• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDIDIKAN KARAKTER PANCASILA PADA ERA NATIVE DEMOCRACY

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENDIDIKAN KARAKTER PANCASILA PADA ERA NATIVE DEMOCRACY"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

PENDIDIKAN KARAKTER PANCASILA

PADA ERA NATIVE DEMOCRACY

Utami Dewi SA

Guru PPKn SMP N 3 Mrebet, Purbalingga

Abstract: Since the proclamation of independence, Pancasila has become the basis of the state as well as a way of looking at the self and future of the Indonesian nation. The turbulent implementation of the Pancasila between the extreme right and the left has resulted in a phobia for the Indonesian nation towards its own ideology. In fact, in the era of native democracy, which is currently stretching, a strong ideological basis is needed as a source of internalization of values in education. Formulating character education derived from the values of the Pancasila will produce a golden generation of 2045 as the peak momentum of a century of Indonesia's independence celebration. Rejuvenation or refreshment of the perspective on Pancasila is absolutely necessary by returning to the philosophical and historical basis of the basic formulation of the country itself. Thus, Pancasila will truly become a source of essential and fundamental values for the development of the nation, state and character of Indonesian people as a whole.

Key Words: character education, pancasila, native democracy

Abstrak: Sejak proklamasi kemerdekaan, Pancasila telah menjadi dasar negara sekaligus cara pandang dalam melihat diri dan masa depan Bangsa Indonesia. Pergolakan implementasi Pancasila di antara ekstrem kanan dan kiri telah menghasilkan suatu phobia bagi Bangsa Indonesia terhadap ideologinya sendiri. Padahal di era native democracy yang sedang mengeliat diperlukan basis ideologi yang kuat sebagai sumber internalisasi nilai dalam pendidikan. Dengan merumuskan pendidikan karakter yang bersumber dari nilai-nilai Pancasila akan menghasilkan generasi emas 2045 sebagai momentum puncak seabad perayaan kemerdekaan Indonesia. Rejuvikasi atau penyegaran cara pandang terhadap Pancasila mutlak diperlukan dengan mengembalikan kepada dasar filosofis dan historis perumusan dasar negara itu sendiri. Dengan demikian, Pancasila akan benar-benar menjadi sumber nilai esensial dan fundamental bagi pembangunan bangsa, negara dan karakter manusia Indonesia seutuhnya.

Kata kunci: pendidikan karakter, pancasila, native democracy PENDAHULUAN

Bangsa kita mengalami fase yang amat membanggakan di awal pendirian republik. Generasi pelopor kemerdekaan secara brilian dan berbudi luhur menghadirkan gagasan tentang dasar negara yang visioner. Pancasila yang mulai dibahas pada tanggal 29 Mei 1945 hingga 1 Juni 1945 oleh tokoh utama Muhammad Yamin, Soepomo, hingga di hari terakhir oleh Soekarno memperlihatkan kedalaman intuisi dan pengenalan terhadap jati diri bangsa. Pada akhir-nya, Pancasila yang dirumuskan dalam BPUPKI, meskipun mengalami perubahan tujuh kata dari “Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi

pemeluk-pemeluknya” menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” ditetapkan PPKI tanpa melalui perdebatan panjang. Semua pendiri bangsa (founding fathers) bersepakat bahwa sila pertama dengan perubahan tersebut lebih mengakomodir kemajemukan di Indonesia (Sekneg RI, 1998: 537).

Dalam perkembangannya, Pancasila sebagai dasar negara sejak ditetapkan justru menjadi alat eksekutif dalam mempertahankan kekuasaan. Pada Orde Lama, Presiden Soekarno memaksa-kan doktrin Manipol/ USDEK sebagai tafsir tunggal atas Pancasila. Pada masa pemerintahan Orde Baru, Pancasila kembali ditafsirkan menurut tafsir tunggal yang sekuler guna

(2)

mendukung visi deideologisasi. Program P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) yang digalakkan oleh pemerintah dianggap sebagai upaya sakralisasi Pancasila. Sakralisasi Pancasila sudah sedemikian parah hingga lahirlah istilah-istilah Pancasilais, seperti: Kabinet Pancasila, Pembangunan Pancasila, Ekonomi Pancasila, Pejabat Pancasila, bahkan PSSI pun dinamai Sepakbola Pancasila. Di masa ini, Pancasila menjadi mitos yang sakral yang seakan tidak boleh dikritisi sama sekali (Rizieq, 2013: 9).

