• Tidak ada hasil yang ditemukan

MEKANISME PERLIPATAN EN ECHELON DI ANTIKLINORIUM REMBANG UTARA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MEKANISME PERLIPATAN EN ECHELON DI ANTIKLINORIUM REMBANG UTARA"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

MEKANISME PERLIPATAN EN ECHELON DI ANTIKLINORIUM REMBANG

UTARA

Salahuddin Husein1* Kret Kakda2, Hafiz Fatah Nur Aditya3 1

Dosen pada Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

2

Mahasiswa S2 Departemen Teknik Geologi FT UGM, Yogyakarta

3 Mahasiswa S1 Departemen Teknik Geologi FT UGM, Yogyakarta

*corresponding author: shddin@gmail.com

SARI

Zona Rembang tersusun atas Antiklinorium Rembang Utara dan Antiklinorium Rembang Selatan. Antiklinorium Rembang Utara dibangun oleh beberapa perlipatan bersumbu timur-barat dengan pola en-echelon ke arah timur-timurlaut dan barat-baratdaya. Konfigurasi perlipatan demikian menunjukkan kontrol patahan basement geser mengiri berjurus timur-timurlaut dan barat-baratdaya. Makalah ini mencoba menampilkan data-data lapangan yang membuka mekanisme perlipatan, dengan lokasi daerah kajian pada Antiklin Braholo, sekitar 10 km di utara kota Blora. Struktur gores-garis, sesar minor, kekar, dan kedudukan perlapisan batuan menunjukkan deformasi tektonik terjadi dalam dua fase. Fase pertama dibentuk oleh gaya kompresif berarah baratlaut-tenggara yang disebabkan oleh pergeseran patahan basement berjurus timur-timurlaut dan barat-baratdaya, dengan kemungkinan adanya reorientasi stress lokal. Fase pertama ini terjadi pada Kala Plio-Pleistosen dan menyebabkan terbentuknya Antiklinorium Rembang dan beberapa sesar geser sinistral berarah timurlaur-baratdaya. Fase kedua yang menyusul kemudian sebagai relaksasi terhadap gaya kompresi fase pertama, dengan gaya regangan ke arah baratlaut-tenggara. Hasil temuan ini memberikan kontribusi ilmiah terhadap kajian tektonika Rembang yang jarang dilakukan, terutama berbasis data lapangan, terhadap konfigurasi antiklinorium yang menyimpan banyak perangkap hidrokarbon di kawasan tersebut.

I. PENDAHULUAN

Perbukitan Rembang merupakan suatu perbukitan antiklinorium yang memanjang dengan arah timur-barat (T-B) di sisi timurlaut Pulau Jawa. Zona ini membentang dari bagian utara Purwodadi hingga ke Pulau Madura. Lipatan-lipatan dengan sumbu memanjang berarah timur-barat, dengan panjang dari beberapa kilometer hingga mencapai 100 km (Antiklin Dokoro di utara Grobogan). Zona Rembang terbagi menjadi dua, yaitu Antiklinorium Rembang Utara dan Antiklinorium Rembang Selatan (Van Bemmelen, 1949). Antiklinorium Rembang Selatan juga dikenal sebagai Antiklinorium Cepu. Kedua zona antiklinorium tersebut dipisahkan oleh lembah aliran Sungai Lusi di bagian barat, dan lembah aliran Sungai Kening (anak sungai Bengawan Solo) di bagian timur.

Perbukitan lipatan di Zona Rembang umumnya tersusun secara en-echelon ke arah kiri (left-stepping), mengindikasikan kontrol patahan batuan alas (basement faults) geser

sinistral berarah timur-timurlaut - barat-baratdaya (TTL-BBD) yang membentuk antiklinorium Rembang tersebut. Pola ini dapat diamati pada rangkaian perbukitan deretan Antiklin Dokoro hingga Antiklin Lodan (baratlaut Tuban) di Zona Rembang bagian utara. Di Zona Rembang bagian selatan, pola tersebut dibentuk oleh deretan Antiklin Jamprong (timur Blora) hingga Antiklin Gabusan (baratlaut Randublatung). Antiklin merupakan perangkap struktural paling utama dalam eksplorasi hidrokarbon di Zona Rembang ini (Gambar 1).

