akan 10 firman Tuhan merupakan dosa akan mendapat hukuman suatu hari nanti.

Dalam Nagano (2009:87) menguraikan bahwa budi yang harus dibalas tersebut adalah On. On merupakan kewajiban-kewajiban yang ditimbulkan secara pasif artinya adalah kewajiban yang harus dipenuhi sipenerima yang pasif. On diuraikan sebagai berikut :

Kou on(厚恩 ) : on yang diterima dari Tenno atau dari Negara

Oya on(親恩) : on yang diterima dari orang tua.

(3)

Shi no on(市の恩 ) : on yang diterima dari guru.

Kemudian kewajiban membalaskan budi baik yang diterima (on) disebut gimu. Gimu diuraikan sebagai berikut :

Chu(忠) : kewajiban balas budi terhadap kaisar dan Negara

Ko(考) :kewajiban balas budi terhadap orang tua dan leluhur.

Ninmu(任務) : kewajiban bertanggung jawab terhadap pekerjaan.

Dari pemikiran budaya tersebut orang Jepang memiliki dua sifat yang kontradiksi atau yang berlainan. Menurut Ruth Benendict, orang Jepang adalah orang yang sangat sopan sekaligus orang yang sangat kasar, orang yang sangat pemberani tetapi sekalian orang yang sangat penakut. Bagi masyarakat Jepang juga sangat penting untuk menjaga nama baik. Semakin tinggi kedudukan seseorang maka semakin perlu seseorang menjaga nama baik dan akan berusaha untuk membersihkan nama baik yang tercela.

(4)

diri dan menghargai orang lain tidak hanya dalam keseharian keluarga, tetapi juga dalam berinteraksi dengan masyarakat. Dan rasa malu merupakan tolak ukur dalam menentukan kualitas seseorang. Mereka yang tidak memiliki rasa malu dianggap memiliki kualitas minimal atau kualitas yang tidak layak di dalam masyarakat.

Bagi masyarakat Jepang, peran lebih dipentingkan daripada status, meskipun status tetap memiliki nilai tersendiri. Setiap individu di Jepang selalu dituntut untuk bertingkahlaku sesuai dengan perannya. Hal ini mengakibatkan orang Jepang menjadi sangat peka terhadap penilaian masyarakatnya. Mereka selalu bertindak sesuai dengan peran yang dituntut oleh masyarakatnya. Seseorang yang tidak menjalankan peranannya sesuai dengan tuntutan masyarakat, akan dikritik bahkan ditolak oleh masyarakatnya. Kritikan dan penolakan oleh masyarakat seperti ini akan menimbulkan gejala malu dalam dirinya, karena telah gagal dalam menjalankan peranannya sebagaimana yang dituntut oleh masyarakatnya (Situmorang, 2013:80).

(5)

sesuai perannnya dalam menjalankannya dengan ideal sebagaimana seperti yang diharapkan oleh masyarakat di sekitarnya.

B. Pandangan Mati Bagi Masyarakat Jepang

Makna mati dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti sudah hilang nyawa; tidak hidup lagi. Mati berarti berpisahnya roh dengan raga. Di Jepang dimana budaya bunuh diri / jisatsu (自 殺) sudah menjadi fenomena sosial di dalam

masyarakat. Orang Jepang tidak takut mati sehingga berani untuk melakukan tindakan bunuh diri / jisatsu (自殺) hal ini dapat dimengerti dengan melihat makna

(6)

Maksudnya adalah Negara tidak mencantumkan agama dalam tanda pengenal penduduk atau surat resmi lainnya bahkan dalam dunia pendidikanpun agama tidak dicantumkan dalam kurikulum pembelajaran. Agama bagi orang Jepang adalah sebagai kebudayan orang Jepang.