Di era reformasi muncul tuntutan publik atas kebebasan berpendapat dan berserikat yang mendapatkan akomodasi melalui amandemen UUD 1945. Segala hal yang berbau Pancasila kemudian diidentikkan dengan rezim Orde Baru yang diktator, korup, dan eksklusif. Di negerinya sendiri, Pancasila menjadi ketakutan (phobia) bagi beberapa kalangan yang mengusung reformasi. Kaelan (2013: 653), mengungkapkan bahwa amandemen UUD 1945 pada dasarnya sebagai pengaruh globalisasi yang ditumpangi oleh kapitalisme dan neoliberalisme global. Hal ini dibuktikan dengan tidak efektifnya mekanis-me kekuasaan dan sistem pemekanis-merintahan. Sistem hukum dan politik tidak mampu membendung money politic yang berujung semakin mewabah-nya korupsi di berbagai lini pemerintahan. Banyak anggota legislatif merupakan tokoh utama atau perwakilan para korporasi besar, baik asing maupun dalam negeri, untuk menan-capkan dominasinya di sektor ekonomi dengan menguasai politik dan hukum. Hasilnya, pengelolaan ekonomi kita sangat identik dengan ekonomi liberal yang tunduk pada kepentingan pasar. Proteksi ekonomi nasional yang semes-tinya dilakukan lewat saluran politik dan hukum telah lebih dulu tumpul. Maka tak heran jika dimulainya pasar ekonomi dunia hanya akan menjadi jalan bagi semakin tergerusnya bangsa ini kepada kapitalisme modern.

Rumusan Masalah

Berdasar latar pemikiran di atas, maka masalah dalam artikel ini dapat dirumuskan sebagai berikut: Bagimana pendidikan karakter pancasila pada era native democracy?

Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan artikel ini adalah: mengkaji pendidikan karakter pancasila, dan membedah pola pendidikan karakter pancasila pada era native democracy.

Manfaat Penulisan

Sedangkan manfaat penulisan artikel ini adalah:

1. Secara teoritis dapat menambah wawasan guru terkait dengan pendidikan karakter pancasila.

2. Secrara praktis dapat digunakan sebagai bahan rujukan dalam pengembangan pendi-dikan karakter oleh berbagai pihak, khususnya praktisi pendidikan.

LANDASAN TEORI Pendidikan Karakter

Karakter mengacu kepada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan keterampilan (skills). Karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti “to mark” atau menandai dan memfokuskan bagai-mana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku, sehingga orang yang tidak jujur, kejam, rakus dan perilaku jelek lainnya dikatakan orang berkarakter jelek. Sebaliknya, orang yang perilakunya sesuai de-ngan kaidah moral disebut dede-ngan berkarakter mulia.

Karakter mulia berarti individu memiliki pengetahuan tentang potensi dirinya, yang di-tandai dengan nilai-nilai seperti reflektif, perca-ya diri, rasional, logis, kritis, analitis, kreatif dan inovatif, mandiri, hidup sehat, bertanggung jawab, cinta ilmu, sabar, berhati-hati, rela berkorban, pemberani, dapat dipercaya, jujur, menepati janji, adil, rendah hati, malu berbuat salah, pemaaf, berhati lembut, setia, bekerja keras, tekun, ulet/gigih, teliti, berinisiatif, ber-pikir positif, disiplin, antisipatif, inisiatif, visio-ner, bersahaja, bersemangat, dinamis, hemat/ efisien, menghargai waktu, pengabdian/ dedi-katif, pengendalian diri, produktif, ramah, cinta keindahan (estetis), sportif, tabah, terbuka, tertib. Individu juga memiliki kesadaran untuk berbuat yang terbaik atau unggul, dan individu juga mampu bertindak sesuai potensi dan kesadarannya tersebut. Karakteristik adalah realisasi perkembangan positif sebagai individu (intelektual, emosional, sosial, etika, dan perilaku).

Individu yang berkarakter baik atau unggul adalah seseorang yang berusaha melakukan hal-hal yang terbaik terhadap Tuhan YME, dirinya, sesama, lingkungan, bangsa dan negara serta dunia internasional pada umumnya dengan mengoptimalkan potensi (pengetahuan) dirinya dan disertai dengan kesadaran, emosi dan

(3)

Jurnal El-Hamra

(Kependidikan dan Kemasyarakatan) Vol. 4. No. 1 Februari 2019 – ISSN 2528-3650

http://ejournal.el-hamra.id/index.php/jkk motivasinya (perasaannya).

Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut. Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai “the deliberate use of all dimensions of school life to foster optimal character development”. Dalam pendi-dikan karakter di sekolah, semua komponen (pemangku pendidikan) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksana-an aktivitas atau kegiatpelaksana-an ko-kurikuler, pember-dayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga sekolah/ lingkungan. Di samping itu, pendidikan karakter dimaknai sebagai suatu perilaku warga sekolah yang dalam menyelenggarakan pendidikan harus berkarakter.

Pancasila

Kita tentu sudah sama-sama paham bahwa Pancasila merupakan pandangan hidup, dasar negara, dan ideologi nasional. Pancasila meru-pakan dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sehingga memiliki fungsi yang sangat fundamental. Selain bersifat yuridis formal yang mengharuskan seluruh peraturan perundang-undangan berlandaskan pada Panca-sila (sering disebut sebagai sumber dari segala sumber hukum), Pancasila juga bersifat filosofis. Pancasila merupakan dasar filosofis dan sebagai perilaku kehidupan. Artinya, Pancasila merupa-kan falsafah negara dan pandangan/ cara hidup bagi bangsa Indonesia dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara untuk mencapai cita-cita nasional.

Sebagai dasar negara dan sebagai pandang-an hidup, Ppandang-ancasila mengpandang-andung nilai-nilai luhur yang harus dihayati dan dipedomani oleh seluruh warga negara Indonesia dalam hidup dan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan ber-negara. Lebih dari itu, nilai-nilai Pancasila sepatutnya menjadi karakter masyarakat Indo-nesia sehingga Pancasila menjadi identitas atau jati diri bangsa Indonesia. Oleh karena kedudu-kan dan fungsinya yang sangat fundamental bagi negara dan bangsa dan masyarakat Indonesia, maka dalam pembangunan karakter bangsa, melalui Pendidikan Kewarganegaraan Pancasila

merupakan landasan dan substansi utama. Sebagai landasan, Pancasila merupakan rujukan, acuan, dan sekaligus tujuan dalam pembangunan karakter bangsa. Dalam konteks yang bersifat substansial, pembangunan karakter bangsa melalui pendidikan kewarganegaraan memiliki makna membangun manusia dan bangsa Indonesia yang berkarakter Pancasila. Berkarak-ter Pancasila berarti manusia dan bangsa Indo-nesia wajib memiliki watak religius, humanis, nasionalis, demokratis, dan mengutamakan kese-jahteraan rakyat. Nilai-nilai fundamental yang menjadi sumber nilai luhur yang dikembangkan dalam rangka pendidikan karakter bangsa melalui pendidikan kewarganegaraan, harus dilihat dan dimaknai sebagai suatu kesatuan sistem nilai yang utuh yang antar klaster/ gugus nilai yang terkandung di dalam sila-sila Pancasila itu merupakan satu kesatuan yang konsisten dan koheren.

Kalau kita simak baik-baik makna yang ada di balik perisai yang berisi simbol-simbol kelima sila Pancasila. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa yang disimbolkan dengan Bintang lima dan ditempatkan sebagai inti atau sentral dalam perisai itu. Pasti ini bukan kebetulan tetapi merupakan komitmen para pendiri Republik bahwa Republik Indonesia bukanlah sebuah negara sekuler, tetapi merupakan sebuah negara yang ber-Ketuhanan YME. Empat sila lainnya, ditempatkan mengelilingi dan beririsan dengan simbol bintang lima Ketuhanan YME. Karena itu harus dimaknai bahwa sila Ketuhanan YME menjiwai keempat sila lainnya. Di situ tersirat komitmen utuh kehidupan yang ber-Ketuhanan YME dengan perwujudan kemanusiaan yang berKetuhanan YME, persatuan Indonesia yang Ketuhanan YME, kerakyatan yang Ketuhanan YME, dan keadilan sosial yang ber-Ketuhanan YME.

Selanjutnya marilah kita pahami Pancasila secara historis. Bangsa dan Negara Republik Indonesia telah memiliki "komitmen" yaitu keterikatan yang teguh atas dasar keyakinan terhadap Pancasila. "Komitmen" ini secara historik dapat dibaca dari sejarah lahirnya Pancasila yang mempertemukan para pejuang Kemerdekaan Indonesia dalam wadah BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerde-kaan Indonesia) dan selanjutnya melalui PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Secara konstitusional "komitmen" ini dapat ditemukan dalam alinea keempat Pembukaan

(4)

Undang-Undang Dasar 1945. Kenyataan ini dengan tegas memberikan petunjuk bahwa Pancasila dengan rumusannya yang resmi seperti termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 telah diyakini, ditetapkan dan selanjutnya dipegang teguh sebagai pedoman tingkah laku negara dan warganya dalam kehidupan sehari-hari. Itu sebabnya, hingga kini Pancasila telah diberi predikat sebagai pandangan hidup, dasar negara Republik Indonesia, dan ideologi nasional.

