• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAMPAK KONVERSI LAHAN SAWAH TERHADAP PRODUKSI PADI DI KABUPATEN BANTUL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DAMPAK KONVERSI LAHAN SAWAH TERHADAP PRODUKSI PADI DI KABUPATEN BANTUL"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

DAMPAK KONVERSI LAHAN SAWAH TERHADAP PRODUKSI PADI

DI KABUPATEN BANTUL

(Studi Kasus di Kecamatan Banguntapan dan Kasihan)

USULAN PENELITIAN

Diajukan oleh : Nursahera Juniati

20120210069

Program Studi Agroteknologi

Kepada

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSIT AS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2016

(2)

Usulan Penelitian

DAMPAK KONVERSI LAHAN SAWAH TERHADAP PRODUKSI PADI DI KABUPATEN BANTUL

Yang diajukan oleh : Nursahera Juniati

20120210069

Program Studi Agroteknologi Telah disetujui/disahkan oleh :

Pembimbing Utama :

Dr. Ir. Gunawan Budiyanto, M.P Tanggal………. NIK : 196011201989031001

Dosen Pendamping

Ir. Gatot Supangkat, M.P Tanggal... NIK

Mengetahui :

Ketua Program Studi Agroteknologi

Dr. Innaka Ageng Rineksane, SP. M.P Tanggal………. NIK : 19721012200004133050

(3)

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Lahan menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang kehidupan manusia. Fungsi lahan sebagai tempat manusia beraktivitas untuk mempertahankan eksistensinya. Penggunaan lahan yangsemakin meningkat oleh manusia, seperti untuk tempat tinggal, tempat melakukan usaha, pemenuhan akses umum dan fasilitas lain akan menyebabkan lahan yang tersedia semakin menyempit. Konversi lahan pertanian yang tidak terkendali apabila tidak ditanggulangi dapat mendatangkan permasalahan yang serius, antara lain dapat mengancam kapasitas penyediaan pangan (Tjondronegoro, 1999). Konversi lahan sawah ke penggunaan non pertanian dapat berdampak terhadap turunnya produksi pertanian, serta akan berdampak pada dimensi yang lebih luas dan berkaitan dengan aspek-aspek perubahan orientasi ekonomi, sosial, budaya, dan politik masyarakat. Konversi lahan sawah juga menyebabkan hilangnya kesempatan petani memperoleh pendapatan dari usahataninya (Lubis, 2005).

Agus (2004) mengemukakan bahwa terdapat kecenderungan konversi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian mengalami percepatan. Dari tahun 1981 sampai tahun 1999 terjadi konversi lahan sawah di Jawa seluas 1 Juta hektar di Jawa dan 0,62 juta hektar di luar Jawa. Walaupun dalam periode waktu yang sama dilakukan percetakan sawah seluas 0,52 juta hektar di Jawa dan sekitar 2,7 juta hektar di luar pulau Jawa, namun kenyataannya percetakan lahan sawah tanpa diikuti dengan pengontrolan konversi,tidak mampu membendung peningkatan ketergantungan Indonesia terhadap beras impor. Suman (2007) menambahkan bahwa pada rentang tahun 1992 sampai2002, laju tahunan konversi lahan baru 110.000 hektar. Angka itu melonjak padaempat tahun terakhir menjadi 145.000 hektar. Kini, ada permohonan dari pemerintah daerah kepada Badan Pertanahan Negara (BPN) untuk mengalihkan lahan pertanian seluas 3,099 juta hektar. Dari jumlah itu 1,6 juta hektar atau 53,8 persen adalah lahan subur yang berada di Jawa dan Bali.

Konversi lahan pertanian merupakan ancaman yang serius terhadap ketahanan pangan nasional karena dampaknya bersifat permanen. Lahan pertanian yang telah dikonversi ke penggunaan lain di luar pertanian sangat kecil peluangnya untuk berubah kembali menjadi lahan pertanian. Demikian pula upaya untuk membangun lahan pertanian baru diluar Jawa tidak dengan sendirinya dapat mengkompensasi kehilangan

(4)

produksi di Jawa, karena diperlukan waktu yang lama untuk membangun lahan pertanian dengan tingkat produktivitas yang tinggi.

Konversi lahan marak terjadi di Kabupaten Bantul, hal ini banyak terjadi Konversi lahan sawah di beberapa wilayah di Kabupaten Bantul. Wilayah sentra produksi beras di Kecamatan Kasihan dan Banguntapan telah beralih fungsi. Dalam upaya peningkatan produksi padi, salah satu masalah yang menduduki prioritas untuk diteliti adalah perubahan penggunaan lahan pertanian menjadi non pertanian. Perubahan lahan pertanian menjadi non pertanian tersebut berupa penggunaan lahan untuk perumahan, kawasan industri maupun sarana dan prasarana untuk mendukung kegiatan ekonomi dan perhubungan sebagai contoh jalan yang semakin lama semakin bertambah panjang. Data konversi pada tahun 2012 ke tahun 2013, penggunaan lahan pertanian ke non pertanian meningkat, terlihat lahan pemukiman mengalami peningkatan sebesar 31,32 hektar, sedangkan luas lahan sawah dan tegalan mengalami pergeseran sebesar 30,49 hektar. Adapun Kecamatan lain paling sering terjadi penyempitan lahan sawah di kabupaten Bantul adalah di Kecamatan Banguntapan dan Kasihan.

Kabupaten Bantul sebagai daerah penyangga Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta mempunyai kedudukan yang strategis dan pemasok kebutuhan pangan di Provinsi DIY. Pada tahun 2012, produksi padi sawah di Kabupaten Bantul sebesar 204.959 ton, sedangkan produksi padigogo/ladang sebesar 396 ton. Jumlah seluruh produksi padi di Kabupaten Bantul pada tahun 2012 sebesar 205.355 ton atau sekitar 21,70% dari seluruh produksi padi di Provinsi DIY (BPS Provinsi DIY, 2013). Hampir setengah dari luas wilayah Kabupaten Bantul merupakan kawasan budidaya pertanian dengan tingkat kesuburan yang cukup tinggi dengan didukung irigasi teknis pada sebagian besar areal persawahan yang ada

Upaya-upaya pengendalian konversi lahan pertanian terus diupayakan oleh Pemerintah Kabupaten Bantul, salah satunya dengan memasukkan lahan pertanian dalam rencana tata ruang wilayah daerah. Berdasarkan Perda Kabupaten Bantul Nomor 4 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bantul Tahun 2010 – 2030 menjelaskan kawasan peruntukan pertanian meliputi kawasan pertanian lahan basah, kawasan pertanian lahan kering, dan kawasan peternakan. Kawasan pertanian lahan basah di Kabupaten Bantul direncanakan seluas kurang lebih 13.324 hektar atau 26,29% dari luas wilayah Kabupaten Bantul difokuskan terutama pada bagian tengah dan selatan, tetapi penyebarannya terdapat di seluruh kecamatan di Kabupaten Bantul kecuali Kecamatan Kasihan hanya sebagian kecil wilayah. Kawasan pertanian lahan kering

(5)

direncanakan seluas kurang lebih 5.247 hektar atau 10,35% dari luas wilayah Kabupaten Bantul difokuskan terutama pada bagian timur.

Berdasarkan pertimbangan tersebut maka penulis beranggapan bahwa penelitian mengenai “Dampak Konversi Lahan Sawah Terhadap Produksi Padi Di Kabupaten Bantul” penting untuk dilakukan mengingat sektor pertanian merupakan sektor yang amat penting sebagai penyedia bahan pangan terutama beras yang merupakan makanan pokok bagi sebagian besar masyarakat di Yogyakarta pada khususnya dan Indonesia pada umumnya.

B. Perumusan Masalah

Konversi lahan adalah perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang menjadi dampak negatif (masalah) terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri. Konversi lahan sawah ke non sawah secara terus menerus menyebabkan penurunan luas lahan sawah. Konversi lahan tersebut terjadi pada lahan sawah dan lahan pertanian lain yang potensial untuk tanaman pangan, maka hal ini akan menimbulkan masalah pada produksi pangan di Indonesia, khususnya Kabupaten Bantul. Masalah akan timbul apabila peningkatan produktivitas tanaman pangan tidak sebanding dengan penyusutan lahan pertanian, maka hal ini akan menyebabkan terjadinya penurunan produksi tanaman pangan secara terus menerus.

Konversi lahan sawah ke penggunaan non sawah sebagai dampak dari peningkatan jumlah penduduk akan menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan, dimana produksi pangan akan berkurang akibat konversi lahan. Disisi lain kebutuhan konsumsi pangan masyarakat akan meningkat, dan selanjutnya dapat menjadi ancaman bagi kemampuan wilayah untuk menyediakan kebutuhan pangan bagi penduduknya. Berdasarkan uraian tersebut, maka masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah : 1. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi konversi sawah di Kabupaten Bantul

khususnya Kecamatan Banguntapan dan Kasihan ?

2. Bagaimana dampak yang ditimbulkan dari adanya konversi sawah terhadap produksi produksi padi di Kabupaten Bantul khususnya Kecamatan Banguntapan dan Kasihan?

