• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Menopause

2.1.1. Definisi Menopause

Menopause ialah haid terakhir, atau saat terjadinya haid terakhir. Diagnosis menopause dibuat setelah terdapat amenorea sekurang-kurangnya satu tahun. Berhentinya haid dapat didahului oleh siklus haid yang lebih panjang, dengan perdarahan yang berkurang (Sastrawinata, 2007).

WHO mendefinisikan perimenopause sebagai interval yang mendahului berhentinya siklus menstruasi sampai pada masa 1 tahun setelah siklus menstruasi terakhir, yang menurut temuan pada

Massachusetts’s Women’s Health Study, jangka waktunya berkisar tiga

setengah tahun. Perimenopause ditandai dengan mulai timbulnya gejala vasomotor dan ketidakteraturan haid (Soewondo, 2007).

2.1.2. Fase Klimakterik

Klimakterik (Bahasa Yunani: Tangga) merupakan periode peralihan dari fase reproduksi menuju fase usia tua (senium) yang terjadi akibat menurunnya fungsi generatif ataupun endokrinologik dari ovarium. Klimakterium bukan suatu keadaan patologik, melainkan suatu masa peralihan yang normal, yang berlangsung beberapa tahun sebelum dan sesudah menopause. Dalam menentukan awal dan akhir klimakterium sering dijumpai kesulitan, tetapi dapat dikatakan bahwa klimakterium mulai kira-kira 6 tahun sebelum menopause berdasarkan keadaan endokrinologik (kadar estrogen mulai turun dan kadar hormon gonadotropin naik), dan—jika ada—gejala-gejala klinis (Sastrawinata, 2007).

Klimakterium berakhir kira-kira 6-7 tahun sesudah menopause. Pada saat ini kadar estrogen telah mencapai nilai yang rendah yang sesuai

(2)

dengan keadaan senium dan gejala-gejala neurovegetatif telah terhenti. Dengan demikian, klimakterium lebih kurang 13 tahun (Sastrawinata, 2007).

Klimakterium prekok, yang didefinisikan juga sebagai hipergonadotrop-hipergonadismus, adalah terjadinya menopause pada usia kurang dari 40 tahun. Kadar FSH berada >40 mIU/ml dan kadar estradiol berada <30 pg/ml. Pada 75% wanita telah muncul keluhan vasomotorik dan pada hampir 50% wanita terjadi osteoporosis (Baziad, 2003).

2.1.3. Perubahan Fisiologis pada Menopause

Mengenai dasar klimakterium dapat dikatakan, bahwa jikalau pubertas disebabkan oleh mulainya sintesis hormon gonadotropin oleh hipofisis, klimakterium disebabkan oleh kurang bereaksinya ovarium terhadap rangsangan hormon itu. Hal ini disebabkan oleh karena ovarium menjadi tua. Proses menjadi tua sudah mulai pada usia 40 tahun. Jumlah folikel pada ovarium waktu lahir ±750.000 buah; pada waktu menopause tinggal beberapa ribu buah. Tambahan pula folikel yang tersisa ini rupanya juga lebih resisten terhadap rangsangan gonadotropin. Dengan demikian, siklus ovarium yang terdiri atas pertumbuhan folikel, ovulasi, dan pembentukan korpus luteum lambat laun terhenti. Pada wanita di atas 40 tahun siklus haid untuk 25% tidak disertai ovulasi, jadi bersifat anovulatoar (Sastrawinata, 2007).

Pada klimakterium terdapat penurunan produksi estrogen dan kenaikan hormon gonadotropin. Kadar hormon gonadotropin ini terus tetap tinggi sampai kira-kira 15 tahun setelah menopause, kemudian mulai menurun. Tingginya kadar hormon gonadotropin disebabkan oleh berkurangnya produksi estrogen, sehingga negative feedback terhadap produksi gonadotropin berkurang (Sastrawinata, 2007). Peningkatan kadar FSH dan LH merangsang pembentukan stroma dari ovarium, yang mengakibatkan peningkatan kadar estron dan penurunan kadar estradiol. Tanpa sumber folikel, proporsi terbesar estrogen pada pascamenopause

(3)

berasal dari stroma ovarium dan sekresi adrenal dari androstenedion, dimana akan diaromatisasi di sirkulasi perifer (Curran, 2009).

Dengan berhentinya ovulasi, produksi estrogen oleh aromatisasi androgen di stroma ovarium dan di tempat-tempat ekstragonad masih berlanjut, tanpa berlawanan dengan produksi progesteron dari korpus luteum. Kadar estradiol menurun secara signifikan karena penurunan produksi folikel pada menopause, tetapi estron yang diaromatisasi dari androstenedion yang berasal dari sumber nonfolikel, masih diproduksi dan merupakan sumber utama sirkulasi estrogen pada wanita pascamenopause (Curran, 2009).

Aromatisasi androgen menjadi estrogen dapat terjadi di jaringan adiposa, otot, hati, tulang, sumsum tulang, fibroblas, dan akar rambut. Karena kebanyakan konversi androgen menjadi estrogen terjadi di jaringan adiposa, sering diasumsikan bahwa wanita obes atau berat badan berlebih yang memiliki lebih banyak sirkulasi estrogen, seharusnya memiliki lebih sedikit keluhan vasomotor (Curran, 2009).