Sejauh ini, hanya Soeparyono & Lennox (1989) saja yang telah melakukan analisis struktur terhadap pola sebaran perlipatan yang ada di Zona Rembang, berdasarkan pada data-data seismik pantul yang banyak diakuisisi oleh perusahaan yang mengeksplorasi hidrokarbon. Mereka mengidentifikasi dua model perlipatan yang berkembang di kawasan tersebut. Model pertama adalah Antiklin Nglobo – Semanggi sebagai perlipatan yang dikontrol oleh pergeseran batuan dasar (thick-skinned

(2)

tectonic) akibat pergeseran sesar mendatar (wrench faulting). Model kedua adalah Antiklin Tambakromo – Kawengan, sebagai perlipatan yang tidak dikendalikan oleh batuan dasar (thin-skinned tectonic), dimana perlipatan lebih disebabkan oleh kehadiran sesar anjak (thrust faulting). Kedua model tersebut terindikasi mengalami pengelupasan struktural (detachment) pada Formasi Tuban. Soeparyono & Lennox (1989) mengusulkan kedua jenis perlipatan tersebut dapat terbentuk bersama-sama akibat gaya tektonik transpressional yang dihasilkan oleh subduksi menyerong Palung Jawa di sepanjang Neogen hingga Pleistosen.

Makalah ini menyajikan analisis struktur terhadap salah satu perlipatan yang berkembang di Zona Rembang Utara, yaitu Antiklin Braholo, berdasarkan data-data geologi permukaan. Makalah ini mampu memberikan kontribusi terhadap pemahaman proses perlipatan yang terjadi di Zona Rembang, terutama tentang arah gaya pembentuk, jumlah fase tektonik, dan mekanisme deformasinya.

II. TATAAN GEOLOGI

2.1. Tataan tektonik

Zona Rembang merupakan bagian dari Cekungan Jawa Timur Utara (Northeast Java Basin), yang berkembang di ujung tenggara Sundaland. Sundaland merupakan massa daratan yang terbentuk oleh gabungan berbagai mikrokontinen melalui sejarah subduksi dan kolisi yang panjang semenjak Mesozoikum (Hall & Morley, 2004). Cekungan Jawa Timur Utara diduga terbentuk pada salah satu lempeng mikrokontinen, yaitu Lempeng Argo, yang menyusun Jawa Timur hingga Sulawesi Barat (Hall, 2012; Husein & Nukman, 2015). Cekungan ini terbentuk pada Kala Eosen, sebagai cekungan belakang busur (back-arc basin) pada tataan tepian benua aktif (active margin) (Hall & Morley, 2004). Sedimen awal pengisi cekungan adalah bersumber dari daratan (terrigenous sediments) pada saat peregangan cekungan (basin rifting), sebelum kemudian berubah menjadi lingkungan laut pada akhir Eosen. Struktur pengontrol peregangan berarah timurlaut-baratdaya, yang mencerminkan pola struktur batuan dasar (Hamilton, 1979) dan pola regangan Selat Makassar (Hall, 2002).

Novian et al. (2014) mengusulkan hipotesis bahwa evolusi Cekungan Jawa Timur Utara sangat dipengaruhi oleh dinamika subduksi Lempeng Samudera Hindia. Inisiasi penunjaman Kenozoikum di selatan Sundaland dianggap memicu pembentukan Cekungan Jawa Timur Utara. Di akhir Miosen Awal, patahnya slab lempeng samudera berumur Albian-Turonian dan masuknya slab berumur Oxfordian-Albian mampu menjungkitkan Pulau Jawa, termasuk menghasilkan peristiwa orogenesa Tuban (Tuban Event) di Cekungan Jawa Timur Utara. Berkembangnya volkanisme Jawa Modern dari subduksi slab Oxfordian-Albian serta gaya shearing akibat tarikan slab tersebut di sepanjang Palung Jawa, mampu menyebabkan inversi Cekungan Jawa Timur Utara dalam peristiwa Rembang (Rembang Event) pada Pliosen Tengah.

2.2. Stratigrafi

Berdasarkan data bawah permukaan dari eksplorasi hidrokarbon di kawasan ini, satuan stratigrafi yang tertua di atas batuan dasar adalah Formasi Ngimbang. Namun formasi ini tidak tersingkap di permukaan. Secara umum, Soetantri et al. (1973) menyederhanakan stratigrafi Cekungan Jawa Timur Utara menjadi 3 perioda utama, yaitu:

a) Perioda Ngimbang – Tuban pada rentang Eosen Tengah hingga awal Miosen Tengah, yang terdiri dari formasi Ngimbang, Kujung, Tuban, Tawun, dan Ngrayong. Perioda ini dicirikan oleh penenggelaman cekungan semenjak dari Ngimbang hingga mencapai peristiwa orogenesa Tuban yang mengindikasikan pendangkalan cekungan. b) Perioda Kawengan pada rentang awal

Miosen Tengah hingga Pliosen Tengah, yang tersusun atas formasi Bulu, Wonocolo, Ledok, dan Mundu. Perioda ini mengindikasikan siklus penenggelaman cekungan yang kedua. c) Perioda Lidah semenjak Pliosen Tengah, yang tersusun atas formasi-formasi Selorejo, Lidah, dan Paciran. Perioda ini menandakan perubahan lingkungan yang sebelumnya berupa laut dalam ketika sedimentasi Formasi Mundu, menjadi lingkungan laut dangkal pada sedimentasi Formasi Selorejo.