(6)

C. Tujuan Penelitian

Sejalan dengan perumusan masalah, maka penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengetahui Faktor-faktor yang mempengaruhi konversi sawah di Kabupaten Bantul khususnya Kecamatan Banguntapan dan Kasihan.

2. Menganalisis dampak yang ditimbulkan dari adanya konversi sawah terhadap produksi padi di Kabupaten Bantul khususnya Kecamatan Banguntapan dan Kasihan.

D. Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini yaitu :

1. Sebagai bahan referensi atau sumber informasi ilmiah bagi pihak-pihak yang membutuhkan;

2. Sebagai bahan pertimbangan bagi para pengambil keputusan; 3. Sebagai bahan informasi bagi pemerintah;

E. Batasan Studi

Penelitian akan dilakukan di lingkup Kecamatan Banguntapan dan Kasihan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Data konversi lahan sawah, luas tanam,luas panen dan produksi padi yang di gunakan dari tahun 2010-2014. Kecamatan Kasihan Terdiri dari 4 desa yakni Bangunjiwo, Tirtonirmolo, Tamantirto dan Ngetisharjo sebagai salah satu daerah penyumbang produksi padi yaitu dengan penggunaan lahan budidaya padi cukup besar. Populasi dalam penelitian ini adalah lahan sawah yang mengalami konversi tertinggi . Kecamatan Banguntapan terdapat 4 Desa dari 8 Desa yang sering mengalami konversi sawah yaitu Banguntapan, Baturetno, Potorono dan Wirokerten. Sedangkan Kecamatan Kasihan semua Desa mengalami konversi sawah.

F. Kerangka Pikir Penelitian

Kabupaten Bantul merupakan salah satu wilayah di Pulau Jawa yang mempunyai lahan subur. Persawahan di Kabupaten Bantul masih didukung oleh sistem irigasi yang efektif dan efisien. Luas lahan sawah rata-rata Kabupaten Bantul adalah 2.500 m2/keluarga. Wilayah Kabupaten Bantul yang relatif sempit ini didominasi oleh areal persawahan yang subur. Melihat luas lahan rata-rata dan produktivitas padi berkisar 7 ton/hektar, maka keluarga petani di Kabupaten Bantul relatif mempunyai siklus pendapatan perbulan yang rendah.

(7)

Kecamatan Banguntapan dapat dikatakan sebagai daerah peralihan atau Rural-urban fringe karena lokasinya berbatasan langsung dengan daerah kota dan daerah desa. Selain itu Kecamatan Banguntapan sebagian wilayahnya telah berkembang menjadi daerah perkotaan terutama di daerah pinggiran yang berbatasan langsung dengan daerah perkotaan dan sebagian lahan pertanian telah berubah menjadi lahan non pertanian sehingga kegiatan pertanian mulai berkurang. Sedangkan Kecamatan Kasihan lahan pertanian beralih menjadi pemukiman penduduk.

Luas lahan padi sawah yang pada awalnya cukup luas akhir-akhir ini makin menyusut, luas konversi lahan sawah pada tahun 2009-2013 sekitar 30,49 hektar. Lahan padi sawah yang luas sangat penting untuk memperoleh hasil produksi yang maksimal. Namun seiring dengan konversi lahan yang terjadi maka luas lahan padi sawah semakin menurun. Konversi lahan merupakan salah satu akibat yang dapat menimbulkan berkurangnya luas lahan padi sawah yang semula lahan padi sawah tersebut cukup luas namun karena terjadinya laju alih fungsi lahan maka lahan tersebut semakin lama semakin berkurang. Selain itu terdapat beberapa kerugian yang harus diperhitungkan sebagai dampak negatif konversi sawah, seperti berkurangnya luas tanam dan luas panen yang mengakibatkan hilangnya potensi produksi beras, hilangnya kesempatan kerja, dan semakin rusaknya lingkungan hidup. Muara dari semua itu adalah kesejahteraan masyarakat yang sulit meningkat.

Dalam proses laju konversi lahan ini juga dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor menurut persepsi masyarakat. Persepsi pertama berasal dari petani, pengambilan keputusan oleh petani untuk mengkonversikan lahannnya meliputi faktor harga jual lahan pertanian. Harga jual lahan pertanian yang tergolong tinggi menjadikan daya tarik tersendiri bagi pemilik lahan untuk menjual lahan pertaniannya. Faktor ekonomi merupakan salah satu penyebab terjadinya konversi lahan pertanian ke non pertanian, hal ini mendorong para pemilik lahan pertanian khususnya sawah untuk menjual lahan yang dimilikinya karena terdesak kebutuhan hidup dan tawaran harga jual lahan yang tinggi juga akan menjadi daya tarik yang kuat bagi para perusahaan yang bergerak di bidang non pertanian. Persepsi selanjutnya berasal dari penyuluh, menurut para penyuluh pengambilan keputusan petani untuk mengkonversikan lahannnya meliputi faktor kondisi lahan atau tanah yang tidak mendukung untuk budidaya padi, menyebabkan para petani beralih untuk membudidayakan tanaman selain padi. Faktor sosial dan budaya juga berpengaruh terhadap konversi lahan akibat pengaruh dari perkembangan daerah perkotaan. Kondisi ini juga berimbas pada lahan pertanian yang berubah menjadi

(8)

pemukiman penduduk. Berdasarkan Faktor tersebut, akan berdampak terhadap produksi padi yang mengalami penurunan seiring dengan terjadinya konversi lahan. Permasalahan konversi lahan di Kecamatan Banguntapan dan Kasihan Kabupaten Bantul terhadap produksi Padi digambarkan di kerangka pikir sebagaimana Gambar 1.

Gambar 1. Kerangka pemikiran konversi lahan sawah

Kecamatan Banguntapan dan Kasihan

Luas Konversi Lahan sawah

Faktor yang mempengaruhi Konversi

Lahan

Luas Tanam dan Luas Panen

Produksi Padi

Persepsi masyarakat

petani penyuluh Kabupaten Bantul

(9)

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Lahan

Tanah atau lahan merupakan salah satu sumber daya yang penting dalam kehidupan manusia karena setiap aktivitas manusia selalu terkait dengan tanah. Tanah merupakan tanah (sekumpulan tubuh alamiah, mempunyai kedalaman lebar yang ciri-cirinya mungkin secara langsung berkaitan dengan vegetasi dan pertanian sekarang) ditambah ciri-ciri fisik lain seperti penyediaan air dan tumbuhan penutup yang dijumpai (Soepardi, 1983 dalamAkbar, 2008).

Utomo (1992) menyatakan bahwa lahan sebagai modal alami yang melandasi kegiatan kehidupan dan penghidupan, memiliki dua fungsi dasar, yakni:

1. Fungsi kegiatan budaya; suatu kawasan yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai penggunaan, seperti pemukiman, baik sebagai kawasan perkotaan maupun pedesaan, perkebunan hutan produksi dan lain-lain.

2. Fungsi lindung; kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utamanya untuk melindungi kelestarian lingkungan hidup yang ada, yang mencakup sumberdaya alam, sumberdaya buatan, dan nilai sejarah serta budaya bangsa yang bisa menunjang pemanfaatan budidaya.

Sihaloho (2004) membedakan penggunaan tanah ke dalam tiga kategori, yaitu:

1. Masyarakat yang memiliki tanah luas dan menggarapkan tanahnya kepada orang lain; pemilik tanah menerapkan sistem sewa atau bagi hasil.

2. Pemilik tanah sempit yang melakukan pekerjaan usaha tani dengan tenaga kerja keluarga, sehingga tidakmemanfaatkan tenaga kerja buruh tani.

3. Pemilik tanah yang melakukan usaha tani sendiri tetapi banyak memanfaatkan tenaga kerja buruh tani, baik petani bertanah sempit maupun bertanah luas.

(10)

B. Konversi lahan

Lestari (2009) mendefinisikan alih fungsi lahan atau lazimnya disebut sebagai konversi lahan adalah perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang menjadi dampak negatif (masalah) terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri. Alih fungsi lahan dalam artian perubahan/penyesuaian peruntukan penggunaan, disebabkan oleh faktor-faktor yang secara garis besar meliputi keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin bertambah jumlahnya dan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik. Semula fungsi utama lahan ialah untuk bercocok tanam padi, palawija, atau hortikultura. Kini dengan gencarnya industrialisasi, lahan-lahan produktif pertanian berubah menjadi pabrik-pabrik, jalan tol, permukiman, perkantoran, dan lain sebagainya. Jika dalam setahun alih fungsi lahan terdata sekitar 4.000 hektar, dalam lima tahun ke depan lahan produktif yang beralih fungsi mencapai 20.000 hektar (Suwandi, 2002).

Irawan (2005) dalam Akbar (2008) mengemukakan bahwa konversi tanah lebih besar terjadi pada tanah sawah dibandingkan dengan tanah kering karena dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu pertama, pembangunan kegiatan non pertanian seperti kompleks perumahan, pertokoan, perkantoran, dan kawasan industri lebih mudah dilakukan pada tanah sawah yang lebih datar dibandingkan dengan tanah kering. Kedua, akibat pembangunan masa lalu yang terfokus pada upaya peningkatan produk padi maka infrastruktur ekonomi lebih tersedia di daerah persawahan daripada daerah tanah kering. Ketiga, daerah persawahan secara umum lebih mendekati daerah konsumen atau daerah perkotaan yang relatif padat penduduk dibandingkan daerah tanah kering yang sebagian besar terdapat di wilayah perbukitan dan pegunungan.