Orang Jepang tidak mempercayai adanya Tuhan, melainkan kepada dewa-dewa. Orang Jepang juga memiliki kepercayaan terhadap dewa-dewa yang menghuni alam ini dan leluhur akan menjadi kamisama serta mengunjungi kuil-kuil untuk memohon keselamatan, kesehatan, dan lain sebagainya. Oleh karena itu fungsi agama bagi orang Jepang berbeda maka makna kematian bagi orang Jepangpun berbeda. Makna kematian bagi orang Jepang dilihat berdasarkan 2 agama terbesar di Jepang yaitu Shinto (神道) dan Buddha .

a. Makna Mati Menurut Agama Shinto (神道)

Shintou (神 道) memiliki arti “jalan dewa” dan merupakan hasil perkembangan dari kepercayaan kuno masyarakat Jepang yang memuja alam semesta, karena itu Shinto (神道) disebut sebagai agama asli di Jepang. Kami(紙)

adalah jiwa atau roh yang disucikan, dihormati, dan dimuliakan. Bahkan orang yang sudah meninggal juga disebut Kami (紙). Mereka dihormati karena menurut

kepercayaan orang Jepang bahwa orang yang sudah meninggal akan menjadi roh dan pada saat-saat tertentu akan kembali ke dunia bersama dengan Kami (紙) untuk

(7)

akan memberkati orang hidup. Dengan adanya keyakinan bahwa Kami (紙) dan roh

orang yang telah meninggal akan melindungi dan memberkati kehidupan orang yang masih hidup atau keturunan dari roh orang meninggal tersebut selama keturunan mereka tersebut secara terus menerus melakukan ritual penyembahan terhadap roh orang meninggal tersebut.

Dari uraian tersebut dapat dikatakan bahwa agama Shintou (神道) semua

hal yang ada di dunia ini memiliki Kami (紙)-nya dan leluhur serta keluarga yang

telah meninggal, bagaimanapun cara ia meninggal akan menjadi roh dan bersama-sama dengan Kami (紙) akan melanjutkan kehidupannya dan akan kembali ke dunia

untuk menerima pemujaan dan memberikan perlindungan dan pemberkatan kepada keturunan dari roh orang yang telah meninggal. Karena kematian bukanlah sekedar hal berhenti hidup dan terpisahnya jiwa dari raga, tetapi kematian merupakan perubahan wujud dan hubungan antar orang yang hidup dan mati terus berlanjut. Dengan adanya pemahaman yang demikian maka orang Jepang tidak takut mati dan tidak takut melakukan jisatsu (自殺)karena roh mereka yang telah mati akan tetap

bersama keluarga yang masih hidup dan memberikan pemberkatan agar keluarga yang masih hidup sejahtera.

b. Makna Mati Menurut Agama Buddha

(8)

diinterpretasikan dengan cara pola piker masyarakat Jepang. Tidak berbeda dengan agama Shintou (神道), agama Buddha juga memiliki keyakinan bahwa yang telah

mati akan tetap dapat berhubungan dengan yang masih hidup. Dalam ajaran agama Buddha, orang yang telah mati tidak berarti hilang. Kematian tidak diartikan sebagai putusnya hubungan antara yang hidup dengan yang mati. Kematian dalam ajaran agama ini hanya dianggap sebagai perpindahan tempat saja. Arwah orang mati tidak akan jauh pergi dari dunianya dan akan dapat melakukan komunikasi dengan orang-orang yang masih hidup. Komunikasi antara roh yang telah meninggal dengan orang-orang yang masih hidup tersebut dimaksudkan ialah komunikasi yang dilakukan pada saat tertentu seperti dalam upacara pemujaan arwah orang meninggal. Dalam agama Buddha juga mempercayai adanya reinkarnasi atau kembalinya roh orang mati.