(3)

Proses pengangkatan dan pendangkalan cekungan semenjak Pliosen Tengah ini terus berlangsung hingga sekarang.

2.3. Struktur geologi

Antiklinorium Rembang dicirikan oleh berbagai antiklin yang bertumpang-tindih (superimposed), mengindikasikan kompleksitas deformasi yang dialami oleh daerah tersebut. Arah umum sumbu antiklin bervariasi dari timur – barat hingga utara-baratlaut – selatan-tenggara. Demikian pula dengan arah sesar naiknya, yang menerus hingga ke batuan dasar, mengindikasikan tipe struktural thick-skinned tectonic (Musliki & Suratman, 1996). Data stratigrafi regional mengindikasikan adanya 2 fase ketidakselarasan, pertama terjadi setelah Pliosen, dan yang kedua terjadi pada akhir Pleistosen. Setiap ketidakselarasan diikuti oleh deformasi struktural, dimana fase pertama membentuk perlipatan berarah baratlaut-tenggara dan timur-barat, sedangkan fase kedua hanya membentuk antiklinorium berarah timur-barat saja (Soetantri et al., 1973).

Soeparyono & Lennox (1989) mengusulkan dua jenis mekanisme struktural pembentuk lipatan yang berkembang di Zona Rembang, yaitu penyesaran geser (wrench faulting) dan penyesaran anjak (thrust faulting). Usulan mereka sejalan dengan beberapa model tektonik yang pernah diterapkan pada Cekungan Jawa Timur Utara, antara lain sistem penyesaran geser (Situmorang et al., 1976), intrusi lempung diapirik (Soetarso & Suyitno, 1976), dan sesar anjak pada bidang pengelupasan (Lowell, 1979).

Dalam melakukan analisis pembentukan lipatan, Soeparyono & Lennox (1989) membagi Zona Rembang ke dalam 3 blok. Pembagian tersebut berdasarkan pada orientasi lipatan dan sesar yang berkembang. Blok pertama disebut sebagai Blok Plantungan, menempati Antiklinorium Rembang Utara, dimana batuan yang lebih tua dapat terangkat ke permukaan, mengindikasikan adanya pengangkatan batuan dasar. Blok kedua disebut sebagai Blok Nglobo-Semanggi, meliputi Antiklinorium Rembang Selatan bagian barat, dengan ciri sumbu lipatan berarah relatif timur-barat, dengan mekanisme pembentukannya dikontrol oleh penyesaran geser sinistral pada batuan dasar yang berarah

timurlaut-baratdaya. Blok ketiga dinamakan Blok Kawengan, yang mencakup Antiklinorium Rembang Selatan bagian timur, dimana sebaran lipatannya memanjang dengan sumbu berarah relatif baratlaut-tenggara, dengan mekanisme pembentukannya dikendalikan oleh sesar anjak yang memanjang searah sumbu lipatan. Blok Nglobo-Semanggi dan Blok Kawengan dibatasi oleh sesar geser sinistral berarah timurlaut-baratdaya, yang juga dianggap sebagai pembatas jenis hidrokarbon yang berkembang di kawasan tersebut (Soeparyono & Lennox, 1989).

Hampir semua antiklin di Zona Rembang memiliki sayap asimetris yang relatif landai, dan penunjaman sumbu (plunge) yang juga landai (Soetantri et al., 1973). Sebagian antiklin dibatasi oleh sesar yang sejajar (longitudinal) dengan sumbu lipatan, yang kadang merupakan jenis sesar anjak dan naik. Sesar naik dapat diidentifikasi di bawah permukaan dengan pengeboran dan sesimik, dimana mereka akan menghilang di kedalaman tertentu, umumnya pada Formasi Tawun sebagai bidang pengelupasan. Sesar anjak sekunder kadang berkembang di bawah permukaan, namun hanya menjadi blind faults yang tidak sampai memotong permukaan, Di permukaan, sesar naik hanya diduga berdasarkan sayap lipatan yang bersudut besar saja. Bila ada sesar yang memotong sumbu lipatan, umumnya adalah sesar normal, yang hanya berkembang di bagian atas lipatan.