Native Democracy

Alvin Toffler (dalam Gulo, 2012) membagi perkembangan peradaban manusia modern menjadi tiga tahapan. Pertama, penerapan teknologi yang masih erat dengan pertanian dan tenaga alam menjadi inspirasi bagi hadirnya gelombang pertama peradaban manusia dalam kurun waktu 800 Sebelum Masehi (SM) hingga 1500 Masehi (M). Kedua, di gelombang kedua ialah masyarakat industri hasil dari renaissance Eropa yang berlanjut dengan kolonialisme di semua benua (1500 M-1970 M).

Lalu pada tahap ketiga, peradaban yang bercirikan masyarakat sebagai hasil produk pendidikan massa, komunikasi massa dan media massa yang dilatarbelakangi kemajuan iptek. Anis Matta dalam bukunya Gelombang Ketiga mencoba menarik teori Alvin Toffler ke dalam kondisi Indonesia sebagai negara bangsa yang telah melampaui beberapa fase sejarah. Pertama, gelombang “menjadi Indonesia” yang berlang-sung sejak abad ke-17 hingga pertengahan abad ke-20. Kedua, gelombang “menjadi negara modern” yang berlangsung semenjak merdeka hingga era reformasi. Dan ketiga, gelombang “sejarah baru” yang akan dimulai setelah 2014 sampai waktu yang akan ditentukan oleh sikap Bangsa Indonesia sendiri. Gelombang ketiga atau yang terakhir ini dimotori oleh faktor demografis Indonesia.

Anis Matta menguraikan perubahan utama demografi Indonesia dengan proporsi orang di bawah usia 45 tahun akan mencapai lebih dari 60 persen dari total populasi. Kelompok tersebut dinamakan “the new majority”, atau kelompok mayoritas baru yang ada di Indonesia. Kelompok ini memiliki pendidikan lebih baik, berpeng-hasilan baik, terkoneksi secara luas ke seluruh dunia, dan native democracy atau warga negara asli demokrasi. Masyarakat native democracy ini hanya mengenal demokrasi sebagai satu-satunya sistem politik. Mereka bukan generasi yang pernah mengalami pasang-surut ideologi dalam

perebutan antara blok Barat dan blok Timur semasa Perang Dingin. Lima ciri masyarakat native democracy akan membawa Indonesia ke depan memiliki identitas baru yaitu; lebih religius, lebih berpengetahuan, dan lebih sejah-tera. Agama akan menjadi orientasi dan sumber moralnya. Pengetahuan menjadi sumber kompe-tensi dan produktivitasnya. Kesejahteraan akan menjadi out put-nya. Modal untuk mencapai tahapan itu ialah persatuan dan kesatuan yang pertama dan utama. Modal itu diwujudkan pertama kali dengan adanya kesamaan perspek-tif tentang cara pandang Bangsa Indonesia sendiri. Jika negeri ini ingin segera terbang landas maka pertentangan dasar negara terutama terkait hubungan negara dan agama sudah tidak perlu dipersoalkan lagi.

Tantangan bagi generasi baru Indonesia di era native democracy bukan lagi persoalan cadangan Sumber Daya Alam (SDA), melainkan penyiapan Sumber Daya Manusia (SDM) ber-kualitas. Pengetahuan sebagai sumber kompe-tensi dan produktivitas masyarakat di era native democracy harus bisa direbut lewat pendidikan. Untuk mewujudkan kualitas manusia unggul di era native democracy, maka negara harus menyiapkan serangkaian tools dalam politik pendidikan nasional. Jamak diketahui bahwa kualitas SDM yang bermutu seperti di Amerika Serikat, Jepang, dan negara maju lainnya menjadi keunggulan dibandingkan negara-negara ber-kembang yang lebih dikaruniai SDA melimpah. Penyiapan tools yang sistematis, holistik, dan dalam jangka panjang harus didukung oleh stabilitas ekonomi dan politik. Indonesia berada di antara negara-negara berkembang yang mempunyai tantangan berupa pergantian kepemimpinan diikuti perubahan kebijakan secara keseluruhan. Negeri ini seperti kehilangan road mapping pembangunan untuk masa yang panjang. Pembangunan SDM menjadi salah satu yang fundamental namun diabaikan dari ketiadaan road mapping tersebut.