Gambar 2.1. Hormon gonadotropin dan estrogen dalam pramenopause dan pascamenopause

(dikutip dari Ilmu Kandungan, edisi 2, 2007)

-6 -5 -4 -3 -2 -1 49 1 2 3 4 5 6 Tahun gonadotropin estrogen M E N O P A U S E PASCAMENOPAUSE PRAMENOPAUSE

(4)

2.2.Keluhan Menopause

Fungsi ovarium yang tidak teratur dan fluktuasi kadar estrogen—bukan defisiensi estrogen—selama menopause menyebabkan wanita sering mengalami beberapa simptom yang secara keseluruhan disebut sebagai sindrom klimakterik. Lebih kurang 70% wanita peri dan pascamenopause mengalami keluhan vasomotorik, depresif, dan keluhan psikis dan somatik lainnya. Berat atau ringannya keluhan berbeda-beda pada setiap wanita. Seiring dengan bertambahnya usia pascamenopause, disertai dengan hilangnya respon ovarium terhadap gonadotropin, simptom yang berhubungan dengan klimakterium juga semakin menurun (Curran, 2009).

Simptom menopause tersebut berupa: A. Simptom Vasomotor

Simptom vasomotor mempengaruhi sampai pada 75% wanita perimenopause. Simptom ini berakhir satu sampai dua tahun setelah menopause pada kebanyakan wanita, tetapi dapat juga berlanjut sampai sepuluh tahun atau lebih pada beberapa lainnya. Gejolak panas (hot

flashes) merupakan alasan utama wanita untuk mencari pertolongan dan

mendapatkan terapi hormon (Shifren, 2007).

Keluhan yang muncul berupa perasaan panas yang muncul tiba-tiba disertai dengan keringat banyak. Keluhan tersebut pertama kali muncul pada malam hari atau menjelang pagi dan lambat laun juga akan dirasakan pada siang hari. Penyebab terjadinya keluhan vasomotorik umumnya pada saat kadar estrogen mulai menurun, dan penurunan ini tidak sampai mencapai kadar yang rendah (Baziad, 2003).

Semburan panas dirasakan mulai dari daerah dada dan menjalar ke leher dan ke kepala. Kulit di daerah tersebut terlihat kemerahan. Meskipun terasa panas, suhu badan tetap normal. Segera setelah timbul semburan panas, daerah yang terkena semburan panas tersebut mengeluarkan keringat banyak. Semburan panas ini akan diikuti dengan rasa sakit kepala, perasaan kurang nyaman, dan peningkatan frekuensi nadi. Hal ini disebabkan oleh peningkatan pengeluaran hormon adrenalin dan

(5)

neurotensin oleh tubuh wanita tersebut. Selain itu, terjadi pula penurunan sekresi hormon noradrenalin sehingga terjadi vasodilatasi pembuluh darah kulit, temperatur kulit sedikit meningkat dan timbul perasaan panas. Akibat vasodilatasi dan keluarnya keringat, terjadi pengeluaran panas tubuh sehingga kadang-kadang wanita merasa kedinginan. Rata-rata lamanya semburan panas adalah 3 menit dan dapat berfluktuasi antara beberapa detik sampai satu jam. Berapa kali semburan panas yang muncul per harinya berbeda-beda pada setiap individu. Pada keadaan berat, semburan panas tersebut dapat muncul sampai 20 kali per hari. Gejolak panas tidak hanya mengganggu pekerjaan dan aktivitas sehari-hari, tetapi juga semburan panas dan berkeringat yang muncul pada malam hari dapat menyebabkan gangguan tidur, cepat lelah, dan cepat tersinggung. Banyak wanita melaporkan sulit konsentrasi dan emosional labil selama transisi menopause. Meskipun terjadi perubahan pada pembuluh darah, tekanan darah tidak meningkat (Baziad, 2003).

Simptom vasomotorik dapat muncul pada pramenopause atau segera sebelum haid muncul. Pada klimakterium prekok, kejadian semburan panas cukup tinggi, yaitu 70-80%. Sebanyak 70% wanita mengalami semburan panas satu tahun setelah menopause, dan setelah 5 tahun hanya tinggal 25%. Puncak maksimal keluhan tersebut muncul antara usia 54 dan 58 tahun. Munculnya keluhan semburan panas akan diperberat dengan adanya stres, alkohol, kopi, dan makanan-minuman panas. Lingkungan sekitar yang panas dapat memperburuk perjalanan penyakit tersebut (Baziad, 2003). Semburan panas juga dapat terjadi akibat reaksi alergi atau pada hipertiroid, oleh karena itu perlu dilakukan tes jika simptom vasomotor bersifat atipikal atau resisten terhadap terapi (Shifren, 2007).

B. Keluhan Somatik

Estrogen memicu pengeluaran β-endorfin dari susunan saraf pusat. Kekurangan estrogen menyebabkan pengeluaran β-endorfin berkurang,

(6)

sehingga ambang sakit juga berkurang. Oleh karena itu, tidak heran kalau wanita peri/pascamenopause sering mengeluh sakit pinggang atau mengeluh nyeri di daerah kemaluan, tulang, dan otot. Nyeri tulang dan otot merupakan keluhan yang paling sering dikeluhkan wanita usia peri/pascamenopause. Pemberian TSH (terapi sulih hormon) dapat menghilangkan keluhan tersebut (Baziad, 2003).