III. METODE

Lokasi penelitian berada di Antiklin Braholo, yang terletak 10 km sebelah utara Kota Blora. Antiklin Braholo ini merupakan bagian dari Antiklinorium Plantungan (Soetantri et al., 1973; Soeparyono & Lennox, 1989), atau Antiklin Pakel (Kadar & Sudijono, 1993). Desa Plantungan berada tepat pada bagian tengah sumbu Antiklin Pakel tersebut. Antiklin Pakel menyingkapkan Formasi Tawun yang berumur Miosen Awal di bagian sumbu antiklin, yang kemudian dipotong oleh sesar normal berarah timurlaut-baratdaya (Kadar & Sudijono, 1993). Sesar naik berarah timur-barat dengan kemiringan ke arah utara muncul di sayap selatan Antiklin Pakel, membatasi Formasi

(4)

Ngrayong terhadap Formasi Ledok di atasnya. Di daerah ini banyak dijumpai mata air panas.

Penelitian ini mengandalkan data lapangan sebagai data primer, meliputi rekaman stratigrafi dan data struktur geologi rapuh (brittle) berupa kekar dan sesar minor. Data-data struktur tersebut kemudian dianalisis dengan menggunakan perangkat lunak Win-Tensor, program pengolah data struktur rapuh dengan teknik inversi yang dikembangkan oleh Delvaux (2011,2012) untuk menentukan posisi paleostress. Di dalam penelitian ini, analisis struktur geologi regional mengandalkan interpretasi model elevasi digital yang dikeluarkan oleh Shuttle Radar Topography Mission (SRTM) (Farr et al., 2007) dengan resolusi 3 arcsecond (90 m).

IV. HASIL DAN DISKUSI

4.1. Stratigrafi

Hasil pengukuran stratigrafi terukur dan analisis paleontologi foraminifera planktonik di sepanjang Sungai Braholo mengindikasikan tersingkapnya empat formasi di lokasi penelitian, yaitu Tawun, Ngrayong, Wonocolo, dan Ledok (Gambar 2). Ketidakhadiran Formasi Bulu diantara Formasi Ngrayong dan Formasi Wonocolo, dengan ciri khasnya berupa batugamping berlapis tipis (platy limestones) yang kaya akan Cycloclypeus (Katacycloclypeus) annulatus, lebih disebabkan akibat tingginya pasokan sedimen silisiklastik selama sedimentasi Ngrayong hingga Ledok. Secara umum, seluruh sikuen sedimentasi yang dijumpai mengindikasikan adanya progradasi.

Formasi Tawun tersusun atas fasies packstone-grainstone yang didominasi oleh batugamping berwarna coklat hingga abu-abu dan diendapkan di lingkungan paparan terbuka. Kandungan fosilnya berupa pecahan cangkang braciopoda, gastropoda, lembaran alga filoid, dan foraminifera. Dijumpai pula nodul pirit yang terbentuk saat diagenesa pasca sedimentasi. Deformasi yang bekerja menghasilkan stilolit minor. Formasi Tawun menempati bagian inti lipatan, dengan kemunculan beberapa rembesan H2S melalui retakan.

Formasi Ngrayong tersusun atas dua fasies. Bagian bawah dibangun oleh fasies batupasir silang-siur dengan sisipan grainstone. Bagian

atas tersusun oleh fasies packstone berselingan dengan batupasir gampingan dan batulempung gampingan. Fasies batupasir didominasi oleh batupasir kuarsa tersortasi baik yang berukuran halus hingga sedang, dengan warna putih hingga kuning kemerahan. Struktur sedimen berupa silang-siur planar dua-arah dan beberapa mud drape mengindikasikan lingkungan litoral terpengaruh pasang-surut. Fasies packstone berwarna abu-abu dan kaya bioturbasi, diduga terbentuk dalam lingkungan paparan berenergi rendah.

Formasi Wonocolo juga dibangun oleh dua fasies. Bagian bawah dibentuk oleh fasies batulempung gampingan, sedangkan bagian atas disusun oleh fasies batupasir silang-siur dengan sisipan grainstone. Fasies batulempung gampingan diduga diendapkan dalam lingkungan paparan tertutup, dengan ciri warna abu-abu gelap serta struktur laminasi yang bergradasi mengkasar menjadi batupasir halus heterolitik. Tidak banyak pecahan cangkang teramati, namun mengandung banyak material organik dan bioturbasi berkembang baik.