Kualitas sumber daya manusia Indonesia memang masih belum bisa dianggap siap untuk menantang era baru native democracy. Indeks pembangunan manusia Indonesia berdasar data UNDP (2013, hlm. 144-145) hanya memperoleh rangking 121 dari 187 negara. Peringkat Indonesia masih kalah dengan negara tetangga seperti Filipina (114), Thailand (103), Malaysia (64) dan Singapura (18). Meskipun laporan PISA (2010, hlm. 78) menunjukkan kuantitas pendidikan kita naik 7% dan performa

(5)

menga-Jurnal El-Hamra

(Kependidikan dan Kemasyarakatan) Vol. 4. No. 1 Februari 2019 – ISSN 2528-3650

http://ejournal.el-hamra.id/index.php/jkk lami pertumbuhan 30% tetapi jumlah anak

putus sekolah di usia pendidikan dasar 7-12 tahun masih tinggi di angka 182.773 siswa. Faktor besarnya angka anak putus sekolah tidak semata persoalan anggaran pendidikan, me-lainkan juga akses dan distribusi kualitas dan kuantitas sarana dan prasarana yang masih mengalami ketidakadilan antara Jawa dan luar Jawa. Jumlah pengangguran terdidik di negeri ini dari Badan Pusat Statistik (BPS) juga tidak bisa dikatakan baik dengan angka 7% (tamatan SD), 14,9% (tamatan SMP), 20,8% (tamatan SMA), 21% (tamatan SMK), dan 15,8% (tamatan sarjana). Pengangguran yang begitu besar amat disayangkan terjadi di usia-usia produktif yang semestinya nanti menjadi penopang sektor-sektor penting di negeri ini dalam persaingan global.

Respon terhadap tantangan di era percepatan teknologi dan informasi dalam bidang penyiapan SDM berkualitas dilakukan pemerintah dengan mewacanakan generasi emas 2045. Generasi emas 2045 atau generasi pada momentum kemerdekaan Indonesia yang tepat mencapai usia 100 tahun. Pada 2045, Indonesia diharapkan menjadi satu dari tujuh kekuatan ekonomi dunia dengan pendapatan per kapita mencapai $ 47.000 dollar. Untuk mencapai impian tersebut, pendidikan menjadi kunci dan pemerintah mulai melakukan perubahan pada arah pendidikan nasional. Terobosan yang dilakukan pemerintah di ataranya dengan meng-kampanyekan perubahan kurikulum nasional (KTSP menjadi Kurikulum 2013), memecah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Ke-mendikbud) menjadi Kementerian Kebudayaan, Pendidikan Dasar dan Menengah serta Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, mengelontorkan biaya pendidikan lewat beasiswa LPDP, mengadakan sertifikasi guru, dan mencanangkan pendidikan karakter sebagai basis moral pendidikan nasional. Meskipun secara teoritik berbagai kebijakan pemerintah memang tepat, namun dalam praktek di lapangan masih banyak ketidaksuaian antara das sollen (semestinya) dengan das sein (realitasnya).

PEMBAHASAN

Pendidikan Karakter Pancasila Pada Era Native Democracy

Jika kita menilik Pembukaan UUD 1945 alinea IV, maka akan kita temukan kalimat

“mencerdaskan kehidupan bangsa,” menjadi satu di antara empat tujuan nasional Bangsa Indo-nesia. Jika kita renungkan lebih dalam, pendi-dikan semestinya menjadi saluran pertama mewujudkan tujuan nasional secara keseluruhan. Fakta empiriknya, pendidikan nasional dirasakan belum bisa menyiapkan generasi yang mampu membayar hutang proklamasi yang belum terbayarkan. Kalimat “mencerdaskan” bukan semata dimaknai cerdas secara kognitif-mate-matis, melainkan cerdas menjalani kehidupan sebagai bangsa. Artinya, setiap diri Bangsa Indonesia harus mengenali siapa dirinya, bangsanya, dan cita-cita pendirian bangsa dan negara. Untuk sampai ke arah itu, maka pendidikan karakter menjadi terminologi yang sejak era Soekarno dicetuskan sebagai nation and character building. Kalimat “mencerdaskan kehidupan bangsa” dalam konteks penyiapan generasi emas 2045 ialah pembangunan karakter manusia Indonesia secara individu dan menyeluruh tumpah darah Indonesia tanpa terkecuali. Lantas pertanyaannya, nilai karakter apa yang hendak dibangun?