Dengan adanya penjelasan akan makna kematian dari agama Shintou (

) dan agama Buddha dapat disimpulkan bahwa orang Jepang tidak takut akan kematian. Kematian bagi orang Jepang bukanlah menghilangnya seseorang dari kehidupan ini melainkan suatu fase hidup merubah wujud dan memindahkan tempat lalu kemudian melanjutkan hidup dengan tetap dapat berhubungan dengan orang yang masi hidup. Oleh karena itu, kegiatan atau tindakan jisatsu (自 殺) bagi

masyarakat Jepang yang melakukannya bukanlah dianggap sebagai sebuah dosa yang menakutkan akan tetapi jisatsu (自殺) dapat mudah dilakukan karena masyarakat

(9)

2.2 Sejarah Bunuh Diri Di Jepang

Bunuh diri merupakan salah satu cara mengakhiri hidup yang dilakukan manusia untuk lepas dari masalah yang dihadapinya. Menurut Hidayat dalam Kiblat (1996:43-45), “Individu yang melakukan tindakan bunuh diri berarti kehilangan jiwa dan pikiran.” Hal ini berarti individu yang melakukan tindakan bunuh diri tersebut tidak dapat berfikir secara wajar dan dengan akal sehat, sehingga mengambil jalan pintas untuk mengakhiri hidupnya agar lepas dari permasalahan yang dihadapinya.

Seorang sosiologi Perancis yang mula-mula melakukan studi sosial mengenai bunuh diri, Emile Durkheim dalam buku “Realitas Sosial” karangan K.J. Veeger (1985 : 150 – 157) , berpendapat bahwa bunuh diri merupakan salah satu gejala sosial. Perbuatan bunuh diri ada kaitannya dengan 3 faktor, yaitu : posisi psikologi tertentu, factor keturunan, dan kecenderungan manusia meniru orang lain. Dalam buku ini dijelaskan juga ada 3 tipe bunuh diri yaitu : bunuh diri egoistic, bunuh diri altruistis, dan bunuh diri anomis. Di bawah ini akan dijelaskan secara singkat mengenai bunuh diri tersebut :

1. Bunuh Diri Egoistik

Bunuh diri ini bersifat egois. Egoism berarti sikap seseorang tidak berintegrasi dengan kelompoknya, seperti kepada keluarga, kelompok rekan-rekan, kumpulan agama dan sebagainya. Hidupnya tidak terbuka kepada orang lain. Dia hanya memikirkan dirinya sendiri dan kepentingannya sendiri tanpa memikirkan orang lain.

(10)

Bunuh diri bersifat alturistis merupakan kebalikan dari bunuh diri egoistik. Bunuh diri alturistis ini lebih kepada seseorang sangat menyatu kepada suatu golongan. Sangat berpegang teguh kepada kelompoknya, dengan mengikuti segenap nilai-nilai kelompoknya, berintegrasi kepada kelompoknya, hingga di luar itu ia tidak memiliki identitas diri sendiri. Tanpa kelompok seseorang yang melakukan tindakan bunuh diri alturistik ini tidak dapat melanjutkan kehidupan.

Seseorang mengintegritaskan seluruh hidupnya demi kelompoknya, memandang bahwa hidup di luar grup atau ada pertentangan dengan grup merupakan suatu hal yang tidak berharga. Maka jikalau etika grup menuntut agar merelakan nyawa demi keyakinan dan kepentingan kelompok, seseorang tersebut cenderung melakukan dan menyesuaikan diri dengan tuntutan tersebut.

3. Bunuh Diri Anomis

Anomi adalah tanpa norma. Bunuh diri anomis ini menyangkut dengan keadaan moral seseorang. Dimana keadaannya adalah orang tersebut kehilangan cita-cita, tujuan, dan norma-norma dalam hidupnya.

(11)

Berbeda dengan bunuh diri yang dilakukan di Jepang. Di Jepang bunuh diri lebih dikenal dengan jisatsu (自殺). Kata jisatsu (自殺) terdiri dari dua kata

yaitu ”ji” berasal dari kata jibun (自分) yang berarti diri sendiri, dan “satsu (殺) yang

merupakan on-yomi dari kata korosu (殺 す) yang berarti membunuh. Maka dapat

diartikan secara sederhana jisatsu (自 殺) adalah kegiatan yang dilakukan secara

sengaja untuk membunuh dirinya sendiri.