Formasi Ledok tersusun oleh fasies batulempung gampingan berselingan batupasir gampingan. Mereka berwarna abu-abu kekuningan, dengan struktur flaser di bagian bawah dan berkembang menjadi struktur lentikular di bagian atas. Fasies ini kaya akan fosil gastropoda dan nodul atau kongkresi batulempung, mengindikasikan erosi arus pasang-surut yang cukup dominan, pada lingkungan muara estuarina.

4.2. Identifikasi lipatan

Hasil interpretasi model elevasi digital serta pengukuran kedudukan batuan di lapangan, mengindikasikan lokasi penelitian berada pada lipatan konikal yang menunjam ke arah WSW. Formasi Tawun tersingkap sebagai inti lipatan, yang memanjang berarah E-W hingga ke Desa Plantungan, dimana Lapangan Plantungan berada. Kemiringan perlapisan batugamping Tawun relatif landai, disebabkan posisinya yang menempati bagian inti antiklin. Di bagian tengah lipatan, sumbu antiklin membelok ke arah WSW, sebelum kemudian menunjam ke arah barat di ujung baratnya (Gambar 3).

Formasi Ngrayong tersebar mengikuti orientasi sumbu perlipatan. Formasi Ngrayong

(5)

menempati kemiringan yang relatif besar di bagian sayap antiklin, rerata 25o baik ke sayap utara maupun sayap selatan. Meski demikian, kemiringan perlapisan hingga >35o juga dapat terjadi di bagian sayap lipatan, terutama pada perlapisan batupasir dan batugamping yang menyusun fasies batupasir-grainstone. Nilai kemiringan perlapisan yang berbeda-beda tersebut mengindikasikan perlipatan terbentuk sebagai lipatan kelas 3 di dalam klasifikasi Ramsay (Ramsay, 1967). Hal ini lazim terjadi bila beberapa lapisan yang kompeten (batupasir dan batugamping) diselingi oleh lapisan yang tidak kompeten (batulempung) mengalami perlipatan aktif (buckling), dimana lapisan yang kompeten akan lebih rapat di bagian sayap dan rengang di bagian puncak, yang selanjutnya memicu lapisan tidak kompeten untuk berkumpul di bagian puncak antiklin (Price & Cosgrove, 1990). 4.3. Gaya tektonik

Sejumlah 745 pengukuran pada struktur rapuh (brittle) dikumpulkan di lokasi penelitian, mencakup kekar dan patahan. Populasi data tersebut kemudian dipisahkan secara iterasi dan dikelompokkan menjadi dua, kelompok pertama memberikan hasil gaya tektonik transtensional dengan kompresi dari arah NW-SE dan regangan ke arah NE-SW, sedangkan kelompok kedua memberikan hasil gaya tektonik ekstensional dengan regangan ke arah NW-SE (Gambar 4).

Tahap analisis selanjutnya adalah menentukan urutan kedua gaya tektonik tersebut. Dengan dipandu oleh adanya data perpotongan dua striasi pada satu bidang sesar (Gambar 5), didapatkan bila gaya kompresi NW-SE bekerja terlebih dahulu dan gaya regangan NW-SE terjadi setelahnya. Melihat hubungan spasial kedua gaya tersebut, diinterpretasikan bila gaya komresi NW-SE merupakan gaya pembentuk lipatan Braholo, sedangkan gaya regangan NW-SE merupakan gaya rilis pasca kompresi.

Di daerah penelitian, kedua gaya tersebut mestinya bekerja setelah pengendapan Formasi Ledok. Berdasarkan perbandingan terhadap sebaran batuan secara regional, dimana Formasi Mundu dan Formasi Selorejo yang menutupi Formasi Ledok juga ikut mengalami perlipatan di Zona Rembang, maka diperkirakan

aktifitas deformasi tektonik regional terjadi setelah sedimentasi Formasi Selorejo, yaitu pada akhir Pliosen saat sedimentasi Formasi Lidah. Indikasi ini didukung oleh litostratigrafi Formasi Lidah yang menunjukkan telah adanya pengangkatan seiring sedimentasi formasi tersebut (syn-sedimentary tectonic) (Susilohadi, 1995).