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) Pasal 3 menunjukkan dengan jelas tujuan pendidikan nasional kita, yaitu “mengem-bangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.” Dari UU Sisdiknas ini dapat kita gali nilai-nilai karakter yang hendak dibangun dalam rangka nation and character building yaitu manusia Indonesia. Jika kita cari korelasikan dengan identitas pada masyarakat native de-mocracy Indonesia di masa depan yaitu lebih religius, lebih berpengetahuan, dan lebih sejahtera, maka kiranya tepat jika karakter-karakter di atas menjadi pilar pendidikan moral di Indonesia. Namun, nilai-nilai karakter di atas sejatinya tidak lengkap tanpa sebuah dasar filosofis yang kuat. Dengan mengutip tesis Samuel Huntington dalam the clash of civilizations (Benturan Antar Peradaban, ter-jemah Indonesia) bahwa bangsa dengan kejayaan peradaban besar hanya dimiliki oleh bangsa dengan basis nilai ideologi kuat. Ideologi tersebut harus memuat nilai-nilai absolut, yaitu nilai-nilai keyakinan yang bersumber dari agama atau keyakinan religius. Pancasila sebagai dasar

(6)

negara sudah seharusnya menjadi basis dasar bagi penerapan pendidikan moral. Jika bukan Pancasila, dengan ideologi apa yang bisa kita tawarkan?

Gambar 1

Konteks makro pengembangan karakter

Belajar dari sejarah, untuk menjadi basis dasar bagi pembangunan negara dan karakter (nation and character building) semestinya Bangsa Indonesia melakukan rejuvikasi (penye-garan) terhadap cara pandang kepada Pancasila. Latar belakang historitas dalam implementasi Pancasila di bagian awal tulisan ini meng-gambarkan bahwa beragam tafsir yang justru menjadikan Pancasila semakin sakit disebabkan oleh sikap apatis di satu sisi dan phobia di sisi yang lain. Kaelan (2013) menyebutkan bahwa Pancasila bagi Bangsa Indonesia memiliki kedudukan yang primer sebagai suatu weltanscahuung (pandangan hidup). Pancasila sebagai pandangan hidup bukanlah seperti pemaknaan kita terhadap agama yang kita yakini. Sebab Pancasila bukanlah agama dan tidak mungkin untuk meng-agama-kan Pancasila. Buah pikir para pendiri republik bahwa Indonesia tidak dibangun sebagai negara berdasar satu agama tertentu, tetapi negara yang dihidupi oleh keyakinan kepada Tuhan dan melindungi kebebasan beragama bagi warganya. Jika hal ini dihayati dengan sepenuhnya maka akan diperoleh keinsyafan bahwa Pancasila akan dapat menjadi solusi persoalan-persoalan indi-vidu maupun kenegaraan. Dengan Pancasila sebagai ideologi dan dasar hukum bagi semua peraturan perundang-undangan, yang jika dilaksanakan secara konsekuen akan membawa bangsa ini menjadi bangsa yang adil, sejahtera, dan makmur.

Realita di masa sekarang Pancasila seperti hanya utopia bagi Bangsa Indonesia sendiri. Semenjak diikrarkan oleh Soekarno pada 1945

sebagai nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang, yang diambil dari bumi pertiwi sebagai asa moral dasar kehidupan berbangsa dan bernegara, Pancasila kehilangan makna dalam prakteknya. Di era reformasi, tak banyak perubahan berarti. Justru semakin bertambah parahnya degradasi moral seperti konflik politik, korupsi, pembu-nuhan, pengangguran, pencurian sumber daya alam, hukum yang berat sebelah, pengrusakan lingkungan, pelanggaran HAM, narkoba, seks bebas di kalangan remaja, tawuran pelajar, gera-kan separatis, kacau balaunya sistem pendidigera-kan adalah gambaran kondisi Indonesia saat ini.