Konversi lahan biasanya terkait dengan proses perkembangan wilayah, bahkan dapat dikatakan bahwa konversi lahan merupakan konsekuensi dari perkembangan wilayah. Sebagian besar konversi lahan yang terjadi, menunjukkan adanya ketimpangan dalam konsep tata ruang dan pengelolaan lahan yang tertuang dalam Peraturan Daerah (Perda). Penegakan hukum yang lemah mengakibatkan terjadi perubahan struktur tata ruang wilayah dan akhirnya meningkatkan proses alih fungsi lahan. Di Indonesia, terdapat tiga macam ketimpangan (Cristo-doulou sebagaimana dikutip Wiradi, 2000), yakni:

(11)

1. Ketimpangan dalam hal struktur “pemilikan” dan “penguasaan” tanah. Kepentingan/keberpihakan Pemerintah.Peran pemerintah mendominasi dalam menentukan kebijakan peruntukan penggunaan lahan dan mendukung pihak bermodal dan penguasaan lahan, sedangkan peran masyarakat rendah.

2. Ketimpangan dalam hal peruntukan tanah. Terdapatnya indikasi kesenjangan, yakni tanah yang seharusnya diperuntukan bagi pertanian rakyat digusur, sedangkan sektor non pertanian semakin bertambah luas.

3. Ketimpangan atau Incompability dalam hal persepsi dan konsepsi mengenaiagrarian. Terjadi perbedaan persepsi dan konsepsi mengenai bermacam hak atas tanah, yakni pemeritah dan pihak swasta yang menggunakan hukum positif dengan penduduk yang berpegang pada hokum normatif/hukum adat.

Dampak negatif dari konversi lahan adalah hilangnya peluang memproduksi hasil pertanian di lahan sawah yang terkonversi, yang besarnya berbanding lurus dengan luas lahannya. Jenis kerugian tersebut mencakup pertanian dan nilainya, pendapatan usaha tani, dan kesempatan kerja pada usahatani. Selain itu juga hilangnya pendapatan dan kesempatan kerja pada kegiatan ekonomi yang tercipta secara langsung maupun tidak langsung dari kaitan ke depan (forward linkage) maupun ke belakang (backward linkage) dari kegiatan usaha tani tersebut, misalnya usaha traktor dan penggilingan padi. (Sumaryanto.1994).

Berbagai peraturan telah dikeluarkan pemerintah untuk membatasi alih fungsi lahan sawah. Upaya ini tidak memberikanhasil yang baik disebabkan karena: (a) lahan sawah mudah untuk berubah kondisi fisiknya; (b) peraturan yang bertujuan untuk mengandalikan konversi lahan secara umum hanya bersifat himbauan dan tidak dilengkapi sanksi yang jelas; dan (c) ijin konversi merupakan keputusan kolektif sehingga sulit ditelusuri pihak mana yang bertanggung jawab atas pemberian ijin konversi lahan. Ketiga kelemahan tersebut pada gilirannya menyebabkan aparat cenderung mendukung proses konversi lahan dengan alasan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerah.

(12)

Menurut Soekartawi 2005 faktor penyebab konversi Lahan pertanian adalah sebagai berikut :

1. Meningkatnya jumlah penduduk dan taraf kehidupan.

2. Lokasi lahan pertanian yang strategis diminati untuk kegiatan non-pertanian. 3. Fragmentasi lahan pertanian.

4. Kepentingan pembangunan wilayah yang seringkali mengorbankan sektor pertanian

Proses konversi lahan pada dasarnya dapat dipandang sebagai suatu bentuk konsekuensi logis dari adanya pertumbuhan dan transformasi, perubahan struktur sosial ekonomi masyarakat yang sedang berkembang. Perkembangan yang dimaksud tercermin dari adanya:

1. Pertumbuhan aktifitas pemanfaatan sumberdaya alamakibat meningkatnya permintaan kebutuhan terhadap penggunaan lahan sebagai dampak peningkatan jumlah penduduk dan kebutuhan per kapita.

2. Adanya pergeseran kontribusi sektor-sektor pembangunan dari sektor -sektor primer khususnya dari sektor-sektor pertanian dan pengolahan sumberdaya alam ke aktifitas sektor-sektor sekunder (manufaktur) dan tersier (jasa).

Berkurangnya luas lahan pertanian khususnya lahan sawah di suatu daerah, sudah tentu akan ikut mempengaruhi produksi padi di daerah tersebut. Jika dilihat dari tingkat pertumbuhan penduduk yang pada umumnya semakin bertambah dari tahun ke tahunnya, maka dikhawatirkan akan timbul masalah-masalah yang mengancam ketahanan pangan di daerah tersebut (Gunanto, 2007).

Model klasik dari alokasi lahan adalah model Ricardo (Ricardian Rent). Menurut model ini, alokasi lahan akan mengarah pada penggunaan yang menghasilkan surplus ekonomi (land rent) yang lebih tinggi, yang tergantung pada derajat kualitas lahan yang ditentukan oleh kesuburannya serta kelangkaan lahan. Menurut von Thunen nilai land rent bukan hanya ditentukan oleh kesuburannya tetapi merupakan fungsi dari lokasinya. Pendekatan von Thunen mengibaratkan pusat perekonomian adalah suatu kota yang

(13)

dikelilingi oleh lahan yang kualitasnya homogen. Tata guna lahan yang dihasilkan dapat dipresentasikan sebagai cincin-cincin lingkaran yang bentuknya konsentris yang mengelilingi kota tersebut. Teori von Thunen mencoba untuk menerangkan berbagai jenis pertanian dalam arti luas yang berkembang disekeliling daerah perkotaan yang merupakan pasar komoditi pertanian tersebut (Suwandi,2002).

Konversi lahan sawah tidak terlepas dari situasi ekonomi secara keseluruhan. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi menyebabkan beberapa sektor ekonomi tumbuh dengan cepat sehingga sektor tersebut membutuhkan lahan yang lebih luas. Apabila lahan sawah letaknya dekat dengan sumber ekonomi maka akan menggeser penggunaannya kebentuk lain seperti pemukiman, industri manufaktur dan fasilitas infrastruktur. Hal ini terjadi karena land rent persatuan luas yang diperoleh dari aktivitas baru lebih tinggi daripada yang dihasilkan sawah. Hal ini terjadi karena land rent persatuan luas yang diperoleh dari aktivitas baru lebih tinggi daripada yang dihasilkan sawah (Suwandi,2002).

Hubungan antara nilai land rentdan alokasi sumber daya lahan diantara berbagai kompetisi penggunaan sektor komersial dan strategis, mempunyai hubungan yang erat. Sektor tersebut berada pada kawasan strategis dengan land rentyang tinggi, sebaliknya sektor yang kurangmempunyai nilai komersial nilai rentnya semakin kecil. Economic rentsama dengan surplus ekonomiyang merupakan kelebihan nilai produksi total diatas biaya total. Suatu lahan sekurang-kurangnya memiliki empat jenis rent, yaitu:

1. Ricardian rent, menyangkut fungsi kualitas dan kelangkaan lahan 2. Locational rent, menyangkut fungsi eksesibilitas lahan

3. Ecological rent, menyangkut fungsi ekologi lahan 4. Sosiological rent, menyangkut fungsi sosial dari lahan

Hubungan antara nilai land rent dan alokasi sumber daya lahan diantara berbagai kompetisi penggunaan sektor komersial dan strategis, mempunyai hubungan yang erat. Sektor tersebut berada pada kawasan strategis dengan land rent yang tinggi, sebaliknya sektor yang kurang mempunyai nilai komersial nilai rentnya semakin kecil. Economic rent sama dengan surplus ekonomi yang merupakan kelebihan nilai produksi total diatas biaya total (Winoto, 2005).

(14)

Untuk mencegah lebih banyak terjadi konversi lahan untuk tahun-tahun berikutnya, dapat digunakan metode peramalan. Peramalan dapat diartikan sebagai penggunaan data masa lalu dari sebuah variabel atau kumpulan variabeluntuk mengestimasikan nilai dimasa yang akan datang. Untuk membuat peramalan dimulai dengan mengeksplorasi data dari waktu yang lalu dengan mengembangkan pola data dengan asumsi bahwa pola data waktu yang lalu itu akan berulang lagi pada waktu yang akan datang, misalnya berdasarkan data dan pengalaman pada 12 bulan yang terakhir (Suwandi,2002).

B. Produksi Padi

Produksi adalah tindakan dalam membuat komoditi, baik berupa barang maupun jasa (Lipsey, 1993). Suatu proses produksi membutuhkan faktor-faktor produksi, yaitu alat dan sarana untuk melakukan proses produksi. Proses produksi juga melibatkan suatu hubungan yang erat antara faktor-faktor produksi yang digunakan denga produk yang di hasilkan. Dalam pertanian, proses produksi sangat kompleks dan terus-menerus berubah seiring dengan kemajuan teknologi. Menurut Salvatore (2001), Fungsi produksi merupakan hubungan matematis antara input dan output. Menurut putong (2003) fungsi produksi adalah hubungan teknis bahwa produksi hanya bisa dilakukan dengan menggunakan faktor produksi. Bila faktor produksi tidak ada, maka produksi juga tidak ada.