Fenomena jisatsu (自殺) di Jepang sudah ada pada masa Perang Dunia

Kedua. Pada masa sebelum Perang Dunia Kedua jisatsu (自殺) dilakukan oleh kaum

samurai (侍) dan para kaum bangsawan, pada masa dimana tampuk kekuasaan dipegang oleh kaum militer atau kaum bushi ( 武士 ), sistem pemerintahan

pemerintahan pada masa itu disebut dengan bakufu (幕府). Pada zaman ini jisatsu (

) dilakukan dengan satu cara yaitu seppuku (切 腹). Seppuku(切 腹) ini sudah menjadi salah satu kebudayaan Jepang yang terkenal hingga sampai saat ini. Seppuku (切 腹) berarti memiliki arti memotong perut. Alasan mengapa sebutannya diberi

tekanan “memotong perut”, hal ini ada kaitan kepercayaan lama bahwa di dalam perut itulah bersemayam “jiwa”, memotong perut itu dimaksudkan untuk “menenangkan jiwa yang telah melayang”. Menurut Schwan (2003), seppuku (切腹)

(12)

mengerikan, bahwa lebih baik mati dengan terhormat daripada hidup dengan menanggung malu.

Istilah seppuku (切腹) biasanya diperuntukkan untuk kalangan samurai.

Pada dasarnya tindakan seppuku ialah karena adanya semangat kesatriaan yakni bushido dalam masyarakat Jepang. Bushido bermakna sebagai jalan hidup Samurai, artinya jalan yang harus dipatuhi oleh para samurai dalam kesehariannya maupun dalam pelaksanaan tugasnya. Bushido sangat menekankan kesetiaan mutlak kepada tuan. Demi tuannya, samurai memang dituntut untuk mati jika perlu, untuk menunjukkan kesetiaan yang menjadi tanggung jawab mereka. Negara Jepang merupakan masyarakat yang menganut budaya malu, dengan kata lain nilai yang paling tinggi bagi masyarakat Jepang. Rasa malu yang paling tinggi adalah tidak dapat membalas budi baik orang lain atau tuannya, oleh karena itu seluruh aktifitas kehidupan masyarakat Jepang difokuskan pada usaha untuk menjaga rasa malu tersebut. Apabila melakukan kesalahan atau tidak dapat membalas budi baik orang lain, mereka akan merasa malu. Rasa malu tersebut akan dapat tertebus apabila melakukan bunuh diri atau seppuku (切腹).

(13)

dengan membunuh musuh tuannya demi pengabdian diri terhadap tuannya. Para anak buah tersebut harus melaksanakan giri kepada tuannya. Setelah membalaskan dendam tuannya terhadap musuh mereka melakukan junshi (mati mengikuti kematian tuannya).

Akouroshi Chushingura terjadi di Nabeshima Hiroshima. Akouroshi merupakan bushi yang tidak bertuan di daerah Akou (Hiroshima). Kisah ini adalah kisah bunuh diri yang dilakukan oleh 47 orang bushi yang tidak bertuan di wilayah Akou tersebut. Ke-47 orang bushi tersebut melakukan bunuh diri setelah berhasil membunuh pangeran Kira dan mempersembahkan kepala Pangeran Kira ke makam tuannya, setelah tuannya melakukan bunuh diri (seppuku) karena perintah dari shogun sebagai hukuman karena tuan mereka dianggap telah membuat keonaran di dalam istana keshogunan Tokugawa.