Pancasila tidak lagi membutuhkan konsep-konsep yang panjang dan berbelit di ruang wacana namun hanya berada di menara gading. Tak tersentuh dalam kehidupan nyata. Pancasila kita saat ini membutuhkan orang-orang yang mau menghidupkan kembali nilai-nilainya. Yudi Latif menggambarkan masih adanya sosok-sosok yang mencerminkan nilai-nilai Pancasila dalam bukunya Air Mata Keteladanan. Yudi Latif mengungkapkan kerisauannya bahwa pelajaran moral Pancasila diajarkan lewat butir-butir hafalan yang menjemukan, kehilangan impresi yang bisa menumbuhkan nurani. Pancasila semestinya menemukan suri teladan yang dapat dikisahkan. Maka dalam buku tersebut Yudi Latif menceritakan model manusia Indone-sia seperti Buya Hamka, Agus Salim, Romo Mangun, sampai B. R. Agus Indra Udayanan yang merefleksikan semangat ketuhanan. Kemudian dihadirkan pula tokoh-tokoh semisal R. M. Serjopranoto, Tan Malaka, Hoegeng, sampai Baharuddin Lopa yang menunjukkan perjuangan HAM dan keadilan di Indonesia. Juga keteladanan dari Soetomo, Soedirman hingga Mak Eroh yang giat mempererat jiwa gotong-royong untuk menjaga kesatuan dan persatuan. Adapula Ki Hajar Dewantara, Habibie, Ki Bagoes Hadiku-sumo, Muh. Hatta yang getol memperjuangkan asas permusyawaratan, keterbukaan, dan keadilan sosial. Yudi Latif menampilkan tokoh-tokoh di atas sebagai keteladanan dalam implementasi Pancasila. Bahwa Pancasila bukan pedoman berperilaku yang hanya apat digunakan oleh barisan malaikat, tetapi Pancasila sebe-narnya telah menemukan sosok panutan sebagaimana Muhammad dan Isa al-Masih pada agama Islam dan Kristen.

(7)

Jurnal El-Hamra

(Kependidikan dan Kemasyarakatan) Vol. 4. No. 1 Februari 2019 – ISSN 2528-3650

http://ejournal.el-hamra.id/index.php/jkk

Gambar 2

Diagram Hierarkis Piramidal Pancasila

Pendidikan karakter yang di dalamnya diisi nilai-nilai Pancasila semestinya diintroduksikan ke dalam kehidupan baik secara formal maupun non formal melalui contoh-contoh keteladanan. Hal ini sesuai dengan ungkapan “Moral is not thought but caught.” Implementasi Pancasila melalui keteladanan ini harus merujuk bahwa Pancasila dengan kelima silanya memiliki esensi atau core value. Dan core value dari kelima sila dalam Pancasila ialah nilai Ketuhanan. Hal ini diutarakan oleh Notonagoro (1975:44) bahwa Pancasila sebagai sistem nilai yang berbentuk piramida dengan sila pertama sebagai dasar keempat sila lainnya. Dalam penjelasannya, sila kedua dijiwai sila pertama dan menjiwai sila ketiga, keempat, dan kelima; sila ketiga dijiwai sila pertama dan sila kedua serta menjiwai sila keempat dan kelima; sila keempat dijiwai sila pertama, sila kedua, dan sila ketida serta menjiwai sila kelima. Sila kelima dalam system piramida tersebut berada di puncak atau sebagai tujuan akhir untuk menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

PENUTUP

Persaingan global dengan tuntutan atas kualitas dan kuantitas sumber daya manusia unggul tidak dapat lagi ditawar. Indonesia dengan bonus demografinya di masa yang akan datang membutuhkan solusi jangka panjang yang harus secepatnya dimulai guna memenangkan persaingan di era native democracy. Sumber daya manusia unggulan yang dipersyaratkan di era native democracy bukan hanya unggul secara kognitif-intelektual, melainkan juga memiliki basis karakter yang kuat. Pancasila sebagai

ideologi Bangsa Indonesia memberikan basis kekuatan karakter tersebut lewat nilai-nilainya yang dapat teraktualisasikan melalui pendidikan karakter.

Negara Indonesia tidak boleh lagi larut dalam pertentangan ideologi di antara ekstrem kanan dan kiri. Pengalaman sejarah telah membelajarkan kepada kita bahwa Pancasila masih layak dan harus terus dipertahankan sebagai sumber nilai bagi pembangunan bangsa dan negara. Di era native democracy, karakter manusia Pancasila harus diteladankan dan bukan sekedar dibelajarkan. Pancasila jangan hanya menjadi wacana kampanye atau diskursus lewat mimbar-mimbar seminar. Pancasila harus dekat, hidup dan dihidupkan dalam setiap aktivitas kehidupan rakyat Indonesia.