Produksi pertanian tidak lepas dari pengaruh kondisi alam setempat yang merupakan salah satu faktor pendukung produksi. Selain keadaan tanah yang cocok untuk kondisi tanaman tertentu, iklim juga sangat menentukan apakah suatu komoditi pertanian cocok untuk dikembangkan di daerah tersebut, seperti halnya tanaman padi. Hanya pada kondisi tanah dan iklim tertentu dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik. Kelancaran dalam berproduksi sangat tergantung pada ketersediaan input yang digunakan. Apabila input produksi yang diibutuhkan cukup tersedia dengan jumlah yang dibutuhkan maka proses akan berjalan dengan baik. Tapi apabila terjadi sebaliknya maka proses produksi akan terganggu. Tersedia atau tidaknya input produksi sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan akan sangat mempengaruhi suatu usaha. Menurut Sukirno (1994) faktor produksi adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia atau yang tersedia oleh alam

(15)

dan dapat digunakan untuk memproduksi berbagai jenis barang dan jasa yang mereka butuhkan. Adapun faktor yang mempengaruhi produksi.

a. Luas Lahan

Dalam bidang pertanian, penguasaan tanah bagi masyarakat merupakan unsur yang paling penting untuk meningkatkan kesejahteraannya. Luas penguasaan lahan bagi rumah tangga petani akan berpengaruh pada produksi usaha tani yang pada akhirnya akan menentukan tingkat ekspor (Mubyarto,1989).

Sedangkan Sukirno (1985) mengatakan tanah sebagai faktor produksi, tanah adalah mencakup sebagian dari permukaan bumi yang tertutup oleh air. Atau bagian dari permukaaan bumi yang dapat dijadikan untuk bercocok tanam dan untuk tempat tinggal dan termasuk pula kekayaan alam yang terdapat didalamnya.

Menurut BPS (2003) lahan pertanian adalah lahan yang dikuasai, dan pernah diusahakan untuk selama satu tahun. Lahan tersebut antara lain: lahan sawah, huma, tegal/kebun, kolam/tebat/empang, tambak, lahan perkebunan, hutan dan lahan untuk pengembangan /padang/rumput.

Luas lahan akan mempengaruhi jumlah produksi pertanian, hal tersebut senada dengan Soekartawi (2002), yang menyatakan pada usahatani yang memiliki lahan yang luas juga sering terjadi ketidakefisienan dalam penggunaan teknologi dimana semakin luas lahan yang digunakan untuk usaha pertanian maka akan semakin tidak efisien penggunaan lahan tersebut. Sebaliknya pada lahan sempit pengawasan terhadap penggunaan faktor produksi semakin baik. Penggunaan tenaga kerja tercukupi dan juga ketersediaan modal juga tidak terlalu besar sehingga kegiatan usaha pertanian lebih efisien. Hal ini berdasarkan pemikiran bahwa luasnya lahan yang dapat mengakibatkan upaya melakukan tindakan yang mengarah pada segi efisien berkurang, karena disebabkan oleh:

1. Lemahnya pengawasan terhadap penggunaan faktor produksi seperti bibit, pupuk, obat-obatan dan tenaga kerja.

2. Terbatasnya persediaan tenaga kerja disektor didaerah itu yang pada akhirnya akan mempengaruhi efisien usaha pertanian tersebut.

(16)

Sebaliknya pada luas lahan yang sempit upaya pengawasan terhadap usaha pembangunan semakin baik, penggunaan tenaga kerja tercapai dan tersedianya modal kerja yang tidak terlalu besar, sehingga luas usaha pertanian seperti ini lebih efisien. Meskipun luasnya terlalu kecil cenderung menghasilkan usaha kecil pula. Jadi dari pendapat-pendapat dia atas dapat dikatakan bahwa tanah merupakan faktor produksi utama dari hasil pertanian. Luas lahan juga harus diiringgi dengan faktor-faktor lain seperti ketersediaan tenaga kerja yang cukup, pupuk yang disesuaikan dengan keadaan tanah tegalan atau kebun, pestisida yang berguna untuk mengatasi hama yang merusak tanaman .

Semakin luas lahan pertanian yang digunakan dalam pertanian dan diseimbangkan dengan faktor-faktor produksi yang lain maka akan menghasilkan produksi yang maksimal, sebagaimana diketahui bahwa luas lahan pertanian akan mempengaruhi skala usaha dan usaha ini pada akhirnya akan mempengaruhi efisien atau tidak efisiensinya suatu usaha pertanian.

b. Bibit

Bibit adalah bahan tanaman berupa tanaman yang kecil yang berpotensi untuk tumbuh dewasa yang berasal dari tanaman sejenis, misalnya: akar, batang dan daun. Bibit merupakan salah satu cara untuk mengembang biakkan tanaman. Dalam memilih bibit harus benar-benar baik yaitu tahan terhadap serangan hama penyakit, pertumbuhan subur serta memberikan hasil yang sesuai dengan yang diharapkan. Selain itu bibit yang baik memiliki daya tumbuh sekitar 80-100%. Kunci utama untuk meningkatkan produksi padi adalah dengan mengunakan benih bermutu dari varietas unggul.

Varietas adalah bagian dari suatu jenis yang ditandai oleh bentuk tanaman, pertumbuhan, daun, bunga, buah, biji dan sifat-sifat lain yang dapat dibedakan dalam jenis yang sama. Varietas unggul adalah varietas yang mempunyai keunggulan produksi dan mutu hasil, tanggap terhadap pemupukan, toleran terhadap hawa penyakit utama dan tahan terhadap penagaruh cuaca. Menurut Jumin(1994) menjelaskan benih yang sehat adalah benih yang tidak tercemar oleh gulma, tidak pula bekas gigitan serangga. Untuk memperoleh bibit yang sehat dilakukan dengan cara teknologi benih.

(17)

c. Pupuk

Menurut Jumin (2005) pupuk adalah senyawa yang mengandung unsur hara yang diberikan pada tanaman. Suatu pupuk umumnya terdiri dari komponen-komponen yang mengandung unsur hara, zat penolak air, pengisi, pengatur konsistensi, kotoran dan lain-lain. Bagian yang tidak mengandung unsur hara tersebut akan menyebabkan penurunan kadar hara dalam pupuk tersebut. Pemberian pupuk pada tanaman berguna untuk mempertahankan dan meningkatkan kesuburan tanah agar produksi tanaman tetap normal bahkan meningkat. Tujuan pemupukan memungkinkan tercapainya keseimbangan antara unsur hara baik yang terangkat saat panen, erosi, atau pencucian lainnya.

Menurut Sutejo pupuk adalah bahan yang diberikan kedalam tanah baik yang organik maupun anorganik dengan maksud untuk mengganti kehilangan unsur hara dari dalam tanah dan bertujuan untuk meningkatkan produksi tanaman. Maka dapat disimpulkan bahwa dalam pemberian pupuk pada tanaman, tidak hanya tahu cara pemberian, waktu pemberian dan dosis atau takaran tiap pemberian juga harus tepat.

d. Pestisida

Pestisida sangat dibutuhkan bagi perlindungan tanaman. Menurut Djafaruddin (1996) perlindungan tanaman mempunyai peranan yang sangat penting dan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari usaha “peningkatan produksi” atau produksi pertanian pertanaman”. Kegiatan perlindungan tanaman ialah kegiatan yamg bertujuan untuk melindungi, mencegah, atau menghindari agar tanaman kita tidak mengalami suatu gangguan, kerusakan, kematian, atau kemerosotan hasilnya, sekurang-kurangnya memperkecil kerugian yang ditimbulkan secara ekonomis. Pestisida pada tanaman ini dapat dilakukan dengan bermacam-macam tindakan sesuai dengan kebutuhan tanaman, seperti penggunaan fungsida dan pestisida.

Jadi dapat disimpulkan bahwa perlindungan tanaman itu sangat penting seperti disebutkan diatas dan dapat dikatakan menjamin kepastian hasil dan memperkecil resiko berproduksi sesuatu tanaman, sebab walaupun langkah-langkah lainnya dari memproduksi tanaman sudah dilaksanakan dengan baik, seperti varietas unggul, memupuk, mengairi, menyiangi, memanen, bahkan sampai pada pasca panen, tetapi langkah pengendalian gangguan diabaikan, maka apa yang diberikan oleh langkah lain itu akan menjadi sia-sia.