Pemberian estrogen dan progesteron dapat memicu pengeluaran β-endorfin, dan β-endorfin ini dapat mengurangi aktivitas usus halus sehingga mudah terjadi obstipasi. Selain itu, stres juga dapat menimbulkan berbagai jenis keluhan. Stres meningkatkan pengeluaran β-endorfin, dan zat ini memicu pengeluaran ACTH. β-endorfin dan ACTH berasal dari precursor yang sama, yaitu, prepiomelanocortin (POMC), yang banyak ditemukan di dalam nukleus arkuatus. POMC ini merupakan suatu peptida yang membentuk β-endorfin di hipotalamus dan ACTH di hipofisis anterior. Β-endorfin dapat meningkatkan nafsu makan sehingga selama pemberian TSH banyak wanita mengeluh berat badannya bertambah (Baziad, 2003).

C. Keluhan Psikis

Steroid seks sangat berperan terhadap fungsi susunan saraf pusat, terutama terhadap perilaku, suasana hati, serta fungsi kognitif dan sensorik seseorang. Dengan demikian, tidak heran bila terjadi penurunan sekresi steroid seks, timbul perubahan psikis yang berat dan perubahan fungsi kognitif. Kurangnya aliran darah ke otak menyebabkan sulit berkonsentrasi dan mudah lupa. Akibat kekurangan hormon estrogen pada wanita pascamenopause, timbullah keluhan seperti mudah tersinggung, cepat marah, dan berasa tertekan (Baziad, 2003).

Karena kejadian depresi meningkat pada usia klimakterik dan postpartum dan pemberian estrogen dan progesteron dapat menghilangkan/ mengurangi keluhan tersebut, maka kekurangan steroid seks dapat dianggap sebagai faktor predisposisi terjadinya depresi. Depresi sering

(7)

juga ditemukan beberapa hari menjelang haid pada wanita usia reproduksi. Perasaan tertekan, nyeri betis, mudah marah, mudah tersinggung, stres, dan cepat lelah merupakan keluhan yang sering dijumpai pada wanita usia klimakterik dan wanita usia reproduksi dengan keluhan sindrom prahaid (Baziad, 2003).

Penyebab depresi diduga akibat berkurangnya aktivitas serotonin di otak. Estrogen menghambat aktivitas enzim monoamine oksidase (MAO). Enzim ini mengakibatkan serotonin dan noradrenalin menjadi tidak aktif. Kekurangan estrogen menyebabkan terjadinya peningkatan enzim MAO. Terbukti, bahwa wanita pascamenopause yang diberi estrogen menurun aktivitas MAO dalam plasmanya. Pemberian serotonin-antagonis pada wanita pascamenopause dapat menghilangkan keluhan depresi (Baziad, 2003).

D. Gangguan Tidur

Gangguan tidur paling banyak dikeluhkan wanita pascamenopause. Kurang nyenyak tidur pada malam hari menurunkan kualitas hidup wanita tersebut. Estrogen memiliki efek terhadap kualitas tidur. Reseptor estrogen telah ditemukan di otak yang mengatur tidur. Penelitian buta ganda menunjukkan bahwa wanita yang diberi estrogen equin konjugasi memiliki periode ‘rapid eye movement’ yang lebih panjang dan tidak memerlukan waktu lama untuk tidur (Baziad, 2003).

E. Fungsi Kognitif dan Sensorik

Kemampuan kognitif, ataupun kemampuan mengingat akan bertambah buruk akibat kekurangan hormon estrogen. Akibat kekurangan estrogen terjadi gangguan fungsi sel-sel saraf serta terjadi pengurangan aliran darah ke otak. Pada keadaan kekurangan estrogen jangka lama dapat menyebabkan kerusakan pada otak, yang suatu saat kelak dapat menimbulkan demensia atau penyakit Alzheimer. Pada wanita yang dilakukan pengangkatan kedua ovarium pada usia muda yang

(8)

menyebabkan terjadinya penurunan kadar estrogen dan androgen secara tiba-tiba, akan terjadi perburukan fungsi kognitif. Pemberian estrogen atau androgen dapat mencegah perburukan tersebut (Baziad, 2003).

F. Seks dan Libido

Semakin meningkat usia, maka makin sering dijumpai gangguan seksual pada wanita. Akibat kekurangan hormon estrogen, aliran darah ke vagina berkurang, cairan vagina berkurang, dan sel-sel epitel vagina menjadi tipis dan mudah cedera. Beberapa penelitian membuktikan bahwa kadar estrogen yang cukup merupakan faktor terpenting untuk mempertahankan kesehatan dan mencegah vagina dari kekeringan sehingga tidak lagi menimbulkan nyeri saat senggama (Baziad, 2003).

Wanita dengan kadar estrogen <50 pg/ml lebih banyak mengeluh masalah seksual seperti vaginanya kering, perasaan terbakar, gatal, dan sering keputihan. Akibat cairan vagina berkurang, umumnya wanita mengeluh sakit saat senggama sehingga tidak mau lagi melakukan hubungan seks. Nyeri senggama ini akan bertambah buruk lagi apabila hubungan seks makin jarang dilakukan. Pada keadaan kadar estrogen sangat rendah pun, wanita tetap mendapatkan orgasmus. Yang terpenting adalah melakukan hubungan seks secara teratur agar elastisitas vagina tetap dapat dipertahankan (Baziad, 2003).