4.4. Mekanisme perlipatan

Sebelumnya telah diidentifikasi bahwa lipatan Braholo merupakan lipatan konikal, atau non-silindris, dimana sumbu lipatannya tidak linear dan ujung dari sumbu lipatannya akan menunjam. Dari analisis regional pada model elevasi digital, diketahui pula bahwa lipatan-lipatan yang berkembang di Zona Rembang memiliki orientasi en echelon berarah ENE-WSW (Gambar 6). Terhadap gaya tektonik regional Pulau Jawa yang relatif berarah utara-selatan, orientasi antiklinorium Rembang membentuk sudut (α) yang besar, sekitar 70o. Kondisi ini mengindikasikan bila Antiklinorium Rembang tersebut berkembang pada sesar batuan dasar (basement fault) berarah ENE-WSW dengan pergeseran horisontal yang relatif kecil (< 5 km) (Cramez & Letouzey, 2001).

Lipatan konikal yang berkembang akibat sesar geser pada batuan dasar umumnya tidak memiliki orientasi sumbu yang tegaklurus terhadap gaya tektonik σ1 regional, karena

kecenderungan lipatan konikal untuk mengorientasikan sumbunya sejajar dengan patahan (Cramez & Letouzey, 2001). Akibatnya gaya tektonik σ1 lokal akan mengalami

modifikasi arah, berupaya tegak lurus terhadap sesar basement. Kondisi ini terekam di Antiklin Braholo, dimana gaya kompresi pembentuk lipatan yang berarah NW-SE memiliki orientasi relatif tegak lurus terhadap sesar basement (Gambar 6).

Karena lipatan konikal memiliki kecenderungan untuk sejajar dengan patahan basement, maka lazim pula berkembang sesar geser pada tubuh lipatan yang orientasinya menyudut lancip terhadap patahan (Cramez & Letouzey, 2001), dimana sesar geser tersebut berfungsi untuk mengakomodasi perpanjangan yang dialami oleh lipatan ke arah gaya tektonik σ3 regional. Pada Antiklinorium Rembang

(6)

NE-SW yang memotong lipatan seperti demikian, termasuk yang melewati Sungai Braholo (Gambar 3).

Secara regional, umumnya pembentukan Antiklinorium Rembang ini dikaitkan dengan aktifitas sesar regional Rembang-Madura-Kangean-Sakala (RMKS) yang merupakan sesar sinistral (Satyana et al., 2004). Namun hasil penelitian ini mengindikasikan hal yang berbeda, dimana patahan-patahan basement ENE-WSW yang paling berperan, yang cenderung bersifat lokal, hanya berada di Zona Rembang saja, karena pola perlipatan en echelon tidak berkembang ke arah timur. Pola perlipatan di Pulau Madura hingga Sakala lebih cenderung menyerupai Antiklinorium Kendeng, yaitu relatif paralel tanpa ada susunan en echelon.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

Hasil penelitian ini mengindikasikan bila pembentukan lipatan di Zona Rembang dikontrol oleh pergeseran patahan basement yang berorientasi ENE-WSW, dengan slip yang relatif kecil. Kondisi reologi batuan penutup berupa sedimen laut yang cenderung bersifat liat menyebabkan mudahnya terbentuk antiklinorium di kawasan ini. Orientasi patahan basement menyudut besar (70o) terhadap gaya kompresi tektonik (σ1) regional yang relatif

berarah utara-selatan, menyebabkan adanya reorientasi gaya kompresi tektonik (σ1) lokal

yang relatif tegak lurus patahan (NW-SE). Kondisi ini lah yang menghasilkan perlipatan konikal dalam susunan en echelon, dengan

orientasi sumbu lipatan individual cenderung untuk sejajar terhadap patahan. Penyejajaran sumbu lipatan terhadap patahan juga memunculkan beberapa sesar geser sinistral berarah NE-SW untuk mengakomodasi perpanjangan lipatan ke arah gaya ekstensi tektonik σ3. Gaya regangan berarah NW-SE yang

terekam di daerah penelitian merupakan rilis dari gaya kompresi NW-SE. Peristiwa deformasi tektonik pembentukan Antiklinorium Rembang ini diduga terjadi pada akhir Pliosen, saat sedimentasi Formasi Lidah sedang berlangsung.

Penelitian ini juga membuka kemungkinan interpretasi baru bahwa pembentukan Antiklinorium Rembang tidak ada hubungannya dengan Sesar Rembang-Madura-Kangean-Sakala (RMKS), sehingga tektonik Cekungan Jawa Timur Utara selayaknya dikaji kembali.

VI. UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Departemen Teknik Geologi FT UGM, yang telah membiayai penelitian ini melalui hibah penelitian dosen tahun 2015. Penulis juga menyampaikan terima kasih untuk bantuan yang diberikan oleh Moch. Indra Novian, M.Eng di dalam observasi lapangan, Dr. Didit Hadi Barianto atas pembimbingannya kepada Kret Kakda, dan Shandy Nandya Rizkiawan, S.T. yang telah mendampingi Kret Kakda selama di lapangan dan bermurah hati menyediakan base camp.