(18)

Oleh karena itu, pengendalian gangguan dalam langkah budidaya tanaman merupakan satu faktor yang sama peranannya dengan faktor-faktor lainnya. Maka dapat disimpulkan bahwa pestisida untuk mengurangi, melindungi dan menghindarkan tanaman dari hama, penyakit dan virus yang bisa menyebabkan produksi berkurang. Pengunaan pestisida atau obat pembasmi hama harus disesuaikan dengan kondisi musim atau dapat dikatan harus disesuikan dengan keadaan tanaman tersebut.

e. Tenaga Kerja

Tenaga kerja merupakan salah satu faktor produksi yang dapat mempengaruhi produksi. Menurut Hidayat (1998) sebagai golongan tenaga kerja harus dipandang semua orang yang bersedia dan sanggup bekerja, yang meliputi mereka yang bekerja untuk diri sendiri, untuk anggota keluarga yang tidak menerima upah serta mereka yang bekerja untuk menerima gaji dan upah. Dalam konteks penelitian yang akan dilakukan, tenaga kerja dihitung dengan besaran orang/tahun. Faktor tenaga kerja merupakan faktor vital dalam mengelola, menangani peralatan dan pengaturan serta menciptakan teknologi bagi keberhasilan dan kelancaran produksi. Menurut Hernanto jenis tenaga kerja yang digunakan dalam usaha tani dapat dibedakan sebagai berikut:

1. Tenaga kerja manusia 2. Tenaga kerja ternak 3. Tenaga kerja mekanik

Selanjutnya tenaga kerja manusia dibedakan atas tenaga kerja pria, wanita dan anak-anak. Tenaga kerja pria dapat mengerjakan semua jenis pekerjaan dan pekerja wanita umumnya untuk menanam, panen dan lain-lainnya. Sedangkan tenaga kerja ternak digunakan untuk pengolahan tanah dan pengangkutan, begitu pula halnya dengan tenaga kerja mekanik digunakan untuk pengolahan tanah, menyemprotka serta untuk panen. Tenaga mekanik ini bersifat substitusi dari tenaga kerja ternak dan manusia. Sehubungan dengan terdapatnya beberapa jenis tenaga kerja yang digunakan dalam usaha tani, maka dalam analisa ketenagakerjaan dan juga untuk memudahkan melakukan perbandingan tenaga kerja dalam usaha tani diperlukan adanya standarisasi satuan tenaga kerja. Salah satu caranya adalah dengan menggunakan ukuran Hari Orang Kerja (HOK) atau biasa juga disebut dengan Hari Kerja Setara Pria (HKSP).

(19)

Menurut Soehardjo (1992) hari kerja pria atau Hari Orang Kerja merupakan satuan ukuran kerja setara pria dewasa (man equivalent) dimana tenaga kerja wanita, anak-anak, hewan dan mesin-mesin dikonversikan sesuai dengan seorang pria dewasa. Dalam usaha pertanian yang akan dilakukan pasti akan memerlukan tenaga kerja, terutama dalam hal produksi. Tersedia atau tidaknya tenaga kerja dapat berpengaruh terhadap produksi komoditi Pertanian. Tenaga kerja yang memiliki keterampilan yang tinggi khususnya disektor pertanian akan dapat meningkatkan produksi, apabila produksi meningkat maka konsumsi juga meningkat sehingga secara otomatis pendapatan petani juga akan meningkat. Dengan semakin banyak dan baiknya kualitas tenaga kerja maka akan berdampak langsung pada pendapatan petani. Berdasarkan teori di atas maka dapat disimpulkan bahwa dalam usaha pertanian yang akan dilaksanakan pasti akan memerlukan tenaga kerja, terutama dalam hal produksi. Tersedia tidaknya tenaga kerja dapat mempengaruhi jumlah produksi. Jumlah tenaga kerja yang banyak dan memiliki keterampilan di bidang pertanian akan dapat meningkatkan produksi dari segi jumlah dan mutu yang akan menyebabkan peningkatan dalam keuntungan sehingga akan menyebabkan meningkatnya pendapatan petani.

f. Harga

Menurut Sukirno (1993) harga adalah: “Suatu jumlah yang dibayarkan sebagai pengganti yang sedang atau telah akan dinikmati dari suatu barang dan jasa yang diperjual belikan. Harga merupakan perjanjian moneter terakhir yang menjadi nilai dari pada suatu barang atau jasa “ Jadi dari defenisi diatas dapat disimpulkan bahwa harga merupakan suatu ukuran nilai dari barang-barang dan jasa. Harga yang terjadi adalah harga kesempakatan antara si pembeli dengan si penjual yang terjadi dalam suatu transaksi jual beli. Harga mempunyai fungsi sebagai pengukur dari nilai barang, adapun fungsi harga dalam kaitannya dengan produksi menurut Widjayanti (2001) dapat dikelompokan atas tiga macam yaitu:

1. Menentukan barang apa yang akan diproduksi.

2. Menentukan teknologi mana yang akan digunakan dalam proses produksi. 3. Menentukan pembagian hasil kerja.

Dari pernyataan yang dikemukaan oleh Widjayanti (dalam Nelfia 2001) diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa harga mempengaruhi barang apa yang akan diproduksi,

(20)

teknologi apa yang akan dipakai dalam pelaksaaan produksi dan harga akan menentukan pembagian hasil kerja. Menurut Cobweb (dalam Mubyarto,1988) yaitu hubungan antara harga dan produksi pertanian bersifat siklus dengan asumsi :

1. Harga ini oleh setiaap produsen dianggap konstan dan produsen menganggap produksinya tidak akan memberi pengaruh yang berarti terhadap pasar.

2. Periode produksi memerlukan waktu tertentu, sehingga penawaran tidak dapat secara lansung bereaksi terhadap harga.

3. Harga ditentukan oleh harga barang yang datang ke pasar dan harga itu cepat bereaksi terhadapnya.

(21)

III. KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI A. Letak Geografis

Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta mempunyai lima Kabupaten dan satu Kotamadya, salah satu kabupaten tersebut adalah Kabupaten Bantul. Apabila dilihat dari bentang alamnya, wilayah Kabupaten Bantul terdiri dari daerah dataran yang terletak pada bagian tengah dan daerah perbukitan yang terletak pada bagian timur dan barat, serta kawasan pantai di sebelah selatan. Kondisi bentang alam tersebut relatif membujur dari utara ke selatan. Secara geografis, Kabupaten Bantul terletak antara 07º44'04" 08º00'27" Lintang Selatan dan 110º12'34" - 110º31'08" Bujur Timur. Di sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Gunungkidul, di sebelah utara berbatasan dengan Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman, di sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Kulon Progo, dan di sebelah selatan berbatasan dengan Samudra Indonesia (Bappeda Bantul, 2015). Adapun Peta wilayah Kabupaten Bantul, dapat dilihat pada gambar 1.

Gambar 2. Peta Wilayah Kabupaten Bantul Sumber Gambar : BPN, 2015

(22)

B. Tinggi Tempat

Berdasarkan elevasi lahan daratan dari permukaan air laut ketinggian tempat atau elevasi dapat ditentukan, dimana permukaan air laut dianggap mempunyai elevasi 0 meter. Ketinggian tempat Kabupaten Bantul dibagi menjadi empat kelas dan hubungan kelas ketinggian dengan luas sebarannya secara spasial ditunjukkan pada Peta Ketinggian Tempat. Kelas ketinggian tempat yang memiliki Kabupaten Bantul penyebaran paling luas adalah elevasi antara 25 100 meter (27.709 hektar atau 54,67%) yang terletak pada bagian utara, bagian tengah, dan bagian tenggara Kabupaten Bantul. Wilayah yang mempunyai elevasi rendah (elevasi <7 meter dpl ) seluas 3.228 hektar (6,37%) terdapat di Kecamatan Kretek, Kecamatan Sanden, dan Kecamatan Srandakan. Wilayah dengan elevasi rendah umumnya berbatasan dengan Samudera Indonesia. Untuk wilayah yang mempunyai elevasi di atas 100 meter dpl terdapat di sebagian Kecamatan Dlingo,Imogiri, Piyungan, dan Pajangan. Ketinggian wilayah per kecamatan di Kabupaten Bantul Kecamatan Srandakan dan Sanden merupakan daerah terendah di antara kecamatan-kecamatan lain di Kabupaten Bantul, yaitu berkisar dari 0 sampai 25 meter dari permukaan laut, mencakup areal seluas 4.161 hektar (8,2% dari seluruh luas kabupaten) (Bappeda Bantul, 2015).

C. Jenis Tanah

Kabupaten Bantul mempunyai tujuh jenis tanah yaitu tanah Rendzina, Alluvial, Grumosol, Latosol, Mediteran, Regosol, dan Litosol. Jenis tanah Regosol merupakan jenis tanah yang dominan di wilayah Kabupaten Bantul. Jenis tanah ini tersebar pada Kecamatan Kasihan, Sewon, Banguntapan, Jetis, Bantul, dan Bambanglipuro. Tanah Regosol adalah tanah yang berasal dari material gunung berapi, bertekstur (mempunyai butiran) kasar bercampur dengan pasir, dengan solum tebal dan memiliki tingkat kesuburan rendah. Tanah Litosol berasal dari batuan induk batugamping, batupasir, dan breksi/konglomerat, tersebar di Kecamatan Pajangan, Kasihan, dan Pandak. Tanah Mediteran berasal dari batugamping karang, batugamping berlapis, dan batupasir, tersebar di Kecamatan Dlingo dan sedikit di Sedayu. Tanah Latosol berasal dari batuan induk breksi, tersebar di Kecamatan Dlingo, Imogiri, Pundong, Kretek, Piyungan, dan Pleret. Tanah Grumosol berasal dari batuan induk batugamping berlapis, napal, dan tuff, terdapat di Kecamatan Sedayu, Pajangan, Kasihan, Pandak, Sanden, Bambanglipuro, dan Srandakan (Bappeda Bantul, 2015).