(14)

Dari kisah bunuh diri para kaum samurai di atas dapat disimpulkan bahwa seppuku yang dilakukan oleh para kaum samurai sebagai bentuk loyalitas, penghormatan dan pengabdian diri kepada tuannya serta bentuk dari membalas budi baik tuannya. Seiring dengan berjalannya waktu, budaya bunuh diri bergeser menjadi salah satu fenomena yang sangat menarik dari Negara Jepang. Pada masa zaman feodal, bunuh diri di Jepang yang semula sebagai bentuk pengabdian diri, loyalitas, penghormatan dan sebagai bentuk membalas budi baik tuannya kini bergeser menjadi bentuk penyelesaian masalah dan pelarian dari perasaan depresi akibat beban hidup yang semakin kompleks. Dewasa ini kehidupan masyarakat Jepang cenderung bersifat “sendiri” dengan kata lain masyarakat Jepang seakan tidak peduli dengan keadaan lingkungannya (tidak bersosialisasi dengan orang lain), memiliki gejala hubungan sekedar untuk memenuhi kebutuhan yang diperlukan maksudnya ialah bersosialisasi dengan lingkungan sekitar pada saat memerlukan bantuan. Hal inilah yang mengakibatkan tekanan isolasi/kesendirian dan keterasingan dari lingkungan.

Semakin kompleksnya kehidupan semakin besar pula masalah dan tingkat depresi yang dihadapi. Kegagalan dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab terhadap pekerjaan, tidak dapat memberi kebahagiaan kepada keluarga, dan ketidakmampuan bersosialisasi dengan baik dengan lingkungan merupakan beberapa faktor dari sekian banyak faktor yang menyebabkan masyarakat Jepang melakukan tindakan bunuh diri atau jisatsu (自 殺). Dari paparan di atas terlihat adanya

(15)

feodal jisatsu (自 殺) dilakukan dikalangan samurai sebagai bentuk pengabdian

terhadap tuannya, loyaliatas terhadap tuannya dan penghormatan terhadap tuannya namun zaman sekarang jisatsu (自殺) menjadi sebagai bentuk penyelesaian masalah

dan pelarian dari perasaan depresi.

2.3 Angka Statistik Bunuh Diri Di Jepang

Bunuh diri atau di Jepang lebih dikenal dengan sebutan jisatsu (自殺)

merupakan salah satu cara untuk mengakhiri hidup yang dilakukan oleh manusia untuk lepas dari masalah yang dihadapi. Bunuh diri merupakan kasus kematian terbesar yang terjadi di Jepang.

Angka kematian di Jepang dari tahun ketahun mengalami peningkatan, semakin lama cara-cara dan alasan bunuh diripun semakin beragam. Dari tahun 2010 sampai 2011 angka kematian diakibatkan karena bunuh diri di Jepang sedeikit menurun, rata-rata angka kematiannya di Jepang pada tahun 2010 sampai 2011 mencapai selisih lebih dari 1.000 orang (hal. 4).

(16)

2.3.1 Menurut Usia

Di Jepang golongan usia dibagi diantaranya ialah orang yang berusia 14 tahun disebut dengan usia muda atau shounen jinkou, yang berusia 15 – 64 tahun disebut usia produktif atau seisan nenrei jinkou, berusia 65 tahun disebut dengan usia lanjut atau korei jinkou, yang berusia lebih dari 65 tahun disebut lansia atau koureisha, orang yang berusia 65-74 tahun disebut lansia periode awal atau zenki koureisha, yang berusia lebih dari 75 tahun disebut lansia periode tengah dan di atas 85 tahun disebut lansia periode akhir atau makki koureisha.

Persentase penduduk lansia di Jepang semakin meningkat. Tingginya persentase penduduk lansia di Jepang, menyebabkan munculnya masalah-masalah yang akan dihadapi oleh masyarakat. Salah satu masalah yang muncul adalah beban yang berat akan menimpa keluarga yang merawat sendiri anggota keluarga lainnya yang berusia lanjut sampai-sampai mungkin harus melepaskan pekerjaannya sendiri.