G. Gangguan Neurologi

Lebih kurang sepertiga wanita menderita sakit kepala dan migrain. Pada 12% wanita keluhan tersebut muncul menjelang atau selama haid berlangsung. Ini menunjukkan adanya hubungan keluhan tersebut dengan perubahan hormonal. Pada sepertiga wanita, sakit kepala atau migrain akan membaik setelah menopause. Namun, terdapat juga wanita yang keluhan sakit kepala dan migrain justru bertambah berat setelah memasuki usia menopause. Migrain yang muncul berhubungan dengan siklus haid diduga berkaitan dengan turunnya kadar estradiol (Baziad, 2003).

(9)

H. Urogenital

Alat genital wanita dan saluran kemih bagian bawah sangat dipengaruhi oleh estrogen. Keluhan genital dapat berupa iritasi, rasa panas, gatal, keputihan, nyeri, berkurangnya cairan vagina, dan dinding vagina berkerut. Keluhan pada saluran kemih berupa sering berkemih, tidak dapat menahan kencing, nyeri berkemih, sering kencing malam, dan inkontinensia (Baziad, 2003).

- Vagina

Pascamenopause terjadi involusi vagina dan vagina kehilangan rugae. Epitel vagina atrofi dan mudah cedera. Vaskularisasi dan aliran darah ke vagina berkurang sehingga lubrikasi berkurang yang mengakibatkan hubungan seks menjadi sakit. Atrofi vagina menimbulkan rasa panas, gatal, serta kering pada vagina. Pada oofarektomi bilateral, akibat penurunan estrogen yang begitu cepat, kelainan pada vagina terjadi begitu drastis, sedangkan pada menopause alami kelainan yang muncul biasanya tidak begitu parah. Epitel vagina bereaksi sangat sensitif terhadap penurunan kadar estrogen (Baziad, 2003).

Begitu wanita memasuki usia perimenopause, pH vagina meningkat dan pascamenopause pH vagina terus meningkat hingga mencapai nilai 5-8. Vagina mudah terinfeksi dengan trikomonas, kandida albikan, stafilo dan streptokokus, serta bakteri coli atau gonokokus (Baziad, 2003).

Pemberian estrogen dosis rendah saja telah dapat memiliki pengaruh terhadap epitel vagina. Estrogen membuat pH vagina rendah dan pH yang rendah ini memicu sintesis nitrit oksid (NO). NO memiliki sifat bakterisid dan baru dapat disintesis oleh vagina bila pH vagina turun di bawah 4,5 (Baziad, 2003).

(10)

- Saluran Kemih

Kekurangan estrogen menyebabkan atrofi pada sel-sel uretra dan berkurangnya aliran darah ke jaringan. Epitel uretra dan trigonum vesika mengalami atrofi. Matrik yang terdiri dari berbagai jenis kolagen, elastin, fibronektin, dan proteoglikan juga mengalami perubahan. Akibat berkurangnya laju pergantian, pada pascamenopause terjadi peningkatan kadar kolagen dalam jaringan periuretral, sedangkan kadar proteoglikan (asam hialuronid) tidak mengalami perubahan. Perubahan-perubahan ini dan penurunan aliran darah menyebabkan berkurangnya turgor dan tonus dari otot polos uretra dan detrusor vesika sehingga mengganggu mekanisme kerja jaringan-jaringan ikat. Akibatnya, pada usia tua mudah terjadi kelemahan pada dasar panggul dan berpengaruh terhadap integritas sistem neuromuskuler (Baziad, 2003).

Atrofi epitel uretra yang disebabkan oleh kekurangan estrogen sering menimbulkan sindrom uretra berupa abakaterialis atau bakterialis ureterits, sistitis, atau kolpitis. Gangguan miksi berupa disuri, polakisuri, nokturi, rasa ingin berkemih hebat, atau urin yang tak tertahankan, sangat erat kaitannya dengan atrofi mukosa uretra. Iritabel vesika dan urge inkontinensia juga berhubungan dengan atrofi dari uretra dan mukosa vesika, sedangkan stres inkontinensia lebih erat kaitannya dengan perubahan degeneratif dari sistem neuromuskuler dan jaringan ikat (Baziad, 2003).

Kontinen baru dapat terjadi bila tekanan uretra melebihi tekanan intravesika, baik pada keadaan beban fisiologik, maupun beban sensorik. Tekanan penutupan positif ini sangat bergantung pada kompresi yang cukup dari mukosa dan submukosa uretra. Empat lapis dari uretra, yaitu epitel jaringan ikat, kompleks vaskuler, otot polos, dan otot lurik secara bersamaan ikut ambil bagian dalam mencegah terjadinya inkontinensia (Baziad, 2003).