(23)

D. Penggunaan Lahan

Penggunaan lahan adalah informasi yang menggambarkan sebaran pemanfaatan lahan yang ada di Kabupaten Bantul. Penggunaan lahan diklasifikasikan menjadi kampung/permukiman, sarana sosial kebudayaan, hutan dan air permukaan (Bappeda Bantul,2015).

Selain itu pada tahun 2009 juga telah terjadi alih fungsi lahan, dari tanah pertanian menjadi permukiman atau menjadi tempat usaha, hal tersebut berdasarkan analisis ijin pengeringan selama tahun 2008. Dengan adanya alih fungsi lahan dari pertanian menjadi non pertanian harus medapat perhatian yang khusus, karena dimungkinkan akan adanya penyusutan dalam hal hasil pertanian (Bappeda Bantul,2015).

Adapun jenis penggunaan lahan Kabupaten Bantul meliputi pemukiman, sawah, tegalan kebun campur, huta, tanah tandus dan tambak. Pada tahun 2009-2013 dapat dilihat jenis penggunaan lahan dalam Tabel 1.

Tabel 1. Penggunaan Tanah di Kabupaten Bantul Tahun2009-2013

Sumber: Kantor Pertanahan Kabupaten Bantul (2015)

Berdasarkan Tabel 1, luas lahan sawah mengalami penurunan dan sebaliknya luas pemukiman mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Data konversi pada tahun 2012 ke tahun 2013, penggunaan lahan pertanian ke non pertanian meningkat, terlihat lahan pemukiman mengalami peningkatan sebesar 31,32 hektar, sedangkan luas lahan sawah dan tegalan mengalami pergeseran sebesar 30,49 hektar. Pergeseran luas sawah dan tegalan yang terjadi dikarenakan alih fungsi penggunaan ke non pertanian, dengan luas penggunaan yang

No Penggunaan tanah

Luas lahan (hektar)

2009 2010 2011 2012 2013 1 Pemukiman 3.810,73 3.844,39 3.874,46 3.796,75 3.828,07 2 Sawah 16.046,22 15.994,20 15.942,34 16.062,70 16.033,63 3 Tegalan 6.637,39 6.633,41 6.633,41 6.635,26 6.633,84 4 Kebun campur 16.602,46 16.602,46 16.602,46 16.602,08 16.597,40 5 Hutan 1.385,00 1.385,00 1.385,00 1.385,00 1.385,00 6 Tanah tandus 543,00 543,00 543,00 543,00 543,00 7 Tambak 30,00 30,00 30,00 30,00 30,00 8 Lain-lain 5.630,21 5.652,54 5.674,34 5.630,21 5.634,07 Jumlah 50.685,00 50,685,00 50,685,00 50.685,00 50,685,00

(24)

besar untuk peruntukan pemukiman. Kondisi pengurangan lahan sawah maupun tegalan yang terjadi pada akhirnya akan merugikan petani dan seluruh masyarakat pada umumnya.

Adapun jenis penggunaan lahan 17 Kecamatan Kabupaten Bantul meliputi pemukiman, sawah, tegalan kebun campur, hutan, tanah tandus dan tambak. Pada tahun 2012 dapat dilihat jenis penggunaan lahan dalam Tabel 2.

Tabel 2. Penggunaan Lahan di Kabupaten Bantul

Sumber : Kantor BPN Bantul, 2012

Berdasarkan Tabel 2, luas pemukiman Kecamatan Kasihan mempunyai luas lebih besar daripada kecamatan yang lain yaitu pada posisi pertama dan diikuti Kecamatan Sewon dan Banguntapan. Luas sawah Kecamatan Kasihan dan Banguntapan tidak sebanding dengan luas pemukiman, luas sawah lebih kecil daripada luas pemukiman. Dari data diatas dapat disimpulkan bahwa Kecamatan Banguntapan dan Kasihan penggunaan lahan pertanian ke non pertanian lebih tinggi, terlihat luas pemukiman yang tinggi daripada luas sawah.

No Kecamatan

Jenis Penggunaan Lahan (Hektar)

Jumlah Pemukiman Sawah Tegalan Kebun

Campur Hutan Tanah Tandus Tambak Lain-lain 1. Bambanglipuro 175,09 1164,61 0 819 0 0 0 123,31 2282 2. Banguntapan 436,35 1319,83 7,68 655,01 0 0 0 210,13 2629 3. Bantul 171,85 1213,33 2 688,92 0 0 0 122,89 2199 4. Dlingo 121,55 261 1705,41 1460 1198 0 0 888,05 5634 5. Imogiri 238,93 922,98 2128 1186 187 23 0 1095,9 5781 6. Jetis 406,71 1347,53 105 513 0 0 0 187,76 2560 7. Kasihan 555,02 851,14 107,15 1567,61 0 0 0 157,08 3.238 8. Kretek 38,64 954,43 209,45 470 0 302 0 575,48 2550 9. Pajangan 112,58 280,67 430,55 2295 0 0 0 200,21 3319 10. Pandak 89,94 984,99 44 1063 0 0 0 247,07 2429 11. Piyungan 334,8 1325,95 551,16 717 0 0 0 383,09 3312 12. Pleret 234,5 716,91 634,91 356 0 0 0 185,68 2128 13. Pundong 82,6 875,62 456 733,5 0 0 0 228,28 2376 14. Sanden 51,64 836,08 123 896 0 119 0 301,28 2327 15. Sedayu 273,46 980,66 72,2 1840,49 0 0 0 244,18 3411 16. Sewon 473,23 1408,76 2 645,42 0 0 0 146,59 2676 17. Srandakan 75,32 484,46 53 693,88 0 99 30 398,34 1834 Jumlah 3872,2 159829 6631,52 16599,84 1385 543 30 5694,48 50685 Presentase 7,64 31,43 13,08 35,72 2,73 1,07 0,06 11,24 100

(25)

E. Kecamatan Kasihan 1. Letak Geografis

Kecamatan Kasihan terdiri dari 4 desa yaitu Bangunjiwo, Ngestiharjo, Tamantirto dan Tirtonirmolo, dengan jumlah dusun 53. Koordinator Kasihan District Figurs 2013 (2013) menyatakan secara geografis Posisi Kantor Desa di Kecamatan Kasihan terletak pada (i) Desa Bangunjiwo: 110˚18’14” Bujur Timur dan 7˚50’22” Lintang Selatan (ii) Desa Tirtonirmolo: 110˚20’43” Bujur Timur dan 7˚49’43” Lintang Selatan (iii) Desa Tamantirto: 110˚19’35” Bujur Timur dan 7˚49’30” Lintang Selatan (iv) Desa Ngestiharjo: 110˚20’47” Bujur Timur dan 7˚48’02” Lintang Selatan. Kecamatan Kasihan terletak pada 110˚20’40” Bujur Timur dan 7˚48’42” Lintang Selatan. Luas kecamatan ini 3.238 hektar, yakni 6,39% dari luas keseluruhan Kabupaten Bantul. Luas masing-masing desa di Kecamatan Kasihan yakni (i) Desa Bangunjiwo: 1.543 hektar (ii) Desa Tirtonirmolo: 513 hektar (iii) Desa Tamantirto: 672 hektar (iv) Desa Ngestiharjo: 510 hektar.

2. Iklim, Topografi dan Tanah

Kecamatan Kasihan merupakan kecamatan dengan jarak terdekat ke Ibukota provinsi, memiliki suhu maksimal 34oC dan suhu minimum 22oC. Luas wilayah menurut ketinggian dari permukaan laut 2.608 hektar masuk ke dalam rentang 25 – 100 mdpl dan 630 hektar 100 – 500 mdpl. Pemerintah Kabupaten Bantul (2015) mengatakan Kecamatan Kasihan berada di dataran rendah, bentangan wilayah di Kecamatan Kasihan 80% berupa daerah yang datar sampai berombak dan 20% berupa daerah yang berombak sampai berbukit. Kemudian luas wilayah berdasarkan kemiringan tanah atau lereng 2.668 hektar termasuk ke dalam 0-2% dan 8 hektar 15-25%. Kecamatan Kasihan merupakan salah satu bagian dari 16 Kecamatan lainnya di Kabupaten Bantul. BAPPEDA (2015) menyatakan Kabupaten Bantul merupakan daerah yang subur, baik karena jenis lapisan tanahnya, pengairannya, kedataran wilayahnya maupun karena letaknya yang ada di penghujung Selatan tempat sungai-sungai bermuara dan menumpuk lumpur vulkanik beserta endapan-endapan humus dari daerah Utara. Kabupaten Bantul mempunyai tujuh jenis tanah yaitu tanah Rendzina, Alluvial, Grumusol, Latosol, Mediteran, Regosol, dan Litosol. Tanah jenis Litosol berasal dari batuan induk gamping, batu pasir dan breksi atau konglomerat, tersebar di Kecamatan Pajangan, Kasihan, dan Pandak. Jenis batuan yang terdapat di Kabupaten Bantul secara umum terdiri dari tiga jenis batuan

(26)

yaitu batuan beku, batuan sedimen, dan endapan. Secara umum iklim di wilayah Kabupaten Bantul dapat dikategorikan sebagai daerah beriklim tropis basah (humid tropical climate). Pada musim hujan, secara tetap bertiup angin dari Barat Laut yang membawa udara basah dari Laut Cina Selatan dan Barat Laut Jawa. Pada musim kemarau, bertiup angin kering bertemperatur relatif tinggi dari arah Australia yang terletak di Tenggara. Kecamatan Kasihan dilalui oleh dua sungai yakni (1) Sungai Winongo dengan panjang 18,75 km dan (2) Sungai Bedog dengan panjang 9,50 km (Badan Pusat Statistik atau BPS Kabupaten Bantul, 2015).