DAFTAR PUSTAKA

Cramez, C., and J. Letouzey (2001) Basic Principles in Tectonics. Universidade Fernando Pessoa, Portugal.

Delvaux, D. (2011) Win-Tensor, an interactive computer program for fracture analysis and crustal stress reconstruction. Geophysical Research Abstracts vol. 13, EGU General Assembly 2011, EGU2011-4018, 1 p (abstract).

Delvaux, D. (2012) Release of program Win-Tensor 4.0 for tectonic stress inversion: statistical expression of stress parameters. Geophysical Research Abstracts vol. 14, EGU General Assembly 2012, EGU2012-5899, 1 p (abstract).

Farr, T.G., P.A. Rosen, E. Caro, R. Crippen, R. Duren, S. Hensley, M. Kobrick, M. Paller, E. Rodriguez, L. Roth, D. Seal, S. Shaffer, J. Shimada, J. Umland, M. Werner, M. Oskin, D. Burbank, and D. Alsdorf (2007), The Shuttle Radar Topography Mission, Reviews of Geophysics, 45, doi:10.1029/2005RG000183, 33 p.

(7)

Hall, R. (2002) Cenozoic geological and plate tectonic evolution of SE Asia and the SW Pacific: computer-based reconstructions, model and animations, Journal of Asian Earth Science, 20, pp. 353-434.

Hall, R. (2012) Late Jurassic–Cenozoic reconstructions of the Indonesian region and the Indian Ocean, Tectonophysics, 570–571, pp. 1-41.

Hall, R., and C.K. Morley (2004). Sundaland Basins. In P. Clift, P. Wang, W. Kuhnt, & H. (eds.) Continent-Ocean Interactions within the East Asian Marginal Seas. Geophysical Monograph, American Geophysical Union, 149, pp. 55-85.

Hamilton, W. (1979) Tectonics of the Indonesian Region, USGS Professional Paper, vol. 1078, 345 p. Husein, S., and M. Nukman (2015) Rekonstruksi Tektonik Mikrokontinen Pegunungan Selatan Jawa

Timur: Sebuah Hipotesis Berdasarkan Analisis Kemagnetan Purba. Proceeding Seminar Nasional Kebumian Ke-8, Departemen Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 13 p.

Kadar, D., dan Sudijono (1993) Peta Geologi Lembar Rembang, Jawa. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.

Lowell, J.D. (1980) Wrench versus compressional structures with application to Southeast Asia. Southeast Asia Petroleum Exploration Society Proceedings, 5, pp. 63-70.

Musliki, S., and Suratman (1996) A Late Pliocene Shallowing Upward Carbonate Sequence and Its Reservoir Potential, Northeast Java Basin. Proceeding of 25th Annual Convention and Exhibition of Indonesian Petroleum Association, pp. 43-54.

Novian, M.I., S. Husein, dan R.N. Saputra (2014) Buku Panduan Ekskursi Geologi Regional 2014. Jurusan Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 54 pp.

Ramsay, J. G. (1967) Folding and Fracturing of Rocks. New York: McGraw-Hill

Price, N.J., and J.W. Cosgrove (1990) Analysis of Geological Structures. Cambridge University Press., 246 p.

Satyana, A.H., E. Erwanto, dan C. Prasetyadi (2004) Rembang-Madura-Kangean-Sakala (RMKS) Fault Zone, East Java Basin : the origin and nature of a geologic border. Proceeding the 33rd Annual Convention & Exhibition of Indonesian Association of Geologist.

Situmorang, B., T.E. Siswoyo, and F. Paltrinieri (1976) Wrench fault tectonics and aspects of hydrocarbon accumulation in Java. Proceeding of 5th Annual Convention and Exhibition of Indonesian Petroleum Association, pp. 53-61.

Soeparyono, N., and P.G. Lennox (1989) Structural Development if Hydrocarbon Traps in the Cepu Oil Field, Northeast Java, Indonesia. Proceeding of 18th Annual Convention and Exhibition of Indonesian Petroleum Association, pp. 139-156.

Soetantri, B., L. Samuel, dan G.A.S. Nayoan (1973) The Geology of the Oilfields in North East Java. Proceeding of 2nd Annual Convention and Exhibition of Indonesian Petroleum Association, pp. 149-175.