Stres inkontinensia merupakan bentuk inkontinensia yang paling banyak ditemukan dan merupakan inkontinensia yang tidak disebabkan

(11)

oleh kekurangan estrogen, meskipun paling banyak dijumpai pada klimakterium dan pascamenopause. Stres inkontinensia adalah keluarnya urin tanpa dirasa pada keadaan detrusor stabil dan terjadi akibat berkurangnya penutupan vesika, dan uretra tidak mampu menahan tekanan vesika yang meningkat tersebut. Peningkatan tekanan vesika dapat dipacu oleh batuk, bersin, tertawa, berjalan, berdiri, atau mengangkat benda berat (Baziad, 2003).

Urge inkontinensia yang terjadi adalah kapasitas urin tidak terganggu, tetapi sensitivitas dan rangsangan detrusor meningkat. Sering juga ditemukan tonus vesika yang meningkat. Peningkatan tekanan intravesika, seperti saat batuk, tertawa, perubahan posisi akan menyebabkan kontraksi detrusor, sehingga timbul rasa ingin berkemih yang tidak tertahankan. Untuk membedakan dengan stres inkontinensia, maka perlu dilakukan pengukuran tekanan intravesika (Baziad, 2003).

Iritabel vesika merupakan gejala berupa meningkatnya frekuensi berkemih, polakisuri yang berlebihan dengan rasa ingin berkemih yang hebat (imperatif). Iritabel vesika terjadi berdasarkan tingginya sensitivitas dan rangsangan terhadap detrusor, di mana tekanan vesika biasanya normal, rendah, atau meningkat. Iritabel vesika biasanya disebabkan oleh atrofi vesika dan uretra akibat kekurangan estrogen (Baziad, 2003).

I. Kulit

Estrogen mempengaruhi kulit terutama kadar kolagen, jumlah proteoglikan, dan kadar air dari kulit. Kolagen dan serat elastin berperan untuk mempertahankan stabilitas dan elastisitas kulit. Turgor kulit dapat dipertahankan oleh proteoglikan yang dapat menyimpan air dalam jumlah besar. Estrogen mempengaruhi aktivitas metabolik sel-sel epidermis dan fibroblas, serta aliran darah (Baziad, 2003).

Kekurangan estrogen dapat menurunkan mitosis kulit sampai atrofi, menjadikan ketebalan kulit berkurang, menyebabkan berkurangnya sintesis kolagen, dan meningkatkan penghancuran kolagen. Kehilangan

(12)

kolagen ini juga berjalan paralel dengan hilangnya massa tulang karena kandungan kolagen tulang yang cukup banyak sehingga mudah terjadi osteoporosis. Kekurangan estrogen juga menyebabkan berkurangnya sintesis dan polimerisasi asam hialuron sehingga terjadi pengurangan pengambilan dan penyimpanan air, yang pada akhirnya terjadi dehidrasi kulit. Hal ini membuat kulit kehilangan elastisitasnya, atopik, tipis, kering, dan berlipat-lipat. Produksi sebum, fungsi kelenjar, dan pertumbuhan rambut menjadi berkurang. Kulit mudah cedera dan penyembuhan luka menjadi tergganggu (Baziad, 2003).

Perubahan pada kulit yang disebabkan oleh kekurangan estrogen dapat menyebabkan perburukan sistem pertahanan kulit sehingga mudah terkena penyakit kulit (dermatosis). Kejadian psoriasis dan eksema meningkat pada usia perimenopause (Baziad, 2003).

J. Rambut

Pascamenopause terjadi perubahan terhadap pertumbuhan rambut, yaitu rambut pubis, ketiak, serta rambut di kepala menjadi tipis. Rambut di kepala rontok. Selain itu, estrogen meningkatkan aktivitas enzim tirosinase yang mengkatalisasi sintesis melanin. Oleh sebab itu, kekurangan estrogen dapat menyebabkan aktivitas tirosinase menurun sehingga sintesis melanin berkurang yang selanjutnya menimbulkan ubanan pada rambut (Baziad, 2003).

K. Mulut, Hidung, dan Telinga

Seperti pada kulit, kekurangan estrogen juga menyebabkan perubahan mulut dan hidung. Selaput lendirnya berkerut, aliran darah berkurang, terasa kering, dan mudah terkena gingivitis. Kandungan air liur juga mengalami perubahan. Pemberian estrogen dapat mengurangi keluhan tersebut, kandungan zat-zat dalam air liur menjadi normal. IgA, IgG, dan IgM menjadi berkurang. Flora bakteri dalam air liur tidak mengalami perubahan (Baziad, 2003).

(13)

Akibat kekurangan estrogen dapat meningkatkan resorbsi tulang dagu (osteoporosis) dan gigi mudah rontok. Selaput lendir mulut seperti halnya juga vagina memiliki kemampuan mensintesis NO yang bersifat bakterisid (Baziad, 2003).

L. Mata

Kekurangan estrogen dapat menyebabkan atrofi kornea dan konjungtiva, serta turunnya fungsi kelenjar air mata. Pemakaian lensa kontak akan mendapatkan kesulitan dalam penggunaannya. Keratokonjungtivitis paling sering ditemukan pada wanita pascamenopause, dan sangat efektif diatasi dengan pemberian estrogen (Baziad, 2003).

Perubahan kadar estradiol pada fase peri/pascamenopause mempengaruhi tekanan intraokuler. Kelihatannya turunnya estradiol serum dapat meningkatkan tekanan bola mata (Baziad, 2003).