Rejuvikasi nilai-nilai Pancasila dapat dijalan-kan untuk pendididijalan-kan karakter di Indonesia. Tujuan pendidikan nasional dan identitas masyarakat native democracy mempersyaratkan nilai religius sebagai basis moral tertinggi dalam mengatur pola sikap dan tata laku (moral order). Pancasila yang dijiwai oleh semangat keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan menjun-jung tinggi kebebasan beragama dan menjalan-kan agama menjadi sintesa terbaik bahwa di masa depan setiap pribadi Indonesia dapat menjadi warga global yang lebih religius, lebih berpengetahuan dan lebih sejahtera. Dengan kembali kepada nilai-nilai agama, maka setiap diri Bangsa Indonesia akan menemukan cara pandang yang teduh, jernih dan merdeka dalam mengaplika-sikan Pancasila dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. Maka kiranya tepat bahwa manusia Indonesia yang Pancasilais ialah manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa, yang dengan iman dan takwanya tersebut menjadi karakter guna memberikan sumbangsih bagi kemajuan bangsa dan negerinya.

DAFTAR PUSTAKA

Bakry, N. M. (2010). Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Budimansyah, D. (2010). Penguatan Pendidikan Kewarganegaran Untuk Membangun Karakter Bangsa. Bandung: Widya Aksara Press.

Kaelan. (2013). Negara Kebangsaan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma.

Latif, Y. (2014). Air Mata Keteladanan: Pancasila dalam Perbuatan. Jakarta: Mizan.

(8)

Huntington, S. P. (2012). Benturan Antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia. Jakarta: Qolam.

Matta, A. (2014). Gelombang Ketiga Indonesia. Jakarta: The Future Institute.

Notonagoro. (1975). Pancasila: Secara Ilmiah Populer. Djakarta: Pantjuran Tudjuh.

Rizieq, H. (2013). Wawasan Kebangsaan Menuju NKRI Bersyariah. Jakarta: Suara Islam Press. Sekretariat Negara Republik Indonesia. (1998). Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha- Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)-Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Jakarta: Sekretarian Negara RI.

Sumber Laporan/Jurnal/ Internet/UU United Nations Development Programme

(UNDP). (2013). Human Development Report 2013: The Rise of the South: Human Progress in a Diverse World. New York: UNDP.

OECD. (2010). PISA 2009 Results: Learning Trends: Changes in Student Performance Since 2000 (Volume V). Paris: OECD.

Badan Pusat Statistik (BPS). Persentase Penduduk Usia 7-24 Tahun Menurut Jenis Kelamin, Kelompok Umur Sekolah, dan Partisipasi Sekolah 1, 2002-2014. Jakarta: Badan Pusat Statistik.

Gulo, M. R. (2012, 28 Oktober). Jelaskan, Menurut Alvin Toffler, Ada Tiga Gelombang Peradaban Manusia. [Online]. Diakses dari https://ahlikomunikasi.wordpress.com/201

2/10/28/menurut-alvin-toffler-tiga-gelombang-peradaban-manusia-lihat/ pada 15 Oktober 2018.

Pratomo, A. Y. (2014, 25 September). Puluhan Bupati dan Wali Kota Demo Tolak Pengesahan RUU Pilkada. [Online]. Dikses dari

http://m.merdeka.com/peristiwa/puluhan-

bupati-dan-wali-kota-demo-tolak-pengesahan-ruu-pilkada.html pada 15 Oktober 2018.

Selasar. (2018, 16 Maret). Bonus Demografi Indonesia. [Online]. Diakses dari

https://www.selasar.com/khas-selasar/bonus-demografi-indonesia pada 15 Oktober 2018.

Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) UU Nomor 20 Tahun 2003.

Referensi

Dokumen terkait

Identifikasi Deskripsi Prosedur Pengujian Masukan Keluaran yang diharapkan Kriteria Evaluasi Hasil Hasil yang didapat Kesimpulan PI_01 Menampilk an laporan invoice

Sistem Operasi atau Perangkat Lunak Terintegrasi atau Opsi Perangkat Lunak Terintegrasi (atau ketiganya) dapat mencakup karya cipta terpisah, yang diidentifikasi

Pada ruas jalan Kawi, arahan pengelolaan lalu lintas dengan penerapan skenario penataan parkir on-street di sisi utara dan sisi selatan, penertiban angkutan kota

Permasalahan yang ada karena adanya penggantian logo yang dilakukan oleh Q2 Technologies maka dari itu perlu adannya strategi untuk meningkatkan brand awareness dari para customer

Dari uraian di atas penelitian ini bertujuan untuk membuat dan menerapkan data clustering yang efektif pada weblog untuk mendapatkan pola penjelajahan dari pengguna sehingga