Soetarso, B., and P. Suyitno (1976) The diapiric structure and relation on the occurrence of hydrocarbon in northeast Java basin. Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahuanan Ikatan Ahli Geologi Indonesia ke-19.

Susilohadi (1995) Late Tertiary and Quaternary Geology of the East Java Basin, Indonesia. Ph.D. Thesis, University of Wollongong, Australia, 361 pp.

van Bemmelen, R.W. (1949) The Geology of Indonesia. Government Printing Office, Nijhoff, The Hague, 730 p.

(8)

GAMBAR

Gambar 1. Distribusi lapangan migas di Zona Rembang dan asosiasi antiklinoriumnya (Soetantri et al., 1973). Kotak merah

adalah lokasi daerah penelitian.

Gambar 2. Peta pengamatan geologi lapangan dan sebaran unit formasi tersingkap, disertai sayatan geologi serta kolom

(9)

Gambar 3. Peta struktur geologi, orientasi sumbu Antiklin Braholo mengalami pelengkungan (bending) yang diakomodir

oleh sesar geser sinistral berarah timurlaut-baratdaya.

Gambar 4. Hasil analisis paleostress fase tektonik pertama (a), dengan jumlah data 310 pengukuran; dan paleostress fase

tektonik kedua (b), dengan jumlah data 435 data.

Gambar 5. Reaktifasi sesar di puncak Antiklin Braholo, terekam sebagai superimposed slickenlines pada grainstone Tawun.

Kedudukan bidang sesar adalah N320oE/74. Pergeseran pertama diindikasikan oleh striasi berwarna hijau dengan rake 33oNW, berupa patahan normal sinistral yang dipicu oleh gaya kompresi tektonis berarah WNW-ESE. Pergeseran kedua diindikasikan oleh striasi berwarna merah dengan rake 59oSE, merupakan patahan normal dekstral yang disebabkan oleh gaya regangan berarah NW-SE.

(10)

Gambar 6. [kiri] Distribusi lipatan di Zona Rembang (garis berwarna merah) dan hubungannya dengan patahan basement.

[kanan] Model orientasi gaya tektonik, dimana gaya kompresi σ1 regional mengalami reorientasi dari arah

relatif utara-selatan menjadi berarah relatif baratlaut-tenggara akibat kedudukan patahan yang menyudut besar terhadap gaya tektonik utama.

Gambar

Gambar 1. Distribusi lapangan migas di Zona Rembang dan asosiasi antiklinoriumnya (Soetantri  et al., 1973)
Gambar 3.  Peta  struktur geologi,  orientasi  sumbu  Antiklin  Braholo  mengalami  pelengkungan  (bending)  yang  diakomodir  oleh sesar geser sinistral berarah timurlaut-baratdaya
Gambar 6.   [kiri] Distribusi lipatan di Zona Rembang (garis berwarna merah) dan hubungannya dengan patahan basement

Referensi

Dokumen terkait

Manfaat dari penelitian ini adalah dapat mengetahui lebih dalam mengenai Shamanisme serta unsur-unsurnya terutama yang terdapat dalam ritual perkawinan dan kematian di

Dengan Denpasar dijadikan pusat pemerintahan bagi Tingkat II Badung maupun Tingkat I Bali mengalami pertumbuhan yang sangat cepat baik dalam artian fisik, ekonomi, maupun

Pada Bulan Januari ini, lima kelompok pengeluaran mengalami kenaikan angka indeks, yaitu kelompok bahan makanan naik 3,06 persen; kelompok makanan jadi, minuman, rokok &amp;

Saat ini di kalangan artis cilik yang sedang naik daun, bekerja dan merelakan hak-haknya sebagai anak seperti rekreasi, istirahat bahkan banyak sekali anak yang berprofesi

Liwariz Darta Pratama 100519-000042 Jakarta Timur Sudarwis 3.00.01 alat/peralatan/suku cadang : tulis dan barang cetakan 3.00.04 alat/peralatan/suku cadang : mekanikal

Dalam program opsi saham, suatu perusahaan memberikan kepada karyawan secara perorangan hak kontraktual, atau opsi, yang merupakan untuk membeli suatu jumlah tertentu atas

Bila rumah tangga sampel tidak ditemui pada waktu pencacahan, penggantian dilakukan dengan mengambil dari rumah tangga yang memiliki kategori sama dengan rumah tangga

Rangkaian kalibrator pada posisi ke tiga pulsa keluaran tidak sesuai dengan pulsa keluaran alat acuan (buatan General Atomic). Dengan mengubah kristal dan pembagi frekuensi maka