M. Otot dan Sendi

Banyak wanita menopause mengeluh nyeri otot dan sendi. Pemeriksaan radiologik umumnya tidak ditemukan kelainan. Sebagian wanita, nyeri sendi erat kaitannya dengan perubahan hormonal yang tejadi. Pemberian TSH dapat mengurangi keluhan-keluhan tersebut. Hal ini terjadi akibat estrogen meningkatkan aliran darah dan sintesis kolagen. Timbulnya osteoartrosis dan osteoartritis dapat dipicu oleh kekurangan estrogen, karena kekurangan estrogen menyebabkan kerusakan matrik kolagen dan dengan sendirinya pula tulang rawan ikut rusak. Kejadiannya meningkat dengan meningkatnya usia (Baziad, 2003).

N. Payudara

Payudara merupakan organ sasaran utama bagi estrogen dan progesteron. Kekurangan estrogen mengakibatkan involusi payudara. Pada pascamenopause, payudara mengalami atrofi, terjadi pelebaran saluran air

(14)

susu, dan fibrotik. Saluran air susu yang melebar ini berisi cairan, salurannya menjadi lebar, timbul laserasi, dan payudara terasa sakit (Baziad, 2003).

2.3.Obesitas

2.3.1. Definisi Obesitas

Secara fisiologis, obesitas didefenisikan sebagai suatu keadaan dengan akumulasi lemak yang tidak normal atau berlebihan di jaringan adiposa sehingga dapat mengganggu kesehatan. Obesitas merupakan suatu kelainan kompleks pengaturan nafsu makan dan metabolisme energi yang dikendalikan oleh beberapa faktor biologik spesifik. Faktor genetik diketahui sangat berpengaruh bagi perkembangan penyakit ini (Sugondo, 2007).

2.3.2. Sel Lemak dan Jaringan Lemak

Jaringan lemak merupakan depot penyimpanan energi yang paling besar bagi mamalia. Tugas utamanya adalah untuk menyimpan energi dalam bentuk trigliserida melalui proses lipogenesis yang terjadi sebagai respon terhadap kelebihan energi dan memobilisasi energi melalui proses lipolisis sebagai respon terhadap kekurangan energi. Pada keadaan normal, kedua proses ini diregulasi dengan ketat (Sugondo, 2007).

Jaringan lemak merupakan jaringan ikat yang mempunyai fungsi sebagai tempat penyimpanan lemak dalam bentuk trigliserida. Pada mamalia, jaringan lemak terdapat dalam 2 bentuk: jaringan lemak putih dan jaringan lemak coklat. Keberadaannya, jumlah, dan distribusi tergantung pada spesies. Jaringan lemak putih mempunyai 3 fungsi, yaitu isolasi panas, bantalan mekanik, dan yang paling penting sebagai sumber energi. Jaringan lemak subkutan yang terletak langsung di bawah kulit, merupakan penahan panas bagi tubuh, karena ia mempunyai daya konduksi sebesar 1/3 dibandingkan dengan jaringan lain. Kemampuan menahan panas tergantung pada tebal lapisan lemak. Jaringan lemak juga

(15)

melapisi organ tubuh bagian dalam dan bertindak sebagai pelindung organ tersebut (Sugondo, 2007).

Jaringan lemak coklat berfungsi untuk mempertahankan panas tubuh (termogenesis). Fungsi utama jaringan lemak adalah tempat penyimpanan energi dalam bentuk trigliserida dan melepaskannya sebagai asam lemak bebas dan gliserol yang merupakan sumber energi yang berasal dari lemak (Sugondo, 2007).

2.3.3. Pengukuran

Mengukur lemak tubuh secara langsung sangat sulit dan sebagai pengukur pengganti dipakai body mass index (BMI) atau indeks massa tubuh (IMT) untuk menentukan berat badan lebih dan obesitas pada orang dewasa. Pendekatan lain untuk mengukur obesitas termasuk antropometri (tebal lipatan kulit), densitometri (menimbang di bawah air), computed

tomography (CT), magnetic resonance imaging (MRI), dan alat elektrik

lainnya (Sugondo, 2007).

IMT merupakan indikator yang paling sering digunakan dan praktis untuk mengukur tingkat populasi berat badan dan obes pada orang dewasa. Untuk penelitian epidemiologi digunakan IMT atau indeks Quetelet, yaitu berat badan dalam kilogram (kg) dibagi tinggi badan dalam meter kuadrat (m2). Saat ini IMT merupakan indikator yang paling bermanfaat untuk menentukan berat badan lebih atau obes. Orang yang lebih besar-tinggi dan gemuk, akan lebih berat dari orang yang lebih kecil (Sugondo, 2007).

Hubungan antara lemak tubuh dan IMT ditentukan oleh bentuk tubuh dan proporsi tubuh, sehingga dengan demikian IMT belum tentu memberikan kegemukan yang sama bagi semua populasi. IMT dapat memberikan kesan yang umum mengenai derajat kegemukan (kelebihan jumlah lemak) pada populasi, terutama pada kelompok usia lanjut dan pada atlit dengan banyak otot. IMT dapat memberikan gambaran yang

(16)

tidak sesuai mengenai keadaan obesitas karena variasi lean body mass (Sugondo, 2007).