(17)

a. Table Angka Kematian di Jepang Tahun 2010 - 2011

年齢階級

死亡数

平成23年 平成22年 対前年増減

総数 1.253.463 1.197.012 56 .451 04歳 3.624 3.382 242

59 750 480 270

1014 725 553 172

1519 1.738 1.422 316

2024 2.965 2.753 212

2529 3.682 3.437 245

3034 4.921 4.837 84

3539 7.963 7.555 408

4044 11.186 10.162 1.024

4549 14.983 14.532 451

(18)

年齢階級

死亡数

平成23年 平成22年 対前年増減

5559 37.455 39.326 △ 1.871

6064 72.100 66.096 6.004

6569 82.032 83.087 △ 1.055

7074 113.113 110.248 2.865

7579 167.686 163.088 4.598

8084 220.103 211.257 8.846

8589 222.785 207.287 15.498

9094 162.027 151.959 10.068

9599 79.764 75.386 4.378

100歳以上 19.573 17.513 2.060

USIA Angka Kematian (2011)

Angka Kematian (2010)

Selisih

0 – 4 3.624 3.382 242

(19)

10 – 14 725 553 172

15 – 19 1.738 1.422 316

20 – 24 2.965 2.753 212

25 – 29 3.682 3.437 245

30 – 34 4.921 4.837 84

35 – 39 7.963 7.555 408

40 – 44 11.186 10.162 1.024

45 – 49 14.983 14.532 451

50 – 54 22.443 22.014 429

55 – 59 37.455 39.326 △ 1.871

60 – 64 72.100 66.096 6.004

65 – 69 82.032 83.087 △ 1.055

70 – 74 113.113 110.248 2.865

75 – 79 167.686 163.088 4.598

80 – 84 220.103 211.275 8.846

85 – 89 222.785 207.287 15.498

90 – 94 162.027 151.959 10.068

95 – 99 79.764 75.386 4378

(〒100-8916 東 京 都 千 代 田 区 霞 が 関 1-2-2 電 話 :03-5253-1111( 代 表 )

(20)

Keterangan tabel di atas adalah : • ∆ = menaik

• Dari tabel di atas, sejak dari tahun 2010 hingga 2011, angka kematian di

Jepang menurut usia tidak stabil dan cenderung mengalami peningkatan. • Dari tabel di atas juga dapat disimpulkan bahwa di Jepang tingkat kematian

tertinggi terjadi di masyarakat yang berusia lanjut (lansia).

b. Tabel Angka Kematian Bunuh Diri di Lihat dari Golongan Usia dan Gender Tahun 2010

年齢

19

2029

3039

4049

5059

6069

7079

80 歳 〜 不 詳 合計

合計 543 3,366 4,940 5,713 6,573 6,227 3,651 2,314 7 33,334

男 性

合計

329 2,356 3,377 4,279 5,024 4,377 2,251 1,171 7 23,171

女 性

合計

(21)

(〒100-8916 東 京 都 千 代 田 区 霞 が 関 1-2-2 電 話 :03-5253-1111( 代 表 )

Copyright © Ministry of Health, Labour and Welfare, All Right reserved.)

• Di Jepang bunuh diri dilakukan di segala umur tanpa memandang tua muda

perempuan dan laki-laki

Pada usia 19 tahun disebut dengan usia muda atau shounen jinkou. Persentase

(22)

Pada usia 20 – 69 tahun yang disebut usia produktif atau seisan nenrei jinkou

melakukan tindakan bunuh diri dikarenakan tekanan pekerjaan yang semakin berat. Tak jarang persaingan di lingkungan pekerjaan menyebabkan timbulnya masalah-masalah yang berat di perusahaan tersebut, perusahan tempat bekerja juga menuntut karyawannya untuk bekerja secara giat sehingga memberikan keuntungan yang besar untuk perusahaan tersebut. Beberapa faktor inilah yang mengakinbatkan usia yang masih produktif ini tidak mampu menghadapi beban pekerjaan yang berat. Ketidakmampuan tersebut memberikan padangan yang rendah dari rekan kerja serta lingkungan tempat tinggalnya sehingga memilih jalan untuk mengakhiri hidup sebagai jalan satu-satunya untuk mengatasi masalah di dunia pekerjaan (www.halojepang.com).