3. Kependudukan

Jumlah penduduk di Kecamatan Kasihan berdasarkan BAPPEDA (2015) sebanyak 98.365 jiwa dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 30.403 KK. Kepadatan penduduk rata-rata adalah 3038 jiwa/km2 dengan luas area kecamatan 32,38 km2, dengan kepadatan terbesar adalah Desa Ngestiharjo (19.287 jiwa/km2) yang merupakan desa dengan luas paling sempit diantara tiga desa lainnya dan terkecil adalah Desa Bangunjiwo (6.375 jiwa/km2). Jumlah angkatan kerja pada Kecamatan Kasihan pada tahun 2012 yakni bekerja 46.237 jiwa atau 47 % dari jumlah total penduduk Kecamatan Kasihan dan penganggur 2.463 jiwa atau 2,5%.

4. Luas Penggunaan Lahan

Penggunaan lahan di Kecamatan Kasihan pada tahun 2014 meliputi luas desa, luas lahan sawah, luas lahan bukan sawah dan luas lahan non pertanian, dapat dilihat pada Tabel 3 (BPS, 2015).

Tabel 3. Luas Penggunaan Lahan

Kecamatan Tahun Luas Desa

Luas Lahan Sawah

Luas Lahan Bukan Sawah

Luas Lahan Non Pertanian Kasihan 2011 3.238 598 88 2.544 2012 3.238 592 155 2.491 2013 3.238 583 155 2.500 2014 3.238 563 155 2.520 Sumber : BPS, 2015

(27)

Berdasarkan Tabel 3 diatas luas lahan non pertanian lebih tinggi daripada luas lahan sawah, sedangkan luas lahan bukan sawah lebih rendah dari luas lahan sawah. Luas lahan sawah mengalami pergeseran dari tahun 2011-2014 sebesar 43 hektar.

5. Peta penggunaan Tanah

Peta penggunaan tanah kecamatan Kasihan pada tahun 2014 dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Peta penggunaan tanah Sumber Gambar : BPN, 2015

Berdasarkan Gambar 3, warna merah muda (kampung padat) mendominasi Kecamatan Kasihan, sedangkan untuk luas lahan sawah (warna hijau) hanya terlihat di beberapa zona. Hal tersebut dapat disimpulkan bahwa konversi lahan sawah untuk pemukiman sering terjadi di Kecamatan Kasihan.

(28)

F. Kecamatan Banguntapan 1. Letak Geografis

Wilayah Kecamatan Bambanglipuro berbatasan dengan :Utara : Kecamatan Depok, Sleman, Timur : Kecamatan Piyungan, Selatan : Kecamatan Pleret dan Barat : Kecamatan Sewon. Kecamatan Banguntapan berada di dataran rendah. Ibukota Kecamatannya berada pada ketinggian 100 meter diatas permukaan laut. Jarak Ibukota Kecamatan ke Pusat Pemerintahan (Ibukota) Kabupaten Bantul adalah 15 Km. Kecamatan Banguntapan beriklim seperti layaknya daerah dataran rendah di daerah tropis dengan dengan cuaca panas sebagai ciri khasnya. Suhu tertinggi yang tercatat di Kecamatan Banguntapan adalah 370C dengan suhu terendah 240C. Bentangan wilayah di Kecamatan Banguntapan 100% berupa daerah yang datar sampai berombak.

2. Kependudukan

Kecamatan Banguntapan dihuni oleh 17.147 KK. Jumlah keseluruhan penduduk Kecamatan Banguntapan adalah 76.513 0rang dengan jumlah penduduk laki-laki 37.752 orang dan penduduk perempuan 38.761 orang. Tingkat kepadatan penduduk di Kecamatan Banguntapan adalah 2670 jiwa/Km2. Sebagian besar penduduk Kecamatan Banguntapan adalah petani. Dari data monografi Kecamatan tercatat 17.869 orang atau 23,39% penduduk Kecamatan Banguntapan bekerja di sektor pertanian.

3. Luas Penggunaan Lahan

Penggunaan lahan di Kecamatan Banguntapan pada tahun 2014 meliputi luas desa, luas lahan sawah, luas lahan bukan sawah dan luas lahan non pertanian, dapat dilihat pada Tabel 4 (BPS, 2015).

Tabel 4. Luas Penggunaan Lahan

Kecamatan Tahun Luas Desa

Luas Lahan Sawah

Luas Lahan Bukan Sawah

Luas Lahan Non Pertanian Banguntapan 2011 2.848 1160 59,93 1.615 2012 2.848 1159 59,93 1.615 2013 2.848 1149 59,93 1.629 2014 2.848 998 33 1.817 Sumber : BPS, 2015

(29)

Berdasarkan Tabel 4 diatas luas lahan non pertanian lebih tinggi daripada luas lahan sawah, sedangkan luas lahan bukan sawah lebih rendah dari luas lahan sawah. Luas lahan sawah mengalami pergeseran dari tahun 2011-2014 sebesar 127 hektar.

4. Peta Penggunaan Tanah

Peta penggunaan tanah kecamatan Banguntapan dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Peta Penggunaan Tanah Sumber Gambar : BPN, 2015

Berdasarkan Gambar 4, warna merah muda (kampung padat) mendominasi Kecamatan Banguntapan, yang Desanya berdekatan dengan perkotaan sedangkan untuk luas lahan sawah (warna hijau) terlihat di beberapa desa yang tidak berbatasan dengan perkotaan secara langsung. Hal tersebut dapat disimpulkan bahwa konversi lahan sawah untuk pemukiman sering terjadi di Kecamatan Banguntapan yang berbatasan langsung dengan perkotaan.

(30)

IV. TATA CARA PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan mulai Januari hingga April 2016 di Kecamatan Kasihan dengan daerah studi terdiri dari 4 Desa, yakni Bangunjiwo, Tirtonirmolo, Tamantirto dan Ngetisharjo dan Kecamatan Banguntapan dengan daerah studi terdiri dari 4 Desa, yakni Desa Banguntapan, Baturetno, Potorono dan Wirokerten yang terletak di Kabupaten Bantul.

B. Metode Penelitian dan Analisis Data 1. Jenis Penelitian

Penelitian akan dilakukan menggunakan metode survei, yang teknis pelaksanaannya dilakukan dengan observasi, kuisioner, wawancara dan pengumpulan data sekunder. Menurut Widyatama (2010) dalan Adhi Sudibyo (2011) metode survei adalah penyelidikan yang diadakan untuk memperoleh fakta-fakta dari gejala yang ada dan mencari keterangan secara faktual.

2. Metode Pemilihan Lokasi

Pemilihan lokasi penelitian dilakukan dengan cara stratified sampling yaitu teknik pengambilan sampel dimana populasi dikelompokkan dalam strata tertentu kemudian diambil sampel secara random dengan proporsi yang seimbang sesuai dengan posisi dalam populasi. Dimulai dengan mengkelompokkan yang berdasarkan pada daerah atau kecamatan yang mempunyai konversi lahan lebih tinggi berdasarkan data penggunaan lahan pertanian menjadi non pertanian di Kabupaten Bantul dari tahun 2010-2014. Masing-masing kelompok dipilih 1 kecamatan, jadi dari 17 kecamatan yang ada di kabupaten Bantul diambil 2 kecamatan yang akan dijadikan tempat penelitian yaitu kecamatan Banguntapan sebagai kecamatan yang jumlah konversi lahan tinggi dan berbatasan langsung dengan kota Yogyakarta dan kecamatan Kasihan yang merupakan daerah penyangga kota. Adapun lokasi penelitian dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

(31)

Gambar 5. (a) Peta Lokasi Penelitian (Kasihan) (b) Peta Lokasi Penelitian (Banguntapan)

Sumber Gambar : BPN, 2015 Sumber Gambar : BPN, 2015

3. Metode Pemilihan Responden a. Petani

Pengambilan sampel responden dilakukan dengan metode purposive, yaitu pengambilan sampel yang secara sengaja dipilih dari populasi berdasarkan tujuan penelitian. Masyarakat yang dijadikan responden adalah masyarakat yang melakukan konversi lahan pertanian yang berada di daerah penelitian. Kecamatan Kasihan terdiri dari 4 Desa yang masing-masing desa di ambil 10 petani sebagai responden, sehingga total responden untuk Kecamatan Kasihan sekitar 40 petani. Kecamatan Banguntapan diambil 4 Desa sebagai tempat penelitian dengan masing-masing desa di ambil 10 petani sebagai responden, sehingga total responden untuk Kecamatan Banguntapan sekitar 40 petani. Total keseluruhan responden yaitu 80 orang petani.

b. Mantri tani dan penyuluh

Responden yang dipilih adalah mantri tani dan penyuluh pertanian yang berada di daerah penelitian. Mantri Tani di setiap kecamatan terdiri dari satu orang, dan penyuluh di setiap desa terdiri dari satu orang, sehingga dari dua Kecamatan Kasihan dan Banguntapan diperoleh 2 Mantri dan 8 orang penyuluh.

Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan diarahkan untuk mendapatkan informasi mengenai penyebab terjadinya konversi lahan sawah terhadap produksi padi dengan carapenyebaran kuisioner dan wawancara. Penyebaran kuisioner ditujukan untuk mengetahui alasan-alasan petani atau masyarakat melakukan konversi lahan.

(32)

Wawancara dilakukan untuk mendapatkan informasi yang lebih dalam tentang gejala sosial yang menyebabkan terjadinya konversi lahan sawah.

4. Analisis Data

Data sekunder yang didapatkan dianalisis regresi untuk mencari pola hubungan antar laju konversi lahan sawah dan produksi padi. Data primer yang didapatkan dari lapangan (wawancara) dianalisis secara deskriptif untuk menentukan faktor lain yang mempengaruhi produksi padi di Kecamatan Banguntapan dan Kasihan.

C. Jenis Data

Data-data yang diperlukan dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh dari hasil observasi secaralangsung dan hasil wawancara langsung di lapangan. Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari hasil studi pustaka dan penelusuran ke berbagai Instansi terkait dengan penelitian.data-data yang mendukung dalam penelitian ini meliputi :

1. Data primer

Data primer merupakan data yang diperoleh dari hasil observasi secara langsung dan hasil wawancara langsung di lapangan.

2. Data sekunder

Data sekunder merupakan dokumen atau data yang diperoleh dari laporan studi, instansi pemerintahan terkait, serta dokumen lain seperti dari buku, jurnal, data BAPPEDA/DPU, data dari Dinas Pertanahan Nasional Bantul, data Dinas Pertanian dan Kehutanan atau dari internet.

Tabel 6. Jenis Data Penelitian

No. Jenis Data Lingkup Bentuk Data Sumber 1. Geografis Wilayah a. Batas wilayah

b. Luas wilayah c. Ketinggian

tempat

Soft copy Website Resmi Kabupaten Bantul, Kecamatan Kasihan dan Banguntapan 2. Peta Wilayah Kabupaten Bantul Kabupaten Bantul, Kecamatan Kasihan dan Banguntapan

Soft copy Dinas Pertanahan Kabupaten Bantul 3. Peta Penggunaan

Lahan Kabupaten

Kabupaten Bantul, Kecamatan Kasihan

Soft copy Dinas Pertanahan Kabupaten Bantul

(33)

Bantul dan Banguntapan 4. Luas konversi

sawah

Kecamatan Kasihan dan Banguntapan

Soft copy Dinas Pertanahan Kabupaten Bantul 5. Luas tanam, Luas

Panen dan Produksi

Soft copy Dinas Pertanian, BPS Kabupaten Bantul 6. Kondisi Sosial a. Pendidikan

b. Sebaran usia c. Pendapatan d. Tanggungan keluarga Soft Copy Kuesioner

BAPPEDA dan Dinas Catatan Penduduk Sipil Data primer

7. Persepsi petani dan penyuluh

a. Ekonomi b. Lingkungan c. Budidaya Padi

Kuesioner Wawancara petani dan penyuluh

8. Konversi lahan a. Luas sawah

b. Luas lahan setelah konversi

c. Produksi padi

Kuesioner Wawancara petani dan penyuluh

D. Jadual

Kegiatan Januari Februari Maret April

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 Studi Pendahuluan Penyusunan Proposal Seminar Proposal Pengumpulan Data Analisis Data Penulisan Laporan Seminar Hasil

(34)

DAFTAR PUSTAKA

Adhi Sudibyo. 2011. Zonasi Konservasi Mangrove di Kawasan Pesisir Pantai Kabupaten Pati. Skripsi Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Uniersitas Muhammadiyah Yogyakarta. 101 halaman

Bambang. S., 2005. Aspek Pertanahan Dalam Pengendalian Alih Fungsi Lahan

Pertanian.http://balittanah.litbang.deptan.go.id/dokumentasi/prosiding/mflp2001/bambangwi djanarko.pdf. Diakses tanggal 29 Maret 2015

Bantul, 2013 :

http://www.bantulkab.go.id/datapokok/0502_kepadatan_penduduk_agraris.html

akses tanggal 1 juli 2015

Fahmudin Agus.2004. konversi dan hilangnya multifungsi lahan sawah. Pusat penelitian dan pengembangan sosial ekonomi pertanian bogor. http://pse.litbang.deptan.go.id/publikasi.com

diakses tanggal 12 November 2015

Gunanto, E.S., 2007 . Konversi Lahan Pertanian Mengkhawatirkan.

http://www.tempointeraktif.com Diakses tanggal 29 Maret 2015 Irawan., 2006. Mencermati Dampak Alih Fungsi Lahan Sawah

http://www.suarapembaruan.comDiakses tanggal 29 Maret 2015

Lestari, T., 2009. Dampak Konversi Lahan Pertanian Bagi Taraf Hidup Petani. Makalah

kolokium dept sains komunikasi dan pengembangan masyarakat tgl 21 april 2009.ipb Diakses tanggal 29 Maret 2015

Lipsey, R. 1995. Pengantar Mikroekonomi. Binarupa Aksara, Jakarta

Lubis,A, E., 2005. Perencanaan Koorporasi Peningkatan Ketahanan Pangan Di Propinsi Sumatera Utara. Badan Ketahanan Pangan Propinsi Sumatera Utara, Medan.

Masri Singarimbun. 1989. Metode Penelitian Survai. LP3ES. Jakarta Noor, M., 1996. Padi Lahan Marginal. Penebar Swadaya, Jakarta.

Putong, I. 2003. Pengantar Ekonomi Mikro dan Makro (Edisi 2). Ghalia Indonesia, Jakarta. Salvatore, Dominict. 2001. Managerial Ekonomics dalam Perekonomian Global. Erlangga,

(35)

Sihaloho, Martua. 2004. Konversi Lahan Pertanian dan Perubahan Sruktur Agraria. [Tesis] Sekolah Pascasarjana. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Diakses tanggal 29 Maret 2015 Soekartawi, 2005. Agribisnis Teori dan Aplikasinya. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Suman, A. 2007. Konversi Lahan Pertanian. Artikel. Koran Sindo: 1 November 2015

Sumaryanto, dkk, 1995. Analisis Kebijaksanaan Konversi Lahan Sawah ke Penggunaan Nonpertanian. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian bekerja-sama dengan Proyek Pembinaan Kelembagaan Penelitian Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Bogor.

Suwandi, A., 2002. Penggusuran Lahan Pertanian Produktif.

http://www.litbang.deptan.go.idDiakses tanggal 29 Maret 2015

Tjondronegoro, S. M.P. 1999. SOSIOLOGI AGRARIA: Kumpulan Tulisan Terpilih. Bandung: AKATIGA.

Utomo, M., Eddy Rifai dan Abdulmutalib Thahir. 1992. Pembangunan dan Alih Fungsi Lahan. Lampung: Universitas Lampung.

Wiradi, Gunawan. 2000. Reforma Agraria: Perjalanan Yang Belum Berakhir. Yogyakarta: Pustaka Belajar Offset.

.

Gambar

Gambar 1. Kerangka pemikiran konversi lahan sawah Kecamatan Banguntapan dan Kasihan
Gambar 2. Peta Wilayah Kabupaten Bantul  Sumber Gambar : BPN, 2015
Tabel 1. Penggunaan Tanah di Kabupaten Bantul Tahun2009-2013
Tabel 2. Penggunaan Lahan di Kabupaten Bantul
+7

Referensi

Dokumen terkait

The study analyzed denotative and connotative meaning of the texts appears in the advertisement by using semiotic analysis purposed by Pierce and Rolland Barthes in interpreting

Pemberian bantuan hukum oleh advokat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), tidak menghapuskan kewajiban advokat tersebut untuk memberikan bantuan hukum secara gratis

Ketentuan tentang penyelenggaraan pemerintah daerah diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang sebagaimana diamatkan Pasal 18 ayat (7) UUD 1945, yang berbunyi &#34;susunan dan tata

Perbandingan tekanan yang terjadi menunjukkan bahwa data ukur awal (tanpa PRV) menunjukkan peningkatan tekanan yang semakin besar yang disebabkan oleh perbedaan elevasi yang

Seluruh Dosen Jurusan Teknik Industri Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya yang telah memberikan ilmu kepada saya selama 4 tahun mencari ilmu.. General Manager

Penelitian ini bertujuan untuk produksi sabun mandi transparan dengan memanfaatkan VCO mengandung karotenoid tomat (VCO+tmt), serta menentukan kombinasi gliserol,

menunjukkan jika plat resin akrilik yang direparasi dengan penambahan E- JODVV ¿EHU dengan volumetrik 7,4% menghasilkan kekuatan transversal tertinggi dibandingkan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada siswa MI BPI Kampung Baru, peneliti memperoleh dan mengumpulkan data melalui instrumen tes tentang skor pemahaman