2.3.4. Klasifikasi Obesitas

Tabel 2.1, merupakan klasifikasi yang ditetapkan World Health

Organization (WHO), nilai IMT 30 kg/m2 dikatakan sebagai obesitas dan nilai IMT 25-29,9 kg/m2, sebagai “Pra Obes”.

Tabel 2.1. Klasifikasi Berat Badan Lebih dan Obesitas pada Orang Dewasa Berdasarkan IMT Menurut WHO

Klasifikasi IMT (kg/m2)

Berat Badan Kurang <18,5

Kisaran Normal 18,5 - 24,9

Berat Badan Lebih >25

Pra-Obes 25,0 – 29,9

Obes Tingkat I 30,0 – 34,9

Obes Tingkat II 35,0 – 39,9

Obes Tingkat III >40

Sumber: WHO technical series, 2000

Wilayah Asia Pasifik pada saat ini telah mengusulkan kriteria dan klasifikasi obesitas sendiri (Tabel 2.2).

(17)

Tabel 2.2. Klasifikasi Berat Badan Lebih dan Obesitas Berdasarkan IMT dan Lingkar Perut Menurut Kriteria Asia Pasifik

Klasifikasi IMT (kg/m2)

Resiko Ko- Morbiditas Lingkar Perut <90 cm (Laki-Laki) ≥90 cm (Laki-Laki) <80 cm (Perempuan) ≥80 cm (Perempuan) Berat Badan Kurang <18,5 Rendah (resiko

meningkat pada masalah klinis lain)

Sedang

Kisaran normal 18,5-22,9 Sedang Meningkat Berat Badan Lebih ≥23,0

• Beresiko 23,0-24,9 Meningkat Moderat

Obes I 25-29,9 Moderat Berat

Obes II ≥30,0 Berat Sangat berat

Sumber: WHO WRP /IASO/ IOTF dalam The Asia-Pasific Perspective:

Redefining Obesity and its Treatment (2000)

2.3.5. Konsekuensi Patologis dari Obesitas

Obesitas memiliki pengaruh utama terhadap kesehatan. Distribusi jaringan adiposa pada simpanan anatomi yang berbeda juga memiliki pengaruh penting untuk morbiditas. Secara spesifik, lemak intraabdominal dan lemak subkutan abdominal lebih memiliki arti penting dibanding lemak subkutan yang ada di bokong dan ektremitas bawah. Beberapa komplikasi terpenting dari obesitas, seperti resistensi insulin, diabetes, hipertensi, hiperlipidemia, dan hiperandrogenisme pada wanita, berkaitan erat dengan lemak intraabdominal dan atau tubuh bagian atas daripada keseluruhan adiposit. Ini mungkin berkaitan dengan fakta bahwa adiposit intraabdominal lebih bersifat lipolitik aktif daripada yang berasal dari simpanan lain (Flier, 2005).

(18)

Obesitas merupakan kondisi medik yang kronik. Angka mortalitas meningkat seiring dengan peningkatan obesitas, terutama pada obesitas yang berhubungan dengan peningkatan lemak intraabdominal. Derajat obesitas mempengaruhi sistem organ tertentu yang bervariasi pada tiap individu tergantung kerentanan dari gen tertentu (Flier, 2005).

A. Resistensi Insulin dan Diabetes Melitus Tipe 2

Hiperinsulinemia dan resistensi insulin merupakan ciri-ciri yang meresap pada obesitas, yang meningkat dengan peningkatan berat badan dan menurun dengan penurunan berat badan. Resitensi insulin berkaitan kuat dengan lemak intraabdominal daripada lemak dari simpanan lain. Obesitas, bagaimanapun, merupakan faktor utama terjadinya diabetes karena sebanyak 80% pasien dengan diabetes mellitus tipe 2 adalah obes. Penurunan berat badan dan olahraga berkaitan dengan peningkatan sensitivitas insulin dan sering memperbaiki kontrol glukosa pada diabetes (Flier, 2005).

B. Gangguan Reproduksi

Gangguan yang mempengaruhi aksis reproduksi berkaitan dengan obesitas baik pada pria maupun wanita. Obesitas berhubungan dengan abnormalitas menstruasi pada wanita, terutama wanita dengan obesitas lemak bagian atas. Penemuan tersering adalah peningkatan produksi androgen, penurunan sex hormone-binding globulin (SHBG), dan peningkatan konversi perifer androgen menjadi estrogen. Kebanyakan wanita obes dengan oligomenorea memiliki sindrom ovarium polikistik (PCOS), berkaitan dengan anovulasi dan hiperandrogenisme ovarium; 40% wanita dengan PCOS adalah obesitas. Kebanyakan wanita non obes dengan PCOS juga menderita resisten insulin, ini menunjukkan bahwa resistensi insulin, hiperinsulinemia, atau kombinasi keduanya merupakan penyebab atau kontribusi terhadap patofisiologi ovarium pada PCOS untuk individu obes dan kurus. Pada

(19)

wanita obes dengan PCOS penurunan berat badan atau pengobatan dengan obat pensensitif insulin sering menghasilkan menstruasi normal. Peningkatan konversi androstenedion menjadi estrogen yang terjadi pada wanita obes tubuh bagian bawah, dapat mengkontribusi peningkatan kejadian kanker uterus pada wanita pascamenopause dengan obesitas (Flier, 2005).