• Dari tabel di atas dapat disimpulkan bahwa terjadinya bunuh diri menurut usia

(23)

kunjung sembuh. Ditengah frustasi akibat penyakit yang dialami, masyarakat Jepang yang berusia lanjut memilih jalan keluar untuk mengakhiri hidupnya. • Dari tabel di atas juga dapat disimpulakn bahwa bunuh diri menurut gender

banyak dilakukan di kalangan kaum laki, hal ini disebabkan karena laki-laki cenderung lebih cepat mengalami stres atau depresi dibandingakan kaum permpuan.

2.3.2 Menurut Keadaan Pekerja Di Jepang

Kasus bunuh diri di Jepang dapat dikatakan sebagai masalah yang kompleks karena tindakan bunuh diri ini berhubungan dengan kebudayaan yang banyak dilakukan oleh masyarakat Jepang pada zaman dulu hingga sekarang. Seseorang yang bunuh diri tentunya memiliki masalah pribadi namun jika sudah banyak orang yang bunuh diri, tentu saja ini ada kaitannya dengan masalah sosial, ekonomi dan politik setempat.

(24)

artinya adalah orang yang hidupnya sangat bergantung dengan gaji. Akibat krisis ekonomi di Jepang, banyak perusahan Jepang terlilit hutang sehingga perusahaan menuntut para pekerjanya untuk bekerja lebih giat tanpa kenal lelah. Karena tuntutan dari perusahaan yang mengharuskan pekerja bekerja lebih giat, banyak para pekerja yang bekerja terlalu keras, pekerja ini sering disebut sebagai karoshi . Secara bahasa, karoshi dapat diartikan sebagai “mati di tempat kerja” atau kematian karena stres akan pekerjaan. Kematian bisa dikarenakan kecelakaan di tempat kerja, kematian karena terlalu lelah diikuti dengan kesehatan menurun drastis, ataupun karena bunuh diri karena stres di tempat kerja.

(25)

2.3.3 Menurut Gender

(26)

Cara Bunuh diri Gender

Laki-laki Perempuan

Gantung diri 55,3% = 12 813orang 58,9% = 5 986orang Menghirup gas 9,4% = 2 178orang 4,8% = 487orang Melompat dari gedung 7,1% = 1 645orang 12,8% = 1 300orang Obat-obatan 10,2% = 2 363orang 6,7% = 680orang Lain-lain 18% = 4 170orang 16,8% = 1 707orang JUMLAH 100% = 23 171orang 100% = 10 163orang

(〒100-8916 東 京 都 千 代 田 区 霞 が 関 1-2-2 電 話 :03-5253-1111( 代 表 )

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Berdasarkan hasil penelitian histopatologi ginjal ikan mas (Cyprinus caprio) terhadap limbah cair tahu sebagai alternatif pembahasan materi biologi SMA kelas X,

Neptunus memiliki jarak yang sangat jauh terhadap matahari, sehingga suhu permukaan yang sangat rendah tidak memungkinkan organisme dapat tumbuh subur5. Hukum I Keppler

Finnish legislation does not recognise any special land rights to the Sámi people and reindeer husbandry is not reserved for Sámi people in Finland, unlike in Norway and Sweden.

Based on abundant multi-source data, the paper applies data fusion into the production and updating of spatial data, which can gather the advantages of existing data to get

Our goal of the 3D Digital Model Database for wooden construction is to fully demonstrate the earlier wooden constructions information of all aspect that we have collected

Lebih lanjut, seorang Calon Pegawai Negeri Sipil untuk dapat diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil disyaratkan telah lulus Pendidikan dan Pelatihan Prajabatan yang

galur LTC8 13 Penentuan Waktu Optimum Produksi Zat Antimikrob 13 Karakterisasi Zat Antimikrob 14 Pengendapan dengan Aseton dan Etanol 14 Pengukuran Konsentrasi Protein