C. Penyakit Kardiovaskular

Obesitas, terutama obesitas sentral, berhubungan dengan profil lemak atherogenik, dengan peningkatan kolestrol low-density lipoprotein (LDL), very low-density lipoprotein (VLDL), dan trigliserida, serta penurunan kolestrol high-density lipoprotein (HDL). Obesitas juga berkaitan dengan hipertensi. Obesitas yang menginduks i hipertensi berkaitan dengan peningkatan resistensi perifer dan curah jantung, peningkatan tonus sistem saraf simpatis, peningkatan sensitivitas garam, dan retensi garam yang dimediasi insulin; ini sering berespon terhadap penurunan berat badan sederhana (Flier, 2005).

D. Penyakit Pulmonal

Obesitas berkaitan dengan beberapa abnormalitas pulmonal. Ini termasuk penurunan komplians dinding dada, peningkatan kerja pernapasan, peningkatan menit ventilasi akibat peningkatan kecepatan metabolik, dan penurunan total kapasitas paru dan kapasitas residu fungsional. Obesitas berat dapat mengakibatkan obstructive sleep

apnea (OSA) dan “sindrom hipoventilasi obesitas” (Flier, 2005).

E. Batu Empedu

Obesitas berkaitan dengan peningkatan sekresi empedu dari kolestrol, supersaturasi empedu, dan peningkatan insidensi batu empedu (Flier, 2005).

(20)

F. Kanker

Obesitas pada wanita berhubungan dengan peningkatan mortalitas dari kanker kandung empedu, saluran empedu, payudara, endometrium, serviks, dan ovarium. Ini dapat dikarenakan terjadinya peningkatan konversi androstenedion menjadi estron di jaringan adiposa (Flier, 2005).

G. Penyakit Tulang, Sendi, dan Kulit

Obesitas berkaitan dengan peningkatan resiko osteoarthritis dan gout. Masalah kulit yang berhubungan dengan obesitas adalah acanthosis

nigricans, yang dimanifestasikan dengan penghitaman dan penebalan

lipatan kulit di leher, siku, dan jarak interfalang dorsal. Kelembaban kulit dapat meningkat, terutama pada lipatan kulit, sehingga meningkatkan resiko infeksi jamur (Flier, 2005).

2.4.Keluhan Menopause dan Berat Badan

Pada menopause konversi terbanyak androgen menjadi estrogen terjadi di jaringan adiposa sehingga sering diasumsikan bahwa wanita dengan obesitas atau berat badan lebih yang memiliki lebih banyak sirkulasi estrogen seharusnya memiliki keluhan menopause yang lebih rendah (Curran, 2009).

Akan tetapi ada keluhan menopause tertentu yang justru bertambah berat pada wanita obes, seperti gejala vasomotor. Berdasarkan model termoregulator, adipositas yang tinggi, suatu insulator yang poten, akan menghambat kehilangan panas dan meningkatkan gejala vasomotor (Thurston, 2007).

Gambar

Gambar 2.1.  Hormon gonadotropin dan estrogen dalam  pramenopause dan pascamenopause
Tabel 2.1, merupakan klasifikasi yang ditetapkan World  Health  Organization (WHO), nilai IMT 30 kg/m 2  dikatakan sebagai obesitas dan  nilai IMT 25-29,9 kg/m 2 , sebagai “Pra Obes”
Tabel 2.2. Klasifikasi Berat Badan Lebih dan Obesitas Berdasarkan  IMT dan Lingkar Perut Menurut Kriteria Asia Pasifik

Referensi

Dokumen terkait

Secara kultural adalah tali yang digunakan untuk menurunkan madu dari atas pohon ke bawah dengan cara mengulurnya secara perlahan merupakan simbol suatu benda yang

Urban Dosis Tinggi sebagai Bahan Antifertilitas terhadap Kadar Enzim GPT Hepar Mencit Mus musculus Betina Berdasarkan data rata-rata yang diperoleh dari pengukuran kadar enzim GPT

Faktor-faktor yang menyebabkan kedua subjek dapat melakukan hubungan seksual pranikah adalah kurang terbukanya orang tua mengenai masalah seksual, adanya kesempatan

Hak yang melekat pada kepala desa dan perangkat desa tersebut bukanlah hak milik, melainkan hak pakai seperti yang tertuang dalam ketentuan konversi UUPA Pasal VI

Perumusan strategi dimulai dengan penentuan faktor-faktor yang menjadi kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman strategis bagi agribisnis teh Indonesia. Faktor kekuatan strategis

Perubahan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah ( RPJMD ) Kabupaten Bogor Tahun 2008 - 2013 VII - 31 dengan urusan tersebut, maka Satuan Kerja Perangkat Daerah yang

Sebelum lembaga pendidikan Islam terorganisir dalam bentuk lembaga formal yang berupa Madrasah, umat Islam telah mengenal beberapa lembaga pen- didikan, yang sebenarnya

Adalah bagaimana perusahaan dapat memperjelas peran pegawai dalam perusahaan baik peran yang tidak bertabrakan dengan pegawai lain ataupun memastikan pegawai